Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat
beragama, dalam bahasa Sanskerta, sriberarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat
bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam
anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah
orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat
dikatakan sebagai Orang Siak.

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India,
Sihag atau Asiagh yang bermaksudpedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,
masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai
Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran
Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai
Orang Sakai

Pada masa awal Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama islam.
Setelah itu perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu
pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di
kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun,
syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau mengislamkan dataran tinggi
pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak
dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, rumusan masalah yang digunakan adalah :

1. Sejarah berdirinya kerajaan Siak

2. Sistem Pemerintahan di kerajaan Siak

3. Masa Kejayaan Kerajaan Siak

4. Berakhirnya Kerajaan Siak


5. Peninggalan seni dan Budaya dari Kerajaan Siak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berdirinya Kerajaan Siak

Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya


perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil)
dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam
konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu,
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus
ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan.
Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini.

Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap,
dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan
Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada
perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada
tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.

Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan
militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali
melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia
mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil
Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.

Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa
negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik
dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak
pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal
adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang
Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak,tapi itu bukanlah hasil
kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat.

Selama berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di
Buantan, Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di Kota
Tinggi, yang lebih dikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.
Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946.
Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk
bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari
jajahan Belanda. Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari
Republik Indonesia.

Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu,
Tanah Putih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai,
Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri
dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai
dengan Kerajaan Siak.

Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan
Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan
Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.

2.2 Sistem Pemerintahan

Menurut Bab Al-Qawa'id, kitab hukum kesultanan Siak, wilayah administrasi


kesultanan dibagi ke dalam 10 propinsi, setiap propinsi dipimpin oleh hakim polisi yang
memiliki gelar masing-masing. Untuk urusan keagamaan, tiap propinsi tersebut ditunjuk
seorang Imam jajahan sebagai hakim syari'ah. Adapun pembagiannya adalah:
1. Propinsi Siak
Hakim polisi propinsi Siak bergelar Tengku Besar.
Tengku Besar yang terkenal adalah Sayyid Sagaf, sepupu Sultan Syarif Kasim II yang
ditunjuk sebagai wali sultan (regent) bertugas menjalankan pemerintahan semasa sultan
menempuh pendidikan di Batavia dan belum diresmikan sebagai sultan.
Hakim Syari'ah propinsi Siak adalah Qadhi negeri Siak.
2. Propinsi Tebing Tinggi
Hakim polisi negeri Tebing Tinggi bergelar Tengku Temenggung Muda.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Tebing Tinggi.
Batas-batas negeri: Pulau Rantau Tebing Tinggi, Pulau Rangsang atau Medan atau
Randang, Pulau Tupang Dalam, Pulau Tupang Luar, dan Pulau Menggung, dan juga pulau-
pulau kecil yang masuk dalam Kerajaan Siak.
3. Propinsi Merbau
Hakim polisi negeri Merbau bergelar Orang Kaya Setia India.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Merbau.
Batas-batas negeri: Pulau Merbau, Pulau Padang, dan pulau-pulau kecil yang masuk dalam
kerajaan.
4. Propinsi Bukit Batu
Hakim polisi negeri Bukit Batu bergelar Datuk Laksmana.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Bukit Batu.
Batas-batas negeri: Tanjung Pematang Duku, tepatnya Tanjung Balai menyusuri tanah
besar ke sungai Senaboi sampai bertemu dengan batasan batin Delapan Sakai. Kemudian
bertemu dengan batas batin Lima sakai, Pulau Rupat, Selat Murung, Pulau Ketam, Pulau
Payung, Pulau Wampu, Pulau Rampung dan pulau-pulau kecil yang termasuk wilayah
kerajaan.
5. Propinsi Bangko
Hakim polisi negeri Tebing Tinggi bergelar Datuk Dewa Pahlawan.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Bangko.
Salah satu Imam Bangko yang dikenal bernama Imam Abdullah[59].
6. Propinsi Tanah Putih
Hakim polisi negeri Tanah Putih bergelar Datuk Setia Maharaja.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Tanah Putih.
7. Propinsi Kubu
Hakim polisi negeri Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa atau Datuk Indra Setia.
Hakim syari'ah bergelar Imam negeri Kubu.
8. Propinsi Pekanbaru
Hakim polisi negeri Pekanbaru bergelar Datuk Syahbandar.
Hakim syari'ah bergelar Imam di negeri Pekanbaru.
9. Propinsi Tapung Kanan
Hakim polisi negeri Tapung Kanan bergelar Datuk Bendahara Muda Sekijang.
Hakim syari'ah bergelar Imam di negeri Sekijang.
10. Propinsi Tapung Kiri
Hakim polisi negeri Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara.
Hakim syari'ah bergelar Imam di Petapahan.

Para Sultan yang pernah memerintah di kerajaan Siak adalah sebagai berikut :
1. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 – 1744)

2. Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760)

3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)

4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)

5. Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)

6. Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)

7. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)

8. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)

9. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)

10. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)

11. Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 – 1889)

12. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 – 1908)

13. Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 – 1946).

2.3 Masa Kejayaan Kerajaan Siak

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil
melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah
Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada
tahun 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya,
Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan
sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi
kedudukan di Pulau Penyengat.
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai
membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-
1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung
Malaya. Karena mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang bersamaan orang-orang Bugis
juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda
di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan
akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC
dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya
Sultan Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan
daerah vassal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761,
Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan
hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja
Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang
lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang
tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai
ke Laut Cina Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh
Orang Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan
mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan
Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja
Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan
Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda
menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur
pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan
sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.
Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946.
Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk
bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari
jajahan Belanda. Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari
Republik Indonesia.
Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu,
Tanah Putih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai,
Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri
dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai
dengan Kerajaan Siak.
Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan
Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan
Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir
timur Sumatera. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan
wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah
ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC
menyerang dan menundukkan Selangor. Sebelumnya mereka telah bekerja sama
memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.

2.4 Berakhirnya Kerajaan Siak

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu


dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan
Asahan, Kesultanan Langkat, dan kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.
Begitu juga di Johor, di mana seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali
didudukkan, dan berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda
memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian
mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit
wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk
menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya
pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan
terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda, setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada
1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya,
kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda.
Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta
melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan
pemerintahan Hindia Belanda.
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian
internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni
Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya Tarik ulur kepentingan
kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda,
menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.
Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia Belanda memaksa
Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah
tekanan tersebut, Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,
walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan
Siak sudah tidak berarti lagi.
Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya
bergabung dengan negara Republik Indonesia. Kerajaan Siak adalah kerajaan yang tetap
berdaulat hingga akhirnya berintegrasi dengan Indonesia serta menyerahkan kekayaan berupa
uang sejumlah 13 gulden, beberapa butir berlian dan barang berharga lainnya yang digunakan
sebagai bekal perjuangan mendirikan NKRI.

2.5 Peninggalan Seni dan Budaya dari Kerajaan Siak


Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari
Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri
Inderapura yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan
masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat
kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di
Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama
sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan
timur pulau Sumatera.
Sebagai akibat dari pengaruh agama Islam, tidak terdapat perbedaan yang mencolok
antara rakyat jelata dengan bangsawan. Golongan bangswan yang termasuk didalamnya
adalah keluarga sultan, pembantu-pembantu sultan dan pegawai Istana. Mereka bertugas
untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, sedangkan masyarakat sebagai rakyatnya
bertugas untuk melaksanakan kehidupan mereka masing-masing dan juga untuk menunjang
kehidupan perdagangan seperti bertani sebagai petani, menjaring ikan sebagai nelayan serta
mengumpulkan hasil-hasil hutan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Sultan selain bertindak sebagai seorang kepala negara
dan pemerintahan juga bertindak sebagai kepala agama. Oleh karena kedudukan sultan ini,
maka rakyat semakin kuat keinginannya untuk memeluk agama Islam karena selain
didasarkan pada keinginan sendiri juga karena mengikuti perintah sultan untuk memeluk
agama Islam.
Selain itu, di daerah-daerah ini juga dibangun mesjid-mesjid yang selain digunakan
untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah, mengajarkan agama
Islam, dan mendidik kader-kader dakwah. Di mesjid sendiri berkumpul unsur pimpinan
agama Islam yaitu khadi, imam, khatib dan bilal. Di samping adanya mesjid ini, dibangun
pula surau yang berfungsi sama seperti mesjid. Yang membedakan antara mesjid dan surau
adalah, di mesjid terdapat mihrab, sedangkan di surau tidak terdapat mihrab.
Dalam bidang kesenian sendiri, sebagai akibat dari pengaruh Islam, muncul kesenian
yang baru seperti bangunan mesjid, seni ukir, seni sastra, syair-syair dan bahasa. Seni
bangunan mesjid yang bercampur dengan kebudayaan lama seperti punden berundak-undak
yang dicampurkan dengan menara dan mihrab. Selain itu, perkembangan seni sastra juga
semakin pesat dengan munculnya syair, gurindam, hikayat, zikir dan tarombo.
Perkembangan sastra yang pesat ini memunculkan antara lain syair perang siak,
Hikayat Hasan dan Husin, Hikayat Bayan Budiman, Tarombo Siri dan Tambusai. Jenis
kesenian lain yang juga berkembang adalah seni suara yang bercorak Islam seperti bersanji,
berzikir, berhikayat, berdah dan qasidah.
Peninggalan kerajaan berupa komplek Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan
Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama Istana
Asserayyah Al Hasyimiah. Istana Asserayyah Al Hasyimiah ini disebut juga "Istana Matahari
Timur" ditukangi oleh arsitekdari Jerman yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa, India dan
Arab dengan perpaduan tradisional.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah
berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil,
anak dari Sultan Mahmud Shah sultan Kesultanan Johor yang dibunuh dan dilarikan ke
Pagaruyung bersama ibundanya Encik Apong. Raja kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil
pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam
perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan
menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di
tengah tekanan imperialisme Eropa.
Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat,
sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut
kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan
di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan
Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

3.2 Saran
Kerajaan Siak bergabung dengan Republik Indonesia dalam keadaan berdaulat. Bukan
hanya itu, Kerajaan Siak juga menyerahkan banyak harta kekayaan saat bergabung dengan
Republik Indonesia berupa uang 13 juta gulden dan barang berharga lainnya. Oleh karena itu,
harus juga diingat betapa besarnya jasa kerajaan Siak terhadap NKRI.
TUGAS BUDAYA MELAYU

KERAJAAN SIAK SRI INDRAPURA

DISUSUN OLEH

SMA NEGERI 2 LUBUK DALAM


TAHUN PELAJARAN 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai