Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

APRESIASI DAN KAJIAN PUISI

OLEH :

NAMA : DESINTA TANO

NPM : 31160075

SEMESTER : IV B

PROGRAMSTUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TIMOR

2018

1
1. Biografi Chairil Anwar Penyair Indonesia

Biodata Chairil Anwar


Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Pekerjaan : Penyair
Kebangsaan : Indonesia
Orang tua : Toeloes (ayah) dan Saleha (ibu)

Biografi Chairil Anwar


Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak
tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah
menjabat sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal dari Situjug,
Limapuluh Kota Ia masih punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri
pertama Indonesia.

Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar
tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik.
Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,
sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan
dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.

Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-
orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia
keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang
berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.

Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia,
ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti :
Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar
du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.

Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada
tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah ia
publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki
berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme.

Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama
ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya,
Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.

Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah
Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali

2
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena
dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.
Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.

Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau
hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang"
dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru
Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul
Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh
Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998).
Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena
Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson
(Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton
Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern
Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).

Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga
akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai
seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi, mereka
berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.

Puisi "Aku"
Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943.
Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan
dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih
mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling
terkenal.

Akhir Hayat"

Karya-karya yang Membahas Mengenai Chairil Anwar


1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian
Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta,
1953)
2. Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus
Nijhoff, 1972)

3. Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung
Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra,
Universitas Hasanuddin, 1974)

4. S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil
Anwar" (New York, 1976)
3
5. Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).

6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland,
1976

7. H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya",
(Jakarta: Gunung Agung, 1983)

8. Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)

9. Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1985)

10. Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar
(Jakarta: Grafitipers, 1987)

11. Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)

12. Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

13. Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di
Gedung Kesenian Kota Tegal (2006)

Akhir Hayat
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi dengan kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia
27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah
Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April
1949, penyebab kematiannya tidak diketahui pasti. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Menurut catatan rumah sakit tersebut, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya
sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah,
sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya yakni ususnya pecah. Tapi,
menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan
dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...".

Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga
selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw
menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang
terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

2. SAPARDI DJOKO DAMONO

Prof.Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta , 20 maret 1940. Masa mudanya
dihabiskan di Surakarta. Sapardi bersekolah SD di Sekolah Dasar Kasatrian. Setelah itu ia
melanjutkan ke SMP Negeri 2 Surakarta. Pada saat itulah kegemarannya terhadap sastra mulai
nampak. Sapardi lulus dari SMA pada tahun 1955. Kemudian ia melanjutkan sekolah ke SMA
Negeri 2 Surakarta. Sapardi menulis puisi sejak duduk di kelas 2 SMA. Karyanya dimuat
pertama kali oleh sebuah suat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa
puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam
buku-buku sastra. Sapardi lulus dari SMA pada tahun 1958.

4
Setelah lulus SMA, Sapardi melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Barat FS&K di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, selain menjadi penyair ia juga
melaksanakan cita-cita lamanya untuk menjadi dosen. Ia meraih gelar sarjana sastra tahun 1964.
Kemudian Sapardi memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika
Serikat (1970-1971) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Setelah itu,
Sapardi mengajar di IKIP Malang cabang Madiun selama empat tahun. Kemudian dilanjutkan di
Universitas Diponegoro , Semarang, juga selama empat tahun. Sejak tahun 1974, Sapardi
mengajar di FS UI. Beberapa karyanya yang sudah ada di tengah masyarakat antara lain
DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974). Sapardi juga menulis buku ilmiah,
satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).

Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada
Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu
pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984. Sebuah
karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan
memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang
ditulisnya ketika ia sedang sakit – memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya,
hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra
Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh
penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.

Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi,
yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam
karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada
pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak. Selain melahirkan puisi-puisi,
Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra
asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap
pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra,
ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. Sumbangsih Sapardi juga
cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam
berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas
Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya
Dasar di fakultas sastra.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku
Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni,
Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.

Kumpulan Puisi/Prosa
· "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
· "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
· "Mata Pisau" (1974)
· "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
· "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
· "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
· "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
· "Perahu Kertas" (1983)
· "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
· "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)

5
· "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated
by J.H. McGlynn)
· "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
· "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi
sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
· "Hujan Bulan Juni" (1994)
· "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
· "Arloji" (1998)
· "Ayat-ayat Api" (2000)
· "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
· "Mata Jendela" (2002)
· "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
· "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
· "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an
- 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
· "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa
Indonesia)
· "Kolam" (2009; kumpulan puisi)

Buku
· "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan
A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
· "Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan"
· "Dimensi Mistik dalam Islam" (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel
"Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.

Pustaka Firdaus
· "Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia" (2004), salah seorang penulis.
· "Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas" (1978).
· "Politik ideologi dan sastra hibrida" (1999).
· "Pegangan Penelitian Sastra Bandingan" (2005).
· "Babad Tanah Jawi" (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan
bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan
anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia
adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

3. Biografi Subagio Sastrowardoyo

Subagio Sastrowardoyo (Madiun, 1 Februari 1924 – 18 Juli 1995) adalah penyair, penulis cerita
pendek dan esei, serta kritikus sastra Indonesia. Berpendidikan HIS di Bandung dan Jakarta,
HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM selesai tahun 1958, Universitas Yale
tahun 1961-1966. Pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-I di Yogyakarta
(1954-1958), dosen Kesustraan Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1658-
1961), dosen UNPAD, dosen SESKOAD keduanya di Bandung, dosen bahasa dan Kesusastraan
Indonesia di Universitas Flinders, Adelaide, dan terakhir bekerja di Penerbit Balai Pustaka.

6
Sekitar tahun 1950-an, ia lebih menonjol sebagai pengarang cerpen daripada seorang penyair.
Cerpennya yang berjudul Kejantanan di Sumbing pernah mendapatkan hadiah sebagai cerpen
terbaik. Puisi-puisinya dipandang mempunyai bobot filosofis yang tinggi dan mendalam.
Renungan filosofis itu tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Perumpamaan-perumpamaan dan
lambang yang digunakan hendaknya ditafsirkan secara dewasa dan matang. Dalam cerpen dan
sajak-sajaknya banyak dilukiskan manusia yang gampang dirangsang nafsunya. Manusia-
manusia Subagio adalah manusia-manusia yang dalam mencoba mempertahankan kewajiban
tergoda oleh sifat-sifat kedagingannya. Pak Bagio juga terjun dalam dunia kritik dan telaah
sastra. Esei-eseinya banyak yang mencoba menyelami latar persoalan manusia Indonesia
sekarang secara jujur dan tajam.

Sajaknya yang berjudul Dan Kematian Makin Akrab memenangkan Hadiah Horison untuk sajak-
sajak yang dimuat tahun 1966-1967, dan tahun 1970 mendapatkan Anugerah Seni dari
Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya Daerah Perbatasan (1970).

Bibliografi

- Simphoni (kumpulan sajak, 1957)

- Kejantanan di Sumbing (Kumpulan Cerpen, 1965)

- Bakat Alam dan Intelektualisme (kumpulan esei, 1972)

- Keroncong Motinggo (Kumpulan sajak, 1975)

- Sosok Pribadi dalam Sajak (kumpulan esei, 1980)

- Sastra Belanda dan Kita (telaah sastra, 1980)

- Hari dan Hara (Kumpulan Sajak, 1982).

4. SURIPAN SADI HUTOMO

Suripan Sadi Hutomo, lahir di Blora pada tanggal 5 Februari 1940 (meninggal dunia pada
tanggal 19 Juni 2001). Beliau sering disebut sebagai HB Jassin-nya sastra Jawa karena aktivitas
kritik sastra Jawanya di berbagai majalah berbahasa Jawa, seperti Jayabaya, Panjebar Semangat,
Djaka Lodang, Mekarsari, Kumandhang, dan Dharma Nyata serta ketekunannya dalam
mendokumentasikan karya sastra Jawa tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh HB Jassin
terhadap sastra Indonesia.
Suripan menyelesaikan pendidikan SMA di Blora. Tahun 1968, ia lulus dari Fakultas Keguruan
Ilmu Pendidikan Universitas Airlangga di Madang. Pada tanggal 3 Agustus 1987 mendapat gelar
doctor dalam bidang filologi lisan dari Universitas Indonesia dengan judul disertasi “Cerita
Kentrung Sarahwulan di Tuban”. Selanjutnya, ia menempuh posdoktoral di Universiteit Leiden,
Belanda.
Keterlibatan Suripan dalam dunia kesusasteraan, baik sastra Indonesia maupun sastra Jawa, tidak
hanya melalui tulisan, tetapi juga secara langsung dalam berbagai aktivitas yang berkaitan
dengannya. Suripan aktif membina Organisasi Pengarang Sastra Jawa Pusat (OPSJ), anggota
pembina Sarasehan Sastra Jawa di Ungaran, melakukan siaran apresiasi sastra di RRI dan TVRI
Surabaya, memprakarsai dan mendanai berdirinya Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya
(PPSJS), memprakarsai dan merintis dibukannya Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa di IKIP

7
Surabaya, melakukan ceramah-ceramah sastra di berbagai forum, bersama dengan Basoeki
Rahmat menjadi anggota pleno Dewan Kesenian Surabaya, dan sebagainya.
Meskipun keberadaannya sebagai akademisi dan kritikus sastra lebih menonjol dibandingkan
dengan posisinya sebagai pengarang, Suripan juga menunjukan prestasi yang baik dalam dunia
tulis menulis. Dua karyanya pernah mendapatkan penghargaan, yaitu (1) “Cumedhak” berupa
puisi, juara I dalam lomba penulisan puisi oleh Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada tahun
1971 dan (2) “Apa Wis”, berupa gurit, terpilih sebagai pemenang lomba menulis gurit yang
diselenggarakan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Sebagai kritikus sastra, tulisannya yang
berupa kritik juga pernah mendapatkan penghargaan yaitu (1) “Kringet Saka Tangan Prakosa:
Kumpulan Crita Cekak St. Iesmaniasita” mendapat penghargaan dari Pusat Kesenian Jawa
Tengah (PKJT) pada tahun 1974 dan (2) “Ngrembug Layang Jatiswara” yang terbit di majalah
Jaya Baya pada tahun 1984 mendapat hadiah dari Proyek Javanologi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Karya-karya yang berupa buku teori dan kumpulan esai adalah (1) Telaah Kesusasteraan Jawa
Modern ( Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1974), (2) Mutiara yang Terlupakan :
Metode Penelitian Sastra Lisan (Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Surabaya), (3) Sosiologi Sastra
Jawa, (4) “Intoyo, Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya, 24 November 1974), (5) “Sepisan
Maneh Bab Intoyo, Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya, 26 Januari 1975), (6) “Pengarang
Wanita dalam Sastra Jawa” , (7) “Pengarang Iesmaniasita: Napas lan Lageyane ing Karya-
Karyane” (Panjebar Semangat, 20 Agustus—3 September 1983), (8) “Organisasi Pengarang
Sastra Jawa (OPSJ)”, dan (9) “Grup Diskusi Sastra Blora”.
Hasil karya sastranya antara lain (1) Angin Sumilir (Balai Pustaka, 1988, antologi guritan)
1. Kidung Balada (Pusat Kesenian Jawa Tengah, 1980, antologi guritan), (2) Hartati (1988,
kumpulan guritan), (3) Guritan : Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980 (Sinar Wijaya
Surabaya, 1985), (4) "Kabar Saka Bendulmrisi:" "Ing Kreteg Kaliwangan Ana Rembulan
Jingga: Kagem Hari Astuti Sisihanku" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan
Guritan (PPSJS, 2001), (5) "Kelipe Lampu Kapal" dalam Drona Gugat (Bukan Panitia
Parade Seni WR Supratman, 1995), (6) “Prawan Cilik” (Jaya Baya no. 10 tahun 1967,
guritan), (7) “Pelabuhan Semarang’ (Jaya Baya no. 30, 1969), (8) “Iki Sonet” (Jaya
Baya no. 6, 1972), dan (9) “Cepu Katresnan” (Jaya Baya no. 7, 1974)

5. BIOGRAFI SITOR SITUMORANG

Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi
seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih
sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah
bersentuhan dengan profesi jurnalistik.

Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di
Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan
Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota
Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.

Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan
’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan,
atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung
Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.

8
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia
23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia
berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri
Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.

Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk
memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai
negara boneka dalam wadah negara federal.

Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi
wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor
berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya
dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.

Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya.
Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal
yang memantapkan eksistensi NKRI.

Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia
merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan
puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan
sastra dan politik di Tanah Air.

Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya


puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi
lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor
Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat
berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah
berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam
orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.

Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada
tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat
sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka
Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).

Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti
almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya
dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula
Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam
Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan
Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M
Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen
Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di
penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia
dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena

9
isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini
ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965,
sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan
untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.

Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai
alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut.
Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada
dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,”
ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan
seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.

Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding
Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor
tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani
tahanan rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah
sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut
pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh
menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.

Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun
kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya.
Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan
gemetaran.

“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria
Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat
Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang
yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya
yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang
terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.

Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan
sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala
suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor
Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena
ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati
diri dia yang sesungguhnya.

Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia
menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba
(1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang
dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).

10
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul
Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam
bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit
(2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang,
dan Rusia.

Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti
istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari
usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan,
dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.

Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH,
Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi
Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang.
Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.

Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda,
Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika
ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas
bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya
sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.

Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri
menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens.
Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul
Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin.
Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah
sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana
(STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.

Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut
berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya
berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri
untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta
para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas
sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS.

6. Biografi Arifin Chairin Noer

bima mandala Tuesday, April 11, 2017 Biografi Seniman


Arifin Chairin Noer yang lebih dikenal dengan nama singkatan Arifin C. Noer, adalah sutradara
teater dan film Indonesia terkemuka dan termahal pada masanya. Sutradara kelahiran Cirebon,
10 Maret 1941, ini beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan
penulis skenario terbaik. Meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995.

Arifin amat terkenal lewat film kontroversial yang disutradarainya: Pengkhianatan G 30 S/PKI
(1984). Film ini diwajibkan oleh pemerintah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September untuk
memperingati insiden Gerakan 30 September 1965.

11
Arifin C. Noer, Anak kedua Mohammad Adnan, ini telah memulai kiprahnya dalam dunia seni
sejak kecil. Sejak masih duduk di bangku SMP, ia telah berminat pada seni. Arifin menamatkan
SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP Pendiri Muhammadiyah 1912. Muhammadiyah, Cirebon.
Kemudian melanjut ke SMA Negeri Cirebon namun tidak selesai. Lalu masuk SMA Jurnalistik,
Solo. Setelah itu ia kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978).Yogyakarta (1967) dan International Writing Program,
Universitas Iowa, AS (1972).

Ketika masih duduk di SMP dan SMA, ia telah mengarang cerpen dan puisi, lalu
mengirimkannya ke majalah mingguan yang terbit di Cirebon dan Bandung. Sajak pertamanya,
Langgar Purwodiningratan, mengenai masjid tempat ia bertafakur. Semasa sekolah ia bergabung
dengan Lingkaran Drama Rendra, dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Raja Kasunanan
Surakarta, 1893-1939 Surakarta. Di sini ia menemukan latar belakang Lihat Daftar Tokoh Teater
teaternya yang kuat. Dalam kelompok drama bentukan Rendra ini, ia menulis dan menyutradari
lakon-lakonnya sendiri seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan
Sandek Pemuda Pekerja.

Naskah karyanya Lampu Neon, atau Nenek Tercinta, telah memenangkan sayembara Lihat
Daftar Tokoh Teater. teater Muslim, 1967. Kemudian saat kuliah di Universitas Cokroaminato
Solo, ia bergabung dengan Lihat Daftar Tokoh Teater. Teater Muslim pimpinan Mohammad
Pemimpin Perang Diponegoro lalu ia hijrah ke Jakarta.

Di tengah minat dan impiannya sebagai seniman, ia sempat meniti karir sebagai Manajer
Personalia Yayasan Dana Bantuan Haji Indonesia dan Lihat Daftar Wartawan
wartawan Harian Pelopor Baru.

Lalu tahun 1968, ia mendirikan Teater Ketjil dan berhasil mementaskan cerita, dongeng, yang
seperti bernyanyi. Tentang orang-orang yang terempas, pencopet, pelacur, orang-orang kolong,
dan sebagainya. Mencuatkan protes sosial yang transendental, tetapi kocak, dan religius.

Naskah-naskahnya menarik minat para teaterawan dari generasi yang lebih muda, sehingga
karyanya banyak dipentaskan di mana-mana. Karya-karyanya telah memberi sumbangan yang
besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia.

Karya-karya tulisnya berupa naskah lakon yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh
Teater Ketjil yang dipimpinnya, menunjukkan eksistensinya sebagai salah seorang pencetus
bentuk teater modern Indonesia.

Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stambul, boneka (marionet),
wayang kulit maupun golek, dan melodi pesisir. 'Menurut Penyair Legendaris Indonesia
penyair Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
Taufiq Ismail, Arifin adalah pembela kaum miskin.

Lakon-lakonnya antara lain: Kapai-Kapai (1970), Tengul (1973), Madekur dan Tarkeni (1974),
Umang-Umang (1976), dan Sandek Pemuda Pekerja (1979). Lakon Kapai-Kapai dimainkan
orang dalam bahasa Inggris dan Belanda di AS, Belgia, dan Australia. Pada 1984, ia menulis
lakon Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi.

Kemudian ia berkiprah dalam dunia layar perak sebagai sutradara. Lewat film Pemberang, ia
dinyatakan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972, dan mendapat piala The
12
Golden Harvest. Arifin kembali tampil sebagai penulis skenario terbaik untuk Rio Anakku, dan
Melawan Badai dalam Festival Sutradara
film Indonesia 1978. Ia meraih Piala Citra.

Mengaku otodidak di bidang sinematografi, ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh
membuat film Kugapai Cintamu, 1976. 'Arifin merasakan bahwa pengalaman banyak
menyutradarai teater, ternyata, merupakan dasar yang sangat perlu untuk film.

Pada masanya, Arifin adalah penulis skenario dan sutradara terkemuka dan termahal. Namun
kala itu ia masih menghuni rumah kontrakan di Jalan Rawa Raya, Pisangan, Jakarta Timur, tapi
sudah memiliki Mitsubishi Lancer berwarna putih. Sehingga ia berujar kasihan terhadap diri saya
sendiri, sebab orang sering menudingnya orang kaya.

Film perdananya Suci Sang Primadona (1977), melahirkan pendatang baru: Joice Erna, yang
memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik FFI 1978. Film ini, menurut Volker
Schloendorf -- sutradara Die Blechtrommel, pemenang Palme d'oro Festival Cannes 1979 -- dari
Jerman, ''Menampilkan sosok wajah rakyat Indonesia tanpa bedak. Arifin cermat mengamati
tempatnya berpijak.''

Menyusul film-filmnya: Petualang-Petualang, Harmonikaku, dan Yuyun, Pasien Rumah Sakit


Jiwa, juga Matahari-Matahari. Belakangan, Serangan Fajar dinilai FFI 1982 sebagai Film
Terbaik. Sedang Pengkhianatan G-30-S/PKI, filmnya terlaris yang dijuluki superinfra box-office.
Lewat film ini lagi-lagi Arifin meraih Piala Citra sebagai Penulis Skenario Terbaik, 1985.
Kemudian Arifin menggarap film Djakarta (1989). Setahun kemudian, filmnya Taksi pada FFI
1990, terpilih sebagai film terbaik, meraih enam piala citra.

Ia menikah dengan Nurul Aini, istrinya pertama, dikaruniai dua anak, Vita Ariavita dan Veda
Amritha. Pasangan ini bercerai pada 1979. Kemudian Arifin menikah lagi dengan Jajang
Pamontjak, putri tunggal dubes RI pertama di Prancis dan Filipina, yang memberinya pula dua
anak, Nitta Nazyra dan Marah Laut.

Lalu, ia menderita sakit kanker hati dan lever. Sempat menjalani operasi kanker di Singapura,
sebelum kemudian sejak 23 Mei 1995 dirawat di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Namun
nyawanya tidak tertolong. Ia meninggal dunia pada Minggu, 28 Mei 1995, pukul 06.25.

7. Biografi W.S Rendra.

Bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, beliau lahir di Solo tanggal 7 November
1935. Beliau adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan
Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok.
Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra
adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina
Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah
Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi
di keraton Surakarta.

Masa Kecil WS Rendra


Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai

13
pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952),
di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud
bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke
Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak
menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia
memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa
dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang
kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai
menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai
kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia
mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat
berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui
majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada
saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti
terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan
tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di
Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah
duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw,
di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah
kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau
kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Penghargaan WS Rendra
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di
antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The
First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry
Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival
(1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah
Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku
Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The
S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita
yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha,
Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya
adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang
bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu
panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-
Sunarti.

14
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito
menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra,
kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak
mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu
bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan
Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan
dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi
Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam
hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa
ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan
pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan
yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus
menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah
kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya
dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari
urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra
dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan
saja.

Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka,
Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra
berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung
Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya,
Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sang Burung Merak kembali
mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang
memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar
mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979,
dan Sunarti tak lama kemudian.

Karya Sajak/Puisi W.S. Rendra


 Jangan Takut Ibu  Perjuangan Suku Naga
 Balada Orang-Orang Tercinta
(Kumpulan sajak)  Blues untuk Bonnie

 Empat Kumpulan Sajak  Pamphleten van een Dichter

 Rick dari Corona  State of Emergency

 Potret Pembangunan Dalam Puisi  Sajak Seorang Tua tentang Bandung


Lautan Api
 Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota
Jakarta!  Mencari Bapak

 Nyanyian Angsa  Rumpun Alang-alang

 Pesan Pencopet kepada Pacarnya  Surat Cinta

 Rendra: Ballads and Blues Poem  Sajak Rajawali


(terjemahan)  Sajak Seonggok Jagung

15
16

Anda mungkin juga menyukai