Anda di halaman 1dari 27

KERAJAAN SIAK SRI INDRAPURA

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten
Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, anak dari Sultan
Mahmud Shah sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung bersama ibundanya
Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat
dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan
bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung
Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke
Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan
Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur
perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir,
Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dlm bahasa
Sanskerta, sri berarti “bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat
bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak dlm anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat
dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yg ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun
beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak. . Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan
antara Pakistan & India, Sihag atau Asiagh yg bermaksud pedang.

Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yg disebut oleh masyarakat Romawi,
dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini
pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yg dinamakan sebagai
Orang Sakai. Kesultanan Siak Sri Inderapura ialah sebuah Kerajaan Melayu Islam yg pernah berdiri di
Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia.

Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun
1723, sesudah sebelumnya terlibat dlm perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak
muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yg kuat & menjadi kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur
Sumatera & Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh
kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara
Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari persaingan dlm memperebutkan
penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan
kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia. Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yg ditulis
antara tahun 1513-1515, Siak merupaken kawasan yg berada antara Arcat & Indragiri yg disebutnya
sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh
Portugal.

Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah
kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil. Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung,
didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari
pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dlm Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris
Sultan Johor yg kalah dlm perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang
Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa
Sultan Abdul Jalil merupaken saudaranya yg diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.

Kemudian Sultan Abdul Jalil dlm suratnya tersendiri, yg ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya
sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor. Sebelumnya dari
catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi
raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.

Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke
Johor [1673], yg mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yg sebelumnya juga telah
dihancurkan oleh Portugal & Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada
VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi
perdamaian dari perselisihan mereka. Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan
Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor,
namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yg dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yg
juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari peperangan ini,
Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul
Jalil, pindah ke Bintan & kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai
Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.

Sementara pusat pemerintahan Johor yg sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor
ditinggalkan begitu saja, & menjadi status quo dari masing-masing penguasa yg bertikai tersebut.
Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut,
kelompok masyarakat yg bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera
sampai ke Lautan Cina Selatan & loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan
Raja Kecil berikutnya.

Siak Sri Inderapura


Darul Ridzuan
‫ﻛﺴﻠﺘﺎﻧﻦ سياق سري ايندراڤورا‬

  1723–1945

Bendera Lambang

Buantan,
Ibu kota
Siak Sri Inderapura
Bahasa Melayu, Minang,
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Yang Dipertuan Besar
 - 1723-1746 Raja Kecik
 - 1781-1791 Raja Yahya
 - 1791-1811 Sultan Sayyid Ali
 - 1915-1946 Sultan Syarif Kasim II
Sejarah
 - Didirikan 1723
 - Kemerdekaan 1945
Indonesia

Peninggalan Kerajaan Siak


Istana Siak Mesjid istana Syahabuddin siak

Kotak Musik Komet Mahkota Raja

Cermin Permaisuri

KERAJAAN PEKANTUA DI KAMPAR RIAU


Setelah mengalahkan Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja
Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama Kerajaan Pekantua diubah
menjadi Kerajaan Pekantua Kampar. Sejak saat itulah Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar.
Setelah mangkat, Sultan Munawar Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir
bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan digantikan oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I. Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini
menyebabkan Sultan Mahmud Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud
Syah I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.

Tertangkapnya Raja Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan ke
Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua Kampar. Sultan Mahmud Syah I
yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526 langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-
1528). Setelah mangkat, ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama Raja
Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian, Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah
Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu (ibu kota Pekantua
Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-
1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian
Tun Megat (1575-1590).

Saat dipimpin Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar),
Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim utusan ke Johor untuk
meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang terdiri dari
Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun),
dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).

Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang keluarga
dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar. Sekitar tahun 1590, Raja
Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat
yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi
Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar Maharaja
Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan kemudian Maharaja Lela Utama (1675-
1686).

Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)


1.         Munawar Syah (1505-1511)
2.         Raja Abdullah (1511-1515)
3.         Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
4.         Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
5.         Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
6.         Tun Hitam (1551-1575)
7.         Tun Megat (1575-1590)
8.         Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
9.         Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
10.     Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).

PENINGGALAN KERAJAAN PEKANTUA


Istana Kerajaan

Makam Raja-Raja

Artefak Kerajaan Yang Tersisa

KERAJAAN ROKAN
Sejarah kerajaan-kerajaan Rokan

Rokan adalah nama sebuah sungai yang membelah Pulau Sumatera dibagian tengah, bermuara
kebagian Utara Pulau tersebut (Selat Malaka). Daerah ini adalah kawasan Kerajaan Rokan Tua,
diketahui keberadaannya abad ke-13, saat itu tercatat dalam “Negara Kertagama” karangan Prapanca,
yang ditulis pada tahun 1364 M.
Sampai saat ini nama Rokan juga tetap eksis sebagaimana yang dapat dilihat dalam perkembangan
kerajaan Rokan Tua itu sampai sekarang. Menurut Muchtar Lutfi, Wan Saleh dalam sejarah Riau,
bahwa yang menjadi Raja Rokan abad ke-14-15 adalah keturunan dari Sultan Sidi saudara Sultan
Sujak yang dijelaskan dalam buku Sulalatus Salatin, yang menyatakan bahwa raja Rokan itu anak
Sultan Sidi saudara Sultan Sujak.
Kerajaan Rokan ini berpusat di Koto Intan, suatu tempat dekat Kotolamo dan berpindah-pindah ke
Pekaitan dan akhirnya pindah ke Rantau Kasai (di Siarang-arang). Setelah itu tidak ada lagi disebut-
sebut nama Kerajaan Rokan lagi.
Sampailah diketahui bahwa wilayah Rokan itu mekar menjadi Rokan Hilir dan Rokan Kanan.

Rokan Hilir terbagi 3 kerajaan yaitu :


* Kerajaan Kubu, ibunegerinya Teluk Merbau,
* Kerajaan Bangko ibunegerinya Bantaian,
* Kerajaan Tanah Putih, ibunegerinya Tanah Putih.

Rokan Hulu terdiri dari 5 kerajaan, yaitu :


* Kerajaan Tambusai ibunegerinya Dalu-dalu,
* Kerajaan Rambah ibunegerinya Pasirpengarayan,
* Kerajaan Kepenuhan ibunegerinya Kototongah,
* Kerajaan Rokan IV Koto, ibunegerinya Rokan,
* Kerajaan Kuntodarussalam ibunegerinya Kotolamo.

