Anda di halaman 1dari 16

TEORI SOSIOLOGI SASTRA

1. Pengertian Sosiologi Sastra


Suatu hal yang tidak dapat dibantah bahwa seorang penyair-seniman umumnya – senatiasa
dan niscaya hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam kerangka ruang dan waktu itulah
pengarang, sebagai individu dan bagian dari masyarakat, senantiasa akan terlibat dengan beraneka
ragam permasalahan. Dalam bentuk yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah
masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya saling
berinteraksi. Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan
sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan
(Jabrohim, 2007).
Lebih lanjut Jabrohim (2007) menjelaskan bahwa pernyataan di atas menegaskan bahwa
seorang pengarang (sastrawan) pada hakikatnya adalah seorang anggota masyarakat. Oleh karena
itu, ia terikat oleh status sosial tertentu. Oleh karena itulah, sastra dipandang sebagai institusi sosial
yang menggunakan medium (sarana) bahasa. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan (Damono, 1980). Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, termasuk
penyair-antar manusia dan peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanpun, peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi subject matter karya sastra,
adalah refleksi hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat, dan juga dengan
Tuhan Yang Maha Pencipta.
Secara umum dinyatakan bahwa karya sastra memiliki dua makna, yakni makna niatan
(amanat) dan makna muatan (tema). Makna niatan adalah makna yang dikehendaki sastrawan,
sedang makna muatan ialah makna yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Kedua jenis makna
tersebut menjadi penjelas bahwa karya sastra ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam
diri sastrawan, baik pengalaman yang diperoleh melalui interaksi sosial maupun pengalaman dari
interaksi religious. Oleh karena itu, dalam konteks ini, upaya untuk memahami dan merebut makna
karya sastra, seorang pembaca harus melengkapi diri dengan berbagai macam pengetahuan yang
justru berada di luar sastra, tetapi erat kaitannya dengan sastra, seperti filsafat, agama, idiologi,
politik, dan sosio-kultural (Jabrohim, 2007).
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh
beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan penggunaan
istilah sosio-sastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra.
Sosiologi sastra merupakan interdisipliner ilmu sastra dengan sosiologi.
Secara sederhana sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah
ilmu yang mengkaji kehidupan manusia dalam masyarakat. Sastra atau dalam konteks ini ilmu
sastra mengkaji kehidupan manusia yang diekspresikan dalam karya sastra sebagai salah satu
karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Karena memadukan dua ilmu, maka
sosiologi sastra pada dasarnya adalah salah satu ilmu sastra yang bersifat interdisipliner yang
memahami fenomena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial.
Seperti diuraikan Laurenson & Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972)
sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa
masyarakat itu bertahan hidup. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama,
yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang
timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi
melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan
proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan
bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah
secara subjektif dan personal (Damono,1980).
Laurenson & Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi
yang mengunakan data sastra. Pertama, penyelidikan yang bermula dari lingkungan sosial untuk
masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra.
Oleh Laurenson & Swingewood, cara seperti ini disebut sociology of literature (sosiologi sastra).
Penyelidikan ini melihat faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan
masyarakat tertentu. Kedua, penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada
genre dan masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi sastra).
2. Macam-macam Sosiologi Sastra
Ian Watt (via Wellek & Warren, 1997), membedakan tiga bidang pokok bahasan sosiologi
sastra yang mengkaji konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi
sosial sastra. Berdasarkan pendapat tersebut, sasaran sosiologi sastra dapat diperinci dalam tiga
bidang pokok, yaitu: (a) konteks sosial pengarang, (b) sastra sebagai cermin masyarakat, dan (c)
fungsi sosial sastra. Konteks sosial pengarang, antara lain memahami posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Sosiologi sastra yang memahami sastra sebagai
cermin masyarakat dan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan
masyarakat. Fungsi sosial sastra memahami sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial.
Pertama, konteks sosial sastrawan. Dalam hal ini konteks sosial sastrawan ada hubungannya
dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi sastrawan sebagai invidu dalam proses kreatif berkarya
perlu mendapatkan perhatian dalam kajian sosiologi pada bidang pokok ini. Hal-hal yang dapat
dijadikan bahasan atau diteliti, antara lain: (i) profesi atau matapencaharian sebagai pengarang,
apakah mendapat jaminan atau bantuan pengayoman hidup atau tetap dituntut bekerja secara
mandiri; (ii) profesionalisme dalam kepengarangan, apakah sastrawan menganggap pekerjaan
bersastra sebagai profesi; (iii) khalayak atau masyarakat yang menjadi pembaca atau penikmat
karya sastra yang dihasilkan (Jabrohim, 2007).
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Pokok bahasan ini dikaji adalah sejauh mana karya
sastra mencerminkan keadaan masyarakat. Dalam hubungan ini, beberapa hal yang perlu
medapatkan perhatian adalah: (i) kemungkinan sastra tidak dapat mencerminkan masyarakat paa
waktu sastra itu ditulis; (ii) setiap pengarang memiliki karakteristik “pribadi” yang mempengaruhi
pemilihan dan penyajian fakta-fakta sosial dalam karya sastra yang dihasilkan; (iii) genre atau jenis
karya sastra merupakan sikap sosial tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, dan (iv)
sastra berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya sehingga dapat
dianggap sebagai sebuah cermin. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila
sastra akan dipandang sebagai cermin masyarakat (Jabrohim, 2007).
Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam pokok bahasan ini, pendekatan sosiologi sastra berusaha
menjawan pertanyaan dasar tentang fungsi dan nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial
masyarakat. Untuk itu, terdapat tiga hal perlu diperhatikan dalam pokok bahasan ini, yakni: (i)
anggapan bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi sehingga sastra dianggap
sebagai pembaharu atau “pemberontak”, (ii) anggapan bahwa karya sastra berperan sebagai sarana
hiburan semata-mata, sehingga yeng terpenting adalah sastra dapat menyenang-kan dan memberi
hiburan, dan (iii) anggapan “kompromitis” yakni sastra di samping memiliki kanduangan nilai
tinggi sebagai media pencerahan berpikir, pada saat bersamaan fungsi hiburan tetap harus
diperhatikan, sebagaian slogan “sastra harus mengajarkan (bermanfaat) sesuatu dengan cara
menghibur indah dan menyenangkan (dulce at utile),
Wellek dan Warren (1997) menjelaskan tiga macam sosiologi sastra, yaitu (a) sosiologi
pengarang, (b) sosiologi karya sastra, dan (c) sosiologi pembaca. Pertama, sosiologi pengarang
memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri.
Memfokuskan perhatian pada apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi
tujuannya. Ketiga, sosiologi pembaca memahami pembaca yang pengaruh sosial karya sastra.
Ketiga macam sosiologi sastra tersebut diuraikan pada sub-subbab sebagai berikut.

a. Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang dapat dimaknai sebagai salah satu teori sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Dalam sosiologi
pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap merupakan makhluk sosial yang
keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya
dalam masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca.
Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas yang
digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya (Caute, via Junus, 1986:8).
Realitas yang digambarkan dalam karya sastra sering kali bukanlah realitas apa adanya, tetapi
realitas seperti yang diidealkan pengarang. Dalam penelitian Junus (1986: 8-9) mengenai novel-
novel Indonesia, seperti Belenggu dan Telegram, ditemukan bahwa kedua novel tersebut telah
mencampuradukkan antara imajinasi dengan realitas. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya
sastra melalui sosiologi pengarang membutuhkan data dan interpretasi sejumlah hal yang
berhubungan dengan pengarang.
Wilayah sosiologi pengarang menurut Wellek dan Warren, serta Watt, antara lain adalah
meliputi:
1. status sosial pengarang,
2. ideologi sosial pengarang,
3. latar belakang sosial budaya pengarang,
4. posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
5. masyarakat pembaca yang dituju,
6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra)
7. profesionalisme dalam kepengarangan.

Jakob Sumardjo dalam bukunya Segi Sosiologis Novel Indonesia (1981) telah melakukan
kajian terhadap tradisi kepengarangan di Indonesia. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa
dunia kepengarangan di Indonesia, dapat dikatakan dilahirkan dari dua dunia, yaitu dunia
kewartawanan dan dunia keguruan. Di samping itu, ditemukan dunia kedokteran dan kepegawaian
umumnya (Sumardjo, 1981:34). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sumardjo (1981:34)
sampai awal 1980-an, ditemukan bahwa sebelum perang (maksudnya perang dunia kedua)
terdapat 14 orang pengarang yang jabatannya wartawan, 10 orang dari jabatan guru. Sesudah
perang jumlahnya meningkat. Pengarang yang berasal dari wartawan ada 31 orang, sementara pe-
ngarang yang berasal dari kalangan guru dan dosen ada 22 orang.
Data yang berkaitan dengan dunia kepengarangan dan profesionalisme kepengarangan, serta
profesi rangkap tersebut menunjukkan bahwa pengarang Indonesia sebagian besar hidup dari
kewartawanan, baik sebagai redaktur suatu koran atau majalah, atau sebagai wartawan lapangan.
Menurut Sumardjo (1981:35) kenyataan ini tidak mengherankan karena asal mulanya timbul
kesusastraan modern di Indonesia, memang disebabkan oleh munculnya persuratkabaran. Sekitar
tahun 1850 di Indonesia (Hindia Belanda) telah terbit koran-koran dengan bahasa Melayu yang
dikelola oleh orang-orang Belanda atau Cina, dan orang-orang Melayu sendiri. Dari lingkungan
itulah, sekitar tahun 1890-an muncul roman-roman pertama dalam bahasa Melayu pasaran yang
ditulis oleh orang-orang Belanda semacam Wiggers dan orang-orang Cina seperti Lie Kim Hok.
Lantas sekitar tahun 1990-an, muncul nama-nama Indonesia asli yang menulis roman, seperti Haji
Mukti (menulis Hikayat Siti Mariyah), R.M. Tirtoadisuryo (menulis Busono dan Ny Permana),
serta Mas Marco Kartodikromo (menulis Rasa Medeka dan Student Hijo). Mereka adalah para
wartawan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para wartawan Indonesia seperti Adinegoro,
Semaun, Abdul Muis, Armijn Pane, Matu Mona, Mochtar Lubis, Satyagraha Hoerip, Iwan
Simaputang, sampai Putu Wijaya.
Di kalangan guru dan dosen, kegiatan kepengarangan menurut Sumardjo (1981:35) baru
dimulai pada tahun 1908, dengan didirikannya komisi bacaan rakyat oleh pemerintah kolonial
yang kemudian bernama Balai Pustaka (1917). Beberapa pengarang Indonesia yang berkarya
melalui penerbit ini antara lain Muhamad Kasim, Suman HS, Aman Dt. Madjoindo, Selasih, Nur
St. Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, yang semuanya berprofesi guru pada waktu itu. Tradisi
ini dilanjutkan oleh A.A. Navis, Ali Audah, Wildan Yatim, Kuntowijoyo, Budi Darma, dan Umar
Kayam.
Menurut penelitian Sumardjo (1981) ada perbedaan karakteristik antara karya yang ditulis
oleh dua tradisi tersebut. Roman dari kalangan wartawan, pada awal perkembangannya, meskipun
ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu pasar, namun persoalan yang mereka garap lebih
serius yaitu persoalan sosial politik penduduk jajahan. Sastra mereka gunakan sebagai alat untuk
mengekspresikan kegundahan politik mereka. Roman-roman mereka keras dan galak terhadap
sistem penjajahan dan diwarnai oleh pertentangan keras ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa
sastra bukan sekedar hiburan, tetapi juga suatu bentuk mengemukakan permasalahan sosial politik
bangsa.
Sementara itu, roman karya para guru lebih bersifat didaktis dan kolot. Yang mereka
persoalkan adalah nasib buruk kaum perempuan akibat kolotnya orang tua, seperti tampak pada
Sitti Nurbaya, Jeumpa Aceh, dan Kasih Tak Terlerai. Roman-roman ini cenderung sentimentil
dengan kerangka plot yang dipasang sedemikian rupa sehingga jalan cerita menjurus kepada
memeras air mata para pembacanya Sumardjo (1981:37). Profesi guru yang mengharuskan mereka
bersikap konvensional dan hati-hati menurut Sumardjo (1981:38) kurang menunjukkan karya-
karya yang berani, Sebagai guru dan dosen, para pengarang tersebut harus menjaga diri sebagai
benteng budaya mapan. Oleh karena itu, pembaharuan-pembaharuan dalam kesusastraan kita
jarang keluar dari lingkungan guru, tetapi dari lingkungan wartawan. Roman-roman Iwan
Simatupang, Putu Wijaya, Armijn Pane jelas merupakan tonggak-tonggak karya pembaharuan dan
mereka adalah para wartawan.
b. Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra adalah teori sosiologi sastra yang digunakan untuk mengkaji karya
sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Sosiologi
sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari
kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain
yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan
Warren, 1997). Oleh Watt (via Damono, 1980:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai
cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau
menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Beberapa masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah: isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah
sosial. Di samping itu, sosiologi karya sastra juga mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat,
sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat
pada masa tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas (Harry Levin,
via Junus, 1986).
Isi karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial, dalam hal ini sering kali dipandang
sebagai dokumen sosial, atau sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1997). Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Thomas Warton (via Wellek dan Warren, 1997) terhadap sastra
Inggris, dibuktikan bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Sastra
menurut Warton, mampu menjadi gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama
sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.
Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial.
Namun, menurut Wellek dan Warren (1997) harus dipahami bagaimana protret kenyataan sosial
yang muncul dari karya sastra? Apakah karya itu dimaksudkan sebagai gambaran yang realistik?
Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (1984:228) menjelaskan bahwa
karya sastra lahir dari peneladanan terhadap Kenyataan, tetapi sekaligus juga model kenyataan.
Bukan hanya sastra yang meniru kenyataan, tetapi sering kali juga terjadi sebuah norma keindahan
yang diakui masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya seni, yang kemudian dipakai sebagai
tolok ukur untuk kenyataan.
Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra
sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di
dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya
sastra. Oleh karena itu, menurut Junus (1986:3-5), sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra
sebagai dokumen sosial budaya ditandai oleh beberapa hal. Pertama, unsur (isi/cerita) dalam karya
diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan
dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.
Kedua, pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki,
orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya sastra atau dalam beberapa
karya yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. Ketiga, pendekatan ini dapat
mengambil motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan ke-
nyataan di luar karya sastra.
Pendekatan ini ada kecenderungan melihat hubungan langsung (one-to one-cerrespondence)
antara unsur karya sastra dengan unsur dalam masyarakat yang digambarkan dalam karya itu
(Swingewood, via Junus, 1986:7). Oleh karena itu, pengumpulan dan analisis data bergerak dari
unsur karya sastra ke unsur dalam masyarakat, dan menginterpretasikan hubungan antara
keduanya. Analisis hendaknya mempertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Wellek dan
Warren: apakah karya itu dimaksudkan sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan
satire, karikatur, atau idealisme Romantik?

Contoh Kajian Sosiologi Karya Sastra


Berikut ini contoh penerapan sosiologi karya sastra untuk memahami salah satu novel
Indonesia berjudul Orang-orang Proyek karya Ahmat Tohari.

Membaca Praktik Korupsi dalam Novel Orang-orang Proyek Karya Ahmat Tohari;
Kajian Sosiologi Karya Sastra

Novel Orang-orang Proyek merupakan salah satu novel karya Ahmad Tohari (2004)
yang termasuk genre realis. Novel ini bercerita tentang seorang insinyur sipil bernama Kabul
yang dipercaya memegang proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor dan harus
berhadapan dengan praktik korupsi yang mengiringis sejumlah proyek pembangunan yang
melibatkan sejumlah pejabat di era Orde Baru.
Sebagai genre novel realis Orang-orang Proyek mengisahkan adanya praktik korupsi
dan campur tangan partai politik (Partai Golongan Lestari Menang, yang pada era Orde Baru
mengacu pada partai Golongan Karya) yang berkuasa dalam proses pembangunan jembatan di
daerah Jawa Tengah. Meskipun lokasi proyek dan nama tempat, Sungai Cibawor yang menjadi
latar novel tersebut fiktif, namun pembaca dapat membayangkan bahwa latar cerita di daerah
Jawa Tengah, sekitar Banyumas. Novel ini menggunakan latar waktu 1990-an, era pemerintahan
Orde Baru. Pembangunan jembatan yang pelaksanaannya dipimpin oleh Kabul, seorang
insinyur sipil mantan aktivis harus menghadapi campur tangan pemerintah dan partai politik.
Dari proyek tersebut, Kabul juga menyaksikan praktik korupsi yang ditunjukkan oleh atasannya,
Dalkijo. Di akhir kisah, Kabul mengudurkan diri dari proyek tersebut karena menolak kebijakan
Dalkijo yang memaksanya menggunkan besi-besi bekas untuk membangun jembatan tersebut.
Kecurangan yang dilakukan Dalkijo terbukti ketika setahun berikutnya, dalam perjalanan pulang
kampung, Kabul menyaksikan sendiri lantai jembatan terah rusak sehingga tidak dapat dilewati.
Gambaran praktik korupsi dalam novel tersebut tampak pada kutipan berikut.
Masih pusing dengan masalah pasir, kemarin kepala kabul dibuat lebih puyeng
lagi. Permintaan atas kekurangan besi rancang yang diajukan kepada Dalkijo dijawab
dengan kedatangan sebuah truk tronton, isinya adalah besi rancang bekas bongkaran
sebuah jembatan di pantura.
Bagi Kabul, ini sudah keterlaluan. Kabul protes. Maka meskipun sudah diturunkan dari
kendaraan pengangkutnya, besi-besi bekas itu dibiarkan menumpuk di halaman kantor
proyek. Melalui radio komunikasi Kabul menyatakan tidak akan mau menggunakan besi
bekas itu. Tapi Dalkijo bersikeras.
“Aduh, Dik Kabul ini bagaimana? Sudahlah, ikuti perintahku. Gunakan besi itu.
Toh itu hanya untuk menutupi kekurangan. Saya tahu penggunaan besi bekas memang
tidak baik. Tapi bagaimana lagi, dana sudah habis. Makanya, kita pun tak mampu
membeli pasir giling. Dana benar-benar sudah habis.”
“Pak kali ini saya tidak bisa berkompromi.” Jawab Kabul dengan penuh percaya
diri.
“Tidak bisa kompromi bagaimana? Dengar Dik Kabul. Kita sudah selesai
membangun bagian terpenting yakni struktur jembatan. Bukankah Dik Kabul yakin
sejauh ini pekerjaan kita bisa dipertanggungjawabkan?”
“Saya bertanggungjawab atas struktur jembatan.”
“Nah. Dengan demikian kita tinggal menyelesaikan bagian di luar struktur. Bila
kita sedikit menurunkan kualitas di bagian ini, mestinya tidak mengapa....”(Tohari,
2004:184-185).
“Ya, saya tahu. Meskipun bergitu saya tidak mau menggunakan besi bekas itni.
Bila dipaksa lebih baik saya mengundurkan diri.”
“Apa? Mengundurkan diri? Tunggu Dik Kabul. Jangan bicara begitu...” (Tohari,
2004:186).

Dalam novel ini melalui tokoh Kabul, yang mewakili gerenasi muda idealis, praktik
korupsi dalam pembangunan berbagai fasilitas masyarakat, di era Orde Baru dikritisi. Kabul
dioposisikan dengan Dalkijo yang mewakili para pelaku proyek yang melakukan korupsi.
Namun tidak seperti Dalkijo yang mendendam kemelaratan masa muda dengan
membalasnya melalui hidup sangat pragmatis dan kemaruk. Kabul tetap punya idealisme
dan sangat hemat. Proyek itu pun bagi Kabul harus dilihat dalam perspektif
idealismenya, maka harus dibangun demi sebesar-besarnya kemaslahatan umum.
Artinya, kualitas harus sempurna dengan memanfaakan setiap sen anggaran sesuai
dengan ketentuan yang semestinya. Memang Kabul sering ditertawakan Dalkijo.
“Apa dengan mempertahankan idealismemu orang-orang miskin di sekeliling
kita menjadi baik?” seloroh Dalkijo suatu saat. “Apa kejujuranmu cukup berarti untuk
mengurangi korupsi di negeri ini?” (Tohari, 2004:51).

Melalui kata-kata Kabul, novel ini mengemukakan makna proyek yang selama ini, terutama era
Orba yang menjadi latar novel tersebut, tidak pernah lepas dari tindakan korupsi.
Mereka, orang-orang proyek, baik dari pihak pemilik maupun pemborong sama
saja. Mereka tahu dan sadar akan kegilaan mereka. Dan tampaknya mereka tidak peduli.
Bagi mereka proyek apa saja dan dimana saja adalah ajang bancakan. Dan karena
kebiasaan itu kata ‘proyek’ pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam
kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya.
Maka apa saja bisa diproyekkan.”
“Apa saja?”
“Ya apa saja bisa diproyekkan. Tidak hanya pembangunan embatan atau
infrastruktur lain, tapi juga pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk orang
miskin, pengadaan bacaan untuk anak sekolah, program transmigrasi, penanggulangan
bencana alam....” (Tohari, 2004:226).

Korupsi memang telah lama terjadi di Indonesia. Hasil penelitian dari Lembaga
Pemerhati Korupsi Global (Transparensy Intenational) sejak tahun 1999 menemukan bahwa
Indonesia masuk dalam daftar lima besar negara terkorup di dunia. Posisi tersebut tidak bergeser
ketika 2004 survei tersebut diulang lagi terhadap 146 negara, dan posisi pertama di Asia
(Suwitri, 2007:23). Dari Laporan Akhir Tim Kompedium Hukum tentang Lembaga
Pemberantasan Korupsi tahun 2011 yang diketuai oleh Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., juga
dikemukakan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dan merambah
pada berbagai elemen, tak terkecuali pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Meskipun pemerintah telah melalukan berbagai upaya untuk memberantas tindak korupsi,
namun hasilnya belumlah efektif. Bahkan sampai hari ini, ketika sudah ada lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
praktik korupsi tidak juga berkurang. Kenyataan itulah yang melatarbelakangi penulisan novel
Orang-orang Proyek.

c. Sosiologi Pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu teori sosiologi sastra yang digunakan untuk
mengkaji hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Hal-hal yang menjadi wilayah kajiannya
antara lain adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya
sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Wellek
dan Warren, 1997). Di samping itu, juga mengkaji fungsi sosial sastra, mengkaji sampai berapa
jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial (Watt, via Damono, 1980).
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya
sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan
Warren (1997), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya,
tetapi juga dapat menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal
tersebut, misalnya penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk
dinikmati oleh publiknya.
Beberapa sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai dengan
aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu
Wijaya memiliki publik pembaca yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmat Tohari, atau pun
Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang
berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh dengan renungan filosofi
mengenai hidup manusia lebih sesuai untuk publik yang memiliki latar belakang intelektual per-
guruan tinggi dan kompetensi sastra yang relatif tinggi. Sementara karya-karya Umar Kayam dan
Ahmat Tohari yang cenderung beraliran realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-
masalah sosial budaya memiliki publik lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca
Indonesia dapat menikmati karya-karya mereka.
Perlu dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang secara nyata
(riel) membaca karya-karya pengarang tertentu. Apa motivasinya membaca karya tersebut?
Apakah mereka membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni? Membaca
karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya tersebut? Atau membaca karena harus
memilih karya-karya tertentu untuk berbagai kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang
harus dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah,
Depdiknas), memilih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra (proyek
Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan Nobel), bahkan juga membaca
untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar
dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih luas. Perlu diteliti juga bagaimana para
pembaca tersebut menilai dan menanggapi karya sastra yang telah dibacanya? Faktor-faktor apa
sajakah (secara sosiologis dan psikologis) yang berpengaruh dalam menilai dan menanggapi karya
sastranya?
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan dinikmati pembaca.
Dalam bukunya, Ars Poetica (tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1984:183) telah mengemukakan
tugas dan fungsi seorang penyair dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan memberi
nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Apa yang
dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori pragmatik,
sosiologi pembaca, dan resepsi sastra.
Dalam hubungannya dengan fungsi sosial sastra, Ian Watt (via Damono, 1980) membedakan
adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum
romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga
sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang
melihat sastra sebagai penghibur belaka; dan (3) pandangan yang bersifat kompromis, di satu sisi
sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam kajian sosiologi pembaca menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi
dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri
diabaikan, menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya
sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim sosiobudaya
masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya masyarakatlah yang membentuk cita
rasa dan norma-norma yang digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Untuk menerapkan kajian ini terlebih dulu perlu ditentukan wilayah kajiannya, misalnya
apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan menanggapi karya
tertentu, ataukah akan meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya, faktor-
faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan pembaca, ataukah bagaimana
pembaca memanfaatkan karya tertentu? Setelah menentukan wilayah kajiannya, selanjutnya
kumpulkanlah data yang diperlukan, dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.

Contoh Kajian Sosiologi Pembaca


Berikut contoh kajian sosiologi pembaca terhadap cerpen “Langit Makin Mendung” karya
Ki Panjikusmin, salah satu cerpen Indonesia yang kontroversi karena bercerita tentang para nabi
di sorga, lengkap dengan malaikat dan Tuhan.
KONTROVERSI CERPEN “LANGIT MAKIN MENDUNG” KARYA
KI PANJIKUSMIN: KAJIAN SOSIOLOGI PEMBACA
Pendahuluan
Setelah sampai ke tangan pembaca sebuah karya sastra akan dibaca dan ditanggapi oleh
pembaca. sering kali setelahs ebuah karya sampai ke tangan pembaca, timbullah berbagai
tanggapan dan komentar, mulai dari pujian sampai tanggapan yang bersifat kontroversial. Dalam
sejarah sastra di Indonesia, salah satu karya sastra yang menimbulkan kontroversi adalah sebuah
cerita pendek berjudul “Langit Makin mendung” karya Ki Panjukusmin.
Cerpen “Langit Makin Mendung” pertama kali dimuat dalam majalah Sastra edisi
Agustus 1968. Verpen ini menjadi pemicu peristiwa sastra yang disebut "Heboh Sastra" yang
membawa H.B. Jassin ke depan pengadilan. Cerpen tersebut berkisah tentang Nabi Muhammad
yang mempunyai keinginan untuk melakukan mikraj ke langit sekali lagi. Bersama-sama dengan
Jibril yang sudah tua, Nabi Muhammad menghadap Tuhan. Tuhan pada saat itu sedang memakai
kacamata hitam di depan meja marmer. Tuhan pun mengizinkan Nabi Muhammad dan Jibril
melakukan mikraj lagi dengan burak yang dulu Nabi pakai. Dalam perjalanan menuju angkasa,
burak tersebut bertabrakan dengan roket Rusia. Nabi Muhammad jatuh di atas awan dan terus
meluncur turun hingga sampai ke Proyek Senen, Jakarta. Dari atas atap Proyek Senen, Jibril
menunjukkan kebobrokan dan kelakuan umat Muhammad yang tidak menunjukkan
keislamannya. Jibril juga menunjukkan beberapa pejabat yang terlibat dalam permainan wanita
tunasusila dan beberapa perbuatan dosa lainnya.
Sejumlah pembaca cerpen tersebut mengganggap penulis cerpen terlalu kurang ajar karena
mengangkat Tuhan, para malaikat, bahkan jua para nabi sebagai tokoh dalam cerpen. Berbagai
pendapat pun kemudian muncul di sejumlah surat kabar. Mereka menganggap penulis terlalu
berani, sehingga dikecam habis-habisan. Akibatnya, majalah Sastra dilarang terbit. Dampak dari
pelarangan majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut adalah munculnya polemik mengenai
peristiwa tersebut di sejumlah majalah dan surat kabar. Di samping itu, sejumlah pengarang di
Jakarta telah mengeluarkan suatu protes atas pelarangan majalah Sastra. Para pengarang yang
menandatangani surat protes tersebut, antara lain H.B.Jassin, Trisno Sumardjo (Ketua Dewan
Kesenian Jakarta), D. Djajakusuma (Ketua Badan Pembina Teater Nasional Indonesia), Umar
Kayam (Dirjen Film, Radio dan TV), Taufiq Ismail (Penyair Angkatan 66 dan kolumnis Islam),
Slamet Sukirnanto (anggota DPRGR/MPRS dan wakil Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
dalam Presidium KAMI), dll. (Tasrif, dalam Pledoi Sastra, 2004:143-144).
Kontroversi terhadap cerpen “Langit Makin Mendung” dapat dikaji dalam perspektif
sosiologi pembaca. dengan memahami berbagai pendapat dan kritik dari para pembaca yang
tersebar di berbagai media, kita dapat mengetahui bahwa sebuah karya sastra ternyata memiliki
potensi untuk menicu pertantangan pendapat dari masyarakat pembaca.

Garis Besar Cerita “Langit makin Mendung” yang memicu Kontroversi Pembaca
Mengapa cerpen “Lamgit makin Mendung” menimbulkan berbagai reaklsi dan
kemarahan para pembaca? karena cerpen tersebut berkisah tentang Nabi Muhammad yang telah
berada di sorga merasakan kebosan, sehingga dia kemudian meminta izin kepada Allah untuk
kembali ke Bumi. Namun Allah menolaknya dan meminta beliau untuk menjelaskan alasan
mengapa ia ingin kembali ke Bumi, padahal Allah sudah memberinya banyak kenikmatan yang
tidak ada di Bumi. Nabi Muhammad menjawab bahwa ia ingin mencari tahu sebab-sebab
mengapa jumlah ummat Muslim yang masuk surga begitu sedikit. Setelah melepaskan
kacamata-Nya, Allah menjawab bahwa ummat Muslim di suatu belahan Bumi yang bernama
Indonesia telah diracuni oleh konsepsi Nasakom Soekarno. Akhirnya, Allah memberi izin
kepada Nabi untuk kembali ke Bumi.
Nabi Muhammad turun ke bumi menggendarai buraq ditemani oleh Jibril. Di tengah
jalan, mereka menemukan sebuah pesawat Uni Soviet. Karena Nabi pernah mendengar di surga
kalau Uni Soviet adalah orang-orang kafir, beliau pun berusaha menyelidikinya. Sayangnya, ia
menabrak pesawat tersebut yang menyebabkan hancurnya pesawat Uni Soviet dan buraqnya,
serta menewaskan tiga kosmonot Russia komunis. Muhammad dan Jibril berhasil mendarat di
awan. Mereka kemudian melewati Jakarta. Jibril menyebut Jakarta sebagai tempat paling
berdosa di muka Bumi. Jibril menyatakan bahwa dari 90 juta ummat Muslim Indonesia, tidak
sampai satu juta orang yang tergolong Muslimin kaffah (penganut Islam yang sejati).
Muhammad marah karena ternyata da'wah-nya selama 14 abad diselewengkan. Namun Jibril
menegaskan, "inilah belahan Bumi dimana Nasakom lahir!" Mendengar hal itu, Nabi bersikukuh
bahwa Islam tidak akan pernah mati dan beliau bersama Jibril pun mengamati dari awan.
Pada sasst itu penduduk Jakarta sedang terjangkit wabah flu. Bahkan, salah satu
penderita penyakit ini adalah Presiden Soekarno. Soekarno menyurati Sekjen Partai Komunis
Tiongkok, Mao Zedong, agar mengirimkan dokter yang paling ahli ke Indonesia. Mao mengirim
dokter yang kemudian meracuni Soekarno untuk melumpuhkannya dan membantu Gerakan 30
September untuk menggulingkan Pemerintahan Orde Lama. Racun yang diberikan adalah dosis
tinggi, tapi lambat reaksi, sehingga membuat Soekarno pingsan setelah ia dan menteri-
menterinya berpesta pora secara haram, mengonsumsi daging babi dan kodok, serta melakukan
zina. Nabi Muhammad dan Jibril berubah menjadi elang supaya bisa melihat Jakarta
keseluruhan dari langit. Mereka melihat maraknya prostitusi, perselingkuhan, pencurian, dan
minum-minum di Jakarta. Beliau terkejut melihat zina dan pencurian tidak dihentikan. Ia
meminta Jibril untuk membantu merajam para pelaku perselingkuhan dan memotong tangan
para pencuri. Jibril mengatakan bahwa batunya tidak cukup untuk merajam semua orang yang
selingkuh dan pedang-pedangnya sudah diganti dengan senjata yang dibeli oleh para "kafir" Uni
Soviet dan Amerika Serikat yang "memuja-muja dolar". Mereka melihat seorang menteri
bernama Togog yang berupaya memanfaatkan Dokumen Gilchrist untuk menjatuhkan
Soekarno. Nabi Muhammad pun menyerah menghadapi Indonesia dan berencana memasang
televisi saja di "jannah" untuk mengamati Jakarta dari sana. Akhirnya Soekarno sembuh dari
racun tersebut dan Sang "Paduka Jang Mulia" itu diberitahu soal Dokumen Gilchrist oleh Menlu
Soebandrio. Ia juga diberitahu bahwa Tiongkok hendak menegosiasikan ulang perjanjian
mereka untuk menyuplai senjata militer demi membantu konfrontasi Indonesia dengan
Malaysia. Soekarno memakai Dokumen Gilchrist untuk menyebarkan rumor dan menumbuhkan
rasa tidak percaya di kalangan penduduk, memecat komandan militernya, dan memulangkan
Dubes RI Tiongkok. Jadi, masih dalam cerpen tsb, biang keladi Gerakan 30 September adalah
Soekarno sendiri.

Kontroversi Cerpen “Langit makin Mendung”


Berikut sejumlah pendapat dari pembaca terhadap cerpen “Langit makin Mendung” yang
didokumntasikan dalam laman http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Langit-
_Makin_Mendung:

Jusuf Abdullah Puar (1968) menyatakan bahwa “Langit Makin Mendung” jika
dilihat dari sudut isi, tidak diragukan lagi, telah menghina, melecehkan, dan mencemooh
Nabi Muhammad dengan penuh tendensi sinisme terhadap junjungan umat Islam.
Namun, pernyataan Jusuf Abdullah Puar dibantah oleh H.B. Jassin dengan mengatakan
bahwa Jusuf Abdullah Puar hanya mengambil cuplikan secara tidak utuh, sehingga tidak
terlihat apa yang dimaksudkan oleh pengarang sebenarnya.
Bur Rasuanto (1968) menyatakan bahwa “Langit Makin Mendung” tidak
mengandung hinaan terhadap Tuhan dan Nabi. Tulisan tersebut mengritik Indonesia dan
berbagai kejadian blunder di tanah air sebagaimana semua orang mengritik berbagai hal
yang dirasakan tidak wajar.
Abu Hanifah (1968) menyatakan bahwa “Langit Makin Mendung” tidak akan
menimbulkan reaksi apapun dalam masyarakat liberal dan stabil. Reaksi timbul karena
keadaan masyarakat yang sensitif dan banyak hal yang tidak memuaskan. Taufiq Ismail
(1968) menyatakan bahwa “Langit Makin Mendung” tidak bermaksud menghina; hanya
jika ditinjau dari sudut akidah, cerita tersebut merupakan hal yang tidak sesuai dengan
agama. Usep Fathudin, Koordinator Pusat PMPI, dalam Diskusi Sastra bulan Oktober
1968 menyatakan bahwa dengan cerita pendek tersebut, Ki Panji Kusmin telah
melakukan kesalahan, bukan melakukan penghinaan. Kesalahan tersebut disebabkan
oleh tidak mendalamnya penghayatan pengarang tentang hal-hal di akhirat sebagaimana
disebutkan dalam Alquran.
Sukarsono (1968) menyatakan bahwa sepatutnya Ki Panji Kusmin dimaafkan
karena ia telah meminta maaf. Sesungguhnya, penulis cerita tersebut bukan saja harus
diberi maaf, melainkan patut dikasihani karena Ki Panji Kusmin adalah tunas muda yang
belum berpengalaman. Ia merupakan anak yang salah jalan. Sukarsono mempertanyakan
apakah ia harus dibiarkan terus dan tidak diterima kembali atau dibiarkan agar patah. Ki
Panji Kusmin sendiri adalah nama samaran yang hingga saat ini tidak diketahui siapa ia
sebenarnya.
A.A. Navis (1968) menyatakan bahwa kebebasan pengarang untuk
membicarakan agama Islam yang menyimpang dari aliran-aliran, selama ini tidak perlu
menggoncangkan sentimen umat Islam. Umat Islam dewasa ini bukan lagi terdiri atas
orang-orang awam semata. Mereka sudah punya ahli yang akan dapat membatalkan atau
menangkis pendapat yang menyimpang tersebut. Dengan menghormati kebebasan orang
mengemukakan pendapat di dalam Islam yang berbeda dengan ajaran selama ini, di
situlah dakwah Islam akan dapat mencapai nilai-nilai yang tepat dan aktual. Achdiat K.
Mihardja (1968) menyatakan bahwa sebaiknya cerita semacam Langit Makin Mendung
dan majalah Sastra dijadikan pokok diskusi di depan televisi atau tempat terbuka lainnya,
antara sastrawan, ahli agama, ahli moral, ahli ilmu jiwa, ahli pendidikan, ahli hukum,
ahli kemasyarakatan, dan ahli-ahli lainnya yang perlu diketahui pendiriannya oleh
masyarakat ramai. Kemudian anggota masyarakat tersebut dipersilakan menyimpulkan
pendapat mereka masing-masing. H.B. Jassin dalam pembelaannya terhadap keberadaan
Langit Makin Mendung menyatakan bahwa semua keberatan orang terhadap cerita
tersebut dapat dikembalikan kepada tiga hal. Pertama, orang keliru dalam menangkap isi
dan maksud karangan karena orang bertolak dari prasangka yang didasari sentimen
agama dan sentimen golongan. Bagian-bagian cerita dilepaskan dari konteksnya
sehingga hilang fungsi yang sebenarnya dan dimunculkan fungsi lain yang sama sekali
berbeda dari yang dimaksud oleh pengarang. Kedua, orang keliru dalam menganggap
apa yang diimajinasikan oleh pengarang diidentikkan dengan ajaran kitab tauhid, kitab
sejarah, dan malahan Alquran. Ketiga, orang tidak mengerti nuansa bahasa dalam gaya
bahasa kesusastraan. (Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/-
Langit_Makin_Mendung | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia).

Cerpen “Langit Makin Mendung” dan artikel yang berpolemik seputar pelarangan cerpen
dan majalah Sastra tersebut dapat dibaca dalam buku Pledoi Sastra: Kontroversi Langit Makin
Mendung Kipanjikusmin (2004). Dari pendapat dan komentar para pembaca tergadap cerpen
tersebut, tampak bahwa karya sastra, terlebih yang mengangat kisah kontroversial dapat
menimbulkan berbagai macam tangapan dari pembaca, bahkan dapat memicu terjadinya kasus
hokum. Selain menunjukkan adanya interaksi antara karya dengan pembaca, secara sosiologi
sastra hal itu juga menunjukkan bahwa pengarang sebagai bagian dari masyarakat harus siap
menerima berbagai resiko dan kemungkinan setelah karyanya dibaca oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai