PENDAHULUAN
Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan
eksistensinya sebagai manusia. Dalam hal ini eksistensi yang berisi ide dan realitas sosial budaya
pengarang. Menurut Faruk (2016: 46), sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke
dalam keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial
tempat serta bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku. Selain
mengungkapkan eksistensi pengarang, karya sastra berfungsi juga sebagai kesadaran masyarakat
Karya sastra umumnya hanya dijadikan sebagai bahan hiburan semata. Akan tetapi, bagi
sebagian sastrawan, sastra adalah media kritik bagi keadaan sosial tertentu. Dari beberapa karya
yang dihasilkan oleh pengarang, tentu saja tidak terlepas dari peran tokoh yang menguatkan
karakter dalam tulisan. Dari karakter tokohlah sehingga pembaca bisa mengetahui karakter dan
Cukup banyak karya sastra khususnya novel yang mengandung kritik sosial, termasuk
novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur. Novel ini menceritakan tentang pergolakan politik
lokal di Aceh. Arafat menghadirkan tokoh utama Murad yang berlatar belakang mantan anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Murad juga adalah sebagai mantan seorang aktivis Partai Merah
sedang berada di masa kejayaan karena kesuksesannya dalam pemberontakan, pada saat itulah
Murad memutuskan untuk melarikan diri. Penyebab Murad melarikan diri selain karena terkena
kasus penembakan yang berujung maut oleh salah satu petinggi partai merah, dia juga tidak
pribadi masing-masing. Selang beberapa tahun lamanya, Murad memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya. Kepulangan Murad menjadi awal dari perjalanan cerita ini. Murad yang
dulunya adalah pejuang kemerdekaan Aceh, kini diketahui rakyat Aceh sebagai seorang
pembunuh, bandar narkoba dan juga penggagas berdirinya Partai Jingga yang tak lain rival dari
Partai Merah. Sejak kepulangannya di Aceh, Murad dituduh sebagai buronon yang dipercayai
kedatangannya hendak menghasut Pemerintahan Aceh baru dan mengacaukan pemilihan umum.
Permasalahan yang terdapat dalam novel Tanah Surga Merah ini timbul karena adanya
konflik politik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) antara pihak kelas atas sebagai
penguasa dan kelas bawah sebagai rakyat. Dalam hal ini penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan pemerintah terhadap rakyat dengan cara memberlakukan sistem kerja poltik yang berupa
tekanan, ancaman dan teror. Selain itu, pemerintah juga menyalahgunakan wewenangnya untuk
rakyat. Lewat Tanah Surga Merah Arafat Nur, mencoba menggambarkan peristiwa demi peristiwa
bagaimana pemerintah memanfaatkan wewenang dan kekuasaannya untuk menindas rakyat atau
kalangan bawah.
Penyalahgunaan kekuasaan erat kaitannya dengan konsep hegemoni yang ditawarkan oleh
Gramsci, bahwa hegemoni didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks yang sekaligus bersifat
ekonomik dan etis-politik. Kekuasaan tertinggi kelompok sosial yang menyatakan dirinya dalam
dua cara yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual” suatu
Atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Kelompok tersebut memimpin kelompok yang
sama dan beraliansi dengannya. Gramsci menyebut hegemoni juga merupakan suatu kelompok
social dapat, dan sungguh harus, melaksanakan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan
pemerintahan. Ia menjadi dominan apabila menjalankan kekuasaan, tetapi bahakan jika ia sudah
memegang dominasi itu, ia harus meneruskan untuk memimpinnya juga (dalam Faruk, 2016: 141).
Arafat Nur adalah penulis prosa yang memulai bakatnya dengan menulis puisi, lantas
mengarang cerita pendek, dan terakhir lebih terpumpun pada novel. Di sela-sela kesibukannya
sebagai pekerja serabutan, dia gemar membaca buku apa saja, terutama buku sejarah, filsafat, dan
sastra asing. Lampuki (Serambi, 2011) merupakan novelnya yang terpilih sebagai
pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary
Award 2011. Novel lainnya adalah Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014), yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark Of Night, dan Tempat
Paling Sunyi (Gramedia, 2015). Tanah Surga Merah (Gramedia, 2017) dinobatkan sebagai
Novel Tanah Surga Merah ini sangat menarik untuk dikaji karena daya tarik dari novel
ini dikuatkan oleh latar belakang konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Arafat,
menggambarkan tokoh utama bernama Murad yang karakternya keras kepala dan selalu
Perjuangan Murad yang ingin menyuarakan rakyat dan membuat Aceh sebagai tanah kelahirannya
menemui banyak batu sandungan. Ia dan sejumlah temannya yang memiliki niat perjuangan yang
sama malah dikucilkan. Menghadapi para bandit jahat yang menduduki posisi-posisi penting dan
strategis di pemerintahan jelas hal yang tak bisa dianggap remeh. Hal yang menjadi daya tarik
dalam novel ini ialah meski pengarang menjadikan gejolak politik lokal sebagai pokok cerita,
naskah ini tidak terperangkap pada reportase jurnalistik. Pengarang menghadirkan seorang mantan
tentara (GAM) yang pulang ke kampungnya dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak
Dipilihnya novel Tanah Surga Merah dengan menggunakan fokus kajian hegemoni
nyata. Penggambaran kultural mengenai seorang penguasa di daerah yang berkonflik demi
mempertahankan kekuasaan secara diam-diam, banyak yang tidak menyukai sepak terjang di
bawah kepemimpinannya. Hal ini menimbulkan konflik antara pihak dominan sebagai penguasa
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini yaitu
bagaimanakah hegemoni dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan hegemoni dalam novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dunia sastra di Indonesia
sastra.
