Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENGANTAR PEMAHAMAN TEORI PSIKOLOGI SASTRA

1.1 Hubungan antara Psikologi dan Sastra

Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang berarti jiwa, dan logos yang
berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan
mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson, 1996: 7). Pada abad ke-20 teori sastra
dilanda perkembangan yang sangat pesat, berbagai teori bermunculan, baik dari jalur
strukturalisme, semantis, sosiologi sastra, psikoanalisis, dan yang lainnya (Zaimar,
2003: 29). Psikologi sendiri merupakan cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dan proses kejiwaan yang dialaminya.
Sastra adalah kata serapan dari bahas Sansekerta yang artinya adalah tulisan
yang mengandung intruksi atau pedoman. Dalam pengunaannya, kata ini lebih sering
digunakan untuk merujuk pada kesusastraan, yaitu hasil karya tulisan yang
mengandungkeindahan dan unsur seni. Misalnya puisi, drama, dan prosa.
Dapat disimpulkan bahwa Psikologi sastra adalah sebuah analisis teks dengan
mempertimbangkan semua yang berhubunga dengan tingkah laku tokoh, psikis yang
diciptakan pengarangnya. Pada dasarnya psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-
asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya, psikologi sastra
dianalisis dalam kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang.
Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa.
Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa
orang lain. Kecerdasan sastrawan yang sering melampaui batas kewajiban mungkin
bisa dideteksi lewat psikologi sastra. Setidaknya sisi lain dari sastra akan terpahami
secara proporsional dengan penelitian psikologi sastra.
Sastra sebagai cermin kepribadian suatu hal yang menarik untuk masuk dalam
telaah atau analisis sastra adalah terlebih dahulu meresapi atau memahami sisi
keberadaan suatu karya sastra. Karya-karya sastra merupakan cerminan perilaku

1
manusia, jendela dimana kita dapat memahami duniadan kepribadian si pengarang(
Minderop, 2011: 60).
Ada beberapa unsur yang perlu diketahui menyangkut hubungan antara
kepribadian dan karya sastra, seperti:
1. Orang perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan
terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khususnya karya
sastra melalui referensi kualitas nalar, kehidupan dan lingkungan si pengarang
2. Orang perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya. Caranya amati biografi
pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupan danmenggunakan
karyanya sebagai rekaman kehidupannya dan menggunakankaryanya sebagai
rekaman kehidupan dan perwatakan
3. Perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si
pengarang di dalam karya tersebut.
Demikian juga terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan terkait antara
sastra dan psikologi diantaranya :
1. Suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran
penciptanya, menurut Marlowe dalam Minderop (2011: 61)
2. Karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah
bahasasebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bawa sastra lebih cenderung pada fiksi yang
menonjolkan keindahan, sedangkan psikologi lebih bersifat riil berdasarkan fakta yang
ada. Namun cemikian kedua hal tersebut saling berhubungan, baik itu sastra maupun
psikologi sama-sama mengangkat manusia dan kehidupan sebgai bahan analisa yang
utama (Jatman,1985).

2
1.2 Pengertian Psikologi Sastra Menurut Para Ahli

Berikut beberapa pengertian psikologi sastra menurut para ahli:


1. Wellek dan Austin (1989:90) menjelaskan bahwa psikologi sastra memiliki empat
arti. Pertama, psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang penulis sebagai
pribadi atau tipe. Kedua, pengkajian terhadap proses kreatif dari karya tulis tersebut.
Ketiga, analisa terhadap hokum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya
sastra. Dan keempat, psikologi sastra juga diartikan sebagai studi atas dampak sastra
terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca.
2. Ratna (240:350) psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah karya sastra dengan
menggunakan pertimbangan dan relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan
ilmu psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya sastra dari sisi kejiwaan
pengarang, tokoh maupun para pembaca.
3. Menurut Endasawara dalam Minderop, 2016: 59 menyebutkan bahwa psikologi
sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.

3
BAB II
TEORI PSIKOLOGI SASTRA DALAM WILAYAH
SOSIOLOGI SASTRA

Psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya


dengan asal-usul karya. Apabila sosisologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
masyarakat yang menghasilkannya, sebagai latar belakang sosialnya, maka psikologi
sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike. Dengan aspek-aspek kejiwaan
pengarang.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi sastra dengan sastra:
1. Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.
2. Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.
3. Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-
cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang
dinamis. Teori psikologi yang paling dominan dalam analisi karya sastra adalah teori
Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego,
dan Super Ego. Peranan teori Freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan
sebelumnya. Menurutnya teori Freud memiliki implikasi ynag sangat luas tergantung
bagaimana cara mengoprasikannya. Disatu pihak, hubungan psikologi dengan sastra
didasarkan atas pemahaman, bahawa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara
langsung menampilkan ketaksadaran bahasa.
Perbedaan antara sosiologi sastra dengan psikologi sastra adalah subjek yang
menghasilkan karya. Subjek sosiologi sastra pada dasarnya sudah direkontruksi
menjadi transindividual.

4
Sosiologi sastra pada umumnya, khusunya strukturalisme genetic tidak pernah
menganggap asal usul karya sebagai manisvestasi pengarang individual.
Sebuah karya sastra yang dikaji dengan teori psikologi sastra sudah pasti juga dapat
dikaji dari segi sosiologi sastra. Karena sebuah karya sudah pasti lahir ditengah
masyarakat, sebuah karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang yang juga hidup
ditengah masyarakat, apa yang diciptakan oleh pengarang sudah pasti masalah yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat dan masih banyak aspek lain yang memang tidak
bisa dipisahkan dari sosiologi sastra. Analisis psikologi sastra lebih lambat
perkembangannya dibandingkan dengan sosilogi sastra penyebab diantaranya:

1. Psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu


kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual sehingga analisi
dianggap sempit.
2. Dikaitkan dengan tradisi intelektual teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga
para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra
3. Berkaitan dengan masalah pertama dan kedua relevansi analisi psikologis pada
gilirannya kurang menarik minat khususnya dikalangan mahasiswa yang dapat
dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan
pendekatan psikologi sastra.
Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh
dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis
adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan tersebut. Karya
sastra arus kesadaran, seperti Belenggu, karya-karya Iwan Simatupangdan Putu Wijaya
(Ratna, 350 : 2003). Dalam hal ini kami mengambil karya sastra yang berjudul
pipisahan karya R.A.F dan sebuah cerpen dalam buku yang berjudul Awéwé Dulang
Tinandé. Kami mencoba menelaah psikoanalisis yang terdapat dalam karya tersebut.
Namun, karya-karya tersebut pasti juga dapat dikaji dari segi sosiologi sastra.

5
Karena sebuah karya sastra sudah pasti lahir ditengah masyarakat, karya sastra
diciptakan oleh seorang pengarang yang juga hidup ditengah masyarakat, apa yang
diciptakan oleh pengarang yaitu masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan
masih banyak aspek lain yang memang tidak bisa dipisahkan dari sosiologi sastra.

6
BAB III
TEORI PSIKOLOGI SASTRA DAN KEKHUSUSANNYA

Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses
dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu
dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan
pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terliat dengan masalah kejiwaan.
Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya :
1. Karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang
yang berada pada situasi setengah sadar (subconsius) yang selanjutnya dituangkan
ke dalam bentuk conscious ( endraswara, 2003:96).
2. Telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri
para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca
merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan
dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaah melalui
pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walupun
imajinatif, dapat menampilkan berbagai problema psikologis.
Pada abad ke-20 kritik psikologis dihubungkan dengan kajian khusus tentang
pikiran, yakni dengan hadirnya teori psikoanalisis dari Sigmund Freud (1852-1939)
dan ajaran pada pengikutnya (Guerin et Al., 1979:121).
Namun dari penggabungan antara sastra dan psikologi kerap terjadi kesalah
pahaman dan salah kaprah dalam cara menerapkan pendekatan psikologi modern
dalam telaah sastra. Kesalahan timbul disebabkan oleh beberapa hal:
1. Karena demikian antusiasnya pengamat menggunakan teori-teori psikologi sehingga
analisis karya sastra berubah menjadi analisis psikologi.
2. Karena kritik sastra dan para ekstremis psikoanalisis kadang-kadang bersikap mistis
dalam keyakinan kelompok mereka.

7
3. Karena para peneliti sastra pada dasarnya tidak memahami secara sempurna ilmu
psikologi.
Selain itu, mereka ini sesungguhnya memberikan penghayatan sekedar terhadap sastra
sebagai karya seni. Penyalahgunaan ini mengakibatkan ketidakpercayaan orang
terhadap pendekatan psikologi dalam sastra. Sehingga, sampai sekarang masih jarang
adanya kajian yang dilakukan terhadap kajian psikologi sastra karena berbagai faktor.

3.1 Latar Belakang Psikologi Sastra

Latar belakang dari berkembangnya pendekatan psikologi sastra dikarenakan


meluasnya ajaran-ajaran Freud yang diterbitkan dalam The Interpretation of Dreaming
dan Three Contributions to a Theory of Sex. Selain itu, pendekatan psikologi sastra
lainnya juga muncul oleh I.A Richards yang merilis buku Principles of Literar
(Hardjana, 1984:59).
Pendekatan psikologi sastra antara lain dirintis oleh I.A. Richards, melalui
bukunya yang berjudul Principles of Literary Criticism (1924). Dalam buku tersebut
Richards mencoba menghubungkan kritik sastra dengan uraian psikologi sistematik.
Dijelaskan olehnya pengertian hakikat pengalaman sastra yang terpadu, sebagaimana
diajarkan oleh psikologi Gestaltt dan pembaharuan bahasa kiritik sastra. Menurutnya,
bahasa kritik sastra mendukung pandangan bahwa karya sastra sebagai suatu objek
estetik tidak mempunyai pengaruh, sebab karya sastra tidak lain adalah sebuah
pengalaman pribadi pembacanya (Hardjana, 1984:60). Menurut Richard, bahasa kritrik
sastra tersebut akan sangat mendukung pandangannya jika karya sastra adalah objek
yang estetik dan tidak memiliki pengaruh. Hal ini karena sastra sendiri adalah sebuah
pengalaman pribadi dari pembaca.
Pendekatan psikologi sastra lainnya juga muncul dari Wordworth yang
merupakan penyair romantil. Belia menjelaskan jika psikologi dapat digunakan untuk
menguraikan sebuab puisi. Bahkan seni sastra hanya bisa didefinisikan melalui
penjelasan seputar latar belakang psikologi.
8
Freud, sebagai seorang psikoanalis yang memiliki perhatian yang cukup besar
terhadap karya sastra juga menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan diri
penyairnya (Hardjana, 1984:63). Kritikus lain yang menggunakan psikologi sastra
adalah Carl G. Jung, dengan pendekatan mitos dan arketipe (keinsanan purba)
(Hardjana, 1984:66-67). Dalam artikelnya yang berjudul “On the Relation of
Analytical Psychology to Poetics Art” (awal 1930-an), Jung beranggapan bahwa
beberapa sajak mempunyai daya tarik khusus yang menggetarkan hati pembacanya.
Rangsangan-rangsangan bawah sadar ini disebutnya “citra-citra dasar” (primordial
images) atau “citra keinsanan purba” (archetypal images) yang terbentuk lewat
pengalaman-pengalaman nenek moyang kita yang diwariskan sebagai bawah sadar
kelompok (collective unconscious) yang menjiwai umat manusia dalam bentuk-bentuk
mitos, agama, mimpi, angan-angan, dan sastra.

3.2 Wilayah Psikologi Sastra

Wellek dan Warren (1990) mengemukakan bahwa psikokogi sastra mempunyai


empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe
atau sebagai pribadi; Kedua studi proses kreatif; Ketiga studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra; Keempat mempelajari dampak sastra pada
pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1990) pengertian pertama dan kedua
merupakan bagian dari psikologi seni, dengan fokus pada pengarang dan proses
kreatifnya, pengertian ketiga terfokus pada karya sastra yang dikaji dengan hukum-
hukum psikologi dan pengertian keempat terfokus pada pembaca yang ketika membaca
dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiwaan.
A. Aliran Psikologi
1. Psikoanalisis
Psikoanalisis yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri
dan konflik-konflikstruktur kepribadian. Tingkah laku menurut Freud, merupakan hasil
konflik dan rekonsiliasi ketiga system kepribadian (id, ego dan super ego).
9
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan
factor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam
pembentukan kepribadian individu. Selanjutnya Freud membahas pembagian psikisme
manusia id (terletak dibagian tak sadar) yang faktornya berfungsi sumber energy psikis.
Ego (terletak diantara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai penengah yang
mendamaikan tuntutan dan larangan super-ego. Super-ego (terletak sebagian di bagian
sadar dan sebagian lagi di bgaian tak sadar) bertugas mengawasi dan menghalangi
pemuasaan yang merupakan yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada
orangtua.
2. Behaviorisme
Behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel, pasif dan
penurut terhadapstimulus lingkungan. Psikologi Behaviorisme lahir di Rusia dan
berkembang sampai ke Amerika. Beberapa tokohnya adalah Ivan Petrovich Pavlov
(aliran Rusia) Edward Lee Thornide, Burruhus Frederick Skinner dan John B Worson.
Behavirisme merupakan aliran dalam psikologi yang timbul sebagai perkembangan
dari psikologi pada umumnya yang ingin meneliti psikologi secara objektif. Para ahli
behaviorisme berpendapat bahwa kesadaran merupakan hal yang dubious (sesuatu
yang tidak dapat diobservasi secara langsung atau nyata).
3. Psikologi Humanistik
Manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta
selalu bergerak kearah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya apabila
lingkungan memungkinkannya (koswara, 1991: 109). Psikologi humanistik
mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan bukan
oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-
pilihannya sendiri. Walgito (2004:80) psikologi humanistic mempunyai empat ciri,
yaitu: memusatkan perhatian pada person yang mengalami, dan karenanya berfokus
pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia; Menekankan
padakualitas-kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas,aktualisasi diri, sebagai

10
lawan dari pemikiran tentangmanusia yang mekanis dan reduksionistis; Menyan-
darkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalahyang akan dipelajari dan
perosedur penelitian yang akan digunakan; Memberikan perhatian penuh dan mele-
takkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada
perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu
B. Psikoanalisis Sigmun Freud
Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856 dan meninggal di London tahun 1939)
memulai karir psikoanalitisnya pada tahun 1896, setelah beberapa tahun Freud buka
praktik dokter. Karena setelah beberapa tahun ia menjadi dokter, Freud tidak pernah
merasa puas dengan cara ia mengobati pasien, Freud berpikir untuk merubah cara
pengobatan pasien. Jika selama menjadi dokter ia mencoba melakukan terapi medis,
Freud berpikir melakukan semacam upaya psikoterapeutik untuk sebagian besar
pasiennya yang ternyata lebih banyak mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya
sebagai Psikoanalisis. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang muncul pada tahun 1890
oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan
perkembangan mental manusia. (Minderop, 2010:10). Dari sekian banyak karyanya
freud menjelaskan the interpretation of dreams sebagai favorit pribadinya. Buku the
interpretation of dreams terbit pada tahun 1899 dan merupakan buku yang berisi dasar-
dasar teori dan ide yang membentuk psikoanalisis.
Psikoanalisis, mendasarkan pemikirannya pada proses bawah sadar yang
membetuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar.
Psikoanalisis tidak bertujuan atau mencari apapun kecuali penemuan tentang alam
bawah sadar dalam kehidupan mental. (Freud, 2002:424). Freud menyatakan bahwa
pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconscious mind)
ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia melukiskan bahwa pikiran manusia seperti
gunung es yang justru sebagian terbesarnya ada di bawah permukaan laut yang tidak
dapat ditangkap dengan indera. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh
berbagai tekanan dan konflik; untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia

11
rapat menyimpannya di alam bawah sadar. Freud merasa yakin bahwa perilaku
seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang mencoba memunculkan diri,
dan tingkah laku itu tampil tanpa disadari. (Minderop, 2010: 13)
Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu aktif, dan selalu siap muncul. Kelihatannya
hanya hasrat sadar yang muncul, tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan
hubungan antara hasrat sadar dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar.
Hasrat yang timbul dari alam taksadar yang direpresi selalu aktif dan tidak pernah mati.
(Minderop, 2010: 15)
Freud menghubungkan kondisi bawah sadar dengan gejala-gejala neurosis. Aktivitas
bawah sadar tertentu dari suatu gejala neurosis memiliki makna yang sebenarnya
terdapat dalam pikiran. Namun, gejala neurosis tersebut akan diketahui setelah gejala
tersebut muncul ke alam sadar yang sesungguhnya merupakan gambaran gejala
neurosis yang diderita seseorang di alam bawah sadarnya. (Freud, 2002: 297)
1. Teori Mimpi
Mimpi adalah fenomena mental. Dalam mimpi, fenomena mental adalah
ucapan dan perilaku orang yang bermimpi, tapi mimpi orang tersebut tidak bermakna
bagi kita dan kita juga tidak bisa memahaminya. (Freud, 2002:97). Namun, dalam
kasus mimpi, orang bermimpi selalu mengatakan dia tidak tahu apa makna mimpinya.
Tapi, Freud menyakini bahwa ada kemungkinan, bahkan cukup besar, bahwa orang
yang bermimpi tersebut mengetahui apa makna mimpinya, hanya saja dia tidak tahu
bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa. (Freud,
2002:98)
Freud percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya,
mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Demikian hebatnya derita karena konflik dan ketegangan yang dialami
sehingga sulit diredakan melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan muncul dalam
alam mimpi tak sadar. (Minderop, 2010:17)

12
Alam mimpi merupakan bagian ketidaksadaran manusia yang memberikan
kebebasan tak terbatas meski simbolisasi dalam mimpi mendapatkan pertentangan oleh
dunia realitas, karena dalam mimpi, si pemimpi tidak dapat membatasi impian yang
akan dimunculkan. Mimpi sebagai perilaku ketidaksadaran, dalam kesadaran muncul
dalam bentuk lamunan. Lamunan tidak harus selalu tidur karena lamunan bawah sadar
juga ada. Lamunan bawah sadar serupa dengan sumber mimpi dari gejala neurosis.
(Freud, 2002:405)
2. Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Tingkah laku menurut Freud, merupakan hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga
sistem kepribadian (id, ego dan super-ego). Faktor-faktor yang memengaruhi
kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya
faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu.
Selanjutnya Freud membahas pembagian psikisme manusia : id (terletak dibagian tak
sadar) yang merupakan sumber energi psikis; Ego (terletak di antara alam sadar dan
tak sadar) yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan dan larangan
super-ego; Super-ego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian
taksadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan yang merupakan hasil
pendidikan dan identifikasi pada orang tua.
3. Dinamika Kepribadian
Menurut konsep Freud, naluri atau instink merupakan representasi psikologis
bawaan dari eksitasi akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut
Freud adalah pengurangan tegangan (tension reduction). (Minderop, 2010: 24)
a. Macam-macam Naluri
Menurut Freud, naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa dibedakan dalam:
eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan naluri kematian (death instinct). Naluri
kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego. Sedangkan naluri
kematian adalah naluri yang mendasari tindakan agresif. (Minderop, 2010: 25).

13
Freud meyakini bahwa perilaku manusia dilandasi oleh dua energi mendasar yaitu,
pertama, naluri kehidupan (life instinct). Dan kedua, naluri kematian yang mendasari
tindakan agresif. Naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau
pengrusakan diri (self-destructive behaviors). (Minderop, 2010: 27)
b. Kecemasan (Anxitas)
Situasi apa pun yang mengancam kenyamanan suatu organisme diasumsikan
melahirkan suatu kondisi yang disebut anxitas. Berbagai konflik dan bentuk frustasi
yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan merupakan salah satu
sumber anxitas. Ancaman dimaksud dapat berupa ancaman fisik, psikis, dan berbagai
tekanan yang mengakibatkan timbulnya anxitas.
Freud percaya bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar merupakan
akibat dari konflik antara id dan pertahanan dari ego dan super-ego. Kebanyakan dari
pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai
personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat, oleh karena
tekanan tersebut, manusia melakukan manuver melalui mekanisme pertahanan.
(Minderop, 2010: 27-28)
c. Teori Seksualitas
Konsep narsisme pada anak, yakni menganggap dirinya sebagai objek cinta
secara menyeluruh. Dengan kata lain, Narsisme sesungguhnya ialah perilaku seseorang
yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek yang dicintai sebagai akibat dari delusi
kebesaran yang diakibatkan oleh libido ‘objek keinginan seksualnya’. Istilah narsisme
ini dipinjam dari kondisi yang digambarkan P.Nacke, yang didalamnya seorang
individu dewasa mencurahkan pada tubuhnya sendiri semua cumbuan yang biasanya
hanya dicurahkan pada objek seksual selain dirinya.
Anak-anak juga mencari objek seksualnya kepada orang lain dengan cara
mengintip atau memperlihatkan (ekshibisionisme).
C. Metode-Metode Telaah Perwatakan

14
Seperti yang dijelaskan sebelumnya jika karya sastra akan sangat berkaitan
dengan tokoh fiksional dari karya-karya yang diciptakan oleh pengarangnya.
Agar membuat cerita lebih menarik, tentu asaja dibutuhkan karakter-karakter yang tak
lazim dan aneh sehingga menjadi ketertarikan sendiri bagi pembacanya. Karakter dan
perilaku ini yang nantinya akan terkait dengan masalah kejiwaan dari seseorang dan
menjadi masalah dalam hal psikologis.
Selama ini banyak yang memperdebatkan jika telaah sastra menjadi sebuah telaah
psikologi. Padahal, hal ini sangatlah berbeda. Sehingga agar telaah sastra psikologis
tetap dalam hakikatnya maka disampaikanlah dalam bentuk metode perwatakan.
Metode-metode tersebut biasanya dalam bentuk seperti berikut:
1. Metode Telling (Langsung)
Metode ini lebih mengandalkan pemaparan dari watak tokoh yang langsung
dari komentar pengarangnya. Melalui metode ini, keikutsertaan dari pengarangnya
dalam penyajian perwatakan tokoh. Sehingga para pembaca lebih memahami karakter
dari tokoh tersebut. Metode langsung ini meliputi nama tokoh, karakterisasi
penampilan tokoh, serta karakteristik dari penjelasan pengarang.
2. Metode Showing (Tak Langsung)
Metode ini lebih memperlihatkan cara pengarang untuk menempatkan diri di
luar dari kisah dengan memberikan kesempatan bagi para tokoh untuk menampilkan
watak dan karakter dari dialog-dialog yang ada. Metode Showing ini meliputi dari
dialog, tingkah laku, serta karakterisasi dari dialog yang ada.
a. Teknik Sudut Pandang
Salah satu unsur fiksi yang digolongkan sebagai sarana dari cerita yang adalah
pemilihan sudut pandang tentu saja tak akan mempengaruhi dari penyajian cerita,
namun akan lebih mempengaruhi alur dari cerita. Sudut pandang merupakan teknik
yang dipilih penulisan dalam menyampaikan gagasan gagasan cerita melalui kacamata
karakter di dalamnya.
b. Gaya Bahasa (Smile, Metafor, Simbol dan Personafikasi)

15
Smile merupakan perkataan perbandingan yang digunakan untuk objek dan
subjek yang berkaitan seperti umpama, laksana, dan lainnya.
Majas Metafora merupakan majas perbandingan yang digunakan untuk
membandingkan langsung dan tepat mengenai dasar sifat yang sama ataupun hampir
sama. Simbol yang ada di dalam sastra dapat berupa ungkapan yang tertulis, latar,
benda, peristiwa, serta perwatakanyang digunakan untuk memperkuat makna secara
keseluruhan.
c. Teori terdekat
Toeri psikologi sastra erat kaitannya denga sosiologi sastra (strutural genetik),
dan teori antropologi sastra. Ketiga teori ini berangkat dari asums-asums genesis yang
sama, yaitu asal-usul karya sastra. Walau memang masing-masing mempunyai bagian
husus dalam karya sastra sebagai objk kajian sastra. Metode yang umum digunakan
untuk mengkaji sebuah teori ada tiga, yaitu:
1. Menentukan terlebih dahulu teori dan pendekatan yang akan diguankan
2. Menentuka terlebih dahulu karya yang akan dikaji, baru kemudian mencari
teori yang relevan untuk karya tersebut.
3. Dalam waktu yang sama menentukan teori dan kajian yang akan diambil.
Dari ketiga metode diatas, lebih baik jika jangan terlebih dahulu memandang
karya yang akan dikaji, baru kemudian menentukan teorinya. Hal tersebut
membuat pemikiran kita lebih sempit dengan hanya terpokus pada satu teori
tanpa melirik teori lainnya.

16
BAB IV
TEORI DAN ILUSTRASI PENERAPAN TELAAH SASTRA

Dengan berangkat dari teori psikologi sastra yang kami kaji, kami memilih
dua karya sastra Sunda untuk dijadikan objek kajian.

4.1 Cerpen Haturan Agan Nunung Rajainten (dalam buku kumpulan carpon
Awéwé dulang tinandé) karya Tjaraka alias Wiranta

A. Sinopsis buku Awéwé Dulang Tinandé


Awéwé Dulang Tinandé téh buku kumpulan carita pondok nu ngagambarkeun
kahirupan urang Sunda dina tilu jaman: jaman normal (jaman Hindia Belanda), jaman
Jepang (1942-1945), jeung jaman sabada Indonesia merdeka. Dina ieu buku, Tjaraka,
nu ngalaman kahirupan dina éta tilu jaman, hadé pisan ngagambarkeun kondisi
manusa Sunda dina masing-masing jaman, sanajan sakapeung karikatural. Nu
panghadéna nyaéta "Haturan Agan Nunung Rajainten" nu mangrupa surat atawa
panineungan anu ditujukeun ka Agan Nunung Rajainten nu geus maot, ngeunaan
pangalaman "abdi" jeung Agan Nunung. Ku cara kitu, pangarangna sacara langsung
ngagambarkeun ayana panta-panta sosial dina pakumbuhan Sunda mangsa harita.
Carita-carita dina ieu buku kabéhanana ngabuktikeun yén Tjaraka téh pangarang anu
seukeut panitén sosialna, sarta mampuh ngawujudkeun hasil paniténna tea dina
wangunan carita nu ngagunakeun basa Sunda nu hirup hurip.
B. Pembahasan
Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Sigmund Freud bahwa terdapat tiga
jenis wilayah pikiran yang mempengaruhi psikologis seseorang, yaitu id, ego dan super
ego. Dalam buku Awéwé Dulang Tinandé yang terdapat carpon berjudul Haturan
Agan Nunung Rajainten karya Tjaraka, penulis akan menganalisis karakter tokoh
utama Pria yaitu tokoh Wiranta.

17
Berikut data yang menjelaskan Kepribadian tokoh Wiranta sebagai tokoh utama:
1. Berdasarkan Id(terletak dibagian tak sadar) yang merupakan sumber energi psikis.

No Bukti Tekstual Interpretasi Hal

“Numawi sakapeung mah abdi Terkadang saya juga bingung,


sok hémeng,sok imut suka senyum sendiri, apa yang
1 sorangan,naon anu jadi menjadi alesan kenapa raden 16
andelan pangna Agan bet mencintai saya?
bogoh ka abdi ?”

“Ku dipasihan saputangan nu Setelah diberi


nganggo jenengan Agan,Haté saputangan,Wiranta ingin
2 mah keukeuh sok hayang bertemu dengan Agan 19
tepang. Kajeun dijembélan ogé walaupun dia sering dicubit
ku Agan téh”

“meren lamun geus jadi Guru Wiranta membayangkan jika


Bantu mah Agan Nunung ogé dirinya menjadi Guru Bantu
3 36
kersaeun ngajodo ka abdi.” mungkin dia dapat menjadi
jodohnya Agan.

“Abdi tos jadi ménak,sanaon Dia sudah menjadi menak dan


4 ménak kajajadén. Masih masih mengharapkan cintanya 38
ngarep citresna Agan.” Agan.

5 “Sinjang sareung acuk Agan Karena pakaian yang Agan 25


baraseuh dugika sinjang…, kenakan menjadi basah dan

18
Dua buah nu keur mejeuhna membuat Wiranta menjadi
dirames-rames disowéh di suit- bernafsu. Dia membayangkan
suit,sanggem urang Cianjur sesuatu …(haha)
mah. Abdi ngarérét
ngarénghap.”

“Cika-cika baranang kelap- Dalam kalimat yang Wiranta


kelip lir soca Agan nu gunakan,dia membayangkan
6 28
ngiceupan…” bahwa cika-cika seperti Agan
yang sedang (mengiceup)

“Abdi Pereum. Namung Walaupun Wiranta menutup


geuning kalah ka gambaran mata, tapi dia masih
7 salira téh teu weléh rasa membayangkan wajahnya
katingal.” Agan yang selalu hadir
didalam ingatannya.

2. Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai penengah
yang mendamaikan tuntutan dan larangan super-ego.

No Bukti Tekstual Interpretasi Hal


“Mung kumaha sareng kedah ka Wiranta berkeinginan untuk
saha nya dongkap upami bade bertemu dengan Agan akan
tepang sareng agan ?..., Da tetapi dia masih kebingungan
1 28
tangtos upami torojong tanpa jika dia datang tanpa tujuan ke
larapan dongkap ka kacamatan, Kecamatan.
nu wanoh mung sareng Aom.

19
Upami Aom nuju teu aya
ngulampreng, tangtos bakal
tambuh laku.”
“Leheung upami abdi Sebenarnya Wiranta ingin
dicandak,upami henteu ?...,ka bertemu dengan Agan tapi dia
2 30
Citaman téh tangtos abdi tiasa masih tidak tahu apakah dia
tepang sareng Agan. dibawa ke Citaman atau tidak.
“Agan! Kedah kumaha atuh Walaupun Wiranta sering
abdi téh! Agan sok dicubit oleh raden tapi dia
ngajembélan,malah kantos tidak berani untuk
ngusap raray Agan. Atuh abdi membalasnya.
mah da teu wantun ari kedah
3 21
ngajembél, nyiwit atanapi
ngusap raray Agan nu sakitu
gamulengna..,Rumaos abdi
saha, Agan saha. Abdi teu
wantun ngalangkungan.”
“Naha atuh make teu daék? Wiranta masih mencintai
Duka kumaha,saban abdi Agan walaupun dia dikelilingi
4 kabeulit ku nu geulis, Agan oleh perempuan cantik. 38
Nunung ngalangkang dina
wangwangan abdi.”
“naha perlu sasalaman Disini Ego akan
ngenalkeun atawa henteu mempertimbangkan apakah
?...Tapi barang sasalaman dia akan bersalaman atau
5 39
sareng Agan,sanés abi waé nu tidak.
ngageter namung panangan
Agan ogé ngageter.”

20
“Abdi raga-reugeu, pan panitih Aku pun bingung, karena
téh lebah pisan nu ngajendol kancing itu memang pas
6 dua.” berada pada bagian sensitifku 32
di wilayah dada

3. Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar)
bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan.

No Bukti Tekstual Interpretasi Hal


“Doraka, abdi doraka, Agan ! Disini Superego bertindak, 37
Upami teu kaburu terang yén Wiranta mengurungkan niat
éta istri anu anom téh istirna untuk berpacaran dengan
1
ajengan…Na da, Agan! wanita muda yang sebenarnya
Ngucapkeun istigfarna ogé adalah istri dari Ajengan.
rébuan kali.”
“abdi jadi jelema nurustunjung Wiranta tetap mencintai Agan 39
deui. Maké tetep mikacinta ka tetapi dia menahan id-nya
2 Agan, sakitu terang ku panon karena dia tahu bahwa Agan
pribadi Agan téh parantos aya telah memiliki suami.
nu kagungan .”
“Naha asa kabina-bina Wiranta ingin memiliki Agan 39
teuing…,teu inget kana tetapi dia teringat bahwa itu
3
pidorakaeun, nepi ka boga adalah dosa.
karep hayang mibanda Agan.”

21
“Tinimbang ngajalankeun Darpada melakukan dosa lebih
4 doraka,teu burung gaduh baik saya tidak punya istri.
bojo,..”

4.2 Novel pipisahan karya R.A.F

Dalam pendekatan psikoanalisis sosiologi sastra ini, kami mengambil novel


Pipisahan karya RAF (Rahmatullah Ading Affandie) sebagai kajian. Dari beberapa
karya yang dapat dikaji dengan pendekatan psikoanalisis, pipisahan dipilih karena
tokoh yang diciptakan pengarang seperti tokoh Emin yang merupakan tokoh utama
dalam novel ini, merasakan guncangan psikis dan konflik batin yang kuat, dan
bagaimana lingkungan sosial berhasil memengaruhi kehidupannya. Buku ini tidak
hanya mengguncnag psikis tokoh yang diciptakannya dalam alam mimpi. Tapi juga
mengguncang fsikis pembaca. Freud mengatakan terkadang pengarang akan
memasukan pengalamannya kepada karyanya dan mungkin saja hal itu juga pernah
dialami oleh pembaca. Apalagi sudut pandang yang diambil dalam buku ini adalah
sudut pandang orang petama (aku/ kuring)
Diceritakan seorang wanita bernama Emin diceraikan oleh suaminya, sakit hati
dan sedih yang mendalam semakin bertambah ketika Ia harus pulang ke rumah orang
tuanya hanya dengan salah seorang putranya. Dengan berat hati Ia terpaksa
meninggalkan kedua putranya yang lain untuk tinggal bersama Ayah dan Ibu tiri
mereka. Bagaimana perjuangan seorang Emin untuk bertahan hidup menjadi seorang
single parent, menyambung hidup, dan mengobati luka di hatinya. Lingkungan
keluarga sedikit demi sedikit berhasil membuatnya bangkit dan semangat menjalani
hidup. Sampai pada akhirnya Ia mendapat kabar duka bahwa mantan suaminya
meninggal.
Penulis menggunakan alur mundur dalam ceritanya. Di awal, Emin
mengungkapkan rasa sedih dan sakit hati diceraikan oleh sang suami. Pembaca
langsung disuguhkan konflik yang dialami Emin.
22
Yang membuat Ia berat untuk berpisah dengan suaminya bukan hanya karena sudah
delapan tahun berumah tangga, melainkan mereka juga sudah dikaruniai tiga orang
putra diantara mereka.
Emin semakin terguncang psikisnya setelah menerima surat talak yang
dititipkan kepada adik iparnya ketika hendak pulang ke kampung halaman. Tersirat
dari pikiran dan perasaan Emin saat dalam kereta api. ‘...di hareupeun aya awéwé
duaan geus tengah tuwuh. Rarasaan téh mencrong baé kana beungeut kuring.
Nyahoeun kitu, yén dina kuring aya amplop nu can dibuka? Nu eusina surat talak?
Nilik kana mencrongna bangun ngéra-ngéra mah, kawas enya nyarahoeun maranéhna
téh.’, dan ‘...Awéwé nu duaan hareupeun téa aranteng deuih tingkarecewis ngarobrol,
moal salah tangtu keur ngobrolkeun kuring nu tas diserahkeun ku salaki. Tangtu keur
ngobrolkeun kuring, sabab kaciri nu saurang mah mencrong baé kana beungeut
kuring’.
Dari prasangka Emin terhadap orang-orang di sekitarnya sangat jelas
menunjukan gangguan psikis yang cukup serius. Sebagai seorang perempuan, digugat
cerai oleh suami merupakan hal yang sangat memalukan dan hina. Terlebih bila
penyebabnya adalah orang ketiga. Maka dari hal itu membuat pikiran Emin kacau.
Sehingga, timbulah prasangka buruk, rasa malu, dan rendah diri pada diri Emin.
Ketika Emin telah berada di rumah orangtuanya, peran lingkungan sekitar ikut
memengaruhi psikisnya. Di sini pengkajian sosiologi sastra dapat dilakukan. Pihak
keluarga sangat mengerti perasaan Emin, mereka pun ikut berempati dan mencoba
menghiburnya. Di rumah orang tuanya, Emin diperlakukan lebih istimewa. Tergambar
dalam paragraf ‘ Sagala dipupujuhkeun kuring hirup téh. Lain malah, lain
dipupujuhkeun kecapna nu merenah mah. Diwowoy nu leuwih keuna mah! Asa
dinangna-néngné deui. Najan henteu diasurkeun ku Ema, tapi karasa pisan yén ka
dapur gé kuring téh teu widi. Lain wungkul ku si Minah deuih dikawulaan téh, malah
jeung ku Ema ku anjeun, jaba ti ku babarayaan nu sok bangun ngahaja ngarubung-
rubung. Minangka nu diantep téh, ngan lamun kuring ngawulaan Mama wungkul.

23
Boh nyayagikeun téh sinték jeung gula batu isuk-isuk, atawa nyayagikeun tuangeun.
Ngan pagawéan éta wungkul nu diantep dipigawé ku kuring téh...’.
Lalu Emin berpikir ‘Kaharti deuih lebah dinyana mah. Sangkan kuring tong
nguluwut, pang beurang-peuting dirubung-rubung ogé ... Kaharti ari eusina mah
hayang ngarubung téh ngajaga bisi kuring nguluwut téa, jeung ngaharaja rék marilu
ngalilipur haté.’. Namun secara tidak langsung, sikap keluarganya yang seperti itu,
membuatnya kembali mengingat kejadian delapan tahun silam. Saat dirinya hendak
melangsukan pernikahan. Bedanya, dulu Ia sangat bahagia diperlakukan seperti itu,
namun sekarang hal itu membuatnya merasa tidak nyaman, merasa dikasihani
walaupun di sisi lain Ia merasa diperhatikan dan disayang.
Yang menarik lagi, pengaruh lingkungan sosial berhasil membuat Emin
bangkit, membuat perubahan dalam hidupnya. Bukan perlakuan orang tua atau
saudaranya seperti yang diceritakan di atas, melainkan secarik kertas, yaitu surat dari
sang kakak, yang berisi nasihat dan penyemangat, sehingga Emin berkata’Surat éta ka
kuring méré sumanget hirup, ngageuing, yén poé kamari mah teu bisa diarep-arep
deui. Nu ngingetan yén kudu hirup. Kudu ngahirupkeun tilu mahluk nu dititipkeun ku
Gusti ka kuring, indugna! ... Lain, sanggeus kitu lain kuring lipur. Tapi sumangat hirup
hudang deui. Nuhun Engkang, nuhun... haté banget nya tumarima’. Sejak saat itu
kehidupan Emin membaik, pikirannya mulai teralihkan dengan hal baru yang membuat
keadaan ekonomimya lebih baik.
Manusia disebut zoon politicon (makhluk sosial), dengan kata lain tak bisa
hidup sendiri. Manusia perlu bersosialisasi, begitu pula dalam cerita pipisahan ini,
untuk bangkit Emin perlu bantuan orang lain. Pembaca dibuat larut dalam cerita.
Karena kuatnya suasana hati tokoh dan kondisi yang digambarkan. Psikis Emin mampu
memengaruhi psikis pembaca pula. Pembaca pun ikut berempati, atau mencoba
merasakan menjadi Emin, hal itulah yang kemudian tanpa disadari berhasil mebuat
pembaca meneteskan air mata.

24
4.3 Kesimpulan dari Hasil Dua Karya yang Dikaji

Carpon Haturanan Nunung Raja Inten jeung novel pipisahan duanana pada
meunang super egona. Dua tokoh utama baik itu Wiranta nu aya dina Carpon
Haturanan Nunung Raja Inten atau tokoh utama Emin dina novel pipisahan,
diciptakan oleh pengarang sebagai tokoh yang mengalah dari hawa napsunya sendiri.
Wiranta selaku tokoh utama dciptakan dengan super ego yang menjadi pemenang atas
diri tokoh. Banyak hal yang sebenarnya menjadi keinginan Wiranta, terutama
keinginan bisa menjadi suami seorang Raden dengan paras cantik. Bukan hanya
Wiranta yang memiliki rasa cinta terhadap si Raden, tapi juga sebaliknya dengan
Radennya sendiri yang juga menyuakai Wiranta. Dibandingdenga Wiranta gelagat
yang diperlihatkan oleh pengarang dalam karya tersebut lebih besar gelagat sang
Raden yang memang menyukai Wiranta. Tapi, wiranta selaku tokh utama yang hanya
diciptakan sebagai orang biasa yang bukan berasal dari keturunan menak, biasa
menahan id dan ego yang berada dalam dirinya.
Carpon Haturanan Nunung Raja Inten yang merupakan karya Tjaraka yang
terbit pada jaman kolonialisme di Indonesia. Kami beranggapan bahwa karya ini
merupakan pengalamnnya sendiri terbukti nama yang dicantumka dalam buku Awéwé
Dulang Tinandé merupakan sandi asma dari nama Wiranta yang ketika kecil biasa
dipanggil Tahya atau Oyo. Wiranta dilahirkan di Kawungluwuk, Conggéang
(Sumedang) 1983. Meamng banyak karyanay yang merupakan pengalam pribadinya.
Sedangkan dengan novel yang berjudul Pipisahan karya R.A.F (Rachmatullah
Ading Affandi), sastrawan kelahiran Banjar Sari Ciamis 2 Oktober 1929, juga masih
bisa disebut pengalamannya sendiri. Tapi dalam hal ini R.A.F tidak mengalaminya
secara langsung apa yang dialami tokoh Emin. R.A.F disini menjadi anak dari Emin.
Jadi, jalan cerita yang ada dalam karya tesebut merupakan pengalaman Ibunya sendiri.
Hal ini bisa dilihat dalam salah satu halaman disebutkan tahun berlangsunngnya cerita
yaitu pada tahun 1931 Masehi. Sedangkan buku tersebut terbit tahun 1975. Melihat
kelahiran pengarang juga 1929.
25
Jadi tidak mungkin kalau itu benar-benar sepenuhnya pengalaman pengarang. Hal lain
yang menguatkan bahwa itu merupakan cerita Ibunya adalah latar belakang yang
menyebutkan bahwa pengarang hanya hidup dengan Ibunya. Dan meamang Ibunya
telah bercerai dengan Ayahnya sejak lama.

26
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Psikologi sastra adalah sebuah analisis teks dengan mempertimbangkan semua


yang berhubungan dengan tingkah laku tokoh, psikis yang diciptakan pengarangnya.
Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh
mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para
tokoh rekaan yang terliat dengan masalah kejiwaan.
Pendekatan psikologi sastra muncul dari asumsi atau argument dari beberapa
tokoh yang terdapat buku dan artikel yang dibuatnya. Ajaran Sigmun Freud yang
diterbitkan dalam The Interpretation of Dreaming dan Three Contributions to a Theory
of Sex merupakan sebab meluasnya ajaran psikologi sastra. I.A Richards pun merilis
buku Principles of Literar Criticism (1924) yang berisi ajaran psikologi sastra. Kritikus
lain yang menggunakan psikologi sastra adalah Carl G. Jung dalam artikelnya yang
berjudul “On the Relation of Analytical Psychology to Poetics Art”(awal 1930-an).
Psikologi Sastra menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri dan
konflik struktur kepribadian. Tingkah laku menurut Freud merupakan hasil konflik dan
rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian (id, ego dan super ego). Id (terletak dibagian tak
sadar) yang berfungsi sumber energy psikis. Ego (terletak diantara alam sadar dan tak
sadar) yang bertugas sebagai penengah dan mendamaikan tuntutan dan larangan super-
ego. Super-ego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bgaian tak sadar)
bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasaan yang merupakan hasil pendidikan.
Psikologi Sastra memiliki keterkaitan dengan Sosiologi Sastra. Perbedaan
antara sosiologi sastra dengan psikologi sastra adalah subjek yang menghasilkan karya.
Subjek sosiologi sastra pada dasarnya sudah direkontruksi menjadi transindividual,
Sosiologi sastra pada umumnya, khusunya strukturalisme genetic tidak pernah
menganggap asal usul karya sebagai manisvestasi pengarang individual.
27
Sebuah karya sastra yang dikaji dengan teori psikologi sastra sudah pasti dapat dikaji
dari segi sosiologi sastra. Karena sebuah karya sastra pasti lahir ditengah masyarakat,
karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang yang hidup ditengah masyarakat, apa
yang diciptakan oleh pengarang yaitu masalah yang dalam kehidupan masyarakat dan
masih banyak aspek lain yang memang tidak bisa dipisahkan dari sosiologi sastra.
Untuk psikologi sastra dalam ilustrasi penerapan telaah sastra, kami mengkaji
Carpon Haturanan Nunung Raja Inten dalam buku Awéwé Dulang Tinandé dan novel
pipisahan. Kedua karya sastra itu dipilih karena tokoh utamanya diciptakan pengarang
seperti tokoh Emin dalam novel Pipisahan dan tokoh Wiranta dalam carpon Haturan
Nunung Raja Inten, merasakan guncangan psikis dan konflik batin yang kuat, dan
bagaimana lingkungan sosial berhasil memengaruhi kehidupannya. Kedua karya sastra
tersebut sangat kuat pada super ego yang dapat dilihat pada bukti kontekstual yang
telah dibahas di bab sebelumnya.

5.2 Saran

Menghadapi sebuah karya sastra sebaiknya tidak hanya membaca lalu


menikmati sebagai hiburan. Namun seharusnya kita harus bisa menganalisis sebuah
karya sastra agar dapat memahami isi dari karya sastra tersebut. Selain itu, kita sebagai
pelajar yang telah mempelajari ilmu-ilmu atau teori-teori tentang kesusastraan,
sebaiknya mengaplikasikan hasil belajar kita dalam menganalisis sebuah karya sastra.
Sehingga kita tidak hanya bertindak sebagai penikmat atau pembaca karya sastra saja,
melainkan bisa mengkritik dan menelaah karya sastra.

28
DAFTAR PUSTKA

Bertens, Kees. 2016. Psikoanalisis Sigmun Freud. Indonesia : PT Gramedia Pustaka


Eaglaton, Terry. Teori Sastra Sebuah pengantar Koherensip. Yogyakarta: Jalasutra
Faruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yoyakarta: Pustaka Pelajar
Freud, Sigmun. 2009. Pengantar Umum Psikoanalisis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Minderop, Albertine. 2016. Psikologi Sastra: Karya sastra, Metode, Teori, dan Cintoh
Ksus. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
RAF. 2012. Pipisahan. Bandung : PT Kiblat Buku Utama
Ratna, Nyoman Kuta. 2003. Teori, Kritik, dan Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Rosidi, Ajip dan Sutiasumarga, Rusman. 2013. Kanjutkundang: Prosa jeung Puisi
sabada perang. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
. 2003. Apa Siapa Orang sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Satjadibrata, R. 2016. Kamus Basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Suwardi, Endraswara. 2003.Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama
Tjaraka. 2011. Awéwé Dulang Tinandé. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra. Indonesia : Kanwa Publisher

29
SUMBER INTERNET

http://dosenpsikologi.com/teori-psikologi-sastra
https://www.dkampus.com/2017/04/psikologi-sastra-menurut-para-ahli/
https://www.scribd.com/doc/225078703/Psikologi-Sastra
http://dosenpsikologi.com/psikologi-sastra
http://dosenpsikologi.com/teori-psikologi-sastra
https://www.dkampus.com/2017/04/psikologi-sastra-menurut-para-ahli/
https://www.scribd.com/doc/225078703/Psikologi-Sastra
https://www.academia.edu/3798947/BAB_I_PSIKOLOGI_SASTRA_Tujuan_Pembe
lajaran_Amir_Hamzah_PADAMU_JUGA_Habis_kikis
https://www.academia.edu/25741229/Bukuajar_Psikologi_Sastra
https://www.academia.edu/11737463/ANALISIS_SOSIO-PSIKOLOGI_SASTRA
http://www.academia.edu/10526819/Pendekatan_Psikologi_Sastra
http://www.academia.edu/29112202/PSIKOLOGI_SASTRA_CARL_GUSTAV_JU
NG.docx

30

Anda mungkin juga menyukai