Anda di halaman 1dari 14

Ummukul Sumnoorhani (1910116220017)

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (A1)

TEORI INTERTEKSTUALITAS

Salah satu tokoh pada teori intertekstualitas adalah Julia Kristeva. Untuk pengertiannya,
teori intertekstualitas adalah suatu pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari
teks-teks lainnya. Selain itu intertekstualitas juga dipahami sebagai proses untuk
menghubungkan teks masa lampau dengan teks masa kini.

Tokoh lain yang juga memiliki pendapat mengenai intertekstualitas adala Gray. Di dalam
bukunya, Gray menekankan arti penting intertekstualitas dengan genre. Ia melihat bahwa The
Simpsons yang berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang terkait dengan
intertekstualitas, yakni (1) penciptaan situasi yang absurd karena ditampilkan secara komikal
sehingga cerminan terhadap dunia menjadi aneh dan (2) dalam konteks intertekstualitas kritis;
suatu keadaan di mana referen-referen intertekstualitas digunakan justru untuk mengkritik
keadaan masyarakat.

Sebuah teks tidak berdiri sendiri. Teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber
teks lain. Ada dua alasan yang mendasari hal ini, yaitu (1) pengarang sebuah teks adalah seorang
pembaca sebelum menulis teks-teks yang ditulisnya. Teks-teks yang ditulis pengarang pasti
dipengaruhi oleh teks-teks lain yang telah dibacanya. Dalam proses penulisan, pengarang tentu
menggunakan rujukan atau kutipan-kutipan dari beberapa teks yang sudah dibaca. (2) sebuah
teks tersedia melalui proses pencarian bahan/materi yang akan ditulis. Dalam proses itu, ada
pertentangan ataupun penerimaan mengenai materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang
dibaca. Teks-teks yang mempengaruhi kemungkinan adalah teks-teks yang ada sebelum teks
ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang biasa diberikan dari
teks-teks lain berupa bentuk gagasan, gaya bahasa, ucapan-ucapan lisan, dan sebagainya. Teks
yang dimaksud disini bukan hanya teks tertulis tapi juga teks yang tidak tertulis/lisan seperti
kebudayaan, agama, dan adat istiadat.
Dalam teori intertekstualitas, ada beberapa prinsip yang ditetapkan. Pertama,
intertekstualitas memandang bahwa sebuah teks melalui sebuah proses pengolahan dari aspek
luar dan aspek dalam teks. Aspek luar adalah aspek dari teks-teks lain yang mendukung teks
yang sudah ditulis, sedangkan aspek dalam adalah pemahaman seorang penulis yang juga
didasarkan pada proses pembacaan berbagai teks. Kedua, sebuah teks juga tidak dapat
dipisahkan dari motif penulis. Teks-teks lain yang menjadi sumber terbentuknya sebuah teks
disaring berdasarkan motif penulis. Ketiga, intertekstualitas juga melihat bahwa teks dibentuk
berdasarkan sumber tertulis maupun sumber tidak tertulis.

Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna
karya yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan
pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.

Menurut Julia Kristeva, teori intertekstualitas itu mempunyai kaidah dan prinsip tertentu,
diantaranya:

1. Pada hakikatnya sebuah teks itu mengandung berbagai teks;

2. Studi intertekstualitas itu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah teks;

3.  Studi intertekstualitas itu mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan


ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat;

4. Dalam kaitan dengan proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks merupakan hasil
yang diperoleh dari teks-teks lain;

5. Dalam kaitan dengan studi intertekstualitas, pengertian teks (sastra) janganlah ditafsirkan
terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk bahasa.

Dalam ilmu teologi, intertekstualitas berperan penting tertutama dalam membaca teks-
teks yang terdapat dalam Alkitab. Alkitab adalah kumpulan teks-teks yang berkesinambungan.
Suatu teks perlu dihubungkan dengan teks lain agar pembaca Alkitab mendapatkan suatu
gambaran yang utuh mengenai teks. Misalnya, dalam Alkitab kisah penciptaan disusun
berdasarkan sumber yaitu sumber Elohis, Yahwis, Deuteronomis, dan Pries. Dalam membaca
kisah Alkitab, metode ini digunakan oleh para ahli hermeneutika dengan nama intertektualitas
hermeneutis. Dengan metode ini, membaca Alkitab menjadi multidimensi. Para pembaca Alkitab
tidak lagi melihat Alkitab secara sempit. Dengan adanya teks-teks lain, pembaca Alkitab mampu
memperluas wawasannya tentang kisah-kisah di Alkitab.

TEORI PASCASTRUKTURALIS

Tokoh-tokoh yang termasuk dalam teori pascastrukturalis adalah Michel Foucault,


Jacques Derrida, Gilles Deleuze, Jean-Francois Lyotard, Roland Barthes, Jacques Lacan, Louis
Althusser, Jean Baudrillard, Slavoj Zizek, Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith
Butler, dan Helene Cixous. Untuk pengertiannya sendiri teori pascastrukturalis adalah sebuah
pikiran yang muncul akibat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan pada pemikiran sebelumnya,
yaitu strukturalisme. Pascastrukturalis lahir sebagai dekonstruksi dari strukturalisme.

Perbedaan strukturalisme dengan pascastrukturalis, yaitu (1) strukturalisme melihat


kebenaran berada di balik atau dalam suatu teks, (2) pascatrukturalis menekankan interaksi
pembaca dengan teks sebagai suatu produktivitas, (3) strukturalisme menjelaskan adanya
hubungan antara penanda dan petanda yang cenderung stabil, (4) pascastrukturalisme sangat
kritis terhadap kesatuan yang stabil antara penanda dengan petanda, petanda dapat menjadi
penanda, (5) kritik terhadap subjek yang terpadu, pengarang sebagai kesadaran asli, kesadaran
menurut pascastrukturalis distrukturkan melalui bahasa.

Michel Foucault adalah seorang ahli sosiologi tubuh sekaligus ahli teori pascastrukturalis.


Karya-karyanya yang sangat berkaitan dengan teori-teori pascastrukturalis yang berisi penjelasan
bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah,
universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwasanya ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki
dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai
seorang pascastrukturalis, Michel Foucault tertarik pada cara yang mana berbagai bentuk ilmu
pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling
signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis
(Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan
cara di mana bentuk-bentuk baru dari pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas
itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.
Salah satu karya Michel Foucault adalah ‘Archeology of Knowledge’ yang merupakan
tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau
wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam
karyanya itu, Michel Foucault juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun
tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau
wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Michel Foucault
adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis
yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan
proses tentang jaringan jaringan diskursus.

Jacques Derrida adalah tokoh pascastrukturalis yang sangat berpengaruh. Ia menamai


metodenya dengan dekonstruksi (ia sendiri juga menyebutnya dengan istilah "Praksis"). Jika
strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh
utama pendekatan pascastrukturalis melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Jacques Derrida
menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekadar “tulisan” yang tidak memaksa
penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan karena itu
tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang
berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang,
yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Oleh sebab itu menurut Jacques
Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia
mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem
berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).

Pascastrukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap


berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu
melampaui strukturalisme. Lalu kesimpulannya, pascastrukturalis menolak ide tentang struktur
stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah
sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata,
kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu
dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
Jacques Lacan adalah salah satu filsuf pascastrukturalis yang mendapat inspirasi dari
pemikiran milik Sigmund Freud, bapak psikoanalisis. Konsep alam-bawah-sadar, ego, ketakutan
akan kastrasi oleh ayah, dan proses identifikasi dari Freud mendasari buah pemikiran Jacques
Lacan.

Dalam upaya meninjau kembali teori tentang subjektivitas yang diturunkan dari karya
Sigmund Freud, Jacques Lacan membaca ulang karya Sigmund Freud untuk memperjelas dan
menghidupkan sekumpulan konsep, khususnya konsep ketidak sadaran. Teori tentang ego dalam
diri manusia yang memunculkan ketidaksadaran manusia itu meluas ke berbagai bidang sosial
dan kemanusiaan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris lainnya berkembang pesat di bawah
pengaruh Heinze Hartman. Pada masa setelah perang besar, gerakan humanisme menjadi
penting, dan muncul pemahaman betapa pentingnya kesadaran manusia, suatu keyakinan bahwa
ego itu, baik maupun buruk berada di pusat kehidupan psikis manusia.

Dengan penekanan strukturalis pada bahasa sebagai suatu sistem perbedaan tanpa
pengertian positif, Jacques Lacan menonjolkan pentingnya bahasa dalam karya Sigmund Freud.
Akan tetapi sebelum pendekatan strukturalis menjadi populer, pada tahun 1936 Jacques Lacan
telah mengembangkan teori bayangan cermin yang bicara tentang kemampuan bayi berumur 6-
18 bulan (belum punya suara), dapat mengenali bayangannya sendiri di cermin. Tindak
pengenalan diri tidak menjadi jelas dengan sendirinya, ini karena sang bayi akan melihat
gambaran tersebut baik sebagai dirinya sendiri maupun bukan dirinya (hanya imaji yang
terpantul). Pada usia itu, bayi belum memiliki konsep kesadaran diri, kemudian pada usia
setelahnya-setelah ia mulai berbahasa, disebut sebagai penanda adanya kesadaran diri. Dengan
demikian, pembentukan ego terjadi, itulah pusat kesadaran. Pada tahun 1953, Jacques Lacan
dalam Diskursus Roma mengatakan, “Manusia berbicara…. tetapi simbollah yang membuatnya
menjadi manusia”.

TEORI DEKONSTRUKSI

Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli antara lain, secara leksikal
prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat
diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan.
Julia Kristeva, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata hanya ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan
kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi
dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun
tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat
wacana.

Umar Junus, memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra.
Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini
tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan
apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

Menurut Al-fayyadl, dekonstruksi adalah sebuah testimoni terbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah
dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.

Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks.


Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual; anggapan selalu hadir sebagai
konstruksi sosial yang menyejarah. Maksud dari hal itu ialah anggapan-anggapan tersebut tidak
mengacu kepada makna final. Itu hadir sebagai jejak yang bisa dirunut pembentukannya dalam
sejarah. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi
yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri
ini ke hadapan kita.

Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara
definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Jacques
Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986) mulai dikenal sejak Derrida membawakan
makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “, di
Universitas Johns Hopkins tahun 1966.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika,
sebagai aliran yale.

Dekonstruksi  yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuwan-ilmuwan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis. Paham dekonstruksi kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J.
Hillis Miller, bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak
mempunyai pandangan yang tunggal, juga dalam praktik mendekati (mengkaji) karya sastra,
walau tentu saja juga mempunyai unsur-unsur kesamaan. Pendekatan dekonstruksi dapat
diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan filsafat. Menurut Jacques Derrida, teori Saussure
yang memandang adanya keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifier,
signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak pernah ada.

Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari
makna monosemi (Selden, 1985). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah
banyak tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003) dekonstruksi merupakan strategi untuk
membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana.

Hakikat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti
dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses
membedakan dan menangguhkan. Istilahdifference ini diungkapkan pertama oleh Derrida untuk
menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu menimbulkan
kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan. Bagian ini
disebut titik aphoria. Titik aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan
sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau
peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi. Penyejajaran atau
pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di dalam teks yang sama (retrospektif)
atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free
play).

Dekonstruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa,
segalanya hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan
bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang
pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala
kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekonstruksi lebih menumpukan kepada
unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekonstruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk
kemudian bergerak maju kepada keseluruhan teks.

Metode dekonstruksi yang dilakukan Jacques Derrida lebih dikenal dengan istilah
dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi
ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003). Metafora
mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman
teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis.
Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah
teks.

Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif.
Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat
bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam,
legam dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi
katanya. Kesadaran akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme.

Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi, Jacques Derrida
pun kemudian menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri
makna.Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan
pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini
berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.

Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-


kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan
yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace)
sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat
kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985).
Inilah penggambaran dari metode penelitian dekonstruksi tersebut.

Menurut Sarup (2003), dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika


barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disatu pihak
mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.

Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks
lain. seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang
dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-kata
yang digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.

Seperti dikemukakan di atas, paham dekonstruksi berusaha melacak makna-makna


kontradiktif, makna ironi, memberikan makna dan peran kepada tokoh-tokoh pinggiran menjadi
tokoh yang berfungsi dalam keseluruhan teks yang bersangkutan. Sebagai contohnya, berikut
akan sedikit diangkat kasus dalam novel Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy. Rahwana Putih
sebagai penerapan paham (pembacaan) dekonstruksi.

Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy merupakan kisah alternatif dari gambaran
Rahwana yang umum dipahami dan dikenal dalam cerita perwayangan, bahwa ia adalah raksasa
jahat yang tenggelam dalam kemutlakan gelap, sang durjana—lambang angkara murka, panji-
panji keserakahan, ketamakan, maling isteri orang dan biang pertumpahan darah. Rahwana
merupakan sosok yang penuh nafsu jahat dan angkara.Serta kelakuannya kasar dan biadab.

Rahwana yang kita kenal sebagai sosok “hitam”, namun dihadirkan sebagai sosok
“putih”. Menelusuri epos Ramayana dan telah menarik ide untuk memikirkan ulang sosok
Rahwana. Apalagi jika mengingat Rahwana adalah anak Begawan Wisrawa yang termasyhur
jauh dari sifat haus kuasa, dia memilih mundur sebagai raja ketika dalam situasi puncak demi
hasrat memahami inti kehidupan. Sedangkan ibunya, Dewi Sukesi, juga dari keturunan raja yg
bijaksana, Prabu Sumali. Dewi Sukesi adalah perempuan cerdas yang tercermin sangat jelas dari
syarat yang diajukan bagi laki-laki yang hendak menjadi suaminya harus bisa memahami
Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus
dimiliki manusia untuk mengubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Dari garis ayah
dan ibu yang demikian, tentu menarik untuk melihat mengapa Rahwana digambarkan di luar
sama sekali lingkup ayah-ibunya. Apalagi sejak usianya belum genap 15 tahun ia telah diberi
pemahaman yang lebih atas Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

TEORI EKOLOGI SASTRA

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, ekologi turut berkembang dengan munculnya


berbagai studi interdisipliner. Menyangkut hal ini, ekologi tidak lagi hanya sebatas kajian tentang
ekosistem atau alam, tapi juga digunakan untuk mengkaji bidang lainnya termasuk bidang sastra.
Ilmu ekologi dan sastra dapat sejalan karena sastra dapat mengungkap suatu peristiwa yang
melibatkan lingkungan sekitar sebagai objek kajiannya (Sugiarti, 2017).
Ekologi sastra merupakan ilmu ekstrinsik sastra yang mendalami masalah hubungan
sastra dengan lingkungannya (Endraswara, 2016). Ilmu ekstrinsik sastra berarti ilmu
pengetahuan yang berada di luar ilmu sastra, atau tidak berkaitan dengan ilmu sastra. Dalam hal
ini, ilmu di luar sastra tersebut merupakan ilmu ekologi yang bersangkutan dengan hubungan
organisme dengan lingkungannya. Namun demikian, secara tidak langsung ilmu ekstrinsik yaitu
ekologi tersebut turut membengaruhi karya sastra, karena karya sastra juga mengkaji suatu
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar sebagai objek kajian di dalamnya.

Ekologi sastra adalah studi mengenai pedoman yang berkaitan dengan menulis dan
membaca yang menggambarkan serta mempengaruhi interaksi makhluk hidup dengan alam
sekitar pada sebuah karya sastra. Hal ini sejalan dengan Endraswara (2016) yang berpendapat
bahwa ekologi sastra merupakan studi yang berkaitan dengan cara-cara mengenai membaca dan
menulis baik mencerminkan serta mempengaruhi interaksi manusia dengan alam.

