Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Sikap Hidup Gotong Royong Dalam Masyarakat Modern

dipagi hari tepatnya hari minggu keluaga pak Adji terlihat sudah membuka pintunya. keluarga
yang beranggotakan 4 orang itupun langsung membagi tugas masing-masing. pak Adji dan
Buk Adji membersihkan selokan dan bagian luar rumah. sedangkan kedua anaknya Rana dan
Adit membersihkan bagian dalam rumah.

"rana, jangan lupa dibawah meja disapu juga" ucap bu Adji mengajari rana cara menyapu yang
benar.

"baik bu" jawab rana.

Adit yang dikira sedang membersihkan kamarnya ternyata malah tertidur pulas ditempat
tidurnya yang masih berantakan. betapa pulasnya ia tidur sampai ia tidak menyadari bahwa
tangan nya dijilat oleh kucingnya yang bernama leo.

"rana, adit dimana ?" tanya pak Adji.

"katanya dia bersihin kamar pa" jawab Rana .

tak lama kemudian, suara teriakan dari dalam rumah pun tersengar lantam. karna terkejut dan
panik. pak adji, istrinya dan rana pun melihat keadaan sekitar. mereka sangat terkejut saat
tahu yang berteriak tersebut adalah adit.

"kenapa adit?" tanya rana seraya panik.

"tadi aku tidur diatas kasur, aku gak tau apa yang ada ditangan aku, pertama kau pikir si leo,
ternyata waktu aku bangun ada kecoa di atas tangan aku, aku takut " jawab adit sambil
menangis disamping ayahnya.

"itulah petingny kita untuk bergotong royong, membersihkan keadaan sekitar kita, agar
terlindung dari serangga-serangga yang jorok. karna serangga* itu menyukai tempat-tempat
korok. inilah akibat adit tidak membersihkan kamar adit." jawab ayah menasehati adit yang
sedang menangis tersedu-sedu.

"maafin adit ayah. habis tadi adit masih ngantuk" jwab adit.
oleh sebab itu kita sebagai makhluk hidup yang bersih harus menjaga keadaan lingkungan
sekitar kita, supaya kita tidak terjangkit oleh penyakit dan binatang-binatang yang tidak kita
inginkan.
Kerukunan Hidup Dalam Keberagaman Agama, Etnis, & Budaya

Berdiriku mematung di depan panggung. Dengan jeli mataku mengamati setiap sisi panggung
itu dan menjatuhkan pandanganku ke secarik kertas di tanganku. “lombanya satu hari lagi”
kataku pelan sambil mencermati nomor urut peserta untuk tampil di Pagelaran Seni Tari
Nusantara. Kebetulan tahun ini, kotaku menjadi tuan rumah acara besar itu. Sebuah
kesenangan yang berlipat karena ternyata aku dan Farah terpilih menjadi peserta yang
mewakili tari adat Jawa Tengah.

“Naily, kita nomor undian berapa?” tanya Farah sambil menepuk bahuku dari belakang.
Lamunan kebanggaanku terbuyar seketika dibuatnya.

“Enam” jawabku singkat. Mendapat undian nomor awal berarti butuh kesiapan yang lebih
matang. Aku dan Farah menatap penuh arti pada panggung pagelaran itu sebelum akhirnya
kembali ke tempat latihan menemui Bu Endang, pemilik sanggar tempat kami belajar tari.

“istirahatlah, besok kalian tampil awal kan” kata Bu Endang dengan nada keibuannya yang
natural. Aku dan Farah yang berniat meminta untuk latihan penuh hari ini akhirnya menurut.
Menurut meski sebenarnya aku tidak yakin aku bisa istirahat dengan tenang. Aku terlalu
bersemangat untuk menampilkan tari Serimpi di depan penonton se-Nusantara besok di
panggung besar itu.

Dengan langkah pasti kujalankan kakiku menuju kamar nomor 106, sebuah kamar kecil yang
kusinggahi selama pagelaran ini berlangsung. Langkahku berhenti sejenak saat melewati
beberapa kelompok yang sedang sibuk latihan tari daerah mereka masing-masing. Rasa
bangga bertahap menarik kedua sudut bibirku membentuk senyuman. Inilah yang baru
kusebut sebagai wujud nasionalisme. Generasi bangsa yang dengan suka cita menghidupkan
keragaman budaya daerah lengkap dengan peragaan nyatanya.

“hai” seseorang di sana terdengar menyapaku saat aku hendak melanjutkan langkah. Kepalaku
menoleh begitu saja dan kudapati anak perempuan sebayaku berjalan menghampiriku.
“peserta juga? Kenalkan aku Ajeng dari Aceh” katanya ramah tanpa basa-basi sambil
menyalamiku. “Naily dari Jawa Tengah” jawabku tidak kalah singkat. Aku masih terpukau
dengan gerakan tari Ajeng dan teman-temannya yang sempat kulihat tadi. Perbincangan
kecil kami pun berkembang menjadi perbincangan yang menarik. Karena logat yang
berbeda, berbicara dengan orang dari daerah lain mungkin akan sangat susah tanpa bahasa
persatuan Bahasa Indonesia. Lagi-lagi malam ini aku bersyukur atas kenyataan yang baru
saja aku buktikan ini. Sampai detik-detik menjelang tidur pun aku masih tidak sabar
menunggu hari esok.

“waahh” Farah setengah berteriak setelah pemandangan di sekitar panggung berhasil


membuatnya terkejut. Banyak peserta dari berbagai daerah menyiapkan diri tampil dengan
seragam tari dan riasan masing-masing. Pagelaran baru saja dimulai dan ternyata Tari Saman
dari Aceh yang mendapat giliran pertama.

“ah itu Ajeng” ucapku dengan nada girang. Gerakan sigapnya berhasil memukau peserta-peserta
dari daerah lain. Hal yang membuatku termotivasi untuk memberikan penampilan terbaik
pula. Kemudian Tari Lenso dari Maluku dan tari-tari berikutnya yang lain juga mampu
menghipnotis peserta-peserta lain dengan gerakan tariannya. Akhirnya sambil menunggu
giliran tampil, aku dan Farah mencoba beberapa bagian dari tari Serimpi untuk saling
memantapkan.

Peserta nomor undian lima selesai. Tiba giliran aku dan Farah menunjukkan kebolehan kami. Bu
Endang mengangkat dua ibu jarinya saat Aku dan Farah mulai menaiki panggung. Begitu
alunan musik pengiring Tari Serimpi itu dimulai, aku dan Farah dengan yakin menggerakkan
langkah kaki dan mengayunkan tangan seirama dengan nada. Panggung ini menjadi saksi
bisu yang merekam betapa bangganya aku dengan budaya khas daerah sendiri dan betapa
bangganya dapat mengenalkannya sebagai bagian dari budaya tari Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai