Anda di halaman 1dari 13

Sisingamangaraja XII

Maharaja Toba

Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang


dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang
Rp 1.000

Berkuasa 1876–1907 M

Pendahulu Sisingamangaraja XI

Penerus -

Pemakaman Soposurung, Balige

Nama lengkap

Patuan Bosar Ompu Pulo Batu

Ayah Sisingamangaraja XI

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur


62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatra Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda,
kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9
November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan
di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1]
Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo
Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada
tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia
juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba
bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan
modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte
Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini
membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha
untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi
selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Asal usul
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja  Pagaruyung yang sangat
berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.
[2]
 Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa
di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa
dari Pagaruyung.[3] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur
kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya
kepada pemimpin Pagaruyung.[butuh rujukan]
Perang melawan Belanda[sunting | sunting sumber]

Peta Ekspedisi Toba 1878


Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris
di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh
wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.
Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke
Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah
Batak, sementara Raja Bakkara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan
Aceh menolak dan menyatakan perang.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para
penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus
menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat
kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit
sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,
yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos
Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat
pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat
ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa
keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia
dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya,
tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta
Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya [butuh rujukan].
Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya
Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[4]
Kontroversi agama

Cap Mohor Sisingamangaraja XII


Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak yaitu  Parmalim. Namun sudah
sejak zaman Belanda terdengar desas-desus bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk
agama Islam[butuh rujukan]. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah menjadi
seorang Muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft)[butuh rujukan]. Mereka tiba
pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan
pihak Aceh[butuh rujukan]. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang
pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin hubungan erat dengan pemerintah
dan tentara Belanda. Namun alasan utama maka para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa
Singamangaraja telah menjadi seorang Muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk
menganeksasi Tanah Batak[butuh rujukan]. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara
kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja XII di Bangkara[butuh rujukan] dan
memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.
Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak
menjadi bagian dari Hindia Belanda desas-desus bahwa Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak
pernah berhenti, sampai ada yang menulis[butuh rujukan] bahwa "Volgens berichten van de bevolking moet de
togen, woordige tituleris een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek
Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren" ("menurut laporan dari penduduk
maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, tetapi ia tidak menjadi seorang Islam
fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya"). Kemudian
dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L.
van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan, "Dat het vaststaat dat de oude S.S.M.
met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been
geworden zijn" ("Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk
agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya").
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa
Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam termasuk:
1. Singamangaraja XII tidak makan babi;memang dalam agama Parmalim juga babi diharamkan.
Maka agak diragukan jika disimpulkan bahwa beliau penganut Islam.
2. pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari
dan bulan; dan

3. Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).


Namun pemakaian simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang asing bagi agama asli Nusantara. Maka
masih menyimpan misteri mengenai agama Sisingamangaraja
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh makan babi,
melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya (penganut Parmalim).
Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang
beragama Hindu dan Parmalim. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat
pengaruh Hindu[5]. Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam.
Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-
kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia sangat terinspirasi lambang yang juga digunakan
oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli
Kozok.[6] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf
Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya
hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si
Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara".
Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa
keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh
kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra
sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya
dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII telah berpindah
agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan
mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil [butuh rujukan] seperti I.L.
Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk
mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda. [butuh
rujukan]

