Anda di halaman 1dari 5

HISTORIOGRAFI KERAJAAN SRIWIJAYA

Balaputradewa satu-satunya raja Sriwijaya yang diingat banyak


orang. Dia terkenal sampai India karena membangun asrama
bagi pelajar Sriwijaya di Nalanda. Padahal, Sriwijaya mulai
maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad 7.
Namanya memudar pada abad 12.

Sementara Balaputradewa menjadi raja Sriwijaya pada abad 9.


Lantas siapa saja yang menjadi raja Sriwijaya? Pertanyaan ini
cukup merepotkan para ahli.

“Dalam kajian Sriwijaya yang menyulitkan kita adalah


menyusun genealogi raja-rajanya, karena prasasti tak menyebut
nama raja dengan terang,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog
senior Puslit Arkenas, kepada Historia.

Tak jelas juga siapa yang memulai imperium besar ini.


Informasi awal muncul dalam Prasasti Kedukan Bukit bernama
Dapunta Hyang. Namun, sesungguhnya yang disebut prasasti
dari tahun 682 itu hanyalah gelar.

Untungnya, Prasasti Talang Tuo memperjelasnya. Ditemukan di


Palembang, prasasti dari tahun 684 ini menyebut tokoh Dapunta
Hyang Sri Jayanaga. Kedua tokoh itu dianggap orang yang sama
karena prasasti itu dikeluarkan dalam jarak waktu berdekatan.

“Kita baru tahu nama lengkapnya setelah ditemukan prasasti


tentang taman, Prasasti Talang Tuo,” ujar Bambang.
Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya berdasarkan isi
Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga dipuja
dengan doa yang muluk setelah dia memerintahkan pembuatan
taman Sriksetra. Taman yang ditanami beraneka buah-buahan
itu diciptakan demi kehidupan semua makhluk.
 
“Jadi logisnya Dapunta Hyang adalah gelar raja Sriwijaya yang
bernama Sri Jayanaga,” catat Slamet Muljana.

Siapa yang melanjutkan pemerintahannya?

Menurut Bambang, informasinya terputus sampai muncul nama


Balaputradewa. Ada petunjuk kecil dari Prasasti Ligor A dan
kronik Tiongkok. Prasasti itu menyebut raja Sriwijaya
menyerupai Indra yang membangun kuil di Ligor (kini, Nakhon
Si Thammarat di Thailand selatan) pada 775. 

Hsin-t’ang-hsu, catatan sejarah yang disusun berdasarkan berita


Ch’iu T’ang Shu atau sejarah lama, ketika Dinasti Sung
berkuasa pada abad 11. Tercatat Kerajaan Shih-li-fo-shih
(Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673 dan
713-741.

Pada 724, seorang utusan bernama Kiu-mo-lo (Kumara) datang


ke Tiongkok. Kaisar memberi gelar jenderal padanya. Dia juga
memberi gelar pada raja Sriwijaya bernama Che-li-to-le-pa-mo
(Sri Indrawarman).

“Jika masa pemerintahan itu kita hubungkan dengan Prasasti


Ligor A, yaitu 775, maka selisih 51 tahun, mungkin Sri
Indrawarman masih memerintah, mungkin juga sudah diganti
putranya,” tulis Slamet. Bisa jadi raja yang dilukiskan serupa
Dewa Indra oleh Prasasti Ligor A adalah Sri Indrawarman atau
anaknya yang entah siapa namanya.

Tak banyak lagi informasi mengenai pemegang takhta


berikutnya. Permasalahan genealogi kian ruwet ketika sampai ke
Balaputradewa dalam suksesi Sriwijaya. Dalam Prasasti
Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa mengaku keturunan
Sailendra, sebuah wangsa di Jawa. Ini menjadi pertanyaan
bagaimana seorang keturunan Jawa bisa berkuasa di Sumatra.

Namun, setidaknya dia menjadi raja Sriwijaya lebih jelas.


Prasasti itu menyebut namanya sebagai Maharaja di
Suwarnadwipa, sebutan lama bagi Sumatra yang identik dengan
Sriwijaya.

Setelah Balaputradewa, ada dua nama yang disebut dalam


kronik Tiongkok sebagai raja di San-Bo-Zhai (Sumatra).
Namun, keduanya tak didukung data prasasti. Dalam catatan
Sejarah Dinasti Song (960-1279), disebutkan pada 960, Si-ri-hu-
da-xia-li-tan mengirimkan utusan ke Tiongkok. Rajanya
bernama Si-ri-wu-ya. Dua puluh tahun kemudian, rajanya sudah
berganti. Ha-chi atau Haji (Aji) tertulis sebagai raja yang
mengirim utusan ke Tiongkok pada 980.

Informasi agak terang muncul soal dua raja selanjutnya. Selain


dari catatan Sejarah Dinasti Song, kedua raja ini juga disebut
dalam prasasti berbahasa Tamil, Prasasti Leiden dari tahun
1005.

Kronik Tiongkok menyebut pada 1003, Raja Si-ri-zhu-la-wu-ni-


fo-ma-diao-hua mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan ini
menyampaikan kepada kaisar kalau mereka mendirikan vihara
Buddha bagi sang kaisar. Untuk itu mereka memohon agar
penguasa Tiongkok bersedia memberikan nama dan genta. Pada
1008, penggantinya, Se-ri-ma-la-pi juga mengirim utusan ke
Tiongkok.

Kedua raja itu merupakan ayah dan anak. Dalam Prasasti Leiden
disebutkan Sri Marawijayotunggawarman, putra Raja
Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan
Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana.
Sementara sang ayah menghadiahkan sebuah biara bernama
Cudamaniwarmanwihara. Hadiah ini, diberikan pada tahun
pertama pemerintahan Raja Cola, Rajaraja I (1005/1006).

Berikutnya, pada 1017 berita Tiongkok kembali menyebut Raja


Ha-chi-su-wu-cha-pu-mi mengirimkan utusan yang membawa
surat berhuruf emas dan beberapa hadiah kepada kaisar. Pada
1028, raja yang berbeda, Raja Si-li-die-hua atau mungkin dibaca
Sri Deva, mengutus bawahannya ke Tiongkok. Dua tahun
sebelum utusan ini datang, Sriwijaya diserang Kerajaan Cola
dari India Selatan. Dalam Prasasti Tanjore (1030) disebutkan
Raja Sangramawijayattungawarman ditawan.

Dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, George Coedes


memperkirakan raja yang ditawan itu segera diganti. Yang
tercatat dalam kronik Tiongkok itu bisa jadi adalah raja yang
menggantikan.

Bambang menjelaskan, Sriwijaya masih tercatat mengirimkan


bantuan ke Tiongkok dalam pembangunan kuil Tao di Kanton.
Dalam Prasasti Kanton (1079) tercatat perbaikan kuil T’ien
Ching dilakukan atas biaya raja San-fo-ts’i bernama Ti-hu-ka-lo.

Nama itu mungkin yang terakhir dari berita-berita tentang


penguasa Sriwijaya. Informasi penguasa di Suwarnadwipa baru
muncul kembali saat di Jawa sudah berkuasa Krtanagara, raja
Singhasari. Namun, agaknya kekuasaan di Sumatra sudah
beralih dari Sriwijaya ke Kerajaan Melayu. Pusat kekuasaannya
berubah ke Dharmmasraya di barat Sumatra.

Lewat Prasasti Padang Roco (1286) yang ada di lapik arca


Amoghapasa diketahui kalau Krtanagara menghadiahi rakyat
Bhumi Malayu arca itu. Raja di Bhumi Malayu itu bernama Sri
Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.

Gelar Srimat sebelumnya juga pernah muncul. Ia tercantum


dalam Prasasti Grahi (1183) untuk raja bernama Srimat
Trailokyaraja Mauplibhusanawarmadewa. Adapun prasasti ini
berada di Chaiya, selatan Thailand yang sebelumnya pernah
menjadi negeri bawahan Sriwijaya.

Menurut Slamet Muljana, gelar Srimat dan nama Mauli hanya


dikenal oleh raja-raja Melayu. Tak pernah sebelumnya
digunakan oleh penguasa trah Sailendra, baik di Sumatra
maupun di Jawa.

“Dengan kata lain Kerajaan Sriwijaya pada 1183 sudah runtuh


digantikan Kerajaan Malayu, dan wilayah Semenanjung tak lagi
diperintah Sriwijaya, melainkan Kerajaan Melayu,” jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai