Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan

eksistensinya sebagai manusia. Dalam hal ini eksistensi yang berisi ide dan realitas sosial budaya

pengarang. Menurut Faruk (2016: 46), sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke

dalam keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial

tempat serta bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku. Selain

mengungkapkan eksistensi pengarang, karya sastra berfungsi juga sebagai kesadaran masyarakat

yang kemungkinan mempunyai sifat normatif terhadap masyarakatnya.

Karya sastra umumnya hanya dijadikan sebagai bahan hiburan semata. Akan tetapi, bagi

sebagian sastrawan, sastra adalah media kritik bagi keadaan sosial tertentu. Dari beberapa karya

yang dihasilkan oleh pengarang, tentu saja tidak terlepas dari peran tokoh yang menguatkan

karakter dalam tulisan. Dari karakter tokohlah sehingga pembaca bisa mengetahui karakter dan

ciri khas pengarang dari hasil karya yang dihasilkan.

Cukup banyak karya sastra khususnya novel yang mengandung kritik sosial, termasuk

novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur. Novel ini menceritakan tentang pergolakan politik

lokal di Aceh. Arafat menghadirkan tokoh utama Murad yang berlatar belakang mantan anggota

Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Murad juga adalah sebagai mantan seorang aktivis Partai Merah

sedang berada di masa kejayaan karena kesuksesannya dalam pemberontakan, pada saat itulah

Murad memutuskan untuk melarikan diri. Penyebab Murad melarikan diri selain karena terkena
kasus penembakan yang berujung maut oleh salah satu petinggi partai merah, dia juga tidak

sependapat dengan kawan-kawannya yang lebih mementingkan kekuasaan dan kepentingan

pribadi masing-masing. Selang beberapa tahun lamanya, Murad memutuskan untuk kembali ke

kampung halamannya. Kepulangan Murad menjadi awal dari perjalanan cerita ini. Murad yang

dulunya adalah pejuang kemerdekaan Aceh, kini diketahui rakyat Aceh sebagai seorang

pembunuh, bandar narkoba dan juga penggagas berdirinya Partai Jingga yang tak lain rival dari

Partai Merah. Sejak kepulangannya di Aceh, Murad dituduh sebagai buronon yang dipercayai

kedatangannya hendak menghasut Pemerintahan Aceh baru dan mengacaukan pemilihan umum.

Permasalahan yang terdapat dalam novel Tanah Surga Merah ini timbul karena adanya

konflik politik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) antara pihak kelas atas sebagai

penguasa dan kelas bawah sebagai rakyat. Dalam hal ini penyalahgunaan kekuasaan yang

dilakukan pemerintah terhadap rakyat dengan cara memberlakukan sistem kerja poltik yang berupa

tekanan, ancaman dan teror. Selain itu, pemerintah juga menyalahgunakan wewenangnya untuk

kepentingan pribadi masing-masing dan mengesampingkan tanggung jawabnya sebagai wakil

rakyat. Lewat Tanah Surga Merah Arafat Nur, mencoba menggambarkan peristiwa demi peristiwa

bagaimana pemerintah memanfaatkan wewenang dan kekuasaannya untuk menindas rakyat atau

kalangan bawah.

Penyalahgunaan kekuasaan erat kaitannya dengan konsep hegemoni yang ditawarkan oleh

Gramsci, bahwa hegemoni didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks yang sekaligus bersifat

ekonomik dan etis-politik. Kekuasaan tertinggi kelompok sosial yang menyatakan dirinya dalam

dua cara yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual” suatu

kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia “hancurkan”.

Atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Kelompok tersebut memimpin kelompok yang
sama dan beraliansi dengannya. Gramsci menyebut hegemoni juga merupakan suatu kelompok

social dapat, dan sungguh harus, melaksanakan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan

pemerintahan. Ia menjadi dominan apabila menjalankan kekuasaan, tetapi bahakan jika ia sudah

memegang dominasi itu, ia harus meneruskan untuk memimpinnya juga (dalam Faruk, 2016: 141).

Arafat Nur adalah penulis prosa yang memulai bakatnya dengan menulis puisi, lantas

mengarang cerita pendek, dan terakhir lebih terpumpun pada novel. Di sela-sela kesibukannya

sebagai pekerja serabutan, dia gemar membaca buku apa saja, terutama buku sejarah, filsafat, dan

sastra asing. Lampuki (Serambi, 2011) merupakan novelnya yang terpilih sebagai

pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary

Award 2011. Novel lainnya adalah Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014), yang telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark Of Night, dan Tempat

Paling Sunyi (Gramedia, 2015). Tanah Surga Merah (Gramedia, 2017) dinobatkan sebagai

Pemenang Unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.

Novel Tanah Surga Merah ini sangat menarik untuk dikaji karena daya tarik dari novel

ini dikuatkan oleh latar belakang konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Arafat,

menggambarkan tokoh utama bernama Murad yang karakternya keras kepala dan selalu

menjunjung tinggi kebenaran.

Perjuangan Murad yang ingin menyuarakan rakyat dan membuat Aceh sebagai tanah kelahirannya

menemui banyak batu sandungan. Ia dan sejumlah temannya yang memiliki niat perjuangan yang

sama malah dikucilkan. Menghadapi para bandit jahat yang menduduki posisi-posisi penting dan

strategis di pemerintahan jelas hal yang tak bisa dianggap remeh. Hal yang menjadi daya tarik

dalam novel ini ialah meski pengarang menjadikan gejolak politik lokal sebagai pokok cerita,

naskah ini tidak terperangkap pada reportase jurnalistik. Pengarang menghadirkan seorang mantan
tentara (GAM) yang pulang ke kampungnya dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak

sepenuhnya bisa dia terima.

Dipilihnya novel Tanah Surga Merah dengan menggunakan fokus kajian hegemoni

kerena pengarang dengan kepiawaiannya menggambarkan kehidupan sosial yang seolah-olah

nyata. Penggambaran kultural mengenai seorang penguasa di daerah yang berkonflik demi

mempertahankan kekuasaan secara diam-diam, banyak yang tidak menyukai sepak terjang di

bawah kepemimpinannya. Hal ini menimbulkan konflik antara pihak dominan sebagai penguasa

dengan pihak yang terdominasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini yaitu

bagaimanakah hegemoni dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk

mendeskripsikan hegemoni dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dunia sastra di Indonesia

yang dirumuskan sebagai yaitu:

1. memberikan wawasan bagi peneliti selanjutnya dalam mengapresiasikan sebuah karya

sastra.

2. menjadi informasi referensi bagi penelitian berikutnya mengenai analisis karya sastra

dengan teori Hegemoni Gramsci.


3. mampu membangkitkan kesadaran pembaca tentang adanya kesenjangan dan

ketimpangan sosial sehingga pembaca lebih bijak dalam melakukan interaksi sosial.

1.5 Definisi Operasional

Hegemoni : pengaruh kekuasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah

dengan atau tanpa ancaman kekerasan.

Novel : karya fiksi yang ditulis menggunakan bahasa sehari-hari oleh seorang pengarang

yang di dalamnya mengandung cerita kehidupan seseorang. Novel yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

Penelitian ilmiah, khususnya pada novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur dengan

menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci belum ditemukan sampai saat ini. Akan tetapi,

ada beberapa skripsi dan jurnal yang membahas tentang Hegemoni Antonio Gramsci.

Penelitian yang mengkaji tentang hegemoni ialah Nurhadi (2004) seorang dosen FBS

UNY, dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Hegemoni pada Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati

Karya Seno Gumira Ajidarma”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam novel Iblis Tidak

Pernah Mati terdapat sejumlah ideologi dominan yaitu kapitalisme, otoritarianisme, dan

militerisme yang berhadapan dengan sejumlah ideologi subaltern yaitu sosialisme, feodalisme,

rasialisme, fandalisme, dan anarkisme. Selain itu juga terdapat ideologi lain yang berperan sebagai

negosiator yaitu demokrasi dan humanisme. Sebagai intelektual dari masyarakat yang kapitalistik.

Kedua, Pawestri (2015) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri

Yogyakarta dalam skripsinya yang berjudul “Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Bibir Merah

Karya Achmad Munif”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa formasi ideologi dalam novel

Bibir Merah seperti otoritarianisme, feodalisme, kapitalisme, sosialisme dan fandalisme paling
dominan dan banyak digunakan. Kedua, bentuk hegemoni kekuasaan yang beroperasi

menciptakan dua wilayah yakni masyarakat sipil dan masyarakat politik yang masing-masing

melakukan hegemoni maupun menjadi korban hegemoni. Unsur elemen fiksi yang digunakan

untuk mempresentasikan hegemoni kekuasaaan ialah tema, tokoh, latar dan alur dimana setiap

unsur terdapat varian dan hasil temuan yang mempresentasikan hegemoni kekuasaan.

Ketiga Wiharjo, (2018) Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma dalam

skripsinya yang berjudul “Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Counter-Hegemoni dalam Novel Entrok

karya Okki Madasari”. Hasil penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu struktur cerita dalam novel,

bentuk hegemoni, dan bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel yang juga sekaligus

sebagai tokoh utama protagonis dan tokoh utama antagonis adalah Rahayu dan Marni. Sedangkan

tokoh tambahan terdiri dari Teja, para tentara, Koh Cahyadi, Amri, Kyai Hasbi, dan Pak Wagiman.

Latar terbagi menjadi dua. Pertama latar tempat yang terdiri dari beberapa tempat yang berada di

Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur antara lain Desa

Singget, Wetan Kali, Candi Borobudur, Markas Tentara Komandan Sumadi, Kali Manggis,

Sebuah Desa di Timur Merapi, Pasar Gede Madiun, dan kantor polisi. Latar waktu terdiri dari

tahun 1882, 1975, 1977, 1982, 1983, 1985,1987, dan 1990. Ada dua wilayah hegemoni yang

ditemukan dalam penelitian ini yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Tahapan bentuk-

bentuk hegemoni masyarakat sipil adalah para pemimpin yang berkuasa penuh, mulai timbul

pertentangan, dan pengambilan keputusan secara sepihak. Sementara tahapan bentuk hegemoni

dalam masyarakat politik adalah memberi ancaman terhadap bawahan, mengatur cara

mempertahankan kekuasaan, pasrah terhadap penguasa, dan mengatur strategi untuk

menyingkirkan penentang. Ada tiga bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian

ini, yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cari aksi demonstrasi, menerbitkan berita
di media massa, dan perlawanan secara langsung. 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara

melarikan diri ke rumah Marni dan napak tilas. 3) Perlawanan Humanistik yang dilakukan dengan

cara negoisasi dengan para penguasa.

Penelitian lain yang menganalisis novel Tanah Surga Merah yaitu dalam penelitian

Rahmawati (2017), Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhamadiyah Surakarta,

dalam skripsinya yang berjudul “Aspek Sosial dalam Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat

Nur”. Hasil penelitiannya yaitu, struktur pembangunan novel TSM yang meliputi tema tentang

kehidupan seorang mantan aktivis (GAM) yang menjadi buron polisi, dan latar tempat secara

umum berada di Provinsi Aceh. Aspek sosial yang terkandung meliputi kejahatan sosial,

kemiskinan dan pendidikan.

Marlina (2017), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas

Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, dalam skripsinya yang berjudul “Poskolonialisme dalam

Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur”. Hasil penelitiannya yaitu Murad sebagai tokoh

utama protagonis, Saifud dan orang-orang Partai Merah antagonis sedangkan nilai-nilai

poskolonialisme dalam novel yaitu hegemoni, hibriditas, dan subaltern.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Sosiologi Sastra

Untuk memahami karya sastra secara utuh, karya sastra tidak dapat dimengerti apabila

dipisahkan dari wilayah kebudayaan atau masyarakat yang telah menciptakannya. Sama halnya

dengan sosiologi sastra dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaikan diri dalam

mengubah masyarakat itu sendiri.


Menurut Wellek dan Warren, sastra adalah sebagai karya inovatif, imajinatif, dan fiktif.

Karya sastra bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiksi, imajinasi. Karakter di dalam karya-

karya sastra bukan tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra

itu merupakan hasil ciptaan atau rekaan pengarang yang muncul begitu saja, tidak mempunyai

sejarah, dan masa lalu. Teori sosiologi sastra tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai

lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan mempunyai kemungkinan relatif formatif terhadap

masyarakat (dalam Faruk, 2016: 43).

Sosiaologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa yunani

yaitu kata sos, yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman dan kata logi (logos) yang berarti

sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra merupakan akar kata sas (Sansekerta) yang brarti

mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.

Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan

masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan

bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa

yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya

karya sastra bersifat evaluative, subjektif dan imajinatif (Aziz dalam Setyawati, 2014: 09).

Swingewood mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai

manusia dalam masyarakat, studi lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya,

dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Pada prinsipnya, sosiologi memang mempelajari

kehidupan nyata manusia sebagai suatu kolektivitas. Akan tetapi, didalamnya dijumpai banyak

teori dan metodologi yang berbeda dan bahkan saling bertentangan mengenai kehidupan tersebut

dan cara memperoleh pengetahuan mengenainya. Sementara itu, Ritzer mengatakan bahwa
sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu

tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing dalam usaha merebut hegemoni

dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma adalah unit konsenseus terluas dalam

suatu pengetahuan dan berfungsi untuk membedakan satu komunitas dari komunitas lainnya

(dalam Faruk, 2016: 1-3).

Pada ruang lain yang bertentangan dengan arah romantisisme adalah pengaruh pemikiran

positivism, terutama pemikiran Auguste Comte (1798-1857), yang memperkenalkan dan

mencetuskan ilmu sosiologi. Seorang filsuf, Sejarawan, politisi, dan juga penulis esai, yaitu

Hypolite Taine (1828-1893) berupaya untuk mengembangkan suatu ilmu yang menempatkan

sastra dan juga seni pada wilayah metode pengkajian yang serupa dengan yang dikembangkan

dalam ilmu-ilmu fiksi dan ilmu alam. Taine secara konstan menyerang para novelis dan kritikus

sastra pada masanya yang memberi tekanan pada intensitas moral dalam karya-karya sastra

ataupun kritik-kritik sastra mereka (dalam Anwar, 2015: 19-20).

Menurut Taine, sifat karya sastra adalah dokumen pelengkap (furnished document) sebab

karya sastra adalah sebuah monument, perbedaan periode sejarah dalam sastra justru menciptakan

hubungan yang harmonis antara kecerdasan dan zaman. Pertama-tama, sastrawan melakukan

penetrasi kecerdasannya dalam memahami zaman dalam karya sastranya, selanjutnya sastrawan

melakukan penetrasi yang lebih jauh kedalam kecerdasan zaman dan rasnya. Apapun hasil cipta

suatu karya sastra, menurut Taine, mempunyai validitas yang sama untuk dijadikan sebagai

dokumen social, sekalipun karya sastra tersebut, tidak ekspresif dan representative secara social

(dalam Anwar, 2015: 21).

1.2.2 Hegemoni Antonio Gramsci


Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘eugemonia’, sebagaimana dikemukakan

Encyclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menujukkan dominasi

posisi yang diklaim oleh Negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, misalnya

yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap negara-negara lain yang sejajar

(Hendarto, dalam Arief, 2015: 115).

Dalam pengertian di jaman ini, hegemoni menujukkan sebuah kepemimpinan dari suatu

Negara tertentu yang bukan hanya sebuah Negara kota terhadap Negara-negara lain yang

berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam Negara “pemimpin”. Dalam

konteks politik internasional, misalnya, pada periode perang dingin, pertarungan pengaruh antara

Negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan mantan Uni Sovyet, pada masa perang untuk

menjadi kekuatan hegemoni di dunia (Patria dan Arief, 2015: 116)

Bagi Gramsci, asumsi liberal “masa kini”, bahwa orang tanpa mempunyai kesempatan

sungguh-sungguh untuk mengungkapkan oposisinya tidak dapat dikatakan perjanjian, tampaknya

sangat aneh. Diandaikan bahwa dalam suatu perjanjian dengan sendirinya ada disposisi mental,

ada titik-titik lemah disamping kekuatannya. Guna menjelaskan ini, Femia menangkap tiga

kategori penyesuaian yang berbeda yang dikemukakan Gramsci, yaitu karena rasa takut, karena

terbiasa dan karena kesadaran dan persetujuan. Tipe yang terakhir inilah yang kemudian disebut

Gramsci sebagai hegemoni (Hendarto dalam Patria dan Arief, 2015, 125-126). Ketiga kategori

itu meliputi:

1. Orang menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila ia tidak

menyesuaikannya. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi

yang menakutkan.
2. Orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-

cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang tidak

terefleksikan dalam hal ini bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang menganut pola-pola

tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak.

