Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH UNSUR BUDAYA TERHADAP PELESTARIAN ADAT

MAPPACCING

DISUSUN OLEH :
Nama : St Hajar Said
Kelas : B2 Ilmu Komunikasi
Stambuk : 06520170066

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang di
pilih oleh peneliti yaitu untuk memahami isi pesan yang terkandung dalam Tradisi
Budaya Mappaccing (Analisis Semiotika Pierce). Penelitian kualitatif adalah suatu
penelitian ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui cara mempertahankan budaya
mappaccing sehingga dapat dikatakan sebuah kewajiban dan untuk mngetahui
tanggapan agama islam tentang mempertahankan budaya mappaccing. Penelitian
kualitatif bertujuan menjelaskan fenomena secara mendalam melalui
pengumpulan data secara wawancara.

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah Mappaccing bukanlah


sebuah kewajiban karena tidak semua masyarakat melakukan budaya mappaccing
karena adanya perbedaan dari segi pemikiran, pemahaman, agama dan ekonomi.
Mempertahankan budaya itu boleh akan tetapi jangan samakan dengan sebuah
kewajiban. Dalam agama khususnya Islam kewajiban itu ialah melaksanakan
Rukun Iman dan Rukun Islam. Selain itu kalian juga bisa berdasar pada Al-Qur’an
dan Hadist. Jadi jangan pernah menganggap mappaccing ialah kewajiban akan
tetapi kalian boleh melakukannya sebagai bentuk melestarikan budaya dan bentuk
penghargaan leluhur sebelum kita.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam hidup, manusia tak pernah lepas dari kebudayaan dan adat istiadat.
Budaya juga berfungsi sebagai identitas dan ciri khas. Untuk itu, keberadaannya
amatlah penting. Tak heran jika setiap kelompok atau golongan masyarakat
tertentu memiliki budayanya yang berbeda – beda.

Kebudayaan merupakan hasil dari karya cipta, rasa, dan karsa manusia.
Lingkupnya mencakup banyak aspek kehidupan seperti hukum, keyakinan, seni,
adat atau kebiasaan, susila, moral, dan juga keahlian. Kehadirannya mampu
mempengaruhi pengetahuan seseorang, gagasan, dan ide meskipun budaya
berwujud abstrak.

Menurut Parsudi Suparlan, definisi kebudayaan adalah semua pengetahuan


manusia yang merupakan makhluk sosial yang dipakai untuk dapat memahami
dan sebagai interpretasi dari lingkungan dan pengalamannya. Kebudayaan juga
dipakai untuk andasan dalam bertingkah laku.

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup secara bersama-


sama di suatu wilayah dan membentuk sebuah sistem, baik semi terbuka maupun
semi tertutup, dimana interaksi yang terjadi di dalamnya adalah antara individu-
individu yang ada di kelompok tersebut.

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah
“karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama
bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak
berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat
satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang
Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia,
alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-
ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan
oleh manusia-manusia yang memeluknya.

Seharusnya masyarakat di Dusun Timporongan, Desa Lengkese


Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar ini dalam pemikiran
melaksanakan Mappaccing itu bukanlah sebuah kewajiban tetapi boleh dilakukan
dan boleh juga tidak. Seperti yang diketahui bahwa masyarakat mempunyai
pengetahuan yang berbeda, ada yang paham agama, ada yang hanya paham
tentang kebudayaan dan ada pula yang hanya ikut arus dan netral
dilingkungannya. Masyarakat itu mempunyai persepsi dan pengalaman yang
berbeda-beda sehingga timbul lah pemikiran yang berbeda pula. Hal inilah yang
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Adat Istiadat adalah
faktor penentu untuk mempertahankan budaya Mappaccing.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah dengan cara mempertahankan budaya mappaccing dapat dikatakan
sebuah kewajiban ?
2. Bagaimana tanggapan agama islam tentang mempertahankan budaya
mappaccing dan menjadikannya sebuah kewajiban ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui cara mempertahankan budaya mappaccing sehingga
dapat dikatakan sebuah kewajiban
2. Untuk mngetahui tanggapan agama islam tentang mempertahankan budaya
mappaccing dan menjadikannya sebuah kewajiban

BAB 2
LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN TENTANG BUDAYA MAPPACCING


1. Pengertian Mappaccing

Kata Mappaccing berasal dari Paccing yang berarti pacar dan diibaratkan
sebagai alat untuk menyucikan sang gadis dari hal-hal yang bersifat kekotoran,
baik secara fisik maupun batin, agar memperoleh keselamatan, kesejahteraan
dalam mengarungi kehidupan berumah tangga kelak. Sebagai rangkaian
perkawinan adat Bugis Makassar, mappaccing menggunakan symbol-symbol yang
sarat makna akan menjaga keutuhan keluarga, dan memelihara kasih sayang
dalam rumah tangga seperti Benno, Tai Bani, Bantal, Sarung yang disusun tujuh
lapis, Daun Pisang, Daun Nangka dan Bekkeng.

Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan


harapan, semoga calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih
dan jujur. Tai Bani merupakan lilin dari lebah, yang melambangkan suluh
(penerang) kehidupan agar menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bantal disimbolkan kemakmuran. Secara khusus diartikan sebagai


pengalas kepala yang artinya penghormatan atau martabat, dalam bahasa bugis
disebut Mappakalebbi. Sarung yang disusun 7 lembar, melambangkan harga diri.
Daun Pisang, melambangkan kehidupan yang sambung menyambung. Daun
Nangka, berarti cita-cita yang luhur. Bekkeng, tempat paccing yang sudah
ditumbuk halus, mengandung arti kerukunan hidup dalam suatu keluarga. dan
daun paccing itu sendiri yang melambangkan kesucian

Prosesi Mappaccing dilaksanakan pada malam hari, calon mempelai duduk


di Lamming , dengan tangan bersimpuh mengahadap ke atas. Saat pembaca
barzanji (pabarazanji) sampai pada bacaan Badrun Alaina, yang dalam bahasa
Makassar dikenal sebagai istilah Niallemi saraka, acara mapaccing dimulai.
Dengan sedikit mengambil daun paccing, seorang ibu membubuhi telapak tangan
calon pengantin, sementara itu barzanji tetap di bacakan. Setelah semua tamu
yang ditetapkan melakukan Mapaccing, seluruh hadirin bersama-sama mendoakan
semoga calon mempelai mendapat restu dari Allah dan menjadi suri tauladan
karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. (Reportase Salma, Makassar
terkini).

2. Pandangan Agama Islam Tentang Budaya Mappaccing


Mappacci adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih atau suci.
Terkadang, di beberapa daerah Bugis, Mappacci dikenal dengan sebutan
mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, Mappacci/mappepaccing merupakan suatu
kegiatan atau aktifitas yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu.
Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan
tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh
atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan
kasurmu.

Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’,
seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’
(bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan Mappacci
merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti
yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan yang kedua kata kerja. Kita
sering mendengarkan penggunaan kedua kata ini dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya di masyakat Bugis.

Perkembangan selanjutnya, istilah Mappacci lebih sering dikaitkan dengan


salah satu rangkain kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-
Makassar. Mappacci lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang
mesti dilakukan oleh mempelai perempuan dan laki-laki, terkadang sehari,
sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara Mappacci dihadiri oleh
segenap keluarga dan masyarakat umum, untuk meramaikan prosesi yang sudah
menjadi turun temurun ini.

Dalam prosesi Mappacci, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi


segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (menyeruai salep dan
biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berupa tumbuhan dan
berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, gula, sarung sutera,
lilin, dll. Tujuan dari Mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon
pengantin, sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan Mappacci
ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar), sebelum pesta
perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang di kalangan generasi tua,
prosesi Mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang
kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-
Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah
daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar.

Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta
perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang,
prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan
Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini,
melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.

