2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Masuknya Dan Berkembangnya Pengaruh Hindu
Budha Ke Sumatera Utara”
Adapun tujuan penulisan darimakalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibuLister Eva
Simangunsong, S.Pd., MA, selaku dosen matakuliah SejarahSumatera Utara. Selainitu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang masuk dan berkembangnya pengaruh
Hindu-Budha bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terimakasih kepada
ibu Lister Eva Simangunsong, S.Pd., MA, yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauhdari kata sempurna.Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................i
BAB II.......................................................................................................................ii
PEMBAHASAN......................................................................................................ii
3.1 KESIMPULAN............................................................................................i
PENDAHULUAN
3. Agar pembaca dapat mengetahui situs situs peninggalan Hindu Buddha di Sumatra Utara
2
PEMBAHASAN
Praktek keagamaan Hindu dalam masyarakat Karo masih dapat dilihat sampai sekarang
di Desa Pintu Besi, Kecamatan STM Hilir, Deli Serdang, wilayah yang secara historis dikenal
sebagai tempat bermukim orang Karo (Karo Jahe) yang dikenal dalam sejarah Deli dengan
Sinuan Gambir. Sekitar 50 kepala keluarga memeluk agama Hindu. Di desa ini terdapat Pura
Persadanta, tempat ibadah umat Hindu. Keberadaan umat Hindu di sini ada sejak 1970, namun
pengaruh Hindu sudah lama hadir disini. Dahulu mereka pemeluk keperyaan Pemena yang ada
kesamaan dengan agama Hindu. Sejarah pengaruh Hindu di Tanah Karo akan dijelaskan melalui
tiga variabel yaitu sejarah marga Sembiring, Sipemena (kepercayaan asli orang Karo) dan ritual
erpangir ku lau.
Dari sekian banyak unsur-unsur pengaruh Hindu yang paling monumental adalah
hadirnya merga Sembiring di Tanah Karo. Asal-usul orang Karo banyak dikaitkan dengan
keberadaan Kerajaan Haru/Aru yang eksis di wilayah pesisir Sumatera Bagian Utara (abad 13-16
M). Etimologi Karo diambil dari kata Haru. Dari sinilah diperkirakan terbentuknya nama Karo
untuk suku bangsa yang menetap tidak hanya di tanah tinggi Karo, tapi juga di wilayah pesisir
Deli dan Langkat. Jadi bisa dibenarkan jika nama Karo merupakan proses peralihan pengucapan
dari kata Haru, sebab kerajaan Haru dipercaya dibangun oleh orang Karo (Suprayitno, 2008)
Sebelum marga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi
bagian dari masyarakat Karo, telah ada penduduk asli Karo pertama dengan marga Karo Sekali.
Kedatangan marga Karo-Karo, Ginting, Tarigan dan Perangin-angin, membuat marga pada
masyarakat Karo bertambah. Dipercaya mereka pendatang dari Gayo/Lingga, Simalungun, Dairi,
Tongging. Marga Sembiring merupakan kelompok masyarakat yang datang paling akhir ke
Tanah Karo. (Pertampilan S.Brahmana, 2005) Sembiring diidentifikasikaan berasal dari orang-
orang Hindu Tamil yang terdesak oleh kehadiran pedagang Muslim di Bandar Barus dan Aru
(Kota Cina). Mereka bergerak menembus pegunungan Bukit Barisan ke Dataran Tinggi Karo.
Menurut Sangti, kondisi ini akhirnya membentuk merga si lima (Marga yang Lima) di Tanah
Karo. Proses pembentukan ini berkaitan dengan masalah keamanan sebagai jalan keluar
mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli.
Dari sinilah muncul narasi- narasi sejarah dan asal kehadiran orang-orang Tamil yang beragama
Hindu ke Tanah Karo, yaitu dari Haru dan Barus. Keduanya bisa dijustifikasi dengan data-data
arkeologis sebagaimana dikemukakan di atas.
Kerajaan Haru yang berpusat di sekitar Belawan (kota Cina) dipandang sebagai
komunitas politis yang lebih awal menyerap pengaruh Hindu. Berdasarkan data-data arkeologis
yang ditemukan di Situs Kota Cina, mengindikasikan bahwa pengaruh Hindu sudah sampai ke
pesisir pantai Timur sejak abad-abad ke 11 M. Dari sini rakyat Haru yang beragama Hindu,
setelah agama Islam masuk ke Haru, lebih memilih migrasi ke dataran Tinggi Karo. Jika sebuah
sumber lisan menyatakan “Seorang pendeta Hindu dari Kerajaan Haru, karena sebab perang
melawan kerajaan Pasai mengungsi dan menetap di Kuta Buluh di dataran Tinggi Karo”, maka
bisa jadi itu benar.
Sukar dipastikan sejak kapan merga Sembiring menjadi bagian dari masyarakat Karo.
Namun dipercaya bahwa merga Sembiring dipandang sebagai merga termuda dari empat merga
lainnya yang masuk ke Tanah Karo. Sembiring berasal dari Si+e+mbiring (hitam) artinya yang
ini hitam. Makna kata ini merujuk kepada kelompok masyarakat yang berkulit hitam.
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis di Barus dan Kota Cina bahwa kelompok masyarakat
Tamil berasal dari India Selatan dan telah bermukim di Barus dan Kota Cina sebagai pedagang.
Kedatangan orang-orang Tamil ke Tanah Karo diperkirakan tidak bersamaan. Gelombang
kedatangan mereka berkaitan dengan kehadiran Islam di Barus. Namun Brahma Putro
menyebutkan bahwa kedatangan orang Hindu ke Tanah Karo sekitar abad ke 14 M karena ada
serangan Majapahit ke Kerajaan Haru. Aru (Harw) memang pernah diserang dan dikuasai
Majapahit sebagaimana disebut dalam buku Negara Kertagama karangan Prapanca. Orang-orang
Tamil yang menyingkir ke pedalaman Sumatera (Tanah Karo) diterima dengan baik. Beberapa
informan menyatakan kedatangan mereka ke Tanah Karo disapa dengan si mbiring. Ucapan si
mbring ini akhirnya menjadi Sembiring dan akhirnya diterima menjadi salah satu merga di
Tanah Karo.
Dalam marga Sembiring terdapat submarga antara lain Sembiring Brahmana, Pandia,
Colia, Meliala, Guru Kinayan, Keling, Pelawi, Kembaren, Sinulaki, Sinipayung, Bangko,
Keloko, Depari, Pelawi, Bunu Aji, Busok dan lain-lain. Sinulaki, Sinupayung dan Bangko.
Lahirnya sub-sub marga ini diduga karena berkaitan dengan daerah asal mereka di India.
Misalnya Sembiring Pandia diduga berasal dari daerah Pandya, Colia dari daerah Chola, Muham
dari daerah Muoham, Meliala dari daerah Malaylam, Brahmana dari kelompok pendeta Hindu.
Nama-nama submarga ini membuktikkan kuatnya pengaruh Hindu dalam masyarakat Karo,
khususnya merga Sembiring.(Pertampilan S.Brahmana, 2005). Meski demikian, tidak semua
submarga sembiring berasal dari Barus dan Aru (Kota Cina). Sembiring Kembaren, Keloko,
Sinipayung dan Bangko mengaku berasal dari Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Sembiring
yang berasal dari Pagaruyung mempraktekkan tradisi kremasi, namun abu jenaazahnya dikubur.
Sedangkan Sembiring yang berasal dari Tamil, yang dikenal dengan sebutan Sigombak,
melakukan tradisi kremasi dan abu jenazah dihanyutkan ke sungai.
Menarik dijelaskan disini tentang riwayat leluhur merga Sembiring Brahmana yang ada
di Desa Limang, Kecamatan Tiga Binanga. Tradisi lisan menyatakan bahwa leluhur mereka
merujuk kepada seorang yang bernama Trennu Lenni Smegit, seorang pertapa dan banyak
mendamaikan negeri-negeri yang bertikai di sekitar Sinabun dan Sibayak, Tanah Karo. Berkat
jasanya itu, maka seorang pendeta Hindu dari Kuta Buluh menganugerahi jabatan kepadanya
sebagai Rsi Bregu dan Brahmana kepada Trennu Lenni Smegit sekitar tahun 1600-an. Trennu
Lenni yang berasal dari Khasmir/India menyatu kedalam klan Sembiring yang sudah lebih
dahulu datang ke Tanah Karo. Trennu Lenni bukan beragama Hindu, tapi penganut kepercayaan
Pemena (Sipemena). Sembiring Muham, Depari, Meliala dan Colia datang ke Limang untuk
meminta semua keturunan Smegit Brahmana masuk ke dalam merga Sembiring pada tahun
1600-an.Versi lain (Ginting, 1999: 3) menyatakan bahwa pada abad ke 16 M, datang seorang resi
Megit Brahmana dari India yang menikah dengan putri Karo. Keturunan resi ini kemudian
mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwa, lalu bergabung dengan klen
merga Sembiring. Kedua versi ini meskipun berbeda, namun secara sama menyatakan ada
leluhur mereka datang dari India dan bergabung dengan merga Sembiring.
Orang Karo sejak masa prasejarah telah mengenal sistem kepercayaan yang dikenal
dengan Pemena. Inti ajarannya adalah mereka mempercayai bahwa ada kekuatan yang
menciptakan dan mengatur kehidupan di alam semesta ini. Mereka mempercayai ada tiga
perwujudan Tuhan (Dibata) yakni Dibata Kaci-kaci (Dibata Diatas=Tuhan yang berkuasa di
langit /atas); Dibata Padukah Ni Aji (Dibata Tengah=Tuhan yang berkuasa di bumi) dan Dibata
Banua Koling (Dibata Teruh= Tuhan yang berkuasa di bawah bumi). Kekuatan Dibata itu dapat
mendatangkan kebahagiaan dan juga malapetaka. Kekuatan itu ada pada roh-roh leluhur yang
bersemayam di Gunung, Hutan atau alam sekitar manusia, dapat berujud batu, hewan, dan
sebagainya. Kepercayaan ini dikenal dengan nama Pemena (yang pertama). Dari arti kata itu bisa
dikatakan kepercayaan inilah yang pertama berkembang di Karo sebelum datangnya agama dari
India (Hindu/Budha), Islam dan Kristen.
Agar terjadi kehidupan yang harmonis dan bahagia antara manusia dan alam semesta,
maka perlu semua kekuatan itu dipuja dengan memberikan pesembahan melalui perantaraan
seorang guru si baso sebagai pemimpin ritual. Terdapat ritual-ritual kepada roh pelindung desa
(Buah Huta-Huta), Nini Pagar, Pengulu Balang dan ritual kepada roh pelindung keluarga seperti
Begu Jabu (Simate-sadawari=roh orang yang mati seketika (umur sehari) dan roh pelindung
keluarga (Begu Bicara Guru) [Ginting, 1999: 3]. Masuknya agama Hindu kemudian
beralkulturasi dengan kepercayaan Pemena. Dari sekian banyak ritual dalam kepercayaan
Pemena, maka yang paling pas untuk dijelaskan disini adalah tentang upacara kremasi
(pembakaran mayat).
Kepercayaan Pemena memiliki ritual penguburan mayat yang dikenal dengan sirangrang.
Ketika penguburan tiba, seluruh anggota keluarga harus menari (landek). Proses penguburan
diiringi dengan gendang yang disertai dengan teriakan dan ratapan. Selama ritual ini dilakukan,
sehelai kain putih dikibarkan untuk memanggil tendi orang yang berduka untuk mengikuti roh
orang yang meninggal. Ketika sampai di area perkuburan, seorang kerabat dekat akan
mengayunkan tangan kirinya sambil memegang sebongkah sirih dan daun ersam sebanyak empat
kali sambil mengucapkan “nggo nam sam kerina belawanta, mejuah-mejuah kam kerina
itadingkendu (semua kesepakatan kami kini sudah terpenuhi, semoga engkau meninggalkan
kami semua dalam keadaan damai) [Simon Rae,tp: 50]. Dengan begitu, maka upacara kremasi
yang ada dalam masyarakat Karo pengaruh dari agama Hindu. Upacara ini sudah berlangsung
lama bahkan sampai tahun 1960-an1 , khususnya di Desa Limang. Bukti bukti lokasi dan lubang-
lubang tempat penyangga abu jenajah masih dapat ditemukan di tepi Sungai Serembo, yang
berhulu ke Sungai Wampu terus Langkat dan Selat Melaka.
Prosesi ritual kremasi ini, hampir sama dengan ritual kematian pada kepercayaan
pemena, namun pada prosesi akhir mayat tidak dikuburkan, tapi dibakar. Prosesi ini dipimpin
oleh seorang guru dan dibantu oleh 4 orang perempuan yang bertugas sebagai pembakar mayat
yang disebut si dapur. Jenazah yang sudah dikremasi diletakkan di dibagian depan dari kuburan
dengan menempatkan anggota badan ke dalam nyala api. Para si dapur inilah yang
bertanggungjawab untuk menguburkan jenazah secara layak. Sebelum jenazah dibawa ke luar
rumah, di depan pintu diletakkan kudin (belanga dari tanah liat) di dalamnya diisi gulai ayam
(cipera). Suami atau istri kemudian menendang kudin itu hingga pecah, sebagai simbol hancunya
hati suami/istri yang ditinggal mati. Kemudian daging ayam disuguhkan kepada kerabat dekat
saat makan siang. Dengan memakannya diharapkan kesedihan akan hilang. Setelah itu mayat
dibawa ke tempat kremasi di lapangan terbuka di tepi sungai. Sebelumnya telah dipersiapkan
kayu bakar dari pohon dokum oleh anak beru. Selama proses pembakaran mayat kayu tidak
boleh ditambah, sehingga jumlah kayu harus diperhitungkan secara eksak.
Ditempat kremasi, keluarga yang meninggal disuruh kembali ke rumah dan tinggal guru
dan 4 orang si dapur. Sebelum api disulutkan, guru yang memimpin prosesi memerintahkan si
dapur untuk melepas semua pakaian jenazah dan ditelungkupkan di atas batang kayu dokum dan
si dapur diperintahkan oleh sang guru untuk memukul kaki jenazah sekuat-kuatnya agar
arwahnya tidak kabur dan gentayangan. Bagi mayat perempuan yang meninggal melahirkan,
bayinya juga turut dibakar. Setelah itu barulah guru membakar jenazah di atas kayu yang telah
dipersiapkan. Kemudian, si dapur harus segera membuang abu jenazah ke sungai terdekat dan
membersihkan sisa-sisa upacara agar sisa-sisa jenazah tidak digunakan oleh orang-orang yang
menuntut ilmu hitam. Si dapur kemudian melakukan ritual yang dipimpin oleh sang guru.
Mereka dimandikan lau penguras yaitu air yang sudah dijampi-jampi oleh sang guru. Setelah itu
baru dibolehkan pulang ke rumah dan setelah sampai di rumah mereka harus mencuci telapak
tangan dan memegang para-para yaitu tungku api untuk masak. Ini dilakukan agar si dapur tidak
diganggu oleh jenazah orang yang dibakar tadi. Upacara kremasi ini akhirnya hilang dalam
masyarakat Karo pada era tahun 1970-an menyusul semakin pesatnya perkembangan agama
Kristen dan Islam, pasca peristiwa 65.
Tiga variabel sebagaimana dijelaskan diatas adalah sebagian kecil saja dari bukti atau
tanda-tanda terdapatnya pengaruh agama Hindu dalam masyarakat Karo. Masih banyak
sebenarnya dalam ritual keseharian orang Karo yang dipengaruhi oleh agama Hindu. Lebih jelas
pula dapat dilihat dari nama-nama hari dalam kalender orang Karo, seperti Aditia, Suma,
Nggara, Budaha, Beraspati, Sami Sara, Suma, Cukra enem, Belah naik, Sumawa siwah, Nggara
sepuluh, Budaha ngadep, Suma cepik dan lain-lain. Ada 30 nama hari dalam bahasa Karo yang
menunjukkan adanya pengaruh bahasa Sanskerta (Tarigan, 2016). Itulah bukti-bukti atau jejak
pengaruh agama Hindu yang masih terus hidup dalam budaya masyarakat Karo.
Candi Bahal berlokasi di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan. Candi ini merupakan
kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang terluas di provinsi Sumatra Utara,
karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Candi Bahal hanya
merupakan bagian dari candi-candi Padanglawas yang berarti candi-candi yang terletak di
padang luas yang mencakup, di antaranya: Candi Pulo, Candi Barumun, Candi Singkilon, Candi
Sipamutung, Candi Aloban, Candi Rondaman Dolok, Candi Bara, Candi Magaledang, Candi
Sitopayan dan Candi Nagasaribu. Kemungkinan, persawahan dan perkampungan di sekitar
candi-candi tersebut tadinya merupakan padang yang sangat luas. Dari sekian banyak candi
Padanglawas hanya Candi Bahal yang sudah selesai dirienovasi, Candi Sipamutung dan candi
Pulo sedang dalamproses renovasi, sedangkan candi lainnya masih berupa reruntuhannya.
Di dusun Hopong, kecamatan Simangumban, Pahae, Tapanuli Utara ada ditemukan situs
sejarah yang berciri Hindu. Tempat situs ini agak jauh ke dalam, sehingga agak sulit menjangkau
tempat tersebut. Benda-benda sejarah banyak ditemukan di sana seperti patung, situs batu, dan
gua. Benda-benda tersebut sudah banyak yang rusak maupun yang hilang. Meskipun demikian,
ada lebih dari sepuluh patung yang masih utuh, tetapi ada juga yang disimpan oleh penduduk
setempat. Akan tetapi, sampai sekarang belum pernah ada dilakukan penelitian di sana. Entah
kenapa situs ini dibiarkan saja begitu dan tidak dijamah melalui penelitian ilmiah. Benda-benda
bersejarah di situs Hopong ini membutuhkan keterlibatan pemerintah dan masyarakat di sekitar
kawasan Dusun Hopong untuk menjaga, merawat dan melestarikannya. Situs sejarah di Dusun
Hopong itu merupakan bukti adanya kehidupan di kawasan tersebut sejak zaman Hindu kuno.
Benda-benda dan situs bersejarah itu membutkikan bahwa sejak dahulu kala sudah ada
kehidupan yang tertata dengan sangat baik. Ini merupakan salah satu kekayaan kita. Di sana
masih tersisa beberapa peninggalan Hindu yang sangat berharga berupa patung.Bila kita
menghubungkan situs Hopong ini dengan Candi Simangambat sebelumnya, maka mungkin saja
ada hubungannya yang sama-sama berciri Hindu dan berasal dari zaman yang sama. Jarak situs
Hopong dengan Candi Simangambat tersebut dapat dikatakan tidak terlalu jauh.
Prasasti Lobu Tua, atau Prasasti Barus, adalah sebuah prasastidalam bahasa Tami, yang
ditemukan pada tahun 1873 di Desa Lobu Tua, Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli
Tengah, Sumatra Utara Prasasti ini berangka tahun Saka 1010 atau 1088 Masehi.Prasasti ini
dilaporkan dalam Madras Epigraphy Report tahun 1891-1892 oleh E. Hultzsch, ahli epigrafi
Inggris di India.
Prasasti ini menyebutkan tentang adanya suatu serikat dagang bangsa Tamil di daerah
BaruSerikat dagang tersebut disebutkan bernama "Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah"
(Disai-Ayirattu- Ainnurruvar). Menurut Prof. Y. Subbarayalu dari Universitas Thanjavur, serikat
dagang ini yang bernama lain Ayyavole, juga meninggalkan prasasti berbahasa Tamil pula di
Aceh. Di Barus, mereka membeli berbagai komoditas dari penduduk setempat, dan kepada para
anggotanya menarik cukai berupa emas yang didasarkan pada harga kasturi, dengan objek
cukainya adalah kapal, nakhoda, dan kevi.Menurut laporan, pada tahun 1900-an juga pernah
ditemukan arca Buddha dalam bentuk torso yang terbuat dari batu granit merah, yang saat ini
sudah hilang. Adanya arca tersebut di Barus menimbulkan dugaan bahwa komunitas Tamil di
sana sudah bersifat permanen atau semi permanen, sehingga memiliki tempat peribadatannya
sendiri. Saat ini, 7/8 bagian prasasti tersimpan di Museum Nasional Indonesia dan 1/8 bagian
lainnya masih berada di Lobu Tua. Selain prasasti, di Lobu Tua juga ditemukan beberapa sumur
tua berbentuk silinder yang sudah kering.
Keberadaan situs Kota China di daerah Medan Marelan baru diketahui sejak tahun 1970-
an. Namun, jejak sejarahnya mulai terkuak sejak ditemukannya arca kuno saat penggalian tanah
untuk pembangunan jalan Tol Belmera pada tahun 1986 silam. Para ahli sejarah menyebut, sejak
abad ke-12 sampai 14, Kota China adalah pelabuhan niaga internasional di mana berlabuh kapal
yang berasal dari Persia, Hindia dan Tiongkok. Di Kota China ditemukan keramik dari Persia
dan Tiongkok, uang keping dari Sri Lanka dan Tiongkok, dan patung Buddha dari Hindia.
Semua benda-benda bersejarah atau temuan artefak itu disimpan di sebuah museum yang
diberi nama Museum Kota China. Museum ini berada di Jalan Kota China No 65, Kelurahan
Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan dan terbuka untuk publik.Situs Kota China
dan rahasia sejarahnya hingga kini terus ditelusuri oleh para ahli. Penemuan benda-benda
bersejarah telah mendorong banyak pihak untuk menguak dan mempelajari sejarah Kota China
di Medan. Menurut para ahli sejarah, jejak Kota China hingga kini belum habis tergali. Dulunya
merupakan kerajaan makmur dan memiliki pelabuhan laut (bandar) internasional yang dihuni
para imigran asal Tiongkok.
Candi Sipamutung (Biaro Sipamutung) adalah salah satu candi bercorak Buddha
peninggalan Kerajaan Pannai di Kompleks Percandian Padanglawas. Secara administratif, candi
ini terletak di Desa Siparau Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padanglawas, Provinsi
Sumatra Utara. Sekitar 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan atau sekitar
70 kilometer dari Kota Padangsidimpuan dan 400 kilometer dari Medan, Ibu kota Provinsi
Sumatra Utara. Secara geografis, Candi Sipamutung terletak di tepi Sungai Barumun yang
membelah dataran rendah Padanglawas. Bangunan ini diperkirakan berdiri pada abad 11.
CandiSipamutung,sumber:https://northsumatrainvest.id/id/tourism/candi-sipamutung
3
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
3.2DAFTAR PUSTAKA
Simangunsong, Lister Eva. 2020. Sumatera Utara Dalam Periodisasi. Medan : Yayasan Kita
Menulis
Soedowo, Ery. 2008 “Sumber Daya Lahan Basah Di Situs-Situs Masa Hindu-Budha Di Daerah
Aliran Sungai Batang Gadis Dan Batang Angkola”
Holik. 2018 “Madina memiliki 10 situs” https://sumut.antaranews.com/berita/175421/madina-
memiliki-10-situs-budaya