Anda di halaman 1dari 8

A.

GUSJIGANG (BAGUS, NGAJI, DAN DAGANG) : SEBUAH


PANDANGAN KEHIDUPAN LOKAL ALA KOTA KUDUS

Sumber : https://www.daaruttauhiid.org/melancong-asik-ke-masjid-menara-kudus-4/

Falsafah Gusjigang merupakan ajaran Sunan Kudus. Beliau merupakan sesepuh pendiri
Kota Kudus dan salah satu Wali Songo yang bernama Syeh Ja'far Shodiq. Ada dua citra
yang melekat pada dirinya yaitu sebagai waliyyul ilmy dan wali saudagar (Said, 2010).
Sebagai waliyyul ilmy. Beliau ahli hukum agama Islam, pemerintahan,
kesusasteraan dan pedagang yang kaya. Sementara citra sebagai wali saudagar
didukung dengan jejak sejarah yang dalam menjalankan misi dakwahnya tidak terlepas
dari jaringan lokal maupun global dalam dunia saudagar.
Gusjigang sendiri mempunyai makna berakhlak bagus, pinter ngaji dan pinter dagang. Ajaran
Gusjigangberpengaruh pada warga setempat sebagai masyarakat yang agamis dan pintar
berdagang. Keberadaan masjid dan pondok pesantren yang dekat dengan pasar memperkuat
prinsip-prinsip Gusjigang. Berdasarkan hasil penelitian Ismaya (2013), bagi generasi usia 30-
60 tahun, falsafah Gusjigang dapat dipahami dan dilaksanakan dalam keseharian, terlebih lagi
bagi mereka yang tinggal disekitar Masjid Menara.
Spirit Gusjigang itulah yang ingin disebarluaskan oleh Sunan Kudus kepada siswanya
semasa dulu, berawal di sekitar daerah Langgar Dalem menara dan Masjid Al- Aqsa
lingkungan ziarah tersebut banyak didiami oleh banyak para pedagang muslim. Sehingga
selain menjadi tempat bertemunya para pembeli dan pedagang, Langgal Dalem dan Masjid
Al-Aqsa juga menjadi pusat kegiatan Agama. Kemudian, Sunan Kudus mencoba untuk
membangkitkan Kota Kudus menjadi kota perdagangan. Sehingga perekonomian kota mulai
bangkit dengan dibukanya perdangangan lintas Negara melalui Sungai Gelis yang membelah
kota lama Kudus. Dari zaman dulu sampai sekarang Menara Kudus dan Masjid Al Aqsha
yang dibangun Sunan Kudus menjadi sentral nadi kehidupan masyarakat Kudus. Bangunan
yang memadukan arsitektur Jawa, Islam, Hindu-budha itu menjadi saksi sekaligus pengingat
abadi tumbuh dan berkembangnya filosofi gusjigang.

Kudus kulon menjadi embrio perkembangan Kota Kudus. Wilayahnya meliputi desa
Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan dan Kajeksan. Desa desa
tersebut mengitari Masjid Kudus sebagai episentrum sosial ekonomi dan budaya serta
keagamaan. Seiring melewatinya lorong waktu kondisi sosial masyarakat itu tidak dapat lagi
mendukung keberadaan rumah rumah gebyok sehingga banyak rumah adat tersebut dijual
pemiliknya.

Meskipun begitu semangat berdagang dan menjadi pengusaha kecil tidak pernah hilang.
Sejumlah pedagang kecil masil tetap bertahan ditengah industri modern seperti pedagang es
jus, pulsa, sejumlah pakaian muslim, dan oleh oleh dari Kudus. Namun yang mengecewakan
istilah Gusjigang dan semangat makna tersebut sudah mulai menghilang. Para pedagang
hanya mengedepankan usaha dan dagang mereka. Jadi dapat dikatakan kedudukan budi
pekerti bagus, bias mengaji dan berdagang sudah tidak sejajar.

B. DANDANGAN
Sumber :https://www.murianews.com/2017/05/15/115884/inilah-asal-usul-dandangan-kudus

Dandangan merupakan sebuah festival di Kudus untuk menandai dimulainya ibadah


puasa di Bulan Ramadan. Beberapa acara yang masuk dalam rangkaian acara ini adalah
festival rebana dan kirab.Biasanya, para peserta tradisi Dandangan berjumlah ratusan yang
terdiri dari kelompok seniman, masyarakat, serta para pelajar. Pada mulanya, Dandangan
merupakan tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu
pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Kata “Dandangan” sendiri
berasal dari onomatope suara bedug khas Masjid Menara Kudus. Ketika bedug ditabuh,
muncul suara yang nyaring, “Dang!” yang menjadi bunyi tanda awal datangnya Bulan
Ramadan. Menurut Khasanah (2011) Dandangan berasal dari kata Ndang, yang diperoleh
dari bunyi/suara Bedhug yang ditabuh, sehingga mengeluarkan bunyi Ndang-Ndang (ayo)
yang didengar oleh semua masyarakat Kudus maupun diluar Kudus untuk datang dan
berbondong-bondong berkumpul di Masjid Menara guna menerima penjelasan dari Sunan
Kudus dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan.

Pada mulanya, atau tepatnya pada abad ke-16, tradisi ini dilakukan setelah Sunan
Kudus mengumumkan hari awal puasa. Waktu itu, Sunan Kudus memang salah satu ahli
Ilmu Falak yang bisa mengetahui hitungan hari dan bulan dalam Kalender Hijriah.
Pemukulan bedug itu dilakukan dua kali di pelataran Masjid Menara Kudus. Pemukulan
pertama ditunjukkan untuk mengumpulkan masyarakat, sementara pemukulan kedua
dilakukan untuk membuka awal Bulan Ramadan yang dilakukan setelah salat Isya’.

Pada masanya, acara ini dihadiri langsung oleh murid-murid Sunan Kudus seperti
Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak, Sultan Hadirin dari Jepara, hingga Arya Penangsang
dari Blora.Seiring waktu, tradisi Dandangan selalu diwariskan secara turun temurun hingga
sekarang. Kini, tradisi ini berwujud festival budaya dan kirab rebana. Saat diselenggarakan
tradisi ini, pengunjung dapat melihat atraksi-atraksi seni seperti Barongan Gembong
Kamijoro. Seiring waktu, tradisi ini makin meriah digelar dengan para pelaku usaha yang
memanfaatkan momen itu untuk berjualan. Semaraknya tradisi ini tidak hanya disambut
hangat oleh masyarakat muslim yang akan melaksanakan puasa, namun juga masyarakat non-
muslim di Kudus. Tidak sedikit masyarakat non-muslim yang menjajakan dagangannya atau
sekedar melihat kemegahan Menara Kudus dari dekat.
Penelitian yang dilakukan Khasanah (2011) hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bentuk tradisi dandangan ada 3 tradisi, yaitu: tradisi nyekar, tradisi menabuh bedhug, dan
tradisi arak-arakan (kirab). Makna simbol dalam tradisi dandangan ada 10 simbol, yaitu:
bedhug, barongan, memakai pakaian putih ala sunan kudus, memakai pakaian putih ala santri
sunan kudus, galungan air suci, galungan makanan, jadah pasar, bunga telon, dan kemenyan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ismaya, Fathurohman, dan Setiawan (2017) hasil
penelitiannya yaitu Buka Luwur Kudus Sunan mengandung makna dan simbol nilai-nilai
luhur dan nilai edukatif yang tinggi yaitu: rasa toleransi kepada sesama, rasa saling
tolongmenolong dan menghargai, melatih dan membiasakan diri bersedekah, selalu
mendekatkan diri kepada Tuhan, mampu membina budi pekerti luhur dan mengekang
perbuatan negatif serta mengingatkan agar orang-orang supaya beramalibadah yang baik
untuk bekal kehidupan sesudah mati.

C. BULUSAN

Sumber :https://blogkulo.com/tradisi-bulusan-kudus/

Masyarakat Islam Jawa sangat identik dengan beragam tradisi yang berkaitan dengan
Hari Raya Idul Fitri. Di berbagai daerah, baik sebelum atau sesudah Lebaran selalu ada
festival atau perayaan yang terselenggara. Sebagai misal adalah kabupaten Kudus yang
memang kental dengan kesejarahan Islam di Jawa. Masyarakat Kudus bahkan memulai
perayaan sejak menjelang bulan puasa Ramadhan dengan mengadakan Festival Dhandangan.
Sementara itu, selepas Idul Fitri masyarakat Kudus juga mengadakan Tradisi Bulusan. Pusat
keramaiannya ada di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.
Tradisi Bulusan biasanya dilaksanakan tujuh hari sesudah Hari Raya Idul Fitri. Pada
pelaksanaannya, Tradisi Bulusan biasanya sangat meriah karena mencakup beragam
kegiatan. Sebagai misal, kegiatan Bersih Sendang (sumber air), Kirab dan pembagian
bancaan (makanan) kepada masyarakat, dan lain-lain. Agar menjadi lebih meriah, biasanya
Bulusan juga mencakup pertunjukan Wayang Kulit dan beragam kesenian tradisional lainnya.
Bahkan akhir-akhir ini, tradisi Lebaran ini menjadi semakin meriah dengan adanya pasar
malam dan hiburan musik modern.

Bulusan, yang namanya berasal dari kata bulus (kura-kura air tawar) ini, merupakan
tradisi Syawal yang berusaha tetap lestari. Mencoba bersaing dengan agenda-agenda lain
yang bernuansa modern, sehingga panitia tradisi ini pun sangat berusaha memoles acaranya
agar bisa menarik animo pengunjung. Dalam sejarah, Tradisi Bulusan berkembang
mengiringi legenda mengenai seorang alim ulama sahabat dari Sunan Muria yang bernama
Mbah Dado dengan dua muridnya, Umara dan Umari. Untuk memudahkan penyebaran
Agama Islam, Mbah Dado berniat mendirikan sebuah pesantren yang bertempat di Kaki
Gunung Muria.

