Anda di halaman 1dari 14

Kerajaan pada masa hindu-buddha

Sejarah wajib

Disusun oleh :
Michelle Lionelita
Joyce princilia
Chris natalim
Aurelius jovan lislie
Nick lim
Kerajaan Buleleng
Sejarah awal kerajaan buleleng
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun
oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Dalem Sagening dengan cara menyatukan
seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus sebagai Daerah Tingkat II
Buleleng.
I Gusti Anglurah Panji Sakti adalah putra penguasa Kerajaan Gelgel dari istri seorang
selir. Karena dikhawatirkan akan menggese posisi pewaris takhta, Panji Sakti diasingkan ke
kampung halaman ibunya di Den Bukit, Bali Utara. Di daerah itu, Panji Sakti berhasil
menyatukan wilayah wilayah di sekitarnya dan akhirnya dinobatkan menjadi raja pada 1660
dan kerajaannya dikenal dengan nama Kerajaan Buleleng.
Pada awal didirikan, Kerajaan Buleleng mampu berkembang pesat dan bahkan
mencapai masa kejayaan.

Peninggalan Kerajaan Buleleng


1. Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma adalah tempat dimana orang memohon kesabaran, maka
saat sembahyang dipuja ini harus dalam keadaan bersih lahir dan batin.

2. Pura Tirta Empul


Salah satu peninggalan Kerajaan Buleleng yang cukup indah dan wajib kamu
kunjungi yaitu Pura Tirta Empul. Pura ini menjadi salah satu pemandian suci yang
sangat terkenal dikalangan masyarakat Bali. Pura Tirta Empul diketahui didirikan sejak
tahun 967 M oleh Raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura Tirta Empul sendiri
memiliki arti air dari tanah, dimana air dari Tirta Empul memang menyembul keluar.

3. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong adalah prasasti yang dikeluarka oleh Sri Kesari Warmadewa
yang merupakan seorang Raja Bali. Dalam Prasasti Blanjong juga di temukan kata
“Walidwipa”, dimana arti kata tersebut adalah sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini
memuat berbagai tulisan mengenai sejarah mengenai Pulau Bali yang tertua.

4. Prasasti Malatgede
Selain ada Pasasti Blanjongan, masih ada dua prasasti lainnya yang merupakan
peninggalan Kerajaan Buleleng. Salah satunya adalah Prasasti Malatgede yang berada
di Pura Penataran Melet Tengah. Prasasti ini di temukan oleh M. M. Sukarto K.
Atmodjo yang ditemukan pada tanggal 27 Februari 1965
5. Prasasti Penempahan
Prasasti Penempahan berada di Pura Puseh Penempahan yang berada di Desa
Manukaya. Baik Prasasti Malatgede dan Prasasti Penempahan ternyata juga memiliki
kemiripan satu sama lainnya. Dimana kedua prasasti ini berisikan mengenai sejara
peperangan para raja. Prasasti ini dituliskan dalam batu berbentuk tugu batu besar dan
didalamnya terdiri dari empat baris tulisan

Faktor pendorong pengembangan


Pada masa kerajaan buleleng dibawah pemerintahan I Gusti Anglurah Panji Sakti
berhasil diraih karena sikapnya yang patriotic, anti monopoli, serta anti imperialisme. Ia juga
dikenal berani dalam mengemukakan pendapatnya secara demokratis demi kepentingan
rakyatnya.
Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan
menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di
tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari
pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Buleleng


Pola kehidupan di kerajaan buleleng terutama di bidang ekonomi yaitu hasil pertanian
dari pedalaman diangkut lewat darat menuju buleleng, barang dagangan yang di angkut berupa
kapas, beras, asam kemiri dan bawang diperdagangkan ke daerah lain. Perdagangan tersebut
berkembang pesat pada masa dinasti warmadewa yang di perintah oleh anak wungsu. Hal ini
d buktikan dengan adanya prasasti yang disimpan di desa sembiran yang berangka tahun 1065.

Kehidupan Politik Kerajaan Buleleng


Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Berdasarkan prasasti
Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal
menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut menyebabkan Sri
Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah pemerintahan baru di
wilayah Buleleng,
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa.
Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak,
Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut
prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan
Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama
Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Kehidupan Beragama Kerajaan Buleleng
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng. Akan tetapi,
tardisi megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan
dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura
Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai
berkembang di Buleleng Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti
Pejeng, Bedulu, dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan
penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan.

Daftar Raja Buleleng


• Wangsa Panji Sakti
Gusti Anglurah Panji Sakti
Gusti Panji Gede Danudarastra
Gusti Alit Panji
Gusti Ngurah Panji
Gusti Ngurah Jelantik
Gusti Made Singaraja
• Wangsa Karangasem
Anak Agung Rai
Gusti Gede Karang
Gusti Gede Ngurah Pahang
Gusti Made Oka Sori
Gusti Ngurah Made Karangasem

Runtuhnya Kerajaan Buleleng


Serangan Belanda pertama pada 1846 masih mampu ditangkal oleh pasukan Buleleng
di bawah pimpinan I Gusti Jelantik. Menurut Robert Pringle dalam A Short History of Bali
(2004), Belanda saat itu berkekuatan 2.400 orang tentara.
Awal tahun 1848, Gusti Jelantik menggerakkan pasukan untuk mengusik Belanda
secara gerilya. Pos- pos dan kapal-kapal Belanda menjadi sasarannya. Belanda membalas, tapi
selalu gagal berkat siasat jitu yang diterapkan Gusti Jelantik. Sepanjang tahun 1848 itu,
Buleleng berkali-kali meraih kemenangan yang membuat Belanda harus mundur dari Bali
untuk kedua kalinya.
Tak ingin kalah lagi, Belanda lantas menerapkan taktik licik andalannya, yakni devide
et impera alias adu domba. Tahun 1849, Belanda menyusupkan utusan untuk menghasut dan
memecah-belah kekuatan rakyat Bali, termasuk Buleleng.
Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-
raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908 (1989) menyebutkan, Belanda menebar isu
bahwa sebagian kerajaan di Bali sudah ditaklukkan. Kabar bohong ini membuat Buleleng
cemas. Pasukan gabungan Buleleng tak fokus lantaran khawatir, bahkan tidak sedikit yang
meninggalkan benteng pertahanan mereka di Jagaraga.
Belanda memanfaatkan betul situasi ini. Pagi-pagi buta tanggal 15 April 1849, Jagaraga
digempur dari dua sisi, depan dan belakang. Pihak Buleleng tidak siap menerima serangan
besar ini. Korban tewas berjatuhan, ribuan warga ditawan.
Setelah kematian Gusti Jelantik, Buleleng jatuh ke tangan penjajah dan menjadi
wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Nusantara.
Kerajaan Tarumanegara
Awal mula berdirinya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan bercorak Hindu tertua kedua di Indonesia
setelah Kutai. Ditinjau dari lokasinya, lokasi Kerajaan Tarumanegara terletak di dekat Sungai
Citarum, Jawa Barat ini berdiri pada abad ke-4 M, atau lebih tepatnya di tahun 358 M.
Meskipun berdiri di Nusantara, ternyata pendiri kerajaan tersebut bukan orang
Indonesia asli. Dia adalah seorang pendatang asal India bernama Rajadirajaguru
Jayasingawarman.
Janyasingawarman menguasai Kerajaan Tarumanegara sejak 358 M dan lengser pada
382 M usai memutuskan untuk menjadi pertapa. Kekuasaannya lantas diberikan kepada
putranya, yakni Raja Dharmayawarman.

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara


Eksistensi Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui berkat peninggalannya yang berupa
prasasti. Terdapat tujuh prasasti yang ditemukan di daerah berbeda, yakni :
1. Prasasti Tugu
Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawvarman ini ditemukan di Kampung Batu
Tumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjung Priok, Jakarta. Prasasti Tugu merupakan
prasasti terpanjang dari semua peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Seperti
prasasti yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Purnawarman lainnya, isi
prasasti ini juga berbentuk puisi anustubh.
Prasasti Tugu menceritakan tentang penggalian Sungai Cabdrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian saluran (sungai) yang bernama Gomati yang
panjangnya 11-12 kilometer oleh Purnawarman. Keterangan yang didapatkan dari
Prasasti Tugu memberi petunjuk bahwa Kerajaan Tarumanegara melakukan
penggalian itu untuk menghindari bencana alam berupa banjir dan kekeringan yang
terjadi pada musim kemarau.
2. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang juga
dikenal dengan nama Prasasti Ciampea. Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara,
Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti terdiri atas dua bagian, yaitu
Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris tulisan berakasara Pallawa dan
bahasa Sanskerta, dan Inskripsi B yang terdiri atas satu baris tulisan yang belum
dapat dibaca dengan jelas. Inskripsi ini disertal pula gambar sepasang telapak kaki.

3. Prasasti Kebon Kopi


Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruetun Hilir, Cibungbulang,
Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan
telapak kaki gajah.
Prasasti Kebon Kopi ada dua jenis, yaitu Prasasti Kebonkopi I atau Prasasti
Tapak Gajah dan Prasasti Kebon kopi II. Kedua prasasti ini berada di daerah yang
sama, tetapi mengandung informasi yang berbeda. Nama Kebon Kopi sendiri
berkaitan dengan penemuannya, yakni ketika dilakukan penebangan hutan untuk
lahan perkebunan kopi pada masa penjajahan Belanda.
4. Prasasti Muara Cianten
Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir,
Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca. Inskripsi in dipahatkan
dalam bentuk “aksara" yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para ahli disebut
aksara ikal. Prasasti Muara Cianten dibuat pada 458 Saka atau 536 Masehi. Isinya
memuat tahun prasasti dibuat yang menandakan pemerintahan negara dikembalikan
kepada Raja Sunda.

5. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)


Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleanakak, Desa Parakan Muncang,
Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris tulisan dengan aksara
Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Prasasti Jambu memuat pujian terhadap Raa Purnawarman. Raja Purnawarman
digambarkan sangat kuat, tidak dapat dikalahkan, selalu berhasil menghancurkan
musuh, dan selalu menghadiahi jamuan kehormatan bagi mereka yang setia
kepadanya.

6. Prasasti Cidanghiang (Lebak)


Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munju, Banten Selatan.
Dituliskan dalam dua baris tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isinya
sebagai berikut: "'Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang
sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnwarman, yang menjadi panji
sekalian raja-raja.

7. Prasasti Pasir Awi


Inskripsi ini terdapat di sebuah bukit bernama Pasir Awi di kawasan perbukitan
Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor, Inskripsi prasasti in tidak dapat dibaca karena
inskripsi ini lebih berupa gambar (piktograf) dari pada tulisan. Di bagian atas
inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.

Faktor pendorong perkembangan


Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Raja
Purnawarman. Ia pernah memerintahkan penggalian satu saluran air yang dimuat pada prasasti
Tugu. Penggalian saluran air ini sangat berpengaruh bagi kestabilan politik kerajaannya, karena
merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian
rakyat. Hasil pertanian tersebut memajukan perekonomian.Raja Purnawarman juga dikenal
sebagai raja yang dermawan, gemar bersedekah kepada rakyatnya, dan memerintah dengan
adil dan bijaksana.
Kehidupan ekonomi dan sosial
Letaknya yang berada di dekat perairan, membuat Kerajaan Tarumanegara disematkan
predikat “kerajaan maritim”. Berkat lokasinya itu pula, Tarumanegara terbilang maju dalam
bidang pelayaran dan perdagangan. Meskipun demikian, prioritas kehidupan ekonomi di
kerajaan tersebut adalah pertanian dan peternakan.
Sementara itu, terdapat dua golongan masyarakat dalam kehidupan sosial di Kerajaan
Tarumanegara. Golongan pertama adalah golongan agama Hindu yang berisi para raja atau
anggota kerajaan. Adapun golongan kedua ialah masyarakat biasa yang masih mempercayai
agama nenek moyang atau agama kebudayaan.

Perkembangan Ekonomi
Pada masa pemerintahan Purnawarman, dilakukan penggalian dari Sungai Gomatiyang
dan Candrabaga. Penggalian ini memiliki panjang sekitar 6112 tonggak atau sejauh 12 km.
Tujuan pembuatan terusan ini juga digunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan
perdagangan antar daerah di dalam Kerajaan Tarumanegara dengan negara lain. Hal inilah yang
membuat kehidupan ekonomi kerajaan Tarumanegara menjadi lebih teratur dan stabil.
Tarumanegara memiliki jalur sungai yang merupakan aliran air dari Sungai
Gomatiyang. Kerajaan ini juga memiliki Pelabuhan yang digunakan sebagai tempat
perdagangan yang terjadi antar Asia Tenggara. Hal ini tentu akan menjadi jaminan hidup
makmur dan sejahtera sehingga sektor ekonomi dari Kerajaan Tarumanegara maju.
Ada beberapa barang dagangan yang dijual dalam kegiatan perdagangan ini,
diantaranya adalah kulit penyu, emas, gading, dan perak. Adanya hal semacam ini bisa
dijadikan sebagai salah satu gambaran dari sistem ekonomi yang berbasis Maritim. Tidak
hanya itu, Tarumanegara juga memiliki aktivitas ekonomi lainnya, yakni ekonomi berbasis
agraris. Kegiatan ekonomi agraris disini sangat erat hubungannya dengan beternak dan bertani.
Tidak hanya itu, pemburu binatang dan pedagang juga merupakan salah satu mata pencaharian
dari masyarakat Tarumanegera.