3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan

persetujuan dengan unsur tertentu dalam masyarakat.

Menurut Gramsci, hegemoni adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan

menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-

kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa. Hegemoni dapat

didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa

ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok

yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (dalam Faruk, 2016: 141).

Gramsci (dalam Faruk, 2016: 131-132), sebagaimana Karl Marx sendiri, tetapi berbeda

dari kaum marxis ortodoks, dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya sebagai

refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material,

melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Persoalan kultural dan formasi

ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya pun berlangsung proses yang rumit.

Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya

pusat informasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut

sebagai hegemoni.

Titik awal konsep tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya

menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan cara kekerasaan dan persuasi.
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan

persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004: 19).

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci (dikutip dalam Hendarto,

1993;82-84) yaitu, hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni

yang minimum. Pertama, hegemoni Integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati

totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Hegemoni

yang diidealkan, bahwa antara massa dan pimpinan tidak ada masalah yang berarti. Hubungan

yang terjalin adalah hubungan yang kuat. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony).

Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia

menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Artinya hegemoni merosot ini terjadi jika

masyarakat tidak sejalan dengan kepemimpinan yang ada. Sehingga, dalam kondisi demikian

dimungkinkan masyarakat mendapat kesepakatan lain yang tidak sejalan. Ketiga, hegemoni

minimum (minimal hegemony). Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling

rendah dibandingkan dua bentuk di atas. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit

ekonomis, politis, dan intelektual. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau

menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan klas lain dalam masyarakat.

Artinya hegemoni minimum adalah hegemoni yang bermasalah. Kepemimpinan yang ada

berlawanan dengan kesepakatan masyarakatnya (dalam Nezar Patria & Andi Arief, 2015: 128-

129).

Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat beberapa konsep kunci, yaitu

kebudayaan, hegemoni, ideology, kepercayaan popular, kaum intelektual, dan Negara.

1. Kebudayaan
Gramsci menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan sebagai satu kekuatan

material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat. Pada saat itu ia

menolak konsep kebudayaan sebagai pengetahuan ensiklopedis dan melihat manusia sebagai

semata-mata wadah yang diisi penuh dengan data empirik dan massa dari fakta mentah yang tidak

saling berhubungan, yang harus didokumentasikan di dalam otak sebagai sebuah kolom dalam

sebuah kamus yang memampukan pemiliknya untuk memberikan respons terhadap berbagai

rangsangan dari dunia luar. Menurut Gramsci, konsep kebudayaan serupa itu sungguh-sungguh

berbahaya khususnya bagi proletariat. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan

masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan diri, masyarakat yang percaya bahwa mereka superior

di hadapan manusia lainnya karena sudah mengingat data-data dan fakta dan yang dengan cepat

menyebutkannya dalam setiap kesempatan yang dengan demikian mengubah mereka sebagai

perintang antara diri mereka sendiri dan orang lain. (dalam Faruk, 2016: 138).

Menurut Raymond Williams, dalam bukunya yang berjudul Culture and society, di Inggris,

juga seperti yang telah dipahami oleh Mathew Arnold, kebudayaan merupakan semacam “nilai-

nilai luhur”, puncak-puncak pencapaian spiritualitas manusia (Faruk, 2010: 133).

Bagi Gramsci sendiri konsep kebudayaan yang lebih tepat, lebih adil, dan lebih demokratis,

adalah kebudayaan sebagai organisasi, disiplin batin seseorang yang merupakan pencapaian suatu

kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil dalam memahami nilai

historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (dalam Faruk, 2016:

139).

Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi

ideologis. Revolusi kebudayaan itu tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan
melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan terjadi revolusi tersebut (Faruk,

2016: 140).

Persoalan kebudayaan yang demikian menjadi menarik bagi Gramsci karena dengan hal-hal

itu orang dapat mendedukkasikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis.

Segala aktivitas kultural itu akan bermuara pada satu sasaran yang tunggal, yaitu penciptaan satu

iklim kultural yang tunggal melalui suatu proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal

menuntut satu pemersatuan sosial kultural yang melaluinya multisiplitas kehendak dan tujuan yang

tersebar dan heterogen tersatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya

mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif” (Faruk, 2016: 141).

2. Hegemoni

Gramsci menyatakan bahwa kriteria metodologis yang menjadi dasar studi-studinya

didasarkan pada asumsi bahwa supermasi-supermasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya

dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual”.

Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderungia

“hancurkan”, atau bahkan ia taklukan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut

memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya. Suatu kelompok sosial dapat, dan

sungguh harus, melaksanakan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Ia

menjadi dominan apabila menjalankan kekuasaan, tetapi bahkan jika ia sudah memegang dominasi

itu ia harus meneruskan untuk memimpinnya juga. Kepemimpinan itulah seperti yang telah

dikemukakan, yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (dalam Nezar Patria & Andi Arief,

2015: 117-118).

3. Ideologi
Ideologi merupakan cara berpikir seseorang atau suatu golongan (KBBI, edisi

keempat : 517). Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekedar ide. Ia membedakan antara sistem yang

berubah-ubah (arbitrary system) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu, dan

ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang

diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia

mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan

tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan

mereka, dan sebagainya” . ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup

kolektif masyarakat. Disini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan

masyarakat’ (Simon, 2004: 83).

Dalam Prison Notebooks, Gramsci memakai berbagai istilah yang menurutnya ekuivalen

dengan ideologi seperti kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau konsepsi mengenai dunia,

demikian pula istilah ‘reformasi moral dan intelektual’ ketika ia membicarakan transformasi

kesadaran sebagai prasyarat perbaikan menuju sosialisme. Terdapat juga aspek penting lain dari

watak material ideologi. Praktik ideologi mempunyai agen-agennya sendiri dalam bangunan kaum

intelektual yang mana mereka itu menkhususkan diri dalam menjabarkan ideologi-ideologi

organik dan mengemban tugas melaksanakan reformasi moral dan intelektual (Simon, 2004: 84-

85).

Bagi Gramsci, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus

dinilai dari ‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke

dalam satu wadah, dan dalam perannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial. Suatu

kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan dari
suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan

tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional (Simon, 2004: 87).

Terdapat dua poin penting yang muncul dari prinsip bahwa sebuah kelas yang ingin

bergerak maju menjadi hegemoni perlu membangun sistem ideologi yang dapat bertindak sebagai

pondasi yang bisa mengikat dan menyatukan berbagai kelompok kekuatan sosial.

Pertama, suatu kelas tidak akan memperoleh hegemoni hanya semata-mata dengan

menerapkan pandangannya sendiri terhadap semua kelas atau kelompok sosial lainnya. Perlu

kiranya menekankan kembali hal ini karena konsep Gramsci tentang hegemoni seringkali

dipahami dengan adanya penerapan ideologi suatu kelas ke dalam kelas-kelas lain. Sebaliknya,

kecendrungan untuk mereduksi ideologi menjadi instrument kelas akan mengarah kepada

ekonomisme yang mana hal ini ditentang keras oleh Gramsci. Kedua, sistem ideologi baru tidak

bisa dibuat sekali jadi sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin

partai politik. Namun, ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan

politik dan ekonomi, dan karakternya akan bergantung pada hubungan berbagai kekuatan yang ada

selama masa ketika ia dibangun. Ini merupakan salah satu aspek dari strategi revolusioner yang

oleh Gramsci disebut sebagai perang posisi (war of position), yang berlangsung ketika kelas

pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi oleh konsepsi yang sama mengenai dunia,

sehingga tidak memasukkan kelas kapitalis dan mengeluarkannya dari kelompok dan

dukungannya yang telah mereka peroleh dengan memasukkan tema-tema nasional kerakyatan ke

dalam sistem ideologinya sendiri (Simon, 2004: 90-91).

4. Kepercayaan Populer dan Kebiasaan Umum (Common Sense)


Gramsci berpendapat bahwa kepercayaan populer dan gagasan-gagasan serupa itu adalah

juga kekuatan material. Dalam hal ini yang terpenting bahwa gagasan-gagasan atau kepercayaan

itu tersebar sedemikian rupa sehingga memengaruhi seseorang tentang dunia. Ada tiga cara

penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu itu, yaitu melalui bahasa, common sense atau

kebiasaan umum dan folklor. Folklor meliputi sistem-sistem kepercayaan meyeluruh, tahayul-

tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan tertentu dan segala sesuatu. Gramsci mengatakan

bahwa Common Sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasive tetapi tidak

sistematik. Common Sense itu mempunyai dasar dalam pengalaman popular tetapi tidak

mempresentasikan suatu konsepsi yang terpadu mengenai dunia seperti halnya filsafat. Filsafat

merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan Common Sense. Lebih

jauh lagi, Common Sense seperti agama yang bersifat kolektif. Pada setiap stratum social

mempunyai common sense-nya sendiri yang secara mendasar merupakan konsepsi yang paling

terbesar mengenai kehidupan manusia (dalam Faruk, 2016: 144-146).

5. Kaum Inteletual

Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci penyebaran

itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang

menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran kematangan dan

ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, dan

sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu

kaum intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tdiak dalam pengertian yang biasa,

melainkan suatu strata sosial yang meyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam

pengertian yang luas—entah dalam lapangan produksi, kebudayaan ataupun dalam administrasi

politik. Mereka meliputi kelompok-kelompok, misalnya, dari pegawai junior dalam ketentaraan
sampai dengan pegawai yang lebih tinggi. Strata itu harus ditempatkan dalam hubungan dengan

struktur fundamental masyarakat setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi menciptakan

satu atau lebih strata intelektual yang memberinya homogenitas dan suatu kesadaran melalui

fungsinya sendiri tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi juga dalam lapangan social dan

politik (dalam Faruk, 2016: 150).

Kelompok intelektual pertama di atas disebut Gramsci sebagai kelompok intelektual

“organik”, sedangkan kelompok kedua disebut kelompok intelektual “tradisional”. Kedua

kelompok itu terpisah, tetapi secara historis dapat saling bertumpang tindih. Jadi, yang penting

dalam hal ini adalah bahwa sifat hubungan antar kelompok itu akan sangat memengaruhi sifat

hegemoni yang ada: apakah ada konflik dan stabilitas antar mereka, ataukah ada pertalian politis

dan kultural keduanya. bagi Gramsci, intelektualisme bukanlah dalam pengertian “bakat”

melainkan suatu fungsi dalam hubungan dengan struktur general masyarakat. Ada kategori-

kategori khusus yang secara historis dibentuk bagi pelaksanaan fungsi intelektual. Kategori-

kategori itu dibentuk dalam hubungannya dengan seluruh kelompok social, khususnya dalam

hubungan dengan kelompok yang lebih penting dan mendasar. Karena di dalam masyarakat selalu

terdapat kelompok yang antagonistik, terjadi pulalah pertarungan dalam kelompok intelektual

yang terbentuk itu. Salah satu ciri dari kelompok yang berkembang ke arah dominasi adalah

perjuangannya untuk berasimilasi dan bertarung secara ideologis dengan kelompok intelektual

tradisional. Asimilasi dan pertarungan itu dibuat lebih cepat dan lebih efektif apabila kelompok

yang bersangkutan semakin sukses dalam mengelaborasikan secara simultan kelompok

organiknya sendiri (dalam Faruk, 2016: 152).

6. Negara
Gramsci mengatakan ada dua wilayah dalam negara yang membedakan dunia masyarakat

sipil dan masyarakat politik. Yang pertama terpenting bagi konsep hegemoni karena merupakan

wilayah “kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan wilayah kedua merupakan dunia kekerasan,

pemaksaan, dan intervensi. Kedua dunia tersebut termasuk dalam konsep negara dalam pengertian

khusus. Negara bagi Gramsci tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga

aparat-aparat hegemoni atau masyarakat sipil. Negara adalah kompleks menyeluruh aktivitas-

aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan

mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari

mereka yang diperintahnya (dalam Faruk, 2016: 152).

Perluasan konsep negara itu akibat adanya kepentingan kebudayaan dalam teori Gramsci.

Itulah sebabnya, ia berbicara tentang negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Setiap Negara

dikatakan etis sejauh salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan / mengangkat

massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural, suatu level yang berhubungan dengan

kebutuhan akan kekuatan-kekuatan produktif, dengan interes-interes kelas penguasa. Sekolah

sebagai fungsi edukatif yang positif dan istana sebagai satu fungsi edukatif yang negative dan

represif merupakan aktivitas-aktivitas Negara yang paling penting dalam pnegertian ini. Akan

tetapi, pada kenyataannya, sejumlah besar inisiatif dan aktivitas-aktivitas swasta pun mengarah

kea rah yang sama—inisiatif dan aktivitas-aktivitas yang membentuk aparat-aparat hegemoni

politik dan kultural kelas penguasa. Dalam pengertian yang terakhir itulah negara dapat dianggap

sebagai “edukator” sejauh cenderung menciptakan suatu tipe atau level kebudayaan baru, hal itu

dilakukannya dengan cara yang terorganisasi, dengan segala asosiasi-asosiasi politik dan

sindikatnya, tidak hanya berlangsung secara spontan (Faruk, 2016: 154).


Setiap individu tentu memiliki hasrat dan sasaran yang ingin diraih. karena itu terkadang

kita ingin memaksakan kemauan walaupun atas individu atau kalangan lain. Hal ini menurut

Budiarjo menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat

mutlak untuk keselamatan sendiri. Kekuasaan merupakan kemauan seseorang atau kelompok

manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

sehingga tindakan itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai

kekuasaan itu (Budiarjo, 2006: 35).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library research)

yaitu dengan mengumpulkan bahan bacaan dan informasi yang relevan serta mendukung

penelitian ini.

Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari dan meneliti

naskah-naskah, buku-buku ataupun sumber-sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan

masalah penelitian yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan (Irwansyah,1989: 26).

3.1.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif.

Menurut Bogman dan Taylor, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis (Moleong, 2006: 4).

Peneliti dalam hal ini, mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta dan dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang ada berupa

pencatatan dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Teori Hegemoni Antonio

Gramsci.
3.2 Data dan Sumber Data

3.2.1 Data

Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata atau gambar, bukan angka-angka

(Aminuddin, 1990: 16).

Data dalam penelitian ini adalah teks cerita yang berkaitan dengan hegemoni dalam

novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur, berupa dialog, penggambaran pengarang,

maupun tingkah laku tokoh dalam cerita.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur. Novel

ini diterbitkan oleh penerbit Gramedia di Jakarta, cetakan pertama tahun 2016 dengan tebal

312 halaman.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode baca dan catat. Metode baca

digunakan penulis untuk memahami isi novel dan untuk mendapatkan gambaran permasalahan

sebelum menemukan latar belakang masalah. Kemudian, metode catat digunakan untuk mencatat

teks berupa kata, frasa atau kalimat yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian,

yaitu teks-teks dari berbagai referensi dan teks yang terdapat dalam novel Tanah Surga Merah

karya Arafat Nur.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik pengumpulan data meliputi sebagai berikut.

1. Membaca berulang-ulang secara keseluruhan novel Tanah Surga Merah Karya Arafat

Nur untuk memahami isi secara utuh.


2. Mengidentifikasi data terkait dengan hegemoni dalam novel Tanah Surga Merah melalui

dialog, penggambaran pengarang, tingkah laku tokoh maupun peristiwa cerita.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci

dengan mendeskripsikan hegemoni kelas berkuasa terhadap kelas subordinat dalam novel Tanah

Surga Merah karya Arafat Nur, melalui langkah-langkah berikut:

1. Mencermati faktor-faktor sosial yang masuk dalam sastra

2. Menghubungkan struktur sastra dengan masyarakat

3. Menarik kesimpulan

(Swingewood dalam Endraswara, 2013: 117)

Anda mungkin juga menyukai