Sekalipun Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam


Islam, tapi mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai
sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi
kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil Mappacci
dalam kitab suci untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai
contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail,
berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi Mappacci beserta alat-alat yang
sering digunakan dalam prosesi ini.

Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias


dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin
diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai
prosesi Mappacci. Di depan calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal
yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering
diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia.
Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami
akan identitas dirinya, sebagai mahluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari
Sang Pencipta (Puangge:Bugis).
Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun
dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera
ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; “Allah itu ganjil dan suka
yang ganjil”. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan.
Sifat istiqamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap
hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga
menjadi sebuah sarung yang siap pakai. Dengan sikap istiqamah atau ketekunan
ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang
pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga.
Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat
Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan senantiasa
menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-
tengah masyarakat kelak.

Terkadang, diatas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang


memang tidak memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang
mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak
akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan
tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan.
Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati
oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan
membawa mampaat bagi orang banyak.

Diatas daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu
tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di
Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri
lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa benona
kanukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua
sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kesucian. Jadi, dalam
mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran
dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi
pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah
tangga.

Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa
muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa
kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik
dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan
rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling
melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi.

Terakhir, Mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang.


Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse' (lampu penerang
tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri
mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang. Masih banyak lagi
peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan
mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering
digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.

B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif


yang di pilih oleh peneliti yaitu untuk memahami isi pesan yang terkandung
dalam Tradisi Budaya Mappaccing (Analisis Semiotika Pierce). Penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui cara
mempertahankan budaya mappaccing sehingga dapat dikatakan sebuah kewajiban
dan untuk mngetahui tanggapan agama islam tentang mempertahankan budaya
mappaccing. Penelitian kualitatif bertujuan menjelaskan fenomena secara
mendalam melalui pengumpulan data secara wawancara.

2. Lokasi Penetian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan
proposal ini, maka lokasi penelitian dilakukan di Desa Lengkese Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Cara Mempertahankan Budaya Mappaccing

Berdasarkan hasil wawancara, mempertahankan budaya mappaccing


bukanlah sebuah kewajiban karena ada pula masyarakat yang tidak melakukan
mappaccing di sebabkan dari segi pemikiran manusia itu sendiri, berdasarkan
pengetahuan dan pemahaman agama, maupun masalah ekonomi sehingga
mappaccing tidak dapat ia lakukan.
Akan tetapi, ketika salah satu masyarakat akan mengadakan acara
mappaccing, masyarakat begitu antusias datang kerumah mempelai dan
meramaikannya. Dengan begitu ada banyak hal yang dilakukan keluarga calon
mempelai wanita maupun lelaki, seperti menyediakan segala alat dan bahan serta
sajian makanan dan minuman pula untuk acara mappaccing.

2. Pandangan Agama Islam Tentang Budaya Mappaccing

Istilah Mappacci lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain


kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappacci
lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang mesti dilakukan
oleh mempelai perempuan dan laki-laki, terkadang sehari, sebelum pesta
walimah pernikahan. Biasanya, acara Mappacci dihadiri oleh segenap
keluarga dan masyarakat umum, untuk meramaikan prosesi yang sudah
menjadi turun temurun ini.
Allah swt. memberikan tempat yang khusus tentang kebersihan.
Sebagaimana QS al-Baqarah/2:264
Terjemahnya :

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu


dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah
dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.[11]

Berdasarkan hasil wawancara yang di tangkap peneliti bahwa masyarakat


menganggap mappaccing sebuah kewajiban karena ingin menghubungkan pada
al-qur’an dan mengambil hikmah-hikmahnya seperti sikap dan perilaku baik yang
ada pada al-qur’an. Dan juga sebagai bentuk penghargaan dan untuk melestarikan
budaya.

KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa :
1. Mappaccing bukanlah sebuah kewajiban karena tidak semua masyarakat
melakukan budaya mappaccing karena adanya perbedaan dari segi pemikiran,
pemahaman, agama dan ekonomi. Mempertahankan budaya itu boleh akan
tetapi jangan samakan dengan sebuah kewajiban.
2. Dalam agama khususnya Islam kewajiban itu ialah melaksanakan Rukun
Iman dan Rukun Islam. Selain itu kalian juga bisa berdasar pada Al-Qur’an
dan Hadist. Jadi jangan pernah menganggap mappaccing ialah kewajiban
akan tetapi kalian boleh melakukannya sebagai bentuk melestarikan budaya
dan bentuk penghargaan leluhur sebelum kita.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, adapun saran yang
dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat yang melakukan mappaccing diharapkan mengetahui betul
makna dan tata cara mappaccing.
2. Masyarakat yang melakukan mappaccing harus paham tentang agama agar ia
dapat membedakan yang mana kewajiban sebagai pemeluk agama islam dan
yang mana pula cara melestarikan sebuah budaya.
3. Masyarakat yang melakukan mappaccing juga harus paham akan
pengetahuan tentang budaya yang ada di daerah masing-masing dan paham
tentang sejarah-sejarah kebudayaannya.

DAFTAR PUSTAKA

https://thegorbalsla.com/pengertian-kebudayaan/
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-masyarakat.html
https://www.dictio.id/t/bagaimana-islam-melihat-agama-dan-budaya/8774/2
https://southcelebes.wordpress.com/2008/05/26/mappaccing/
https://www.kompasiana.com/syahrulhs/5500967da33311a872511814/mappacci-
dan-nilai-filosofisnya-bagi-masyarakat-bugis-makassar
http://nasruddin-ibrahim.blogspot.com/2016/02/nilai-nilai-islami-dalam-
upacara.html
LAMPIRAN DAN DRAF WAWANCARA

1. Apakah Mappaccing mempunyai makna penting ?


“Iya, mappaccing itu berarti bersih atau membersihkan diri dan itu
sangat penting bagi mempelai pengantin untuk membersihkan diri”
(DR, 48 tahun, 12 januari 2019)
2. Apakah hanya masyarakat tertentu yang melaksanakan Mappaccing ?
“ tidak, karena mappacing itu budaya yang turun temurun”
(DR, 48 tahun, 12 januari 2019)
3. Apakah Mappaccing itu wajib untuk dilakukan ? jika iya, apa alasan anda
mengatakan wajib ?
“tidak, karena ada pula orang yang tidak melakukannya karena beda
pemahaman dari segi agama, dll”
(DR, 48 tahun, 12 januari 2019)
4. Apa saja yang disiapkan untuk dapat melaksakan budaya Mappaccing ?
“calon mempelai wanita maupun lelaki harus ada di rumah, rumah
dan tempat mappaccing harus sedia, alat dan bahan untuk melakukan
mappaccing juga harus ada”
(DR, 48 tahun, 12 januari 2019)
5. Apa makna dan manfaat dari alat dan bahan untuk Mappaccing ?
“alat dan bahannya yaitu bantal, sarung sutera, daun pisang, daun
pacar/paccing, lilin, beras. Manfaatnya saya lupa dan kurang paham”
(DR, 48 tahun, 12 januari 2019)
6. Mengapa Mappaccing harus di lakukan ?
“Harus dilakukan karena untuk mempertahankan budaya dan sebagai
bentuk pelestarian budaya Mappaccing”
(DN, 43 tahun, 12 januari 2019)
7. Apakah anda pernah melaksanakan Mappaccing ? bagaimana perasaan anda
setelah melakukan hal tersebut atau bagaimana penilaian anda tentang hal
itu ?
“pernah, perasaan saya itu senang karena melalui acara ini kita bisa
berkumpul dengan kerabat kerja, teman, keluarga dekat maupun
keluarga jauh”
(DN, 43 tahun, 12 januari 2019)
8. Bagaimana pendapat anda jika budaya Mappaccing dihilangkan ?
“menurut saya mappaccing itu kan budaya yang turun temurun jadi
sebaiknya di pertahankan dan terus di ajarkan pada keturunan-keturunan”
(DN, 43 tahun, 12 januari 2019)

Anda mungkin juga menyukai