Ekologi sastra merupakan kajian interdisipliner yang membahas masalah dari sudut
pandang ekologi dan sastra. Kedua disiplin ilmu tersebut digunakan untuk mengkaji hubungan
antara makhluk hidup atau manusia dengan lingkungannya. Hal tersebut saling berkaitan, karena
setiap karya sastra pasti memiliki suatu peristiwa yang melibatkan lingkungan sekitarnya.
Banyak ragam kajian yang dapat dimanfaatkan guna membedah sebuah karya sastra. Dalam
kaitannya dengan karya sastra, ekologi dipakai dalam pengertian beragam. Pertama, ekologi
digunakan dalam pengertian yang dibatasi oleh konteks alam. Kedua, ekologi digunakan secara
luas, termasuk budaya (Endraswara, 2016). Dalam hal ini ekologi dalam karya sastra seringkali
digambarkan melalui budaya tertentu suatu daerah. Budaya yang ada ikut mempengaruhi
keadaan lingkungan dan sastra, sehingga muncul ekologi budaya.

Ekologi mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan secara
menyeluruh. Fokus utama yang dikajinya adalah saling ketergantungan semua makhluk hidup
(Croal & Rankin, 1995). Ekologi dapat digunakan untuk melindungi atau mengeksploitasi alam
dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jika jaringan hidup ingin tetap dijaga
utuh atau untuk membenarkan rasisme atau mengacaukan isu serta memunculkan kesenjangan.
Atau dapat pula digunakan untuk mengkritik masyarakat secara radikal (Buel, 1995) karena teori
ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra melahirkan
ekokritik.

TEORI NARATOLOGI

Teori naratif adalah salah satu teori modern yang dikembangkan dari teori klasik oleh
beberapa ahli sastra dunia. Teori yang berlandas terhadap strukturalisme ini menekankan pada
proses naratologi pada sebuah cerita atau teks dan pemaknaannya. Beberapa tokoh mengkaji
terbentuknya teori naratif, antara lain Vladimir Propp, A.J Greimas, Seymour Chatman, dan
Tzvetan Todorov.

Propp memulai dengan masalah pengklasifikasian dan pengorganisasian cerita rakyat.


Propp secara induktif mengembangkan empat hukum yang menempatkan sastra rakyat atau fiksi
pada pijakan baru. Oleh karena itu Vladimir Propp dikenal sebagai cikal bakal struktural
naratologis, keempat hukum tersebut adalah:

1. Fungsi karakter (tokoh) sebagai sebuah penyeimbang, elemen-elemen tetap dalam sebuah
cerita, tidak bergantung kepada bagaimana atau karena siapa mereka terpenuhi. Elemen-
elemen tersebut membentuk komponen-komponen fundamental sebuah cerita.
2. Jumlah fungsi yang dikenal dalam cerita peri terbatas.
3. Rangkaian fungsi itu selalu identik.
4. Semua cerita peri terdiri atas satu tipe jika dilihat dari strukturnya.

Algirdas Julien Greimas adalah seorang ahli sastra yang berasal dari Perancis. Sebagai
seorang penganut teori struktural, ia telah berhasil mengembangkan teori strukturalisme menjadi
strukturalisme naratif dan memperkenalkan konsep satuan naratif terkecil dalam karya sastra
yang disebut aktan. Teori ini dikembangkan atas dasar analogi-analogi struktural dalam
Linguistik yang berasal dari Ferdinand de Saussure, dan Greimas menerapkan teorinya dalam
dongeng atau cerita rakyat Rusia. Dalam teori naratologi yang dikembangkan oleh Greimas,
yang lebih diperhatikan adalah aksi dibandingkan pelaku. Naratif model ini mampu
menunjukkan secara jelas dan dikotomis antara tokoh protagonis dan antagonis. Greimas
berpendapat bahwa subjek yang terdapat dalam wacana merupakan manusia semu yang dibentuk
oleh tindakan yang disebut actans dan acteurs. Teori struktural naratif dipergunakan untuk
menganalisis karya prosa fiksi berdasarkan pada struktur cerita, dan analisis struktur aktan dan
fungsional merupakan konsep dasar langkah kerja yang dikemukakan Greimas.

Seymour Chatman (1978) dikenal dengan teori naratif pada sebuah film, ia berusaha
menjelaskan tentang wacana naratif, menurutnya teori ini menjelaskan tentang bagaimana
hubungan cerita dari ‘maksud pengarang’ dan ‘penangkapan pembaca’ sebaik ‘narator’ dan
‘naratee’ menuliskan di dalam penggambaran sebuah tampilan. Chatman memulai gagasan
dengan bercerita bahwa mengandaikan perjumapaan seorang teller dan pendengar meskipun sifat
dan hubungan komunikasi tersebut sangat kompleks bahkan ketika menceritakan dan
mendengarkan secara tatap muka. Dengan hubungan dalam pikiran teller-pendengar, Chatman
mengusulkan kerangka kerja dari diskursif tokoh sebagai cara untuk berbicara.

Tzvetan Todorov adalah salah satu tokoh Strukturalis yang mencetuskan pandangannya


mengenai teks sastra. Todorov mengatakan bahwa telaah teks sastra meliputi (1) aspek semantik:
hubungan sintagmatik dan paradigmatik,  (2) aspek verba: modus, kala, sudut pandang,
penuturan, dan (3) aspek sintaksis: struktur teks, sintaksis naratif, kekhususan dan relasi. Dalam
aspek sintaksis dibahas struktur teks, sintaksis naratif, dan kekhususan dan relasi. Struktur teks
membahas urutan logis dan temporal, serta urutan spasia. Sintaksis naratif merupakan ciri cerita
mitalogi. Dalam bidang ini dibahas tiga satuan, yaitu (a) kalimat, (b) sekuen, dan (c) teks.
Kekhususan dan relasi membahas aspek predikat naratif. Kekhususan menyangkut berbagai
bentuk dari satu predikat. Sedangkan relasi menyangkut dua macam predikat yang berbeda, yaitu
primer dan yang sekunder serta aksi dan reaksi.

Sebuah cerita atau teks diciptakan oleh seorang sastrawan sebagai pengaplikasian
kekuasaan dan kebebasaannya untuk mengatur jalannya sebuah cerita. Beberapa pengarang
bersifat mana suka dalam penciptaan karya-karya tersebut yakni tidak mempedulikan bagaimana
ia mengkomunikasikan cerita dengan pembaca. Namun beberapa pengarang lain justru berusaha
memberikan gambaran nyata (teks dibawa semakin realistis) untuk memperkuat tema dalam
sebuah cerita. Sehingga komunikasi seorang sastrawan kepada para pembaca merupakan aspek
penting yang membuat kesempurnaan sebuah naskah.
Teori naratif cenderung erat kaitannya dengan naratologi, yakni proses menyampaikan
suatu cerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau
kejadian dengan adanya paragraf narasi yang disusun dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa
yang berurutan atau secara kronologis. Tujuannya, pembaca diharapkan seolah-olah mengalami
sendiri peristiwa yang diceritakan. Dengan mengalami sendiri dan masuk ke dalam sebuah cerita,
pembaca memiliki kesempatan untuk mengasumsikan dan menciptakan sendiri imajinasi mereka
mengenai keriilan dalam teks tersebut.

Penyampaian cerita oleh seorang narator ini terkadang bersifat subjektif jika narator
tersebut hanya menggunakan satu sudut pandang. Berbeda dengan proses naratologi dalam 
novel Saman. Novel Saman memiliki beberapa tokoh, antara lain Yasmin, Shakuntala, Cok,
Laila, dan Saman itu sendiri. Semua tokoh dalam novel Saman berkesempatan menyampaikan
cerita berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Hal ini juga menyebabkan perbedaan alur
cerita karena setiap tokoh yang merangkap sebagai narator ini berhak menciptakan alurnya
masing-masing, mana yang mau ia ceritakan di depan maupun belakang, meskipun cerita yang
sebenarnya membangun cerita antara kelima tokoh tersebut yakni sama. Kemudian perbedaan ini
juga yang menyebabkan terbentuknya fabula dan sjuzet dalam kaum formalisme Rusia, di
Indonesia kita menyebutkannya sebagai cerita dan wacana, cerita adalah kejadian yang
sebenarnya dan menjadi bahan mentah cerita bagi pengarang sedangkan wacana merupakan
susunan cerita berdasarkan plot yang dibentuk oleh narator. Perbedaan waktu nampak jelas
dalam novel Saman tersebut. Perbedaan yang dibentuk oleh proses naratologi tidak tanpa sebab,
melainkan sebuah upaya dalam pencarian makna, yakni alasan mengapa terjadinya perbedaan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai