Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH KETENAGAKERJAAN

PROFIL TOKOH ISLAM INDONESIA

(KH. AHMAD HASYIM MUZADI)

Dosen Pengampu:

Drs. Achmad Taufiq, M.Si

Disusun Oleh :

Yesie Cindra M

(14010112130135)

Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Diponegoro

Semarang

2016
PROFIL HASYIM MUZADI

 Nama Lengkap : Hasyim Muzadi


 Nama Alias : KH. Achmad Hasyim Muzadi
Achmad Hasyim Muzadi
 Profesi : Politisi
 Tempat Lahir : Bangilan, Tuban, Jawa Timur
 Tanggal Lahir : Selasa, 8 Agustus 1944
 Zodiak : Leo
 Warga negara : Indonesia
 Ayah : H. Muzadi
 Ibu : Hj. Rumyati
 Istri : Hj. Muthomimah
 Anak : Abdul Hakim Hidayat, Yuni Arofah, Hilman Wajdi,
Alfi Rachmawati, Laili Abidah, dan Yusron Sidqi.

KH. Ahmad Hasyim Muzadi adalah mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU).
Selain itu, Hasyim Muzadi pernah menjadi pengasuh pondok pesantren Al-Hikam, Malang,
Jawa Timur. Hasyim lahir di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944 dari pasangan H. Muzadi
dengan istrinya Hj. Rumyati.
Hasyim menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada
tahun 1950 dan menuntaskan pendidikannya tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN
Malang, Jawa Timur pada tahun 1969. Suami Hj. Muthomimah ini nampaknya memang
terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Hasyim sendiri mengawali kegiatan organisasinya
dengan berpartisipasi aktif dalam organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor
(GP-Ansor) dan organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
hingga akhirnya dia dia dipercaya menjadi pemimpin kedua organisasi tersebut.
Hal inilah yang menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah
di NU. Nama Hasyim mulai mencuat ke publik setelah pada tahun 1992, dia terpilih menjadi
Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu
loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999. Setelah itu, tercatat
Hasyim pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika
itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada tahun 1999, Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri. Pada pemilihan presiden tahun 2004,
Hasyim Muzadi menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Capres Megawati
Soekarnoputri Presiden RI Kelima (2001-2004) Megawati Soekarnoputri. Namun langkahnya
ini gagal menuai kemenangan. Setelah itu, dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan,
Boyolali, Jateng, Hasyim kembali terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU) setelah berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya, termasuk KH
Abdurrahman Wahid.
Sesuai ketentuan internal NU, seseorang hanya boleh menjabat Ketua Umum
Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU dua periode berturut-turut. Sehingga dalam Muktamar
NU ke-32 di Makssar, April 2010, dia digantikan Dr. KH Said Aqil Siradj, MA. Sementara
Hasyim Muzadi terpilih menjabat Wakil Rais Aam PBNU (2010-2015), bersama Dr. KH A.
Musthofa Bisri mendampingi Ketua Rais Aam Dr. KH. M. A. Sahal Mahfudh.
Sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap
perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan. Pengasuh Ponpes
Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus
memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Sebagai ulama, sosok Hasyim
dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan
NU, Hasyim ikhlas melakukan.

1. Pendidikan
 Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur, Tahun 1950-1953
 SD Tuban-Jawa Timur, Tahun 1954-1955
 SMPN I Tuban-Jawa Timur, Tahun 1955-1956
 KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur, Tahun 1956-1962
 PP Senori, Tuban-Jawa Timur, Tahun 1963
 PP Lasem-Jawa Tengah, Tahun 1963
 IAIN Malang-Jawa Timur, Tahun 1964-1969
 Bahasa, Tahun 1972-1982
2. Pengalaman Karir
 Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya Malang.
 Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP.
 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang.
 Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987.
 Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur.
3. Pengalaman Organisasi
 PII ( Pelajar Islam Indonesia ), Tahun 1960 – 1964
 Ketua Ranting NU Bululawang-Malang
 Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang, Tahun 1965.
 Ketua Cabang PMII Malang, Tahun 1966.
 Ketua KAMI Malang, Tahun 1966.
 Ketua Cabang GP Ansor Malang, Tahun 1967-1971.
 Wakil Ketua PCNU Malang, Tahun 1971-1973.
 Ketua DPC PPP Malang, Tahun 1973-1977.
 Ketua PCNU Malang, Tahun 1973-1977.
 Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, Tahun 1983-1987.
 Ketua PP GP Ansor, Tahun 1985-1987.
 Sekretaris PWNU Jawa Timur, Tahun 1987-1988.
 Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, Tahun 1988-1992.
 Ketua PWNU Jawa Timur, Tahun 1992-1999.
 Ketua Umum PBNU, Tahun 1999-2004.
 Ketua Umum PBNU, Tahun 2004-2010.
 Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur.
 Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur, Tahun 1986-1987.
 Pengasuh Pon-Pes Al-Hikam Malang
 Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace)
 Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars)
 Pengasuh STKQ Al-Hikam Depok
 Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (WANTIMPRES) sejak 19 Januari 2015.
4. Karya Tulis
 Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.
 NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999
 Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.
5. Penghargaan / Gelar
 Diberi gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang Peradaban Islam dari
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, (2
Desember 2006).
 Diberi gelar “Tuanku Imam Nahdliyin”oleh H. Idarussalam, ketua yayasan
pesantren Nurul Yaqin, Pakandangan, Padang Pariaman, Ahad (18, Januari, 2015).
6. Kehidupan Beliau
Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur pendidikan dasarnya di
Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan menuntaskan pendidikannya tingginya di
Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang, Jawa Timur pada tahun 1969. Pria yang lahir di
Tuban pada tahun 1944 ini, nampaknya memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur.
Sederet aktivitas organisasinya ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.
Organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) dan organisasi
kemahasiwaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah
yang menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua
Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan
bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Banyak yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU
selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak
mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi
anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di
bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat Hasyim mendadak
menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan, wilayah
aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur,
namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang oleh modal
kultural yang sangat besar, karena ia memiliki pesantren Al-Hikam, Malang, yang
menampung ribuan santri.
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya sebagai seorang
pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal "nasionalis dan pluralis".
Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC
di Amerika Serikat, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang
dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia
internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan
tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari
tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan
karakteristik umat Islam di Indonesia.
Integritas Hasyim yang lintas sektoral kini diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun
ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres, merupakan bagian dari
sosok dirinya yang moderat."Saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama",”
ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim
Muzadi.
Walaupun memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim
yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur.
Bahkan, langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya
dengan Gus Dur yang telah terpendam lama. Namun di atas segalanya, hanya Hasyim yang
tahu persis, makna di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang kini tengah
dirintisnya.
7. NU Menurut Beliau: “ NU Bukan Demi Kekuasaan’
NU sebagai ormas terbesar dengan jumlah anggota mencapai 35 juta orang, warga
NU tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi
Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar
Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila
ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak
membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu
berlaku untuk masa sekarang.
Namun menurutnya, sepanjang mereka membawa visi nasional Indonesia secara utuh,
akan disambut baik. NU akan merespons siapapun ketika yang dibicarakan itu masalah
nasional dan utuh. Ketika mereka melakukan (atau) tampil sebagai partisan politik, itu ya
terserah anggota saya, mau pilih atau tidak. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(NU) KH Hasyim Muzadi dalam menjalankan organisasinya memiliki prinsip bahwa NU
tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol) pada
Pemilu 2004. Menurut dia, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup
menyulitkan posisi NU.
Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973,
kata Muzadi menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk
organisasi itu. Waktu itu, kata Muzadi yang sempat menjadi Ketua NU Cabang Malang, kerja
orang-orang NU hanya memikirkan kursi legislatif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha
memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan. Menjelang Pemilu 2004, NU
didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga
datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik
merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik
erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di
sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh
karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.
Mengenai pemimpin bangsa, menurut Muzadi, NU itu tidak berpikir bagaimana
mengajukan calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu
melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus lebih dulu
dipikirkan daripada intern NU, apalagi ramai-ramai membuat NU terjun langsung di dunia
politik.
Munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga
pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus
diselesaikan. Bila menyangkut konflik antaragama, ia mengatakan NU telah melakukan
dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin masalah itu selesai hanya dengan peran satu
kelompok saja. Harus melibatkan keduanya. Itu bila konflik ingin dituntaskan.
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai
seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup “nasionalis” dan
pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas
melakukan. Itu sebabnya, dalam kunjungan di AS ini, Hasyim benar-benar seperti
mengabdikan diri bagi kepentingan lebih besar. Salah satunya ia tunjukkan dalam bentuk
memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat
Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan
internasional.
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS
langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan
kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia
luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai. Hasyim Muzadi memiliki
pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku
mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan.
Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali
dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat
Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan
ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih
berfaedah daripada keterasingan internasional. Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang
mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman
masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam
Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar
Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan
soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar. “Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu
pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan
internasional,” ujar Hasyim.
Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya
cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan.
Jangan sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tapi bisa
memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afghanistan
atau negara-negara Timur Tengah, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa runyam.
Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan Timur Tengah atau negara-negara lain.
Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya
pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin,
gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.
Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam
moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama
yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain. Muzadi juga mengakui,
pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan
terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim
yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. Itu istilahnya mereka, katanya.
Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang
“kekerasan.” Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada
rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.
8. Bertekat Berantas Korupsi
Ketua Umum Pengurus Besar Pendiri Nahdlatul Ulama 1926 Nahdlatul Ulama (NU)
KH Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2010). Hasyim Muzadi, resmi menjadi calon
wakil presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri pada Pemilu
2004. Kyai kelaharian Tuban, 8 Agustus 1944, ini menyatakan kiranya ia bisa berperan demi
kesejahteraan bangsa, antara lain dalam rangka pemberantasan korupsi.
Pendeklarasian pasangan Capres-Cawapres ini dilakukan di pelataran Tugu
Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis 6 Mei 2004. Proses penetapan pasangan ini, menurut
Hasyim dan Mega, sudah dirintis sejak enam bulan lalu, saat Megawati berkunjung ke
Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang yang dipimpin Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama
(1999-2010) Hasyim Muzadi.
Usai pendeklarasian itu, Mega dan Hasyim langsung berangkat mengunjungi makam
Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Bung Karno di Blitar, Jawa
Timur. Sekitar pukul 15.10, keduanya tiba di kompleks makam tersebut dan selama 20 menit
melakukan doa serta menabur bunga di atas makam Soekarno.
Acara itu dirancang sedemikian rupa, sehingga simbol berpadunya nasionalis dan
Islam, sangat terkesan. Menurut Hasyim, duetnya dengan Megawati merupakan awal dari
dikikisnya dikotomi Islam abangan dan Islam santri. Mulai hari ini, kata Hasyim, istilah itu
perlu ditinggalkan. Alasannya, kita tahu bahwa sebagian besar warga PDI-P adalah orang
Islam di desa-desa. Begitu pula orang-orang NU berada di desa-desa.
''Dikotomi ini telah berlangsung berabad-abad. Hari ini hentikan dikotomi itu. Mari
kita satunya pekik 'Merdeka' dan 'Allahu Akbar,'' tandas Hasyim, disambut tepuk tangan riuh
massa Presiden Republik Indonesia Kelima (2001-2004) PDIP yang memenuhi tenda di
pelataran Tugu Proklamasi.
"Maka, duet Ibu Megawati dengan saya bukan hanya diharapkan membentuk skala
pemerintahan, tetapi juga dimensi kultural untuk menjamin kekokohan persatuan rakyat,"
kata Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2010)
Hasyim Muzadi.
Pada kesempatan itu, Hasyim juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Umum
Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar Ketua Dewan Pembina Partai Golkar
Akbar Tandjung dan calon presiden Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar,
Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, atas tawaran terhadapnya untuk menjadi calon wakil
presiden (cawapres) Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar. Namun, katanya,
saya mohon maaf karena terpaksa tidak bisa memenuhinya. "Alasannya, bukan apa-apa, saya
tidak bisa menerima tawaran dua sekaligus," ujarnya.
Hasyim juga menepis anggapan akan terpecahnya warga NU dengan pencalonannya
sebagai Cawapres. Menurutnya, tidak ada istilah terpecah di antara warga NU, karena
selamanya NU memilih beberapa jurusan. Semua menentukan pilihan masing-masing dan itu
boleh-boleh saja.
Perihal tidak adanya restu Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) KH Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001)
Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001)
Gus Dur), atas pencalonannya, Hasyim mengatakan, dia bukan orang partai sehingga tidak
perlu restu pengurus partai.
Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Yusuf Hasyim menegaskan,
cocok tidaknya Megawati–Hasyim tidak tergantung penilaian para nahdliyin, melainkan
tergantung pasangan itu sendiri. Yusuf menegaskan bahwa NU ingin menghilangkan kesan
feodal, yakni memberi restu, dukungan, dan izin. Itu urusan pribadi. "Kalau bagus, tanpa
didukung pun akan berhasil," ujarnya. Yusuf Hasyim berpesan agar umat Islam jangan keliru
memilih presiden. Umat jangan memilih presiden hanya berdasarkan figur, tetapi juga
melihat aktor intelektual di belakang pencalonan.
Sementara, pada temu pers saat pendaftaran Capres-Cawapres Mega-Hasyim ke KPU
Rabu 12 Mei 2004, Hasyim kembali menegaskan bahwa dirinya tidak akan mundur dari
posisi ketua umum PB NU, meskipun berkiprah sebagai cawapres. "Menurut aturan internal
NU, saya harus nonaktif hanya selama masa kampanye. Selebihnya bukan peraturan, tapi
kemauan. Perkara mendapatkan berapa suara, ya itu bukan untuk dipertanyakan, tapi
diperjuangkan," tegasnya.
Hasyim Muzadi berjanji jika terpilih jadi Wapres akan berupaya meningkatkan
martabat kebudayaan Indonesia, mendorong kerja sama lintas parpol, serta menguatkan
ekonomi kelas menengah ke bawah. Dia juga bertekad meningkatkan kualitas kehidupan
beragama sekaligus memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Menurutnya, ada satu
ironi, Indonesia dipimpin orang-orang beragama, tapi uangnya juga digerogoti orang-orang
beragama.
Bukan Demi Kekuasaan
Sebelumnya, diperkirakan KH Hasyim Muzadi akan dicalonkan oleh PKB sebagai
capres atau cawapres. Namun terganjal dengan adanya keinginan mencalonkan KH Presiden
Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid. Ia juga drekomendasikan
PB NU kepada PKB agar dicalonkan. Walau tampaknya Presiden Republik Indonesia
Keempat (1999-2001) Gus Dur kurang menyukai pencalonan Hasyim Muzadi ini. Sehingga
tampak kepermukaan kekurangharmonisan hubungan mereka.
Tetapi Badan Otonom Pendiri Nahdlatul Ulama 1926 Nahdlatul Ulama, yang terdiri
dari GP Ansor, Muslimat, Fatayat, Ikatan Pelajar NU (IPNU), dan Ikatan Putra-Putri NU
(IPPNU), meminta PKB mencalonkan Ketua Umum PBNU ini sebagai pendamping KH
Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid.
Dalam rapat pleno PBNU, Jumat di Jakarta, Sekjen IPNU Syamsudin Pay
membacakan hasil kesepakatan lima badan otonom NU itu. Selain itu Ketua PBNU Andi
Jamaro Dulung juga membacakan surat 22 Pengurus Wilayah (PW) NU dengan permintaan
serupa.
Rapat itu dihadiri Rais Aam KH Sahal Mahfudz, Wakil Rais Aam KH Fachrudin
Masturo, Katib Aam Masdar Farid Mas'udi, dan beberapa anggota Syuriah PBNU seperti KH
Dimyati Rais yang menjadi Ketua Dewan Syura Partai Kejayaan Demokrasi (Pekade)
pimpinan Matori Abdul Djalil.
Organisasi yang berada di bawah naungan NU juga meminta NU berkomunikasi
dengan kekuatan strategis bangsa, termasuk TNI dan partai politik, untuk bekerja sama
menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Perihal pencalonannya, KH Hasyim Muzadi menegaskan, permintaan dari berbagai
pihak sudah berdatangan tetapi belum dijawab. "Ini bukan masalah pribadi saya, tetapi NU.
Kalau NU belum memutuskan apa-apa ya saya tidak berbuat apa-apa," katanya.
Beberapa partai juga sempat melirik Hasyim Muzadi untuk diajak berkoalisi. Di
antaranya, Presiden Republik Indonesia Kelima (2001-2004) PDIP, Golkar dan PAN. Namun
menurut pengakuan kyai pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini
Ketua Umum PDI-P yang lebih dulu menghubunginya.
Sementara, ia sendiri sejak semula berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam
terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk
kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi
kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin,
tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di
politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak membawa bendera NU secara
kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang.
Namun menurutnya, sepanjang mereka membawa visi nasional Indonesia secara utuh,
akan disambut baik. NU akan merespons siapapun ketika yang dibicarakan itu masalah
nasional dan utuh. Ketika mereka melakukan (atau) tampil sebagai partisan politik, itu ya
terserah anggota, mau pilih atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai