Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali
karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah,
koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita
melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam
suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis
tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara
sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis
jiwa pengarang lewat karya sastranya.
1) Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan
Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
2) T.S Elliot
3) Carl.G.Jung.
5) L.Russu
7) Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus
dalam keadaan jiwa tertentu pula.
Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan,
antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas Jalan
Tak Ada Ujung dan Atheis. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan agar dapat
membaca drama atau novel secara benar.
Tokoh-tokoh dalam Drama dan Novel dinilai benar tidaknya secara psikologis. Situasi
dan plot menjadi perhatian khusus dalam hal ini. Tokoh dalam cerita harus serasi dengan
ceritanya, contoh:
Lily Campbel Mengatakan bahwa tokoh Hamlet cocok dengan Tipe “periang dan optimis yang
mengalami tekanan melankolik”. Yakni tipe yang dikenal dalam teori psikologi zaman Elizabeth.
Oscar Campbell Berusaha menunjukan tokoh Jaques dalam drama William Shakespears “As
You Like It” adalah kasus melankolik yang timbul akibat tekanan.