PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan ini berkembang pada
abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa. Keterangan
mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa dapat
dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan, dan Melatgede.
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun
oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh
wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama
Den Bukit. I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde Pasekan
adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal
dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir. I
Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan
putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun
disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa
(Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng
mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun ingin mengetahui:
1. Bagaimana kehidupan politik masyarakat kerajaan Buleleng ?
2. Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan Buleleng ?
3. Bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat kerajaan Buleleng ?
4. Bagaimana kehidupan agama masyarakat kerajaan Buleleng ?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas Sejarah serta
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerajaan Buleleng
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng adalah suatu
kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut berita Cina di
sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan
dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling.
Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi
dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan
yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.
2
C. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Buleleng
Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa
tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebutwanua. Sebagaian
besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua
dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi masyarakat.
Pada masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu golongancaturwarna dan golongan luar kasta (jaba). Pembagian ini
didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga
mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan nama
pengenal sebagai berikut.
1) Anak pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.
2) Anak kedua dinamakan made. Kata made berasal dari madya yang berarti tengah.
3) Anak ketiga dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.
4) Anak keempat dinamakan ketut. Kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.
Selama pemerintahan Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil.
Masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat,
mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut
membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.
Jiwa seperti inilah yang saharusnya dilakukan pemimpin pada saat itu. Jika Anda menjadi
seorang pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons segala keluhan rakyat.
Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian. Kesenian
berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana. Pada masa ini kesenian dibedakan
menjadi dua, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana
yang disebut pagending sang ratu. Selain penyanyi dikenal pula kesenian patapukan
(topeng), pamukul (gamelan), banwal (gadelan), dan pinus (lawak). Adapun jenis kesenian
yang berkembang di kalangan rakyat antara lain awayang ambaran (wayang
keliling), anuling (peniup suling), atapukan (permainan topeng), parpadaha (permainan
genderang), dan abonjing (permainan angklung).
3
sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan),
dan kasuwakan (pengairan sawah). Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan
pertanian berkembang pesat. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut –
urutan menanam padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah), mluku (membajak), tanem
(menanam padi), matun (menyiangi), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk padi). Dari
keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja
penggarapan tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa
ini. Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju. Kemajuan ini ditandai dengan
banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk
Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng adalah kuda.
E. Kehidupan Agama Kerajaan Buleleng
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng. Akan tetapi, tardisi
megalitik msih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan
penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura Hindu.
Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai
berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti
Pejeng, Bedulu, dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai
dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura
Pegulingan.
Agama Hindu dan Buddha mulai medapatkan peranan penting pada masa Raja
Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu
penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan (inkarnasi)
dewa. Dalam prasasti Pohon Asem dijelaskan Anak Wungsu merupakan penjelmaan Dewa
Hari (Wisnu). Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng
merupakan penganut waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha,
di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu, misalnya
sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora (penyembah dewa Matahari).