Anda di halaman 1dari 7

RESENSI CERPEN: ASMARADAHANA GALUH MAJAPAHIT

Oleh: Ummukul Sumnoorhani

Siapa yang tak mengenal Majapahit? Kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara
sekitar tahun 1293 hingga tahun 1527 M. Salah satu raja yang membawa Majapahit pada puncak
kejayaannya ialah Hayam Wuruk, sang Maharaja Sri Rajasanagara yang berkuasa pada tahun
1350 hingga tahun 1389 M. Ditangannya berbagai kerajaan berhasil ditaklukkan di bawah
kedaulatan Majapahit dan dibantu pula oleh tangan kanannya yang terkenal akan Sumpah
Palapa, yakni Mahapatih Gajah Mada. Namun, dibalik keberhasilan Prabu Hayam Wuruk dalam
memperluas dan memperkuat pertahanan Majapahit, siapa sangka jika ternyata ia pernah jatuh
cinta pada seorang putri dari penguasa Kerajaan Sunda Galuh atau Pajajaran? Ialah Putri Dyah
Pitaloka Citraresmi atau Citra Rashmi, anak perempuan dari Sri Baginda Prabu Lingga Buana
yang konon terkenal akan kecantikan parasnya.

Ada banyak cara untuk mempelajari atau sekedar mengetahui suatu sejarah. Mulai dari
buku teks, film, cerita dari orang-orang, hingga karya sastra. Tapi, bagi saya akan lebih
menyenangkan jika mempelajari sejarah melalui tulisan-tulisan karya sastra. Salah satunya cerita
pendek yang tak memakan banyak waktu untuk membacanya. Selain mendapat pengetahuan
sejarah, saat membaca sebuah karya sastra bedasarkan sejarah faktual akan membuat kita
berimajinasi atau menerka-nerka seperti apa tragedi-tragedi yang berhasil tercatat dalam sejarah
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Johan Gottfried von Herder sebagai salah satu tokoh
dalam Teori Sosiologi Sastra bahwa ia menggunakan sejarah sebagai acuan untuk menganalisis
sastra, sebaliknya sastra juga digunakan untuk memahami sejarah. Begitulah yang saya lakukan,
saya membaca karya sastra khususnya yang berlatarbelakang mengenai suatu sejarah untuk
memahami sejarah itu sendiri.

Di zaman modern seperti saat ini banyak orang yang lebih memilih segala sesuatu yang
modern dan meninggalkan ketradisionalan. Bahkan tak sedikit yang berpikir bahwa cerita-cerita
klasik zaman kerajaan dirasa membosankan dan dipandang kuno. Tapi nyatanya, Heru
Widayanto dapat meracik kisah roman berlatarbelakang kerajaan menjadi unik dalam bentuk
cerita pendek dan membuat saya sendiri tak sabar untuk segera membalik halaman berikutnya.
Cerita pendek tersebut berjudul Asmaradahana Galuh-Majapahit dan merupakan cerpen yang
sangat saya sukai serta kagumi karena penulis begitu apik dalam mengolah dialog antar tokoh
hingga terasa hidup. Bagaimana pun bentuk sebuah karya sastra, sekalipun itu bukanlah
termasuk dalam selera masyarakat luas, menurut saya sebuah karya sastra itu akan menemukan
pembacanya sendiri. Cerita pendek Asmaradahana Galuh-Majapahit yang ditulis oleh Heru
Widayanto dan termuat dalam kumpulan cerpen berjudul “Cinta yang Tak Terucap” (semua
cerita di dalamnya ditulis berdasarkan kisah nyata) ini akan membawa kita pada awal mula dan
akhir dari kisah asmara antara Prabu Hayam Wuruk sang penguasa Majapahit yang begitu
disegani rakyatnya dengan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi sang gadis jelita dari tanah Pasundan.

Cerpen Asmaradahana Galuh-Majapahit ini sendiri memiliki alur mundur, meski


demikian cerita masih bisa dipahami dengan baik tanpa adanya kalimat yang berbelit-belit.
Selain itu penulis juga memasukkan beberapa kalimat dalam bahasa Jawa (pada beberapa dialog
antara Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada), istilah-istilah pada masa kerajaan, dan
nama-nama tempat yang akan terdengar begitu asing di telinga masyarakat saat ini —khususnya
masyarakat yang bukan berasal dari daerah pulau Jawa atau Jawa Timur. Tapi, hal itu tidak
menjadi hambatan untuk pembaca dalam memahami lebih baik jalan cerita yang ditulis karena
pada bagian akhir cerita terdapat catatan berupa penjabaran maupun arti dari kata atau kalimat
yang tidak umum kita dengar atau temukan. Untuk sudut pandang, penulis mengambil sudut
pandang orang pertama yakni Prabu Hayam Wuruk.

Salah satu cerpen Heru Widayanto ini diawali dengan kalimat yang dikutip dari Serat
Pararaton X : 28, membahas mengenai Sri Baginda Prabu Hayam Wuruk yang ingin
mempersunting Putri Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai permaisuri kerajaan dan hal itu disetujui
oleh pihak Kerajaan Sunda Galuh atau Pajajaran. Serat Pararaton sendiri ialah sebuah kitab
Sastra Jawa yang banyak mengisahkan tentang sejarah raja-raja Majapahit dan Singasari. Meski
saya menyebutkan bahwa cerita pendek ini menceritkan tentang awal mula dan akhir dari kisah
asmara Prabu Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka, cerpen Asmaradahana Galuh-
Majapahit ini lebih banyak menampakkan konflik yang diakibatkan oleh ambisi berlebihan
Mahapatih Gajah Mada yang menjadi cikal bakal munculnya sebuah kericuhan antara Kerajaan
Majapahit dan Kerjaan Sunda Galuh, peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Bubat.

Jika biasanya kita memandang Gajah Mada adalah sosok yang hebat dan berpengaruh
dalam sejarah karena mampu mempersatukan Nusantara, maka cerpen ini akan membuat kita
memiliki pandangan yang berbeda terhadap Gajah Mada sebagai sosok yang angkuh dan
semena-mena atau dalam kata lain bisa disebut sebagai antagonis. Ambisinya yang kuat
mengenai mimpinya untuk mempersatukan wilayah Nusantara juga menjadi penyebab pupusnya
impian Prabu Hayam Wuruk untuk menjadikan Putri Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya.

Dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk jatuh cinta pada Putri Dyah Pitaloka karena
sebuah lukisan yang ditunjukkan oleh Mpu Sungging Prabangkara. Lukisan itu memperlihatkan
keelokan paras dari Putri Dyah Pitaloka yang dilukis secara diam-diam. Maka sesungguhnya
cinta Prabu Hayam Wuruk pada Putri Dyah Pitaloka adalah murni dan impiannya untuk
mempersunting Putri dari Kerajaan Sunda Galuh itu sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh
politik. Namun, apalah daya jika ternyata sang Mahamentri, yaitu Gajah Mada memandang hal
itu merupakan kesempatan untuk menaklukkan Sunda Galuh di bawah kekuasaan Majapahit. Tak
tanggung-tanggung, sebenarnya Gajah Mada tidak mau menerima Putri Dyah Pitaloka menjadi
permaisuri Kerajaan Majapahit, ia menginginkan agar Putri Dyah Pitaloka menjadi sesembahan
dari Kerajaan Sunda Galuh dan menganggap pernikahan antara Prabu Hayam Wuruk dengan
Putri Dyah Pitaloka sebagai tali asih perdamaian. Dengan kata lain sebagai pengampunan agar
Kerajaan Majapahit tidak menaklukkan Kerajaan Sunda Galuh dengan pertumpahan darah. Dari
sini kita dapat melihat bahwa Gajah Mada sama sekali tidak memikirkan perasaan Prabu Hayam
Wuruk yang begitu tulus mencintai Putri Dyah Pitaloka.

Demi sumpah yang telah diikrarkannya, Gajah Mada bersama pasukan Bhayangkara pun
menghabisi seluruh rombongan pengantar Putri Dyah Pitaloka di Pesanggrahan Bubat, yang
menjadi tempat persinggahan rombongan Kerajaan Sunda Galuh di Majapahit sebelum pesta
pernikahan digelar. Sayangnya, pesta pernikahan itu pada akhirnya tidak pernah terjadi.
Mengetahui ayahandanya beserta saudara-saudara sebangsanya telah meregang nyawa di tangan
pasukan pimpinan Mahapatih Gajah Mada, Putri Dyah Pitaloka pun mengambil jalan bela pati,
yaitu bunuh diri demi mempertahankan kehormatan serta harga diri kerajaan dan keluarga.

Bagi saya Asmaradahana Galuh-Majapahit adalah cerpen tersedih yang pernah saya baca.
Walaupun tidak menampilkan dialog-dialog atau kalimat yang membuat hati pembaca terasa pilu
seperti cerpen sad ending atau sejenis lainnya, apa yang dialami oleh Putri Dyah Pitaloka
Citraresmi cukup membuat saya ingin menangis saat membaca kembali cerpen tersebut untuk
yang keempat kalinya. Saya benar-benar larut dalam alur ceritanya yang terasa menyesakkan.
Dengan penghayatan yang mendalam, pembaca akan merasakan betapa tragisnya akhir hidup
seorang Putri dari tanah Pasundan itu. Jauh-jauh sudah ia datang diundang ke Majapahit bersama
ayahnya, Sri Baginda Prabu Lingga Buana, untuk mengucapkan sumpah sakral di hadapan para
Brahmana bersama sang pemilik hatinya, Maharaja Sri Rajasanagara alias Prabu Hayam Wuruk.
Justru takdir berkata lain, ia dan sang ayah beserta rombongan pengantar dari Kerajaan Sunda
Galuh harus gugur di tanah Majapahit.

Selain itu, dikisahkan pula bahwa Prabu Hayam Wuruk begitu meratapi kematian calon
permaisurinya yang cantik jelita itu. Dalam cerpen Asmaradahana Galuh-Majapahit pun, Heru
Widayanto telah menggambarkan perasaan Prabu Hayam Wuruk dengan baik melalui tindakan
dan dialog antar tokoh. Seperti betapa marah dan kecewanya Prabu Hayam Wuruk terhadap
tindakan yang dilakukan oleh Mahamentrinya, Gajah Mada. Saya yang dulu begitu kagum
mengetahui sosok dan perjuangan yang dilakukan Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara
pun dibuat kesal dengan tindakannya yang ternilai angkuh dan terlalu memaksakan. Memang apa
yang dilakukan Gajah Mada itu merupakan hal yang bagus dan mulia (mempersatukan
Nusantara), namun karena ia telah termakan ambisi yang kuat karena Sumpah Palapa yang
dibuatnya, pada akhirnya ia pun memupuskan impian orang lain untuk mewujudkan impiannya
sendiri. Bahkan sekalipun Gajah Mada tidak merundingkan pemikirannya untuk menaklukkan
Kerajaan Sunda Galuh dalam momen itu (pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Putri Dyah
Pitaloka) bersama Prabu Hayam Wuruk. Ia bertindak semaunya tanpa memikirkan perasaan
orang lain. Bagaimana pun juga tindakan Gajah Mada ini termasuk lancang dan ceroboh serta
mengabaikan kepentingan pihak kerajaan. Dalam cerpen ini, saya benar-benar melihat Gajah
Mada sebagai sosok yang menyebalkan karena ia telah menyemburkan air pada gelora cinta yang
tengah membara.

Selanjutnya, saya akan mengaitkan cerita pendek ini pada salah satu teori sastra, yakni
Sosiologi Sastra terutama Teori Refleksi yang dikemukakan oleh Ian Watt yang menitikberatkan
pada sastra sebagai cerminan masyarakat. Teori Refleksi memandang bahwa sastra dapat dibaca
sebagai informasi mengenai nilai dan perilaku sosial serta meletakkan sastra sebagai informasi
tentang masyarakat.

Seperti yang kita ketahui bahwa cerpen Asmaradahana Galuh-Majapahit ini ditulis
berdasarkan kisah nyata atau fakta sejarah yang ada. Yakni didasarkan pada salah satu bagian
dari Serat Pararaton X : 28 yang berbunyi, “Terjadi peristiwa orang-orang Sunda di Bubat. Sri
Baginda Prabu menginginkan Putri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan
permintaan (pinangan) kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan
pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, dialah Sang Baginda Maharaja, tetapi dia
tidak (mau) mempersembahkan putrinya”.

Bertumpu pada Teori Refleksi, maka cerita pendek ini dapat dibaca sebagai informasi
mengenai ambisi Gajah Mada yang tanpa disadari telah menghancurkan impian Prabu Hayam
Wuruk untuk mempersunting Putri Dyah Pitaloka menjadi permaisurinya dan hal itu juga
menjadi penyebab pecahnya Perang Bubat pada tahun 1357 M di abad ke 14. Kemudian dari
cerpen ini pula kita dapat mengetahui bahwa setelah Perang Bubat pecah, Mahapatih Gajah
Mada ditempatkan ke sebuah tanah perdikan kecil sebagai bentuk hukuman dari Prabu Hayam
Wuruk. Hal ini juga menjadi isyarat bahwa kedudukan Mahapatih Gajah Mada telah diturunkan
oleh sang raja. Tanah perdikan kecil itu adalah Madakaripura, daerah Tongas, Probolinggo, Jawa
Timur sekarang. Selain dari yang telah dijabarkan, kita dapat mengetahui pula penyebab
kematian Putri Dyah Pitaloka. Tidak ada siapapun yang berani menyentuh dan melukainya, Putri
Dyah Pitaloka gugur karena melakukan bela pati saat Perang Bubat itu terjadi. Ia rela
meninggalkan kekasihnya, Prabu Hayam Wuruk, untuk menjaga kehormatan dan harga diri
negeri serta keluarganya.

Ada pula nilai dan perilaku sosial yang dapat kita lihat dari cerita pendek ini ialah
keputusan Putri Dyah Pitaloka untuk melakukan bela pati. Seperti yang sudah saya jelaskan
sebelumnya bahwa bela pati adalah tradisi kerajaan dahulu, yaitu tindakan bunuh diri demi
mempertahankan atau membela kehormatan serta harga diri kerajaan dan keluarga. Tindakan ini
sesuai dengan nilai dan tata perilaku yang dianut oleh kasta Ksatria (terdiri atas bangsawan dan
tokoh masyarakat). Para perempuan dengan kasta Ksatria akan melakukan tindakan bunuh diri
jika kaum laki-lakinya telah gugur, hal ini bertujuan untuk membela harga diri dan melindungi
kesucian diri mereka, menghindari kemungkinan dipermalukan oleh orang-orang, penganiayaan,
pemerkosaan, atau bahkan risiko diperbudak. Tindakan Putri Dyah Pitaloka ini kemudian
dianggap tindakan yang mulia oleh masyarakat Sunda. Selain itu, Sri Baginda Prabu Lingga
Buana pun diberi julukan “wangi” atau harum —maksudnya adalah gugurnya sang penguasa
Kerajaan Sunda Galuh di tanah Majapahit itu merupakan hal yang mulia dan hebat karena telah
berkorban demi bangsanya. Maka pada akhirnya, Sri Baginda Prabu Lingga Buana pun dijuluki
Prabu Wangi yang kemudian keturunan-keturunannya disebut Prabu Siliwangi (sili berasal dari
kata silih yang berarti penerus).

Pada dasarnya apa yang terjadi antara Kerajaan Sunda Galuh dengan Kerajaan Majapahit
memang telah mempengaruhi cerita yang ditulis oleh Heru Widayanto. Dengan mengembangkan
imajinasinya, mengadaptasi sejarah menjadi sebuah karya sastra yang menarik. Cerpen ini juga
menunjukkan suatu fakta bahwa hubungan baik antara kedua kerajaan ini telah terputus karena
adanya tragedi Perang Bubat. Bahkan ada sebuah mitos kuno yang beredar bahwa masyarakat
Sunda dilarang untuk beristri / bersuami masyarakat luar, terlebih lagi masyarakat Jawa atau
yang berasal dari Majapahit. Larangan ini mulai ada sejak Prabu Siliwangi mengambil alih
Kerajaan Sunda Galuh.

Sesuai dengan judul kumpulan cerpennya, “Cinta yang Tak Terucap”. Prabu Hayam
Wuruk dalam cerpen Asmaradahana Galuh Majapahit ini digambarkan oleh penulis bahwa ia tak
sempat mengucapkan kata-kata cinta untuk Putri Dyah Pitaloka. Hal itu dapat dilihat dari kalimat
yang diucapkan oleh Prabu Hayam Wuruk, Tak ada satu kalimat pun yang sempat terucap dari
bibirku. Lidah ini terasa kelu, bahkan untuk sekadar mengatakan, “Pitaloka, aku
mencintaimu.”.

Ada juga dialog yang menyesakkan hati sekaligus menjadi klimaks bagi saya, yaitu
dialog dari Putri Dyah Pitaloka yang oleh penulis digambarkan seakan-akan sang Putri
menjawab ungkapan cinta dari Prabu Hayam Wuruk dari dimensi yang lain, “Lihatlah
kekasihku, Raja Majapahit yang gagah perkasa. Jauh-jauh aku meninggalkan tanah Pasundan,
untuk menemui engkau, sang pemilik hatiku. Hari ini seharusnya aku duduk di pelaminan,
mengucapkan sumpah sakral di hadapan para Brahmana. Tapi lihatlah! Aku, ayahandaku dan
para saudara-saudaraku meregang nyawa di tanahmu!”. Sungguh rasanya saya ingin menangis
saat mengetikkan ulang dialog Putri Dyah Pitaloka tersebut. Cerita pendek Asmaradahana
Galuh-Majapahit bagi saya adalah cerita pendek terbaik, terunik, dan berbeda dari cerita pendek
yang ada dalam buku kumpulan cerpen “Cinta yang Tak Terucap”. Cerpen ini juga memberikan
beberapa dampak dalam diri saya, yaitu ingin mempelajari lebih dalam mengenai kejayaan dan
keruntuhan dari Kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Juga
membuat saya merasa bersyukur terlahir sebagai orang Indonesia, negara yang memiliki banyak
kebudayaan, bahasa, dan suku-suku yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai