Anda di halaman 1dari 12

“Tokoh Penyebar Agama Islam Samudera Pasai dan Aceh”

 Sultan Malik al-Saleh

Malik al-Saleh (Malik ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik al Salih


atau Malik ul Saleh) mendirikan kerajaan Islam pertama di nusantara, yaitu Samudera
Pasai pada tahun 1267. Nama aslinya adalah Meurah Silu. Ia adalah keturunan dari
Suku Imam Empat ( Suku Imam Empat atau Sukee Imuem Peuet adalah sebutan untuk
keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa)
yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh Pra-Islam, diantaranya
Maharaja Syahir Po-He-La yang mendirikan Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh
Timur, Syahir Tanwi yang mendirikan kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan
(Bireuen), Syahir Poli(Pau-Ling) yang mendirikan kerajaan Sama Indra di Pidie dan
Syahir Nuwi yang Mendirikan Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar)
Di bawah kepemimpinan Malik al-Saleh, Samudera Pasai mulai berkembang. Ia
berkuasa selama 29 tahun dan digantikan oleh Sultan Muhammad Malik al-Zahir
(1297-1326 M). Namun, ada juga yang menyebutkan, Malik al-Saleh diangkat menjadi
sultan di Kerajaan Samudera Pasai oleh seorang Laksamana Laut dari Mesir bernama
Nazimuddin al-Kamil setelah berhasil menaklukkan Pasai. Selain dikenal sebagai
pendiri dan raja pertama dari Kesultanan Samudera Pasai, Malik al-Saleh juga
merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah nusantara dan Asia Tenggara pada
abad ke-13 M. Karena pengaruh kekuasaan yang dimiliki Sultan Malik al-Saleh, Islam
bisa berkembang luas di wilayah nusantara hingga ke negeri-negeri lainnya di kawasan
Asia Tenggara.
Menurut Marco Polo, Malik al-Saleh adalah seorang raja yang kuat dan kaya. Ia
menikah dengan putri raja Perlak dan memiliki dua anak. Ketika berkuasa, Malik al-
Saleh menerima kunjungan Marco Polo.
Pada masa pemerintahan Malik al-Saleh, Samudera Pasai memiliki kontribusi
yang besar dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Tanah Air. Samudera Pasai
banyak mengirimkan para ulama serta mubaligh untuk menyebarkan agama Islam ke
Pulau Jawa. Selain itu, banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai.
Salah satunya adalah Syekh Yusuf-seorang sufi dan ulama penyebar Islam di Afrika
Selatan yang berasal dari Makassar.
Wali Songo merupakan bukti eratnya hubungan antara Samudera Pasai dan
perkembangan Islam di Pulau Jawa. Konon, Sunan Kalijaga merupakan menantu
Maulana Ishak, salah seorang Sultan Pasai. Selain itu, Sunan Gunung Jati yang
menyebarkan Islam di wilayah Cirebon serta Banten ternyata putra daerah Pasai.
Kesultanan Samudera Pasai begitu teguh dalam menerapkan agama Islam.
Pemerintahannya bersifat teokrasi (agama) yang berdasarkan ajaran Islam. Tak heran
bila kehidupan masyarakatnya juga begitu kental dengan nuansa agama serta
kebudayaan Islam.
Sebagai sebuah kerajaan yang berpengaruh, Pasai juga menjalin persahabatan
dengan penguasa negara lain, seperti Champa, India, Tiongkok, Majapahit, dan Malaka.
Menurut Marco Polo, Sultan Malik as-Saleh sangat menghormati Kubilai Khan,
penguasa Mongol di Tiongkok.
Malik al-Saleh meninggal tahun 1297M. Makamnya berada didekat bekas
reruntuhan bangunan pusat Kerajaan Samudera di Desa Beuringin Kecamatan
Samudera 17 KM sebelah timur Lhokseumawe. Nisan Malik al-Saleh terbuat dari batu
granit berpahatkan aksara Arab. Terjemahannya, kira - kira demikian : ini kuburan
almarhum yang diampuni, yang taqwa, yang menjadi penasihat, yang terkenal, yang
berketurunan, yang mulia, yang kuat beribadat, penakluk yang bergelar Sultan Malik
Al-Saleh
 Sultan Malik At-Tahir II

Beliau adalah sultan Samudera Pasai yang ketiga. Nama sebelum menjadi sultan
adalah Ahmad. Oleh karena itu, beliau juga dipanggil dengan nama Sultan Ahmad.
Beliau menjadi sultan samudera pasai pada tahun 1326-1348. Pada zaman
pemerintahannya agama Islam semakin berkembang pesat. Beliau adalah Sultan yang
sangat giat menyebarkan Agama Islam. Bukan saja di kerajaannya tetapi hingga ke
wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Samudera Pasai. Kegigihan Sultan Malik At-
Tahir II diberitakan pula oleh Ibnu Batutah, seorang ulama Maroko yang pernah
singgah di Samudera Pasai pada zaman Sultan Malik At-Tahir II berkuasa.
Pada masa pemerintahannya Samudra Pasai mencapai puncak kejayaan. Adapun
bukti kejayaan dari Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut :
1. Kerajaan Samudra Pasai dikenal sebagai pusat penyebaran Agama Islam dan pusat
perdagangan.
2. Sultan Malik At-Tahir II menyediakan istananya untuk digunakan sebagai tempat
musyawarah para ulama.
3. Kerajaan memiliki sikap terbuka dalam berhubungan dengan negara lain.
Misalnya, hubungan kerajaan dengan Sultan Delhi dari India. Pada masa
pemerintahannya, Ibnu Batutah seorang pengembara asal Maroko pernah datang
ke kerajaan Samudra Pasai.
 Sultan Alauddin Riayat Syah

Sultan Alauddin Riayat Syah (Nama lengkap: Sultan Alauddin Riayat Syah
Sayyid al-Mukammil : meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-
10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604. Era pemerintahannya menjadi salah
satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk
pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing
dari Eropa : Belanda, Inggris dan Perancis.
Sultan Alauddin dilaporkan adalah keturunan para raja tua yang mengatur
kesultanan Aceh pada abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-malik Firman Syah, putra
Muzaffar Syah (meninggal tahun 1497). Pertemuan silsilah ini sepertinya telah
terhalang sepenuhnya tertutup oleh garis keturunan dari Sultan Ali Mughayat Syah. Di
masa mudanya dia hanya seorang rakyat biasa yang berprofesi sebagai seorang nelayan,
tetapi ia mampu mencapai posisi elit di kesultanan berkat keberanian dan keahliannya
dibidang militer sehingga dia terpilih menjadi seorang komandan militer.
Terlepas dari dugaan situasi kisruh ketika naiknya dia menjadi sultan. Dalam
babad sejarah Hikayat Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai sultan yang baik dan saleh,
masa pemerintahannya menjadi masa yang sejahtera bagi rakyat kesultanan. Menurut
seorang pedagang Perancis yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1601–1603 ia
mencatat bahwa ibu kota kesultanan adalah bandar yang sangat kosmopolit pada
masanya, di mana orang-orang dari berbagai kebangsaan berdiam di sana selama
beberapa bulan guna berdagang.
 Hubungan dengan negeri-negeri Melayu
Pembunuhan terhadap Raja Asyem telah membuat hubungan Aceh dengan
Kesultanan Johor di Semenanjung menjadi tidak harmonis. Beberapa kesultanan yang
direbut Aceh melalui ekspansi militer pada abad sebelumnya juga mulai menggeliat
hendak melawan Aceh. Kerajaan Aru memberontak di bawah dukungan Johor. Dalam
kronik sultan Alauddin Riayat Syah disebutkan bahwa sultan telah memerintahkan
orang-orang Aru untuk menyelesaikan sebuah kapal untuknya, namun hal itu tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya titah sultan. Menurut berita yang sampai kepada
sultan, orang-orang Aru telah berkomplot dengan Johor untuk melawan kekuasaan
sultan atas wilayahnya. Johor dikabarkan telah menawarkan diri menjadi pelindung Aru
jika Aceh memerangi perlawanan orang-orang Aru. Mengetahui hal Alauddin segera
menyiapkan armada perang dalam rangka menghukum Aru. Armada yang kali ini
dipimpin sendiri oleh sultan berhasil menaklukan Aru dan mengusir sultan Johor dari
sana. Dalam ekspedisi itu seorang menantunya tewas dalam pertempuran di Aru.
Setelah mengalahkan Aru, armada sultan menyeberangi selat guna mengepung Johor.
Kali ini armada itu mengalami kegagalan. para prajurit Aceh yang kehilangan putra
mahkota dalam peperangan sebelumnya di Aru telah kehilangan moral bertempur
mereka membuat pengepungan ini berakhir sia-sia dan Alauddin akhirnya menyerah
dari usaha menghukum Johor lalu kembali ke Aceh.

 Kedatangan Eropa
Kapal-kapal dagang Eropa dari Belanda, Inggris dan kapal Perancis mulai
berdatangan di wilayah itu selama pemerintahan Sultan Alauddin ini. Hal ini
menciptakan situasi baru di kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat dengan
bangsa Portugis. Meskipun hubungan dengan Portugis senantiasa menghadirkan rasa
was-was bagi siapapun di kawasan itu. Pemimpin armada Belanda Cornelis de
Houtman tiba di Aceh pada bulan Juni 1599. Komunikasi antara Belanda dengan
kesultanan pada awalnya berlangsung dengan baik dan ramah, tetapi intrik Portugis
memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal Belanda. Serangan Aceh menewaskan De
Houtman dan saudaranya Frederik de Houtman ditangkap dan dipenjarakan. Pada bulan
november 1600 dua buah kapal Belanda yang lain di bawah pimpinan Van Caerden
berlabuh di pantai Aceh. Kedatangan kapal-kapal ini diterima dengan baik oleh sultan.
Beberapa tahanan Belanda segera melarikan diri ke kapal Van Caerden sehingga
membuat tentara Aceh melakukan penggeledahan atas kapal-kapal Belanda. Namun
Van Caerden menduga Aceh sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap kapal-
kapal mereka, lalu mereka merampas banyak lada di pelabuhan dan segera
meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan yang dilepaskan oleh tentara
Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia meninggalkan beberapa kapal milik
Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh orang-orangnya di pelabuhan.
Insiden di pelabuhan dengan Belanda membuat Portugis berkeinginan
mendirikan sebuah benteng di muara Krueng Aceh. Menganggap telah bersahabat baik
dengan sultan, dengan penuh percaya diri mereka mengajukan permohonan itu. Namun
sultan mencurigai maksud Portugis itu dan menolaknya, membuat hubungan antara
Aceh dan Portugis menjadi dingin. Pada tahun berikutnya 1601, sebuah sengketa
muncul. Sebuah kapal Portugis mengejar kapal Arab yang membawa muatan kerajinan,
kapal itu diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa ke Aceh. Kejadian ini membuat
pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan Portugis sebagai musuh utama
mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini
menjadi penilaian yang lain tentang hubungan mereka dengan Belanda. Pada akhirnya
Aceh lebih memilih berhubungan dengan Belanda daripada dengan orang-orang
Portugis. Melaksanakan misi perdamaian dengan Belanda, Aceh mengirimkan dua
orang utusan resmi ke Belanda. Salah seorang dari utusan itu meninggal
di Middelburg namun yang lainnya berhasil melakukan kesepakatan dengan
Pangeran Maurits dari Nassau Ketika utusan ini kembali ke Aceh pada bulan
desember 1604, ia membawa banyak persembahan dari Belanda untuk sultan.
Sebelumnya pada tahun 1602 beberapa kali kapal-kapal angkatan laut Inggris dan
Perancis mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu ketika pernah bekerja sama
dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias besar milik Portugis. Ketika
armada ini melaporkan penangkapan ini kepada sultan, dia menyambutnya dengan
gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada armada Inggris-Belanda.

 Akhir pemerintahan
Masa pemerintahan Sultan Alauddin menandai awal berlangsungnya era
sentralisasi di negara Aceh. Sultan yang sejak hari-hari pertama pemerintahannya telah
berhasil menekan para pedagang elit dan para bangsawan yang pada periode kesultanan
sebelumnya telah memiliki pengaruh besar secara politik di kesultanan. Para pedagang
besar dan bangsawan ini banyak yang dengan sengaja dibunuh pada tahun pertama
Alauddin menduduki takhta guna mencegah mereka mengacaukan dan merebut
kekuasaan sultan. Pembersihan para bangsawan ini didukung sepenuhnya oleh para
pejabat birokrasi dan para hakim.
Sultan Alauddin menegaskan simbol-simbol kekuasaan yang ada pada dirinya,
pada mahkotanya yang dibuat pada tahun 1601 sebagai lambang kekuasaan dia
menuliskan titah berbunyi:

“ Sultan Alauddin bin Firman Syah, ia yang menempatkan iman kepada


Allah, yang telah memilih dia untuk meneruskan kerajaan, Allah
memberinya kemuliaan-Nya untuk bertahan dan melindungi semua
pengikutnya. ”

Pada penghujung pemerintahannya terjadi perbedaan pendapat yang datang dari


kalangan luar keluarga sultan. Alauddin akhirnya digulingkan pada bulan
April 1604 ketika dia sudah berusia lanjut. Meskipun sebenarnya dia telah turun takhta
sejak sakit-sakitan beberapa waktu sebelumnya. Dia meninggal satu tahun kemudian
dan digantikan oleh putranya yang kedua Sultan Muda. Dalam melanjutkan suksesi ini
dia dilaporkan juga mengunggulkan cucunya Iskandar Muda untuk menggantikannya.

 Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa
Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Sultan Iskandar Muda
lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh
pada tanggal 27 September 1636.
Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur
Iskandar Muda dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang
ulama dari Baitul Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda
mempelajari ilmu nahu dari beliau.
Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari
Mekah dan dari Gujarat. Diantaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam
intelektual Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad
Jamani dari Mekah dan Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Sultan Iskandar Muda dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, pada masa
kepemimpinan beliau, Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang
semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan
pembelajaran tentang Islam.

 Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal,
dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam.
Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat
pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan
asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu,
yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah
Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan
ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau
cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan
Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.

 Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan
Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya
sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah
Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu
sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang
berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu
sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
 Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai
1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain
kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak
pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya.
Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman
Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan
ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di
daerah barat laut Indonesia. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua
pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di
selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur
Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya.
Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

 Kontrol di dalam negeri


Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah
administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim, ini dipertegas oleh laporan
seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis
hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim pada
awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang
dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada
awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim,
untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di
negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

 Hubungan dengan bangsa asing


Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada
Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi
nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan
mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh.
Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang
dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir
James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi
surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal
tahun 1585:
"...I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the
land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to
Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset..."
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di
atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk
kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang baik antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk
Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama
Meriam Raja James.

Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah
di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal
dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para
pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah
memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di
pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk
menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Saat pulang,
utusan Kerajaan Aceh tersebut terlunta-lunta sedemikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan
mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan
menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
mahir dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut masih ada
hingga kini yang dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya
Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan
Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat
berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya
mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan.
Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat
menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang
memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan
Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana
tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman
Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu
menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk
menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air di Mata Ie
hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya, sungai
ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di
sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau
mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun
yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar
Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. kerajaan ini telah
menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko,
Isfahan, Persia dan Agra.
Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya
dan secara ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi
perdagangan yang baik secara internasional. Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran
dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar
Muda.
Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan
kejayaannya membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas
keagungan beliau, yakni dengan dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.

Anda mungkin juga menyukai