Kehidupan Beragama
Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama
Hindu. Sedikit yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek
moyang (animisme). Berdasarkan berita dari Fa-Hien, terdapat tiga agama di Tarumanegara,
yakni Hindu, Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu. Sebagai bukti,
pada prasasti Ciaruteun, ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu.
Silsilah Raja Kerajaan Tarumanegara
Tarumanegara dipimpin oleh 12 raja sejak kerajaan tersebut didirikan. Sayangnya,
informasi mengenai silsilah raja-raja Tarumanegara sangat minim. Dari 12 raja, hanya dua di
antaranya yang diketahui merupakan keturunan langsung dari raja sebelumnya. Mereka adalah
Raja Dharmayawarman, putra dari Raja Jayasingawarman, dan Raja Candrawarman, putra dari
Raja Indrawarman. Raja Purnawarman menjadi nama raja yang paling terkenal dari Kerjaan
Tarumanegara. Berikut adalah nama-nama raja Tarumanegara :
• Jayasingawarman (358-382 M)
• Dharmayawarman (382-395 M)
• Purnawarman (395-434 M)
• Wisnuwarman (434-455 M)
• Indrawarman (455-515 M)
• Candrawarman (515-535 M)
• Suryawarman (535-561 M)
• Kertawarman (561-628 M)
• Sudhawarman (628-639 M)
• Hariwangsawarman (639-640 M)
• Nagajayawarman (640-666 M)
• Linggawarman (666-669 M)

Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara


Kemunduran Kerajaan Tarumanegara mulai terasa saat Raja Linggawarman berkuasa.
Setelah dirinya wafat, kondisi kerajaan semakin parah. Tahta kerajaan yang dia serahkan
kepada menantunya, Tarusbawa, menandai berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan
Tarumanegara. Sebab, Tarus bawa memiliki ambisi untuk mendirikan kerajaannya sendiri yang
kemudian dikenal sebagai Kerajaan Sunda.
Kerajaan sriwijaya
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan bercorak Buddha yang didirikan oleh Dapunta
Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7. Kerajaan Sriwijaya terletak di tepian Sungai Musi, di
daerah Palembang, Sumatera Selatan. Pada awalnya, kerajaan Sriwijaya didirikan oleh seorang
raja bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada tahun 650 Masehi yang dikutip dari catatan
perjalanan Biksu I Tsing selama 6 bulan di kerajaan Sriwijaya. Dalam prasasti Kedukan Bukit,
disebutkan bahwa Dapunta Hyang pernah mengadakan perjalanan dengan membawa 20 ribu
tentara yang berasal dari Minanga Tamwan menuju ke daerah Palembang, Bengkulu, dan
Jambi. Dalam perjalanannya itu, mereka berhasil menguasai wilayah yang dianggap strategis
untuk melakukan perdagangan di kerajaan Sriwijaya sehingga menjadi makmur. Lalu, pada
prasasti Kota, diceritakan bahwa kerajaan Sriwijaya berhasil menaklukkan wilayah Sumatera
bagian selatan, Bangka, dan juga Belitung. Bahkan hingga ke wilayah Lampung. Banyak yang
meyakini bahwa letak kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi
Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran,
Sriwijaya berpindah ke Jambi.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


Adapun beberapa peninggalan atau sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting
yaitu prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah
Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu antara lain, yaitu :
1. Prasasti Kedudukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti kemajuan
pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha. prasasti tersebut mengisahkan
tentang keberhasilan perjalanan penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta
Hyang.
Prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini
berangka tahun 605 saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa Dapunta
Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu
bersama dengan 20.000 tentaranya.
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran
Buddha yang dipakai pada masa Sriwijaya, yaitu Mahayana.
Prasasti ini ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo.
Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya menyebutkan tentang
pembangunan sebuah taman yang disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta
Hyang Sri Jayanaga.
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya
terutama tentang kutukan-kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat
kejahatan.

4. Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M).
Isinya terutama permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya , dan
menghukum setiap orang ang bermaksud jahat.

5. Prasasti Karang Berahi


Prasasti Karang Berahi ditemukan di Desa Karang Berahi, Merangin, Jambi,
pada 1904. Prasasti ini berangka tahun 608 saka (686 M). Isinya sama dengan isi
Prasasti Kota Kapur.

6. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu. Prasasti ini berangka
tahun 775 M. Prasasti ini menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja
dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Karaja.

7. Prasasti Nalada
Prasasti Nalanda merupakan sebuah prasasti yang didirikan oleh Raja Sriwijaya
dengan Kerajaan Nalanda. Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Balaputra Dewa
sebagai raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah karena
kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.

Di samping prasasti-prasas1.ti tersebut, berita Cina juga merupakan sumber


sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya berita dari I-tsing, yang pernah tinggal di
Sriwijaya.
Adapun candi-candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yaitu :
1. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau. Kompleks percandian ini bercorak Buddha, dibuktikan dengan bentuk stupa dan
temuan fragmen yang berisi mantra agama Buddha. Di dalam kompleks Candi Muara
Takus, terdapat empat bangunan berukuran besar lainnya, yaitu Candi Sulung, Candi
Bungsu, Stupa Mahligai, dan Palangka.
2. Candi Biaro Bahal III
Candi Biaro Bahal III adalah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang
terletak di Padang Lawas, Sumatera Selatan.
Faktor Pendorong Perkembangan
Ada beberapa hal yang mendorong perkembangan kerajaan Sriwijaya, antara lain:
1. Letaknya yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan
perdagangan internasional.
2. Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka.
3. Keruntuhan Kerajaan Funan di Vietnam Selatan memberikan kesempatan bagi
perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala) yang selama abad ke-6
dipegang oleh kerajaan Funan.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan


Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo, diceritakan Dapunta Hyang banyak
melakukan perluasan daerah pada abad ke-7. Diantaranya daerah yang berhasil dikuasai adalah :
1) Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.
2) Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Menurut I-tsing,
penaklukan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara tahun 682-685 M.
3) Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional. Daerah ini
dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun 686 M berdasarkan prasasti Kota Kapur.
4) Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Penaklukan ini dilaksanakan kira-kira
tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
5) Tanah Genting Kra merupakan tanah genting bagian utara Semenanjung Melayu.
Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang
berangka tahun 775 M.
6) Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno. Sriwijaya ingin menguasai Jawa bagian tengah
karena merupakan jalur perdagangan yang penting.
Untuk lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M dibangunlah sebuah
pangkalan di daerah Ligor yang pada saat itu yang menjadi raja adalah Darmasetra.
Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah
sekitar abad ke-9 M. Pada masanya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman
keemasan. Pada tahun 990 M yang menjadi Raja Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa.
Sri Sudamaniwarmadewa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Marawijayottunggawarman.
Pada masa kejayaan Sriwijaya, wilayah kekuasaan Sriwijaya cukup luas, antara lain
Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian
Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara. Bahkan
Muhammad Yamin menyebutkan Sriwijaya sebagai negara nasional yang pertama.
Untuk mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang
Rakryan (wakil raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur
pemerintahan.
Perkembangan Ekonomi
Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi karena Sriwijaya
terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat berkembang dan
menjadi mata pencaharian pokok yang didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang
strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional, sehingga
menjadi jalur perdagangan internasional dari India ke Cina atau sebaliknya.
Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di kawasan
perairan Asia Tenggara, yaitu di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa.
Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang
liar, sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan,
emas, gading, dan binatang. Perkembangan perdagangan tersebut telah memperkuat
kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang
mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut.

Kehidupan Beragama
Sejak abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya telah dikenal sebagai pusat penyebaran agama
Buddha di kawasan Asia Tenggara. Hal itu diketahui berdasarkan catatan I-Tsing, yang
menjadi catatan tertua tentang Sriwijaya.
Kehidupan beragama di Sriwijaya sangat semarak. Sriwijaya menjadi pusat agama
Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara. Diceritakan oleh I-tsing, bahwa di
Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha. Salah seorang pendeta Buddha
Sriwijaya yang terkenal adalah Sakyakirti.

Silsilah Raja Kerajaan Sriwijaya


• Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M)
• Sri Indrawarman (702 M)
• Rudra Wikrama (728-742 M)
• Sangramadhananjaya (775 M)
• Dharanindra/Rakai Panangkaran (778 M)
• Samaragrawira/Rakai Warak (782 M)
• Dharmasetu (790 M)
• Samaratungga/Rakai Garung (792 M)
• Balaputradewa (856 M)
• Sri Udayadityawarman (960 M)
• Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M)
• Hsiae-she (980 M)
• Sri Cudamaniwarmadewa (988 M)
• Malayagiri/Suwarnadwipa (990 M)
• Sri Marawijayottunggawarman (1008 M)
• Sumatrabhumi (1017 M)
• Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025)
• Sri Dewa (1028 M) Dharmawira (1064 M)
• Sri Maharaja (1156 M)
• Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178 M)
Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
1) Keadaan sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini disebabkan
aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak membawa lumpur. Akibatnya.
Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
2) Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan terutama
karena melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan semakin sulit.
3) Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1017 & 1025
Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala yang membuat
Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan
Colamandala. Dan pada tahun 1377, armada angkatan laut Majapahit menyerang
Sriwijaya yang mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai