Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SEJARAH

KERAJAAN ISLAM DI RIAU

DISUSUN OLEH :

1. FELLICIA ENGGI YP
2. RIZKY AMELIA FORTUNA
3. AFRILIZA
4. DEVI RIZKI YANTI
5. SANDI

KELAS : X MIA 2

SMA NEGERI 7 PROVINSI JAMBI


TAHUN PELAJARAN
2016 / 2017
BAB I
PENDAHULUAN

Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah merupakan


akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan
Malaka. Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau
menurut berita Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar,
dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-
13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-
Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi
kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15.
Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan
Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan
dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan
Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah
(wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan
Alauddin Riayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat
Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan
Kerajaan Malaka.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerajaan Pekantua Kampar


Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah
kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua,
yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan
raja, nama Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua
Kampar.
Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua
Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti
putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir
bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara
berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I,
kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka
diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud Syah I
menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan
Mahmud Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka
melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke Gowa. Hal
ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua
Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar
pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua
Kampar (1526-1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh
putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama
Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II
meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah Semenanjung dan
mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu
(ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat
Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-
1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan
oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat (1575-
1590).
Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin
Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar), Kerajaan Johor
berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya
mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang
keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua
Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua
Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari Batin
Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih
Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang
Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat.
Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya bernama
Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar
tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja
Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun
Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh
Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi
jabatan kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut
digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja Lela Utama
(1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan
kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).

B. Kerajaan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu Indra yang
berarti mahligai dan Giri yang berarti kedudukan yang tinggi atau
negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri
Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan
Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada
generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan
Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin
Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II
beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah
Tinggi di Kampung Dagang

C. Kerajaan Rokan
Kerajaan Rokan berdiri pada abad ke-14 M. Pusat kerajaan
berada di Kota Lama, Rokan. Nama kerajaan diambil dari sebuah
sungai yang mengalir di daerah tersebut, yaitu Sungai Rokan.
Sungai Rokan merupakan salah satu sungai besar yang mengalir
di bagian utara Riau daratan. Hingga saat ini, sungai ini masih
memainkan peranan penting sebagi jalur perhubungan antara
rakyat daerah pantai dan pedalaman.
Menurut suatu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab
rokana, artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan
refleksi dari keadaan rakyat yang selalu rukun dan
mementingkan kedamaian, baik dengan sesama penduduk
negeri, maupun dengan orang luar negeri. Dari nama tersebut
yang menunjukkan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan
bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan
tersebut.
Dalam sejarahnya, Rokan termasuk kerajaan yang cepat
berkembang, berkat hasil rempah-rempah yang dimilikinya, dan
juga relasi perdagangannya dengan negeri lain, seperti Malaka.
Bahkan, Raja Malaka, Mahmud Syah menjalin hubungan
kekerabatan dengan Rokan, dengan memperistri putri Raja
Rokan, dan menjadikannya sebagai permaisuri. Dengan
demikian, hubungan antara Malaka dan Rokan jadi semakin erat.
Dari perkawinan Mahmud Syah dengan putri Raja Rokan,
lahir kemudian seorang anak yang bernama Ibrahim. Setelah
Mahmud Syah wafat, Ibrahim sempat menjadi raja di Malaka
selama 1 tahun 5 bulan. Namun, Raja Ibrahim kemudian dibunuh
oleh Raja Kasim Muhammad Syah, saudara seayah dari ibu asli
Malaka.
Sejak Malaka dikalahkan Portugis, Kerajaan Rokan
mengalami kemunduran, karena terus mendapatkan ancaman
dari Aru dan Aceh bagian utara. Menurut sejarah, kehancuran
Rokan akibat dari serangan Aceh. Namun, ketika Rokan
menghilang, muncul kerajaan baru menggantikannya, yaitu
Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar.
Setelah Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar lenyap,
kemudian muncul tiga kerajaan lagi di bagian hilir Sungai
Rokan, yaitu: Kerajaan Kubu dengan ibunegeri Teluk Merbabu;
Kerajaan Bangko dengan ibunegeri Bantaian; dan Kerajaan Tanah
Putih dengan ibunegeri Tanah Putih. Sementara di bagian hulu,
muncul lima kerajaan yang diperintah secara turun-temurun oleh
bangsawan raja. Lima kerajaan tersebut adalah:
1. Kerajaan Tambusai, ibunegerinya Dalu-dalu,
2. Kerajaan Rambah, ibunegerinya Pasir Pengaraian,
3. Kerajaan Kepenuhan, ibunegerinya Koto Tengah,
4. Kerajaan Kunto Dar el-Salam, ibunegerinya Kota Lama,
5. Kerajaan Rokan, ibunegerinya Rokan IV Koto.
D. Kerajaan Siak
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M
oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik
Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama
Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak
yang banyak terdapat di situ.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah
kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini
adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun
hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah
ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut
cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan
Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang
bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke
Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja
Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung
Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh
Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Riayat Syah.
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik
berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor
tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik
yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu
oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang
mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah
pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri.
Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik
mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri
baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah
awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan.
Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota
Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan
Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan
Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin
(1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri
Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa
pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief
Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun
1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota
Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang
dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak
mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu
pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan
Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih
kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung
Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan
sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim
Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan
Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan
Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah
putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke
Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan
Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta
uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.
Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di
Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di
Rumbai pada tahun 1968.
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri
Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku
Maharatu.
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar
Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional
Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak
ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid
Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
E. Kerajaan Gasib
Kerajaan Gasib adalah Kerajaan Siak I yang berada di Sungai
Gasib di Hulu Sungai Siak. Kerajaan Gasib merupakan Pecahan
Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus. Raja Terakhir
dari Kerajaan Gasib ini telah beraga Islam yaitu SULTAN HASAN
yang ditabalkan menjadi Raja Oleh Sultan Johor. Kerajaan Siak I
berakhir pada tahun 1622 M.
Selama 100 tahun Negeri ini tidak mempunyai Raja, maka
ditunjuk seorang Syahbandar yang berkedudukan di Sabak Auh
di Kuala Sungai Siak untuk mengawasi negeri ini yang ditugasi
memungut sungai hasil hutan, timah dan hasil laut di Kawasan
Kerajaan Johor.
Ayahanda Raja Kecik ( Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah
Putera Raja Johor ) yaitu Sultan Mahmud Syah II yang dibunuh
oleh Megat Sri Rama sepulang Shalat Jum'at. Lalu Kekuasaan di
ambil alih oleh Datuk Bendahara Tun Hebab dan dilantik sebagai
Raja di Kerajaan Johor tersebut, Dalam Pemerintahan nya Datuk
Bendahara Tun Hebab berusaha membunuh orang-orang
terdekat dan semua Keturunan Sultan Mahmud Syah II. Karena
perbuatan nya tersebut banyak daerah yang berpisah dari
Kerajaan Johor, mereka menyatakan memisahkan diri. Kala itu
istri Sultan Mahmud Syah II sedang mengandung anak mereka
yang berhasil diamankan ke suatu tempat dari kejaran pasukan
Datuk Bendahara Tun Hebab Setelah anak Sultan Mahmud Syah
II dan istri lahir, anak ini diberi nama Raja Kecik. Raja Kecik di
ajari tentang ilmu Dunia dan Akhirat sampai ia menguasai
semuanya. Dan setelah berhasil dalam bidang Pengetahuan,
Agama, Adat Istiadat ,Militer dsb, Raja Kecik dibantu rekan-rekan
yang mendukung nya berusaha mengambil kembali Kekuasaan
Ayah nya yang telah dikuasai oleh Datuk Bendahara Tun Hebab.
Akhirnya, Turunlah tahta Datuk Bendahara Tun Hebab dan
Kekuasaan jatuh kembali ketangan Raja Kecik. Raja Kecik sempat
memerintah Kerajaan Johor tetapi hanya sebentar karena terjadi
Sengketa Cinta antara Raja Kecik dan keluarga calon Permaisuri (
Tengku Mahbungsu ).
Sengketa Cinta (Kisah cinta raja Kecik, Siak) ini adalah
sebuah kisah cinta tentang Raja Kecik yang mencintai Putri Raja
bernama Tengku Mahbungsu, tetapi dalam percintaan mereka
terhalang oleh sang kakak (Tengku Tengah), Tengku Tengah juga
mencintai Raja Kecik tetapi tidak dengan rasa cinta yang tulus,
Sang adik (Tengku Mahbungsu) ingin mengalah dengan meng-
ikhlaskan Raja Kecik jatuh ke pelukan sang kakak (Tengku
Tengah). Tetapi dihalang oleh Mak Inang Juara, karena Tengku
Tengah memiliki tujuan yang jahat, dia bekerja sama dengan
Raja Sulaiman untuk menjatuhkan Kerajaan Raja Kecik. Mereka
ingin membalaskan dendam kepada Raja Kecik karena Raja Kecik
adalah orang yang telah menghancurkan kerajaan dan
memisahkan mereka dengan sang Ayah. Raja Sulaiman dan
Tengku Tengah mendatangi Daeng Perani dari Kerajaan Bugis
untuk meminta bantuan menyerang Kerajaan Johor yang
diperintah oleh Raja Kecik, sebagai imbalannya Daeng Perani di
ijinkan untuk mempersunting Tengku Tengah sebagai Permaisuri.
Bantuan tersebut di sanggupi oleh Daeng Perani dan ia
berjanji akan membalaskan dendam Raja Sulaiman dan Tengku
Tengah kepada Raja Kecik. Akhirnya, Daeng Perani dan para
pasukan dapat dikalahkan oleh Pasukan Kerajaan Johor, Datuk
Tanah Datar.
Kematian Daeng Perani tidak membuat perang berakhir,
Perang saudara ini justru berlangsung berlarut-larut, kondisi ini
membuat Tengku Mahbungsu sangat sedih, ia meminta Raja
Kecik untuk mengakhiri Peperangan. Demi cintanya, Raja Kecik
pun mengabulkan permintaan Tengku Mahbungsu, ia bahkan
memutuskan untuk mengalah dengan menyingkir ke Lingga dan
kemudian ke Bengkalis untuk menghindari terulangnya perang
saudara.
Selanjutnya berdiri Kerajaan Siak II pada tahun 1723 M oleh
Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah Putera Raja Johor)
yang terletak di Kota Buantan, Siak Sri Indrapura.
Akhirnya Raja Kecik hidup bahagia bersama Tengku
Mahbungsu (Permaisuri). Dan kematian Tengku Mahbungsu
membuat Raja Kecik sedih dan tidak lama kemudian Raja Kecik
dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah menyusul
Permaisuri. Beliau disemayamkan di Kota Buantan. Tahta
Kekuasaan selanjutnya di berikan kepada Anak Bungsu Mereka
dan garis keturunan nya lagi berdasarkan syariat Islam
(Keturunan Ayah) sampai Raja ke-12 dan Setelah itu Kerajaan
Siak di serahkan ke Republik Indonesia.

F. Kerajaan Riau Lingga


Mulanya pulau yang diberi nama Lingga ini diperintah oleh
seorang pemimpin melayu yang sangat terkenal piawai
bertempur terutama dilaut bernama Datuk Megat Kuning Putra
dari Datuk Megat Merah Mata yang menurut kisah setempat
berasal dari Pangkalan Lama di Jambi. Pada awal abad 18 Sultan
Mahmud Syah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan
Johor Riau ke Daik, Sang Datuk diberi gelar Orang Kaya
Temenggung dan bermastautin di Mepar sebagai tempat
pegangannya.
Sultan Mahmud Syah yang dulu nya tempat
puspersemayaman at pemerintahan nya di Hulu Riau ( Riau
Lama ) pindah ke Lingga 1787. Sementara tempat kedudukan
Yam Tuan Yang Dipertuan Muda juga dipindahkan ke Pulau
Penyengat tahun 1787 itu juga. Pindahnya Sultan Mahmud
Syahdan kerabat Diraja dengan angkatan sebanyak 200 buah
perahu ke Lingga, maka bendahara Tun Abdul Majid dengan
angkatannya sebanyak 150 buah perahu meninggalkan Hulu
Riau ke Pahang mewakili Sultan Lingga di Pahang.
Sejak tahun itulah (1787) ramailah orang melayu
meninggalkan Hulu Riau pindah ke tempat lain yakni ke
Selangor, Terengganu, Selat ( Singapura ) Pulau Bulang, Batam,
Karimun, Kalimantan dan pulau-pulau Kepulauan Lingga,
Senayang, Singkep dan Kepulauan Riau. Sedangkan Pulau Bulang
dekat Pulau Batam ditempatkan seorang Temenggung Datuk
Abdul Jamal yang diserahi memegang kuasa di Johor, Singapura
dan Pulau lainnya. Pulau Bulang juga ditempatkan sebagai
armada angkutan laut kerajaan.
Di penghujung 1615 dengan persetujuan Sultan Acheh, ipar
dari Raja Abdullah telah dilantik Sultan Johor ke VII, baginda
diberi gelar Sultan Abdullah Maayat Syah. Sultan Maayat Syah
memindahkan pusat kerajaan Johor di Batu Sawar ke Pulau
Lingga. Namun pada tahun 1623 negeri Johor di Pulau Lingga di
serang sehingga Sultan Maayat syah terpaksa meninggalkan
Lingga dan memilih Pulau Tambelan sebagai tempat
persemayamannya yang baru. Tak lama kemudian pada bulan
Maret 1623 Sultan Abdullah mangkat dan disebut Marhum
Tambalan.
Keberadaan orang Cina zaman Kesultanan Lingga berkaitan
erat dengan sejarah, dapat di kutip dari sejarah asli Johor dan
Pahang. Dimana penulis-penulis dari Cina ikut andil merumuskan
keberadaan Kerajaan Johor-Pahang-Riau dan Lingga. Sultan
Mahmud memerintah semua pentabdiran negeri. Dalam
menangani pemerintah diserah tugaskan kepada wakilnya yaitu
di Pahang diwakilkan kepada Datuk Bendahara, di kawasan Johor-
Singapura dan sekitarnya diwakilkan pada Datuk Temenggung
yang bermestautin di Pulau Bulang dekat Batam, sebagai
pegangannya khusus di Riau diserahkan kepada Yang Dipertuan
Muda ( Yam Tuan ) dengan Pulau Penyengat pusat perwakilan
Sultan Lingga.
Pahang termasuk daerah taklukan Kesultanan Johor.
Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga adalah sebuah
Kesultanan Diraja satu perahu dua nakhoda yakni yang
memerintah Sultan dan Yam Tuan ( Yang Dipertuan Muda).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kerajaan-kerajaan Islam di Riau antara lain :
1. Kerajaan Pekantua Kampar
2. Kerajaan Indragiri
3. Kerajaan Rokan
4. Kerajaan Siak
5. Kerajaan Gasib
6. Kerajaan Riau Lingga

Anda mungkin juga menyukai