Anda di halaman 1dari 27

KONGRES PEREMPUAN INDONESIA TAHUN 1928

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia
Dosen pengampu: Arif Permana Putra, M.Pd.

Oleh :

Muhammad Ibnu Fadillah (2288190031)

Bakriyah (22881900

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah ini diajukan oleh:
Nama : Muhammad Ibnu Fadillah (2288190031)
: Bakriyah (22881900
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Mata Kuliah : Sejarah Pergerakan Nasional
Judul : Kongres Perempuan Indonesia Tahun 1928
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana Pergerakan Wanita Indonesia pada masa Pergerakan Nasional ?
2. Bagaimana Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 ?
3. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Persatuan Wanita Republik Indonesia
(PERWARI) ?

Serang, 17 November 2021

Arif Permana Putra, M. Pd


NIP. 201409012025

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah mengenai Kongres Perempuan
Indonesia Tahun 1928 Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Arif Permana Putra, M. Pd., selaku Dosen Pengampu dan Pembimbing
Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Serang, 25 November 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ii

Kata Pengantar iii

Daftar Isi vi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penulisan 5

1.4 Manfaat Penulisan 5

BAB II PEMBAHASAN 7

2.1 Pergerakan Wanita Indonesia pada masa Pergerakan Nasional 7

2.2 Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 192810

2.3 Sejarah dan Perkembangan Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) 13

BAB III PENUTUP 18

3.1. Kesimpulan 18

Daftar Pustaka 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pergerakan Nasional atau Pergerakan Kebangsaan adalah salinan dari bahasa
Belanda Nationalistiche Beweging atau bahasa Inggris National Movement. Di sini
terdapat dua patah kata yaitu Pergerakan dan Nasional. Istilah pergerakan dalam hal
ini mempunyai arti khusus, yaitu suatu gerak yang menuju kemerdekaan. Selanjutnya,
istilah nasional dalam hal ini (nation artinya: bangsa, nasional; artinya kebangsaan)
mengandung arti, bahwa walaupun yang bergerak tidak seluruh bangsa itu, asal yang
bergerak itu adalah golongan yang nantinya menentukan nasib bangsa itu sebagai
keseluruhan, maka ini dinamakan kebangsaan (nasional).
Diskursus mengenai peran perempuan tidak pernah habis dibicarakan.
Perempuan sebagai aktor pekerjaan domestik ataupun perannya di ruang publik tidak
usang diperdebatkan, dijadikan wacana diskusi di mana-mana. Salah satunya
mengenai pergerakan perempuan. Gerakan yang diciptakan para aktivis perempuan
secara mendasar bertujuan untuk mengangkat posisi Perempuan. Langkah demi
langkah yang dilakukan para tokoh perempuan pada lintasan sejarah membuktikan
bahwa perempuan Indonesia bersungguh-sungguh meletakkan dasar pergerakan
perempuan atas nama kemanusiaan dan keadilan sosial. Makalah ini bertujuan untuk
menjadikan pemahaman Sejarah sebagai landasan pergerakan perempuan di masa
sekarang dalam memperjuangkan hak-hak sosial dan politik. Pergerakan perempuan
sejak akhir abad 19 sampai yang paling mutakhir bersifat fluktuatif atau pasang surut.
Gelombang kencang yang diembuskan para tokoh perempuan dalam menyuarakan
hak perempuan dalam segala bidang lahir dari ketidakadilan gender. Maka dari itu,
para tokoh perempuan Indonesia telah mencontohkan, perempuan hari ini punya
tanggung jawab melanjutkan Perjuangan.
Jadi yang dimaksud dengan Pergerakan Nasional, ialah geraknya bangsa itu,
walaupun yang bergerak itu sebagian, asal menentukan nasib bangsa itu sebagai
keseluruhan, menuju tujuan yang tertentu, yaitu kemerdekaan. Dalam gerak ini, maka
kesetiaan diletakkan pada kepentingan bangsa itu sendiri.
Pergerakan Nasional yang terjadi di dalam sejarah Indonesia berlangsung
dalam masa penjajahan. Tujuannya ialah untuk menumbangkan penjajahan itu sendiri,
demi kemerdekaan yang diidam-idamkannya. Dalam alam kemerdekaan, dapat pula

1
tumbuh gerakan-gerakan, seperti gerakan hidup baru atau gerakan pembangunan.
Tujuannya tidak lagi pada masalah pencapaian kemerdekaan, tetapi masalah mengisi
kemerdekaan itu.
Pergerakan Nasional Indonesia Dalam Sejarah Indonesia. Pergerakan
Nasional, seperti disebutkan di atas bertujuan untuk mencapai kemerdekaan, untuk
seluruh bangsa Indonesia. Jadi bukan hanya untuk wilayah kerajaan, daerah, atau
pulau yang tertentu, tetapi wilayah Indonesia yang didiami oleh bangsa Indonesia
sebagai suatu keseluruhan. Masa ini berlangsung dari tahun 1908 sampai runtuhnya
Belanda di Indonesia pada tahun 1942.
Mula-mula pendukung gerakan itu jumlahnya sedikit. Jumlah ini merupakan
minoritas yang militan. Pengaruhnya kemudian berkembang, yang makin lama makin
banyak diikuti orang. Ide-idenya diterima orang dan makin lama pengikutnya
bertambah banyak.
Peristiwa seperti itu tidak kita jumpai dalam masa sejarah sebelumnya. Abad
XIX dan masa-masa sebelumnya mempunyai corak yang berbeda dengan masa
Pergerakan Nasional tersebut. Ciri khusus pergerakan nasional, ialah adanya
organisasi-organisasi modern seperti partai-partai politik dan gerakan-gerakan sosial
lainnya dengan program aksinya masing-masing.
Pergerakan Nasional dan Perjuangan Nasional. Kata Perjuangan lebih luas
maknanya dari kata Pergerakan. Saat ini, setelah Indonesia merdeka, Perjuangan
Nasional itu masih berlangsung. Tujuannya untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri.
Kemerdekaan bangsa itu harus diisi dengan kemakmuran dan kesejahteraan.
Masa Pergerakan Nasional, merupakan Perjuangan Nasional, sebab tujuannya
ialah memperjuangkan nasib bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Dengan demikian,
dalam makna ini, Pergerakan Nasional termasuk dalam Perjuangan Nasional.
Malahan sebelum itu pun terdapat pula Perjuangan Nasional, walaupun dalam bentuk
yang sangat samar-samar sekali. Sebab, predikat nasional harus mencakup persoalan
bangsa sebagai suatu keseluruhan. Kalau persoalannya hanya terbatas pada suatu
kerajaan, suatu pulau, suatu daerah, atau sebagian wilayah Indonesia yang tertentu
saja, maka hal itu belum dapat dimasukkan dalam kategori nasional.
Walaupun tuntutan pengertian nasional seperti itu, bila saja persoalannya
sudah menyangkut dan mempengaruhi sebagian besar dari bangsa itu sendiri, maka
persoalan itu sudah merupakan persoalan nasional. Bangsa dapat diumpamakan
sebagai badan manusia. Sebagian saja dari badan itu sakit, mengakibatkan seluruh

2
badan itu merasakannya. Sesuai dengan arti ini, maka kejadian-kejadian pada masa
lampau, seperti adanya perlawanan terhadap VOC, walaupun yang berjuang itu suatu
kerajaan, daerah, atau pulau yang tertentu, maka sudah dapat dimasukkan dalam
pengertian Perjuangan Nasional. Dengan demikian maka pengertian tersebut dapat
menjangkau makna yang luas.

Pengertian Bangsa
Bangsa Indonesia. Indonesia sebagai satu bangsa, tetap ada, walaupun dalam
waktu yang lama peranannya sebagai satu bangsa yang merdeka sudah tidak ada lagi.
Negara Indonesia atau negara-negara di Indonesia yang berdaulat atas diri sendiri,
telah dimatikan oleh penjajah. Bangsa Indonesia itu sendiri, tetap ada, sebagai suatu
kesatuan dan keseluruhan. Muh. Yamin mempergunakan istilah bangsa budaya ketika
Indonesia dijajah, dan setelah merdeka dinamakan bangsa negara, karena telah
mempunyai negara sebagai perumahannya.
Di atas telah disinggung tentang istilah Bangsa Indonesia. Mengenai masalah
bangsa ada beberapa teori, antara lain sebagai berikut:
1. Cultuur-natie theorie (teori bangsa berdasarkan kebudayaan). Menurut teori ini,
bangsa ialah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan kebudayaan.
2. Staats-natie theorie (teori bangsa berdasarkan negara). Menurut teori ini, bangsa
ialah sekelompok manusia yang hidup di dalam lindungan satu negara.
3. Gevoels-en wils-theorie (teori bangsa berdasarkan perasaan dan kemauan).
Menurut teori ini bangsa ialah sekelompok manusia yang mempunyai persamaan
dan kemauan untuk hidup bersama. Teori ini disokong oleh Ernest Renan,
seorang Guru Besar di Universitas Paris.

Di antara ketiga teori di atas, teori yang ketigalah yang mendekati pengertian
mengenai apa yang disebut bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia, adalah sekelompok
manusia yang mempunyai keinginan untuk hidup bersama karena nasib yang sama,
berdiam di suatu wilayah (Sabang-Merauke). Dengan demikian, batasan mengenai
bangsa atas dasar pendapat yang lain selalu terbuka untuk dikaji secara lebih
mendalam.

Bangsa dan Ras

3
Erat hubungannya dengan masalah bangsa, ialah masalah ras. Secara umum
masalah ini dijawab oleh Lothrop Stoddard, sebagai berikut, "Bangsa ialah
pengertian politik dan ras ialah pengertian antropologis" (nationality is what people
politically think they are, race is what people anthropologically really are).

Dalam pengertian antropologi, yang dimaksud dengan ras ialah sekelompok


manusia yang mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama meliputi warna kulit, bentuk
hidung, mata dan kepala. Dengan demikian dikenallah adanya ras kulit putih, merah,
kuning, sawo matang dan hitam. Berpegang pada pengertian ini, maka bangsa
Indonesia di dalam pengertian politik, terdiri dari lebih dari satu ras.

Kesadaran Nasional

Berkenaan dengan masalah waktu, dapat dipertanyakan tentang kapankah


sebetulnya timbul kesadaran nasional di dalam sejarah Indonesia. Dapatkah
disebutkan bahwa kesadaran itu baru tumbuh sejak didirikannya Boedi Oetomo atau
sejak Perhimpunan Indonesia melancarkan istilah Indonesia, ataukah sejak Sumpah
Pemuda. Menentukan kepastian tentang masalah ini tidaklah mudah, karena hal
tersebut merupakan gejala kemasyarakatan. Kapan persisnya timbul sukar ditentukan,
sebab hal ini berkaitan dengan proses pertumbuhan. Sejarah, bukanlah ilmu yang
eksak, yang dapat menentukan tanggal, atau harinya suatu gejala itu tumbuh di dalam
geraknya masyarakat. Sejak imperialisme datang ke Indonesia, gejala-gejala itu
sudah ada, hanya saja bentuknya yang samar-samar. Ia mengalami proses
perkembangan untuk mendapatkan bentuknya yang lebih nyata kemudian.

Sejak kekuasaan asing menancapkan kuku kekuasaannya di wilayah


Indonesia, maka sejak itu pula timbul perlawanan bangsa kita. Kalau yang diduduki
itu suatu kerajaan, atau daerah, atau pulau, maka rakyat yang tinggal di kerajaan itu,
atau daerah atau pulau tersebut, mengadakan perlawanan. Pemimpin perlawanan itu
dapat datang dari golongan raja, bangsawan, ulama atau petani.

Corak perlawanan pada masa-masa sebelum abad XX adalah sporadis.


Kelompok yang satu terpisah dengan yang lainnya. Terpisahnya yang satu dengan
yang lainnya itu, merupakan kesempatan yang baik bagi penjajah untuk mematahkan
perlawanan itu satu persatu, atau mengadu domba yang satu dengan yang lainnya.
Hal ini dikenal dengan istilah divide et impera atau divide and rule. Fakta ini harus

4
dipahami sebagai suatu pelajaran yang berguna untuk dihindarkan dalam masa-masa
yang akan datang.

Hakikat dari penjajahan atau imperialisme adalah penindasan dan pemerasan.


Bangsa Indonesia merasakan kekejaman ini. Penderitaan itu memang tidak merata
dirasakan oleh seluruh bangsa kita. Ada daerah yang secara intensif diperasnya, ada
pula daerah yang kurang intensitasnya. Bagaimanapun juga, bangsa sebagai
keseluruhan merasakan beban yang dipikulkan oleh penjajah itu.

Pada akhir abad XIX, pemerasan penjajahan dilakukan secara lebih intensif.
Keuntungan akan hasil tambang dan perkebunan, memerlukan suatu administrasi
yang rapi. Keuntungan dan kerapian administrasi ini terjalin dengan eratnya. Pada
permulaan abad XX, reaksi atas penindasan dan pemerasan itu lebih nyata
mendapatkan bentuknya, sehingga kebangkitan bangsa ini tidak dapat dibendung lagi
oleh siapa pun juga.

Dengan bermacam cara, kebangkitan itu mencari bentuknya. Mungkin


berbentuk partai politik, gerakan pemuda, gerakan wanita, gerakan kepanduan,
gerakan agama, atau gerakan pendidikan, namun pada hakikatnya gerakan itu
mengalir pada suatu tujuan, yaitu kebebasan atau kemerdekaan. Istilah kemerdekaan
mungkin diganti dengan istilah lain seperti Indonesia Moelia atau Indonesia Jaya,
namun hakikat kebebasan itu tetap melekat padanya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pergerakan Wanita Indonesia pada masa Pergerakan Nasional ?
2. Bagaimana Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 ?
3. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Persatuan Wanita Republik Indonesia
(PERWARI) ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis pergerakan wanita Indonesia pada masa
pergerakan nasional.

5
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan kongres perempuan
Indonesia pertama tahun 1928.
3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis sejarah dan perkembangan
persatuan wanita republik Indonesia (PERWARI).

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. ini diharapkan dapat menambah kepustakaan khususnya karya ilmiah dan
dapat menjadi bahan referensi bagi mahasiswa lain dalam melakukan
penulisan historis dan sebagai bahan dasar bagi penulisan lanjutan mengenai
Kongres Perempuan Indonesia Tahun 1928.
2. Penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan Ilmu pengetahuan
mengenai Kongres Perempuan Indonesia Tahun 1928. Selain itu penulisan ini
dapat dijadikan sebagai sumber referensi tambahan bagi penulisan historis.
3. Penulisan ini diharapkan dapat menambah referensi lanjutan mengenai
Kongres Perempuan Indonesia Tahun 1928 dan diharapkan dapat menambah
pengetahuan pembaca tentang bagaimana Kongres Perempuan Indonesia
Tahun 1928 pada masa lampau, yang kini sekiranya dapat dicontoh.
Bagaimana semangat perjuangan untuk mengisi kemerdekaan seluruh
Indonesia.
4. Penulisan ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman baru bagi
penyusun. Selain itu dapat menambah keterampilan penyusun dalam menulis
karya ilmiah. Melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai
sumber, serta memperluas cakrawala ilmu pengetahuan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pergerakan Wanita Indonesia pada masa Pergerakan Nasional

Perjuangan pergerakan kemerdekaan di Indonesia tidak hanya didominasi oleh


kaum pria, namun juga kaum perempuan. Peran perempuan dalam pergerakan
kemerdekaan Indonesia dapat kita telusuri melalui eksistensi organisasi pergerakan
perempuan pada awal abad ke-20 Masehi. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-
2004 (2005) karya M.C Ricklefs, latar belakang munculnya organisasi pergerakan
perempuan di Indonesia berkaitan dengan penerapan kebijakan Politik Etis oleh
pemerintah kolonial Belanda.

Penerapan Politik Etis pada awal abad ke-20 Masehi telah menciptakan banyak
pembaharuan-pembaharuan penting yang identik dengan unsur modernitas. Hal tersebut
berhasil memberikan kesadaran terhadap kaum perempuan Indonesia untuk turut
berjuang demi kesejahteraan dan kemerdekaan bangsa. Tujuan pergerakan organisasi
perempuan di Indonesia adalah untuk memajukan status perempuan pribumi di bidang
sosial, politik dan pendidikan. Dengan begitu, perempuan-perempuan Indonesia mampu
memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Putri Mardika

(R.R Rukmini)

Pada tahun 1912, muncul organisasi perempuan pertama di Indonesia bernama


Putri Mardika. Putri Mardika bertujuan untuk membimbing perempuan bumiputra dalam

7
menempuh pendidikan. Selain itu, Putri Mardika juga memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup perempuan Indonesia.

Putri Mardika menerapkan program beasiswa untuk menunjang pendidikan kaum


perempuan bumiputra. Organisasi ini juga aktif dalam menerbitkan majalah Putri
Mardika untuk menyebarluaskan gagasan perempuan berdikari.

Tokoh-tokoh Putri Mardika kerap menggunakan gagasan-gagasan R.A Kartini


sebagai dasar pergerakan organisasi. Tokoh-tokoh utama penggerak organisasi Putri
Mardika adalah Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun
Tondokusumo.

Kartini Fonds

(C. Th. Van Deventer)

Kartini Fonds atau Dana Kartini merupakan organisasi pergerakan perempuan yang
didirikan pada 27 Juni 1913 di kota Den Haag, Belanda. Dalam buku Kartini: Sebuah
Biografi (1983) karya Soeroto, Kartini Fonds didirikan atas prakarsa dari penganut
kebijakan Politik Etis bernama Ny. C. Th. Van Deventer.

Kartini Fonds bertujuan untuk memajukan pendidikan kaum perempuan bumiputra


melalui program pendirian sekolah-sekolah alternatif bernama Sekolah Kartini. Program
ini dapat terealisasi pada tahun 1913 dengan pendirian Sekolah Kartini di Semarang dan
Jakarta.

Pada perkembangannya, eksistensi Sekolah Kartini terus berkembang luas hingga


tersebar ke seluruh kota Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Surabaya, Pekalongan,
Malang, Madiun, dan lainnya. Keberhasilan program pendidikan Sekolah Kartini
memiliki dampak yang besar bagi kelahiran organisasi pergerakan perempuan di
Indonesia.

Sekolah Kartini mampu melahirkan kader-kader perempuan di berbagai daerah


yang nantinya menjadi pendiri organisasi perempuan seperti Wanita Taman Siswa,
Wanito Utomo, Aisyiyah, dan lainnya.

Kautamaan Istri (1904)

(R. Dewi Sartika)

8
Organisasi perempuan Keutamaan Istri dibentuk pada tahun 1904 di kota Bandung,
tokoh pelopornya bernama R. Dewi Sartika. Tujuan didirikannya organisasi ini yaitu
untuk memberi pengetahuan kepada kaum wanita, terutama agar bisa membaca, menulis,
berhitung dan ketrampilan dalam hidup berumah tangga. Langkah yang dilakukan untuk
merealisasikan tujuan tersebut, yakni dengan mendirikan sekolah Keutamaan Istri pada
tahun 1910. Pada perkembangan selanjutnya, tidak hanya siwi-siwi dari Bandung saja
yang berdatangan, tapi dari daerah lain turut ikut berpartisipasi seperti Garut,
Tasikmalaya dan Purwakarta.

KAS (Kerajinan Amal Setia)

(Roehanna Koeddoes)

Tokoh pelopor berdirinya Sekolah Kerajinan Amai Setia adalah Roehana


Koeddoes, perempuan kelahiran Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 20
Desember 1884. KAS merupakan sekolah ketrampilan khusus bagi wanita, didirikan
pada tanggal 11 Februari 1911. Melalui sekolah ini, ia mengajarkan berbagai
keterampilan mulai dari baca tulis, pendidikan agama, budi pekerti, dan mengelola
keuangan.

Menurut Roehana Koeddoes, diskriminasi terhadap kaum wanita untuk


mendapatkan pendidikan adalah tindakan yang harus dilawan. Saat mendirikan KAS, ia
mendapat berbagai masalah baik dikalangan pemuka adat maupun masyarakat sekitar.
Namun dengan semangat juang tinggi, ia tetap gigih dan yakni dengan apa yang sedang
diperjuangkannya.

PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya)

(Maria Walanda Maramis)

Organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya didirikan oleh tokoh bernama
Maria Yosephine Catharine Maramis, perempuan kelahiran 1 Desember 1872, Kema,
Sulawaesi Utara. Lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis. Organisasi
PIKAT dibentuk pada tanggal 8 Juli 1917 di Kota Menado dengan tujuan memajukan
harkat dan martabat wanita. Organisasi PIKAT kemudian berkembang begitu pesat di
Indonesia, ditandai dengan berdirinya cabang-cabang di kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, Bogor, Malang, Balikpapan, Magelang dan lain-lain. Selain berhasil
mendirikan PIKAT, Maria Walanda Maramis juga berhasil mendirikan “Hulshoud

9
School PIKAT” (sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis), khusus siswi yang telah lulus
sekolah dasar.

Aisyah (1917)

( H. Siti Walidah Ahmad Dahlan)

Organisasi Aisyah didirikan oleh Nyai Ahmad Dahlan (H. Siti Walidah) pada
tanggal 19 Mei 1917 (27 Rajab 1335 H) di kota Yogyakarta. Peran penting Aisyah
adalah untuk memajukan pendidikan umum dan agama bagi kamu wanita. Kegiatan
lainnya seperti menanamkan rasa nasionalisme dan kebangsaan serta memelihara anak
yatim. Dibentuknya Aisyah tentu memberikan manfaat bagi kamu wanita agar dapat
berperan aktif dalam pergerakan nasional di Indonesia pada masa itu. Di zaman
sekarang, organisasi Aisyah masih berdiri kokoh memperjuangkan wanita. Wujud nyata
yang bisa kita lihat yaitu didirikannya ribuan TK (taman kanak-kanak), SD (sekolah
dasar), hingga perguruan tinggi (Universitas).

Itulah organisasi (perkumpulan) wanita masa pergerakan nasional. Sebenarnya


masih banyak lagi organisasi-organisasi lain seperti Wanita Susila (Palembang), Wanita
Mulya (Yogyakarta), Puteri Indonesia, Wanita Katolik (Yogyakarta), Pawiyatan Wanita
(Magelang), Wanita Rukun Santosa (Malang), Budi Wanita (Solo), dan lain-lain.

2.2 Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928

Kongres Perempuan Indonesia I diadakan pada 22-25 Desember 1928 di


Yogyakarta di sebuah gedung Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero.
Perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan, tidak hanya dilakukan oleh
kaum laki-laki. Para perempuan Indonesia juga turut berjuang untuk memperbaiki nasib.
Kongres Perempuan I menjadi permulaan bersatunya perempuan-perempuan di
Indonesia. Kongres Perempuan Indonesia I diadakan pada 22-25 Desember 1928 di
Yogyakarta di sebuah gedung Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero.

Namun, Kongres Perempuan Indonesia I dihadiri sekitar 30 organisasi wanita


yang tersebar di kota Jawa dan Sumatera. Perempuan-perempuan tersebut terinspirasi
dari perjuangan wanita era abad ke-19 untuk berjuang melawan penjajah. Hadir pula

10
wakil-wakil dari Boedi Oetomo, PNI, PSI, Jong Java, Muhammadiyah, dan organisasi
pergerakan lainnya.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan


Masa Akhir Hindia Belanda (2009) oleh Marwati Djoened dan Nugroho, Kongres
Perempuan Indonesia diprakarsai oleh tujuh organisasi wanita, yaitu:

A. Wanita Taman Siswa


B. Wanita Utomo
C. Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling
D. Jong Java Dames Afdeeling
E. Wanita Katholik
F. Aisyiyah

Bertempat di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung


Joyodipoero, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak pukul tujuh malam
dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu.

Mereka juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar
diri, Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul sembilan hingga sebelas malam,
para tamu saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk mengurai problem
perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan
Pertama: Tinjauan Ulang (2007).

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya


Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke
van der Plas, hadir juga dalam acara itu. Setelah acara usai, perempuan Minang ini
menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te
Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar
pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini.

Esok harinya, acara dimulai sejak pukul delapan pagi. Setelah dibuka dengan
pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampai asas kongres
tersebut. Ternyata, pada pertemuan hari kedua kongres ini juga ada bahasan perkawinan
anak yang disampaikan oleh Moega Roemah.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya


tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji’ah dengan

11
“Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—istri Ki Hadjar Dewantara—
membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik
soal perkawinan dan perceraian.

Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan
Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa
kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan. Jika seorang anak hendak
dilahirkan, Djami berkata,

“bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan.


Tempat perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesia, akhirnya tak jauh dari kasur,
sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan
tak dianggap penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur
juga?

Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan


perempuan dalam kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk
ukuran zaman itu.

“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau
perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,”
katanya.

Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan
dibesarkannya sebetulnya terancam. Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung
oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang
mula-mula sekali kepada anaknya.”

Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan


seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini, juga Dewi Sartika begitu penting
perannya. Ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai.
Anak-anak yang pandai di masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat
akan lebih baik. Pergerakan Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-
ibu yang pandai juga.

12
Dalam Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari
yang belakangan menjadi istri dari Muhammad Yamin juga hadir. Siti yang seorang guru
juga memberikan pidatonya. Dia memakai bahasa Indonesia, meski Nyonya
Toemenggoeng berpendapat bahasa Indonesianya tidak pas dan agak berlebihan.

Ketika itu bahasa Indonesia, yang sebetulnya bahasa Melayu pasar, baru saja
disepakati sebagai bahasa persatuan Indonesia dua bulan sebelumnya pada 28 Oktober
1928. Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi
Perserikatan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, mereka berganti nama menjadi
Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.

Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai


Kemerdekaan (2008), dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan
bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka,
perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.

Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan juga menekankan pentingnya


persatuan. Mereka tak ingin dipecah belah dengan apa pun, termasuk oleh masalah
agama. Nyonya Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah
agama sebisa mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan.
Bahkan, tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi
ketua.

Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis
dan agama di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu
antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo,
perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamiten
Bond, dan Wanita Taman Siswa.

Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Acara
ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab
acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi
Indonesia. Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang
Eropa.

13
Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang
semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan
perempuan era kolonial itu. Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan kongres
ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Sukarno menetapkan
setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.

2.3 Sejarah dan Perkembangan Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI)

Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tanda yang


membangkitkan rakyat serentak, untuk membela kemerdekaan yang diidam-idamkan
beratus-ratus tahun yang lalu. Undang-undang memberikan kedudukan kepada
Perempuan sama dengan laki-laki.

Perempuan Indonesia dengan penuh tanggung jawab terhadap nusa dan bangsa
serta merta menjawab tantangan penjajah yang ingin berkuasa kembali. Untuk
mempersatukan tenaga dan kekuatan yang kokoh dan sigap, dirasakan perlunya membuat
satu wadah yang bersifat nasional.

Beberapa jam setelah proklamasi dibacakan, fujinkai Pimpinan Ny. Siti


Sukaptinah Soenaryo Mengunpuspito dibubarkan. Dalam amanat pembubaran dianjurkan
supaya di kota-kota dan kabupaten didirikan lagi organisasi perempuan dengan nama
Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI).

Maksud dan tujuan PERWANI adalah menyediakan dan mengerahkan tenaga


perempuan untuk mempertahankan dan memelihara kemerdekaan. Adapun kegiatannya
sendiri meliputi mengucapkan salam dengan pekik Merdeka, mengibarkan bendera merah
putih, memakai lencana merah putih dan membantu KNI (Komite Nasional Indonesia) di
daerah.

Untuk mengisi kemerdekaan, para pejuang perempuan bergerak aktif membuat


berbagai atribut kemerdekaan, seperti bendera merah putih, lencana merah putih yang
dipakai di peci dan baju. Di samping itu, mereka juga menyebarluaskan informasi
proklamasi kemerdekaan ke seluruh penjuru negeri, karena saat itu yang memiliki radio
sangat jarang.

14
Pada bulan Oktober 1945 Presiden Soekarno memberi surat kuasa kepada Ny.
Suwarni Pringgodigdo untuk memimpin pergerakan perempuan Indonesia. Di Jakarta di
bentuk WANI (Wanita Negara Indonesia) yang mendirikan dapur umum di bawah
pimpinan Nn. Erna Djajadiningrat, yang juga sebagai pusat pertahanan dan perlindungan
pejuang-pejuang kemerdekaan. Kaum perempuan dimana-mana berintegrasi pada aksi
kemerdekaan dan melawan Tentara Sekutu dan Tentara Belanda.

Tugas pertama yang diberikan Ny. Suwarni Pringgodigdo yang dianggap sebagai
anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) adalah menyediakan tenaga-tenaga
pimpinan perempuan yang sanggup bekerja di Jakarta atau tempat lain untuk
menyelenggarakan dapur-dapur umum atau tugas-tugas sosial. Untuk itu, pada bulan
Oktober 1945 di bawah pimpinannya dan Nn. Erna Djajadiningrat (Ny. Sutoto)
dibentuklah Wanita Negara Indonesia (WANI).
Berbeda dengan dapur umum lain, dapur umum WANI menyediakan juga
makanan bagi Pegawai Negeri yang tidak dapat pulang oleh karena suatu pertempuran,
tembak-menembak atau lain-lain. Pada waktu itu, jika ada pertempuran tidak ada orang
yang berjualan, toko-toko tutup dan lalu lintas terhalang, kadang-kadang sampai beberapa
hari. Dalam keadaan demikian, dapur umum WANI yang menyediakan bahan makanan
untuk para pejuang, berperan pula sebagai “Pos Republik”.
Di samping dapur umum, para perempuan di Jakarta mendirikan tempat “Penjahit
Umum” dimana mereka menyumbangkan tenaganya untuk menjahit perlengkapan para
pejuang di pedalaman. Untuk jasa-jasa dalam WANI tersebut Nn. Erna Djajadiningrat
merupakan perempuan pertama yang mendapat penghargaan Bintang Gerilya.
Terkenal pula pejuang perempuan Jakarta dalam memperingati hari ulang tahun
pertama Proklamasi Kemerdekaan dengan mengadakan demonstrasi berupa pawai, yang
sebetulnya dilarang oleh Tentara Inggris (yang berkuasa pada waktu itu). Tugu peringatan
proklamasi yang didirikan di Pegangsaan Timur 56 adalah berkat perjuangan mereka.
Nama-nama seperti Ny. Yos Masdani, Ny. Setiati Surasto, Ny. Maria Ulfah
Santoso SH, Ny. Sukemi dan masih banyak lagi yang tidak dapat dipisahkan dari
peristiwa tersebut. Mengingat pentingnya semangat persatuan untuk menghadapi aksi-
aksi Tentara Belanda, maka diadakan Kongres Wanita Indonesia yang pertama dalam
suasana kemerdekaan, yaitu pada tanggal 17 Desember 1945 di Klaten, Solo. Kongres ini
dilaksanakan atas inisiatif PERWANI cabang Yogyakarta yang dipimpin oleh Ny. D.D.
Susanto.

15
Dalam suasana perjuangan yang hebat itu diharapkan dapat dibentuk satu
organisasi perempuan yang merupakan fusi dari perkumpulan-perkumpulan wanita yang
ada diantarannya:
 Aisyiah
 Wanita Taman Siswa
 Putri Indonesia
 PERWANI
 Wanita Katolik
 WANI
 Muslimat, dan beberapa pimpinan serta tokoh-tokoh perempuan.
Kongres diselenggarakan dalam suasana perjuangan amat genting, terdengar
dentuman meriam dimana-mana. Dalam kongres tersebut Sujatin Kartowijono ditunjuk
untuk memimpin kongres tersebut.
Kongres tidak berhasil menyatukan seluruh organisasi yang hadir dalam satu fusi,
sebagaimana diharapkan, tetapi hanya PERWANI dan WANI yang dapat dilebur dalam
satu organisasi Nasional, bernama Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI),
yang bertujuan menuntut dan mempertahankan keadilan sosial, agar keselamatan peri
kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia terjamin.
Lahirnya PERWARI diusulkan untuk disampaikan secara langsung kepada
Presiden Soekarno, yang pada malam itu berangkat dari Yogjakarta menuju Madiun
dengan kereta ekspres. Para peserta kongres menunggu di Stasiun Klaten, dimana kereta
api ekspres kepresidenan berhenti dan Presiden Ir. Soekarno beserta pejabat-pejabat
tinggi lainnya turun, dan setelah mendengar hasil kongres dengan lahirnya PERWARI,
Presiden Ir. Soekarno memberikan restunya kepada PERWARI.
Sebagai sebuah organisasi PERWARI memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Memperjuangkan terwujudnya cita-cita bangsa seperti termaktub
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945
2. Memperjuangkan penyempurnaan hak atau kewajiban dan
pengangkatan harkat dan kedudukan perempuan Indonesia sesuai
ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945.

16
Berdasarkan tujuan diatas PERWARI berfungsi sebagai wadah kesatuan
perempuan tanpa membedakan golongan, suku, agama, dan aliran kepercayaan. Karena
itu, PERWARI menjadi wadah berhimpunnya perempuan Indonesia yang memiliki
persamaan kehendak sesuai dengan kodrat dan tanggung jawab perempuan untuk
mencapai cita-cita bangsa, mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, PERWARI melakukan usaha-usaha sebagai
berikut:
1. Memberikan penyuluhan dan pendidikan baik di dalam sekolah maupun di
luar sekolah kepada masyarakat umumnya dan anggota khususnya.
2. Membimbing dan membina anggota PERWARI dalam rangka
mengembangkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lain baik di dalam maupun di
luar negeri sesuai dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia.

Semangat nasionalisme dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan dan


mengisinya dengan perjuangan untuk kesejahteraan dan kesetaraan hak dan derajat kaum
perempuan menjadi ciri khas yang menonjol dari PERWARI. Penggunaan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai asas dan landasan organisasi dan Tujuan-tujuan yang hendak
dibangun jelas menonjolkan semangat Nasionalisme tersebut. Selain itu, dengan
menegaskan diri menjadi Organisasi struktural sebagai wadah perjuangan bersama
menjadikan PERWARI berbeda dengan organisasi perempuan semasa yang lebih
mengandalkan massa, sebagai organisasi massa.
Sebagai sebuah organisasi, PERWARI beranggotakan para istri atau ibu rumah
tangga yang bekerja pada wilayah domestik dan kaum perempuan yang bekerja di
wilayah publik. Dari segi pendidikan anggota PERWARI dapat digolongkan
berpendidikan lanjutan, berpendidikan rendah dan buta huruf. Namun satu hal yang
menjadi masalah yang sama, yaitu persamaan nasib sesama perempuan. Inilah salah satu
yang diperjuangkan PERWARI baik melalui perjuangan politik dengan mengusahakan
undang-undang perkawinan, menentang poligami, pembentukan badan-badan
kesejahteraan ibu dan anak.
Lambang PERWARI ialah Trisula (senjata zaman kuno yang bermata tiga)
berwarna hitam yang melambangkan besi baja dan kesungguhan dan dilingkari oleh jagat
berwarna kuning emas menunjukkan derajat kebesaran. Latar belakang dari Trisula

17
adalah merah putih yaitu warna bendera kebangsaan yang melambangkan keberanian dan
kesucian. Keseluruhan lambang Trisula terletak di dasar hijau yang melambangkan cita-
cita Republik Indonesia, yaitu menuju kemakmuran nusa dan bangsa. Mata Trisula yang
tengah menembus lingkaran kuning mengartikan bahwa kesucian membawa perjuangan
kita ke ridha Allah Tuhan Yang Maha Esa dan didampingi oleh dua mata tombak Trisula
lainnya yang melambangkan perjuangan yang diridhai Allah harus berdasarkan kejujuran
dan keberanian.

BAB III

18
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan yang berisikan tentang perjuangan politik Soekarno


dalam kancah pergerakan nasional. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Perjuangan pergerakan kemerdekaan di Indonesia tidak hanya didominasi oleh


kaum pria, namun juga kaum perempuan. Peran perempuan dalam pergerakan
kemerdekaan Indonesia dapat kita telusuri melalui eksistensi organisasi
pergerakan perempuan pada awal abad ke-20 Masehi. Dalam buku Sejarah
Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, latar belakang
munculnya organisasi pergerakan perempuan di Indonesia berkaitan dengan
penerapan kebijakan Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda. Penerapan
Politik Etis pada awal abad ke-20 Masehi telah menciptakan banyak
pembaharuan-pembaharuan penting yang identik dengan unsur modernitas. Hal
tersebut berhasil memberikan kesadaran terhadap kaum perempuan Indonesia
untuk turut berjuang demi kesejahteraan dan kemerdekaan bangsa. Tujuan
pergerakan organisasi perempuan di Indonesia adalah untuk memajukan status
perempuan pribumi di bidang sosial, politik dan pendidikan. Dengan begitu,
perempuan-perempuan Indonesia mampu memberikan kontribusi yang besar bagi
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
2. Kongres Perempuan Indonesia I diadakan pada 22-25 Desember 1928 di
Yogyakarta di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung
Joyodipoero, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak pukul tujuh
malam dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu. Mereka
juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri,
Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul sembilan hingga sebelas
malam, para tamu saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk
mengurai problem perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam
Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007). Seperti kongres Pemuda II,
Kongres Perempuan juga menekankan pentingnya persatuan. Mereka tak ingin
dipecah belah dengan apa pun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya
Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa
mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan,

19
tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi
ketua. kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat
perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan
perempuan era kolonial itu. Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan
kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Sukarno
menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
3. Beberapa jam setelah proklamasi dibacakan, fujinkai Pimpinan Ny. Siti
Sukaptinah Soenaryo Mengunpuspito dibubarkan. Dalam amanat pembubaran
dianjurkan supaya di kota-kota dan kabupaten didirikan lagi organisasi perempuan
dengan nama Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI). Mengingat pentingnya
semangat persatuan untuk menghadapi aksi-aksi Tentara Belanda, maka diadakan
Kongres Wanita Indonesia yang pertama dalam suasana kemerdekaan, yaitu pada
tanggal 17 Desember 1945 di Klaten, Solo. Kongres ini dilaksanakan atas inisiatif
PERWANI cabang Yogyakarta yang dipimpin oleh Ny. D.D. Susanto. Dalam
suasana perjuangan yang hebat itu diharapkan dapat dibentuk satu organisasi
perempuan yang merupakan fusi dari perkumpulan-perkumpulan wanita yang ada.
Kongres tidak berhasil menyatukan seluruh organisasi yang hadir dalam satu fusi,
sebagaimana diharapkan, tetapi hanya PERWANI dan WANI yang dapat dilebur
dalam satu organisasi Nasional, bernama Persatuan Wanita Republik Indonesia
(PERWARI), yang bertujuan menuntut dan mempertahankan keadilan sosial, agar
keselamatan peri kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia terjamin. Lahirnya
PERWARI diusulkan untuk disampaikan secara langsung kepada Presiden
Soekarno, yang pada malam itu berangkat dari Yogjakarta menuju Madiun dengan
kereta ekspres. Para peserta kongres menunggu di Stasiun Klaten, dimana kereta
api ekspres kepresidenan berhenti dan Presiden Ir. Soekarno beserta pejabat-
pejabat tinggi lainnya turun, dan setelah mendengar hasil kongres dengan lahirnya
PERWARI, Presiden Ir. Soekarno memberikan restunya kepada PERWARI.

20
DAFTAR PUSTAKA

Trimurtini, Winingsari. 2015. “PERKEMBANGAN KONGRES PEREMPUAN


INDONESIA PERTAMA TAHUN 1928 DI YOGYAKARTA”. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.

Drs. Suratmin, dkk, “Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia (Sebuah
Tinjauan Awal)”, Yogyakarta : Eja Publisher. Gischa, Serafica. 2021. “Kongres Perempuan
Indonesia”. Kompas.com [Online] https://amp-kompas-
com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/skola/read/2021/02/08/144518669/kongres-
perempuan-indonesia?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw
%3D%3D#aoh=16371122399600&csi=1&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F
%2Fwww.kompas.com%2Fskola%2Fread
%2F2021%2F02%2F08%2F144518669%2Fkongres-perempuan-indonesia Diakses Pada
Tanggal 17 November 2021.

Danang, Martinus. 2020. “Akar Sejarah Hari Ibu dalam Kongres Perempuan Indonesia”.
Kompaspedia.kompas.id [Online]
https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/akar-sejarah-hari-ibu-dalam-
kongres-perempuan-indonesia Diakses Pada Tanggal 17 November 2021.

Matanasi, Petrik. 2020. “Kongres Perempuan Indonesia Menginspirasi Lahirnya Hari Ibu”.
Titro.id. [Online] Diakses Pada Tanggal 17 November 2021. Dpad Jogja. “Kongres
Perempuan Pertama 1928 di Yogyakarta”. [Online]
http://dpad.jogjaprov.go.id/article/library/download/kongres-perempuan-pertama-1928-di-
yogyakarta-245 Diakses Pada Tanggal 17 November 2021.

Kumparan.com. 2021. “Hasil Kongres Perempuan Indonesia II dan Waktu


Penyelenggaraannya”. Kumparan.com. [Online] https://m-kumparan-
com.cdn.ampproject.org/v/s/m.kumparan.com/amp/berita-update/hasil-kongres-perempuan-
indonesia-ii-dan-waktu-penyelenggaraannya-1wUok3uiOI1?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16371122399600&csi=1&referrer=https%3A%2F

21
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F
%2Fkumparan.com%2Fberita-update%2Fhasil-kongres-perempuan-indonesia-ii-dan-waktu-
penyelenggaraannya-1wUok3uiOI1 Diakses Pada Tanggal 17 November 202

22
23

Anda mungkin juga menyukai