Makam[sunting | sunting sumber]
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir
bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli
Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. [1] Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan
Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu
Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya
Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian
dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak
dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan
Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan
keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan
Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang
kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk
mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh
kawasan Republik Indonesia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sisingamangaraja_XII
Sejarah 18 Februari 1845: Lahirnya Raja Toba Sisingamangaraja XII Lukisan Sisingamangaraja XII
karya Augustin Sibarani. FOTO/Buku "Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII" Oleh:
Iswara N Raditya - 18 Februari 2019 Dibaca Normal 1 menit Sejarah 18 Februari 1845 mencatat,
Sisingamangaraja XII dilahirkan. Raja Negeri Toba ini gigih melawan Belanda dan kelak ditetapkan
sebagai pahlawan nasional. tirto.id - Sisingamangaraja XII adalah Raja Negeri Toba (kini termasuk
wilayah Sumatera Utara) yang lahir tanggal 18 Februari 1845 atau 174 tahun silam. Pemerintah RI telah
menetapkan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional yang tercatat dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia. Salah satu yang masih menjadi perdebatan bahkan hingga saat ini adalah mengenai
agama Sisingamangaraja XII. Tidak sedikit yang meyakini ia beragama Nasrani, juga pernah dikabarkan
memeluk Islam. Namun, besar kemungkinan, Sisingamangaraja XII merupakan penganut kepercayaan
lokal, Parmalim. Yang jelas, Sisingamangaraja XII yang memerintah Negeri Toba sejak tahun 1876 ini
gigih melawan penjajah Belanda. Hingga akhirnya tokoh besar masyarakat Batak ini meninggal dunia
tanggal 17 Juni 1907 dalam usia umur 62 tahun. Pada 9 November 1961, pemerintah RI menetapkan
Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional. Berikut ini jejak-rekam perjuangan Sisingamangaraja
XII: 1845 Dilahirkan di Bakara, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, dengan nama kecil Patuan
Bosar, pada 18 Februari 1845. Beberapa penelitian menyebut Sisingamangaraja XII merupakan keturunan
Minangkabau dari Sumatera Barat. 1873 Belanda berencana melakukan invasi militer ke Aceh.
Sisingamangaraja XII yang kala itu belum menjadi Raja Negeri Toba menentang rencana tersebut dan
menyatakan perang karena pihaknya bersahabat dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Baca juga: Aceh
Pernah Digdaya di Zaman Sultan Iskandar Muda 1876 Sisingamangaraja XII naik takhta sebagai Raja
Negeri Toba. Negeri Toba kala itu masih menjadi wilayah taklukan Kerajaan Pagaruyung di Sumatera
Barat. Pusat pemerintahan Negeri Toba di bawah pimpinan Sisingamangaraja XII terletak di Bakara.
1877 Beberapa misionaris Kristen meminta bantuan kepada Belanda untuk melindungi mereka dari
ancaman pengusiran oleh Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII memang jarang mengizinkan
orang asing memasuki wilayahnya. Belanda menyanggupi, bahkan berencana menaklukkan seluruh
wilayah Toba. Baca juga: Misionaris Kristen Dibunuh di Tana Toraja 1878 Tanggal 6 Februari 1878,
Belanda mengirimkan pasukannya untuk membantu kaum misionaris, kemudian mendirikan benteng
pertahanan di wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII. Sebagai Raja Negeri Toba, Sisingamangaraja XII
tidak bisa menerima hal ini. Ia pun mengumumkan maklumat perang pada 16 Februari 1878. Pasukan
Belanda yang berjumlah ratusan orang menyerang Bakara pada 1 Mei 1878. Dua hari kemudian, pusat
pemerintahan Negeri Toba itu bisa diduduki Belanda. Beruntung, Sisingamangaraja XII beserta para
pengikutnya berhasil meloloskan diri, dan menerapkan strategi gerilya. Baca juga: Menerka Agama
Sisingamangaraja XII Setelah menaklukkan Bakara, Belanda yang memang lebih unggul jumlah personel
dan persenjataan berhasil menduduki beberapa wilayah Negeri Toba, termasuk Butar, Lobu Siregar, Naga
Saribu, Huta Ginjang, dan Gurgur. 1883-1884 Meskipun semakin terdesak, Sisingamangaraja XII pantang
menyerah dan terus melakukan perlawanan. Pada 1883, Sisingamangaraja XII mendapat bantuan pasukan
dari Kesultanan Aceh Darussalam kemudian menyerang beberapa pos Belanda. 1907 Setelah bertahun-
tahun terlibat peperangan dalam upaya mengusir Belanda dari tanah Toba, Sisingamangaraja XII wafat
tanggal 17 Juni 1907. Ia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di kaki bukit Lae Sibulbulen,
tepatnya di Desa Si Onom Hudon yang sekarang terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan
Kabupaten Dairi. Baca juga: Nortier Simanungkalit, Raja Mars dari Tapanuli Dada Sisingamangaraja XII
tertembus peluru dalam pertempuran itu. Dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta seorang
putrinya yang bernama Lopian, turut menjadi korban meninggal dunia. Keluarganya yang lain ditawan
Belanda. Jenazah Sisingamangaraja XII dimakamkan di Silindung. 1953-1961 Kuburan Sisingamangaraja
XII yang semula berada di Silindung dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Nasional di Soposurung,
Balige, pada 14 Juni 1953. Kemudian, tanggal 19 November 1961, Presiden Sukarno atas nama
pemerintah RI menetapkan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional. Baca juga artikel terkait
SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya (tirto.id - Humaniora) Penulis:
Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan Subscribe Now Sisingamangaraja XII gugur dalam
pertempuran melawan Belanda bersama dua putra dan satu putrinya.

"Sejarah 18 Februari 1845: Lahirnya Raja Toba Sisingamangaraja XII", https://tirto.id/dhg7

https://tirto.id/sejarah-18-februari-1845-lahirnya-raja-toba-sisingamangaraja-xii-dhg7

Cerita di Balik Gambar Sisingamangaraja XII


Keluarga menolak lukisan Sisingamangaraja XII yang gemuk karena dia puluhan tahun bergerilya
melawan Belanda.

 Lukisan Sisingamangaraja XII karya Augustin Sibarani. (Sampul buku "Perjuangan Pahlawan
Nasional Sisingamangaraja XII").
PADA 1954, Augustin Sibarani, pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia, menghadiri pertemuan
besar keluarga masyarakat Tapanuli yang diselenggarakan Panitia Sisingamangaraja XII di gedung Adhuc
Stadt (sekarang gedung Bappenas) di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu hadir seorang tokoh
Batak yang sudah tua, Sutan Paguruban Pane, ayah pengarang terkenal Sanusi dan Armijn Pane. Waktu
Sisingamangaraja XII bergerilya di daerah Dairi, Sutan bekerja sebagai klerk (juru tulis) di kantor
pemerintah Hindia Belanda di Sibolga.
Panitia memutuskan agar Sibarani membuat gambar Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan dari
Sutan Paguruban Pane. Aneh memang, tidak ada foto Sisingamangaraja XII, sementara ayahnya,
Sisingamangaraja XI ada fotonya yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis asal Jerman. Ada
cerita bahwa tak ada foto Sisingamangaraja XII karena kesaktiannya membuat juru foto Belanda menjadi
kaku ketika hendak memotret jenazahnya, dan kameranya hangus terbakar.
Sibarani membuat lebih dari sepuluh sketsa Sisingamangaraja XII. Salah satunya, menurut Sutan
Paguruban Pane, sudah cukup mirip tapi dia meminta Sibarani untuk menyempurnakannya. Untuk itu,
Sutan menyuruh Sibarani untuk pergi ke Tapanuli, Sumatra Utara, menemui tokoh-tokoh lain yang
mengenal Sisingamangaraja XII.
“Ada sejumlah uang yang dikumpulkan oleh panitia untuk tujuan memberangkatkan saya ke Tapanuli.
Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena ada anggota panitia yang menyeleweng, karena
itu saya tidak jadi pergi ke Sumatra. Dan selama beberapa tahun kemudian persoalan pembuatan gambar
Sisingamangaraja dilupakan,” kata Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja
XII.
Pada 1957, Joramel Damanik, tokoh Batak yang memiliki penerbitan, mengirim pelukis terkenal, Zaini,
ke Sumatra Utara untuk menemui keluarga Sisingamangaraja XII. Lukisan Sisingamangaraja XII yang
dibuat Zaini ditolak keluarga Sisingamangaraja XII karena kelihatan terlalu gemuk.
“Bila saja Zaini memakai logika sedikit, dia akan menyadari bahwa seorang pemimpin yang bergerilya
dan terus-menerus mengadakan long march di hutan belantara dan daerah berbatu di Dairi selama lebih
kurang 20 tahun, tidak mungkin berbadan gemuk atau bertubuh penuh lemak,” kata Sibarani.
Setelah itu, persoalan gambar Sisingamangaraja XII tidak bicarakan lagi sampai tahun 1961 ketika
Sisingamangaraja XII akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada Agustus 1961, Sibarani
dikunjungi Kolonel Rikardo Siahaan, tokoh pejuang Medan Area, bersama Kapten Sinaga. Mereka
meminta Sibarani segera pergi ke Tapanuli untuk merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII. Mereka
menyampaikan lukisan harus diserahkan kepada Presiden Sukarno pada Hari Pahlawan, 10 November
1961. Sibarani dibekali uang Rp6.000, jumlah yang cukup lumayan pada waktu itu.
Sibarani pergi ke Tapanuli ditemani pelukis Batara Lubis dan Amrus Natalsya. Sesampainya di Medan,
Sibarani didatangi pensiunan Bupati yang mengaku putra Raja Ompu Babiat Situmorang, raja yang
berjuang bersama Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.
Sibarani mendatangi Raja Ompu Babiat Situmorang di Harianboho (Samosir) di tepi Danau Toba. Raja
itu menerangkan ciri-ciri Sisingamangaraja XII: tingginya sekitar dua meter, wajahnya agak lonjong,
tidak berkumis karena suka dicabutin pakai pinset, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-
ujungnya dan agak mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di belakang
kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya mancung tapi agak besar, dan
dahinya lebar.
Selain keterangan penting itu, Sibarani mendapatkan dua foto dari putri Sisingamangaraja XII, yaitu foto
Raja Buntal dan Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII. Menurut Raja Ompu Babiat Situmorang,
kalau wajah Raja Buntal disatukan dengan wajah Raja Sabidan, maka Sibarani dapat melihat wajah
Sisingamangaraja XII.
Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani membutuhkan model. Dia mengunjungi Raja
Barita Sinambela sekaligus meminta restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII. Kebetulan di
rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia
memiliki alis mata yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu
Babiat Situmorang.
“Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model,” kata Sibarani.
Sibarani meminta bantuan seorang tua marga Sinambela untuk memakaikan pakaian kepada Patuan Sori.
Orang tua itu mengenal Sisingamangaraja XII sekaligus sebagai pengantar surat-surat Sisingamangaraja
XII kepada para panglimanya atau raja-raja lain.
Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian Sisingamangaraja XII berpose di hadapan
Sibarani. Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah iparnya di Medan yang tak jauh
dari rumah Raja Barita Sinambela. Setelah selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga
Sinambela merestui lukisan Sisingamangaraja XII karya Sibarani.
Sibarani menyerahkan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan
kepada Presiden Sukarno pada 10 November 1961. Namun, tidak jadi karena menunggu seorang ibu tua
berusia 72 tahun, anak Sisingamangaraja XII. Dia mengaku kakak dari Lopian, putri Sisingamangaraja
XII yang meninggal bersama ayahnya. Dia mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII tidak
begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus dibesarkan sedikit, dan alis matanya
terlalu tebal. Dia meminta Sibarani untuk mengubah lukisannya sebelum diserahkan kepada Presiden
Sukarno.
“Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang
tongkat itu pun selesai,” kata Sibarani.
Anggota panitia, tokoh-tokoh terkemuka sipil dan militer dan keluarga keturunan Sisingamangaraja XII
menghadiri upacara penyerahan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Presiden Sukarno di Istana Negara
pada Desember 1961. Ketika lukisan itu diserahkan kepada Sukarno, ibu tua itu berteriak “Among
(ayah)” lalu pingsan.
“Semua tokoh yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sisingamangaraja XII menandatangani
suatu pernyataan bahwa mereka mengakui lukisan Sisingamangaraja yang saya buat,” kata Sibarani.
“Tapi sayang, ini semua tidak dapat saya hadiri sebagai pelukisnya karena saya tidak berada di Jakarta.
Saya sedang berada di Medan menghadiri perayaan hari ulang tahun ibu saya.”

https://historia.id/kultur/articles/cerita-di-balik-gambar-sisingamangaraja-xii-P1Bnl

Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak


Asal Usul Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat
berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.
Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa
di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari
Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada
pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada
pemimpin Pagaruyung.

Biografi Sisingamangaraja XII


Salah satu pahlawan nasional Indonesia yang gigih berperang melawan penjajah adalah Sisingamangaraja
XII. Beliau merupakan pahlawan sekaligus seorang raja dari Toba, Sumatera Utara. Keberadaan beliau
membuat penjajah Belanda yang waktu itu berusaha menjajah Indonesia kewalahan. Sebagai seorang raja,
beliau tidak mau wilayahnya yang merdeka, subur dan makmur dijadikan kawasan penjajahan yang
kehilangan kemerdekaan.

Raja Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur
62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda.
Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau
Samosir.

Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya
Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open
door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-
Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama
Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara
Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan
tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun

Perang Melawan Belanda


Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para
penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi
sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Raja Sisingamangaraja XII dalam Perang Melawan Belanda

Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer
Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan
Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara
kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh
Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat
pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat
ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa
keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah
setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.

Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya,
namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta
Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian
bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan
Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.

Makam Sisingamangaraja XII


Kisah Si Raja Batak terakhir ini cukup melegenda, karena keberanian dan kesaktiannya pada saat
melawan penjajah Belanda selama 30 tahun. Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam
sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan
pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap
berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan
Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di
Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.
Sisingamangaraja XII dimakamkan bersisian dengan putra dan putrinya.

Memasuki komplek makam Sisingamarngaraja XII, kita akan menemukan banyak terdapat rumah adat.
Suasana yang teduh karena membuat mamam ini selalu tampak adri. Karena sesungguhnya kompleks
makam ini merupakan Taman Makam Nasional dan dibiayai pemerintah maka para pengunjug tidak di
pungut biaya untuk datang ke lokasi ini. Kita bisa mengunjungi makam ini sambil mengunjungi Museum
Batak Balige.

Mungkin sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa sesungguhnya Sisingamangaraj XII tidak
dimakamkan di Soposurung, melainkan di Torutung, Presiden Soekarnolah yang berinisiatif
memindahkan ke Balige.

Konon, pada saat berkunjung ke Balige pada tahun 1953 Presiden Soekarno dalam pidatonya di Lapangan
Balige ia berkata, "Bahwa Balige adalah daerah yang monumental bagi sejarah perjuangan Indonesia
melawan penjajah di tanah Batak, karena di Beligelah pertama kali meletus perang antara pasukan
Sisingamangaraja XII dan Belanda", seperti yang dilansir oleh direktori-wisata.com.

Lanjut Soekarno berujar. "Bahwa makam di Tarutung adalah makam yang dibuatkan Belanda kepada
Sisingamangaraja sebagai tawanan perang, tidak layak baginya yang seorang tokoh raja dan pahlawan
besar".

Maka pemerintah, masyarakat, dan keluarga kemudian bersepakat memindahkan makam


Sisingamangaraja XII ke Soposurung yang dikenal sekarang ini, di sanalah Makam Sisingamangaraja
XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak di makamkan.
Makam Raja Sisingamangaraja XII

Makam Sisingamangaraja XII berlokasi di Jalan Siposurung, Kecamatan Balige, Toba Samosir,
Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Museum Batak Belige, jarakya kira-kira 150
meter sebelum lokasi Museum Batak Balige.

Warisan Sejarah
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang
kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk
mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh
kawasan Republik Indonesia.

Selain itu, untuk mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi gelar
sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No 590/1961
tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto,
Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi

Gambar-gambar warisan sejarah Raja Sisingamangaraja XII

Foto Raja Sisingamangaraja XII dalam Lembaran Uang Rp


1.000,-

Cap / Stempel Raja Sisingamangaraja XII

Bendera Perang Raja Sisingamangaraja XII

Patung Raja Batak Sisingamangaraja XII di depan Museum Batak

https://batak-network.blogspot.com/2016/01/raja-sisingamangaraja-xii-pahlawan.html

http://sosok-tokoh.blogspot.com/2016/05/biografi-singkat-sisingamangaraja-xii.html

https://pancaronasejarah.blogspot.com/2018/09/biografi-singkat-sisingamangaraja-xii.html

Anda mungkin juga menyukai