Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH DARSANA

Sejarah Pura Meru Cakranegara

OLEH:

I KOMANG TRI PUTRA ARSANA (18133110)

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM

PRODI DHARMA SASTRA SEMESTER 2

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengetahuan agama Hindu kini sudah mengalami suatu peningkatan dari segi pemahaman
dan kreatifitas orang hindu sudah mulai muncul, ini diakibatkan karena pada masa ini timbul
berbagai macam bencana dan hal-hal di luar pemikiran manusia yang menjadi landasan
kesadaran manusia untuk memahami lebih dlam tentang ajaran Agama. Dengan banyak
bimbingan maupun Dharma Wacana dari berbagai orang suci kita mendapatkan banyak
kesadaran bahwa kita tidak hanya sekedar memeluk tetapi memahami apa makna, maupun dapat
melakukan suatu perbuatan yang tercemin ke Dharmaan di dalam beragama Hindu.
Kita orang Hindu harus berbangga, karena Hindu merupakan agama tertua di dunia,
bahkan untuk saat ini sudah banyak muncul bukti-bukti sejarah keberadaan Agama Hindu di
Indonesia, khususnya di Lombok. Agar kita sebagai umat Hindu dapat menjaga dan melestarikan
warisan budaya dan banyak tempat suci sebagai simbolis keagungan Hindu di Lombok yang
menjadi kebanggaan umat Hindu. Dengan demikian kita sebagai umat Hindu yang memiliki
kemauan untuk menjaga keajengan Lombok agar dapat melestarikan tempat suci (pura) dan
mengetahui sejarah dari berdirinya tempat suci tersebut untuk dapat menambah keyakinan kita
dan kebanggaan kita sebagai pemeluk Agama Hindu.
Dalam makalah ini lah penulis akan menguraikan salah satu tempat suci tertua dan
menjadi simbol kebesaran bagi umat Hindu di Lombok, pura tersebut merupakan Pura Meru.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Pura Meru?
2. Bagaiman fungsi dari Pura Meru?
3. Filosofi atap Pura Meru.
4. Berapa ukuran dan luas Pura Meru?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Pura Meru.
2. Untuk mengetahui fungsi dari Pura Meru.
3. Filosofi atap Pura Meru.
4. Untuk mengetahui ukuran dan luas Pura Meru.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lokasi Pura Meru


Pura Meru terletak di Wilayah Kelurahan Cakranegara Timur, Kecamatan Cakranegara,
Kotamadya Mataram. Letaknya bersebrangan jalan dengan kompleks Taman Mayura, karena
antara keduanya merupakan satu kesatuan di dalam konsepsi tata letak pusat pemerintahan
kerajaan Cakranegara pada waktu itu. Pura Meru terletak di sebelah selatan jalan, sedangkan
Taman Mayura di sebelah utara jalan. Antara keduanya mempunyai keterkaitan fungsi serta
hubungan histori. Lokasi Pura Meru ini berjarak 2 km dari Mataram.

B. Sejarah Pura Meru


Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad XV), kerajaan Gelgel di pulau
Bali mengalami puncak kebesaran. Daerah kekuasaannya sampai di luar pulau Bali meliputi :
Lombok, Sumbawa, dan Blambangan. Setelah Dalem Watu Renggong meninggal, ia digantikan
oleh dua orang putranya yang belum dewasa, yaitu yang sulung bernama I Dewa Pemayun,
kemudian setelah di angkat menjadi raja bergelar Dalem Bekung dan yang lebih kecil bernama I
Dewa Anom Saganing, bergelar Dalem Saganing. Karena umurnya masih muda, dalam
menyelenggarakan pemerintahannya, mereka di dampingi oleh lima orang yaitu : I Dewa
Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pasedangan.
Mereka adalah putra dari I Dewa Tegal Besung, adik dari Dalem Watu Renggong. Jabatan patih
agung pada saat itu di pegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk, dan semua kebijakan pemerintahan
ada di tangan patih agung Batanjeruk. Situasi seperti ini lama kelamaan menimbulkan ketidak
puasan dikalangan pejabat kerajaan. Tampaknya gelagat Batanjeruk untuk mengambil alih
kekuasaan dari tangan kedua raja yang masih muda itu telah di ketahui oleh penasehat raja Dang
Hyang Astapaka. Penasehat raja ini telah menasehati Batanjeruk agar tidak melakukan hal yang
membahayakan, karena pengikut raja cukup kuat. Namun, nasehat Dang Hyang Astapaka itu
tidak di hiraukan oleh Batanjeruk sehingga ia meninggalkan istana kerajaan Gelgel menuju
kesebuah desa bernama Budakeling yang terletak di daerah Karangasem Bali.
Pada tahun 1556, terjadilah kekacauan di kerajaan Gelgel. Patih Agung Batanjeruk dan
salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan mengadakan perebutan kekuasaan.
Pasukan kerajaan Gelgel dapat melumpuhkan pasukan Batanjeruk. Akhirnya Batanjeruk
melarikan diri ke Desa Bungaya, masih dalam wilayah Karangasem dan ditempat itulah ia di
bunuh oleh pasukan Gelgel pada tahun 1556. Istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka
dapat menyelamatkan diri, mengungsi dikediaman Dang Hyang Astapaka di Budakeling,
sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Batuaya Karangasem. Setelah berlangsung
beberapa lama dari meninggalnya Batanjeruk, I Dewa Karangamla tertarik kepada janda
Batanjeruk yang pada saat itu tinggal di kediaman Dang Hyang Astapaka. Ia ingin meminang
sang janda, namun atas nasehat Dang Hyang Astapaka kepada sang janda agar mengajukan suatu
syarat yaitu setelah perkawinannya berlangsung agar I Dewa Karangamla mau mengangkat
putranya menjadi penguasa di Karangasem. I Dewa Karangamla setuju. Akhirnya putra yang
bernama I Gusti Oka dapat berkuasa di Kerajaan Karangasem. dan mulai saat itulah kekuasaan di
Kerajaan karangasem di pegang oleh dinasti Batanjeruk.
I Gusti Oka atau di kenal juga dengan sebutan pangeran Oka mempunyai tiga orang istri.
Salah satu putranya dari istri yang tertua melanjutkan pemerintahan di kerajaan Karangasem
yang bernama I Gusti Anglurah Ketut Karang, disebutkan sebagai raja Karangasem ke III.
Kerajaan Karangasem ke III inilah mulai tampak pengaturan wilayah kerajaan, yaitu dengan
didirikan puri Amlaraja yang kemudian bernama puri klodan. Ketika I Gusti Anglurah Ketut
karang mengalami masa pemerintahannya, ia menyerahkan kekuasaan kepada ketiga putranya
yang laki-laki untuk memerintah bersama-sama. Sistem pemerintahan secara kolektif seperti ini
merupakan hal yang lazim berlaku di kalangan kerajaan Karangasem Bali, di bawah
pemerintahan merekalah kerajaan Karangasem Bali semakin menanjak. Beberapa faktor penting
yang menyebabkan kalangan kerajaan Karangasem Bali semakin meluas, yaitu :
1. Kerajaan Gelgel sebagai pusat pemerintahan di Bali yang pada masa pemerintahan Dalem
Dimade mengalami kemerosotan. Banyak wilayah kekuasaannya di luar Bali mengembangkan
diri, sedangkan situasi di dalam negeri terpecah belah.
2. Situasi politik di Bali antara tahun 1650-1686 memberikan kesempatan kepada kerajaan-
kerajaan yang sebelumnya menjadi taklukkan (vazal), membebaskan diri dari kekuasaan raja
tertinggi (sesuhunan) yang kerajaannya pindah dari Gelgel ke Klungkung. Kerajaan Karangasem
di Bali mengembangkan kekuasaannya ke arah timur yaitu Pulau Lombok pada tahun 1691, dan
membantu kerajaan Buleleng menaklukkan Blambangan pada tahun 1697.
3. Kekuatan spiritual yang bersumber pada kualitas Supernatural seorang pemimpin, merupakan
tipe-tipe kekuasaan yang kharismatik, yaitu kepercayaan yang mengembangkan ketentuan raja
sebagai Dewa. Hal ini merupakan suatu keunikan yang dimiliki oleh ketentuan raja-raja di
kerajaan Karangasem sehingga dapat membawa kerajaan Karangasem ke puncak kebesarannya,
dan menjadikan sebuah kerajaan yang terkuat, terutama di Bali dan Lombok. Selama masa
pemerintahan Raja Karangasem ke IV (sekitar tahun 1680-1705) yang di perintah oleh tiga orang
bersaudara itu, tidak banyak hal yang di ketahui kecuali penaklukan atas pulau Lombok yang
dipimpin oleh I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.

Seperti telah disebutkan di atas, pada masa pemerintahan raja Karangasem ke IV, yang di
perintah oleh tiga orang bersaudara yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah
Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem telah berhasil meluaskan
kekuasaan ke pulau Lombok pada tahun 1691. De Graaf berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan
Gelgel hampir bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Karangasem Bali dan dikuasainya pulau
Lombok. Situasi politik di pulau Lombok pada saat itu juga memberikan peluang besar kepada
kerajaan Karangasem di Bali untuk menanamkan kekuasaannya di pulau ini.
Hubungan politik antara Bali dan Lombok di lanjutkan oleh kerajaan Karangasem di Bali
dengan dua kerajaan besar yang ada di pulau Lombok pada abad XVII, yaitu kerajaan
Selaparang di Lombok Timur sebagai kerajaan Pesisir, dan kerajaan Pejanggih di Lombok
Tengah sebagai kerajaan Pedalaman. Hubungan ini dimulai ketika kedua kerajaan tersebut,
menjalani kekacauan sehingga situasi itu dimanfaatkan oleh kerajaan Karangasem di Bali untuk
mengadakan intervensi.
Ada beberapa versi tentang munculnya kerajaan-kerajaan Hindu Bali yang ada di pulau
Lombok, antara lain :
1. Versi Pertama, menurut Babad Lombok intervensi ini bermula dari adanya konflik antara Patih
Banjar Getas dengan raja Selaparang. Raja Selaparang mengutus patih Banjar Getas pergi ke
Bali untuk mencari kijang putih (mayang putih) yang dipakai sebagai obat. Setelah patih Banjar
Getas pergi ke Bali, raja menyuruh panggil istri Banjar Getas, yang bernama Dyah Candra
Kusuma ke Istana untuk di peristri. Setelah patih Banjar Getas kembali, ia sadar bahwa dirinya
telah ditipu. Karena itulah ia berontak terhadap raja Selaparang dan minta bantuan kepada
kerajaan Karangasem di Bali. akhirnya kerajaan Selaparang dan Pejanggik dapat di taklukkan
oleh kerajaan Karangasem Bali.
2. Versi Kedua, menurut Babad Selaparang di sebutkan bahwa raja Selaparang minta bantuan
raja Banjarmasin sehingga akhirnya patih Banjar Getas melarikan diri ke kerajaan Pejanggik.
Karena kecerdasannya ia di anggkat menjadi adipati oleh raja Pejanggik Pemban Mas Meraja
Kusuma. Hal ini menyebabkan hubungan Selaparang dan Pejanggik menjadi retak. Ketika patih
Banjar Getas mengabdi di kerajaan Pejanggik, terjadilah perselisihan antara patih Banjar Getas
dengan istri yang keduanya, bernama Dene Bini Lala Junti, sehingga pada akhirnya diusir.
Dengan hati yang sedih ia pergi ke hutan Memelak (sebelah utara kota Praya sekarang),
kemudian dari tempat itu ia berlayar ke pulau Bali. Setelah ia sampai di Karangasem Bali, ia
menceritakan kepada raja Karangasem tentang kekalahannya melawan raja Selaparang, dan
memohon bantuan raja Karangasem. sejak itulah kerajaan Karangasem berangsur-angsur
menaklukkan kerajaan di pulau Lombok.
3. Versi Ketiga, sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Pejanggik mengutus Arya Banjar
Getas pergi menghadap raja Klungkung dan Karangasem di Bali, raja Pejanggik jatuh cinta
kepada istri Arya Banjar Getas yang bernama Dene Bini Lala Junti. Sekembalinya dari pulau
Bali Arya Banjar Getas mendengar cerita tentang istrinya itu, sehingga timbul keinginan untuk
menantang raja Pejanggik, sesudah ia kalah menghadapi kekuatan laskar Pejanggik, ia minta
bantuan kepada raja Karangasem di Bali. itulah sebabnya kerajaan Karangasem mengadakan
hubungan politik dengan kerajaan Pejanggik di Lombok. Hubungan ini di perkirakan mulai
tahun 1691.
4. Versi Keempat, dalam Pelelintih Sira Arya Getas di sebutkan bahwa pada masa pemerintahan
raja Sri Kresna Kepakisan, raja ini mengutus Arya Getas menyerang raja Selaparang di pulau
Lombok. berkat keberanian dan ketangkasannya, kerajaan Selaparang dapat di taklukkan, dan
Arya Getas di suruh menetap di Praya Lombok Tengah. Sumber itu juga menyebutkan bahwa
Arya Getas berputra tiga orang laki-laki, yaitu I Gusti Ngurah Praya, I Gusti Warung Getas, dan
I Gusti Mangedeb We Anyar. Setelah berselang empat keturunan, yaitu pada masa pemerintahan
Dalem Dimade di Bali (tahun 1621-1651), salah seorang keturunan Arya getas hanyut di laut dan
terdampar di Lombok Timur dekat Pringgabaya. Anak yang hanyut itu kemudian dipelihara oleh
Datu Pejanggik dan diberi nama Raden Banjar, karena di perkirakan anak tersebut adalah anak
seorang pelaut dari Banjarmasin. Sesudah Raden Banjar menanjak dewasa, ia terkenal dengan
nama panggilan Banjar Getas dan berkat jasa-jasanya ia diberi gelar Raden Kertapati. Ia kawin
dengan Dende Mas Kuning, putri yang amat cantik, yang menyebabkan raja Pejanggik ingin
memperistrinya, tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab timbulnya perselisihan antara Banjar
Getas dengan raja Pejanggik sehingga minta bantuan kerajaan Karangasem di Bali. Pada saat itu
raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem memimpin langsung keberangkatannya ke pulau
Lombok. Banjar Getas yang juga di kenal dengan julukan Dipating Laga segera menyambut
kedatangan pasukan Karangasem dan menceritakan mengenai dirinya, bahwa ia adalah
keturunan Arya Gajah Para dari Tianyar Karangasem Bali. Situasi menjadi terbalik, pasukan
kerajaan Karangasem memihak kepada Dipating Laga melawan Pejanggik, dan berakhir dengan
kekalahan di pihak Pejanggik. Mulai saat itu kekuasaan Karangasem melebarkan sayapnya ke
pulau Lombok.
5. Versi Kelima, menurut Babad Banjar Getas disebutkan bahwa Banjar Getas adalah seorang
pengembara yang berasal dari Majapahit Jawa Timur. Menurut babad ini, ia adalah keturunan
Prabu Kaisari. Ia melarikan diri ke Lombok beserta 40 orang pengiring, karena ia merasa malu
tidak dapat memenuhi titah rajanya, yaitu Kencana Wungu, untuk membunuh Menak Jingga.
Setelah berbagai pengalaman yang di alaminya di kerajaan Selaparang, akhirnya ia
menghambakan diri di kerajaan Pejanggik, pada raja Dewa Mas Panji. Berkat kepandaiannya ia
sangat berpengaruh di kerajaan Pejanggik sehingga menimbulkan kekhawatiran para pembesar
kerajaan. Inilah yang menyebabkan kerajaan Pejanggik minta bantuan kepada kerajaan
Karangasem di Bali untuk membunuh Banjar Getas. Ternyata kemudian raja Karangasem Bali
memihak kepada Banjar Getas melawan kerajaan Pejanggik. Setelah Pejanggik dapat
ditaklukkan, raja Karangasem dan Banjar Getas membagi wilayah kekuasaan di pulau Lombok,
karajaan Karangasem Bali menguasai Lombok di bagian Barat, sedangkan Banjar Getas
mendapat wilayah Lombok di bagian tengah dan timur.
Pada wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem Bali di pulau Lombok bagian barat, telah
berdiri beberapa kerajaan-kerajaan kecil di bawah penguasa-penguasa bangsawan Karangasem
Bali. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara lain : kerajaan Pagesangan, kerajaan Kediri,
kerajaan Sengkongo`, kerajaan Pagutan, kerajaan Mataram, dan kerajaan Singasari. Setelah
adanya penaklukan terhadap pulau Lombok pada tahun 1691 sampai tahun 1740, di lokasi
kerajaan yang dahulunya disebut Singasari inilah diganti namanya menjadi kerajaan Karangasem
Sasak, dan kerajaan ini akan menjadi cikal bakal kerajaan Cakranegara. Pada tahun 1740 itu
diperkirakan seluruh Lombok sudah dapat di kuasai oleh kerajaan karangasem Bali. Pendapat ini
diperkuat oleh suatu informasi yang menyebutkan bahwa di beberapa daerah seperti Pejanggik,
Purwa, dan Langko diharuskan membayar upeti dengan uang, daerah Sokong dan Bayan di
kenakan upeti kapas, sedangkan daearah Praya, dan Batu Kliang di kenakan upeti darah (upeti
getih) yaitu tidak membayar upeti dalam bentuk material melainkan apabila terjadi perang
mereka harus membantu. Hal tersebut diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 1740. Di
bawah pemerintahan Karangasem Bali, kekuatan politik bukan lagi berada di Lombok Timur,
melainkan di pusatkan di Lombok Barat. Pada tahun 1741 raja Karangasem Bali menempatkan
seorang penguasa I Gusti Wayan Tegeh yang berkedudukan di Tanjungkarang (sebelah selatan
Ampenan sekarang atau berada disebelah barat kerajaan Pagesangan). Pada masa
pemerintahannya ia berhasil memperkuat kedudukan Karangasem Sasak di pulau Lombok. di
bawah perlindungan kerajaan Karangasem Bali, ia melakukan kegiatan dalam bidang perpajakan
dan perdagangan. Setelah ia meninggal pada tahun 1775, ia digantikan oleh kedua putranya,
yaitu I Gusti Made Karang yang di sebut dengan nama I Gusti Ngurah Made berdiam di
Tanjungkarang, dan I Gusti Ketut Karang bertempat tinggal di Pagesangan. Kematian I Wayan
Tegeh ternyata menimbulkan perpecahan, karena pengganti-penggantinya itu saling berebut
kekuasaan. Konflik ini masih berlangsung sampai permulaan abad XIX dan bersamaan dengan
munculnya dua kerajaan kecil lainnya yaitu kerajaan Sakra di Lombok Timur, dan kerajaan
Kopang ada di Lombok Tengah.
Sejak meninggalnya I Gusti Wayan Tegeh pada tahun 1775, Tanjungkarang tidak lagi
memegang peranan penting dan digantikan oleh munculnya kerajaan Karangasem sasak yang
sejak tahun 1720 telah berada di bawah pemerintahan I Gusti Anglurah Made Karangasem,
Dewata di Pesaren Anyar Bali. Tidak banyak yang dapat di ketahui tentang kegiatannya, namun
dalam struktur pemerintahan kerajaan Karangasem Sasak di Lombok ia menempati status yang
paling tinggi yaitu sebagai wakil (koordinator) kerajaan Karangasem di pulau Bali. pada saat itu
raja Mataram berstatus sebagai Patih, sedangkan raja-raja kecil lainnya seperti kerajaan Pagutan,
Pagesangan, Sengkongo`, dan kerajaan Kediri memiliki status sebagai manca. Semua penguasa
di masing-masing kerajaan itu masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Untuk menjaga
persatuan dan kesatuan diantara mereka, maka pada tahun 1720 kerajaan Karangasem Sasak di
Lombok membangun sebuah pura yang megah sebagai tempat persembahyangan, yaitu pura
Meru di Cakranegara Lombok.
Dibangun pada tahun 1720 oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem, Pura Meru
didedikasikan untuk 3 dewa utama umat Hindu (Dewa Brahma, Dewa Siwa, dan Dewa Wisnu).
Ketiga Meru tersebut juga mewakili tiga gunung yang dianggap suci oleh pemeluk agama Hindu;
Pura Brahma mewakili Gunung Agung di Bali, Pura Siwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok,
dan Pura Wisnu yang diwakili oleh Gunung Semeru di Jawa Timur. Soal bentuk, hanya Pura
Siwa yang memiliki atap susun 11, sedangkan Pura Wisnu dan Pura Brahma memiliki atap susun
berjumlah 9. “Meru” merupakan singkatan dari Gunung Semeru yang berada di Jawa Timur.
Anak Agung yang masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Singosari dari daerah Jawa
Timur tidak melupakan bahwa Gunung Semeru juga merupakan gunung yang dianggap suci oleh
leluhurnya. Maka dari itu, pura tersebut mengambil nama Gunung Semeru yang dipersingkat
menjadi Pura Meru. Ketiga Meru tersebut juga memiliki arti simbol warna yang bermakna. Pada
perayaan piodalan (acara untuk mengingat lahir kembalinya pura), setiap pura akan dihiasi
dengan kain yang disesuaikan dengan warna yang berbeda. Pura Brahma akan dihiasi dengan
warna merah yang berarti api, simbol kematian umat Hindu yang dikremasi menggunakan api.
Pura Siwa menggunakan kain berwarna putih yang merupakan simbol air untuk mensucikan abu
hasil kremasi sebelum dibuang ke laut. Sementara, Pura Wishnu akan dihiasi dengan kain hitam
yang melambangkan kegelapan atau kehidupan baru setelah kematian.

C. Fungsi dari Pura Meru


Pura Meru berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi pemeluk agama Hindu
Dharma. Di samping sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan, bila dilihat dari latar belakang
dibangunnya pura ini, secara politis berfungsi sebagai sarana pemersatu bagi orang-orang Bali
yang ada di Lombok, terutama dalam hal menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Karena
pada waktu itu di Lombok terdapat beberapa buah kerajaan kecil dari penguasa Bali.
Di Pura Meru ini, dalam waktu satu tahun sekali diadakan upacara pujawali atau usadha,
yaitu upacara besar pada bulan purnama bulan ke-4 menurut perhitungan kalender Bali, biasanya
jatuh pada bulan September-Oktober kalender Masehi. Pada hari itu semua banjar atau kampung
sebanyak 29 kampung membawa alat dari pura pemaksan masing-masing, datang ke Pura Meru
kemudian melakukan upacara pujawali dan menghias sanggar masing-masing. Untuk tiga
bangunan Meru, sesajen dibuat oleh Panitia Pura (dahuluu dilaksanakan oleh istana). Upacara
pujawali biasanya dimulai didahului dengan upacara pembersihan dari pikolannya (disebut
jempana) secara simbolis, hal ini disebut penyucian atau melasti. Upacara pembersihan ini
dilakukan di pancuran air yang terletak di Pura Kelepug, Taman Mayura. Disini tampak jelas
keterkaitan fungsi antara Pura Meru dengan Taman Mayura. Pada Sore harinya, barulah
diadakan upacara pujawali yang secara keseluruhan memerlukan waktu tiga hari maka segala
alat sanggah itu dibawa ke kampung, ke pemaksan masing-masing.

D. Filosofi Atap Pura Meru


Keindahan dan keagungan meru ditonjolkan oleh bentuk atapnya yang bertingkat tingkat
yang disebut atap tumpang. Ini dapat dibedakan atas meru tumpang satu, dua, tiga, lima, tujuh,
sembilan, dan sebelas. Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya
merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos)
dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos) dari bawah ke atas sebanyak sebelas tingkatan.
Tingkatan tersebut yaitu :
1 = Sekala
2 = Niskala
3 = Cunya
4 = Taya
5 = Nirbana
6 = Moksa
7 = Suksmataya
8 = Turnyanta
9 = Ghoryanta
10 = Acintyataya, dan
11 =Cayen.
Ada juga meru beratap 21, namun biasanya ini dapat dilihat pada wadah atau bade pada saat ada
upacara ngaben di Bali. Meru "khusus" ini memiliki pengertian Dasa Dewata sebagai dasar
pokok, kemudian ditambah 11 tangga atma sebagai kelanjutannya. Tingkatan-tingkatan atap
meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau
alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam
semesta termasuk di tengah. Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya
Iswara dan warnanya putih), ba (selatan, Brahma, merah), ta (barat, Mahadewa, kuning) a (utara,
Wisnu, hitam), i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna), na (tenggara, Mahesora, merah
muda atau dadu), ma (barat daya, Rudra, jingga), si (barat laut, Sangkara, hijau), wa (timur laut,
Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna). Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu
lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Sanghyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa). Sedangkan pengejawatahan ke-10 huruf suci dan huruf suci Omkara dalam
meru diuraikan sbb.:
1. Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci -- 10 huruf suci + huruf suci Omkara sebagai
lambang Eka Dasa Dewata.
2. Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu
huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga.
3. Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) + 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya). Ini
lambang Sapta Dewata/Rsi.
4. Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) + satu huruf Omkara di tengah. Ini
lambang Panca Dewata.
5. Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri
Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.
6. Meru beratap 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i, ya) adalah lambang dari Purusa dan
Pradhana (Ibu-Bapak).
7. Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu "Om" atau
Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Sanghyang Widi Wasa atau Tuhan Yang
Maha Esa).

E. Ukuran dan Luas Pura Meru


Kelompok bangunan pura ini terletak pada satu lokasi yang dikelilingi pagar. Terdiri atas
embat bagian, yaitu :
1. Halaman Jero Pura/Jeroan, disebut juga Utama Mandala
Berukuran 42,50 m x 42,50 m. Di dalamnya terletak bangunan inti pura, berupa
bangunan-bangunan yang bersifat sakral dalam bentuk meru. Bangunan-bangunan lainnya
berbentuk padmasan, bale (balai), dan sanggar-sanggar kecil sebanyak 33 buah. Tiga buah
bangunan berbentuk meru berderet utara-selatan. Susunan meru serupa dengan yang ada di Bali
terdiri atas bagian kepala (atap bertumpang), bagian badan (ruang pemujaan), dan segmen kaki
(bebaturan). Sistem konstruksi tumpang atap bertumpu pada titi mahmah (penunjang tiang
tumpang yang ada di atasnya), yang bentuknya mengecil makin ke atas, sudut-sudut atapnya
berbentuk limas terpancung. Kemudian atap di puncak berpusat satu dalam ikatan petaka,
didekap murdha sebagai puncak penutupnya. Meru yang terbesar dan tertinggi berada di tengah,
beratap ijuk dan bersusun sebelas. Tinggi bangunan 18,26 m, ukuran sarar 5 m x 5 m. Kedua
bangunan meru yang disampingnya sama besar, beratap genting, bersusun sembilan, tinggi
bangunannya 15 m, ukuran dasar 4,3 m x 4,3 m. Pada saat dibangun pertama kali, ketiga meru
itu beratap ijuk, namun ketika dilakukan pemugaran pada masa penjajahan Belanda, kedua meru
yang bersusun sembilan atapnya di ganti menggunakan genting. Bagian ini dikelilingi pagar
yang tingginya 3 m – 4 m, tebal lebi kurang 80 cm, terbuat dari bata merah (bata gosok, tanpa
diplester). Pintu utama terletak pada sisi barat (tengah) disebut Kori Agung. Kemudian di sudu
utara dan selatan juga terdapat pintu dengan ukuran yang lebih kecil. Pintu-pintu ini
menghubungkan halaman Jero Pura dengan halaman Jaba Tengah. Pada sisi (dinding) sebelah
selatan juga terdapat sebuah pintu keluar (pintu samping).
Di hadapan meru berdiri tiga buah pesimpangan yakni Astapaka, pengrurah, dan Gunung
Agung. Ketiganya tidak beratap, bentuk menyerupai bangunan padma dengan bebaturan
berbentuk segi empat panjang. Pesimpangan yang paling kecil berada di tengah-tengahnya. Di
depan ketiga pesimpangan ini terdapat sebuah sumur berdiameter sekitar satu meter, memiliki
dua pilar dan sebuah balok yang bertumpu pada kedua pilar tadi. Di sebelah sumur tadi terletak
bale payuman (tempat banten) bertiang delapan. Bangunan ini beratap genteng, berdekatan
dengan bale pawedan bertiang empat yang juga beratap genteng. Kemudian, di sebelah
selatannya terdapat bale tenget bertiang enam.

2. Halaman Jaba Tengah atau Madya Mandala


Berukuran 42,50 m x 42,50 m. Di sebelah timur, di kanan kiri terdapat Sanggar Agung
terdapat dua buah bangunan berbentuk “panggungan”, disebut dengan Bale Gong. Bentuk dan
ukuran keduannya sama, ditempatkan secara simetris. Luas masing-masing 47,04 m², beratapp
seng, dan yang memiliki tinggi lebih kurang 4 m. Lokasi ini berfungsi sebagai tempat orang
mempersiapkan sajen dan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara. Bale gong juga
berfungsi sebagai tempat gamelan yang digunakan dalam rangkaian upacara. Pada dinding
sebelah barat terdapat tiga buah pintu yang letaknya sejajar dengan pintu-pintu yang menuju
halaman Jeroan. Pintu utamanya berada di tengah, dengan ukuran yang lebih besar.
3. Halaman Jaba Pesan dan Nista Mandala
Pada dinding di sebelah utara terdapat sebuah pintu masuk, bukan pintu utama tetapi
justru pintu ini yang lebih banyak digunakan oleh pengunjung sehari-hari.

4. Halaman Jabaan
Halaman ini terletak di bagian paling luar (ujung barat). Pintu utama masuk pura terletak
di sisi utara bagian ini, berbentu gapura “candi bentar”. Pada bagian halaman ini permukaan
tanah lebih rendah, lebih kurang 90 cm dari pada bagian halaman pura yang lain. Antara halaman
Jaba Pesan dengan Jabaan tidak terdapat padar/dinding pembatas, sehingga keduannya terkesan
menjadi satu halaman dengan panjang 70 m, lebar 42,50 m. Di sudut barat laut halaman ini
terdapat sebuah bangunan kecil dengan lantai yang ditinggikan , tempat “kulkul” (kentongan),
kulkul ini berfungsi sebagai alat komunikasi, untuk memanggil orang agar berkumpul.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Pada tahun 1720 kerajaan Karangasem Sasak di Lombok membangun sebuah pura yang
megah sebagai tempat persembahyangan, yaitu pura Meru di Cakranegara Lombok, bertujuan
untuk menjaga persatuan dan kesatuan diantara masing-masing penguasa di kerajaan-kerajaan
yang ada di Lombok yang juga masih memiliki hubungan kekeluargaan diantara mereka, Pura
Meru ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem, Pura Meru juga didedikasikan
untuk 3 dewa utama umat Hindu (Dewa Brahma, Dewa Siwa, dan Dewa Wisnu).
Pura Meru berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi pemeluk agama Hindu
Dharma. Di samping sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan, bila dilihat dari latar
belakangnya dibangunnya pura ini, secara politis berfungsi sebagai sarana pemersatu bagi orang-
orang Bali yang ada di Lombok, terutama dalam hal menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
Karena pada waktu itu di Lombok terdapat beberapa buah kerajaan kecil dari penguasa Bali.
Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci)
sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana
yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk di tengah.
Halaman dan ukuran pura meru yakni: halaman jero pura/jeroan yang memiliki ukuran
42,50 m x 42,50 m, halaman jaba tengah berukuran 42,50 m x 42,50 m, halaman jaba pesan dan
nista mandala, dan halaman jabaan yang berukuran 70 m, lebar 42,50 m.

B. Saran
Adapun saran yang penulis ajukan yakni, bagi generasi muda agar dapat menjaga dan
melestarikan segala bentuk peninggalan bersejarah kita dan senantiasa menjaga kesucian pura itu
sendiri baik kebersihan secara skala maupun niskala. Dan bagi masyarakat yang berada disekitar
pura maupun yang akan melaksanakan sembahyang atau juga hanya mengunjungi Pura Meru
setidaknya harus taat dengan aturan adat setempat yang mengharuskan agar memakai kain
maupun selendang jika memasuki kawasan atau areal pura. Juga diharapkan agar menjaga
kebersihan pura baik secara skala maupun niskala
DAFTAR PUSTAKA

http://www.tripadvisor.co.id/Attraction_Review-g297734-d3348267-Reviews-Pura_Meru-
Mataram_Lombok_West_Nusa_Tenggara.html
http://www.indonesia.travel/arsip_id/tamasya/index.php?kat=347803896&scp=3&cp=3&prov=020&p
g=3
http://www.lombokistanawisata.com/tempatbersejarah.php
http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/mengunjungi-pura-meru-yang-sakral-di-lombok
http://wisata.balitoursclub.com/arti-dan-fungsi-meru-di-bali
http://lombok.panduanwisata.com/wisata-religi/pura-meru-simbol-penghormatan-kepada-brahmana-
wishnu-dan-syiwa/

Anda mungkin juga menyukai