Bendera
Lambang
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Kolonialisme Eropa
Kemunculan Indonesia
Kemerdekaan
Menurut topik
Garis waktu
Portal Indonesia
l
b
s
Kesultanan Siak Sri Indrapura atau Kesultanan Siak adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam
yang pernah berdiri di provinsi Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja
Kecil yang berasal dari Johor bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya
terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai
sebuah kerajaan bahari yang kuat[1] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur
Sumatra dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh
pengaruh kerajaan ini sampai ke pulau Rupat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran di
Sumatra Timur.[2][3][4] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan
penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan
Republik Indonesia.[5]
Etimologi
Kata Siak Sri Indrapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama,
dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja.
Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan
masyarakat Melayu berkaitan erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli
agama Islam; seseorang yang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.[6][7]
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau
Asiagh yang bermakna pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[8] masyarakat
nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh
Strabo, seorang penulis geografi dari Yunani.[9] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak
sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.[10]
Agama
Perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran
dakwah Islam. Hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu.
Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat
bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-
orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan
Orang Siak.[7] Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai
nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.[11][12]
Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, tetapi terdapat sedikit pengaruh
Minangkabau dengan identitas matrilinealnya yang masih mewarnai tradisi masyarakat Siak.
Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku
dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa warisan dalam
bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[13]
Masa awal
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak
merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan
pelabuhan raja Minangkabau,[14] kemudian menjadi vasal Kesultanan Melaka sebelum
ditaklukkan oleh Portugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah
mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga
kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak.[2]
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas
mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh
Kesultanan Johor.[4] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang
pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.[15] Berdasarkan
korespondensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Melaka saat itu, disebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya
yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[16] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam
suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil
dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[17]
Sebelumnya dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan dari
Johor meminta bantuan raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi.[18] Dalam salah
satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke
Johor (1673),[19] yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya
juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[20][21] Kemudian berdasarkan surat dari raja
Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil
hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[22]
Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor[2] sekaligus
mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun
pada tahun 1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara
Johor, yang juga menuntut hak atas takhta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran dari Bugis, Raja
Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta takhta Johor, dan mengukuhkan dirinya menjadi
penguasa Johor di Semenanjung Malaka. Sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan
pada tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama
Siak Sri Indrapura.[4] Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar
muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing
penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah takhta Johor,
diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang
bermukim pada kawasan Kepulauan Riau yang membentang dari timur Sumatra sampai ke Laut
Tiongkok Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil
berikutnya.[23]
Masa keemasan
Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak pada tahun 1888 Upacara penobatan Sultan
Siak pada tahun 1899
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[3] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan
perluasan wilayah, dimulai dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan
kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun, pada 1728, atas perintah Raja
Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari
Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya.
Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[23]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun
kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatra. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil
kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[24] Karena
mendapat ancaman dari Siak, dan pada saat yang bersamaan orang-orang Bugis juga meminta
balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Dalam
perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan
Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan
gudang pada kawasan tersebut.[25][26]
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Pengantinya, Sultan
Mahmud, berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatra dan daerah vasal di
Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat
perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan
wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[27] Setelah Raja Mahmud wafat, muncul
dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda
kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai Belanda,
muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan,
dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[28]
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang
Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatra, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan
Kelantan. Hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail
dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat
signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan,
Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari
gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima
oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.[28]
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur
Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah
tersebut dalam pengawasannya,[29] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[30] Di bawah ikatan
perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC
menyerang dan menundukkan Selangor.[31] Sebelumnya mereka telah bekerja sama
memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Perdagangan
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini, berpengaruh besar terhadap
kemajuan perekonomian Siak Sri Indrapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan
berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar, timah, dan emas. Pada saat
bersamaan, Kesultanan Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka dan
salah satu kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal maupun bangunan. Dengan cadangan
kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses
langsung ke sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada
VOC. Namun, tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu
di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[35]
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatra dan Semenanjung
Malaya cukup signifikan. Mereka mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas
penguasaan jalur perdagangan. Selain itu, Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci
ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan,
yang mana sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian, kemajuan
perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau
yang dikenal dengan Perang Padri.[27]
Penurunan
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima
tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun
1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara
wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.[42] Demikian juga pihak
Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia Belanda,
[43]
setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[27][44] Dari
perjanjian tersebut Siak Sri Indrapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap
pengangkatan raja, Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam
pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak
membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda. [27]
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal
Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan
Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[45] Tarik ulur kepentingan kekuatan asing
terlihat pada Perjanjian Sumatra antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada
posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.[46] Kemudian berdasarkan
perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia Belanda memaksa Sultan Siak, untuk
menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau.[47] Namun, di tengah tekanan tersebut,
Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,[5] walau pada masa
pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti
lagi.[butuh rujukan]
Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra. Seiring
dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung
dengan negara Republik Indonesia.[5]
Struktur pemerintahan
Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan di Kerajaan
Ottoman. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak.[48]
Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi
masyarakatnya.[13][49] Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Bengkalis
2. Datuk Pelelawan
3. Datuk Meranti
4. Datuk Indragiri
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Indrapura juga melakukan pembenahan sistem
birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang
berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial Belanda dan Inggris.
Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang
diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan
Abjad Jawi atau tulisan Arab-Melayu. Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri
Indrapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau
jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan
maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut, ditutup dengan
peringatan serta perintah untuk tidak berkhianat kepada sultan dan nagari.[50]
Pada perkembangan selanjutnya, Siak Sri Indrapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum
atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id.[51] Kitab ini dicetak di Siak tahun
1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang
terlibat perkara dengan suku Melayu. Namun, tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan
pihak pemerintah Hindia Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara
bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia Belanda.[13]
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai
Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak
serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya, beberapa nama jabatan lainnya dalam
pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa,
Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-
harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendahari Sriwa Raja yang bertanggung jawab
terhadap pusaka kerajaan.[50]
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir,
masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[47] yang dipimpin oleh
seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada
Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Bugis dan
Arab mewarnai Kesultanan Siak,[52] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara
Patapahan.[53]
Pada kawasan tertentu, ditunjuk Kepala Puak yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko
Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan
kedudukan yang sama dengan Penghulu, tetapi memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang
tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah
Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan
pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.[13][49][54]
Pembagian Administrasi
Menurut Bab Al-Qawa'id[51], kitab hukum kesultanan Siak, wilayah administrasi kesultanan
dibagi ke dalam 10 propinsi, setiap propinsi dipimpin oleh hakim polisi yang memiliki gelar
masing-masing. Untuk urusan keagamaan, tiap provinsi tersebut ditunjuk seorang imam jajahan
sebagai hakim syari'ah. Adapun pembagiannya adalah:
Tengku Besar yang terkenal adalah Sayyid Sagaf, sepupu Sultan Syarif Kasim II yang ditunjuk
sebagai wali sultan (regent) bertugas menjalankan pemerintahan semasa sultan menempuh
pendidikan di Batavia dan belum diresmikan sebagai sultan.[55]
Batas-batas negeri: Dari Sungai Sinaboi mengikuti Tanah Besar masuk ke Sungai Rokan
sebelah kiri sampai ke sungai Lang dan mengikut sebelah kanan mudik Sungai Rokan
dari Sungai Dua Perkaitan sampai ke Tanjung Segerak dan pulau kecil-kecil mana yang
masuk dalam kerajaan Siak Sri Indrapura yang dekat situ.
Hakim Polisi negeri Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa atau Datuk Indra Setia.
Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Kubu.
Batas-batas negeri: Dari sungai Dua Pekaitan mengikut Tanah Besar lalu sampai ke
Telaga Tergenang watasan dengan Negeri Panai ke daratan sampai ke hulu watasan
dengan Negeri Kota Pinang dan Pulau Jemur dan Pulau Tokang Sumbang dan Pulau
Lalang Besar dan Pulau Lalang Kecil dan Pulau kecil-kecil mana yang masuk dalam
kerajaan Siak Sri Indrapura yang dekat situ dan ditarik satu garis dari Telaga Tergenang
melalui Berubul menuju hulu sungai Dayun yang di dalam Batang Komo watasan dengan
Tanah Poetih.
Hakim Polisi Negeri Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara Muda Sekijang.
Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Sekijang.
Batas-batas negeri: Dari Kuala Tapung Kanan sampai ke Bukit Suliki watasan dengan Sri
Paduka Gubernemen Pesisir Barat sampai watasan dengan Empat Kota Rokan Kanan dan
sampai watasan dengan negeri Kunto dan sampai watasan dengan Batin Delapan Sakai
dan sampai watasan dengan negeri Tapung Kiri sampai watasan dengan Tanah Mandau
Batin Lima Sakai.
Warisan sejarah
Sungai Siak yang bermuara di kawasan timur pulau Sumatra