Pada bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Qur’an, datanglah Sunan
Muria ke pesantren tersebut untuk bersilaturrahmi dan membaca Al Qur’an bersama Mbah
Dado. Dalam perjalanannya, Sunan Muria mendengar orang bekerja di sawah pada malam
hari sedang ndaut (mangambil bibit padi). Orang yang dimaksud tak lain adalah Umara dan
Umari. Sunan Muria berhenti sejenak dan berkata, “Lho, malam Nuzulul Qur’an kok tidak
baca Al Qur’an, malah di sawah berendam air seperti bulus saja?”. Akibat perkataan itu
Umara dan Umari seketika menjadi bulus.

Kemudian datanglah Mbah Dado memintakan maaf atas kesalahan santrinya. Namun,
nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa kembali lagi. Akhirnya, Sunan Muria menancapkan
tongkat ke tanah dan keluar mata air atau sumber (asal mula Dukuh Sumber). Sedangkan
tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon Tamba Ati. Sambil
meninggalkan tempat itu Sunan Muria berkata, “Besok anak cucu kalian akan
menghormatimu setiap satu minggu setelah hari raya bulan Syawal tepatnya waktu Bada
Kupat“. Hingga kini setiap bada kupat tempat tersebut ramai orang berziarah dan melihat
bulus. Tradisi tersebut kini masih ada dan terkenal dengan nama Bulusan.
D. SEWU KUPAT

Sumber :https://www.merdeka.com/jateng/fakta-unik-tradisi-sewu-kupat-di-kudus-bentuk-
penghormatan-pada-sunan-muria.html

Kearifan lokal merupakan istilah yang sering dipakai oleh ilmuan untuk mewakili
sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal
berdasarkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan
lingkungan (Tjahjono et al, 1999).
Pengertian kearifan lokal menurut budayawan Saini KM. adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya yang
memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana
komunitas itu berada. Kearifan lokal dapat juga disebut jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah memiliki beragam tradisi kebudayaan
untuk meluhurkan kiprah para Walisongo. Salah satunya adalah dengan menggelar parade
"Sewu Kupat". Dalam bahasa Indonesia, Sewu berarti seribu dan kupat tak lain adalah
ketupat Kegiatan ini merupakan kearifan lokal warga setempat untuk menghormati tokoh
agama Islam yang tergabung dalam Walisongo yaitu Sunan Muria. Perayaan Sewu Kupat
biasanya berlangsung sepekan usai hari raya Idul Fitri atau 7 Syawal.

Belasan gunungan berisi ketupat diarak oleh warga mulai Makam Sunan Muria, Desa
Colo, Kecamatan Dawe, Kudus. Iring-iringan gunungan ketupat dalam Parade Sewu Kupat
berakhir di Taman Ria Colo, Kudus. Sementara itu tampak ribuan warga berkerumun untuk
menanti tradisi Sewu Kupat sejak pagi. Entah sekadar menyaksikan maupun berebut isi
gunungan. Gunungan tidak hanya berisi ketupat, melainkan juga terpajang berbagai hasil
bumi lereng Gunung Muria dan jajanan tradisional. Gunungan itu dibawa oleh masyarakat
Kecamatan Dawe dari masing-masing desa dan didoakan di Makam Sunan Muria.

Selain untuk memuliakan perjuangan Sunan Muria dalam menyebarkan agama islam,
tradisi ini tak lain juga berharap keselamatan dan keberkahan kepada Sang Khalik atau
istilahnya "Ngalap Berkah". Tradisi ini juga bertepatan dengan Hari Raya Ketupat yang jatuh
hari ini. Prosesi tradisi Sewu Kupat diawali manaqib sore kemarin, kemudian puncaknya
pada hari ini dengan berziarah ke makam Sunan Muria.

Ngalap Berkah Tradisi Sewu Ketupat juga dimeriahkan dengan pemotongan ketupat
secara simbolik oleh Bupati Kudus. Acara dilanjutkan dengan hiburan drama tari kolosal. 
Tradisi Sewu Kupat diakhiri dengan momen ribuan warga yang berebut gunungan berisi
ketupat, hasil bumi dan jajanan tradisional itu. Dalam sekejap isi gunungan ludes menjadi
rebutan warga.
Daftar Isi

1. Pewarisan Nilai Falsafah Budaya Lokal Gusjigang sebagai


Modal Sosial di Pondok Pesantren Entrepreneur Al
Mawaddah Kudus
Maharromiyati dan Suyahmo
JESS 5 (2) (2016)
Journal of Educational Social Studies

2. TRADISI DANDANGAN SEBAGAI KAJIAN PEMBELAJARAN DALAM


MENDUKUNG PENCAPAIAN VISI UNIVERSITAS KEBUDAYAAN
REFLEKSI EDUKATIKA : Jurnal Ilmiah Kependidikan Volume 10 Nomor 1
Desember 2019 ISSN: 2087-9385 (print) dan 2528-696X (online)

3. KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA LINGKUNGAN HIDUP (STUDI


KASUS MASYARAKAT DI DESA COLO KECAMATAN DAWE KABUPATEN
KUDUS)
Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati
Journal of Educational Social Studies
JESS 1 (1) (2012)

Anda mungkin juga menyukai