Anda di halaman 1dari 108

GERAKAN SOSIAL POLITIK:

STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL”


SUMATERA TIMUR 1946

SKRIPSI

Aulia Adam

110906058

Dosen Pembimbing: Warjio, MA, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AULIA ADAM (110906058)

GERAKAN SOSIAL POLITIK: STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL”


SUMATERA TIMUR 1946.
Rincian isi Skripsi, 91 halaman, 2 gambar, 20 buku, 5 jurnal, 2 dokumen, 4 situs
internet.

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi


Sosial” Sumatera Timur 1946. Tujuan penelitian ini akan menguraikan faktor politis
yang melatarbelakangi pecahnya pembantaian massal terhadap bangsawan-
bangsawan Sumatera Timur pada Maret 1946, dan pola pergerakan yang terjadi.
Sumatera Timur sendiri adalah sebuah keresidenan yang merupakan cikal bakal
terbentuknya Sumatera Utara.Pasca kemerdekaan Indonesia, sebuah gerakan terjadi
di Sumatera Timur hingga menewaskan banyak sekali kaum bangsawan.Teori yang
digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah Teori Struktur Kesempatan Politik
milik David McAdam dan Peter Eisinger.
Sederhananya, Teori Struktur Kesempatan Politik mengupas sebuah gerakan
sosial yang terjadi karena perubahan struktur politik.Sehingga teori ini dapat
digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah faktor dan pola pergerakan yang
terjadi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
jenis penelitian deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi
kepustakaan dan wawancara.
Dari penelitian ini, tergambarkan bahwa latar belakang politis kental menjadi
sebab-musabab terjadinya gerakan sosial ini.Struktur politik yang berbentuk
keresidenan atau kesultanan di Sumatera Timur hendak digantikan dengan sistem
republik yang dianut sebagian besar pejuang nasional.Pola pergerakan yang terjadi
juga sesuai dengan Teori Struktur Kesempatan milik Peter Eisinger.Di mana gerakan
sosial politik di Sumatera Timur bermula dari lembaga-lembaga politik di
keresidenan itu mengalami keterbukaan, kemudian tidak adanya keseimbangan
politik namun keseimbangan politik baru belum terbentuk.Fase berikutnya adalah
pemanfaatan konflik antara elite politik yang dijadikan kesempatan berontak oleh
para pelaku gerakan.Terakhir, gerakan sosial politik di Sumatera Timur muncul
ketika pelaku perubahan bersatu dengan elite untuk melakukan perubahan.

(Kata Kunci: Gerakan, Sosial, Politik, Revolusi Sosial Sumatera Timur)

i
AULIA ADAM (110906058)

SOCIAL AND POLITICAL MOVEMENTS: DESCRIPTIVE STUDY “SOCIAL


REVOLUTION” OF EAST SUMATRA 1946.
Content, 91 pages, 2 graphichs, 20 books, 5 journals, 2 document, 5 websites.

ABSTRACT

This study entitled Social and Political Movements: Descriptive Study “Social
Revolution” of East Sumatra, 1946. The purpose of this study will outline the
political factors behind the outbreak of the mass murder of the noblemen East
Sumatra in March 1946, and the movement patterns that occurred. East Sumatra itself
is a residency which is a forerunner to establishment of North Sumatra. Post-
independence Indonesia, a movement occurred in East Sumatra, killing a lot of
nobility. Theory of Political Opportunity Structures is used to analyze this problem.
The theory is owned by David McAdam and Peter Eisinger.
Simply put, Theory of Political Opportunity Structure peeling a social
movement that occurs due to changes in the political structure. So this theory can be
used as an analysis knife to dissect the movement patterns that occurred. The method
used is a method of qualitative research with descriptive research. Data collection
techniques performed by the method of literature study and interviews.
From this study, we can see that the political background condensed into the
root cause of this social movement. Political structure in the form of residency or the
empire in East Sumatra was about to be replaced with a republican system adopted b
most national fighters. Movement patterns that occurred also in accordande with the
theory political opportunity structure belonging to Peter Eisinger. In which political
and social movements in East Sumatra stems from political institutions in the
residency experience openness, then the absence of political balance but has not yet
formed a new political equilibrium. The next phase is the utilization of a conflict
between the political elite who used the opportunity to rebel by the perpetrators of the
movement. Last, socio-political movements in East Sumatra arise when agents of
change together with the elites to make changes.

(Keyword: Movement, Social, Political, Politics, Social Revolution East Sumatra)

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Aulia Adam


NIM : 110906058
Judul : Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera
Timur 1946
Dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Majelis Penguji:
Ketua :
Nama ( )
NIP
Penguji Utama:
Nama ( )
NIP
Penguji Tamu:
Nama ( )
NIP

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:


Nama : Aulia Adam
NIM : 110906058
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi Sosial” Sumatera
Timur

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si) (Warjio, MA, Ph.D)


NIP. 196806301994032001 NIP. 197408062006041003

Mengetahui:
Dekan FISIP USU

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


NIP. 196805251992031002

iv
Karya ini dipersembahkan untuk

Ayahanda dan Ibunda Tercinta

v
Kata Pengantar

Skripsi yang berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi


Sosial” Sumatera Timur 1946ini bermula dari terlibatnya peneliti dalam proses
penyuntingan laporan yang diterbitkan Pers Mahasiswa SUARA USU untuk
majalahnya edisi V yang terbit 2014 lalu. Peneliti sendiri melihat banyak sekali hal
yang bisa dikaji dari peristiwa berdarah yang terjadi terjadi di Sumatera Timur, yang
merupakan cikal bakal terciptanya Sumatera Utara ini.Selama ini, penelitian yang
hadir hanya datang dari disiplin ilmu sejarah.Padahal di balik tragedi ini, banyak
sekali unsur politis yang bisa diungkap oleh para peneliti dari ilmu terapan politik
sendiri.

Dalam pengerjaan skripsi ini, peneliti ingin bersyukur kepada Allah SWT
yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan serta mengelilingi peneliti dengan
orang-orang luar biasa baik hati.Untuk itu, kepada mereka peneliti mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.

Terutama kepada kedua orangtua peneliti yang kehadirannya jadi alasan


utama mengapa skripsi ini bisa selesai.Terima kasih peneliti ucapkan kepada
keduanya atas kesabaran yang begitu berlimpah-limpah dalam menghadapi anak
bebal seperti peneliti.Sekali lagi, kepada keduanya peneliti haturkan terima kasih
seumur hidup.

Dengan segala kerendahan hati, tidak lupa pula penulis mengucapkan


terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Dra. T. IrmayaniM.Sos selaku Ketua Departemen Ilmu Politik serta atas
segala bantuan dan dukungannya yang sangat bergunaa dan bermanfaat bagi
penulis.

vi
3. Bapak Warjio, MA, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan, arahan, dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.
4. Kepada seluruh staf pengajar FISIP.
5. Kepada seluruh teman-teman peneliti yang kehadirannya benar-benar
mendorong semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai titik kesempurnaannya karena
adanya kekurangan atau apapun.Penulis mengaharapkan kepada para pembaca untuk
dapat memberikan kritikan dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi
ini sehingga penulis dan para pembaca dapat menjadikan skripsi ini sebuah
pengetahuan yang dapat dipahami oleh banyak pihak.

Penulis

Aulia Adam

vii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................. i

Abstrak .......................................................................................................... ii

Abstract ......................................................................................................... iv

Halaman Pengesahan ................................................................................... v

Halaman Persetujuan .................................................................................. vi

Lembar Persembahan.................................................................................. vii

Kata Pengantar ............................................................................................ viii

Daftar Isi ....................................................................................................... x

Daftar Gambar ............................................................................................. xiv

BAB I: PENDAHULUAN.......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 9

1.3 Pembatasan Masalah ................................................................................ 12

1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 13

1.6 Kerangka Teori......................................................................................... 13

1.6.1 Teori Struktur Kesempatan Politik .................................................. 13

1.7 Metode Penelitian..................................................................................... 18

1.7.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 19

viii
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 19

1.7.4 Teknik Analisa Data......................................................................... 21

1.8 Sistematika Penulisan .............................................................................. 22

BAB II: PROFIL SUMATERA TIMUR................................................. 23

2.1 Profil Sumatera Timur.............................................................................. 23

2.1.1 Kondisi Sosial Ekonomi................................................................... 25

2.1.2 Kondisi Sosial Politik....................................................................... 35

BAB III: KRONOLOGI DAN POLA GERAKAN SOSIAL POLITIK DI


SUMATERA TIMUR PADA MARET 1946........................................... 54

3.1 Kronologi Pembantaian Bangsawan Sumatera Timur 1946 .................... 55

3.1.1 Tanah Karo ....................................................................................... 56

3.1.2 Simalungun ...................................................................................... 56

1. Kerajaan Panei ................................................................................. 57

2. Tanoh Jawa....................................................................................... 60

3. Kerajaan Siantar ............................................................................... 60

4. Kerajaan Purba ................................................................................. 62

5. Kerajaan Silikmakuta ....................................................................... 63

6. Kerajaan Sologsilou ......................................................................... 63

7. Kerajaan Raya .................................................................................. 63

3.1.3 Serdang............................................................................................. 65

3.1.4 Asahan .............................................................................................. 65

ix
3.1.5 Kualuh .............................................................................................. 67

3.1.6 Langkat ............................................................................................. 68

3.2 Analisis Pola Gerakan Sosial Politik di Sumatera Timur pada Maret 1946 69

3.3 Bukan Revolusi Sosial ............................................................................. 81

BAB IV: PENUTUP.................................................................................... 87

4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 87

4.2 Saran......................................................................................................... 91

Daftar Pustaka.............................................................................................. xv

Daftar Lampiran:

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Lampiran 2. Transkrip Wawancara dengan Bapak Suprayitno

Lampiran 3. Transkrip Wawancara dengan Bapak Phil Ichwan Azhari

Lampiran 4. Transkrip Wawancara dengan Bapak Tengku Muhammad Yasir

Lampiran 5. Transkrip Wawancara dengan Bapak Tengku Zulkifli

x
DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar

Gambar 3.1 Diagram Sebab-Akibat Milik McAdam ..................................... 71

Gambar 3.2 Pola Gerakan Sosial Politik yang Terjadi di Sumatera Timur.... 79

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AULIA ADAM (110906058)

GERAKAN SOSIAL POLITIK: STUDI DESKRIPTIF “REVOLUSI SOSIAL”


SUMATERA TIMUR 1946.
Rincian isi Skripsi, 91 halaman, 2 gambar, 20 buku, 5 jurnal, 2 dokumen, 4 situs
internet.

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Gerakan Sosial Politik: Studi Deskriptif “Revolusi


Sosial” Sumatera Timur 1946. Tujuan penelitian ini akan menguraikan faktor politis
yang melatarbelakangi pecahnya pembantaian massal terhadap bangsawan-
bangsawan Sumatera Timur pada Maret 1946, dan pola pergerakan yang terjadi.
Sumatera Timur sendiri adalah sebuah keresidenan yang merupakan cikal bakal
terbentuknya Sumatera Utara.Pasca kemerdekaan Indonesia, sebuah gerakan terjadi
di Sumatera Timur hingga menewaskan banyak sekali kaum bangsawan.Teori yang
digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah Teori Struktur Kesempatan Politik
milik David McAdam dan Peter Eisinger.
Sederhananya, Teori Struktur Kesempatan Politik mengupas sebuah gerakan
sosial yang terjadi karena perubahan struktur politik.Sehingga teori ini dapat
digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah faktor dan pola pergerakan yang
terjadi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
jenis penelitian deskriptif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi
kepustakaan dan wawancara.
Dari penelitian ini, tergambarkan bahwa latar belakang politis kental menjadi
sebab-musabab terjadinya gerakan sosial ini.Struktur politik yang berbentuk
keresidenan atau kesultanan di Sumatera Timur hendak digantikan dengan sistem
republik yang dianut sebagian besar pejuang nasional.Pola pergerakan yang terjadi
juga sesuai dengan Teori Struktur Kesempatan milik Peter Eisinger.Di mana gerakan
sosial politik di Sumatera Timur bermula dari lembaga-lembaga politik di
keresidenan itu mengalami keterbukaan, kemudian tidak adanya keseimbangan
politik namun keseimbangan politik baru belum terbentuk.Fase berikutnya adalah
pemanfaatan konflik antara elite politik yang dijadikan kesempatan berontak oleh
para pelaku gerakan.Terakhir, gerakan sosial politik di Sumatera Timur muncul
ketika pelaku perubahan bersatu dengan elite untuk melakukan perubahan.

(Kata Kunci: Gerakan, Sosial, Politik, Revolusi Sosial Sumatera Timur)

i
AULIA ADAM (110906058)

SOCIAL AND POLITICAL MOVEMENTS: DESCRIPTIVE STUDY “SOCIAL


REVOLUTION” OF EAST SUMATRA 1946.
Content, 91 pages, 2 graphichs, 20 books, 5 journals, 2 document, 5 websites.

ABSTRACT

This study entitled Social and Political Movements: Descriptive Study “Social
Revolution” of East Sumatra, 1946. The purpose of this study will outline the
political factors behind the outbreak of the mass murder of the noblemen East
Sumatra in March 1946, and the movement patterns that occurred. East Sumatra itself
is a residency which is a forerunner to establishment of North Sumatra. Post-
independence Indonesia, a movement occurred in East Sumatra, killing a lot of
nobility. Theory of Political Opportunity Structures is used to analyze this problem.
The theory is owned by David McAdam and Peter Eisinger.
Simply put, Theory of Political Opportunity Structure peeling a social
movement that occurs due to changes in the political structure. So this theory can be
used as an analysis knife to dissect the movement patterns that occurred. The method
used is a method of qualitative research with descriptive research. Data collection
techniques performed by the method of literature study and interviews.
From this study, we can see that the political background condensed into the
root cause of this social movement. Political structure in the form of residency or the
empire in East Sumatra was about to be replaced with a republican system adopted b
most national fighters. Movement patterns that occurred also in accordande with the
theory political opportunity structure belonging to Peter Eisinger. In which political
and social movements in East Sumatra stems from political institutions in the
residency experience openness, then the absence of political balance but has not yet
formed a new political equilibrium. The next phase is the utilization of a conflict
between the political elite who used the opportunity to rebel by the perpetrators of the
movement. Last, socio-political movements in East Sumatra arise when agents of
change together with the elites to make changes.

(Keyword: Movement, Social, Political, Politics, Social Revolution East Sumatra)

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Gerakan sosial di Indonesia merupakan bagian terpenting serta tak terpisahkan

dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan Indonesia itu sendiri,

pada dasarnya tidaklah semata-mata muncul dari gerakan bersenjata, tapi juga lewat

gerakan sosial, yang tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran sejumlah kaum

muda, waktu itu, akan realitas. Gerakan inilah yang kemudian memaksa Sukarno dan

Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Gerakan sosial pula

yang kemudian mengukuhkan semangat kemerdekaan itu dengan melakukan sebuah

rapat besar di Lapangan Ikada.Sejak itu, gerakan sosial seakan-akan menjadi

penyebab utama perubahan Indonesia. 1 Bahkan kelak, setelah 21tahun Sukarno

berkuasa, Orde Lama tumbang karena gerakan sosial. Digantikan Soeharto sebagai

penguasa Orde Baru yang tumbang juga karena gerakan sosial setelah 32 tahun

berkuasa.

Giddens mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu upaya atau gerakan

untuk mencapai kepentingan dan tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective

action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.Pendapat serupa juga

diutarakan oleh Tarrow.Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik

perlawanan yang dilakukan oleh rakyat biasa yang bergabung dengan kelompok

1
Hosnan. 2011. Gerakan Sosial Politik Dalam Mewujudkan Demokratisasi. Universitas Airlangga. Press.Political
Science, Juli 2011.

1
masyarakat yang lebih berpengaruh. Menggalang kekuatan bersama dengan tujuan

melawan para elite, pemegang otoritas ataupun pihak-pihak lawan yang lain.

Perlawanan ini berubah menjadi sebuah gerakan sosial ketika didukung oleh jaringan

sosial yang kuat serta resonansi kultural dan simbol-simbol aksi yang menimbulkan

interaksi berkelanjutan dengan pihak lawan. 2

Sementara gerakan menurut kamus antropologi adalah aktivitas dan terencana

dan berulang-ulang yang dilancarkan berbagai macam organisasi untuk mewujudkan

cita-cita atau tujuan.Sedangkan gerakan sosial, adalah suatu gerakan dari kelompok

sosial untuk kepentingan sosial dan tujuan sosial, sehingga dapat mempertahankan,

mengubah, dan mengganti atau menghapus hal-hal yang kurang sesuai dari suatu

masyarakat.Sedangkan menurut kamus sosiologi, gerakan sosial adalah suatu

organisasi informal yang mungkin mencakup unit-unit yang terorganisasi secara

formal yang bertujuan mencapai tujuan-tujuan tertentu. 3

Pada awal kemerdekaan, gerakan sosial seolah menjadi sebuah tren

tersendiri.Gerakan demikian dimanfaatkan sebagai sebuah media untuk mencapai

kepentingan tertentu terutama dalam segi pemerintahan.Salah satu gerakan sosial

yang paling awal terjadi pascarkemerdekaan adalah ‘Pembantaian Massal’terhadap

kaum bangsawan di Sumatera Timur yang memuncak pada 4 Maret 1946.

2
Putra, Fadillah dkk.Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di
Indonesia. Malang: Averroes Press, 2006. Hal. 1
3
Sinuhaji, Wara.2007. Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera
Timur Maret 1946. Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI/Januari
2007

2
Definisi gerakan di atas sangat sesuai untuk manggambarkan dan

menganalisis peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur.Gerakan sosial di Sumatera

Timur merupakan gerakan dari kelompok sosial yang bertujuan untuk mengubah,

mengganti, dan menghapus hal-hal yang kurang sesuai dengan tata sosial suatu

masyarakat. Peristiwa Maret 1946 digerakkan oleh Persatuan Perjuangan atau

Volksfrontyang merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di

Sumatera Timur—di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan Gerindo,

Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau golongan

pemuda radikal yang prorepublik. Masa antara 1945-1947 adalah masa–masa revolusi

fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, antifeodalisme, dan imperialisme

merupakan senjata untuk mencegah kembalinya kekuasaan penjajah. 4

Mengutip Reid, dalam bukunya Blood of the People, istilah Revolusi Sosial

yang menggambarkan tragedi berdarah 4 Maret 1946 dicetuskan pertama kali oleh dr.

Amir, Wakil Gubernur Sumatera Timur kala itu. 5Revolusi ini dipicu oleh gerakan

kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan

antifeodalisme, anti dengan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar

kepada golongan bangsawan.Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung

pada pembunuhan anggota keluarga Kesultanan Melayu, yang dikenal pro-Belanda

namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi

4
Sinuhaji, Wara. 2007. Op.cit.
5
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.Hal. 542.

3
Republik Indonesia. 6 Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Dan

yang paling ‘berdarah’ adalah Kerajaan Langkat, juga Asahan. 7

Namun, dalam penelitian ini, istilah Revolusi Sosial akan diganti dengan

istilah Pembantaian Massal. Hal ini disebabkan makna revolusi sosial tak sesuai

dengan fakta sebenarnya yang terjadi pada Maret 1946 tersebut. Menurut Kepala

Peneliti Pusat Studi Ilmu Sejarah (Pusis) Universitas Negeri Medan Phil Icwan

Azhari, istilah Pembantaian Massal jauh lebih tepat digunakan. Sebab gerakan sosial

politik yang terjadi bukanlah revolusi sosial, melainkan sebuah gerakan yang

akhirnya kebablasan. 8Secara teoritis, revolusi adalah wujud perubahan sosial paling

spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan

ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulangmanusia. Revolusi tidak

menyisakan apapun dari keadaan sebelumnya. 9Sehingga memperkuat, bahwa

pembantaian ini sukar disebut sebagai sebuah revolusi sosial.

Perihal Langkat, terjadinya pembantaian tersebut bermula saat Sukarno-Hatta

menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di

Jakarta. Kabar tersebut sampai di Langkat setelah utusan dari Sumatera, M. Amir dan

Tengku Hassan kembali dari Jawa. Setelah informasi kemerdekaan tersebut menyebar

di Sumatera Timur, barulah pada 4 Oktober 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di

6
Kahin, George McTurnan. 2003. Nasionalism and Revolution in Indonesia.Cornell University Press.Hal 412.
7
http://www.lenteratimur.com/maret-berdarah-di-sumatera-timur-67-tahun-silam/ diakses 24 Maret 2015.Pukul
13.28 WIB.
8
Hasil wawancara dengan Bapak Phil Ichwan Azhari pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 12.59 WIB di Kantor Prodi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sejarah, Unimed.
9
Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Prenada Media. (Terj)Hal. 357.

4
Sumatera dan sekitarnya. 10 Pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud yang saat itu

menjabat sebagai pimpinan Istana Kerajaan Langkat kemudian menyatakan

penggabungan negaranya dengan Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, sejak tanggal 22 Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu

menduduki beberapa tempat penting untuk melucuti senjata dan memulangkan tentara

Jepang.Operasi tersebut dimulai dari Gebang, Berahrang, hingga ke beberapa tempat

lainnya.Lalu pada akhir tahun saat tentara Sekutu melakukan razia di Tebingtinggi,

mereka juga sempat mengadakan kunjungan kehormatan kepada Sultan Langkat yang

saat itu sebagai penguasa daerah.Kaum Komunis dan Kaum Kiri lainnya

menggunakan peristiwa ini sebagai fitnah adanya konspirasi bahwa Sultan Langkat

adalah orang yang anti Republik. 11Walaupun, pada beberapa literatur mengatakan

penyebab pembantaian ini adalah lalainya para Sultan dan Raja menjalankan sistem

pemerintahan baru, yaitu demokrasi yang telah dijanjikan sesuai dengan Undang-

undang Republik Indonesia. 12

Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar pun

terus terjadi, hingga ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Malam itu, Bupati

Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan dibawa ke

Kebon Lada (daerah Pungai).Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat Hilir sekaligus

seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui

10
Pandji Ra’jat. 1947. Akibat Revoloesi Sosial di Soematera Timoer, 43 Familie Sultanaat Langkat Diboenoeh.
11
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Op. cit. Hal 492-493.
12
Prihantoro, Moegi. 1984. Perang Kemerdekaan di Sumatera 1945-1950. Medan: Dinas Sejarah Kodam II Bukit
Barisan Tinggi.

5
gagasan Indonesia.Mereka kemudian disiksa dan dipancung oleh algojo Mandor

Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat. 13

Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh.Ia ditangkap dan diasingkan

hingga kemudian wafat karena sakit. Kedua putri Sultan Mahmud sempat diperkosa

di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah pemerkosaan itu menjadi cerita turun

temurun di keluarga mereka hingga saat ini. Pada memoar itu juga tercantum kutipan

dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah suaminya

yang diculik.Kutipan itu diambil dari buku hariannya. 14

Suatu pagi di Bulan Maret 1946. Serombongan Barisan Pemuda


berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat di depan Istana Binjai. Sore,
beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan ‘dipinjam’
sebentar. Nanti akan dibawa kembali….

Kini, jika berkunjung ke Mesjid Azizi di Tanjung Pura, kita akan menemukan

makam Tengku Amir Hamzah dan petinggi Kerajaan Melayu lainnya, yang telah

dipindahkan dari kuburan korban pembantaian di Kebon Lada pada tahun 1948 lalu.

Itulah alasan mengapa Aziddin dalam bukunya Revolutie Antie Sociaal

mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh

rakyat Indonesia.Ia menyebutnya sebagai hari paling jahat dan paling kejam yang

dilakukan oleh Volksfront. Selain dimotori oleh PKI, mereka juga kerap disebut-sebut

berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia

13
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Op. cit. Hal 494.
14
http://www.lenteratimur.com/maret-berdarah-di-sumatera-timur-67-tahun-silam/ diakses 24 Maret 2015.Pukul
13.28 WIB.

6
(Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa

dari perkebunan serta kaum tani. 15

Pembantaian ini tak hanya melanda Langkat. Seluruh residen dalam kawasan

Sumatera Timur juga mengalami hal yang sama dalam rentang 3-4 Maret 1946.

Wilayah kesultanan Melayu di Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh

(Tamiang) sampai Siak (kini propinsi Riau). Oleh pemerintah Hindia Belanda,

disebut sebagai wilayah “keresidenan Sumatera Timur, yang terdiri dari wilayah

kerajaan Langkat (yang berbatasan dengan Residensi Aceh), kerajaan Deli, Kerajaan

Serdang (wilayahnya kini dalam Kabupaten Deli-Serdang dan Kabupaten Serdang

Bedagai), kerajaan Asahan, kedatukan di Batubara, kerajaan Panai, kerajaan Bilah,

kerajaan Kota Pinang dan kerajaan Kualuh-Leidong di Kabupaten Asahan dan

kabupaten Labuhan Batu, kerajaan Simalungun dan kerajaan-kerajaan di Tanah Karo.

Kecuali kesultanan Serdang, seluruh kesultanan Melayu di Sumatera Timur dibantai

oleh segerombolan pemuda yang mengatasnamakan berbagai kelompok. 16

Jalannya gerakan sosial politik menurut para sosiolog berada dalam sepuluh

tahapan, yang pertama sekali didahului oleh kondisi khas yang disebut “revolutionary

prodrome” yang ditandai oleh ketidakpuasan, keluhan, kekacauan, dan konflik yang

disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selanjutnya menjalar pada perpindahan

15
Loc. cit.
16
http://ikhti.blogspot.com/2013/06/revolusi-sosial-di-sumatera-timur.html. Diakses pada 26 Maret 2015. Pukul:
16.53.

7
kesetiaan intelektual sebagai hasil agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu

seperti penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim yang lama. 17

Dari paparan teoritis ini, gerakan sosial politik muncul akibat adanya

ketidakpuasan yang selanjutnya disulut oleh agitasi dan provokasi dari pihak-pihak

yang berkepentingan dengan menunjukkan kelemahan atau rasa kebencian pada

rezim yang akan dijatuhkan. Artinya suatu revolusi tidak pernah berjalan spontan, dia

berada dalam posisi direncanakan secara rapi dengan memanfaatkan situasi

ketidakpuasan publik. Jadi sangat tidak benar bila dikatakan bahwa pembantaian

massal di Sumatera Timur itu adalah suatu peristiwa yang berjalan spontan. Kasus

revolusi sosial (yang pertama sekali diungkapkan oleh dr. Amir) yang terjadi di

Sumatera Timur itu betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara

matang oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan dengan pembantaian para

kaum bangsawan dan cendekiawan Sumatera Timur itu. Untuk kasus di Sumatera

Timur, sudah jelas otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar perikemanusiaan

itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utama

Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin, dan

Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. 18

Sementara, motif lain pembantaian kaum aristokrat dan cendekiawan

Sumatera Timur dianggap lebih dominan pada intrik politik dan balas dendam,

menurut salah satu saksi mata Maxinius Hutasoit, “Sudah tentu bahwa dalam revolusi

17
Sztompka, Piotr. 2005. Ibid. Hal. 364
18
Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, volume 1 (Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik
Indonesia Medan Area, 1976), Hal. 628.

8
sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada

hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan

sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh

pelampiasannya”. 19Tidak banyaknya sumber yang bisa menjadi rujukan,

menyebabkan peristiwa yang terjadi pada Maret 1946 ini masih diliputi misteri. Sulit

mencari apa sebenarnya yang terjadi, bagaimana kronologisnya, siapa aktor yang

bergerak dan apa yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi? Bahkan dalam kajian

sejarah di sekolah-sekolah, peristiwa ini tak tersentuh dalam kurikulum. 20Kejadian ini

telah berlangsung lama, sehingga pelaku langsung banyak yang telah berpulang ke

Ilahi. Kalaupun ada, kendala utama lainnya cukup jelas: ingatan selalu ada

batasnya. 21

Kebanyakan literatur yang ada fokus pada pengungkapan keping-keping

sejarah.Mengungkap kronologis pembantaian tersebut.Para peneliti lebih sering

datang dari ilmu sejarah.Dan sedikit sekali yang fokus meneliti gerakan sosial yang

terjadi.Misalnya, dari politik yang melatarbelakangi terjadinya revolusi sosial ini.

Atau bagaimana gerakan ini bisa “sukses” terjadi dan berhasil menewaskan 140

orang, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas

tengku. 22

19
Hutasoit, Marnixius. 1986.Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta: BPK Gunung Mulia.Hal. 46.
20
http://ikhti.blogspot.com/2013/06/revolusi-sosial-di-sumatera-timur.html. Diakses pada 26 Maret 2015. Pukul:
16.53.
21
SUARA USU. 2014.Sejarah Kabur, Sejarah Mungkin Terulang. Majalah Pers Mahasiswa SUARA USU Ed. V.
22
Wara Sinuhaji.2007. Op. cit.

9
1.2.Perumusan Masalah

Gerakan sosial politik merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam politik

yang memiliki pengertian yang berbeda dengan partai politik maupun kelompok

kepentingan. Gerakan sosial politik mempunyai pengertian “social movement are

collective challenges by people with common purposes and solidarity in sustained

interaction with elites, opponents and authorities”. 23Pengertian tentang gerakan

sosial politik juga dikemukakan oleh Rudorf Haberle bahwa gerakan sosial

mengandung pengertian gerakan bersama, yaitu suatu bentuk kekacauan di antara

manusia, kegelisahan, serta usaha bersama untuk mencapai tujuan yang

divisualisasikan, khususnya suatu usaha untuk merubah dalam kelembagaan sosial

tertentu. Gerakan sosial ini muncul dikarenakan adanya ketidaksamaan antara

harapan dengan kenyataan atau yang biasa dikenal dengan nama deprivasi

relatif.Gerakan sosial dapat berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan

masyrakat.Gerakan ini dapat disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan

hingga politik. 24Perkembangan gerakan sosial membawa gerakan sosial menjadi lebih

berfokus untuk memanfaatkan aspek politik.Aspek ini dinilai menjadi alternatif

paling tepat demi memperoleh tujuannya. 25

Gerakan sosial dalam proses politik memiliki kesempatan untuk melakukan

perubahan struktur politik. Prosesnya melalui pembentukan identitas bersama yang

tersusun secara legal dan terlegitimasi.Perubahan struktur politik didalamnya

23
Tarrow. 1994. Power in Movement: Social Movement, Collective Action, and Politics. New York: Cambridge
University Press. Hal. 12
24
Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. University of Maryland.Hal 753.
25
Ritzer, George. 2005. Ibid. Hal 368.

10
mencakup banyak aspek.Diantaranya meliputi tradisi kebudayaan dan politik, rasa

kebersamaan, ideologi, serta praktik hegemoni.Teori proses politik dalam gerakan

sosial menekankan pada isu sosial makro yang memungkinkan tumbuhnya gerakan

sosial. Menurut McAdam, ekonomi dan khususnya politik menjadi faktor utama yang

berkepentingan dalam gerakan sosial.

Peristiwa Maret digerakkan oleh Persatuan Perjuangan atau Volksfrontyang

merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di Sumatera Timur—di

mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan Gerindo, Partai Komunis Indonesia

(PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau golongan pemuda radikal yang

prorepublik. Masa antara 1945-1947 adalah masa–masa revolusi fisik di mana jargon-

jargon nasionalisme, antifeodalisme, dan imperialisme merupakan senjata untuk

mencegah kembalinya kekuasaan penjajah.Para pemimpin organisasi dan sebagian

masyarakat memandang kekuasaan feodal sebagai penghalang revolusi nasional

Indonesia yang mengandung nilai-nilai anti-kolonialisme, antifeodalisme,

nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi merupakan gejolak-gejolak yang

mendorong revolusi sosial.Golongan bawah yang merupakan objek eksploitasi

kolonial yang dihasilkan oleh kolaborasi pemerintah Hindia Belanda, planters, dan

kaum bangsawan menganggap saat ini adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan

dendamnya.Golongan ini sangat mudah memobilisasi. 26

Maka penelitian ini hadir untuk menjawab pertanyaan: bagaimana gerakan

yang dilakukan oleh volksfront berhasil meletuskan gerakan sosial politik pada 3

26
Sinuhaji, Wara. 2007. Ibid.

11
hingga 4 Maret 1946 di Sumatera Timur. Untuk itu disusun rumusan masalah yang

akan coba dijawab oleh penelitian ini. Berikut adalah rumusan masalah yang akan

dijawab pada bab berikutnya:

1. Bagaimana latar belakang politis di balik gerakan sosial yang terjadi di

Sumatera Timur pada 1946?

2. Bagaimana pola gerakan sosial yang terjadi hingga bisa meletuskan

pembantaian massal?

1.3. Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan

mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan

masalah yang akan diteliti adalah gerakan sosial politik yang berujung pada

pembantaian bangsawan yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946.Definisi

Sumatera Timur yang digunakan adalah definisi Keresidenan Sumatera Timur oleh

Belanda.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang politis di balik Gerakan Sosial Sumatera

Timur pada Maret 1946.

2. Untuk menganalisis pola gerakan sosial politik dalam Gerakan Sosial

Sumatera Timur pada Maret 1946.

12
1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat

memberikan kontribusi mengenai gerakan sosial politik terkhusus pada

studi pola gerakan sosial politik.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapatmemberikan pengetahuan

tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai

tingkatan pendidikan.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat

sebagai referensi rujukan untuk memahami latar belakang politis dalam

Gerakan Sosial yang menyebabkan pembantaian bangsawan di Sumatera

Timur 1946.

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Teori Struktur Kesempatan Politik

Eisinger mengemukakan teori Political Opportunity Structures (POS) atau

struktur kesempatan politik.Mekanisme POS berupaya menjelaskan bahwa gerakan

sosial terjadi disebabkan perubahan dalam struktur politik yang dilihat sebagai

kesempatan. 27 Ada empat hal yang menyajikan definisi sekaligus mendasari POS,

yaitu:

27
Eisinger, Peter. 2009. Theories of Political Protest and Social Movement: A Multidisciplinary Introduction,
Critique, and Synthesis. USA and Canada: Routledge.

13
• The nature of the chief executive

• The mode of aldermanic election

• The distribution of social skill and status

• The degree of social disintegration

Dalam preposisi yang diajukan seperti pada keterangan di atas terlihat bahwa

poinA dan B berbicara mengenai struktur, sedangkan poin C dan D berbicara

mengenai agen atau aktor. Faktor-faktor tersebut, secara individu maupun kelompok,

merupakan faktor untuk mencapai tujuan politik atau bisa juga menghambat tujuan

politik tersebut.Selain itu, terdapat pula faktor governmental responsiveness dan level

of community resources yang dapat membantu pencapaian tujuan politik.

Dalam perkembangannya, POS dapat didefinisikan sebagai Gerakan Sosial

Baru, yang telah jauh berkembang dari Gerakan Sosial Klasik.Teori gerakan sosial

baru adalah muncul sebagai kritik terhadap teori lama sebelumnya yang selalu ada

dalam wacana ideologis kelas khas Marx.Gerakan sosial baru adalah gerakan yang

lebih berorientasi isu dan tidak tertarik pada gagasan revolusi. Dan tampilan dari

gerakan sosial baru lebih bersifat plural, yaitu mulai dari gerakan antirasisme,

antinuklir, feminisme, kebebasan sipil dan lain sebagainya. Gerakan sosial baru

beranggapan bahwa di era kapitalisme liberal saat ini perlawanan timbul tidak hanya

dari gerakan buruh, melainkan dari mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam

sistem produksi seperti misalnya, mahasiswa, kaum urban, kaum menengah. Karena

sistem kapitalisme telah merugikan masyarakat yang berada di luar sistem produksi.

Ada beberapa hal yang baru dari gerakan sosial, seperti berubahnya media hubungan

14
antara masyarakat sipil dan negara dan berubahnya tatanan dan representasi

masyarakat kontemporer itu sendiri.

Gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa

masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan

digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Dan secara radikal Gerakan sosial baru

mengubah paradigma marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah

kelas dan konflik kelas. Sehingga gerakan sosial baru didefenisikan oleh tampilan

gerakan yang non kelas serta pusat perhatian yang non materialistik, dan karena

gerakan sosial baru tidak ditentukan oleh latar belakang kelas, maka mengabaikan

organisasi serikat buruh industri dan model politik kepartaian, tetapi lebih melibatkan

politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput. Dan berbeda dengan gerakan klasik,

struktur gerakan sosial baru didefenisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak,

dan orientasi heterogenitas basis sosial mereka.

Gerakan sosial baru pada umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari

masyarakat sipil, dan membidik domain sosial masyarakat sipil ketimbang

perekonomian atau negara, dan membangkitkan isu-isu sehubungan demoralisasi

struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan perhatian pada bentuk komunikasi

dan identitas kolektif.

Jean Cohen menyatakan Gerakan Sosial Baru membatasi diri dalam empat

pengertian yaitu, (a) aktor-aktor gerakan sosial baru tidak berjuang demi kembalinya

komunitas-komunitas utopia tak terjangkau di masa lalu (b) aktornya berjuang untuk

otonomi, pluralitas (c) para aktornya melakukan upaya sadar untuk belajar dari

15
pengalaman masa lalu, untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran, (d)

para aktornya mempertimbangkan keadaan formal negara dan ekonomi pasar. 28

Eisinger menekankan bahwa protes adalah sebuah fungsi dari kesempatan

politik.Protes juga merupakan tahapan yang paling rendah sebelum terjadinya

gerakan sosial.Ada dua hipotesa mengenai fungsi tersebut, yaitu model linier dan

model curvilinier. Dalam model linier, protes adalah bentuk dari frustrated response,

ketika POS rendah maka protes akan tinggi, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka

protes akan menurun. Dalam model curvilinier, ketika POS rendah maka protes juga

rendah, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka akan meningkatkan protes. Protes

pertama-tama akan meningkat dan kemudian menurun ketika POS meningkat. Hal ini

disebabkan adanya ekspektasi yang meningkat akan terpenuhinya permintaan

individu terhadap politik.

Menurut definisinya, Eisinger membagi POS menjadi dua, yaitu definisi

objektif dan definisi subjektif.Dalam definisi objektif, POS dikaitkan dengan struktur

kesempatan sebagai variabel yang memengaruhi kemungkinan tercapainya tujuan

dari individu ketika kelompok-kelompok aktif secara politik.Perubahan lingkungan

yang mengubah tujuan dari pencapaian tujuan tersebut.Kemungkinan secara objektif

ini dilihat berdasarkan pihak luar.Berbeda dengan definisi objektif, definsi subjektif

melihat tujuan tergantung pada indvidu.Faktor lingkungan dianggap memengaruhi

tindakan politik. Perubahan dalam lingkungan politik menaikkan perubahan dalam

ekspektasi subjektif akan suksesnya pencapaian tujuan.

28
Cohen, Bruce J. 1992. Sosilogi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

16
Eisinger mengemukakan pula variabel tentang sebuah kemunculan gerakan

sosial yang mempergunakan mekanisme POS. Pertama, gerakan sosial muncul ketika

tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan.Kedua,

gerakan sosial muncul ketika keseimbangan politik sedang tidak stabil dan

keseimbangan politik baru belum terbentuk.Ketiga, gerakan sosial muncul ketika para

elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku

perubahan sebagai kesempatan.Keempat, gerakan sosial muncul ketika para pelaku

perubahan bersatu oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk melakukan

perubahan. 29

Teori kesempatan politik menjanjikan sarana untuk memprediksi varians

dalamperiodisitas, gaya, dan isi dari aktivis dari waktu ke waktu dan varians dalam

konteks kelembagaan. Ia menekankan interaksi upaya aktivisdan utamanya politik

kelembagaan. Premis yang mendasari pendekatan ini—bahwa protes di luar lembaga-

lembaga politik mainstream eratterkait dengan kegiatan politik yang lebih

konvensional—hampirsepenuhnyabaru untuk ilmu politik atau sosiologi, namun

aplikasi sistem ini untuk analisis politik protes merupakan langkah penting ke arah

koherensi yang lebih besar dan lebih komparatif dalam memahami berbagai protes

gerakan sosial. 30

Teori POS atau Struktur Kesempatan Politik digunakan dalam penelitian ini

karena relevan dengan permasalahan yang diteliti yaitu mengenai pola gerakan sosial

29
https://satwikobudiono.wordpress.com/2013/01/24/struktur-kesempatan-politik-gerakan-perempuan-di-
indonesia/. Diakses pada 28 Maret 2015.Pukul 10.04 WIB.
30
Meyer, David C, and Debra Minkoff. 2004. Conceptualizing Political Opportunity. The University of North
Carolina Press. Social Forces, June 2004. Hal 1458.

17
yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946.Teori ini dapat digunakan untuk

menganalisis arah tindakan pelaku revolusi sebagai aktor politik yang berhasil

meletuskan gerakan sosial politik tersebut.Sehingga pada akhirnya dapat diperoleh

hasil penelitian yang menunjukkan apakah pola di balik gerakan sosial politik yang

dilakukan oleh sejumlah kelompok kepentingan berhasil meletuskan gerakan sosial

politik pada 4 Maret 1946 di Sumatera Timur.Teori ini juga dianggap paling bisa

menerjemahkan faktor governmental responsiveness dan level of community

resources yang memang jadi fokus utama penelitian ini.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk

mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok

orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses penelitian

kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-

pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para

partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke

tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data. 31

31
John W. Creswell. 2012. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 4-5.

18
1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

deskriptif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk

menjelaskan ihwal masalah-masalah atau objek tertentu secara rinci.Penelitian

deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai

keadaan objek atau subjek amatan secara rinci. 32

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah

teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil

penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan

masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya

dirumuskannya generalisasi yang objektif. 33Dalam penelitian ini yang digunakan

adalah dua jenis pengumpulan data.

a. Studi Pustaka

Penelitian ini akan menggunakan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan

data primernya. Hal ini disebabkan kejadian yang sudah sangat lama,

sehingga para pelaku langsung sudah banyak yang pulang ke ilahi.Bahan-

bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal

dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku- buku, jurnal,

32
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.
33
Hadari Nawawi.2003.Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers. Hal. 94.

19
makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk

sejumlah pertanyaan lisan yang diajukan oleh pengumpul data sebagai pencari

informasi yang dijawab secara lisan pula oleh informan. Dengan kata lain,

wawancara secara sederhana adalah alat pengumpul data berupa tanya jawab

antara pihak pencari informasi dengan sumber informasi yang berlangsung

secara lisan. 34Wawancara ini dilakukan sebagai penguat data primer. Untuk

itu, beberapa ahli mengenai kasus ini akan dijadikan informan. Adapun yang

menjadi informan dalam wawancara ini yaitu:

1. Kerabat Anggota Kerajaan

Akibat telah lamanya peristiwa ini berlangsung, maka kesulitan mencari

pelaku utama adalah hal yang tak terhindarkan. Namun, masih ada

beberapa kerabat kerajaan yang hidup dan menyaksikan langsung

peristiwa ini, di antaranya: Tengku Muhammad Yassir (Kesultanan

Langkat), Tengku Zulkifli (Kesultanan Langkat). Sementara dari pihak

pelaku gerakan, sudah dipastikan tidak ada yang masih hidup. 35

2. Suprayitno

34
Hadari Nawawi dan Martini Hadari.1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. hal. 98
35
SUARA USU. 2014.Catatan Sejarah di Maret Berdarah.Majalah Pers Mahasiswa SUARA USU Ed. V.

20
Dosen Fakultas Ilmu Budaya sekaligus peneliti sejarah pembantaian

massal di Sumatera Timur 1946.Serta penulis buku Mencoba (Lagi)

MenjadiIndonesia, yang juga mengupas peristiwa tersebut.

3. Phil Ichwan Azhari

Ketua Pusat Studi Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Medan.

1.7.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya pada

sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena

yang sedang diamati dengan menggunakan metode ilmiah. 36

36
Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Hal: 103.

21
1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan,

perumusan masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian,

manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode

penelitian.

BAB II : PROFIL SUMATERA TIMUR

Dalam bab ini penulis akan memaparkan profil Sumatera Timur

sebagai tempat terjadinya gerakan sosial politik yang dikaji. Akan

dijelaskan pula kondisi ekonomi dan sosial politik yang terjadi di

sana.

BAB III : KRONOLOGI DAN POLA GERAKAN SOSIAL POLITIK

SUMATERA TIMUR 1946

Dalam bab ini akan berisi tentang analisis pola gerakan sosial politik

di Sumatera Timur pada 1946. Kemudian akan dikaji apa saja faktor

yang membuat revolusi ini meletus.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis

data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah

diperoleh.

22
BAB II

PROFIL SUMATERA TIMUR

Bab II akan menjelaskan profil Sumatera Timur, mulai dari kerajaan-kerajaan

yang tergabung dalam keresidenannya, batas wilayahnya, kondisi sosial ekonominya,

hingga kondisi sosial politiknya yang sangat erat dengan penyebab terjadinya

peristiwa berdarah pada Maret 1946 di keresidenan ini. Profil ini penting diketahui

sebab Sumatera Timur merupakan tempat peristiwa yang jadi objek penelitian ini.Hal

penting lainnya adalah, diharapkan dari profil ini bisa membantu mengasah penelitian

ini dengan pisau teori kesempatan struktur politik yang dipilih.

2.1. Profil Sumatera Timur

Pada mulanya, Sumatera Timur merupakan sebutan untuk sebuah keresidenan

yang terdiri dari Kerajaan Langkat, Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, Kerajaan

Asahan, Kedatukan di Batubara, Kerajaan Panai, Kerajaan Bilah, Kerajaan Kota

Pinang dan Kerajaan Kualuh-Leidong di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan

Batu, Kerajaan Simalungun serta Kerajaan-kerajaan di Tanah Tinggi Karo. Ketika

Belanda sampai di wilayah Kerajaan Melayu di tepi Selat Malaka pada Agustus 1865,

keresidenan ini berhasil diinvasi.Wilayah ini kemudian diakui sebagai salah satu

keresidenan yang dibawahi Pemerintah Hindia Belanda. Berkat kualitas tembakau

terbaik yang dimiliki keresidenan ini, dalam tempo 10 tahun saja, Keresidenan

Sumatera Timur menjadi terkenal di dunia sebagai penghasil ekspor 1/3 dari total

ekspor yang dilakukan di seluruh Hindia Belanda (nama Indonesia saat dijajah oleh

23
Belanda). Oleh sebab kemakmuran dan banyaknya investasi modal asing itu tertanam

dalam bidang perkebunan besar dan tambang minyak, maka pada 1915, Keresidenan

Sumatera Timur sudah ditingkatkan statusnya menjadi Gouvernement yang dipimpin

seorang Gubernur di Medan. 37

Memasuki abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih keras lagi

turut campur di dalam urusan setiap kerajaan. Di Sumatera Timur, Pemerintah

Kolonial Belanda memaksakan raja-raja yang besar yaitu Siak, Langkat, Deli,

Serdang, Asahan dan Kualuh dan Pelalawan (Kampar) serta Riau-Lingga untuk

menandatangani “Politik Kontrak” tahun 1907. Hal ini juga berlaku pada Kerajaan di

Jawa, Kalimantan, dan lain-lain. Dengan tekanan yang keras maka Sultan Sulaiman

Syariful Alamsyah dari Serdang adalah yang terakhir dipaksa menandatangani Politik

Kontrak 1907 sambil mengucapkan pidato protes berbunyi, bahwa sekarang Raja-raja

Bumiputera diikat Belanda dengan rantai emas. Isi Politik Kontrak kira-kira bertujuan

untuk: (1) Membuat satu buah Kas Kerajaan bersama-sama, sehingga pendapatan

yang masuk ke kas masuk ke Pemerintah Hindia Belanda. Anggaran itu pula yang

nantinya dipakai masing-masing kerajaan sesuai dengan Anggaran Belanja Kerajaan

itu; (2) Membuat Anggaran Belanja Kerajaan yang terpisah dari kas raja dan

banyaknya sesuai pendapatan yang bisa diperoleh oleh kerajaan itu sendiri dan hasil

negerinya; (3) Adanya pembayaran yang tetap dari hasil negeri kepada raja dan orang

besarnya; (4) Hak untuk memungut beacukai di pelabuhan (ekspor dan impor)

diambil alih Belanda dari tangan raja dengan dibayarkan ganti rugi tetap; (5) Adanya

37
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Kata
Pengantar.

24
garis jelas mengenai warga/kaula kerajaan sebagaimana halnya di daerah

Gubernemen lainnya; (6) Membuka kesempatan timbulnya hak kebendaan atas tanah

untuk tempat tinggal di ibukota kerajaan (perlahan-lahan hak ulayat tanak dihapus). 38

Sehingga lambat laun, kerajaan-kerajaan dengan Politik Kontrak diubah

menjadi kerajaan-kerajaan dengan “Korte Velarking” 39 berisi: Pengakuan atas

kedaulatan Hindia Belanda. Tidak mengadakan hubungan dengan negara asing,

mengikuti sembarang perintah yang disampaikan melalui pamongpraja Belanda.

Untuk mempermudah memahami konteks profil Keresidenan Sumatera

Timur, maka akan diklasifikasikan menjadi kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial

politik. Sesuai dengan definisi gerakan sosial menurut Ritzer, gerakan sosial dapat

berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat.Gerakan ini dapat

disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan hingga politik. Hal ini akan

mempermudah menganalisis gerakan sosial politik yang terjadi di Sumatera Timur

dengan teori yang akan dipakai.

2.1.1. Kondisi Sosial Ekonomi

Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah

Belanda bersama-sama menimbulkan perubahan drastis terhadap masyarakat

Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu.Kekuasaan kolonial Belanda

dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir

38
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Ibid. Hal. 252-253.
39
Korte Velarking adalah bahasa Belanda dari Pernyataan Pendek, sebuah politik Belanda memperpendek jalur
birokrasi.Misalnya yang terjadi pada Indragiri, dalam hal ini rajanya haruslah tunduk kepada sembarang perintah
dari pembesar Belanda secara tak terbatas. Baca Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Ibid. Hal 255.

25
semua raja-raja di Sumatera Timur.Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat

keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan.

Perjanjian Politik Kontrak dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka

menjalankan kekuasaan hukum adat mereka, antara lain yang terpenting adalah tanah.

Imbalan honorarium dari perusahaan perkebunan terus-menerus mengalir ke kantong

pribadi para sultan dan datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pada tahun 1915,

39,2 persen penghasilan pajak di Deli, 37,9 persen di Langkat, dan 51,9 persen di

Serdang masuk ke kantong pribadi sultan dan datuk-datuknya. Keuntungan dari pajak

itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium. 40

Di Simalungun dan Tanah Karo, raja-rajanya yang diikat dengan Korte

Verklaring, masing-masing memperoleh 16,1 persen dan 10,9 persen. Sultan

Machmoed dari Kerajaan Langkat adalah yang paling kaya di antara mereka.Dengan

hasil honorarium dari perusahaan minyak di Pangkalan Brandan, pendapatannya pada

tahun 1931 mencapai f.184.568.Sultan Amaloedin dari Deli mendapat f. 472.094 dan

Sultan Soelaiman dari Serdang memperoleh f.103.346.Raja-raja Simalungun,

meskipun tidak sehebat Sultan-sultan Melayu juga menerima keuntungan yang besar

dari perkebunan itu.Di samping gaji mereka sebanyak f.6.720 setahun, dua rajanya

yang terkaya menerima uang jalan sebesar f.1800 setahun dan menerima upeti dari

rakyatnya.Para Sibayak di Tanah Karo mendapat gaji rata-rata f.2.400 setahun, jauh

40
Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Utara. Jakarta: Sinar
Harapan. 1987. Hal. 89

26
lebih sedikit dan gaji Sultan-sultan Melayu.Perinciannya adalah sebesar f.3.960

setahun untuk Sibayak Lingga dan f.1.200 setahun untuk Sibayak Kutabuluh. 41

Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa inilah muncul perubahan gaya hidup

sebagian sultan dan bangsawan Sumatera Timur, khususnya Melayu. Kaum

bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya sebelum kedatangan Belanda berada

dalam keadaan yang melarat.Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka

mampu membangun istana yang megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke

Eropa.Gaya hidup mewah pada gilirannya mewarnai kehidupan mereka sehari-

hari.Sultan-sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut

tamu-tamu penting (orang-orang Eropa).Untuk menunjukkan kebesaran dinastinya,

mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan.

Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah

terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elite Eropa dan kerajaan dengan orang

Cina, Jawa, India, Banjar, Sunda Mandailing, Bawean, Batak, Gayo, Alas, dan

sebagainya yang menjadi buruh di perkebunan. Susunan golongan di Sumatera Timur

pada zaman kolonial Belanda benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah

dengan daerah lainnya. Lengenberg menggambarkan sebagai berikut:

Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari
beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial,
administrator perkebunan, dan para pengusaha.Kedua, keluarga enam
kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang, dan
Siak. Ketiga adalah para raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual

41
Suprayitno.2001. Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hal. 22-23.

27
Indonesia berpendidikan barat (dokter, pengacara, pejabat, sipil kolonial
senior), dan para pedagang kaya, Cina, India, dan Indonesia. 42

Sementara itu dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah

mengubah komposisi demografi.Perkembangan perusahaan perkebunan telah

menciptakan perubahan besar dalam aspek kependudukan dan perkotaan di Sumatera

Timur.Pada pertengahan abda ke-19, jumlah penduduk Sumatera Timur diperkirakan

berjumlah 150.000 jiwa.Dalam tempo delapan puluh tahun terjadi peningkatan

beberapa kali lipat yakni menjadi 1.693.200 jiwa. Penyebab semua ini adalah

masuknya kuli-kuli dari Jawa dan Cina dalam jumlah besar ke perkebunan-

perkebunan di Sumatera Timur dan adanya migrasi orang-orang dari Tapanuli, Aceh,

dan Sumatera Barat.

Dalam tahun 1929 diperkirakan terdapat 301.936 orang kuli yang bekerja di

perkebunan. Jumlah ini terdiri dari 275.233 kuli dari Jawa dan 26.703 kuli asal

Cina.Penduduk dari keseluruhan penduduk Sumatera Timur.Dengan demikian,

jumlah penduduk Sumatera Timur lebih dari separuhnya adalah para penduduk

pendatang yang bukan berasal dari Sumatera.

Adanya komposisi penduduk yang demikian itu menjadi penting dilihat dari

perbedaan kultur dan aspirasi politik di masa pergerakan kebangsaan Indonesia. Para

pendatang politik yang berbeda dari penduduk asli. Di samping itu, para pendatang

ini memiliki perbedaan kultur dengan para penduduk asli Sumatera Timur. Jumlah

42
Langenberg, Micheal. 1985. Regional Dynamic of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu,
Hawaii. Hal. 115.

28
penduduk asli (Melayu, Karo dan Simalungun) pada tahun 1929 secara keseluruhan

kurang dari empat puluh persen dari seluruh penduduk Sumatera Timur.Dengan

jumlah kerajaan-kerajaan seperti Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan.Di empat

kesultanan Melayu itu penduduk Jawa dan Cina menempati posisi mayoritas.Ini

terjadi karena adanya pemusatan perkebunan di daerah itu.Kondisi yang serupa juga

terjadi di tujuh kerajaan yang lebih kecil, yaitu Suku Siantar, dan Panai.Hanya di

empat kerajaan yaitu Karo, Lingga, Berusjahe, Suka dan Sarinembah, orang-orang

Batak dan Melayu menjadi penduduk mayoritas. 43

Pemukiman Cina dan Jawa tidak hanya ada di perkebunan tetapi juga di luar

perkebunan.Pada tahun 1926 hanya sekitar separuh dari penduduk Jawa yang tinggal

di perkebunan, selebihnya tinggal di sekitar perkebunan sebagai petani atau

bermukim di kota-kota terdekat. Mereka yang Cina lebih banyak tinggal di daerah

kota-kota besar seperti Medan, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai.Kota pelabuhan

seperti Belawan juga dihuni oleh orang Cina dalam jumlah yang besar.Di samping

itu, meluasnya penyebaran penduduk Batak Toba ke Sumatera Timur akibat adanya

daya tarik perkembangan ekonomi perkebunan membuat komposisi penduduk di

Sumatera Timur semakin heterogen.Sebagian besar orang Batak Toba bermukim di

Simalungun, sebab sultan-sultan Melayu menolak masuknya orang-orang Kristen

Toba dalam jumlah besar ke wilayah kerajaan mereka. Kehadiran mereka ke

Sumatera Timur juga diakibatkan adanya kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda

yang mendesak raja-raja Panei, Bilah dan Siantar untuk mendatangkan para petani

43
Langenberg. Op.cit. Hal. 93-99.

29
Batak Toba ke wilayah kerajaan mereka.Kebijaksanaan itu diberlakukan karena pada

dekade pertama abad ke-20 Sumatera Timur kekurangan beras. Dengan demikian

diperlukan adanya perluasan tanah-tanah pertanian dan mendatangkan para petani

Batak Toba ke Sumatera Timur.Penyebaran petani Batak Toba juga diikuti pula

dengan datangnya sejumlah besar para misionaris agama Kristen, guru-guru dan

pedagang ke Sumatera Timur.Diperkirakan antara tahun 1907-1920 jumlah pendatang

Batak Toba di Simalungun meningkat dari tiga ratus menjadi 21.000 orang.Mereka

secara berangsur-angsur mendesak orang Batak Simalungun menjadi

minoritas.Kehadiran mereka akhirnya juga menimbulkan masalah karena tanah-tanah

di Sumatera Timur yang secara turun-temurun dimiliki penduduk asli, kini digarap

tidak hanya oleh perkebunan asing tetapi juga oleh para petani Batak Toba.Kondisi

ini berpengaruh terhadap perkembangan gerakan kebangsaan di Sumatera

Timur.Dengan demikian jelas bahwa mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum

pendatang lainnya ke Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turuan

menjadi minoritas.Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar sedangkan

orang Cina menempati urutan ketiga. 44

Di atas telah diuraikan bahwa perkembangan perkebunan telah menyebabkan

daerah Sumatera Timur menjadi terkenal dan secara ekonomis sangat maju

dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Hasil produksi

perkebunannya telah memberikan keuntungan besar terhadap para pengusaha,

Pemerintah Kolonial Belanda, dan pemerintahan kerajaan di Sumatera Timur.Akan

44
Sinar, T Luckman. Op.cit. Hal. 240-243.

30
tetapi hal itu tidak dialami oleh para buruh perkebunan yang pada dasarnya adalah

sebagai ujung tombak hidup matinya ekonomi perkebunan di Sumatera Timur. 45

Buruh-buruh perkebunan itu seringkali mendapat perlakuan buruk dari

majikannya dan mereka kebanyakan tidak mengetahui isi kontrak yang mereka

tandatangani dengan pihak perkebunan.Sistem rekrutmen kuli kontrak itu didukung

oleh tiga peraturan pemerintah.Pertama, Koeli Ordonantie yang diajukan pada tahun

1880, 1884, dan 1893.Peraturan itu memberikan kewenanganhukum kepada para

manajer perkebunan selama masih berlaku kontrak.Kedua, Ponalie Sanctie

dimasukkan ke dalam pasal kerja kuli-kuli untuk menghukum kuli-kuli yang

melanggar pasal-pasal kontrak kerja mereka. Mereka yang melarikan diri dari

perkebunan dapat ditangkap dan dipaksa kembali oleh polisi untuk meneruskan

kontrak kerja mereka di perkebunan atau dihukum dengan cara lain. Ketiga, untuk

mempertahankan sistem kuli kontrak adalah melalui peranan perkumpulan para

pengusaha perkebunan, Deli Planters Vereneging (DPV) yang dibentuk pada

1897.DPV dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan kepentingan para pengusaha

perkebunan seperti mengatur pembagian kuli-kuli kebun. 46

Para kuli perkebunan pada tahun 1926 hanya mendapat gaji sebesar f.19.50,

sementara gaji terendah asisten perkebunan Eropa berjumlah dua puluh kali lebih

besar dari gaji kuli orang Jawa dan Cina, yakni f.350 sampai f.540 dan gaji menajer

perkebunan sebesar f.675. Suatu peristiwa penyiksaan terhadap kuli kebun dengan

45
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
46
Sinar, T Luckman. Op.cit. Hal. 91.

31
diberlakukannya poenale sanctie adalah peristiwa Pulau Mandi yang terjadi pada

tahun 1926.Pada bulan Oktober tahun itu seorang asisten perkebunan bangsa Jepang

bernama Kozo Oriuchu dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan dan

menyekap para kuli perkebunan Pulau Mandi. Para kuli yang jumlahnya tujuh orang

dipukuli dan dikurung selama satu bulan dalam ruangan yang luasnya tidak kurang

dari dua meter persegi dan dipaksa memakan kotoran manusia dan kuda. Kuli-kuli itu

diancam akan dibunuh bila melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang lain.

Buruh-buruh yang kondisinya sangat miskin itu terus bertambah. Yakni dari 31.454

pada tahun 1883 menjadi 186.556 tahun 1912 dan 336.000 tahun 1932. Mereka

sebagian besar adalah para buruh Jawa.Mereka adalah sekelompok masyarakat yang

terpisah secara sosial. Gambaran tentang kehidupan buruh-buruh perkebunan itu

dilukiskan dengan baik oleh Liddle sebagi berikut:

… fasilitas kesehatan sangat minim dan mereka tinggal berdesak-desakan di


dalam pondok-pondok yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. Dari
tahun 1915 sampai 1919 menurut laporan Tideman, ribuan buruh-buruh
perkebunan yang meninggal terus meningkat dibandingkan dengan seluruh
penduduk Sumatera Timur. Selama periode ini rasio antara laki-laki dan
perempuan tinggi dan mereka sulit untuk membangun hubungan kekeluargaan
yang normal. Usaha-usaha untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap
komunitas di dalam pondok juga tidak berhasil karena pekerja-pekerja baru
terus didatangkan dan yang lain dipindahkan ke tempat lain. 47

Demikianlah gambaran kondisi para buruh perkebunan di Sumatera Timur.

Mereka sama sekali tidak menikmati keuntungan dari perkembangan daerah

Sumatera Timur yang justru dengan nyata sekali punya andil dalam proses

perkembangannya. Pengaruh penting lainnya atas masyarakat Sumatera Timur akibat


47
Langenberg. Op.cit. Hal. 106.

32
perkembangan perkebunan dan masuknya Pemerintah Kolonial Belanda adalah

munculnya suatu pelapisan sosial yang mempunyai garis pisah yang tajam. Ciri yang

menonjol dari masyarakat Sumatera Timur pada akhir tahun 1920-an adalah jurang

sosial ekonomi yang lebih memisahkan secara tajam kelompok kecil elite dengan

massa penduduk, petani-petani, kuli perkebunan, dan buruh kota. 48

Dengan pesatnya perkembangan perkebunan, maka satu aspek lagi yang

menjadi prasarana pendukungnya adalah munculnya kota-kota di Sumatera

Timur.Medan sebagai pusat administrasi pemerintahan dan ekonomi perkebunan

telah berkembang dengan cepat. Kota-kota besar lainnya dengan cepat berkembang di

seluruh Sumatera Timur dengan sebab-sebab yang sama. Siantar khususnya, menjadi

sebuah pusat administrasi dan ekonomi yang penting dan sekaligus menjadi jalur

silang yang menghubungkan wilayah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan dataran

rendah Sumatera Timur.

Bersamaan dengan perkembangan kota-kota itu muncullah sebuah budaya

baru di perkotaan. Para perantau dari daerah lain yang datang ke Sumatera Timur

sebagian besar tinggal di daerah perkotaan. Mereka bekerja sebagai kerani, guru

sekolah, pedagang kaki lima, pengrajin, dan pekerja di sektor jasa. Jumlah mereka

sangat cepat berkembang dari tahun ke tahun. Di Medan misalnya jumlah penduduk

kota ini meningkat dari 42,5 ribu pada tahun 1920 menjadi 76,6 ribu pada tahun

1930. Secara detail jumlah penduduk kota-kota Sumatera Timur adalah sebagai

48
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

33
berikut; Medan (76.584), Pematang Siantar (15.328), Tebingtinggi (14.026), Binjai

(9.176), Tanjung Balai (6.823). 49

Kota Medan telah dihuni oleh 4.293 orang Eropa, 27.287 Cina, dan

selebihnya adalah orang Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Jawa, Aceh,

Minangkabau, Mandailing, Angkola, Banjar, Sunda, Manado, dan Ambon. Semuanya

merupakan cermin dari penduduk Indonesia. Orang-orang Eropa yang tinggal di

Medan, bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli), dengan ciri-ciri

khas, kasar, pemabuk, kurang adat, dan benci pada birokrasi yang menghambat

penumpukan harta. 50

Di samping itu selama tahun 1930-an, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai juga

menjadi kota-kota yang secara etnis sangat heterogen.Penduduk kota itu telah

melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan

wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat

kerajaan. Di Medan muncul suatu kesadaran baru, yakni kesadaran akan identitas ke-

Indonesiaan lewat berkembang pesatnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai

bahasa yang dipakai sejumlah perusahaan penerbitan seperti Pewarta Deli yang

dipimpin oleh seorang wartawan Djamaludin Adinegoro. Di samping Pewarta Deli

masih ada sejumlah penerbitan seperti Sinar Deli yang nasionalis radikal, Pelita

Andalas dan beberapa mingguan Islam.Komunikasi di antara mereka semakin lancar

dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun

49
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta. Sinar
Harapan. Hal. 108-109.
50
Ibid. Hal. 78 dan catatan No.5.

34
1928.Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat

nasional di Kota Medan. Dengan cermat Hamka melukiskan, bahwa anak Deli adalah

tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah

keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya

tradisional. 51

2.1.2. Kondisi Sosial Politik

Bersamaan dengan terjadinya kepincangan sosial, penguasa kolonial Belanda

telah menciptakan suatu lingkungan baru di pusat-pusat kota, khususnya di Medan

dan Pematangsiantar. Di lingkungan baru ini muncul kesadaran untuk mencari

identitas nasional.Pencarian identitas nasional itu diwujudkan dalam bentuk

pembentukan cabang Boedi Oetomo di Medan pada tahun 1908. Di bawah pimpinan

dr. Pirngadi, Boedi Oetomo merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum,

wartawan, dan pegawai pemerintah. Secara organisatoris Boedi Oetomo mampu

menghubungkan daerah Sumatera Timur dengan pulau Jawa. 52

Pada tahun 1919, awal gerakan kebangsaan muncul di daerah perkebunan,

yaitu dengan dibentuknya cabang-cabang Sarekat Islam. Sarekat Islam mampu

menggerakan massa sampai ke daerah pedesaan. Dalam pertemuan cabang-cabang

Sarekat Islam di Tebingtinggi pada bulan Februari1919, Abdul Muis berpidato

mengajak massa untuk menghancurkan sistem kuli kontrak dan poenale sanctie.

51
Hamka. 1966. Merantau ke Deli. Kuala Lumpur. Pustaka Antara. Hal. 56.
52
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

35
Sarekat Islam juga melancarkan kampanye demokrasi ekonomi untuk memperbaiki

kehidupan kaum buruh dan tani. 53

Sementara itu, organisasi Muhammadiyah, Al-Djami’atul Washliyah, dan

Taman Siswa mulai melebarkan sayapnya ke Sumatera Timur.Berbeda dengan

organisasi politik, organisasi-organisasi ini lebih menekankan pada masalah

pendidikan dan sosial.Cabang-cabang Taman Siswa mulai banyak bermunculan di

perkebunan-perkebunan dan kota-kota di Sumatera Timur, seperti Medan, Pangkalan

Brandan, dan Tebingtinggi.Sekolah Taman siswa mengalami perkembangan pesat

berkat jasa Sugondo Kartoprodjo.Muhammadiyah juga mengembangkan sekolah

dasar, guru dan membentuk perkumulan kepanduan Hisbul Wathan.Masuknya Partai

Komunis Indonesia (PKI) ke Sumatera Timur pada 1920, membuat wajah pergerakan

politik menjadi radikal.Kekuatan partai ini tidak hanya terletak pada kepiawaiannya

dan keterampilan para tokoh-tokohnya, tetapi terletak pada program-programnya

yang langsung mengancam kepentingan pemerintahan Belanda dan kerajaan.Partai ini

berhasil mengorganisasi pemogokan buruh di Pelabuhan Belawan pada tahun 1925. 54

Partai Komunis tidak hanya mendapat simpati dari buruh kota, tetapi juga dari

buruh perkebunan.Kegiatan PKI akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah

Belanda.Tahun 1927 pemerintah Kolonial Belanda secara resmi melarang

pegawainya menjadi anggota PKI.Pemerintah Belanda juga mengizinkan pihak

53
Kampanye itu akhirnya membuat kaum buruh menjadi radikal.Mereka melancarkan aksi mogok pada bulan
September 1920 yang melumpuhkan aktivitas Deli Spoorweg Maatschappij (D.S.M). Reid, Anthony. Op.cit. Hal.
128.
54
Basarshah II, T Luckman Sinar. 1992. Revolusi Sosial Pihak Kiri 1946 di Serdang dalam Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.Hal. 79

36
perkebunan mendirikan jaringan mata-mata untuk mengawasi kegiatan PKI. Deli

Spoorweg Maatschappij (DSM) mengemukakan bahwa setiap pegawai DSM yang

terlibat di dalam kegiatan melanggar ketertiban umum akan diberhentikan. Partai ini

akhirnya dibubarkan Pemerintah Belanda akibat keterlibatannya dalam

pemberontakan di Jawa Barat dan Silungkang Sumatera Barat.Gerakan Revolusioner

Marxis hancur pada tahun 1927.Pemimpinnya banyak yang dibuang ke Digul atau

dipulangkan ke kampung halamannya.Dalam konteks Sumatera Timur, PKI telah

melangkah di luar batas-batas primordialisme untuk menghimpun dukungan

rakyat.PKI telah membangun sikap militan dan konfrontatif antikolonial.Pada tahun

1928 perkembangan nasionalisme di Sumatera Timur memasuki periode

penting.Periode ini ditandai dengan didirikannya cabang Partai Nasional Indonesia

(PNI) oleh Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Mr. Sunaryo pada tahun 1929 di

Medan.Sebagian besar pendukung utama PNI adalah kalangan buruh-buruh Jawa di

Perkebunan.Partai Nasional Indonesia dan Taman Siswa memiliki hubungan yang

erat.Banyak tokoh Taman Siswa aktif dalam membangun PNI dan tokoh PNI

mengajar di sekolah-sekolah Taman Siswa. Kedua organisasi ini menekankan

perhatian yang besar pada konsep Negara Nasional Indonesia, Bahasa Nasional

Indonesia, Kebudayaan Nasional Indonesia, Bendera Nasional Indonesia, dan Lagu

Nasional. Akan tetapi aktivitas PNI tidak berlangsung lama.PNI kemudian

dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1931, demikian juga penggantinya

Partai Indonesia (Partindo). 55

55
Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 113.

37
Namun demikian PNI memberi sumbangan penting dalam mengembangkan

ideologi nasionalisme di Sumatera Timur.PNI telah menghubungkan gerakan

antikolonial di Sumatera Timur.Program-program PNI menarik bagi orang Karo dan

Simalungun di Medan, Siantar, Kabanjahe yang frustrasi terhadap struktur kekuasaan

konservatif di daerahnya.Kembalinya sejumlah aktivis pergerakan nasional dari

Boven Digul, akhirnya membangkitkan kembali gerakan nasionalis di Sumatera

Timur.Pelopor kebangkitan itu adalah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dan

Partai Indonesia Raya (Parindra).Kedua organisasi ini mendapat dukungan luas dari

semua suku bangsa di Sumatera Timur. Gerindo benar-benar menampakkan

organisasi massa yang bersifat nasional dan radikal. Gerindo dengan tegas

membedakan diri dengan Parindra yang moderat dan kooperatif, yang mereka

pandang sebagai borjuis.Pemimpin Gerindo Sumatera Timur sudah sejak awal

bersikap militan antikolonial, berbeda dengan koleganya di Jawa.Orang-orang

pergerakan bekas anggota PKI, Partindo, dan PNI bergabung dengan Gerindo. 56

Di bawah kendali Mohammad Djoni, Gerindo dengan keras menyerang

kemapanan sistem kolonial dan feodalisme.Partai ini mengambil sikap antikolonial,

anti-Eropa, dan anti-kapitalisme.Mereka menuntut kemerdekaan nasional,

penghancuran aristokrat feodal, nasionalisasi semua perusahaan asing, pengakuan hak

tanah pribumi.Hak-hak tanah dengan cepat menjadi isu utama program partai untuk

memobilisasi dukungan melawan Pemerintah Belanda, raja-raja, dan pengusaha

perkebunan.Melalui program distribusi tanah kepada para petani, Gerindo mendapat

56
Dootjes, F.J.J. 1939. Kroniek 1938. Amsterdam: Oostkust van Sumatra Instituut. Hal. 55.

38
dukungan kuat dari buruh-buruh Jawa, petani Karo, dan Simalungun. 57Gerindo

mampu membangkitkan semangat nasionalisme, khususnya di kalangan masyarakat

karo di Langkat dan Deli Hulu. 58

Cabang-cabang Gerindo juga tersebar di seluruh wilayah Sumatera

Timur.Pada tahun 1938 cabang Gerindo didirikan di Binjai, Arnhemia, dan Tanah

Jawa.Di Kisaran dan Sunggal, cabang Gerindo dibentuk pada tahun 1939, sedangkan

di Tanjung Balai dan Kabanjahe pada tahun 1940.Gerindo aktif memberikan kursus-

kursus politik secara teratur.Sekitar 1.500 orang menghadiri pertemuan Gerindo di

gedung Bioskop Medan. 59Melalui kursus-kursus itu Gerindo berhasil memperkuat

semangat nasionalisme yang sebelumnya sudah diupayakan oleh PKI, PNI,

Muhammadiyah, Taman Siswa, Parindra, dan Partindo.Akibat pesatnya

perkembangan nasionalisme, akhirnya menyadarkan tokoh-tokoh masyarakat

Simalungun.Pada tahun 1936, beberapa pegawai sipil kolonial dan guru-guru sekolah,

mendirikan Kesatuan Simalungun (Simalungun Sapariahan), yang bertujuan untuk

mengembangkan kebudayaan Simalungun.Sentimen anti-Toba tampak kuat dalam

organisasi ini.Sentimen ini berkait dengan perampasan tanah-tanah pertanian oleh

orang-orang Batak Toba di daerah Simalungun.Perampasan tanah oleh para migran

Batak Toba ini, berkembang menjadi isu politik pada tahun 1930-an. Untuk

57
Ibid.
58
Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 129-130.
59
Ibid. Hal. 121.

39
mengatasi hal ini, pemerintah Belanda menyediakan 1.500 hektare tanah sawah untuk

kepentingan penduduk asli (Simalungun). 60

Sementara itu, di kalangan suku Melayu muncul usaha-usaha untuk

melindungi identitas Melayu.Tahun 1930, kaum bangsawan Serdang membentuk

Bangsawan Sepakat dan Persatuan Sulaiman.Di Langkat dan Deli, para

bangsawannya membentuk Bangsawan Langkat Sejati dan Persatuan Kita.Pada

tanggal 20 September 1932, dibentuklah Syarikatul Moeloek sebagai sarana untuk

menggalang persatuan raja-raja dan kaum bangsawan di seluruh Sumatera

Timur.Semua organisasi ini tidak bertahan lama karena tidak mendapat dukungan

dari kalangan masyarakat bawah dan juga para bangsawan yang terpelajar.Kaum

intelektual Melayu sendiri sukar untuk melepaskan diri dari kungkungan adat

istana.Menurut tradisi istana, setiap problem yang dihadapi oleh orang Melayu

diselesaikan lewat tradisi istana.Ini merupakan prinsip tegas yang membatasi kaum

intelektual Melayu.Sebagian besar kaum bangsawan Sumatera Timur ternyata tidak

mampu menyiasati pergolakan dan perubahan sosial yang terjadi di

sekitarnya.Mereka tidak aktif dalam gerakan nasionalisme yang semakin

mendapatkan tempat berpijaknya di Sumatera Timur.Perkembangan gerakan

sosialisme itu akhirnya justru membuat merekamenjadi konservatif dan tidak

kritis.Ketidakaktifan mereka besar kemungkinan tidak hanya karena kungkungan adat

istana tetapi justru karena pergerakan nasional itu sendiri mengancam kelangsungan

hidup mereka dan rakyatnya.Dengan demikian tidaklah mengherankan, meskipun di

60
Dootjes, F.J.J. Op.cit. Hal. 84.

40
seluruh Sumatera Timur telah berdiri semua cabang organisasi politik namun etnis

Melayu tetap bersikap apatis.Organisasi yang ada di kalangan mereka justru ditujukan

untuk menghadang ancaman para imigran dan militansi gerakan nasionalisme dan

bersifat etnosentris. Organisasi yang bersifat etnosentris kembali hadir dengan nama

Persatoean Soematera Timoer (PST). PST dibentuk pada tahun 1938 di bawah

pimpinan Abdul Wahab dan Zahari.Organisasi ini mendapat sambutan luas dari

kalangan bawah suku Melayu, Karo, dan Simalungun, yang tidak senang dengan

dominasi kaum pendatang di Sumatera Timur.Tujuannya selain untuk memperhatikan

kondisi sosial penduduk asli Sumatera Timur, juga untuk melawan dominasi suku-

suku pendatang atas daerah Sumatera Timur. 61

Pada tahun 1940, dalam sebuah koferensi pertama PST, dr. Tengku Mansoer

dipilih menjadi ketua. Tengku Bahriun dari Deli diangkat sebagai sekretaris dan

pimpinan sebelumnya dijadikan anggota pengurus. 62PST dengan cepat mendapat

simpati dari kalangan birokrat kolonial dan pegawai-pegawai senior Melayu.Pada

tahun 1939, cabang-cabang PST sudah dibentuk di Langkat, Deli, Serdang,

Simalungun, dan Asahan. 63

Tokoh-tokoh aristokrat lokal memiliki andil dalam mendirikan cabang-cabang

PST, di antaranya adalah Mr. Djaidin Purba dan Madja Purba di Simalungun. Di

Serdang, PST mendapat perhatian serius dari kaum bangsawan, terutama Tengku

Rajih Anwar (putera mahkota). Organisasi ini meskipun menekankan pada orang asli,

61
Langenberg, Michael. Op.cit. Hal. 76.
62
Reid, Anthony. Op.cit. Hal/ 124-125.
63
Langenberg, Michael. Op.cit. Hal. 77

41
tetapi secara organisatoris didominasi oleh suku Melayu.Orang Karo dan Simalungun

sedikit sekali duduk di dalam dewan pimpinan partai.Namun demikian PST mampu

mengembangkan semangat nasionalisme orang asli melawan etnis non-asli di

Sumatera Timur.Memasuki tahun 1942, orbit Perang Pasifik semakin melebar ke

Hindia-Belanda. Sebagian besar masyarakat Sumatera Timur menyadari bahwa

mereka telah ditindas oleh tatanan sosial yang ada dan berupaya untuk mengubah

nasib mereka.Oposisi terhadap Pemerintah Belanda dan berbagai macam hak

istimewa kaum bangsawan menjadi sasaran utama gerakan ini.Pada masa

pendudukan Jepang kondisi sosial ekonomi daerah Sumatera Timur hancur sama

sekali. Pemerintah Jepang enggan untuk membangun kembali prasarana transportasi

yang telah hancur akibat pertempuran singkat pada Maret 1942.Bersamaan dengan itu

muncul kecenderungan dari berbagai residen dan kepala pemerintahan kabupaten

untuk membangun kebutuhan mereka sendiri secara semi otonomi.Keadaan ini

akhirnya menyebabkan surplus produksi dari daerah Karo dan Tapanuli Selatan tidak

dapat didistribusikan ke daerah Perkebunan di Sumatera Timur.Menghadapi situasi

kritis seperti itu, Pemerintah Jepang segera mengambil tindakan.Jepang memutuskan

bahwa seluruh tanah perkebunan adalah milik Kekaisaran Jepang dan semuanya di

bawah kontrol langsung Pemerintah Militer Jepang.Ini berarti bahwa hak istimewa

yang dimiliki oleh penguasa tradisional dan hak sewa tanah dihapuskan. 64 Daerah

64
Langenberg, Michael. Op.cit. Hal. 229.

42
perkebunan dibagi dalam lima divisi, yang masing-masing diatur oleh Cabang

Syonan Gomu Kumia. 65

Kebijaksanaan Jepang ini mendapat sambutan hangat buruh-buruh

perkebunan, petani Karo, dan Kabatak Toba.Pasalnya Syonan Gomu Kumia

mengumumkan semua tanah kosong di perkebunan diserahkan kepada para petani

penyewa.Mereka segera berdatangan ke Sumatera timur membuka tanah-tanah

kosong dan hutan lebat dijadikan persawahan.Sebagian orang Jawa, Toba, Karo, dan

Cina menduduki tanah-tanah perkebunan itu dan menganggap sebagai miliknya

sendiri. Pemerintah Jepang juga menginstruksikan agar penduduk menanami tanah

kosong yang ada di pinggiran kota Medan. 66

Tindakan ini akhirnya memberikan kontribusi pada proses polarisasi politik

yang tajam antara kaum pergerakan dan kerajaan/petani Melayu. Perkembangan ini

tentu saja membawa konsekuensi berat bagi para petani Melayu dan pihak

kerajaan.Mereka mengamati dengan perasaan cemas, karena mereka tidak hanya

kehilangan hak milik atas tanah di Sumatera Timur, tetapi juga menyaksikan sendiri

bagaimana tanah-tanah leluhur mereka diambil alih oleh sejumlah besar kaum

pendatang.Lebih parah lagi, pemerintah Jepang masih membolehkan para pemimpin

pergerakan mempropagandakan dan mengindoktrinasi kaum pendatang dengan

sentimen antikerajaan. 67Kondisi ini akhirnya mendapat reaksi dari kaum aristokrat

Melayu.Kaum aristokrat kerajaan segera mengorganisasi gerakan bawah

65
Ini adalah badan yang bertugas mengoordinasikan hasil perkebunan yang bermarkas di Singapura.Badan ini
sebelumnya bernama Rengokai. Dootjes, Kroenik 1941-1946. Hal 19.
66
Langenberg, Michael. Op.cit. Hal 232-233
67
Reid, Anthony. Op.cit. Hal 202

43
tanah.Gerakan ini mendapat dukungan dari kalangan bangsawan Serdang, Langkat,

dan Deli.Gerakan ini dibubarkan Jepang dan tokoh-tokoh utamanya dihukum

mati.Namun demikian aktivitas gerakan bawah tanah ini tetap dilanjutkan oleh tokoh-

tokoh lainnya.Pendukung gerakan bawah tanah ini kemudian membentuk organisasi

sendiri sengan nama Siap Sedia (SS). SS diharapkan dapat menggantikan peranan

PST yang sudah dibubarkan oleh Jepang, dengan tujuan untuk melindungi identitas

penduduk asli dan membangun otonomi politik Sumatera Timur.Pembentukan

organisasi ini sebagai jawaban atas semakin meningkatnya aktivitas kaum pergerakan

nasionalis.SS mendapat dukungan masyarakat Sumatera Timur, terutama dari

golongan bangsawan.Jumlah anggota SS diperkirakan mencapai ribuan orang. 68

Secara politis gerakan ini memang tidak berhasil, tetapi secara moral mampu

membangkitkan identitas kultur orang asli di kalangan anggota-anggotanya. Di

samping organisasi ini menjadi semacam wahana untuk memelihara hubungan antara

kaum aristokrat kerajaan dengan pemerintah Hindia Belanda yang telah mengungsi

ke Australia.Melalui organisasi ini identitas orang asli dan ide-ide otonomi Sumatera

Timur ditanamkan di kalangan para penduduk.Tokoh-tokoh kerajaan yang tergabung

dalam SS dan kepala desa Melayu, segera berusaha menggalang kekuatan untuk

mendapatkan kembali hak mereka.Pada tahun 1945, sebuah organisasi Persatuan

Anak Soematra Timur yang didominasi etnis Melayu dibentuk untuk merealisasi

tujuan itu. Organisasi ini dipimpin oleh dr. Tengku Mansoer dan Ustad Kadir yang

keduanya aktif dalam organisasi SS. Organisasi ini ternyata tidak mampu menahan

68
Suprayitno. Op.cit. Hal. 48.

44
derasnya gelombang para pendatang menyeroboti tanah leluhur mereka.Pada masa

Jepang terlihat bahwa dominasi kerajaan mulai merosot dengan tajam.Perubahan

yang terjadi akibat kebijaksanaan Pemerintah Jepang membuat martabat pada sultan

dan raja-raja memudar di mata masyarakat.Pada setiap upacara, para sultan dan raja-

raja diperintahkan berdiri sejajar dengan para pemimpin pergerakan politik sambil

menyanyikan lagu memuja Jepang.Lebih tragis lagi, raja dan kaum bangsawan harus

mengayunkan cangkul untuk memberi contoh kepada rakyat tentang pertanian dan

ikut dalam kegiatan gotong-royong. 69Merosotnya peranan elite kerajaan semakin

bertambah parah, meskipun Jepang pada masa pendudukannya mulai memperbesar

pertisipasi politik rakyat.

Pada November 1943, Jepang membentuk Shu Sangikai (Dewan Penasihat

Residensi) di setiap residensi (Shu).Dewan ini bertugas untuk memberikan nasihat

pada residen (Shu-Chokan).Di Sumatera Timur dewan itu didominasi kaum kerajaan

dan nasionalis konservatif. Sebagai ketua dewan diangkat Mangaradja

Soeangkoepon, dan wakilnya Tengku Musa dari Kerajaan Asahan.Kepemimpinan

dewan ini terus mengalami perubahan.Pada awal tahun 1945 Soeangkoepon

digantikan Tengku Hafaz, cucu Sultan Oesman dari Deli dan putra pangeran Bedagai.

Dalam sidang dewan bulan Maret 1945, jabatan kedua dewan diserahkan kepada dr.

Tengku Mansoer. Kerajaan benar-benar telah mendominasi kepemimpinan Shu

Snagi-Kai, namun Jepang mulai tidak tertarik pada dua tokoh bangsawan ini.Karena

dianggap tidak bersikap pro-Jepang dan tidak mampu mengatasi perpecahan sosial

69
Reid, Anthony. Op.cit. Hal 180.

45
yang terjadi.Oleh karena itu sebelum Jepang menyerah, jabatan ketua dewan itu

diserahkan kepada Mr. T. Mohammad Hasan.Sebagai langkah memperluas partisipasi

penduduk dalam mepersiapkan kemerdekaan, pada tanggal 21 Maret 1945,

Gunseikanbu mengumumkan pembentukan Chuo Sangiin (Dewan Penasihat

Pusat).Pada tanggal 17 Mei, 25 anggota dewan diangkat oleh Gunseikanbu. Anggota

dari Sumatera Timur adalah Djamalludin Adinegoro, Tengku Damrah, Putra Mahkota

Deli, Raja Kaliamsyah Sinaga, dr. Pirngadi, Hamka, dan Hsu-Hua-Chang. Dalam

sidang Chuo Sangiin yang pertama dan terakhir di Bukittinggi pada tanggal 27 Juni

hingga 2 Juli 1945, disahkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan untuk

seluruh Sumatera.Tiga minggu kemudian, formasi Panitia Penyelidik Persiapan

Kemerdekaan diumumkan.Mohammad Syafei diangkat menjadi ketua dan Adinegoro

dijadikan sekretaris.Dari 24 anggota panitia yang diangkat itu, enam orang berasal

dari Sumatera Timur. Mereka adalah dr. Pirngadi, dr. Amir, Mr. T.M. Hasan, Hamka,

Tengku Saibun, dan Hsu Hua-Chang.Pembentukan Panitia Penyelidik Kemerdekaan

pada tanggal 28 Juli 1945, pada dasarnya mencerminkan merosotnya peranan elite

kerajaan dalam percaturan politik di Sumatera Timur.Dengan menempatkan seorang

wakilnya dalam panitia itu, kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur

memasuki ambang kehancuran. Apalagi resolusi Dewan itu mengatakan, bahwa

sebuah delegasi akan segera dikirim ke Jakarta untuk mengadakan koordinasi dengan

badan serupa yang sudah aktif di Jawa.Lebih tragis lagi, bahwa tiga utusan yang

mewakili Sumatera bukanlah dari golongan kerajaan. Mereka adalah Mr. T.

Mohammad Hasan, dr. Amir, dan Mr. Abdul Abbas. Keputusan itu tidak hanya

membuat kaum bangsawan kehilangan kekuatan untuk melakukan bargaining politik,

46
tetapi kaum pergerakan semakin bertambah radikal dalam menuntut penghapusan

unsur feodalisme dan kolonialisme di Sumatera Timur.Dalam sidang PPKI tanggal 22

Agustus 1945, Mr. T.M. Hasan, diangkat sebagai Gubernur Sumatera, dr. Amir

sebagai Wakil Gubernur, dan Mr. Abbas ditugaskan untuk membentuk Komite

Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sumatera. Mr.

T.M. Hasan diberi kekuasaan penuh untuk mengangkat residen (kepala daerah) dan

pegawai pemerintah. Atas usul T.M. Hasan dn Amir, PPKI mengesahkan Medan

sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera. Selain itu, PPKI menetapkan PNI sebagai partai

negara dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai pengawal Republik.Kota

Medan pada Agustus 1945 diselimuti oleh konflik politik dan sosial yang jauh lebih

serius dibandingkan dengan masa sebelumnya.Baik di Medan maupun di kota-kota

lainnya di Sumatera Timur, tidak terdapat kepemimpinan tunggal yang dapat

mempersatukan semua golongan atau faksi yang bertikai.Sebagian masyarakat masih

mengharapkan hadirnya kembali penguasa lama dan mereka tidak ingin berlindung di

bawah Republik yang belum jelas.Hal ini menyebabkan kabar proklamasi

kemerdekaan Indonesia di Jawa baru bisa menyebar pada Oktober 1945 di Sumatera

Timur. 70

Setelah proklamasi kemerdekaan, raja-raja Melayu bersikap tunggu dan

lihat.Namun, ada beberapa tokoh kerajaan yang berlangsung menunjukkan sikap

simpati kepada Belanda, seperti Datuk Jamil dan Tengku Musa. Sultan Serdang,

Langkat, dan Asahan setelah berunding dengan para pemuda yang tergabung dalam

70
Suprayitno. Op.cit. Hal 50-51.

47
BPI baru mau mengibarkan bendera merah putih. Sementara Sultan Deli secara

terang-terangan tidak mengakui kedaulatan Republik.Sementara itu, pada tanggal 10

Oktober 1945 tentara Sekutu/Inggris dari Divisi India ke-26 di bawah pimpinan

Brigadir T.E.D. Kelly menduduki tiga kota penting di Sumatera yaitu, Medan,

Palembang dan Padang. Kedatangan tentara Sekutu dan Netherlands Indies Civil

Administration (NICA) mempertebal semangat penentang Republik, yang sejak

zaman Jepang mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Di bawah

perlindungan NICA/Inggris mereka menganggap impiannya untuk membangun

keadaan seperti sebelum Perang Dunia II akan tercapai. Sebaliknya pendukung

Republik memandang kerjasama sekutu, NICA, dan kerajaan sebagai ancaman

terhadap Republik.Akibatnya berkobarlah sentimen anti-Belanda, antifeodal, dan

anti-asing.Meskipun demikian, dalam barisan Republik terdapat perpecahan antara

golongan moderat dan radikal.Perpecahan itu bersumber pada kebijaksanaan

diplomasi yang diterapkan oleh golongan moderat.Tokoh-tokoh moderat seperti T.M.

Hasan tetap mengikuti kebijaksanaan Pemerintah Republik di Jawa.Sementara para

pemuda yang tergabung dalam BPI, BKPI, National Control semakin tidak sabar

dengan pendekatan Hasan yang hanya memberi napas lebih lama kepada NICA dan

kerajaan.Akibatnya, bentrokan hebat segera terjadi, setelah terang-terangan ada

konspirasi antara NICA-Inggris dan kerajaan.Tercatat selama Oktober sampai

Desember 1945 telah terjadi bentrokan bersenjata antara pemuda-pemuda Republik

dengan sekutu dan NICA.Di antaranya adalah Peristiwa Jalan Bali, Peristiwa Siantar

Hotel, Peristiwa Berastagi, dan Peristiwa Jalan Serdang. 71

71
Ibid. Hal 52-56.

48
Peristiwa Jalan Bali dan Siantar Hotel telah memicu semangat para pemuda

untuk berdiri teguh di belakang Republik.Bagi mereka peristiwa itu merupakan sinyal

dimulainya perjuangan melawan musuh-musuh Republik.Darah orang Belanda dan

kaki tangannya harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional.Sejumlah pemuda itu

mulai bergabung dengan TKR dan Lasykar Rakyat.Pada Oktobernya, muncullah

sejumlah gerakan pemuda bersenjata yang masing-masing menguasai Kota Medan.

Mereka mencari biaya dari berbagai sumber yang dapat mereka kuasai. TKR dalam

kadar tertentu mengikuti model ini, meskipun lebih berdispilin mengikuti instruksi

dari Jawa. Tindakan gerombolan perampok ini tidak hanya membuat Inggris,

Belanda, orang Cina, dan Kerajaan menjadi gusar, tetapi juga mencemaskan tokoh-

tokoh Republik.Kepemimpinan sipil Republik menjadi terhambat karena adanya aksi

kekerasan itu. Sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan Republik akan jatuh ke

tangan kaum radikal atau komunis.Sultan-sultan Melayu mulai mengambil inisiatif

untuk melindungi kerajaan dan kepentingan Melayu.Pada bulan Oktober mereka

mendirikan Perkoempoelan Anak Deli Islam (PADI). Organisasi ini telah melatih

sekitar lima ribu orang pemuda Melayu untuk mempertahankan atatus quo

kerajaan.Pada tahap ini kerajaan mulai cemas melihat ke arah mana arus gerakan

pemuda Republik.Sebagai seorang bangsawan, T.M. Hasan mengerti betul kesulitan

yang dihadapi raja-raja Sumatera Timur yang merasa ditekan oleh para pemuda dan

hubungan moral mereka dengan Belanda.Sikap politik T.M. Hasan cenderung

mengarah ke politik rekonsiliasi daripada mengancam raja-raja itu.Pengangkatan

pejabat-pejabat pemerintahannya yang terutama, semuanya berdasarkan

pertimbangan untuk merangkul pihak kerajaan ke dalam Republik.Sebagai tanda

49
untuk membuktikan adanya suatu dukungan kepada pihak kerajaan, pada tanggal 29

Oktober T.M. Hasan mengangkat Tengku Hafas dari kerajaan Deli sebagai residen

Sumatera Timur. Pada saat yang sama ia juga mengangkat Mr. Mohammad Yusuf

sebagai Wali Kota Medan juga mengangkat Tengku Musa sebagai asisten Republik

untuk Labuhan Batu, dan Tengku Amir Hamzah sebagai asisten residen Republik

untuk daerah Langkat. Madja Purba diangkat sebagai asisten residen Simalungun,

Negerajai Meliala di Tanah Karo dan Tulus di daerah Deli.Usaha Mr. T.M. Hasan

untuk menarik dukungan kerajaan pada Republik tidak hanya sampai di situ.Beberapa

tokoh kerajaan lainnya diangkat menjadi asistennya.Semua pengangkatan ini secara

langsung dimaksudkan untuk meredakan kekuatan pihak kerajaan, Belanda-Inggris

yang didominasi kaum “ekstremis” di dalam pemerintahan Republik. 72

Sesudah melakukan perubahan-perubahan ini, T.M. Hasan kemudian

mengumumkan bahwa Republik siap untuk mengakui posisi istimewa raja-raja,

sebagai pengganti dukungan mereka kepada Republik.T.M. Hasan juga menawarkan

kepada Sultan Deli dan Sultan Langkat tunjangan sebesar setengah juta uang Jepang,

melalui kas Republik.Tawaran T.M. Hasan itu tidak mendapat tanggapan serius dari

para sultan.Pemuda-pemuda Republik memandang sikap dingin dan hati-hati para

sultan itu sebagai hal yang tidak dapat ditoleransikan lagi. Pada tanggal 1 Desember,

Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Tanjung Pura mengultimatum Sultan Langkat

agar mengakui Republik, menyerahkan senjata mereka kepada cabang Pesindo

setempat, dan menghentikan semua hubungannya dengan Inggris dan NICA. Sultan

72
Ibid. hal. 61-64.

50
Langkat akhirnya menuruti kemauan mereka dan segera mengibarkan bendera

Merah-Putih di depan istananya, menyerahkan senjata kepada Pesindo dan uang

sebesar seratus ribu rupiah kepada Pemerintah Republik. Sultan Langkat memohon

kepada Presiden Soekarno agar Republik mengakui otonomi Kesultanan

Langkat.Sultan Serdang dan Asahan juga mengalami tekanan dari Lasykar rakyat,

Kedua penguasa ini dipaksa membuat pernyataan resmi mengakui keberadaan

Republik. Mereka dengan segera mengibarkan bendera Merah-Putih di depan istana

dan kantor mereka. 73

Seperti Kesultanan Langkat, kedua sultan ini juga memohon kepada

Pemerintah Republik untuk mengakui kekuasaannya. Untuk membuktikan

pernyataannya Sultan Serdang membentuk Badan Pecinta Keamananan dan

Kemerdekaan Indonesia (BPPKI) di Perbaungan.Namun demikian, semua pernyataan

sultan-sultan itu belum memuaskan pemuda Republik.Pada tanggal 14 Desember,

sebuah pengumuman bersama TKR dan Pesindo menyatakan, bahwa setiap orang

yang didapati bekerjasama dengan NICA atau agen-agennya akan dihukum mati.

Pada hari yang sama PNI mengeluarkan pernyataan, setiap cabang PNI harus

mendistribusikan senjata dan mewaspadai aktivitas para kaki-tangan NICA.

Bersamaan dengan itu, barisan pemuda dan laskyar mulai menyerang masyarakat

Cina.Pada awal Desember sekelompok pemuda merampas toko-toko Cina dan

gudang-gudang perbekalan di Medan dan kota-kota lainnya di Sumatera

73
Langenberg, Michael. Op.cit. Hal 339.

51
Timur.Meledaknya sentimen anti-Cina diduga karena adanya hubungan erat antara

tokoh-tokoh masyarakat Cina dengan NICA. 74

Pada 3 Februari 1946, diadakan musyawarah di gedung KNI Medan. Kerajaan

diwakili oleh Sultan Langkat, Deli, Asahan, Siak, Putra Mahkota Serdang, Datuk

Sukapiring, dan Batubara, Yang Dipertuankan Kualuh-Ledong, Sultan Panai, Sultan

Bilah, dan Raja-raja dari Tanah Karo dan Simalungun. Delegasi Republik dipimpin

oleh T.M Hasan, Amir, Xarim M.S, Loeat Siregar. Mohammad Yusuf, Tengku Hafas,

Tengku Dr. Mansoer, Tengku Damrah dan Tengku Bahriun. Dalam Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia mengakui secara resmi posisi istimewa raja-raja. T.M.

Hasan mendesak agar raja-raja memutuskan hubungannya dengan Belanda,

melakukan proses demokratisasi dan mendukung Republik Indonesia. 75

Dalam musyawarah itu, Loeat Siregar secara lebih tegas menyatakan, bahwa

Pemerintah Republik berdasarkan kepada rakyat, semua yang berbau feodal akan

dilenyapkan. Rakyat menginginkan semua wilayah kerajaan didemokratisasikan.

Keinginan rakyat iu adalah ibarat banjir yang tidak dapat dibendung. Sultan Langkat

atas nama raja-raja Sumatera Timur menyatakan bahwa mereka akan mendukung

Republik dan turut memperkuat Republik Indonesia. Sultan Langkat juga berjanji

akan melakukan proses demokratisasi sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh

T.M. Hasan. 76

74
Suprayitno. Op.cit. Hal 65-66.
75
Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 397.
76
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

52
Pertemuan antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan pihak raja-raja

melegakan banyak orang tetapi tidak mengenakkan bagi para pemuda Republik dan

tokoh politik revolusioner.Posisi raja-raja di Sumatera Timur benar-benar terancam

oleh radikalisme pemuda di bawah kendali tokoh-tokoh politik, lasykar dan sebagian

TRI. 77Sejumlah tokoh partai bergerak di bawah Persatuan Perjuangan untuk

menghancurkan kekuasaan raja-raja.Kerja penghancuran ini dilakukan pada saat

Gubernur Hasan mengadakan perjalanan ke Sumatera Selatan selama satu bulan. 78

77
Sesuai dengan intruksi pemerintah pusat, pada tanggal 26 Januari TKR diubah namanya menjadi TRI. Nasution,
A.H. 1963. Tentara Nasional Indonesia, Jilid I. Bandung dan Jakarta. Hal. 246.
78
Reid, Anthony. Op.cit. Hal. 397.

53
BAB III

KRONOLOGI DAN POLA GERAKAN SOSIAL POLITIK DI SUMATERA

TIMUR PADA MARET 1946

Bab tiga berisi penjelasan mengenai hasil data yang diperoleh di lapangan sekaligus

menyajikan hasil analisis dari data yang diperoleh dengan menggunakan teori struktur

kesempatan politik.Seperti yang dijelaskan pada Bab I, penelitian ini bergantung pada

studi pustaka, yang disebabkan keterbatasan untuk bisa mewawancarai pelaku dan

korban secara langsung.Peristiwa yang sudah lama terjadi menjadi alasan

utama.Sebab para pelaku dan korban langsung sudah banyak yang berpulang ke

Ilahi.Untuk itu, data dikumpulkan dari para studi-studi terdahulu yang banyak

dilakukan peneliti sejarah melalui pendekatan ilmu sejarah. Namun demikian, untuk

memperkuat informasi yang dibutuhkan maka telah dilakukan wawancara terhadap

Tengku Zulkifli, Kerabat Kesultanan Langkat; Tengku Muhammad Yasir, Kerabat

Kesultanan Asahan; Suprayitno, Dosen Fakultas Ilmu Budaya sekaligus peneliti

sejarah Tragedi Maret Berdarah Sumatera Timur 1946 yang sekaligus penulis buku

Mencoba (Lagi) MenjadiIndonesia, yang juga mengupas peristiwa tersebut. Serta

turut mewawancarai Bapak Phil Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Ilmu Sejarah di

Universitas Negeri Medan yang juga pernah meneliti peristiwa tersebut.

Pendekatan sejarah melalui kedua tokoh ini dianggap sangat dibutuhkan,

sebab sebagaimana judul penelitian yang menggunakan teknik studi deskriptif,

penjelasan sejarah tersebut diharapkan dapat membantu penjelasan pola gerakan

54
sosial politik yang terjadi. Gerakan sosial politik dalam peristiwa ini akan diulik

menggunakan teori struktur kesempatan politik yang akan mengungkap faktor-faktor

terjadinya gerakan ini secara politis.

Keterbatasan peneliti untuk bisa mewawancarai pelaku dan korban, tidak

hanya diwakili atas jawaban-jawaban kedua peneliti studi terdahulu di atas.Melainkan

juga didapat dari sejumlah media yang telah mewawancarai korban langsung.Seperti

media online lenteratimur.com, yang memang salah media yang berfokus mendalami

karakteristik Sumatera Timur dalam pemberitaannya. Pun begitu pula dengan Pers

Mahasiswa SUARA USU, pers kampus di USU yang pernah mengangkat hal ini jadi

Laporan Utama majalah mereka. Namun, peneliti juga telah mewawancarai beberapa

Tengku Muhammad Yasir, kerabat Kesultanan Asahan dan Tengku Zulkifli, kerabat

Kesultanan Langkat untuk merekam kronologi dari pihak korban. Berikut akan

dijelaskan mengenai data yang diperoleh dan hasil analisis.

3.1.Kronologi Pembantaian Bangsawan Sumatera Timur 1946

Sebelum menganalisis bagaimana pola gerakan sosial politik yang terjadi di

Sumatera Timur pada Maret 1946, maka peneliti akan terlebih dahulu

mengungkapkan kronologi terjadinya peristiwa tersebut. Kronologi menjadi penting,

untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan gerakan sosial politik

ini bisa terlaksana. Kronologi akan dijelaskan sesuai yang terjadi di daerah-daerah

yang diserang dalam kawasan Sumatera Timur.

55
3.1.1. Tanah Karo

Komunis Sarwono, pimpinan Pesindo, menelepon Ketua Volksfront Tama

Ginting lalu menghubungi Slamat Ginting yang punya pasukan kuat. Mereka

kumpulkan para Sibayak (Raja) dan raja Urung di Tanah Karo pada suatu tempat lalu

mereka ditangkap.Begitu juga Wakil NRI di Tanah Karo, Ngerajai Meliala. Pimpinan

Barisan Harimau Liar, anak asuh Saleh Umar/Yacob Siregar, yaitu Payung Bangun,

masih berada di dalam tahanannya Meliala. Kelak pada tahun 1947 Barisan Harimau

Liar inilah yang menjadi algojo kejam yang merampoki dan membunuhi rakyat

pengungsi di Tanah Karo dan perbatasan Tanah Karo dengan Simalungun dan

Tapanuli ketika Agresi Militer I Belanda.Meskipun tak ada pembunuhan di Tanah

Karo, harta raja-raja ludes dirampoki.Pada tanggal 3 Maret 1946 dini hari, dilakukan

penangkapan Raja-raja dan pegawainya di Tanah Karo.Penangkapan itu menandakan

pergerakan sosial politik untuk menjatuhkan Raja-raja dari kedudukannya dan

menjatuhkan kerajaan itu sendiri. 79

3.1.2. Simalungun

Kejadian di Simalungun akan lebih dispesifikasikan ke beberapa kerajaan

yang ada di dalam keresidenannya. Ini dibuat sebab luasnya wilayah ini.Sehingga

tidak pas bila dirangkum hanya dalam satu paragraf.

79
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.Hal. 490-
491.

56
1. Kerajaan Panei

Pada masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam

Purba Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba

Dasuha, anak tertua Tuan Marjandi adik kandung raja Panei (Tuan Anggi

Panei) menginformasikan kepada keluarga raja Panei di Pamatang Panei

bahwa akan ada malam itu gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan

sultan-sultan, supaya raja dan keluarga menyelamatkan diri ke rumah

pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman)

Pematangsiantar.Pada hari itu juga Tuan Nagapanei (berdasarakan informasi

dari Richard Nainggolan) melaporkan kepada raja Panei bahwa A. E.

Saragihras dan laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan

menjarah ke istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri.

Anehnya, meskipun raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan

BHL pimpinan laweinya sendiri A. E. Saragihras itu, dia bergeming tidak

menyelamatkan diri ke Pematangsiantar.Pihak istana hanya melakukan

tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari laksar

Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba

Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa. Menurut Tuan Kamen Purba,

abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang

berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di sekitar

istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya.Tuan Aliamta Purba yang

masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi oleh kelurga

57
besar raja.Di tengah malam tiba-tiba listrik padam, rupanya pasukan BHL

sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak berdaya menghadapinya,

ada yang tewas dan sebagian diikat. Pasukan BHL berjumlah lebih kurang 50

orang itu naik ke istana, mereka tidak berbicara dan memakai penutup

wajah.Serempak mereka masuk dan menjarah seluruh istana raja membawa

karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan raja, mengambil emas banyak

sekali dari peti, uang perak gulden dan uang kertas Jepang.Pokoknya semua

disikat tidak ada yang ketinggalan.Raja, raja muda dan Tuan Djautih dan

seluruh perempuan dewasa diikat tangannya.Senjata revolver rajamuda turut

dirampas.Seluruh isi istana dijarah dan raja, dua puteranya dan 28 rakyat yang

tidak rela meninggalkan rajanya turut diikat dan dinaikkan ke dalam 2 buah

truk.Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan raja Panei

disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori,

dekat Tiga Sibuntuon. Beruntung Tuan Marga Idup Purba dan Tuan Iden,

Tuan Abraham dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana berlari ke

Nagahuta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang yang pada

Minggu siang masih sempat berkunjung ke istana. Dari sana berangkat ke

Pagarjawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di Pematangsiantar

(rumah Tuan Madja Purba Bupati Simalungun).Tuan Kamen sendiri pada

malam itu bersama dengan Inang Bona (Puan Bona), isteri raja Panei/puteri

dari Siantar di ladang Raja Panei di Nagahuta.Abangnya Tuan Nalim sedang

bersekolah di Pematangsiantar.Rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah

(sekarang Jl. Sudirman) sudah dikuasai BHL dan dijadikan markas

58
mereka.Mobil pribadi raja Panei dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang

sudah mengkudeta Tuan Madja Purba sebagai Bupati.Harta raja Panei habis

disikat dan istana (rumah panggung berasiterktur semi Melayu) kemudian

dibakar atas pimpinan seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang

merupakan istana lama utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh

dimakan usia, karena ketiadaan perawatan.Sesudah berita penculikan raja

Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun mengejar jejak BHL ke arah

Saribudolok dan Tigaras. Akhirnya mereka menemukan mayat keluarga

aristokrat Panei berikut rakyat yang telah tewas mengenaskan itu. Menurut

berita, mayat raja Panei, kepalanya dipenggal, tombak menembus duburnya

sampai ke leher dengan lidah dicabut paksa. Mayat raja kemudian

dimakamkan di dekat istananya yang sudah rata dengan tanah di Pamatang

Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat kerajaan yang tewas itu. Sampai

raja Panei meninggal, dia masih bertahan dengan agama suku dan tidak

pernah menjadi Islam atau Kristen (tetapi lebih condong ke Islam). Anakboru

Panei Tuan Djademan Saragih Garingging tuan Dologsaribu (ayah Prof. Dr.

Boas Saragih) tewas dibantai dengan kejam. Tuan Nagapanei Tuan

Djamonang Purba Sidadolog juga tewas dibunuh. Pembantaian terhadap

keluarga raja Panei masih berlanjut sampai bulan April 1947, putera-putera

raja Panei yang sudah aktif di perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba tewas

dibunuh BHL, menyusul Tuan Kortas tuan Marjandi dan Tuan Mintari Purba

59
kerani Kerajaan Panei. Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah

bila tidak diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan. 80

2. Tanoh Jawa

Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya raja

Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL dan

mereka tinggal di Pematangsiantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan

Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya rajamuda Tuan Hormajawa Sinaga

(ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian,

yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang

dan dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan

BHL.Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial

di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap. 81

3. Kerajaan Siantar

Pemangku raja Siantar Tuan Sawadim Damanik pada waktu itu luput

dari pembunuhan oleh BHL, karena pada waktu itu, beliau berada di

rumahnya di Pamatang Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang

menggarap sawah di sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas

dibunuh, termasuk tuan Sipolha Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah

Tuan Djabanten Damanik). Bangsawan di Sipolha yang paling banyak

80
http://sopopanisioan.blogspot.com/2012/06/revolusi-sosial-sumatera-timur.html diakses pada 24 Maret
2015.Pukul 15.11.
81
Ibid.

60
mengalami pembantaian oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif

lebih terisolir di pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak

keluarga tuan Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan

mengungsi sampai ke luar negeri. diperkirakan ada ratusan korban mati

dibantai oleh BHL di Sipolha. Tuan Sidamanik sendiri Tuan Ramahadim

Damanik bersama rajamuda Sidamanik Tuan Mr. Djariaman Damanik (lahir

1920) sudah mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke

Pematangsiantar.Mr. Djariaman bertolak belakang dengan tuduhan Markas

Agung adalah seorang republikein sejati yang turut melatih pasukan TKR di

Tapanuli dengan pangkat Letnan Satu. Setelah bermufakat di rumah

pesanggerahan Tuan Sidamanik, Tuan Bisara Sinaga tuan Djorlang Hataran,

Tuan Baja Purba tuan Dolog Batunanggar, Tuan Djansen Saragih tuan Raya

Kahean (anak Tuan J. Kaduk Saragih) berlindung di Kantor Polisi RI.

Beberapa hari kemudian Tuan Djariaman Damanik menemukan buku kecil

berwarna merah darah beredar di kota Pematangsiantar yang judulnya

“Revolusi Perancis dan Revolusi Soviet Rusia” di sampul terdapat lukisan

palu arit, simbol partai komunis. Penulis buku itu menginformasikan bahwa

tindakan “revolusi sosial di Suamatera Timur” pada 3-4 Maret 1946 adalah

gerakan yang sama. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan

Djariaman Damanik memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR

RI atas saran Komandan TKR Pematangsiantar Rikardo

61
Siahaan.Dikhawatirkan bergabungnya Rajamuda Sidamanik ke dalam TKR

menimbulkan kesan TKR sama dengan Tentara Keamanan Raja. 82

4. Kerajaan Purba

Meskipun Raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas

Langit bersama anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara

misterius. Tuan Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras.

Semuanya berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947 (agresi kedua).

Pantai Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat

manusia yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau

memakan ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam

perut ikan itu. Pada tahun 1947 pemangku raja Purba Tuan Karel Tanjung

gelar Parajabayak tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan

Madja Purba pejabat pemerintah RI yang pernah menjadi Bupati Simalungun

(dan dikudeta tokoh PKI Urbanus Pardede pasca revolusi) dan pejabat

Gubernur Sumatera Utara. Keturunan raja Purba yang lain Mr. Tuan Djaidin

Purba pernah menjabat sebagai walikota Medan. Tuan Djomat Purba (Tuan

Anggi) terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper NST

(untuk mempertahankan diri dari pelaku revolusi).Baik Tuan Mogang dan

Tuan Djomat adalah putera Simalungun yang pantas dibanggakan, keduanya

adalah anak yang dilahirkan Puangbolon Kerajaan Purba dari Siantar. 83

82
Ibid.
83
Ibid.

62
5. Kerajaan Silimakuta

Raja Silimakuta yang sudah aktif di Markas Agung juga tewas dan

tidak diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo.

Bersama beliau turut tewas dibunuh dokter pertama orang Simalungun dr.

Djasamen Saragih (anak Pangulubalei Djaudin Saragih). Keluarga raja

Silimakuta kemudian mendirikan tugu baginya di Tigaraja Kec. Silimakuta

Barat. Konon mayat Raja Silimakuta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat

Kabanjahe.Turut juga ditangkap Pangulubalei Djaudin Saragih abang Pdt. J.

Wismar Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur masih

hidup diselamatkan TRI. 84

6.Kerajaan Dologsilou

Raja Dologsilou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak berhasil

diselamatkan rakyatnya sendiri dari keganasan pasukan BHL dan berdiam di

Pematangsiantar. 85

7. Kerajaan Raya

Nasib nahas menimpa pemangku raja Raya Tuan Jaulan Kaduk

Saragih Garingging gelar Tuan Raya Kahean.Beliau seorang maestro seni

Simalungun yang tidak ada tandingannya sampai hari ini dan perintis

pembangunan jalan penghubung Sondiraya-Sindarraya. Semasa dia menjabat

84
Ibid.
85
Ibid.

63
sebagai penguasa swapraja di Raya, sungguh banyak pembangunan yang

dirasakan masyarakat seperti pengadaan listrik dan air minum serta

transportasi bus yang diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute

Pematangsiantar-Pematang Raya. Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu

menghadiri acara keluarga saudaranya Tuan Manakraya, bersama Opas Radan

Sitopu dan Penilik Sekolah (Schoolopziner) Saulus Siregar.Ketiganya

ditangkap dan dibawa ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang

Sigodang). Opas Radan Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura

mati dan menjatuhkan dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan

Kaduk tewas dipenggal lehernya dan dihanyutkan di sungai Bah Hutailing

tersebut. Mayatnya kemudian ditemukan TRI dan dibawa ke Pematangsiantar

dan dimakamkan secara agama Kristen di belakang Gereja HKBP Kampung

Kristen Pematangsiantar oleh pendeta HKBP.Pada waktu dia meninggal baru

dua orang anaknya yang sudah berumahtangga dari 12 orang putera-puterinya.

Salah seorang yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah

Rondahaim Saragih yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama

berdiam di Australia dan Aberson Marle Sihaloho yang dikenal selaku

politisi. Tuan Anggi Raya yang dikenal dengan gelar Tuan Pamah (Tuan

Pusia Saragih Garingging) memilih harakiri (gantung diri) di kampung

Hutadolog Merekraya ketimbang ditangkap BHL.Keluarga bangsawan Raya

lainnya melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman. Menurut Dja Sarlim

Sinaga, turut dibunuh Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim Damanik,

Parudo Girsang dari Saribudolok. Mereka-mereka ini adalah orang yang

64
sebenarnya tidak ada hubungan darah dengan raja Raya, tetapi dibantai

juga.Sasaran BHL bukan lagi kaum bangsawan, tetapi juga mereka yang

kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis (dokter, mantri,

bidan), guru bahkan mereka yang kesan hidupnya terlihat kebarat-

baratan.Revolusi sosial dilihat sebagai sebagian orang sebagai ajang balas

dendam dengan motif-motif pribadi yang berdampak sampai sekarang ini. 86

3.1.3. Serdang

Di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat

adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Serdang terhadap kaum

pergerakan dan perasaan anti-Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman colonial

Belanda dan dukungan positif dari Sultan terhadap NRI sejak tahun 1945 maka

tidaklah terjadi pembunuhan atau pemerkosaan di sini. Sultan Sulaiman tidak

menyandarkan diri kepada Pasukan Sekutu, karena banyak kerabat dan orang-orang

bangsawan Serdang yang dianjurkan menduduki posisi penting di dalam TKR, oartai-

partai Islam, dan PNI serta dalam organisasi massa lainnya. 87

3.1.4. Asahan

Kejadian di Asahan tak terlalu berbeda dengan yang terjadi di Siantar. Istana

telah kosong dan telah berdiri pula markas TKR di depan istana. Pada tanggal 3

Maret 1946 tengah malam, laskar-laskar liar menembaki markas TKR di depan

Istana. Sultan dengan iringan seorang opas menyelinap ke tanah lapang di

86
Ibid.
87
Sinar, T Luckman. Op.cit. Hal. 505

65
depanistana dan melihat banyak laskar-laskar liar bertiarapan menghadap ke istana

dari jalan besar. Sultan Saibun Abduljalil Rahmatsyah berhasil meloloskan diri dari

kejaran pemuda Republik dan laskar liar itu. Namun ia harus sempat dulu

bersembunyi di hutan sampai dua minggu dan ditolong oleh dua orang Cina yang

setiap hari membawakannya makanan dalam tempat persembunyian. Selain keluarga

Sultan dan rakyat biasa, pegawai, sahabat, kenalan Yang Muia serta orang lain yang

dituduh kaki-tangan NICA ditangkap hingga beribu orang banyaknya. 88

Pagi 3 Maret 1946, Tengku Muhammad Yasir duduk santai setelah salat

subuh di rumahnya yang terletak di lingkungan istana Kesultanan Asahan. Dari

tempatnya, ia melihat orang-orang bersenjata tiarap menuju istananya. Waktu itu ia

masih berusia 17 tahun. Orang-orang yang tiarap itu membawa tombak, senjata laras

panjang juga pendek. Lingkungan istana yang masih berupa tanah lapang

menyebabkn Yasir bebas melihat suasana istana. Yasir tak tahu siapa mereka,

belakangan ia baru tahu mereka adalah orang-orang dari laskar merah, kelompok

yang terdiri dari laskar prorepublik, buruh, dan masyarakat. Ada juga orang-orang

partai Masyumi, PKI, Pesindo, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).Ayah Yasir juga

dijemput dan diminta datang ke markas mereka untuk diperiksa.Semua yang

ditangkap dan dikumpulkan di gedung Javasche Bank. Di markas itu ternyata ayah

Yasir ta diperiksa, malah namanya masuk daftar yang akan dibunuh. Penyerbuan itu

tak hanya menghilangkan nyawa, tapi juga harta benda. 89

88
Ibid. Hal. 516.
89
Hasil wawancara dengan Tengku Muhammad Yasir pada tanggal 26 Mei 2014 pukul 12.30 WIB.

66
3.1.5. Kualuh

Pada malam yang sama juga terjadi pembantaian di Istana Yang Dipertuankan

Kualuh di Tanjung Pasir. Kira-kira pukul 12 malam, istana itu didatangi oleh berates-

ratus orang laskar yang tidak dikenal lengkap dengan senjatanya melepaskan

tembakan berpuluh-puluh kali dan meminta pintu istana dibuka.Setelah dibuka,

masuklah beberapa orang bersenjata mengancam perempuan-perempuan yang ada di

tengah malam itu.Dan mencari Sultan.Yang Mulia Tengku Manyur Syah ditembak

dengan senapan dan kena di lengannya, karena disangka telah mati, kemudian

pemimpin perusuh itu pergi.Keluarga Sultan juga dibunuh.Kepala Tengku Darman

Syah dipenggal. Sementara Tengku Ibrahim, Kepala Distrik di situ juga turut disiksa.

Ia ditembak di depan ratusan orang pada 5 Maret, setelah sebelumnya disiksa dalam

perjalanan menuju rumah sakit untuk menolong Tengku Mansyur Syah. Kemudian

tubuhnya yang kelelahan dikubur hidup-hidup.Pada 7 Maret, Mr. Loeat Siregar,

Wakil Ketua PKI Sumatera sebagai Wakil Residen NRI dan Sarwono, Ketua Pemuda

PKI sekaligus Kepala Pesindo Pusat Sumatera beserta pimpinan-pimpinan lain datang

ke Tanjung Pasir. Mr. Loeat Siregar menerangkan, bahwa penangkapan-penangkapan

yang telah terjadi adalah pekerjaan “Revolusi Sosial” yang disetujui pemerintah dan

yang telah terjadi belumlah cukup dan masih akan berjalan terus, dan akan makan

korban yang lebih banyak. 90

90
Ibid. Hal. 514-516

67
3.1.6. Langkat

Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar pun

terus terjadi, hingga ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Malam itu, Bupati

Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan dibawa ke

Kebon Lada (daerah Pungai).Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat Hilir sekaligus

seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui

gagasan Indonesia.Mereka kemudian disiksa dan dipancung oleh algojo Mandor

Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat. 91

Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh.Ia ditangkap dan diasingkan

hingga kemudian wafat karena sakit. Kedua putri Sultan Mahmud sempat diperkosa

di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah pemerkosaan itu menjadi cerita turun

temurun di keluarga mereka hingga saat ini. Pada memoar itu juga tercantum kutipan

dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah suaminya

yang diculik.Kutipan itu diambil dari buku hariannya. 92

Di hari yang sama, sekitar dua jam dari Binjai, tepatnya di Istana Kesultanan

Langkat, Tanjung Pura. Orang-orang dari kelompok yang sama menyerang serta

merampas harta Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah, Sultan Langkat masa itu.

Ia dikumpulkan bersama penghuni istana lainnya. Mereka dibawa ke Hutan Sawit

Seberang.Di tengah perjalanan, rombongan ini dipecah dua.Kelompok pertama berisi

pejabat istana dibawa ke sungai dekat Hutan Sawit Seberang.Mereka dibunuh di situ.

91
Ibid.Hal 494.
92
http://www.lenteratimur.com/maret-berdarah-di-sumatera-timur-67-tahun-silam/ diakses 24 Maret 2015.Pukul
13.28 WIB.

68
Sedangkan Sultan Mahmud, istrinya dan ketiga putrinya lanjut dibawa ke Hutan

Sawit Seberang. 93

Di sanalah mereka bertemu dua orang dari PKI. Dari sana Sultan Mahmud

akan dibawa lagi seorang diri. Istri dan putrinya seketika histeris.Tak terima.Kedua

komunis itu memanfaatkan situasi.Mereka bilang jika ingin selamatkan nyawa sultan,

ketiga putrinya harus bersetubuh dengan mereka.Tapi dua putrid sultan yang remaja

memohon untuk melepaskan adik mereka yang masih di bawah umur.Permintaan pun

disepakati.Sultan Mahmud hilang beberapa hari.Pasukan sekutu di Medan

memerintahkan dokter kesultanan Langkat dan pasukan sekutu di Langkat untuk

mencarinya.Tahu hal itu, kedua komunis tadi malah membawa Sultan Mahmud dan

rombongan lebih jauh ke pedalaman, ke Perkebunan Namu Unggas. Di sana

rombongan diserahkan ke laskar pimpinan Abu Daud. Dua minggu setelahnya

rombongan Sultan Mahmud dipindahkan ke Batang Serangan, lalu ke Tanjung

Selamat. Di sini, rombongan Sultan Mahmud dibagi dua lagi: dua putrinya

dikembalikan ke Sawit Seberang. Sultan beserta istri dan putrid bungsunya dibawa ke

Berastagi.Ikut juga bersama mereka beberapa tawanan Sawit seberang, berisi kerabat

Kesultanan Langkat. 94

3.2.Analisis Pola Gerakan Sosial Politik di Sumatera Timur pada Maret 1946

Setelah mengetahui bagaimana kronologi gerakan yang terjadi di setiap

daerah di Sumatera Timur, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data yang

93
SUARA USU. 2014.Catatan Sejarah di Maret Berdarah.Majalah Pers Mahasiswa SUARA USU Ed. V.
94
Hasil wawancara dengan Tengku Zulkifli pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 11.00 WIB.

69
diperoleh selama penelitian berlangsung dengan menggunakan teori struktur

kesempatan politik atau Political Opportunity Structures (POS).

Teori kesempatan struktur politik atau POS yang dipakai adalah model milik

Dough McAdam dan Peter Eisinger.Kedua model sama-sama

menjelaskankesempatan struktur politik bukan satu-satunya variabel penjelas yang

relevan terhadap sebuah gerakan sosial yang terjadi. Namun, berbeda dengan Eisinger

yang mengklaim bahwa ada beberapa faktor lain yang harus disertakan dalam

menjelaskan tindakan politik, model McAdam justru menunjukkan hanya satu faktor

yang bisa menjelaskan. Namun, dalam diskusi tentang model McAdam menyebutkan

faktor-faktor lain juga. Misalnya, tidak hanya tingkat organisasi penduduk (kekuatan

organisasipribumi), tetapi tingkat organisasi dari "penduduk yang dirugikan" yang

tidak terwadahi organisasi apa pun. Dengan begitu, "keluhan" atau protes penduduk

adalah faktor lain.Kita bisa menyimpulkan bahwa Eisinger serta McAdam percaya

bahwa di samping POS itu sendiri, ada beberapa variabel lain mempengaruhi

tindakan politik.

70
Gambar 3.1

Diagram Sebab-Akibat Milik McAdam

Mekanisme POS yang dikemukakan Eisinger berupaya menjelaskan bahwa

gerakan sosial terjadi disebabkan perubahan dalam struktur politik yang dilihat

sebagai kesempatan. 95 Ada empat hal yang menyajikan definisi sekaligus mendasari

POS, yaitu:

• The nature of the chief executive atau Sikap Kepala Eksekutif/Pemerintahan

(Aktor)

• The mode of aldermanic electionatau cara pemilihan legislatif daerah

• The distribution of social skill and statusatau distribusi dari kemampuan dan

status sosial.

• The degree of social disintegrationatau derajat dalam disintegrasi sosial.

95
Eisinger, Peter. 2009. Theories of Political Protest and Social Movement: A Multidisciplinary Introduction,
Critique, and Synthesis. USA and Canada: Routledge.

71
Dalam preposisi yang diajukan seperti pada keterangan di atas terlihat bahwa

poinA dan B berbicara mengenai struktur, sedangkan poin C dan D berbicara

mengenai agen atau aktor. Faktor-faktor tersebut, secara individu maupun kelompok,

merupakan faktor untuk mencapai tujuan politik atau bisa juga menghambat tujuan

politik tersebut.Selain itu, terdapat pula faktor governmental responsiveness dan level

of community resources yang dapat membantu pencapaian tujuan politik.

Eisinger menekankan bahwa protes adalah sebuah fungsi dari kesempatan

politik.Protes juga merupakan tahapan yang paling rendah sebelum terjadinya

gerakan sosial.Ada dua hipotesa mengenai fungsi tersebut, yaitu model linier dan

model curvilinier. Dalam model linier, protes adalah bentuk dari frustrated response,

ketika POS rendah maka protes akan tinggi, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka

protes akan menurun. Dalam model curvilinier, ketika POS rendah maka protes juga

rendah, dan sebaliknya ketika POS tinggi maka akan meningkatkan protes. Protes

pertama-tama akan meningkat dan kemudian menurun ketika POS meningkat. Hal ini

disebabkan adanya ekspektasi yang meningkat akan terpenuhinya permintaan

individu terhadap politik.

Menurut definisinya, Eisinger membagi POS menjadi dua, yaitu definisi

objektif dan definisi subjektif.Dalam definisi objektif, POS dikaitkan dengan struktur

kesempatan sebagai variabel yang memengaruhi kemungkinan tercapainya tujuan

dari individu ketika kelompok-kelompok aktif secara politik.Perubahan lingkungan

yang mengubah tujuan dari pencapaian tujuan tersebut.Kemungkinan secara objektif

ini dilihat berdasarkan pihak luar.Berbeda dengan definisi objektif, definsi subjektif

72
melihat tujuan tergantung pada indvidu.Faktor lingkungan dianggap memengaruhi

tindakan politik. Perubahan dalam lingkungan politik menaikkan perubahan dalam

ekspektasi subjektif akan suksesnya pencapaian tujuan.

Eisinger mengemukakan pula variabel tentang sebuah kemunculan gerakan

sosial yang mempergunakan mekanisme POS. Pertama, gerakan sosial muncul ketika

tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan.Kedua,

gerakan sosial muncul ketika keseimbangan politik sedang tidak stabil dan

keseimbangan politik baru belum terbentuk.Ketiga, gerakan sosial muncul ketika para

elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku

perubahan sebagai kesempatan.Keempat, gerakan sosial muncul ketika para pelaku

perubahan bersatu oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk melakukan

perubahan. 96

Maka jika merunut pada penjelasan Eisinger tentang variable di atas, gerakan

yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946 sudah dimulai sejak berita

kemerdekaan masuk ke Sumatera Timur pada Oktober 1945. Sebab, jika menilik

proses pertama mekanisme POS milik Eisinger ini, pada masa tersebarnya kabar

kemerdekaan di Sumatera Timur, tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik

mengalami keterbukaan. Keseluruhan dinamika politik yang yang biasanya diatur

Belanda melalui Kerajaan-Kerajaan yang ada mulai longgar keleluasaannya.

96
https://satwikobudiono.wordpress.com/2013/01/24/struktur-kesempatan-politik-gerakan-perempuan-di-
indonesia/. Diakses pada 28 Maret 2015.Pukul 10.04 WIB.

73
Kota Medan pada Agustus 1945 diselimuti oleh konflik politik dan sosial

yang jauh lebih serius dibandingkan dengan masa sebelumnya.Baik di Medan

maupun di kota-kota lainnya di Sumatera Timur, tidak terdapat kepemimpinan

tunggal yang dapat mempersatukan semua golongan atau faksi yang

bertikai.Sebagian masyarakat masih mengharapkan hasirnya kembali penguasa lama

dan mereka tidak ingin berlindung di bawah Republik yang belum jelas.Hal ini

menyebabkan kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jawa baru bisa menyebar

pada Oktober 1945 di Sumatera Timur.

Setelah proklamasi kemerdekaan, raja-raja Melayu bersikap tunggu dan

lihat.Namun, ada beberapa tokoh kerajaan yang berlangsung menunjukkan sikap

simpati kepada Belanda, seperti Datuk Jamil dan Tengku Musa. Sultan Serdang,

Langkat, dan Asahan setelah berunding dengan para pemuda yang tergabung dalam

BPI baru mau mengibarkan bendera merah putih. Sementara Sultan Deli secara

terang-terangan tidak mengakui kedaulatan Republik. 97

Hal-hal macam begini yang terlihat jelas sebagai sebuah keterbukaan

lembaga-lembaga politik yang ada di Sumatera Timur.Para Sultan yang

melambangkan kekuatan eksekutif di keresidenan ini jelas memperlihatkan

kegamangan sikap atas kabar kemerdekaan Indonesia. 98Hal ini juga sekaligus

menggambarkan poin kedua Eisinger, di mana keseimbangan politik tidak stabil dan

keseimbangan politik baru belum terbentuk.

97
Suprayitno. Op.cit. Hal 61.
98
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 27 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

74
Tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu/Inggris dari Divisi India ke-26 di

bawah pimpinan Brigadir T.E.D. Kelly menduduki tiga kota penting di Sumatera

yaitu, Medan, Palembang dan Padang. Kedatangan tentara Sekutu dan Netherlands

Indies Civil Administration (NICA) mempertebal semangat penentang Republik,

yang sejak zaman Jepang mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Di bawah

perlindungan NICA/Inggris mereka menganggap impiannya untuk membangun

keadaan seperti sebelum Perang Dunia II akan tercapai. Sebaliknya pendukung

Republik memandang kerjasama sekutu, NICA, dan kerajaan sebagai ancaman

terhadap Republik.Akibatnya berkobarlah sentiment anti-Belanda, antifeodal, dan

anti-asing.Meskipun demikian, dalam barisan Republik terdapat perpecahan antara

golongan moderat dan radikal.Perpecahan itu bersumber pada kebijaksanaan

diplomasi yang diterapkan oleh golongan moderat.Tokoh-tokoh moderat seperti T.M.

Hasan tetap mengikuti kebijaksanaan Pemerintah Republik di Jawa.Sementara para

pemuda yang tergabung dalam BPI, BKPI, National Control semakin tidak sabar

dengan pendekatan Hasan yang hanya memberi napas lebih lama kepada NICA dan

kerajaan.Akibatnya, bentrokan hebat segera terjadi, setelah terang-terangan ada

konspirasi antara NICA-Inggris dan kerajaan.Tercatat selama Oktober sampai

Desember 1945 telah terjadi bentrokan bersenjata antara pemuda-pemuda Republik

dengan sekutu dan NICA.Di antaranya adalah Peristiwa Jalan Bali, Peristiwa Siantar

Hotel, Peristiwa Berastagi, dan Peristiwa Jalan Serdang. 99Peristiwa Jalan Bali dan

Siantar Hotel telah memicu semangat para pemuda untuk berdiri teguh di belakang

Republik.Bagi mereka peristiwa itu merupakan sinyal dimulainya perjuangan

99
Suprayitno. Op.cit. Hal 61.

75
melawan musuh-musuh Republik.Darah orang Belanda dan kaki tangannya harus

ditumpahkan demi Revolusi Nasional.

Kemerdekaan Indonesia sendiri menciptakan paham-paham baru dalam

berbangsa. Islam, Komunisme, dan Sosialisme menjadi yang paling populer. Papan-

papan baliho di sepanjang jalan di kawasan Sumatera Timur ini dipenuhi jargon-

jargon semacam “Darah orang Belanda dan kaki tangannya harus ditumpahkan demi

Revolusi Nasional”. 100Kemerdekaan telah menggoyahkan sistem politik yang

berjalan selama ini sejak saat kolonialisme yang dilakukan Belanda dan masa

pemerintahan Jepang.Sementara sistem pemerintahan Indonesia belum jelas, sebab

kesepakatan membentuk Negara Republik dilakukan sejumlah tokoh nasional saja.

Sementara tak semua daerah di Indonesia menginginkan hal yang sama, atau

setidaknya belum siap seperti Keresidenan Sumatera Timur. 101

Lantas seperti poin ketiga mekanisme POS milik Eisinger, gerakan sosial

muncul ketika para elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini

dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan.Volksfront yang

merupakan gabungan dari sejumlah organisasi kemasyarakatan yang terbentuk sejak

zaman pra-kemerdekaan jelas melihat kondisi ini.Konflik elite politik memang jelas

100
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
101
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

76
terjadi di mana-mana, baik di pusat (Jakarta), juga di daerah-daerah seperti Sumatera

Timur. 102

Volksfrontyang merupakan aliansi berbagai macam organisasi perjuangan di

Sumatera Timur—di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan Gerindo,

Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) atau golongan

pemuda radikal yang prorepublik.Masa antara 1945-1947 adalah masa–masa revolusi

fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, antifeodalisme, dan imperialisme

merupakan senjata untuk mencegah kembalinya kekuasaan penjajah.Para pemimpin

organisasi dan sebagian masyarakat memandang kekuasaan feodal sebagai

penghalang revolusi nasional Indonesia yang mengandung nilai-nilai anti-

kolonialisme, antifeodalisme, nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi merupakan

gejolak-gejolak yang mendorong revolusi sosial.Golongan bawah yang merupakan

objek eksploitasi kolonial yang dihasilkan oleh kolaborasi pemerintah Hindia

Belanda, planters, dan kaum bangsawan menganggap saat ini adalah waktu yang

tepat untuk melampiaskan dendamnya.Golongan ini sangat mudah memobilisasi. 103

Sementara konflik antara Pro-Republik dan pihak-pihak gamang makin jelas

tampak terutama di Sumatera Timur, kelompok Volksfront jelas sekali memanfaatkan

kesempatan ini untuk bergerak.Mereka memanfaatkan konflik yang ada untuk

102
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
103
Sinuhaji, Wara. 2007. Ibid.

77
menekan pihak-pihak yang dianggap tidak pro kepada Republik, terutama raja-raja di

keresidenan Sumatera Timur yang sebagiannya jelas menolak. 104

Dari paparan teoritis ini, gerakan sosial politik muncul akibat adanya

ketidakpuasan yang selanjutnya disulut oleh agitasi dan provokasi dari pihak-pihak

yang berkepentingan dengan menunjukkan kelemahan atau rasa kebencian pada

rezim yang akan dijatuhkan. Artinya suatu revolusi tidak pernah berjalan spontan, dia

berada dalam posisi direncanakan secara rapi dengan memanfaatkan situasi

ketidakpuasan publik. 105 Jadi sangat tidak benar bila dikatakan bahwa pembantaian

massal di Sumatera Timur itu adalah suatu peristiwa yang berjalan spontan.

Gerakan sosial dalam proses politik memiliki kesempatan untuk melakukan

perubahan struktur politik. Prosesnya melalui pembentukan identitas bersama yang

tersusun secara legal dan terlegitimasi.Perubahan struktur politik didalamnya

mencakup banyak aspek.Diantaranya meliputi tradisi kebudayaan dan politik, rasa

kebersamaan, ideologi, serta praktik hegemoni.Teori proses politik dalam gerakan

sosial menekankan pada isu sosial makro yang memungkinkan tumbuhnya gerakan

sosial. Menurut McAdam, ekonomi dan khususnya politik menjadi faktor utama yang

berkepentingan dalam gerakan sosial. 106

104
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
105
Hasil wawancara dengan Bapak Phil Ichwan Azhari pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 12.59 WIB di Kantor Prodi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sejarah, Unimed.
106
Marc Hooghe. 2005. Ethnic Organisations and Social Movement Theory: The Political Opportunity Structure
for Ethnic Mobilisation in Flanders. Routledge. Journal of Ethnic and Migration Studies
Vol. 31, No. 5, September 2005.

78
Sehingga dapat digambarkan, bahwa pola gerakan sosial politik yang terjadi

di Sumatera Timur pada Maret 1946 tersebut sesuai dengan pola gerakan sosial

politik milik Eisinger dengan teori POS. Berikut adalah gambaran pola tersebut:

Gambar 3.2

Pola Gerakan Sosial Politik yang Terjadi di Sumatera Timur

Gerakan sosial politik di Sumatera Timur yang akhirnya meledakan peristiwa

berdarah pada Maret 1946 sudah jelas bukanlah gerakan yang terjadi spontan.Semua

telah direncanakan oleh Volksfront sebagai pelaku/aktor utama.Gerakan ini jelas

dibangun dari sentimen pasca kemeredekaan yang muncul terhadap kerajaan-kerajaan

yang dianggap tidak pro kepada republik.Seperti gambar di atas, gerakan sosial yang

terjadi bermula dari kekekuatan organisasi pribumi yang bersatu diwadahi

Volksfront.Melalui organisasi, isu-isu politis disampaikan agar terbentuk kekuatan

79
masa yang besar.Hal ini sesuai dengan model POS milik McAdam yang

menerangkan bahwa, kekuatan organisasi begitu besar dalam terjadinya sebuah

gerakan sosial.Pasalnya, perekrutan dan pembekalan ilmu terjadi di sini.Sehingga

dapat membentuk pandangan baru bagi individu-individu.Dalam kasus gerakan sosial

politik di Sumatera Timur ini, para aktor yang ikut membantai bangsawan sudah

terlebih dahulu dibekali pengetahuan dan doktrin-doktrin khusus dari Volksfront

secara khusus dan organisasi-organisasinya sendiri secara umum.Misalkan, perkara

ekonomi.Sebagaimana kencangnya jargon menghalalkan darah NICA dan antek-

anteknya, masalah ekonomi ini juga jadi isu yang turut diembuskan kencang.Bahwa

pihak kerajaan menikmati kekayaan mereka dari pajak yang diberikan para buruh

perkebunan.

Di dalam organisasi itu pula, menurut McAdam, terjadi proses memperluas

kesempatan politik. Di dalamnya, selain individu diberikan doktrin-doktrin tertentu,

juga sekaligus diajarkan keuntungan-keuntungan apa saja yang diberikan jika tujuan

organisasi bisa tercapai. Hal inilah yang akhirnya bisa membentuk protes dari

individu-individu yang ada terhadap keadaan sosial politik yang tengah

berlangsung.Sehingga jika protes-protes individu ini dikumpulkan, maka tak mustahil

sebuah gerakan sosial politik bisa terjadi.

Maka dari itu, tak heran mengapa gerakan sosial politik yang terjadi di

Sumatera Timur itu dapat terjadi dengan begitu sistematis.Sebab, pola gerakannya

juga terangkai begitu rapi jika dikaji dengan teori POS ini.

80
3.3. Bukan Sebuah Revolusi Sosial

Peristiwa berdarah pada Maret 1946 di Sumatera Timur jelas adalah sebuah

gerakan sosial yang berlandaskan pikiran dan tindakan politis.Namun, gerakan ini tak

sepenuhnya bisa dikatakan sebuah revolusi sosial.Sebab, dalam teknis, terjadi begitu

banyak keganjilan.Hal inilah yang peneliti temukan dari data pustaka dan hasi

wawancara yang telah dilakukan.

