Anda di halaman 1dari 12

Kerajaan Buleleng

Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini berkembang pada
abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa, keterangan
mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada masa Dinasti Warmadewa
dapat dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan dan
Melatgede.

Kerajaan Buleleng ialah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan
abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I
Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh
wilayah-wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.

Kehidupan Politik

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, berdasarkan prasasti


Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang
gagal menaklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut
menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah
pemerintahan baru diwilayah Buleleng.

Pada tahun 989 hingga 1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa,
Udayana memiliki tiga putra yakni Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu,
kelak Airlangga akan menjadi terbesar Kerajaan Medang kemulan di Jawa Timur.
Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan
erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri
Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok,
kedudukan Raja Udayana digantikan putranya yakni Marakatapangkaja.

Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran hukum


karena ia selalu melindungi rakyatnya, Marakatapangkaja membangun beberapa tempat
peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja ialah kompleks
candi di Gunung Kawi “Tampaksiring”. Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan
oleh adikanya, Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti
Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menaggulangi
berbagai gangguan baik dari dalam maupun luar kerajaan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat
yang disebut pakirankiran I Jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta
Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja
atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat, Senapati bertugas di
bidaang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial
dan agama.

Kehidupan Sosial Budaya

Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa
tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua.
Sebagian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani.
Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi
masyarakat.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua
kelompok besar yakni golongan caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”, pembagian
ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja anak
Wungus juga mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga dan
keempat dengan nama pengenal sebagai berikut.

 Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan berasal dari wayahan yang berarti
tua.
 Anak kedua dinamakan made, kata made berasal dari madya yang berarti
tengah.
 Anak ketiha dinamakan nyoman, kata nyoman berasal dari nom yang berarti
muda.
 Anak keempat dinamakan nyoman, kata ketut berasal dari tut yang berarti
belakang.
Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil,
masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat
mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan
tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang
dipimpinnya.

Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian, kesenian


berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana, pada masa ini kesenian
dibedakan menjadi dua yakni seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal
penyanyi istana yang disebut pagending sang ratu, selain penyanyi dikenal pula
kesenian petapukan “topeng”, pemukul “gamelan”, banwal “gadelan” dan pinus
“lawak”. Adapun jenis kesenian yang berkembang di kalangan rakyat antara lain
awayang ambaran “wayang keliling”, anuling “peniup suling”, atapukan (permainan
topeng”, parpadaha “permainan genderang” dan abonjing “permainan angklung”.

Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi masyakarat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian, keterangan


kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti bulian. Dalam
prasasti bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan sistem bercocok
tanam seperti sawah, parlak “sawah kering”, gaga ” ladang”, kebwan “kebun”, mmal ”
ladang di pegunungan” dan kasuwakan “pengairan sawah”.

Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang pesat,


perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut-urutan menanam padi
yakni mbabaki “pembukaan tanah”, mluku “membajak”, tanem “menanam padi”, matun
“menyiang”, ani-ani “menuai padi” dan nutu “menumbuk padi”. Dari keterangan
tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan
tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa ini.

Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju, kemajuan ini ditandai dengan
banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan
penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng ialah kuda. Dalam
prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi
perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan
tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu sudah maju sebab kuda
merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk
mengangkutnya.

Kehidupan Agama

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, akan tetapi tradisi
megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan
dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berunduk disekitar
pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa “975-983” pengaruh
Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa
tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu dan Tampaksiring, perkembangan agama
Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca
Buddha di gua Gajah dan stupa dipura Pegulingan.

Agama Hindu dan Buddha mulai mendapatkan peranan penting pada masa Raja
Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah
satu penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan
“inkarnasi” dewa. Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat
Buleleng merupakan penganut waisnawa yakni pemuja Dewa Wisnu. Selain agama
Hindu dan Buddha di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-
dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya “penyembah Dewa Gana” dan Sora
“penyembah dewa Matahari”.
Kerajaan Tulang Bawang

Dari sumber-sumber sejarah Cina,kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung


adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang.Berita Cina tertua yang
berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5,yaitu dari kitab Liu-sung-
Shu,sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420-479).Kitab ini
di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di
wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan
utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina.Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu
mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang
yang diperdagangkan ke Cina.Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang
dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6,seperti
halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain,yaitu Kitab T’ai-p’ing-huang-yu-chi yang ditulis
pada tahun 976-983 M,disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang
oleh G.Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak
di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera,di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).
L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi
pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih,”Petunjuk Pelayaran”.Namun,di
samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan
identifikasi P’o-huang atau ”Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang
(Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat,yaitu di
daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah.Tidak jauh dari desa Bawang
ini,yaitu di desa Hanakau,sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang
dipahatkan pada sebuah batu tegak,dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam beberapa
waktu tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.
1.Sejarah Kerajaan Tulang Bawang

Sejarah Kerajaan Tulang Bawang

Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri


di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang
Bawang, Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan
keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah
mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang
peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-
Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera).
Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang
pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa
memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding
memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang
(antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota
Menggala.

Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya),


nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai
kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat,
namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap
khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa
selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis
yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.

Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di


Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini.
Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran
Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar
pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-
422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah
di sebuah kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang(Tulang Bawang), tepatnya di
pedalaman Chrqse (Sumatera).

Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-


Tsing yang pernah singgah diSwarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya
ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat
daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilah Tola
P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya,
kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya
berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan
lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To.
Sehingga, kata solapunatau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama
kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu


dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh
ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran
tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian
orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan
budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P‘ohwang diberi nama
lain, yaitu Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.

Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana pusat
Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W. Naarding
memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang, yaitu antara
Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km dari pusat Kota
Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini, kerajaan ini terletak di Kabupaten
Tulang Bawang, Provinsi Lampung

Sekitar abad ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal
sebagai pusat perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian
lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang kolonial
Belanda atau VOC (Oost–indische Compagnie) lebih murah dibandingkan dengan harga
yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya, komoditi ini
amat terkenal di Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang
menjadi dermaga “Boom” atau tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai
penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu ini hanya
tinggal rekaman sejarah saja.

Kerajaan Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi sistem pemerintahan yang


masih berkembang hingga kini. Nama kerajaan ini kemudian menjadi nama Kabupaten
Tulang Bawang, namun sistem dan struktur pemerintahannya disesuaikan dengan
perkembangan politik modern.

2.Periode Pemerintahan

Oleh karena tidak banyaknya catatan sejarah yang mengungkap fakta lebih
dalam lagi seputar Kerajaan Tulang Bawang, maka data tentang periode
pemerintahannya pun masih dalam proses pengumpulan.

3.Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih
dikenal dengan Provinsi Lampung.

4.Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya.


Berikut ini akan dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah Tulang
Bawang pada masa pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808, pemerintahan Kesiden
Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berada di bawah pengawasan
langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini berakibat pada penataan ulang
pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat.
Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman Wiliam
kemudian membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga
(Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan,
Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru, yaitu
Buay Aji.

Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk
sistem Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12
tanggal 31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang
menguntungkan kepentingan Hindia Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang
Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh Jepang, tidak banyak hal yang berubah.
Setelah Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah
Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan sistem
pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak terjadi di era
otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang terpisah dari
Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala ditetapkan sebagai
Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.

Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui
proses pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan
pemerintah yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan
pembentukan Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981,
Pemerintah Provinsi Lampung kemudian membentuk delapan Lembaga Pembantu
Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981,
dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan
Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.

Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang


Bawang diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret
1997. Sebagai tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan dalam UU No. 2
Tahun 1997 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten
Tingkat II Tagamus.

5.Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang
Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan
tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya,
kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi
yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu
pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk
pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya
masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses
KERAJAAN KAPUR

A. Sejarah Kerajaan Kota Kapur


Jika dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota
Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai
kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa
sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-
sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap
dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip
dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung
Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7
masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu
dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan
pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah
arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut
nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa,
seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa
benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari
timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan
ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa
antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang
isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau
Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu
gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak
dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan
awal yang ada di Pulau Bangka.

B. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan
di pesisir barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur".
Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu
Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini
dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan
merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.
Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang
ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia.
Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-
lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah
kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah
menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.
Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan)
Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional
Indonesia.

C. Kehidupan Kerajaan Kota Kapur


1. Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial masyarakat Kota Kapur sampai saat ini masih diteliti dan dikaji,
sehingga belum ada keterangan tentang kehidupan sosial masyarakat Kota Kapur.
2. Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat
Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada
waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka
berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
3. Kehidupan Agama
Di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan
Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca
Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut
nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa,
seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

D. Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kota Kapur


Karena terjadinya perbedaan keyakinan didalam istana sehingga membuat
keluarga kerajaan terpecah menjadi dua bagian yang berbeda pendapat.

Anda mungkin juga menyukai