Anda di halaman 1dari 17

PERAN RAJA SANG NAUALUH DAMANIK DALAM

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KOTA


PEMATANGSIANTAR
(1901-1913)

Jurnal

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
DESRI SYAHPUTRI TANJUNG
NIM 3142121026

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2018
ABSTRAK

Desri Syahputri Tanjung. NIM 3142121026. “PERAN RAJA SANG NAUALUH


DAMANIK DALAM PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI KOTA
PEMATANGSIANTAR (1901-1913)”. Skripsi Jurusan Pendidikan Sejarah Program
Studi S1, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. 2018
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Raja Sang Naualuh Damanik selaku Raja
Siantar dalam Perkembangan Agama Islam di Kota Pematangsiantar (1910-1913).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Historis dengan data kualitatif.
Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara memperoleh informasi data dan peristiwa
yang bersumber dari buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan Raja Sang Naualuh
Damanik dan mendapatkan informasi secara lisan, seperti keluarga Kerajaan Siantar,
Yayasan Raja Sang Naualuh Damanik, Yayasan Museum Simalungun Pematangsiantar dan
masyarakat di Kampung Pematang, Kota Pematangsiantar.
Hasil mengungkapkan bahwa Agama Islam sudah tersebar di wilayah Simalungun pada awal
tahun 1850. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan Zending yang menyebutkan bahwa
pada tahun 1850 bangsawan di Bandar (Siantar Hilir) sudah menjadi pemeluk Agama Islam,
diikuti oleh rakyatnya dan beberapa kepala adat. Islamisasi di Pematangsiantar semakin
menemukan jalannya ketika penguasa tertinggi Kerajaan Siantar Raja Sang Naualuh
Damanik pada tahun 1901 menjadi pemeluk Agama Islam. Masuk Islamnya sang Raja
Siantar berperan besar terhadap perkembangan Agama Islam itu sendiri. Didalam masyarakat
adat Siantar, kedudukan Raja dianggap tinggi dan sebagai inkarsi dari Dewa, sehingga jika
mengikuti Raja akan mendapatkan banyak kebaikan. Hal ini menyebabkan beberapa ketua
adat dan masyarakat Kerajaan Siantar lainnya menjadi pemeluk Islam. Kendala yang
dihadapi dalam proses perkembangan Islam di Pematangsiantar adalah masih adanya
masyarakat yang menganut agama suku yakni Habonaron Do Bona dan adanya usaha
Kristenisasi sebagai upaya Belanda melengserkan Raja Sang Naualuh Damanik dari
kedudukannya. Pada tahun 1905 dengan ditangkapnya Raja Sang Naualuh diasingkan ke
Bengkalis.

Kata Kunci: Sang Naualuh Damanik, Islam Pematangsiantar


ABSTRACT

Desri Syahputri Tanjung. NIM 3142121026. “THE ROLE OF THE KING SANG
NAUALUH DAMANIK IN DEVELOPMENT ISLAMIC RELIGION IN
PEMATANGSIANTAR CITY (1901 – 1913)”. Essay From History Departmen Study
Program S1, Faculty Of Society State University Of Medan. 2018
This research aims to know the role of the king Sang Naualuh Damanik in Development
Islamic Religion in Pematangsiantar City (1901 – 1913).
The research methods used history with qualitative data. Data colection technic done by get
the information and the history from the books or related literature about the king Sang
Naualuh Damanik and to get information orally, like from The Family of Siantar Kingdom,
The Foundation of King Sang Naualuh Damanik, The Foundation of Simalungu Museum,
and the society of Pematang Village.
The research result revealed that Islamic Religion is scattered in Simalungun area in the early
1850. It proved by the note of Zending, mentioned that 1850 the royal family of Bandar
(Downstream of Siantar) become a Moeslim, followed by the society of Bandar and the
leader of adat. Islamitation in Pematangsiantar find the way when the the king Sang Naualuh
Damanik become Moeslim in 1901. When the king Sang Naualuh Damanik become a
Moeslim, the effect of that Islam is gowing in Siantar City. In the Siantar culture society, the
position of the king is really high. Because the king is the inkarnation of God, so if the people
follow the king they will be accepted the kindness.
There are 2 problem of Islamic religion scattered process in Siantar city. First there are to
much people still believe their own reliogion (called Parbegu), Two the christianization effort
by the Dutch to depose the king from the position. In the 1905 The King Sang Naualuh
Damanik was captured by the Dutch, and the king exiled to the Bengkalis, Riau

Keyword: Sang Naualuh Damanik, Islam of Pematangsiantar


I. PENDAHULUAN

Sejarah lokal selalu punya daya tarik sendiri untuk diteliti. Daya tarik inilah yang

menjadi latar belakang penelitian ini. Daya tarik akan kehidupan lokal Simalungun,

khususnya Pematangsiantar menjadi alasan kuat penelitian ini. Sebagai putra/putri daerah

adalah suatu keharusan untuk mengetahui sejarah dan kebudayaan yang pernah ada di sekitar

tempat tinggal kita.

Simalungun merupakan daerah yang sudah memiliki pemerintahan lokal, hal ini

dibuktikan dengan adanya beberapa kerajaan yang berdiri dan berkembang di wilayah

Simalungun. Agustono (2012: 41) menyebutkan bahwa daerah Simalungun memiliki tujuh

buah kerajaan yang berkembang. Kerajaan itu antara lain; Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh

Jawa, Kerajaan Dolog Silau, Kerajaan Panai, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan

Silimahuta. Wilayah seluruh kerajaan ini terhampar luas dan berbatasan langsung dengan

Acehm Danau Toba dan Selat Malaka. Maka, apabila dibandingkan dengan wilayah

Kabupaten Simalungun saat ini jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan wilayah pada

masa berlangsungnya ketujuh kerajaan tersebut.

Kerajaan Siantar merupakan salah satu Kerajaan tertua di Simalungun yang beribukota di

Pematangsiantar. Wilayah Kerajaan Siantar berbatasan langsung dengan daerah pesisir

Melayu seperti daerah Batubara dan Asahan. Wilayah pesisir Melayu sudah mendapat

pengaruh Islam terlebih dahulu, sehingga Islam bukanlah hal asing bagi masyarakat Siantar.

Sebelum kedatangan Belanda, Islamisasi sudah menjangkau hampir seluruh daerah

Sumatera bagian utara terutama di daerah pesisir. Negeri Melayu di pesisir merupakan basis

penganut Islam yang di kenal taat. Islamisasi ini kemudian menjangkau daerah Simalungun,

salah satunya adalah daerah Pematangsiantar yang merupakan ibukota dari Kerajaan Siantar.

Keinginan mempertahankan kepercayaan yang sudah mereka anut selama turun-temurun

menjadikan proses Islamisasi di daerah Simalungun jauh lebih sulit, dibandingkan proses
Islamisasai pada daerah Pesisir; seperti Batubara. Dengan demikian ajaran Islam tidak

tersebar secara efektif mengakibatkan Islam sulit diterima dan dengan mudah nya ajaran

Habonaron Do Bona tetap dipertahankan (Agustono, 2012: 242)

Islamisasi di Simalungun dipengaruhi oleh proses perdagangan. Pada proses

perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun dengan masyarakat pesisir terjadi

interaksi sehingga Islam masuk dengan mudahnya melalui proses ini. Awal mula Islam

masuk di daerah Bandar kemudian semakin berkembang di Kerajaan Siantar dan Kerajaan

Tanah Jawa. Bandar merupakan bagian dari Kerajaan Siantar, sehingga dengan mudahnya

Islam masuk ke wilayah Kerajaan Siantar,

Lambatnya Islamisasi di daerah Simalunggun tidak menghambat proses masuknya Islam

di tanah Simalungun. Puncak keemasan terjadi pada dasawarsa 1900-an, seorang Raja Siantar

bernama Sang Naualuh Damanik yang sebelumnya menganut kepercayaan Habonaron Do

Bona memutuskan untuk menjadi pemeluk Islam. Raja Siantar, Raja Sang Naualuh Damanik

sudah lama tertarik dengan Islam, dan akhirnya secara resmi memeluk agama Islam pada

tahun 1901.

Biasanya seorang Raja ataupun Kepala Adat yang masuk Islam langkahnya akan diikuti

oleh kepala-kepala dibawahnya ataupun rakyat-rakyatnya. Dengan langkah yang diambil

seorang Raja untuk menjadi penganut Islam merupakan salah satu peran yang dilakukan oleh

Raja Sang Naualauh. Adapun peranan lainnya yang diakukan Raja Sang Naualuh Damanik

dalam pengembangan agama Islam merupakan latar belakang dalam penelitian ini.

Peneliti mengambil rentan waktu 1901 – 1913 dikarenakan pada tahun 1901 inilah
dimulainya era Raja Sang Naualuh Damanik menjadi Raja Siantar yang memeluk Islam
sehingga lebih efektif dalam meneliti peranan apa saja yang dilakukan Raja Sang Naualuh
dalam pengembangan agama Islam di Pematangsiantar. Sedangkan diakhiri pada tahun 1913
dikarenakan pada masa ini adalah tahun wafatnya Raja Sang Nauauh Damanik. Rentan waktu
yang diambil penulis juga merupakan rentan waktu pada Era Kebangkitan Nasional sehingga
peneliti ingin mencari relasi perkembangan agama Islam di Pematangsiantar dengan
Kebangkitan Nasional.
II. PEMBAHASAN
a) Islamisasi Pematangsiantar

Sepanjang eksistensinya, Islam sebagai sebuah agama telah menorehkan tinta emas

dalam sejarah umat manusia sejak 14 avad silam. Salah satu faktor yang mendorong Islam

berkembang menjadi agama besar dan berpengaruh di dunia adalah penyebaran nya yang

sangat cepat. Di Nusantara Islamisasi berlangsung dengan sangat mudah. Berbagai suku

pribumi yang sebelumnya menganut kepercayaan nenek moyang asli maupun Hindu-Buddha

secara berangsur-angsur menerima Islam sejak abad ke-7. Lagipula ajaran Islam

menghendaki para penganutnya untuk menyebarkan agama lebih luas lagi. Oleh karena itu

siapapun boleh menjadi da’i (pendakwah). Dakwah yang dilakukan bersifat damai tanpa ada

paksaan sehingga berhasil menjadikan Islam agama yang begitu kuat di Nusantara

Terkait hal itu, Al-Qaradhawi mengatakan bahwa:

“...... da’i Islam adalah Islam itu sendiri. Akidah dan syari;at yang ada didalam
agama tersebut telah menarik manusia untuk memasukinya. Untuk kemudian
tanpa dikurangi, Islam akan memberikan segala hal kepada orang yang
memasukinya”. (Al-Qaradhawi, 2013: 207)

Sebelum kedatangan Belanda, Islamisasi sudah menjangkau hampir seluruh daerah

Sumatera bagian Utara terutama pesisir. Negeri-negeri Melayu di pesisir timur merupakan

basis penganut Islam yang dikenal taat. (Zaki, Adam: 2014) menjelaskan bahwa Mudahnya

Islamisasi di Sumatera bagian Utara didukung oleh beberapa faktor yaitu:

1. Dakwah Islam dilakukan secara dami dan tidak mengandung unsur paksaan bagi

pemeluk agama lainnya.

2. Ajaran Islam sangat mudah disesuaikan dengan kehidupan masyarakat.

3. Keimanan dalam ajaran Islam bersifat dogmatik terutama wajib mengimani kebenaran

mutlak dari Tuhan yang suit dicerna dengan logika manusia, sehingga kesucian dan

kesakralan nya dapat diterima oleh setiap pemeluknya.


Islamisasi menjangkau ke pedalaman Sumatera pada abad ke- 19. Islamisasi

menjangkat ke Pematangsiantar yang sebelumnya penduduk lokal telah menganut

kepercayaan asli nenek moyang atau disebut juga sebagai “agama suku”. Agama suku yang

dianut oleh penduduk wilayah Pematangsiantar dikenal dengan istilah Habonaron Do Bona

yang tergolong kedalam aliran kepercayaan.

Catatan Zending menyebutkan pada tahun 1850 sudah ada penduduk di wilayah

bangsawan Simalungun yang menjadi penganut agama Islam terutama di Bandar (Sianar

Hilir) yang berada dekat dengan wilayah pemukiman orang Melayu. Islam itu awalnya dari

Batubara disebelah Timur pedalaman Simalungun dan makin meluas ke Kerajaan Siantar dan

Kerajaan Tanah Jawa.

Pada tahun 1901 Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik menjadi pemeluk Agama

Islam. Raja dengan giat menjalanka syiar Islam kepada rakyatnya yang masih bergama suku.

Berkat bantuan Raja agama Islam kemudian di dakwahkan keseluruh penjuru wilayah

Kerajaan Siantar. Raja juga dikenal bijaksana dalam menjalin dan merawat hubungan dengan

para ulama. Mengikuti jejak Sang Naualuh ada beberapa kepala adat yang menjadi pemeluk

Islam. Biasanya jika seorang kepala adat yang masuk Islam langkahnya akan diikuti oleh

kepala-kepala dibawahnya atau rakyatnya. Dengan cara ini agama Islam semakin meluas

tersebar.

b) Kendala Islamisasi di Pematangsiantar

Islamisasi di Pematangsiantar juga menghadapi tantangan yang sangat besar, yaitu

banyaknya masyarakat Pematangsiantar yang masih memeluk agama suku serta adanya

upaya-upaya Kristenisasi yang didukung dengan tekanan-tekanan dari pemerintah kolonial

Belanda. Hal yang membuat pemerintah Belanda khawatir dengan perkembangan Islam

adalah spirit ke-Islaman yang bisa muncul kapan saja dari para penganutnya yang

mengakibatkan mereka menjadi semakin sulit untuk ditaklukan dan dikendalikan.


Ideologi jihad di jalan Allah dan anti-kafir sangat ditakuti oleh Belanda dan itu

sangat merepotkan mereka. Belanda kemudian memperkenalkan agama Kristen kepada

masyarakat Simalungun dengan tujuan untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam”

sehingga masyarakat Simalungun harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di

wilayah Kerajaan Siantar. Dengan demikian persekutuan pemerintah kolonial Belanda

dengan Misionaris adal Jerman Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) adalah untuk

mewujudkan kepentingan mereka di wilayah Sumatera.

Upaya untuk mengkristenkan penduduk Siantar terbilang gagal. Salah satu

penyebabnya adalah Islam telah dianut cukup kuat oleh penduduk disana, sehingga upaya

menarik perhatian penduduk Siantar kepada Agama Kristen tidak mengalami keberhasilan.

Hal ini juga disebabkan karena penguasa Siantar Raja Sang Naualuh Damanik adalah

penganut Agama Islam.

Kabar masuk Islamnya Raja Sang Naulauh Damanik sangat disesalkan oleh pihak

kolonial Belanda yang kerepotan dengan kekuatan Islam. Untuk mengubah situasi tersebut,

pemerintah kolonial Belanda mengutus kontrolir agar membujuk Raja masuk Kristen, Namun

hal ini secara tegas ditolak oleh sang Raja yang telah kukuh dengan keimanan nya. Tidak

sampai disitu, Belanda mencipatakan tekanan dan intrik politik untuk menjatuhkan sang Raja.

Upaya menjebak dan mencari kesalahan sang raja ternyata gagal. Disamping itu, pemerintah

kolonial juga memberi ancaman penjara kepada para ulama agar tidak lagi menyebarkan

agama Islam di Pematangsiantar.

Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menjatuhkan san Raja dari tahtanya terus

berlanjut. Dengan licik, Belanda melontarkan tuduhan bahwa sang raja menguasai istri orang

dan memiliki wanita simpanan lain serta tidak berbuat adil dalam menyelesaikan persoalan

istri dan suami yang sedang bersengketa. Selain itu, pihak kolonial Belanda juga menuduh

Raja tekah mencoba meracuni aparat pemerintahan kolonial dan mandor kecil di perkebunan.
Dengan alasan tersebut Belanda merasa berhak untuk menangkap dan menahan Raja atas

berbagai tuduhan yang menimpanya tersebut.

Dengan kata lain, konspirasi yang diciptakan pihak kolonial Belanda berhasil

mengurung Raja dengan alasan tindakannya sangat mengancam keamanan dan ketertiban di

Simalungun. Pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda menangkap dan mengasingkan Raja

Sang Naualuh Damanik ke Bengkalis, Riau. Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat

menyulitkan penguasaan politikk-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian

Utara.Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para Misionaris Kristen atas

kemauan pemerintah untuk merobohkan keimanan penduduk Siantar yang beragama Islam

agar beralih ke agama Kristen.

c) Peran Raja Sang Naualuh Damanik

Raja Siantar, Raja Sang Naualuh Damanik sudah lama tertarik dengan Islam, dan

akhirnya secara resmi memeluk agama Islam pada tahun 1901. Biasanya seorang Raja

ataupun Kepala Adat yang masuk Islam langkahnya akan diikuti oleh kepala-kepala

dibawahnya ataupun rakyat-rakyatnya. Dengan langkah yang diambil seorang Raja untuk

menjadi penganut Islam merupakan salah satu peran yang dilakukan oleh Raja Sang

Naualauh.

Rupanya persentuhan nya dengan monotheisme Islam yang diajarkan pedagang Islam

dari luar tanah Simalungun menimbulkan kesan mendalam pada sosok kepemimpinan Sang

Naualuh Damanik. Saripati kebenaran dan keadilan dalam semangat hidup manusia

Simalungun Habonaron do Bona dan kebenciannya yanng teramat sangat kepada kaum

penjajah Belanda yang dinilai jauh dari sikap manusia beradab yang menjunjung tinggi harkat

dan martabat manusia merdeka, telah membawanya kepada kesadaran bahwa Islam adalah

agama yang paling pas untuk pribadi Sang Naualuh Damanik. Kekaguman dengan ajaran

Islam dengan sikap rendah hati, pola hidup teratur, bersih dan disiplin serta jihad fii sabilillah
menentang kemungkaran dan ketidakadilan oleh penguasa kulit putih yang kebetulan

beragama Kristen meneguhkan hatinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan

menerapkan prinsip-prinsip Islam secara bertahap di dalam Kerajaannya.

(Juanda-Erond, 2011: 61) Menerangkan bahwa selama masa pemerintahannya (1888 –

1906) proyek pembangunan yang dikerjakan rakyat Siantar atas arahan Raja Sang Naualuh

Damanik sebagai berikut:

1. Membangun rumah adat di kampung Rambung Merah sebagai pusat latihan pertanian.

Ditempat ini rakyat bergotong royong (marharoan) dan saling membantu mengerjakan

lahan masing-masing (marsialop ari) atas bimbingan dari Raja Sang Naualuh.

2. Seriring dengan peningkatan aktifitas ekonomi dari pantai timur Sumatera melalui kota

Perdagangan di hilir Sungai Bah Bolon yang mengalir ke Selat Malaka, Raja Sang

Naualuh mengarahkan rakyatnya marharoan (bergotong royong) memperlebar jalan

setapak menjadi jalan yang bisa dilalui kereta kuda dari Perdagangan sampai ke Tiga

Siattar, pasar mingguan yang dibangun Raja Sang Naualuh di Pematangsiantar. Barang

niaga yang masuk pada masa itu adalah barang-barang pecah belah, sepertikeramik dari

ina seperti pinggan, mangkuk, mata uang, senjata api (kebanyakan dari Pedagang

Portugis) seperti meriam, bedil (bodil panguras, bodil sitenggar), alat-alat musik seperti

gong, genggong dan lain-lain. Gara, dan alat rumah tangga lainnya juga biasa

didatangkan dari Batubara. Sementara lada banyak dijual kepada pengumpul dari Eropa.

Pada masa itu lada adalah produk pertanian yang mahal harganya dan banyak

dubudidayakan di sekitar Pantai Timur Sumatera.

3. Mendirikan rumah adat di Kampung Naga Huta sebagai pusat pengajian agama Islam.

4. Rajin mengunjungi kampung-kampung untuk memeriksan dan memberi petunjuk dakam

penyelesaian rencanan-rencana kerja.


5. Menganjurkan rakyatnya untuk memotong rambut anak-anaknya dengan meninggalkan

rambut selebar tiga jari diatas kepala yang disebut pangkas hushus dan menjaga

kebersihan rumah dan kampung masing-masing.

6. Menganjurkan rakyat Siantar untuk memelihara kuda dengan sistem mamahan huda.

Dengan sistem ini, pemilik kuda merelakan kudanya untuk dipelihara orang lain, dan

anak kuda yang dipeliharanya menjadi milik si pemelihara (pamahan huda). Pada masa

itu kuda sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi dan tunggangan prajurit Siantar.

Sesungguhnya Raja Sang Naualuh Damanik adalah sosok partongah Kerajaan

Siantar yang adil, arif dan dermawan yang peduli dengan penderitaan rakyatnya. Cinta

dengan akar budaya leluhurnya, terlebih lagi kukuh dengan agama nya yang sangat dibelanya

sampai mati. Beliau rela meninggalkan Siantar, meninggalkan tahta dan rumahnya sendiri,

rakyat dan semua yang dia miliki dirampas oleh pihak penjajah, karena keteguhannya dengan

prinsip habonaron do bona, keteguhan degan posisinya sebagai partongah Siantar, pemegang

mandat sang dewata (Allah Subhana Wataala) untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan

kejujuran serta kemaslahatan dan kemakmuran ditengah-tengah fungsi dan kedudukan nya

sebagai raja Siantar, pelindung Agama Islam dan Kepala Adat Simalungun.

d) Raja Sang Naualuh Damanik di Bengkalis

Untuk memakzullkan Sang Naualuh dari tampuk kepemimpinan di Kerajaan

Siantar, berbagai cara telah dilakukan oleh pihak kolonial. Namun demikian tida satupun

perkara yang dituduhkan tersebut dapa dibuktikan dengan baik sehingga Raja Sang Naualuh

masih memegang kekuasaan sebagai Raja Siantar.

Pada bulan Mei 1905 Tuan Dolok Malela meninggal setelah kembali dari pertemuan

dengan Kontrolir Karthaus. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Dokter pemerintah

menunjukkan bahwa Tuan Dolok Malela Damanik meninggal karena keracunan. Hal serupa

juga dialami oleh Kontrolir Karthaus, yang jatuh sakit setelah mengadakan perjalanan
inspeksi bersama Westenberg. Meskipun Westenberg merasakan sakit itu, tapi kondisi

Karthaus jauh lebih parah. Disamping mereka berdua, Tengku Busuh, Baginda Arab, dan

seorang mandor kecil bernama Mohammad Taib, juga sakit akibat keracunan. Mereka

menderita setelah minum air kelapa yang disediakan oleh orang-orang Siantar. Westenberg

kemudian melaporkan masalah ini dan mengatakan bahwa Sang Naualuh perlu dicurigai.

Pada bulan September 1905, Westenberg berunding dengan Residen Ballot bahwa

Sang Naualuh harus segera diturunkan dari tahta Kerajaan Siantar dan segera ditahan. Ballot

menyampaikan hal ini kepada Gubernur Jenderal J.B van Heutsz dengan melaporkan bahwa

Sang Naualuh adalah sosok yang membahayakan kondisi keamanan dan ketertiban di

wilayah Simalungun. Selama ini Sang Naualuh menjadi penghambat utama penegakan

wibawa pemerintahan kolonial di wilayah itu. Laporan yang terpenting adalah bahwa Sang

Naualuh dituduh tidak mau mengakui kekuasaan Belanda.

Pada September 1906 keputusan untuk mengirim Sang Naualuh dikeluarkan, Sang

Naualuh secara resmi ditetapkan sebagai tahanan negara yang dibuang ke ibukota Afdeeling

Bengkalis. Belanda belum puas dengan dibuangnya raja Sang Naualuh ke Bengkalis,

Westenberg kemudian mengumpulkan bangsawan Siantar (Partuanan) yakni Tuan Riahata

Damanik, Tuan Raja Tongah, Tuan Sawadim Damanik dan Tuan Torialam Damanik. Dari

beberapa tokoh yang dipanggil Westenberg menyimpulkan bahwa yang paling layak

menggantikan Raja Sang Naualuh adalah Tuan Sawadim Damanik.

Raja Sang Naualuh Damanik ditangkap Belanda pada tahun 1904 dan dibuang ke

Bengkalis pada tahun 1906 setelah menjalani masa tahanan di Medan. Dari Pematangsiantar

rombongan raja Siantar dengan kawalan pasuka Belanda dibawa ke Medan kemudian dikirim

ke Bengkalis.
SILSILAH KETURUNAN LANGSUNG DAN
RAJA DI KERAJAAN SIANTAR
Juanda Raya (2011: 164)

Raja Na Martuah

Raja Ramajin

Raja Na Maringis

Raja Pangarujung

Raja Na Longah

Raja Nai Rih

Raja Nai Horsik

Raja Napitung

Raja Na Martuah II

Raja Saduraja

Raja Na Martuah III

Raja Mapir Namatua

Raja Itam (Pemangku)

Raja Sang Naualuh

Tuan Riahata (Pemangku)

Tuan Torialam (Pemangku)


Tuan Riah Kadim Waldemar

Tuan Sawadim (Pemangku)

Tuan Sarmahata Damanik

Tuan Syah Alam Damanik

Tuan Difi Sangnuan Damanik


III. PENUTUP
Sebelum masuknya agama Islam di Kota Pematangsiantar, masyarakat Kota
Pematangsiantar menganut kepercayaan “agama suku” yang dikenal dengan nama Parbegu.
Agama Islam telah berkembang sejak tahun 1850-an awal di wilayah Simalungun, hal ini
dapat dibuktikan dengan Catatan Zending yang menyebutkan pada tahun 1850 sudah ada
penduduk di wilayah bangsawan Simalungun yang menjadi penganut agama Islam terutama
di Bandar (Sianar Hilir) yang berada dekat dengan wilayah pemukiman orang Melayu. Islam
itu awalnya dari Batubara disebelah Timur pedalaman Simalungun dan dalam waktu satu
tahun makin meluas ke wilayah Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa. Pada tahun 1901
penguasa tertinggi Kerajaan Siantar Raja Sang Naualuh Damanik resmi menjadi pemeluk
Agama Islam. Jika seorang petinggi wilayah mengambil suatu tindakan maka rakyatnya juga
akan ikut, hal ini juga terlihat ketika Raja Sang Naualuh menjadi pemeluk Agama Islam
banyak ketua adat dan masyarakat Siantar yang juga menjadi pemeluk Agama Islam.
Kendala yang dihadapi Raja Sang Naualuh dalam perkembangan Islam di wilayah
Kerajaan Siantar adalah masih banyaknya masyarakat Pematangsiantar yang menganut
agama suku yaitu Parbegu serta adanya upaya Kristenisasi yang dilakukan pihak kolonial
Belanda, meskipun pada masa pemerintahan Raja Sang Naualuh Kristenisasi di wilayah
Kerajaan Siantar dapat di minimalisir. Pada bulan Mei 1905 Tuan Dolok Malela meninggal
setelah kembali dari pertemuan dengan Kontrolir Karthaus. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
Dokter pemerintah menunjukkan bahwa Tuan Dolok Malela Damanik meninggal karena
keracunan. Hal ini merupakan konspirasi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda agar bisa
menurunkan Raja Sang Naualuh dari tahtanya. Raja Sang Naualuh Damanik ditangkap
Belanda pada tahun 1905 dan dibuang ke Bengkalis pada tahun 1906 setelah menjalani masa
tahanan di Medan. Dari Pematangsiantar rombongan raja Siantar dengan kawalan pasukan
Belanda dibawa ke Medan kemudian dikirim ke Bengkalis.
DAFTAR PUSTAKA

Agustono, Budi;dkk. 2012. Sejarah Etnis Simalungun. Pematangsiantar: Pemerintah

Simalungun-FIB USU.

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2013. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Buku Islam Ulama

Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Tuhan; Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-

Agama Manusia. Bandung: Mizan.

Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar. 2002. Pematangsiantar Dalam Angka In

Figures 2002. Pematangsiantar: Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar

Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar. 2015. Pematangsiantar Dalam Angka In

Figures 2015. Pematangsiantar: Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar

Daliman, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia.

Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kartodirdjo, Sartono. 2016. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta:

Ombak

Koentjaraningrat. 2009. Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Marihandono, Djoko & Juwono, Harto. 2009. Perlawanan Sang Nahualuh: Sejarah

Perlawanan Masyarakat Simalungun Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Penerbit

Akademia

Parlindungan, O, Mangaradja. 2007. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS.

Raya, Juanda & Damanik, Erond. 2011. Kerajaan Siantar dari Pulou Holang ke Kota

Pematangsiantar. Pematangsiantar: Ihutan Bolon Hasadaon Damanik Boru Pakon

Pangolan Siantar Simalungun.


Raya, Juanda Purba Dasuha. 2010. Raja Sang Naualuh: Kedudukan, Fungsi dan

Kepemimpinan nya Selaku Partongah Simalungun di Kerajaan Siantar

Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Karl Sianipar Company.

Saragih, Sortaman. 2008. Orang Simalungun. Jakarta

Scharf , Betty R.. 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Sinar, Tengku Lukman. 1981. Tuhan Sang Nahualu, Raja Siantar. Seminar Sejarah Nasional

III, tanggal 12-11-1981. Jakarta

Sinar, Tengku Lukman. 2006. Bangun Runtuhnya Kerajaan Sumatera Timur. Medan:

Yayasan Kesultanan Serdang

Sjamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta

Tiderman, J. 1922. Simoeloengoen:Het Land der Timoer Bataks in Zijn Ontwikling tot Een

Deel van het Kulturgebied van de Ooskust van Sumatra. Leiden: Stamdruskkerij Louis

H. Beeherer

Yatim, Badri. 2005. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bharuddin. Institusi Raja dan Peranannya Terhadap Penyebaran Islam di Alam Melayu

Nusantara. Universiti Malaya.

Suprayitno. 2012. Islamisasi di Nusantara: Studi tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan

Barus. Medan: MIQOT Vol. XXXVI

Zaki, Adam. 2014. Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Kota Pematangsiantar.

Medan: Skripsi Pendidikan Sejarah Unimed.

Anda mungkin juga menyukai