Pada masa kolonial wilayah Rokan Hulu dibagi menjadi dua yaitu:
Wilayah Rokan Kanan terdiri dari 3 kerajaan
* Kerajaan Tambusai,
* Kerajaan Rambah,
* Kerajaan Kepenuhan.

Wilayah Rokan Kiri menjadi 2 kerajaan yaitu :


* Kerajaan Rokan IV Koto,
* Kerajaan Kuntodarussalam, dan ditambah kampung dari Kerajaan Siak yaitu Kewalian Tandun dan
Kabun.

Sampailah saat ini wilayah terbagi dalam Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu. Pada
abad ke-17-18 ada keinginan dari seorang pejuang bernama Sultan Zainal Abidin Syah untuk
mempersatukan masyarakat Rokan ini dari Hulu sampai ke Hilir, namun mendapat perlawanan dari
Kerajaan Siak atas adu domba Kolonial Belanda. Maka dengan keadan demikian terjadilah
penangkapan Sultan Zainal Abidin Syah hingga di bawa ke Madiun dan mangkat disana.

2) Sejarah / History kerajaan Rokan IV Koto


Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena
merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua
daerah:
 wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan
Kepenuhan.
 wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta
beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kabun).

Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.


Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Diakuilah
berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan
mendapat pengesahan dari pihak Belanda.

3) Daftar Raja
* 1340-1381: Sultan Seri Alam
* 1381-1454: Tengku. Raja Rokan
* 1454-1519: Tengku Sutan Panglima Dalam
* 1519-1572: Tengku Sutan Sepedas Padi
* 1572-1603: Tengku Sutan Gemetar Alam
* 1603-1645: Yang Dipertuan Sakti Mahyuddin (Raja Pertama dari Pagaruyung)
* 1645-1704: Yang Dipertuan Sakti Lahid
* 1704-1739: Tengku Sutan Rokan (Pemangku)
* 1739-1805: Yang Dipertuan Sakti Selo
* 1805-1817: Andiko Yang Berempat (Wakil)
* 1817-1837: Dayung Datuk Mahudun Sati (Pemangku)
* 1837-1859: Yang Dipertuan Sakti Ahmad
* 1856-1880: Yang Dipertuan SaktiHusin
* 1880-1903: Tengku Sutan Zainal (Pemangku)
* 1903-1942: Yang Dipertuan Sakti Ibrahim
PENINGGALAN KERAJAAN ROKAN

Istana Raja Rokan di IV Koto Rohul Situs Makam Raja

Mesjid Kuto Rambah Rokan


Rokan adalah nama sebuah sungai yang membelah Pulau Sumatera dibagian tengah, bermuara
kebagian Utara Pulau tersebut (Selat Malaka). Daerah ini adalah kawasan Kerajaan Rokan Tua,
diketahui keberadaannya abad ke-13, saat itu tercatat dalam “Negara Kertagama” karangan Prapanca,
yang ditulis pada tahun 1364 M. Sampai saat ini nama Rokan juga tetap eksis sebagaimana yang dapat
dilihat dalam perkembangan kerajaan Rokan Tua itu sampai sekarang. Menurut Muchtar Lutfi, Wan
Saleh dalam sejarah Riau, bahwa yang menjadi Raja Rokan abad ke-14-15 adalah keturunan dari
Sultan Sidi saudara Sultan Sujak yang dijelaskan dalam buku Sulalatus Salatin, yang menyatakan
bahwa raja Rokan itu anak Sultan Sidi saudara Sultan Sujak. Kerajaan Rokan ini berpusat di Koto Intan,
suatu tempat dekat Kotolamo dan berpindah-pindah ke Pekaitan dan akhirnya pindah ke Rantau Kasai
(di Siarang-arang). Setelah itu tidak ada lagi disebut-sebut nama Kerajaan Rokan lagi.
Sampailah diketahui bahwa wilayah Rokan itu mekar menjadi Rokan Hilir dan Rokan Kanan.
Rokan Hilir terbagi 3 kerajaan yaitu :
* Kerajaan Kubu, ibunegerinya Teluk Merbau,
* Kerajaan Bangko ibunegerinya Bantaian,
* Kerajaan Tanah Putih, ibunegerinya Tanah Putih.
Rokan Hulu terdiri dari 5 kerajaan, yaitu :
* Kerajaan Tambusai ibunegerinya Dalu-dalu,
* Kerajaan Rambah ibunegerinya Pasirpengarayan,
* Kerajaan Kepenuhan ibunegerinya Kototongah,
* Kerajaan Rokan IV Koto, ibunegerinya Rokan,
* Kerajaan Kuntodarussalam ibunegerinya Kotolamo.

Pada masa kolonial wilayah Rokan Hulu dibagi menjadi dua yaitu:
Wilayah Rokan Kanan terdiri dari 3 kerajaan
* Kerajaan Tambusai,
* Kerajaan Rambah,
* Kerajaan Kepenuhan.

Wilayah Rokan Kiri menjadi 2 kerajaan yaitu :


* Kerajaan Rokan IV Koto,
* Kerajaan Kuntodarussalam & ditambah kampung dari Kerajaan Siak yaitu Kewalian Tandun & Kabun.

Sampailah saat ini wilayah terbagi dalam Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu. Pada abad
ke-17-18 ada keinginan dari seorang pejuang bernama Sultan Zainal Abidin Syah untuk mempersatukan
masyarakat Rokan ini dari Hulu sampai ke Hilir, namun mendapat perlawanan dari Kerajaan Siak atas
adu domba Kolonial Belanda. Maka dengan keadan demikian terjadilah penangkapan Sultan Zainal
Abidin Syah hingga di bawa ke Madiun dan mangkat disana.

KERAJAAN GUNUNG SAHILAN

Saat ini Istana Kerajaan Gunung Sahilan merupakan salah satu situs Nasional di Kabupaten Kampar. Penanganan
situs Nasional Istana Gunung Sahilan telah ditangani secara Nasional dan Provinsi.
Sudah ada kesepakatan antara Pemkab Kampar dan Pemda Provinsi Riau dalam bentuk sharing budget dan sharing
program tentang pengembangan dan renovasi Istana Gunung Sahilan. Pemkab Kampar telah memenuhi
kewajibannya dalam bentuk melakukan pembebasan lahan seluas 2 Ha pada tahun 2011. Sementara kewajiban
Pemda Provinsi Riau melanjutkannya dengan melakukan pembangunan sarana dan prasarana serta renovasi di
kompleks Istana Gunung Sahilan.

Jejak sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau Kampar Kiri, sudah dikenal dalam catatan sejarah semenjak abad mula
sejarah Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat Kampar dikatakan “Undang-Undang di Kampar Kiri”.
Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat identik dengan wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan
karena Kerajaan Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400 tahun menguasai dan memerintah di
wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan kesebangsaan/raison d’entre) dari
masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan
Gunung Sahilan.

Jika dilihat secara geografis wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau. Secara topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan adalah hampir sama dengan wilayah Rantau
Kampar Kiri saat ini.
Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar Kiri akhirnya mengalami
pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah kecamatan di dalam daerah otonom Kabupaten
Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan
Gunung Sahilan.

Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar Kiri asal yaitu seluas 347.578
Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah
“Dari Pangkalan yang duo laras, Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai
Subayang dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu, pertama Rantau Daulat dari
Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-kampungya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi,
Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke
Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya
Gunung Sahilan.

Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua laras dengan negeri-negeri Kuntu, Padang
sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur
Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai, Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar
Kiri terdapat enam negeri asal yakni Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau Lipat
Kain, Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.
Kerajaan Gunung Sahilan secara garis besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar yaitu Rantau Daulat dan Rantau
Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau daulat berpusat di Kenegarian Gunung Sahilan.
Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah kekuasaan Khalifah yang berempat di mudik.
Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan antara
lain: Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan Islam Kuntu Kampar, pendudukan Kerajaan Singosari,
dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun dari Tanah Aceh.
Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh
Adityawarman. Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya diperkirakan pada abad ke 16-17 Masehi
merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung dan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan
adalah keturunan raja Pagaruyung atau Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya Kerajaan Pagaruyung pada
awal abad ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-istiadat Kerajaan Gunung Sahilan adalah sistem adat
Kerajaan Pagaruyung yang sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan
mengakui kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir setelah
bergabung dengan NKRI.
Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup besar, terutama dukungan
kerajaan terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer
Belanda I dan II dimana wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan
nama Resort Riau Selatan yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer
Belanda II.

Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan tertinggi ditangan Raja yang menguasai adat (pemerintahan) dan ibadat
(keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah “Tengku Yang Dipertuan Besar” dan untuk Raja Ibadat
“Tengku Yang Dipertuan Sati”.
Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Lambang Negara Kerajaan, sementara
pemerintahan dalam artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini disebut Kerapatan Khalifah nan berempat
dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van Kampar kiri.
Kedudukan para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Majelis Menteri (Kementerian) dimana
fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu.

Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir pada tahun 1946.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama itu Kerajaan Gunung Sahilan diperintah
oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu orang Putra Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila
raja yang terakhir wafat. Sembilan Raja dan satu orang Putra Mahkota itu adalah sebagai berikut :

Pertama, Tengku yang Dipertuan Bujang Sati bergelar Sutan Pangubayang diperkirakan tahun 1700-1730. Mangkat
di Pagaruyung merupakan anak raja yang dijemput ke Pagaruyung. Kedua, Tengku Yang dipertuan Nan Elok, 1730-
1760, mangkat di Mekah. Ketiga, Tengku yang Dipertuan Muda I, 1760-1800, Mangkat di Pulau Gameran Laut
Merah. Keempat, Tengku yang Dipertuan Hitam 1800-1840, mangkat di Gunung Sahilan. Kelima, Tengku yang
Dipertuan Abdul Jalil Khalifatullah, 1840-1870, mangkat di Jeddah. Keenam, Tengku yang Dipertuan Besar Tengku
Daulat, 1870-1905. Ketujuh, Tengku Abdurrahman yang Dipertuan Muda. Kedelapan Tengku Sulung yang
Dipertuan Besar, 1930-1945 (Raja Adat)
Kesembilan, Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sati 1930-1945 (Raja Ibadat). Kesepuluh Tengku Ghazali (putra
Mahkota) dilantik pada tahun 1939, akan tetapi belum dinobatkan sebagai Sultan/Raja.
Sementara menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H. Darmansyah, 25
September 1992, bahwa kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10 orang raja dan satu orang putra mahkota
yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir wafat.
Akan tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan menjadi sultan Gunung Sahilan
berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah berintegrasi dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan itu adalah sebagai berikut : Pertama, Raja Mangiang, adalah raja pertama di
kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, kuburannya di dekat Masjid
Sahilan.
Kedua, Raja bersusu empat, kuburannya berdekatan dengan Raja Mangiang. Ketiga, Sultan dipertuan Sakti Sultan
Bujang, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan. Keempat, Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di Kapalo
Koto Gunung sahilan. Kelima Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
Keenam, Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di kota suci Mekah. Ketujuh, Sultan Abdul Jalil yang dipertuan
Besar Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
Kedelapan, Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya di Jeddah. Kesembilan, Sultan Abdullah
Sayyah gelar Yang Dipertuan Besar Tengku Sulung, kuburannya di RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.
Kesepuluh Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8 Desember 1957.
Kesebelas Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan pada tahun 1941), kuburannya di RSUD Pekanbaru pada
tanggal, 26 Juni 1975.
Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah ayahandanya Tengku Nizar yang
pada waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon Bupati Kampar. Sedangkan salah seorang putri Tengku
Ghazali bernama Putri Indra, lahir di Gunung Sahilan pada tanggal, 17 Maret 1929. Putri Indra adalah ibundanya Drs
H Azwan, M.Si yang saat ini memangku jabatan sebagai Sekda Kabupaten Kampar.
Jejak sejarah Kerajaan Gunung Sahilan ini telah dibukukan Pemda Kampar, tepatnya oleh Dinas Pariwista dan
Kebudayaan Kabupaten Kampar pada tahun 2007 yang lalu. Akhirnya semoga sejarah juga bercerita tentang
hubungan-hubungan peristiwa, peristiwa yang satu terjadi akibat peristiwa yang lainnya, peristiwa yang lain itu akan
menimbulkan peristiwa yang berikutnya.
PENINGGALAN KERAJAAN GUNUNG SAHILAN

Istana Kerajaan Gunung Sahilan merupakan salah satu situs Nasional di Kabupaten Kampar. Penanganan situs
Nasional Istana Gunung Sahilan telah ditangani secara Nasional dan Provinsi.
Sudah ada kesepakatan antara Pemkab Kampar dan Pemda Provinsi Riau dalam bentuk sharing budget dan sharing
program tentang pengembangan dan renovasi Istana Gunung Sahilan. Pemkab Kampar telah memenuhi
kewajibannya dalam bentuk melakukan pembebasan lahan seluas 2 Ha pada tahun 2011. Sementara kewajiban
Pemda Provinsi Riau melanjutkannya dengan melakukan pembangunan sarana dan prasarana serta renovasi di
kompleks Istana Gunung Sahilan.

Jejak sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau Kampar Kiri, sudah dikenal dalam catatan sejarah semenjak abad mula
sejarah Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat Kampar dikatakan “Undang-Undang di Kampar Kiri”.
Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat identik dengan wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan
karena Kerajaan Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400 tahun menguasai dan memerintah di
wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan kesebangsaan/raison d’entre) dari
masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan
Gunung Sahilan.
Jika dilihat secara geografis wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau. Secara topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan adalah hampir sama dengan wilayah Rantau
Kampar Kiri saat ini. Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar Kiri
akhirnya mengalami pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah kecamatan di dalam daerah
otonom Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri
Tengah dan Kecamatan Gunung Sahilan.
Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar Kiri asal yaitu seluas 347.578
Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah
“Dari Pangkalan yang duo laras, Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai
Subayang dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu, pertama Rantau Daulat dari
Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-kampungya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi,
Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke
Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya
Gunung Sahilan.

KERAJAAN INDRAGIRI

Cikal bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama Keritang
diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal ‘keritang’. Sementara Itang adalah sejenis
tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-
tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, (sekarang) ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama ‘Keritang’ identik
dengan istilah ‘Kitang’, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal (Ahmad Yusuf & Umar Amin, et
al., 1994:19).
Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijayayang berpusat di Palembang. Pada akhir
adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang
menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan
Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan
bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan
Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.

Dari Kerintang ke Indragiri


Berdasarkan catatan dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan nama
Keritang. Oleh karena Keritang terletak di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan
bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri. Mengeni nama Indragiri
sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang menyebutnya. Kamus ‘A Malay-English Dictionary yang disusun
Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini,
Indragiri diartikan sebagai “Indra’s Mountain” an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name” atau
“Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama
kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.
Dalam ‘Niew Malaeisch-Nederlandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter’, kamus susunan Hillebrads Cornelius
Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur
Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu (Hasan Junus & Zuarman, et al., 2003:13). Ada pula yang
mengatakan bahwa Indragiri berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu ‘Indra’ yang berarti mahligai dan ‘Giri’ yang berarti
kedudukan yang tinggi atu negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.
Raja pertama Keritang adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), yang berturut-turut dilanjutkan
oleh Raja Nara Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2, kemudian Raja Merlang II (1400-1473). Pada era
berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Raja Nara Singa
II (1473-1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Raja Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4 sebagai Sultan
pertama Indragiri dengan nama Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan (1508-1532).
Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit dan akhirnya diberikan kepada kesultanan
Melaka sebagai hadiah pernikahan Sultan Mansyur Syah dengan salah seorang putri Kerajaan Majapahit. Seiring Islam
masuk ke Nusantara, pemerintahan Kerajaan Keritang dikendalikan oleh Kesultanan Melaka. Ketika masih di bawah
kuasa Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi setelah
Kerajaan Keritang dikuasai oleh Kesultanan Melaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi menetap di Keritang
melainkan dibawa ke Melaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Melaka karena dengan demikian Kerajaan
Keritang lebih mudah diawasi.
Dominasi Melaka terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri Bakal, anak
perempuan Sultan Mansyur Syah, pemimpn Kesultanan Melaka. Ikatan perkawinan itu, di samping mengokohkan
kedudukan Sultan Melaka di daerah jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di
Melaka. Dari perkawinan dengan Putri Melaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara Singa
(1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan Melaka. Ketika Kesultanan Melaka dipimpin oleh Sultan
Mahmud Syah I (1448-1511), Raja Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Raja Nara Singa dinobatkan
sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja
penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga kemudian Raja Nara Singa II (1473-
1508).
Selama keluarga Kerajaan Keritang berada di Melaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan Datuk
Temenggung Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya. Meski pemerintahan Kerajaan Keritang dapat
tetap berjalan, namun seringkali terjadi perselisihan antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah
terpelik yang terjadi di antara kedua mentri itu adalah soal agama yang masih menganut kepercayaan lama.
Persoalannya adalah apabila ada orang yang berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka orang itu
dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung Kuning. Akibatnya, semakin lama orang-
orang yang berada di bawah kekuasaan Datuk Patih kian berkurang karena semakin banyak pula orang yang memeluk
Islam.
Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang Melaka
terhadap rakyat Keritang, membuat Raja Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan
alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya, Raja Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang.
Raja Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan para pengikutnya.
Ketika sudah berhasil meninggalkan Melaka, terdengarlah kabar bahwa Raja Nara Singa II dapat melepaskan diri dari
Melaka(Yusuf & Amin et, al., 1994:19).
Selanjutnya, Raja Nara Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari Keritang ke Pekantua,
tidak jauh dari Sungai Indragiri. Perpindahan tersebut terkait dengan kepercayaan bahwa suatu tempat yang telah
ditinggalkan tidak baik untuk dijadikan pusat pemerintahan. Keritang merupakan kota yang diambil-alih Kesultanan
Melaka sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan magic religious, kota atau kraton yang telah dikalahkan itu
harus ditinggalkan (Sartono Kartodirjo, et, al., 1975:153). Raja Nara Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin
di Pekantua dan inilah tanda bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan Indragiri,
gelar untuk Raja Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan. Gelar ini
menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.
Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang
dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantuan dengan Kota
Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut
disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan ancaman gerombolan
perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling
lambat dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Raja
Nara Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama (Yusuf & Amin, et, al., 1994:75). Pada 1765, pusat
pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.
Sejak 5 Januari 1815, yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1845), Sultan Indragiri ke-15, ibu kota
Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain adanya tekanan dari kolonialis Belanda, pemindahan
ibu kota Kesultanan Indragiri dari Japura ke Rengat juga dikarenakan tersedianya biaya untuk pembangunan istana
baru yang lebih megah (Lufti [ed.], 1977:261).
Sultan pertama Kesultanan Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni tahun 1532.
Setelah itu pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan,
yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan
Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga Sultan Jamaluddin
Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kau imperialis Eropa
datang dan lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.

Kesultanan Indragiri pada Era Kolonialisme


Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan
awal untuk berdagang. Pada saat itu, Kesultanan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang
menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan portugis adan Aceh serta Patani. Kesultanan Johor-Riau
kemudian mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.
Sebagai strategi untuk meluaskan pengaruh dan jaringan niaganya di Selat Melaka, kompeni mendirikan loji di
Indragiri pada 1615. Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat itu
mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan Harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di
Indragiri. Namun harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan
dari pedagang-pedagang Cina, Portugis dan Inggris. Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi
menangani perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada
tahun 1622 kantor dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.
Karena kerja sama dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri mengalihkan jalinan niaganya ke minangkabau.
Namun hubungan itu menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pasalnya, hasil lada dan emas dari
Minangkabau yang sebelumnya dibawa ke Padang, Tiku Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah
pengaruh Aceh menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan, Kesultanan Aceh Darussalam
menyerang Indragiri dan Johor pada tahun 1623 (Jamalako Sultan, tt:17). Selain itu, Aceh juga menyerbu wilayah
lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan
Johor dilakukan dalam waktu yang berdekatan (Sanusi Pane, 1965:185).
Tujuan utama penyerbuan Kesultanan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan perdagangan
lada antara Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya Kesultanan Aceh dapat mewujudkan
tujuannya itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis.
Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh
Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai harga
yang ditetapkan Aceh (Djuharsono, 1985:152).
Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Indragiri
kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat
kepada Antonio van Diemen, Gubenur Jendral Belanda di Batavia, pada tahun 1641. Dalam suratnya, Sultan
Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah
beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jmaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage,
utusan Belanda dari Batavia ke Indragiri.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1699) sebagai Sultan Indragiri ke-5,
disepakati perjanjian dengan Belanda tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian yang
ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama
‘Renovatie van het Contract van 27 October 1664’ (Muchtar Lufti [ed.], 1997:217), sesuai dengan tanggal
penandatanganan hasil perundingan. Isi dari perjanjian itu antara lain:
1. Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada;
2. Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam kekuasaan Kesultanan Indragiri.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri di Kuala
Cenaku. Namun, pada tahun 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah
pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut
kembali ditutup. Hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia
Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian lebih sering diderita oleh pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya
ketika Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai campur tangan dalam
urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah dari
Hilir hingga Japura.
Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri
sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi tekanan Belanda.
Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang,
kecuali acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah tersebut dianggap
terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hokum
yang diberlakukan oleh pemerintahan colonial (Yusuf & Amiin, et, al., 1994:126).

Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia


Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri,
namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran.
Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Kesultanan Indragiri. Tetapi, para
pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri
sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut
(Wasmad Rads, 1950:7).
Selanjutnya kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan dan
merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung
dengan Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan kini sudah pemerintahan
Indonesia, jadi apa-apa yang tuan perbuat saya sangat mendukung.” (Yusuf & Amin, et, al., 1994:173). Bahkan
demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen
terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Daftar raja / sultan
Berikut daftar raja/sulta yang pernah berkuasa di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku ‘Sejarah
Kesultanan Indragiri’ (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni Ishaq:
1. Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1
2. Raja Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2
3. Raja Merlang II (1400-1473), Raja Keritang ke-3
4. Raja Nara Singa II (1473-1508)4 yang kemudian mendirikan Kesultanan Indragiri, Sultan Indragiri ke-1 dengan
gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532)
5. Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan Indragiri ke-2
6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3
7. Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4
8. Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5
9. Sultan Jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6
10. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7
11. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8
12. Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9
13. Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10
14. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11
15. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12
16. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), Sultan Indragiri ke-13
17. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan Indragiri ke-14
18. Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15
19. Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16
20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan Indragiri ke-17
21. Raja Said bergelar Sultan Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan Indragiri ke-19
23. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan Indragiri ke-20
24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan Indragiri ke-21
25. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan Indragiri ke-22
PENINGGALAN KERAJAAN INDRAGIRI

Istana Kerajaan Makam Raja-Raja

Mesjid Kerajaan Bekas Istana Kerajaan di Peranap

Cikal bakal berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bias dipisahkan dari keberadaan Kerajaan Keritang. Nama Keritang
diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal ‘keritang’. Sementara Itang adalah sejenis
tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-
tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, (sekarang) ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama ‘Keritang’ identik
dengan istilah ‘Kitang’, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal (Ahmad Yusuf & Umar Amin, et
al., 1994:19).
Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijayayang berpusat di Palembang. Pada akhir
adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang
menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan
Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan
bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan
Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.
Ketika Jakarta menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai ke Indragiri,
namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran.
Sultan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Kesultanan Indragiri. Tetapi, para
pemuda di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada rakyat banyak. Sultan sendiri
sudah mendengar bahwa para pemuda telah mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut
(Wasmad Rads, 1950:7).
Selanjutnya kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan dan
merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung
dengan Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan kini sudah pemerintahan
Indonesia, jadi apa-apa yang tuan perbuat saya sangat mendukung.” (Yusuf & Amin, et, al., 1994:173). Bahkan
demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen
terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

KERAJAAN PELALAWAN

Asal Usul Kerajaan Pelalawan


Berasal dari kata dasar "Lalau", yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an
(tempat yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya bernama Kerajaan
Tanjung Negeri, dibawah pimpinan Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri dibawah
kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan Tinggi. Diawali sekitar tahun 1725 M, Maharaja Dinda II
memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini terjadi dikarenakan
wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya
(1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri
menjadi Kerajaan Pelalawan.

Pertikaian Siak Sri Indrapura dan Pelalawan


Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor,
yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722.
Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng
Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor.Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak
menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau
Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta
Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnya Sultan Alauddin
Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan
Pelalawan mengakuiKesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat beliau adalah pewaris sah Raja Kecil,
putra Sultan Mahmud Shah II (SultanJohor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu
pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.

Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan


Dalam catatan sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan melalui air dan
darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul,
seperti Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima
Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman
Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan
melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala
Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya
menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang
kokoh.
Diperkirakan pada awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan serangan ke
Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara
pasukan Said Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok,
perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin terkena hantaman
Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman
Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta
awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun.
Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng
Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan
tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan
kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya
mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut
dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri
Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu,
yang berbunyi sebagai berikut :
 Empak-empak diujung Galah
 Anak Toman disambar Elang
 Pelalawan dirompak, haram tak kalah
 Baheram Osman berlayar pulang.
Perebutan Kekuasaan Pelalawan
Sekembalinya pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam
meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun.
Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”.
Sikap penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam
yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu
batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap
condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman
(adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut
dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan
angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan
satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan
Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman
berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh Kakaknya Sultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan
Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif
Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan
Syarif Abdurrahman sendiri. Pada beberapa sumber menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan
adanya mata-mata dari Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di Benteng Pertahanan
Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.

Akhir Kekuasaan
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan
Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin.
Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang
diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan
kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama
Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan
Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten
Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10,
dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
PENINGGALAN KERAJAAN PELALAWAN

Istana Sayap Makam Raja-Raja

Meriam Tomel Mesjid Kerajaan

Asal Usul Kerajaan Pelalawan


Berasal dari kata dasar "Lalau", yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an
(tempat yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya bernama Kerajaan
Tanjung Negeri, dibawah pimpinan Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri dibawah
kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan Tinggi. Diawali sekitar tahun 1725 M, Maharaja Dinda II
memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini terjadi dikarenakan
wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya
(1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri
menjadi Kerajaan Pelalawan.
Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor,
yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722.
Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng
Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor.Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak
menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau
Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta
Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnya Sultan Alauddin
Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan
Pelalawan mengakuiKesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat beliau adalah pewaris sah Raja Kecil,
putra Sultan Mahmud Shah II (SultanJohor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu
pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan
Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin.
Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang
diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan
kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama
Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan
Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten
Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10,
dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.

KERAJAAN SEGATI DI TALUK KUANTAN - RIAU

1. Sejarah
Kerajaan Segati didirikan oleh Tuk Jayo Sati, cucu dari Maharajo Olang dari Kuantan. Lokasi  kerajaan berada di
hulu Sungai Segati, 15 km dari Negeri Langgam sekarang, di tepi Sungai Kampar. Pada awalnya, pusat kerajaan
berada di Ranah Tanjung Bungo, Negeri Langgam sekarang. Kemudian, oleh putranya yang bernama Tuk Jayo
Tunggal, pusat kerajaan dipindahkan ke Ranah Gunung Setawar, di hulu Sungai Segati.
Dalam perkembangannya, kemudian datang utusan dari Negeri Gunung Sahilan ke Segati membawa lada hitam.
Raja Segati, Tuk Jayo Tunggal membeli lada tersebut dan menjualnya ke Kota Macang Pandak Kuantan. Sejak saat
itu, perdagangan lada antara Segati dengan Kuantan mulai ramai dan berkembang. Perdagangan bertambah ramai,
seiring dengan datangnya utusan dari Gunung Hijau (diduga Pagaruyung) yang menawarkan timah. Tuk Jayo
Tunggal membeli timah ini dan memperdagangkannya di Bandar Sangar, Kuala Kampar. Setelah Tuk Jayo
Tunggal meninggal, putranya, Tuk Jayo Alam naik tahta menggantikannya
Di masa Tuk Jayo Alam berkuasa, Kerajaan Segati yang berpusat di Negeri Ranah Gunung Setawar mencapai
kejayaannya. Dalam relasi perdagangan antara Segati dengan Kuantan dan Sangar, berbagai komoditas
diperdagangkan, seperti rempah-rempah, terutama cabe.
Perkembangan pesat Kerajaan Segati ternyata telah menimbulkan perasaan iri pada kerajaan tetangga, yaitu Gassib.
Dengan dipimpin oleh Hulubalang Panglima Puto, Raja Gassib kemudian menyerang Kerajaan Segati dan dapat
menguasai Negeri Ranah Gunung Setawar. Raja Segati, Datuk Jayo Alam melarikan diri ke hulu Sungai Segati. Di
sini, raja dan para pengikutnya membangun negeri baru yang mereka sebut Negeri Segati. Disebut demikian,
karena perbekalan raja ketika itu tinggal sekati lada. Oleh karena itu, negerinya dinamai negeri Segati. Dari Segati,
raja kembali menyusun kekuatan dan menyerang Gassib yang menguasai negerinya. Dalam serangan tersebut,
Datuk Jayo Alam berhasil merebut kembali Ranah Gunung Setawar, sementara hulubalang Gassib melarikan diri
ke negeri asalnya. Walaupun Ranah Gunung Setawar telah dikuasainya kembali, namun, Datuk Jayo Alam tetap
memerintah dari Segati, sehingga pusat kerajaannya tetap di sana.
Setelah Tuk Jayo Alam meninggal dunia, ia diganti oleh putranya, Tuk Jayo Laut. Dinamakan demikian, karena ia
sering berlayar ke laut. Pada masa ini, perdagangan lada bertambah ramai. Tuk Jayo Laut digantikan oleh putranya,
Tuk Jayo Tinggi, kemudian digantikan oleh Tuk Jayo Gagah. Tuk Jayo Gagah digantikan oleh Tuk Jayo Kolombai
dan kemudian digantikan oleh Tuk Jayo Bedil. Tuk Jayo Bedil adalah raja yang pertama menggunakan bedil.
Pada masa Tuk Jayo Bedil, perdagangan dengan Malaka tak dapat lagi dilakukan, karena Malaka telah dikalahkan
oleh bajak laut Peringgi (Portugis). Oleh karena itu, perdagangan hanya dilakukan dengan Kuantan melalui Negeri
Ranah Koto Macang Pandak.
Pada waktu itu, datanglah utusan dari Tuk Sangar Raja Dilaut meminta bantuan untuk menyerang Peringgi di
Malaka. Tuk Jayo Bedil menyetujui permintaan itu dan mengirimkan angkatan perangnya, dipimpin oleh Panglima
Kuntu. Bersama Tuk Sangar Raja Dilaut, Panglima Kuntu menyerang Peringgi di Laut Simpang Empat, di Pulau
Siapung Atas (Serapung). Saat itu, kedua panglima ini sangat terkenal dengan angkatan lautnya yang tangguh, yang
menguasai Kuala Kampar. Setelah Tuk Sangar Raja Dilaut tua, beliau digantikan oleh putranya, Tuk Sangar Raja
Dilaut Muda.
Berkaitan dengan Panglima Kuntu, ia ditarik kembali ke Segati, dan pasukan dipimpin oleh Orang Besar Segati
yang berasal dari Gunung Hijau bersama dengan Sultan Peminggih. Di bawah pimpinan kedua hulubalang muda
ini, banyak kapal Peringgi dikaramkan.
Bertahun-tahun kemudian, datanglah utusan dari Aceh. Karena penduduk Segati masih memeluk agama Hindu-
Budha, maka Aceh menuntut agar Segati memeluk agama Islam. Tuntutan Aceh ini ditolak oleh Tuk Jayo Bedil.
Dalam perkembangannya, Aceh terus melakukan ekspedisi untuk menaklukkan daerah pesisir timur Sumatra.
Karena Segati adalah salah satu negeri yang memperdagangkan lada, Aceh menganggap perlu untuk menaklukkan
Segati. Dengan alasan penyebaran agama Islam, Aceh kemudian menyerang dan menghancurkan Segati hingga rata
dengan tanah.  Dalam proses serangan tersebut, ekspedisi Aceh menggunakan jalur sungai, dengan berperahu ke
arah hulu Sungai Kampar. Ketika itu, pasukan Acceh melewati daerah kekuasaan Tuk Raja Sangar Dilaut di Sungai
Kampar, namun, Tuk Sangar tidak menghalangi Aceh, sebab dianggap teman sejawat dalam memerangi Portugis.
Selanjutnya, dengan leluasa, Aceh terus berlayar ke arah hulu Sungai Kampar dan langsung dapat menyerang
Segati.
Tentu saja Segati bukan tandingan Aceh yang memiliki pasukan terlatih itu. Setelah bertempur selama beberapa
hari, Segati dapat ditaklukkan dan diratakan dengan tanah. Pasukan Aceh selanjutnya melanjutkan serangan ke arah
Siak di mana berdiri Kerajaan Gasib. Sebagaimana Segati, Gassib dapat ditaklukkan oleh pasukan Aceh.
Setelah Segati kalah, Tuk Jayo melarikan diri ke daerah Petalangan Napuh, kemudian terus ke Kuantan. Bekas-
bekas penaklukan Aceh saat ini masih dapat kita jumpai dengan adanya tempat-tempat yang bernama Rencong
Aceh, Pangkalan Aceh, dan Lubuk Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, di Segati didirikan negeri baru dengan
nama Tambak, tak lama kemudian, lokasinya dipindahkan ke muara sungai dengan nama baru: Langgam.
2. Silsilah
Berikut ini silsilah raja yang pernah berkuasa di Segati, yaitu:
    Tuk Jayo Sati
    Tuk Jayo Tunggal
    Tuk Jayo Alam
    Tuk Jayo Laut
    Tuk Jayo Tinggi
    Tuk Jayo Gagah
    Tuk Jayo Kolombai
    Tuk Jayo Bedil
3. Periode Pemerintahan
Sepanjang sejarah Kerajaan Segati, sekurangnya telah berkuasa delapan orang raja. Namun, belum diketahui secara
detail periode masing-masing raja tersebut. Kerajaan Segati ini sezaman dengan Kerajaan Aceh dan Malaka. Maka,
bisa diperkirakan bahwa, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-15 hingga ke-16 M.
4. Wilayah Kekuasaan
Segati hanyalah sebuah kerajaan kecil, dengan luas wilayah diperkirakan hanya mencakup beberapa desa yang ada
di hulu Sungai Segati. Jika dibandingkan secara geografis, mungkin luas wilayahnya setara dengan luas kecamatan
saat ini. Saat itu, Kerajaan Segati menguasai bagian hulu Sungai Segati, sekitar daerah Langgam sekarang.
5. Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Segati menganut agama Budha, namun, tidak ada penjelasan bagaimana sikap relijiusitas masyarakat
Segati saat itu. Unutk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bergantung dari sektor pertanian. Ketika
kerajaan masih dalam keadaan jaya, masyarakat banyak juga yang aktif di sektor perdagangan.
Bagaimana dengan tradisi tulis baca, ritual keagamaan maupun sisi sosial budaya lainnya? karena minimnya data
sejarah, terutama peninggalan tertulis, maka agak sulit untuk menggambarkan secara detil mengenai kehidupan
sosial budaya saat itu.

PENINGGALAN KERAJAAN SEGATI

Makam Raja Segati

Bekas Peninggalan Istana Raja Segati


Peninggalan Kerajaan Siak

Istana Siak Mesjid Istana Syahabuddin Siak

Kotak Musik Komet Kerajaan Siak

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, anak dari Sultan Mahmud Shah
sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke Pagaruyung bersama ibundanya Encik Apong. Raja kecil
yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam
perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang
diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa.
Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur
pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam
memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dlm bahasa Sanskerta, sri
berarti “bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan “kota” atau
“kerajaan”. Siak dlm anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-
orang yg ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak. . Nama
Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan & India, Sihag atau Asiagh yg bermaksud
pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yg disebut oleh masyarakat Romawi,
dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada
sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yg dinamakan sebagai Orang Sakai.
Kesultanan Siak Sri Inderapura ialah sebuah Kerajaan Melayu Islam yg pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau, Indonesia.
Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723,
sesudah sebelumnya terlibat dlm perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai
sebuah kerajaan bahari yg kuat & menjadi kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur Sumatera & Semenanjung
Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di
Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan
ini tak lepas dari persaingan dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Istana Siak Sri Inderapura atau Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur merupakan kediaman
resmi Sultan Siak yang mulai dibangun pada tahun 1889, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Istana
ini merupakan peninggalan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang selesai dibangun pada tahun 1893. Kini istana ini
masuk wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Siak. Kompleks istana ini memiliki luas sekitar 32.000 meter
persegi yang terdiri dari 4 istana yaitu Istana Siak, Istana Lima, Istana Padjang, dan Istana Baroe. Istana Siak sendiri
memiliki luas 1.000 meter persegi.
Istana Siak memiliki arsitektur bercorak Melayu, Arab, dan Eropa. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai bawah
dibagi menjadi enam ruangan sidang: Ruang tunggu para tamu, ruang tamu kehormatan, ruang tamu laki-laki, ruang
tamu untuk perempuan, satu ruangan di samping kanan adalah ruang sidang kerajaan, juga digunakan untuk ruang
pesta. Lantai atas terbagi menjadi sembilan ruangan, berfungsi untuk istirahat Sultan serta para tamu istana. Di
puncak bangunan terdapat enam patung burung elang sebagai lambang keberanian Istana. Sementara pada halaman
istana masih dapat dilihat delapan meriam menyebar ke berbagai sisi-sisi halaman istana, kemudian di sebelah kiri
belakang istana terdapat bangunan kecil yang dahulunya digunakan sebagai penjara sementara.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Komplek Situ Candi Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII
Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan
tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi
kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi
yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan
abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah
ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah
satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.Candi
Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera, merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang
berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah
berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat
dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil
dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama
Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat
bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas
lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa
Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada
tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat
dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi
yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam
komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia.
Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat
dipastikan jenis bangunannya.

Peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan

Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung
Sahilan. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena
tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan
itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah.
Didalam istana ini terdapat beberapa benda peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan, diantaranya
meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang,
payung kerajaan, yang apabila dibuka diyakini masyarakat sekitar maka daerah gunung sahilan
akan turun hujan, sebuah guci yang pada musim kemarau terisi penuh, tapi ketika musim hujan
gucinya kosong, kata masyarakat setempat yang menyakininya., tempat tidur beserta kasur dan
beberapa photo lama yang terpajang didalam istana.

Peninggalan Kerajaan Pelalawan

Istana Sayap
Istana ini didirikan pada masa Pemerintahan Sultan Assyaidi Syarif Hasim (1892—1930 M), raja ke-11
Kerajaan Pelalawan, pada tahun 1910. Istana Pelalawan yang sudah direkonstruksi pada tahun 2003 dapat
ditemui di desa Pelalawan 30 Km dari kota Pangkalan Kerinci, Riau. Pemerintah Daerah setempat
mengharapkan tempat ini ramai dikunjungi wisatawan. Istana ini juga dikenal dengan sebutan istana
Sayap karena terdiri dari bangunan utama seluas 4.327 meter persegi dan diapit dua bangunan penunjang
di kanan dan kirinya dengan luas masing-masing 103, 5 meter persegi. Istana megah dan menawan ini
memiliki bangunan utama bercat kuning dengan memiliki tangga melengkung yang dipenuhi ukiran khas
Melayu di tiap anak dan pegangan tangga. Bangunan ini disokong empat tiang beratap limas yang disebut
Balai Penghadapan, tempat tamu dan masyarakat menghadap raja. Empat tiang ini merupakan simbol
bahwa kerajaan memiliki empat orang wakil. Dua bangunan yang mengapit kiri dan kanan bangunan
utama bercat hijau merupakan Balai Panca Persada dan Balai Ruang sari. Kedua balai tersebut adalah
tempat bermusyawarah dan memutus perkara menyangkut urusan masyarakat.

Peninggalan Kerajaan Indragiri

Indragiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Indra”yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan
yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai. Kerajaan
Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada
generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan
Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II yang bergelar Zirullah Fil Alam. Istana Kerajaan Indragiri salah satu
objek Wisata Riau yang paling ramai dikunjungi. Istana yang dibangun dalam kurun waktu tujuh tahun semasa
pemerintahan Bupati Thamsir Rahman tersebut, sedianya dijadikan objek wisata. Namun yang terjadi saat ini,
istana tersebut lebih banyak digunakan oleh muda-mudi sebagai tempat pacaran. Istana Indragiri yang asli
sebelumnya telah roboh pada 1964 karena terkena abrasi Sungai Indragiri. Sementara lokasi replika terletak sekitar
100 meter dari lokasi istana yang asli.

Peninggalan Kerajaan Rokan

Istana Rokan terletak sekitar 300 kilometer dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau dan sekitar 65 Kilometer dari
Pasir Pangaraian, Ibu kota Kabupaten Rohul, dan hanya 28 kilometer dari Kota Ujung Batu, dengan lalu lintas yang
lancar dengan akses jalan menuju kesana sudah diaspal. Wilayah Rokan IV Koto, banyak terdapat bahan baku
pertambangan seperti batu bara dan batuan Kapur (bahan dasar semen), berlokasi di sebelah barat sekitar 20 Km
dari ibu kota kecamatan. Kemudian, juga memiliki potensi sumber air sungai yang bisa dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Selain istana kerajaan, di Rokan juga terdapat beberapa objek wisata seperti, Air terjun yang disebut Ujan Lobek,
komplek makam – makam Raja Rokan, Goa, Wisata alam pemandangan sungai, Air terjun Sungai Tolang, dan
masih banyak lagi. Kemudian, di Rokan IV Koto memilki beberapa situs cagar budaya yang menjadi koleksi bukti
keberadaan sejarah dimasa lampau, salah satunya adalah sebuah istana kerajaan yang Rokan yang dulu terletak di
Kelurahan Rokan, namun saat ini sejak pemekaran desa, istana ini sudah masuk Desa Rokan IV Koto Ruang.
Kerajaan Rokan IV koto terletak berdampingan dengan Kerajaan Kunto Darussalam yang sama-sama terletak di
kawasan Rokan Kiri. Sementara tiga kerajaan lainnya terletak di kawasan Rokan kanan, yakni kerajaan Tambusai,
kerajaan Rambah, dan kerajaan Kepenuhan.
Diperkirakan, kerajaan Rokan sudah berdiri sejak abad ke 18, usai runtuhnya kerajaan Rokan Tua.Kini, Istana
Rokan IV koto satu-satunya istana kerajaan yang tersisa di kabupaten Rohul hingga kini.

Anda mungkin juga menyukai