Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini berkembang pada
abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa, keterangan
mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada masa Dinasti Warmadewa
dapat dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan dan
Melatgede.
Kerajaan Buleleng ialah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan
abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I
Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh
wilayah-wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.
Kehidupan Politik
Pada tahun 989 hingga 1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa,
Udayana memiliki tiga putra yakni Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu,
kelak Airlangga akan menjadi terbesar Kerajaan Medang kemulan di Jawa Timur.
Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan
erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri
Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok,
kedudukan Raja Udayana digantikan putranya yakni Marakatapangkaja.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat
yang disebut pakirankiran I Jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta
Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja
atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat, Senapati bertugas di
bidaang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial
dan agama.
Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa
tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua.
Sebagian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani.
Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi
masyarakat.
Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua
kelompok besar yakni golongan caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”, pembagian
ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja anak
Wungus juga mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga dan
keempat dengan nama pengenal sebagai berikut.
Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan berasal dari wayahan yang berarti
tua.
Anak kedua dinamakan made, kata made berasal dari madya yang berarti
tengah.
Anak ketiha dinamakan nyoman, kata nyoman berasal dari nom yang berarti
muda.
Anak keempat dinamakan nyoman, kata ketut berasal dari tut yang berarti
belakang.
Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil,
masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat
mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan
tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang
dipimpinnya.
Kehidupan Ekonomi
Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju, kemajuan ini ditandai dengan
banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan
penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng ialah kuda. Dalam
prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi
perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan
tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu sudah maju sebab kuda
merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk
mengangkutnya.
Kehidupan Agama
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, akan tetapi tradisi
megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan
dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berunduk disekitar
pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa “975-983” pengaruh
Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa
tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu dan Tampaksiring, perkembangan agama
Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca
Buddha di gua Gajah dan stupa dipura Pegulingan.
Agama Hindu dan Buddha mulai mendapatkan peranan penting pada masa Raja
Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah
satu penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan
“inkarnasi” dewa. Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat
Buleleng merupakan penganut waisnawa yakni pemuja Dewa Wisnu. Selain agama
Hindu dan Buddha di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-
dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya “penyembah Dewa Gana” dan Sora
“penyembah dewa Matahari”.
Kerajaan Tulang Bawang
Dalam sumber sejarah Cina yang lain,yaitu Kitab T’ai-p’ing-huang-yu-chi yang ditulis
pada tahun 976-983 M,disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang
oleh G.Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak
di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera,di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).
L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi
pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih,”Petunjuk Pelayaran”.Namun,di
samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan
identifikasi P’o-huang atau ”Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang
(Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat,yaitu di
daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah.Tidak jauh dari desa Bawang
ini,yaitu di desa Hanakau,sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang
dipahatkan pada sebuah batu tegak,dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam beberapa
waktu tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.
1.Sejarah Kerajaan Tulang Bawang
Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana pusat
Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W. Naarding
memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang, yaitu antara
Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km dari pusat Kota
Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini, kerajaan ini terletak di Kabupaten
Tulang Bawang, Provinsi Lampung
Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal
sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian
lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang kolonial
Belanda atau VOC (Oost–indische Compagnie) lebih murah dibandingkan dengan harga
yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini
amat terkenal di Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang
menjadi dermaga “Boom” atau tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai
penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu ini hanya
tinggal rekaman sejarah saja.
2.Periode Pemerintahan
Oleh karena tidak banyaknya catatan sejarah yang mengungkap fakta lebih
dalam lagi seputar Kerajaan Tulang Bawang, maka data tentang periode
pemerintahannya pun masih dalam proses pengumpulan.
3.Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih
dikenal dengan Provinsi Lampung.
4.Struktur Pemerintahan
Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk
sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12
tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang
menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang
Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh Jepang, tidak banyak hal yang berubah.
Setelah Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah
Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem
pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak terjadi di era
otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang terpisah dari
Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala ditetapkan sebagai
Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.
Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui
proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan
pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan
pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981,
Pemerintah Provinsi Lampung kemudian membentuk delapan Lembaga Pembantu
Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981,
dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan
Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.
5.Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang
Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan
tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya,
kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi
yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu
pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk
pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya
masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses
KERAJAAN KAPUR
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan
di pesisir barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur".
Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini
dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan
merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.
Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang
ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia.
Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-
lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah
kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah
menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.
Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan)
Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional
Indonesia.