Anda di halaman 1dari 6

UPAYA MENINGKATKAN EKSISTENSI SENI TEMBANG PAGERAGEUNGAN

KABUPATEN TASIKMALAYA
Witrie Mayang Sundha, Rita Milyartini, Diah Latifah
Program Studi Pendidikan Seni, Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung, Indonesia
witriemayangsundha092@gmail.com

ABSTRAK
Arus globalisasi tentu sudah tidak asing lagi menjadi problematika terbesar bagi kehidupan.
Salah satunya dalam bidang kebudayaan. Maraknya perkembangan teknologi yang semakin
meninabobokan masyarakat menjadi salah satu faktor menurunnya eksistensi budaya lokal
menyebabkan permasalahan yang krusial bagi para budayawan dan seniman. Contoh
kesenian yang keberadaannya sudah hampir punah adalah Tembang Pagerageungan/Ciawian
yang berasal dari Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Tujuan: Dalam artikel
ini, penulis akan melaporkan hasil penelitian berdasarkan data kualitatif. Metode: wawancara
model analisis pengamatan terfokus. Cara Pengumpulan dan Analisis Data: Tanya jawab
dengan narasumber (budayawan dan masyarakat sekitar) menggunakan teknik analisis
naratif. Hasil Penelitian/Temuan: Diketahui dari data-data tertulis yang diungkap
narasumber bahwa Tembang Pagerageungan terlacak sejak awal abad 19 yang merupakan
kesenian keluarga turun-temurun dan sering digelar sebelum memulai prosesi khitan.
Kata Kunci: Globalisasi, kesenian, dan Tembang Pagerageungan/Ciawian
I PENDAHULUAN
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan arus globalisasi, eksistensi karya-
karya sastra Sunda terutama sastra lisan mengalami ancaman kepunahan. Salah satu bukti
ancaman kepunahan yang sudah terlihat yaitu mulai ditinggalkannya sastra lisan oleh
generasi mudanya. Meskipun belum ada survey secara khusus diantara generasi mudanya
tidak lagi jenis sastra ini, atau mungkin yang terbanyak sudah meninggalkan dan tidak
mengenalnya lagi.
“Tatar Sunda” sangatlah kaya. Bukan hanya sekadar tanahnya yang subur makmur,
namun kental akan seni budaya warisan leluhur. Kurang lebih hampir 134 jenis kesenian (30
persen), tidak jelas keberadaan/eksistensinya, dalam artian disebut tidak ada namun ada,
disebut ada namun hampir 10 persen dianggap sudah punah. “Saat ini anak-anak muda
kurang mengenal kesenian tradisional, mereka anak muda lebih senang dengan kesenian dan
tradisi luar yang tidak jelas benar dari mana asalnya”, Sri Handayani (dalam Kompas, 2008).
Pagerageungan (sebagian orang menyebutnya Ciawian) termasuk jenis kesenian yang
tidak jelas eksistensinya “hirup teu neut paéh teu hos”. Kesenian yang berasal dari
kecamatan Pagerageung, kabupaten Tasikmalaya ini merupakan seni suara buhun termasuk
dalam jenis Tembang, sejenis dengan Cigawiran (Garut) dan Cianjuran (Cianjur). Berbeda
dengan jenis Tembang Sunda lainnya, laras yang digunakan Pagerageungan yaitu laras
salendro. Menurut keterangan para sepuh di Pagerageung, pencetus pertama yang
menyebarkan kesenian tersebut yaitu Raden Mas Kanduruan Argagurnita.
Eksistensi Seni Pagerageungan sekarang, rupanya tidak akan berbeda jauh dengan
kesenian Sunda lainnya yang mulai redup. Penyebabnya tidak ada lagi yang
mempertontonkan kesenian tersebut. Sehingga sangat mempengaruhi terhadap “hirup hurip’
senimannya.

II METODE PENELITIAN
Dalam kegiatan ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Tohirin
(2013:2) “Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berupaya membangun pandangan
orang yang diteliti secara rinci serta dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik
(menyeluruh dan mendalam) dan rumit”. Di samping itu metode yang digunakan adalah
metode wawancara. Interview atau wawancara merupakan metode pengumpulan data yang
menuntut komunikasi langsung antara penyelidik dengan subjek atau responden (Riyanto,
2010:82). Lokasi penelitian bertempat di Padepokan Bumi Ageung “Argagurnita”, kecamatan
Pagerageung, kabupaten Tasikmalaya, sekitar 1 jam dari pusat kota. Taufik Faturohman dan
Iik Setiawan merupakan budayawan, seniman ahli Tembang Pagerageungan dipilih sebagai
patrisipan berdasarkan kebutuhan penelitian yang mendalam mengenai Tembang
Pagerageungan.
Menurut Sugiyono (2012:224), teknik pengumpulan data merupakan langkah yang
paling strategis dalam penelitian, tujuan utama dari penelitian adalah mengumpulkan data.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis naratif. Menurut
Webster dan Metrova, “narasi (narrative) adalah suatu metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Inti
dari metode ini adalah kemampuannya untuk memahami identitas dan pandangan dunia
seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi) yang ia dengarkan ataupun tuturkan di
dalam aktivitasnya sehari-hari”.

III HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HASIL
Pada saat diwawancarai, Budayawan Tembang Pagerageungan, (Taufik Faturohman)
menjelaskan dari data-data tertulis bahwa “Tembang Pagerageungan terlacak sejak awal
abad 19”. Ternyata yang membuat naskah-naskahnya adalah kakek beliau (Husnil Haetami).
Sebenarnya kesenian Tembang Pagerageungan adalah kesenian keluarga yang turun-
temurun. “Dahulu, ketika beliau dikhitan, sebelum prosesi dimulai, kesenian Tembang
Pagerageungan dipergelarkan terlebih dahulu. Sesudahnya kesenian ini tidak dipergelarkan
lagi.” Jelas Taufik Faturohman.
Pada tahun 1983, beliau dikaruniai anak pertama. Terbesitlah keinginan jika mencukur
rambut anaknya akan mempergelarkan Tembang Pagerageungan. Pada tahun itu juga ada
orang Jepang yang sedang belajar Bahasa Sunda kepada beliau bernama Prof. Wikihiro
Muryama.
Tahun 1999 ada Dasawarsa Kebudayaan, beliau bersama Wahyu Wibisana membuat
Gending Karesmen, ada yang berlaras salendro ada juga yang berlaras pélog. “Si Nyai
Jeung Robot Buntung” pemainnya melibatkan anak SD di Cisayong dan “Si Ujang Jeung
Doraemon” melibatkan anak SD 2 Pagerageung. Keduanya dipentaskan di Taman Budaya
yang disaksikan langsung oleh Gubernur Jawa Barat. “Dahulunya kesenian ini tidak
menggunakan instrumen musik, melainkan hanya menggunakan tepuk tangan dan
senggak.”jelas Taufik,

“Satu waktu Wahyu Wibisana menyarankan menggunakan instrumen kacapi, namun tidak
cocok. Selain Wahyu Wibisana, Nano S. juga menyarankan kesenian ini diiringi oleh
instrumen gambang, dan ternyata enak untuk didengar dibanding menggunakan kacapi.
Seiring berjalannya waktu Gending Karesmen tersebut mati, karena berbagai macam
hambatan, salah satunya dengan adanya virus corona yang sekarang sedang merajalela,”
lanjutnya.

Pada tahun 2016 Taufik Faturohman mendapat anugerah dari pemerintah sebagai
Tokoh Pelestari Bahasa Daerah, di Jakarta. Tahun 2018 beliau kedatangan tim dari Badan
Bahasa merevitalisasi Tembang Cigawiran dan Tembang Pagerageungan. Beliau
menuturkan, upaya beliau mengajak pemerintah kabupaten Tasikmalaya untuk melaksanakan
pelestarian Tembang Pagerageungan, namun tetap saja acuh tak acuh. Ada respon positif dari
Badan Bahasa Provinsi Jawa Barat telah mengadakan Pasanggiri Tembang Pagerageungan
kabupaten Tasikmalaya tingkat SMP.
Pada akhirnya Taufik Faturohman dengan tim sudah maksimal dan sudah selesai
membuat rambu-rambu, diantaranya pembuatan buku “Tembang Pagerageungan” yang
didalamnya membahas mengenai sejarah dan terdapat pula lagu dan notasinya, akan tetapi
tetap saja hanya segelintir orang yang mengetahui keberadaannya. Keadaan Tembang
Pagerageungan sekarang tidak akan jauh berbeda dengan kesenian Sunda lainnya yang mulai
redup. Hal demikian disebabkan oleh kesenian ini sudah tidak ada yang mempertontonkanya
lagi. Tentu saja jika keadaan ini dibiarkan, akan menyebabkan hilang kekayaan akan seni
budaya Sunda.

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara antara penulis dengan Budayawan daerah setempat
(Taufik Faturohman), penulis dapat menemukan kenyataan di lapangan, bahwa seni
tradisional tembang Ciawian dapat dikatakan sedang berada di ambang kepunahan. Sangat
disayangkan kalau hal tersebut sampai terjadi, karena akan menghilangkan salah satu aset
terpenting dari daerah setempat. Pada kenyataannya seni dapat dikatakan kekayaan daerah
yang sangat penting untuk dilestarikan sehingga menjadi jati diri daerah tersebut.
Dari beberapa temuan di atas, penulis memiliki beberapa asumsi untuk terus
memberdayakan dan menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat sekitar terhadap kesenian
yang sejak lama dirintis oleh leluhur mereka. Kerja sama yang kuat antara berbagai pihak
sangat dibutuhkan. Sehingga Seniman dapat saling mendukung. Demikian juga dengan
pemerintah setempat. Tanpa dukungan dari pemerintah, apapun yang dilakukan masyarakat
untuk suatu kegiatan tidak akan berjalan dengan lancar.
Masyarakat sebaiknya digiring untuk merasa memiliki dan mencintai segala apa yang
diwariskan leluhurnya kepada mereka sehingga memiliki keinginan untuk merawat dan
bahkan mengembangkan seni tersebut menjadi suatu kebanggaan. Jangan sampai malah
sebaliknya. Kecintaan terhadap seni tradisional menjadi luntur karena merasa seni tersebut
kampungan atau terbelakang.
Ada beberapa upaya yang mungkin dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat,
bahkan diharapkan dapat menghidupkan kembali Tembang Pagerageungan. Upaya-upaya
tersebut diantaranya:
(1) Mengajak para seniman Pagerageungan yang masih ada untuk menularkan
keahliannya pada generasi muda yang bertujuan agar tidak hilang jejak,
(2) Pemerintah harus membuat materi pengajaran Tembang Pagerageungan untuk
menjadi bahan ajar di sekolah melalui pendidikan muatan lokan atau kesenian,
disamping itu pula untuk melatih guru-gurunya,
(3) Pemerintah harus mengadakan Pasanggiri Tembang Pagerageungan,
(4) Pemerintah harus rutin mempergelarkan/mempertontonkan pada acara-acara
resmi, dan
(5) Masyarakat harus sering mempertontonkan Pagerageungan pada beberapa
kesempatan, terutama pada acara khitanan atau yang baru melahirkan.
Melaksanakan upaya tersebut pada saat ini mungkin tidak dapat dengan cepat
mendapat perubahan. Memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, karena
membutuhkan dukungan yang sangat kuat dari berbagai pihak. Kalau dilaksanakan hanya
oleh beberapa orang saja pasti akan mendapat hambatan yang tidak mudah untuk dilalui.
Dalam hal ini, pemerintah setempatlah yang seharusnya berupaya keras untuk
membangkitkan kembali kesenian daerahnya (seni tradisional Tembang Pagerageungan).

KESIMPULAN
Simpulan: Tembang Pagerageungan adalah kesenian keluarga turun-temurun yang
sudah terlacak sejak abad ke-19. Awalnya, kesenian ini biasa dipentaskan dalam acara khitan
sebelum prosesi dimulai dan saat acara mencukur rambut anak. Namun, seiring perjalanan
waktu dan berbagai kendala yang dihadapi, kesenian Tembang Pagerageungan ini menjadi
semakin redup. Hal tersebut disebabkan oleh kemajuan zaman yang lebih berorientasi pada
perkembangan teknologi sehingga kebudayaan terdahulu menjadi tersingkirkan hingga dapat
dikatakan hampir punah. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menghidupkan kembali
kesenian Tembang Pagerageungan, namun hanya beberapa orang saja yang menyadari upaya
tersebut. Implikasi: Arus globalisasi sangat berpengaruh terhadap kelestarian kesenian
daerah, bahkan sampai saat ini bisa dikatakan hampir punah terutama di Kecamatan
Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun demikian, terdapat beberapa cara yang bias
ditempuh untuk membangkitkan kembali kesenian ini, diantaranya (1) Mengajak para
seniman Pagerageungan yang masih ada untuk menularkan keahliannya pada generasi muda
yang bertujuan agar tidak hilang jejak, (2) Pemerintah harus membuat materi pengajaran
Tembang Pagerageungan untuk menjadi bahan ajar di sekolah melalui pendidikan muatan
lokan atau kesenian, disamping itu pula untuk melatih guru-gurunya, (3) Pemerintah harus
mengadakan Pasanggiri Tembang Pagerageungan, (4) Pemerintah harus rutin
mempergelarkan/ mempertontonkan pada acara-acara resmi, dan (5) Masyarakat harus sering
mempertontonkan Pagerageungan pada beberapa kesempatan, terutama pada acara khitanan
atau yang baru melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Faturohman, Taufik dan Iik Setiawan. 2018. Tembang Pagerageungan. Bandung: Geger
Sunten.
Eprints.ums. Jenis dan desain Penelitian. [Online] dari http://eprints.ums.ac.id/50490/6/BAB
%20III.pdf diakses pada tanggal: 10 Juni 2021.
ANT. 2008. Anak Muda Ogah Melirik Seni Tradisional. Kompas Cyber Media. [Online] dari
https://amp.kompas.com/nasional/read/2008/09/14/02422737/~Oase~Cakrawala
diakses pada tanggal: 10 Juni 2021.
Dharmawati, Eva Irma, 2015. Lokasi, Partisipan, Populasi dan Sampel Penelitian.
Repository UPI. [Oline] dari
http://repository.upi.edu/18263/6/T_ADP_1308054_Chapter3.pdf diakses pada
tanggal: 10 Juni 2021.
Mawardi, Rizal. 2018. Penelitian Kualitatif Pendekatan Naratif. [Online] dari
https://dosen.perbanas.id/penelitian-kualitatif-pendekatan-naratif/ diakses pada
tanggal: 10 Juni 2021.

Anda mungkin juga menyukai