Anda di halaman 1dari 11

Asal Usul Agama Budha

1. Asal usul agama Budha diketahui berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan para
ilmuwan dengan memanfaatkan berbagai objek pengamatan seperti peninggalan sejarah, cerita-
cerita kuno, dan apa yang tertulis dalam berbagai kitab masa lampau. Dari penelitian tersebut
diketahui bahwa agama Budha terlahir di abad ke-6 SM di Nepal. Orang yang menjadi
pencetusnya adalah seorang ksatria bernama Siddharta Gautama. Agama ini muncul dari
perpaduan berbagai kebudayaan seperti kebudayaan helinistik (Yunani), kebudayaan Asia
Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Agama ini juga muncul karena adanya reaksi terhadap
hadirnya agama Hindu yang muncul lebih awal.

Dari Nepal, agama Budha menyebar dengan cepat mengalahkan penyebaran agama Hindu ke
berbagai daerah di India, hingga ke seluruh benua Asia. Hingga kini, agama Budha sudah menjadi agama
mayoritas di beberapa negara seperti Thailand, Kamboja, Singapura, Myanmar, dan Taiwan.

Ke semua aliran agama Budha, baik Hinayana maupun Mahayana berpegang pada kitab
Tripitaka sebagai kitab suci. Dalam kitab ini tercatat ajaran dan sabda dari sang Budha yang kemudian
dijadikan pedoman hidup bagi penganut agama Budha. Kitab Tripitaka sendiri terbagi menjad 3 buku
yaitu Sutta-Pitaka yang berisi khotbah dari sang Budha, Vinaya-Pitaka yang berisi peraturan dan tata
tertib bagi para biksu, dan Abhidhamma-Pitaka yang berisi ajaran hukum metafisik dan psikologik.
2. . KITAB SUCI AGAMA BUDDHA

Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui


hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pâli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok
besar yang dikenal sebagai ‘pitaka’ atau ‘keranjang’, yaitu :

1. Vinaya Pitaka
2. Sutta Pitaka, dan
3. Abhidhamma Pitaka

Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka


(sansekerta).

Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka
(Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah yang
merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).

VINAYA PITAKA

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para
bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.

Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni.


Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di
antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang
bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan
orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat
kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis
pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan
yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
Kitab Khandhaka terbagi atas Mahâvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi
peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha
pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pâtimokkha (peraturan
disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan
(vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan mengenai jubah
Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang
tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan
tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran,


tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan
tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan
kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (âcariyâ) dan calon bhikkhu
(sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan
bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah
mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan
pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab
untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

SUTTA PITAKA

Sutta Pitaka terdiri atas lima ‘kumpulan’ (nikâya) atau buku, yaitu :
1. Dîgha Nikâya,
merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi
menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga. Beberapa di
antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat 62 macam
pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa),
Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari
umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk
meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ), Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-
hari terakhir Sang Buddha Gotama).

2. Majjhima Nikâya,
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku
ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta dan
pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di
antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta, Ânâpânasati Sutta,
Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.

3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas
nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor,
untuk memudahkan pengingatan.

4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta.
Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima
belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra,
Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.

b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab
ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.

d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam
bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).

e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana Vagga. Empat
vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.

f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh


melalui perbuatan-perbuatan berjasa.

g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat
dari perbuatan-perbuatan tidak baik.

h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha.
Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh
para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.

i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para
Theri semasa hidup Sang Buddha.

j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.

k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi


komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana Vagga dari Sutta Nipâta; sedang
Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta
Nipâta.

l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci.


Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga
berisi sepuluh topik (kathâ).

m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni,
yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.

n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh


lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang
terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang dijalankan
oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyâ.

ABHIDHAMMA PITAKA

Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara
analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika.
Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :

1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.

2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan


metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-
masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan
Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.

3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi


menjadi empat belas bagian.

4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang


dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh,
sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.

5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-
percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang
dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan
metafisika.

6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha,


Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.

7. Patthana, menerangkan mengenai “sebab-sebab” yang berkenaan dengan dua puluh


empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda
dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif,
sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.

Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam
bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya
3. JENIS-JENIS TEMPAT IBADAH BUDHA

A. Vihara

Perbesar

Ilustrasi Vihara. Foto: iStock

Tempat ibadah Budha yang pertama adalah Vihara. Sejatinya, Vihara berfungsi sebagai pusat kegiatan
agama dan kebudayaan umat Budha. Karena itu, komplek Vihara juga dimanfaatkan sebagai tempat
belajar, berkumpul, serta tempat tinggal para Bhikkhu.

Ada pula Vihara dalam skala kecil yang disebut sebagai cetiya. Mengutip buku Pendidikan Agama
Buddha dan Budi Pekerti oleh Karsan dan Effendhie Tanumihardja, Cetiya hanya berfungsi sebagai
tempat kebaktian saja. Tempat kebaktian itu disebut dengan baktisala.

Di dalam ruang puja bakti Vihara terdapat altar yang berfungsi sebagai tempat diletakkannya
Buddha Ruppang. Ini digunakan umat Buddha sebagai objek untuk menghormati dan mengingat
Buddha Gotama. Selain itu, terkadang altar dilengkapi dengan Bodhisattva Rupang serta benda-
benda puja, seperti dupa, lilin, air, dan bunga.

Tak sedikit masyarakat awam yang menyamakan Vihara dengan Klenteng meski faktanya
keduanya berbeda. Kelenteng adalah tempat ibadah umat Konghucu yang kebanyakan digunakan
untuk memohon sesuatu dan bersifat pribadi. Sedangkan di Vihara, peribadatan lebih bersifat
kebaktian serta dapat diisi ceramah oleh Bhikkhu atau Dharmaduta.
B. Stupa

Stupa adalah lambang agama Budha yang terlihat seperti mangkuk terbalik berbentuk persegi
empat atau segi delapan dengan tongkat di atasnya sehingga bentuknya menyerupai lonceng.
Stupa menjadi identitas yang menandakan suatu bangunan suci beragama Budha. Di beberapa
wilayah, stupa merupakan lambang bagi tempat penguburan barang peninggalan yang berharga.
Karenanya, keberadaan stupa sering menjadi peringatan dan penghormatan atas kehadiran Sang
Budha beserta ajaran-ajarannya.

C. Pagoda

Perbesar

Ilustrasi Pagoda. Foto: iStock

Pagoda adalah tempat ibadah Budha semacam Menara tinggi yang memiliki atap bertumpuk-tumpuk.
Secara umum, pagoda memiliki arsitektur khas Tiongkok.

Mengutip laman china.org.cn, Pagoda mulanya digunakan sebagai tempat penyimpanan jasad
Sakyamuni, pendiri ajaran Budha. Tujuannya adalah untuk melestarikan peninggalan-peninggalannya.

Perkembangan arsitektur bangunan Pagoda di setiap negara berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan
sejarah dan budaya bangsa tersebut. Misalnya, China, Korea, dan Jepang memiliki tipe Pagoda dengan
atap berbentuk persegi yang khas pada setiap tingkatnya. Di sana, Pagoda lebih berfungsi sebagai
monument. Berbeda dengan Pagoda di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand, di mana bagian atap
Pagoda berbentuk kerucut atau piramid dan berfungsi sebagai tempat ibadah.

D. Candi
Candi merujuk pada bangunan keagamaan yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini
digunakan sebagai tempat ritual ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan leluhur, ataupun untuk
memuliakan Sang Buddha.
Arsitektur candi biasanya dihiasi dengan relief dan arca yang bertujuan untuk menyampaikan pesan
kepada para umat saat mengunjunginya.

Salah satu candi Budha paling terkenal di Indonesia adalah Candi Borobudur yang terletak di Magelang,
Jawa Tengah. Sampai sekarang, Borobudur digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Setiap
tahunnya, umat Budha dari berbagai daerah datang dan berkumpul di Borobudur untuk memperingati
Trisuci Waisak. Selain Borobudur, ada sejumlah nama candi yang juga terkenal di Indonesia. Misalnya,
Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Pawon, dan sebagainya.

4. Nama Hari Besar Keagamaan Buddha

 Waisak

Waisak merupakan hari besar di mana umat Buddha memperingati 3 peristiwa penting, yakni:
hari kelahiran Pangeran Siddharta (namanya sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian
Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari wafatnya Sang Buddha, yang berarti mencapai
Nirwana atau Nibbana.

 Kathina

Hari raya Kathina adalah upacara persembahan jubah kepada Sangha usai menjalani Vassa. Usai
berakhirnya masa Vassa, umat Buddha akan memasuki masa atau bulan Kathina. Pada hari raya
ini, umat Buddha tidak hanya memberikan persembahan berupa jubah Kathina, tetapi umat
Buddha juga akan mendanai kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, serta
perkembangan dan kemajuan agama Buddha.

 Asadha

Terkadang disebut dengan Asadha Puja, hari raya ini diperingati 2 bulan usai Waisak. Pada hari
raya ini, umat Buddha memperingati peristiwa khotbah Dhamma Cakka Pavattana Sutta oleh
Buddha kepada Panca Vagiya (Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama, dan Asajji) di Taman
Rusa Isipatana, pada tahun 588 SM. Usai mendengarkan khotbah Dharma tentang 4 kebenarna
mulia itu, mereka mencapai arahat.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha
Bhikkhu yang pertama, sehingga melengkapi Tiratana.
Tiratana alias Triratna berarti Tiga Mustika, yang terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha.
Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana.

 Magha Puja

Hari besar ini ada untuk memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha,
dan Etika Pokok para Bhikkhu di hadapan 1.250 Arahat yang ditabiskan oleh Sang Buddha
sendiri di Vihara Veluvana, Rajagaha.

5.Penyebaran Agama Hindu-Budha Di Indonesia

Pengaruh Hindu dan Buddha datang ke Indonesia hampir berbarengan. Secara garis besar kita
dapat melihat pengaruh tersebut dari berdirinya beberapa kerajaan besar yang pernah berdiri di
Indonesia, dari mulai Kutai yang menguasai sebagian Kalimantan sampai Majapahit yang
mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri. Kerajaan-kerajaan tersebut
telah begitu lama menancapkan taring-taring kekuasaannya di Indonesia sampai berabad-abad
sehingga keberadaan dan pengaruh agama tersebut kuat dalam kehidupan Indonesia. Pengaruh
agama Hindu-Budha masih terlihat sampai hari ini dalam kehidupan sebagian umat Islam di
Indonesia dari mulai bahasa, peribadatan, pakaian, kesenian. (Baca juga : Kerajaan Hindu Budha
di Indonesia)

Awalnya, agama Budha lebih dulu berkembang di Indonesia. Di Indonesia (juga Thailand,
Kamboja, Vietnam, Myanmar, Laos) aliran Hinayanalah yang berkembang, sedangkan aliran
Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang. Perkembangan Budha awal di
Indonesia dibuktikan oleh temuan patung Buddha dari abad ke-2 M di Sikendeng, Sulawesi
Selatan. Contoh lainnya adalah Kerajaan Sriwijaya yang telah ada pada abad ke-6 M di
Sumatera.

Adapun pendapat-pendapat tentang masuknya Hindu-Budha ke Indonesia adalah sebagai berikut:

(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah
orang-orang Hindu berkasta brahmana. Para brahmana yang datang ke Indonesia merupakan
tamu undangan dari raja-raja penganut agama tradisonal di Indonesia. Ketika tiba di Indonesia,
para brahmana ini akhirnya ikut menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Ilmuan yang
mengusung teori ini adalah Van Leur.

(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil mendatangkan Hindu ke Indonesia
adalah kasta waisya, terutama para pedagang. Para pedagang banyak memiliki relasi yang kuat
dengan para raja yang terdapat di kerajaan Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar,
mereka sebagai pedagang asing tentunya harus membuat para penguasa pribumi senang, dengan
cara dihadiahi barang-barang dagangan. Dengan demikian, para pedagang asing ini mendapat
perlindungan dari raja setempat. Di tengah-tengah kegiatan perdagangan itulah, para pedagang
tersebut menyebarkan budaya dan agama Hindu ke tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Ilmuwan yang mencetuskan teori ini adalah N.J. Krom.
(3) Teori Ksatria, mengatakan bahwa proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia
dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan bangsawan dan prajurit perang. Menurut teori
ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia disebabkan oleh persoalan politik yang terus
berlangsung di India sehingga mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan
tersebut terdesak, dan para ksatria yang kalah akhirnya mencari tempat lain sebagai pelarian,
salah satunya ke wilayah Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini adalah C.C. Berg dan
Mookerji.

(4) Teori Arus Balik, mengatakan bahwa yang telah berperan dalam menyebarkan Hindu di
Indonesia adalah orang Indonesia sendiri. Mereka adalah orang yang pernah berkunjung ke India
untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan mereka mendirikan sebuah
organisasi yang sering disebut sanggha. Setelah kembali di Indonesia, akhirnya mereka
menyebarkan kembali ajaran yang telah mereka dapatkan di India. Pendapat ini dikemukakan
oleh F.D.K. Bosch.
TUGAS KLIPING AGAMA BUDHA
DI
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 5
 ADELIA
 RISNA
 EKA
 ANGGA
 IMRAN
 YUSUF
 AGUNG

Anda mungkin juga menyukai