Anda di halaman 1dari 3

CANDI SANGGRAHAN

Candi Sanggrahan atau Candi Cungkup merupakan candi pemujaan budha, letak di Dusun Sanggrahan,
Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Candi berbentuk
bujursangkar dan terdiri dari bangunan kaki, tubuh dan atap. Candi ini peninggalan Kerajaan Majapahit,
dibangun sekitar tahun 1350, dulunya merupakan candi tempat penyimpanan abu kerabat raja
Majapahit.

Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas
empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat. Bagian atap
candi telah runtuh dan yang tersisa adalah bagian kaki candi dan sedikit badan candi.

Candi Sanggrahan sendiri merupakan candi yang unik karena disusun atas dua batu yang berbeda.
Bagian dalam candi disusun dari batu bata, sedangkan bagian luarnya terbuat dari batu andesit. Hal
demikian juga dapat kita temui pada Candi Simping, Candi Surowono dan Candi Induk Penataran.

Tidak memiliki hiasan relief pada dinding tubuh candi. Namun pada dinding candi bagian bawah atau
kaki candi terdapat hiasan relief aneka hewan seperti singa dan serigala. Relief relief itu berada dalam
kotak kotak persegi panjang.

Candi Sanggrahan merupakan Candi Buddha karena dulu disekitar candi pernah diketemukan lima buah
patung Buddha dalam posisi mudra yang berbeda – beda, namun entah sekarang patung-patung
tersebut berada di rumah juru pelihara candi atau telah dipindah ke Museum Daerah Tulungagung.

Candi Sanggrahan ini memiliki pagar penahan dari batu bata yang masih utuh serta memiliki tinggi dua
meter. Pagar penahan ini dihiasi oleh ornamen belah ketupat dalam posisi tidur. Gerbang masuknya
sendiri berada di sebelah barat dan harus menaiki tangga selebar setengah meter. Gapuranya sendiri
sudah runtuh dan hanya menyisakan bagian kakinya saja.

Latar Belakang Sejarah

Candi ini peninggalan Kerajaan Majapahit. Dibangun sekitar tahun 1350 M. Candi ini awalnya merupakan
tempat penyimpanan abu kerabat raja Majapahit. Di sekitar candi kita dapat menemui banyak
peninggalan sejarah yang berserakan. Di sekitarnya ada sebuah tugu pemujaan sebelah utara candi juga
sebuah umpak di utara tugu dan jika anda menggali tanah di sekitar candi, maka akan banyak ditemukan
gerabah kuno peninggalan masa lalu. Dulu ada enam buah patung budha namun karena ditakutkan ada
penjarahan maka patung disimpan di rumah juru kunci sebelah selatan candi.[2]

Sejarah Candi Sanggrahan sebenarnya belum diketahui secara jelas, namun secara samar-samar dengan
adanya istilah “sanggrahan” ini mengingatkan kita adanya suatu kelompok para pendeta, kata lain seperti
wihara. Hal ini didukung adanya temuan pondasi yang cukup luas (bangunan profane) yang berada di
sekitar Desa Sanggrahan.

CANDI DADI

Candi Dadi yang terletak di Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa
Timur ini memiliki keunikan tersendiri. Candi Tunggal yang berada di puncak bukit ini juga menyimpan
kisah misteri yang melegenda dari mulut ke mulut.

Candi Dadi berada pada ketinggian 360 meter di atas permukaan laut dan berada di tengah areal
kehutanan RPH Kalidawir. Sebenarnya Candi Dadi merupakan bagian dari kompleks percandian, karena
Desa Wajak Kidul bagian selatan merupakan perbukitan. Pada empat puncak perbukitan tersebut
masing-masing terdapat satu buah candi dan Candi Dadi ada pada puncak tertinggi.

Pada puncak lain terdapat Candi Gemali, Candi Buto, dan Candi Urung (Bubrah), sehingga membentuk
deretan candi dari yang paling rendah ke yang paling tinggi, yaitu Candi Dadi. Kondisi candi-candi itu
sekarang tinggal puing-puing yang berserakan, hanya tinggal Candi Dadi yang berdiri kokoh.

Candi Dadi merupakan candi tunggal yang tidak memiliki hiasan dan arca. Denah Candi berbentuk
bujursangkar dengan ukuran panjang 14 meter, lebar 14 meter, dan tinggai 6,5 meter. Bangunan
berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi.

Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang
berdenah segi delapan. Pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan
berfungsi sebagai sumur. Diameter sumur adalah 3,35 meter dengan kedalaman 3 meter.
Uniknya, sumuran itu ketika hujan turun sederas apa pun, di dalam sumuran tidak pernah menggenang
air. Air yang turun langsung meresap ke dalam. Sejak awal berdiri belum pernah mengalami pemugaran,
jadi Candi Dadi ini masih sama dengan zaman dulu.

Penelitian terhadap Candi Dadi pernah dilakukan oleh beberapa ahli purbakala, yaitu PJ Veth (1878),
Hoepermans (1913), NJ Krom (1915 dan 1923), Haase (1901). Dalam laporan Belanda pada abad ke-19,
disebutkan adanya kelompok bangunan candi (jumlahnya lima) di lereng utama pegunungan Wajak atau
juga disebut pegunungan Walikukun di Tulungagung.

Candi Dadi merupakan salah satu dari lima kelompok candi tersebut. Tetapi sekarang ini hanya Candi
Dadi saja yang masih tersisa, sedang yang lain sudah tak berbekas lagi.

Letaknya yang berada di puncak bukit dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuna bahwa
puncak gunung adalah tanah suci. Anggapan ini merupakan sebuah tradisi yang berlangsung sejak zaman
prasejarah yang percaya bahwa arwah para leluhur berada di puncak gunung.

Berkenaan dengan paham tersebut, lingkungan alam di sekitar Candi Dadi memang sangat mendukung.
Candi Dadi yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap lembah Boyolangu di sebelah
utaranya merupakan karya arsitektur yang menggambarkan sebuah kemegahan.

Selain sebagai tempat pemujaan, dapat diduga Candi Dadi dahulu berfungsi juga sebagai tempat
pengabuan, pembakaran jenazah tokoh atau penguasa saat itu. Sifat keagamaan yang melatarbelakangi
pendiriannya secara tepat belum diketahui.

Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya data yang mampu menunjang upaya pengenalannya secara
langsung. Namun, sumuran yang terdapat di bagian tengah bangunan candi tersebut dapat digunakan
sebagai petunjuk dari karakter sebuah percandian berlatar belakang keagamaan Hindu. Diperkirakan
Candi Dadi merupakan peninggalan sejarah pada masa kerajaan Majapahit sekitar akhir abad XIV hingga
akhir abad XV.

Anda mungkin juga menyukai