Kekerasan yang terjadi selama bulan Maret 1946, telah melenyapkan semua

kerajaan di Sumatera Timur.Hegemoni Melayu yang dibangun sejak masa colonial

Belanda, dalam tempo beberapa hari runtuh disapu ganasnya gerakan tersebut.Semua

hak istimewa atas tanah dicabut.Tanah-tanah perkebunan dibagikan kepada buruh-

buruh dan petani non-Melayu.Para petani Melayu akhirnya terusir dari tanah

perkebunan yang mereka kerjakan berdasarkan kontrak sebelum perang.Hak istimewa

orang Melayu terutama atas tanah Jaluran di perkebunan dicabut.Ketegangan etnis di

Sumatera Timur semakin meningkat. Hubungan kerajaan dengan Republik telah

terputus sama sekali dan sebagian pemimpin kerajaan mengharapkan bantuan

perlindungan dari Inggris/Belanda. Dengan dihapuskannya pemerintahan kerajaan,

ribuan petani menduduki tanah-tanah perkebunan.

Di samping itu gerakan yang terjadi menyebabkan sebagian besr masyarakat

Cina dan Indo-Eropa secara tegas menentang Republik.Demikian juga ada orang

Jawa, Batak, dan Ambon yang berpendirian moderat masuk ke dalam kubu kerajaan

Belanda, karena mengkhawatirkan adanya dominasi kaum radikal dalam Pemerintah

81
Republik di Sumatera Timur.Dalam konteks revolusi nasional Indonesia, gerakan

yang terjadi disebut sebagai revolusi social yang merupakan kemenangan politik bagi

Republik.Kekosongan kekuasaan karena ditinggalkan oleh kerajaan, kemudian diisi

oleh barisan nasionalis republiken.Namun demikian, kemenangan ini menimbulkan

perpecahan yang semakin parah antara akum moderat dengan kaum radikal yang

menolak pendekatan diplomasi dan rekonsiliasi.Di luar Medan, yang memegang

inisiatif pemerintahan adlah para pemimpin radikal dari PNI, PKI, Pesindo, Masyumi,

dan Lasykar Rakyat.Mereka telah mengendalikan kekuasaan ekonomi dan politik di

wilayah kerajaan.Meningkatnya kekuasaan kaum radikal ternyata juga memperbesar

pertikaian antar golongan Sumatera Timur.

Revolusi sosial telah member dampak negatif bagi kehidupan sosial-politik

masyarakat Sumatera Timur. Menurut Reid, “revolusi social” membuat banyak

kemerosotan social dan bentrokan-bentrokan yang semakin bersifat kesukuan. Harta

rampasan yang didapatkan dari “revolusi sosial” telah mencoreng reputasi

revolusioner dan menebar rasa curiga di antara pasukan dan di antara barisan yang

saling bersaing.

Pernyataan Reid dibantah oleh Langenberg. Menurutnya Reid tidak

memberika cukup perhatian pada masalah “sifat” dan “timing” revolusi sosial yang

demikian kejam seperti yang terjadi di Sumatera Timur. Hal itu adalah suatu periode

singkat dari semangat revolusioner yang hebat dan lebih besar dari situasi revolusi

yang sedang berjalan.Lebih jauh Langenberg menegaskan, bahwa selama situasi

revolusi tetap lebih besar, restrukturisasi bukannya satu-satunya pilihan.Revolusi

82
sosial hanyalah sebuah kontribusi kepada persoalan yang lebih jauh besar.Dengan

mendasarkan asumsinya pada kejadiaan yang bersifat tiba-tiba, keras, dan

perampasan suber-sumber ekonomi dan politik, Langenberg menegaskan bahwa

gerakan yang terjadi di Sumatera Timur adalah sebuah revolusi.

Namun demikian, kesimpulan Langenberg masih harus dicermati lebih

jauh.Bila mengikuti alur pemikiran Eisenstadt, sebenarnya tidak terjadi revolusi

sosial yang sejati. Menurutnya, revolusi baru dapat dikatakan revolusi sejati apabila

lima syarat telah terpenuhi, yakni:

1. Terjadinya perubahan secara kekerasan terhadap sebuah reim politik, yang

didasari leh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri;

2. Terjadinya pergantian politik atau elite yang berkuasa dengan lainnya;

3. Terjadinya perubahan secara mendasar terhadap seluruh bidang

kelembagaan utama yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek

kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan industrialisasi menumbuhkan

sentralisasi, dan partisipasi politik.

4. Terjadinya pemutusan secara radikal segala yang telah lampau; dan

5. Memberi kekuatan ideologis dan orientasi kebangkitan mengenai

gambaran revolusioner.

Dari 5 prasyarat yang dinyatakan Eisenstadt, tidak semuanya dapat

diimplementasikan pada kasus peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur.Pergantian

elite yang pernah dilakukan akhirnya juga dibatalkan.Tindakan kekerasan anti

83
kerajaan ternyata mendapat kecaman dari barisan moderat dan TRI baik di Sumatera

maupun dari pemerintahan Sjahrir.Penghancuran kerajaan itu sendiri bertentangan

dengan UUD 1945 pasal 18 yang notabene mengakui daera otonomi kerajaan dalam

wilayah Negara Indonesia yang baru diproklamasikan.

Nyatanya, kekacauan yang ditimbulkan oleh “revolusi sosial” telah

memperekat posisi Amir dan Sjahrir dengan politik diplomasinya dan memberi

“amunisi” yang kuat bagi Van Mook dalam usahanya untuk menunjukkan lemahnya

kontrol Republik Sumatera. “Revolusi sosial” itu sendiri akhirnya membawa

kehancuran bagi penggeraknya Volksfront yang tidak mampu menguasai

pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Junan Nasution, Seragih Ras, Urbanus

Pardede, dan lainnya akhirnya mendekam di dalam tawanan TRI. 107

“Revolusi sosial” pada hakikatnya adalah cerminan dari permusuhan

mendalam yang dirasakan sebagian masyarakat non-Melayu terhadap system colonial

yang mereka pandang sangat eksploitatif.Peristiwa itu mengukuhkan terasingnya

mayoritas bangsawan Sumatera Timur dari Republik dan pada gilirannya

mengarahkan golongan itu untuk mendukung sistem federalisme.Revolusi sosial juga

telah menggoyahkan kepercayaan tokoh-tokoh Republik yang konservatif terhadap

kesanggupan RI untuk memberikan kemerdekaan yang lebih besar dari pada alternatif

sistem federal yang disodorkan Belanda. 108

107
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
108
Suprayitno. Op.cit. Hal 75-78.

84
Hal ini juga diaminkan oleh Phil Ichwan Azhari, Ketua Pusis Unimed dan

Suprayitno, Dosen Ilmu Sejarah USU. Mereka berdua sepakat jika yang terjadi

bukanlah revolusi sosial.Sebab, pihak kerajaan sebenarnya juga adalah korban dari

penjajahan kolonial yang dilakukan Belanda.Banyak hak-hak mereka yang dipangkas

oleh Belanda sendiri.Mereka memang menerima pajak sekian persen dari pajak-pajak

yang dipungut oleh Belanda melalui kerajaan, namun tetap saja dibalik ketersiksaan

yang dirasakan para buruh dan rakyat, adalah Belanda yang bertanggung jawab. 109

Belum lagi penjarahan yang terjadi saat eksekusi gerakan sosial politik ini

berjalan.Semua harta benda kerajaan yang dijarah membuktikan telah tercemarnya

semangat revolusioner yang ada.Peristiwa tersebut lebih pantas disebut sebagai

pembantaian missal terhadap kaum bangsawan.

Sementara, motif lain pembantaian kaum aristokrat dan cendekiawan

Sumatera Timur dianggap lebih dominan pada intrik politik dan balas dendam,

menurut salah satu saksi mata Maxinius Hutasoit, “Sudah tentu bahwa dalam revolusi

sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada

hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan

sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh

pelampiasannya”. 110

Namun menurut Suprayitno, kasus “revolusi sosial” (yang pertama sekali

diungkapkan oleh dr. Amir) yang terjadi di Sumatera Timur itu betul-betul suatu

109
Hasil wawancara dengan Bapak Phil Ichwan Azhari pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 12.59 WIB di Kantor Prodi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sejarah, Unimed.
110
Hutasoit, Marnixius. 1986.Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta: BPK Gunung Mulia.Hal. 46.

85
gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh kelompok-kelompok yang

punya kepentingan terhadap keinginan membentuk negara Republik. Untuk kasus di

Sumatera Timur, sudah jelas otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar

perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan

pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar,

Nathar Zainuddin, dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. 111Namun,

menurut Suprayitno, komando utama dari Volksfront sebenarnya tidak sampai

menyuruh para partisipan gerakan untuk membunuh orang-orang kerajaan.Melainkan

hanya untuk menculik mereka. Menurut Suprayitno, penjarahan dan pembantaian

yang terjadi di lapangan adalah tindakan kebablasan yang memperburuk semangat

revolusioner saat itu. 112

BAB IV

PENUTUP
111
Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, volume 1 (Medan: Badan Musyawarah Pejuang
Republik Indonesia Medan Area, 1976), Hal. 628.
112
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.

86
4.1 Kesimpulan

Tragedi berdarah yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946,

berdasarkan teori POS, merupakan gerakan sosial politik yang sistematis.Ia terjadi

dengan terlebih dahulu ditandai dengan beberapa faktor. Dengan demikian jelas

bahwa gerakan sosial politik di Sumatera Timur bukanlah sesuatu yang terjadi

spontan, dan dapat dikaji apa-apa saja faktor yang menyebabkannya terjadi.Melalui

teori POS pula, tergambar jelas bahwa gerakan yang terjadi di Sumatera Timur

merupakan gerakan yang memang terjadi karena alasan politis.

Mekanisme POS milik Eisinger menjelaskan empat hal mengapa gerakan

sosial politik bisa terjadi.Pertama, gerakan sosial muncul ketika tingkat akses

terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan.Kedua, gerakan sosial

muncul ketika keseimbangan politik sedang tidak stabil dan keseimbangan politik

baru belum terbentuk.Ketiga, gerakan sosial muncul ketika para elite politik

mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan

sebagai kesempatan.Keempat, gerakan sosial muncul ketika para pelaku perubahan

bersatu oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan.

Oleh sebab itu, jelas bahwa gerakan sosial politik yang terjadi di Sumatera

Timur pada Maret 1946 dimulai sejak kabar kemerdekaan Indonesia sampai di sana

pada sekitaran Oktober 1945. Hal ini tidak menafikkan bahwa sejak sebelum itu,

banyak organisasi kemasyarakatan yang sudah terbentuk dan melakukan doktrin-

doktrin mengenai masa pemerintahan Kerajaan yang dijajah kolonial Belanda, seperti

87
isu pajak yang terlalu tinggi dan lainnya.Namun, sebagai momentumnya,

kemerdekaan Indonesia dimanfaatkan sebagai alat untuk membungkam mereka yang

tidak pro kepada Republik, sekaligus sebagai ajang balas dendam kepada para

bangsawan yang dianggap pro Belanda.Sejak kabar kemerdekaan inilah, tingkat akses

terhadap lembaga-lembaga politik di Sumatera Timur semakin terbuka.Lembaga-

lembaga politik yang dimaksud adalah Kerajaan sendiri yang jadi eksekutif di tanah

Sumatera Timur.

Kebanyakan raja-raja di keresidenan Sumatera Timur gamang terhadap kabar

kemerdekaan, bahkan ada yang jelas-jelas menolak.Sehingga hal ini membuat

kerajaan mau tak mau harus terbuka menerima diskusi dan tawar-menawar dari

berbagai pihak, terutama mereka yang pro Republik.Keterbukaan yang terpaksa inilah

yang akhhirnya menandakan akses-akses lembaga politik di Sumatera Timur sudah

mulai terbuka saat itu. Hingga arah gerakan sosial yang akan terjadi sebenarnya sudah

tampai akan dimulai sejak saat itu.

Kemudian, hal di atas menyebar menjadi sebuah ketidakseimbangan politik

pemerintahan kerajaan di Sumatera Timur.Sementara keseimbangan politik baru dari

kemerdekaan Indonesia juga belum terbentuk sepenuhnya secara utuh. Konflik antara

mereka yang yang ingin Negara ini dibentuk sebagai sebuah republik dan mereka

yang masih gamang, terutama pihak kerajaan yang akan terkena dampak paling awal,

seolah-olah menjadi pelengkap ketidak seimbangan itu. Hal ini persis seperti

apayang dimaksud poin kedua Eisinger. Di mana, sebuah gerakan akan muncul jika

88
keseimbangan politik sedang tidak stabil dan keseimbangan politik baru belum

terbentuk.

Di saat yang bersamaan poin ketiga mekanisme POS dari Eisinger, ketika para

elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku

perubahan sebagai kesempatan, tengah terjadi.Di atas semua konflik itu, Volksfront

yang merupakan pelaku perubahan melihat konflik tersebut sebagai sebuah

kesempatan melakukan gerakan.

Sementara poin keempat Eisinger adalah gerakan sosial muncul ketika para

pelaku perubahan bersatu oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk

melakukan perubahan.Hal ini jelas terjadi juga pada kasus gerakan di Sumatera

Timur.Latar belakang Volksfront yang sebenarnya dipimpin oleh tokoh-tokoh

nasional yang radikal jelas menjadi gambaran terjadinya faktor keempat ini.Melalui

kekuatan itulah, Volksfront akhirnya semakin berkuasa untuk melakukan gerakan.

Namun, gerakan sosial politik yang terjadi di Sumatera Timur berakhir

dengan pembantaian dan penjarahan terhadap kaum bangsawan Melayu.Hal ini tidak

sesuai dengan semangat revolusiner yang dibangun pada masa itu.Keinginan

menghapuskan sistem feodal malah menjadi kebablasan dan menciptakan

pembantaian.Padahal yang terkena jajahan dari sistem kolonial Belanda tak hanya

masyarakat, tapi juga pihak kesultanan.Sehingga, istilah revolusi sosial yang selama

ini menggambarkan peristiwa tersebut, tak relevan lagi. Sebab, sebenarnya proses

89
revolusi sejati tak terjadi secara lengkap dalam peristiwa tersebut, seperti yang

dikatakan Eisenstadt pada bab sebelumnya.

Oleh sebab itu, yang terjadi di Sumatera Timur pada Maret 1946 memang

dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial politik, tapi bukan revolusi sosial. Pola

pergerakan yang terjadi juga persis seperti yang dijelaskan McAdam melalui teori

POS mekanismenya.Di mana gerakan tersebut dimulai dengan kekuatan organisasi-

organisasi yang muncul pada masa itu, yang kemudian menularkan doktrin-

doktrinnya ke banyak anggota dan individu di luar organisasi.Kekuatan individu ini

akhirnya membentuk protes-protes individu. Dalam proses pembekalan dan

perekrutan massa oleh organisasi, terjadi proses perluasan kesempatan politik bagi

individu-individu yang terlibat. Sehingga arus protes makin kuat dan akhirnya dapat

meletuskan gerakan sosial.

4.2 Saran

Setelah melakukan penelitian di atas, peneliti memiliki saran untuk beberapa pihak

terkait peristiwa berdarah di Sumatera Timur pada Maret 1946 ini. Berikut adalah

saran-saran tersebut:

1. Bagi pemerintah, hendaknya benar-benar merawat sejarah dengan

memudahkan akses-akses untuk arsip-arsip sejarah seperti peristiwa

berdarah di Sumatera Timur ini. Sebab, selama melakukan penelitian,

peneliti merasa data pustaka mengenai peristiwa ini sedikit susah dicari.

90
Data-data yang ada bukan jenis data yang memang dipajang untuk

ditemukan lalu dibaca, melainkan jenis data yang memang ada, tapi tak

banyak dan harus sedikit berusaha untuk mendapatkannya. Padahal,

peristiwa ini penting sebagai sejarah yang tak bisa dilepaskan dari

Indonesia dan Sumatera Utara sendiri.

2. Bagi para peneliti dan akademisi, sebenarnya banyak hal yang masih bisa

dikaji terhadap Sumatera Timur. Terutama dari segi terapan ilmu

politiknya. Namun, tak banyak sepertinya peneliti yang tertarik untuk

mengupas hal ini. Kebanyakan peneliti yang datang hanya dari terapan

ilmu sejarah.

3. Bagi pembaca, tak ada salahnya jika kita mengenal lebih dalam lagi

tentang sejarah yang pernah terjadi. Hal ini baik untuk memperkuat

nasionalisme kita, sehingga lebih mengenal negara dan daerah kita lebih

baik. Dan tentu saja mengambil banyak pelajaran dari masa lalu untuk

diterapkan di masa depan.

91
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bagong, Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di
Sumatera Timur.

Basarshah II, T Luckman Sinar. 1992. “Revolusi Sosial Pihak Kiri 1946” di Serdang
dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Revolusi
Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Creswell, John W. 2012. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cohen, Bruce J. 1992. Sosilogi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Dootjes, F.J.J. 1939. Kroniek 1938. Amsterdam: Oostkust van Sumatra Instituut.

Eisinger Peter. 1973. Theories of Political Protest and Social Movement: A


Multidisciplinary Introduction, Critique, and Synthesis. USA and Canada:
Routledge.

Hamka. 1966. Merantau ke Deli. Kuala Lumpur. Pustaka Antara.

Hutasoit, Marnixius. 1986.Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta: BPK Gunung


Mulia.

Kahin, George McTurnan. 2003. Nasionalism and Revolution in Indonesia.Cornell


University Press.Hal 412.

Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan
Bibliografis. Jakarta: Resist Book.

xv
Nawawi, Hadari.2003.Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Pers. Hal. 94.

Prihantoro, Moegi. 1984. Perang Kemerdekaan di Sumatera 1945-1950. Medan:


Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan Tinggi.

Putra, Fadillah dkk.Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan


Tantangan Gerakan Sosialdi Indonesia. Malang: Averroes Press, 2006.

Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. University of Maryland Press.

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di


Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan.

Suprayitno. 2001. Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Untuk


Indonesia.

Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Prenada Media. (Terj).

Tarrow, Sydney. 1994. Power in Movement: Social Movement, Collective Action, and
Politics. New York: Cambridge University Press.

Jurnal:

Biro Sejarah Prima. 1996. Medan Area Mengisi Proklamasi, volume 1. Medan:
Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area.

Hosnan. 2011. Gerakan Sosial Politik Dalam Mewujudkan Demokratisasi.


Universitas Airlangga Press.Political Science, Juli 2011.

Meyer, David C, and Debra Minkoff. 2004. Conceptualizing Political Opportunity.


The University of North Carolina Press. Social Forces, June 2004. Hal 1458

Sinuhaji, Wara.2007. Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang


Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946. Departemen Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra USU, Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007.

xvi
Marc Hooghe. 2005. Ethnic Organisations and Social Movement Theory: The
Political Opportunity Structure for Ethnic Mobilisation in Flanders.
Routledge. Journal of Ethnic and Migration StudiesVol. 31, No. 5, September
2005.
Situs Internet:

Hapoltakan.13 Juni 2012.Revolusi Sosial Sumatera Timur.http://sopopani


sioan.blogspot.com/2012/06/revolusi-sosial-sumatera-timur.html. Diakses
pada 24 Maret 2015. Pukul: 15.11.

Ikhwan, Muhammad. 23 Juni 2013.http://ikhti.blogspot.com/2013/06/revolusi-sosial-


di-sumatera-timur.html. Diakses pada 26 Maret 2015. Pukul: 16.53.

Zuhra, Wan Ulfa Nur. 19 Maret 2013.Maret Berdarah di Sumatera 67 Tahun


Silam.http://www.lenteratimur.com/maret-berdarah-di-sumatera-timur-67-
tahun-silam/ diakses 24 Maret 2015.Pukul 13.28 WIB.

https://satwikobudiono.wordpress.com/2013/01/24/struktur-kesempatan-politik-
gerakan-perempuan-di-indonesia/. Diakses pada 28 Maret 2015.Pukul 10.04 WIB.

Surat Kabar:

Pandji Ra’jat. 1947. Akibat Revoloesi Sosial di Soematera Timoer, 43 Familie


Sultanaat Langkat Diboenoeh.

SUARA USU. 2014.Sejarah Kabur, Sejarah Mungkin Terulang. Majalah Pers


Mahasiswa SUARA USU Ed. V.

xvii

Anda mungkin juga menyukai