2. menjadi informasi referensi bagi penelitian berikutnya mengenai analisis karya sastra
ketimpangan sosial sehingga pembaca lebih bijak dalam melakukan interaksi sosial.
Hegemoni : pengaruh kekuasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah
Novel : karya fiksi yang ditulis menggunakan bahasa sehari-hari oleh seorang pengarang
dimaksud dalam penelitian ini adalah Tanah Surga Merah karya Arafat Nur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ilmiah, khususnya pada novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur dengan
menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci belum ditemukan sampai saat ini. Akan tetapi,
ada beberapa skripsi dan jurnal yang membahas tentang Hegemoni Antonio Gramsci.
Penelitian yang mengkaji tentang hegemoni ialah Nurhadi (2004) seorang dosen FBS
UNY, dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Hegemoni pada Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati
Karya Seno Gumira Ajidarma”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam novel Iblis Tidak
Pernah Mati terdapat sejumlah ideologi dominan yaitu kapitalisme, otoritarianisme, dan
militerisme yang berhadapan dengan sejumlah ideologi subaltern yaitu sosialisme, feodalisme,
rasialisme, fandalisme, dan anarkisme. Selain itu juga terdapat ideologi lain yang berperan sebagai
negosiator yaitu demokrasi dan humanisme. Sebagai intelektual dari masyarakat yang kapitalistik.
Kedua, Pawestri (2015) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri
Yogyakarta dalam skripsinya yang berjudul “Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Bibir Merah
Karya Achmad Munif”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa formasi ideologi dalam novel
Bibir Merah seperti otoritarianisme, feodalisme, kapitalisme, sosialisme dan fandalisme paling
dominan dan banyak digunakan. Kedua, bentuk hegemoni kekuasaan yang beroperasi
menciptakan dua wilayah yakni masyarakat sipil dan masyarakat politik yang masing-masing
melakukan hegemoni maupun menjadi korban hegemoni. Unsur elemen fiksi yang digunakan
untuk mempresentasikan hegemoni kekuasaaan ialah tema, tokoh, latar dan alur dimana setiap
unsur terdapat varian dan hasil temuan yang mempresentasikan hegemoni kekuasaan.
Ketiga Wiharjo, (2018) Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma dalam
skripsinya yang berjudul “Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Counter-Hegemoni dalam Novel Entrok
karya Okki Madasari”. Hasil penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu struktur cerita dalam novel,
bentuk hegemoni, dan bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel yang juga sekaligus
sebagai tokoh utama protagonis dan tokoh utama antagonis adalah Rahayu dan Marni. Sedangkan
tokoh tambahan terdiri dari Teja, para tentara, Koh Cahyadi, Amri, Kyai Hasbi, dan Pak Wagiman.
Latar terbagi menjadi dua. Pertama latar tempat yang terdiri dari beberapa tempat yang berada di
Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur antara lain Desa
Singget, Wetan Kali, Candi Borobudur, Markas Tentara Komandan Sumadi, Kali Manggis,
Sebuah Desa di Timur Merapi, Pasar Gede Madiun, dan kantor polisi. Latar waktu terdiri dari
tahun 1882, 1975, 1977, 1982, 1983, 1985,1987, dan 1990. Ada dua wilayah hegemoni yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Tahapan bentuk-
bentuk hegemoni masyarakat sipil adalah para pemimpin yang berkuasa penuh, mulai timbul
pertentangan, dan pengambilan keputusan secara sepihak. Sementara tahapan bentuk hegemoni
dalam masyarakat politik adalah memberi ancaman terhadap bawahan, mengatur cara
menyingkirkan penentang. Ada tiga bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian
ini, yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cari aksi demonstrasi, menerbitkan berita
di media massa, dan perlawanan secara langsung. 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara
melarikan diri ke rumah Marni dan napak tilas. 3) Perlawanan Humanistik yang dilakukan dengan
Penelitian lain yang menganalisis novel Tanah Surga Merah yaitu dalam penelitian
dalam skripsinya yang berjudul “Aspek Sosial dalam Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat
Nur”. Hasil penelitiannya yaitu, struktur pembangunan novel TSM yang meliputi tema tentang
kehidupan seorang mantan aktivis (GAM) yang menjadi buron polisi, dan latar tempat secara
umum berada di Provinsi Aceh. Aspek sosial yang terkandung meliputi kejahatan sosial,
Marlina (2017), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, dalam skripsinya yang berjudul “Poskolonialisme dalam
Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur”. Hasil penelitiannya yaitu Murad sebagai tokoh
utama protagonis, Saifud dan orang-orang Partai Merah antagonis sedangkan nilai-nilai
Untuk memahami karya sastra secara utuh, karya sastra tidak dapat dimengerti apabila
dipisahkan dari wilayah kebudayaan atau masyarakat yang telah menciptakannya. Sama halnya
dengan sosiologi sastra dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuaikan diri dalam
Karya sastra bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiksi, imajinasi. Karakter di dalam karya-
karya sastra bukan tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra
itu merupakan hasil ciptaan atau rekaan pengarang yang muncul begitu saja, tidak mempunyai
sejarah, dan masa lalu. Teori sosiologi sastra tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai
lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan mempunyai kemungkinan relatif formatif terhadap
Sosiaologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa yunani
yaitu kata sos, yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman dan kata logi (logos) yang berarti
sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra merupakan akar kata sas (Sansekerta) yang brarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.
Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan
masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan
bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa
yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya
karya sastra bersifat evaluative, subjektif dan imajinatif (Aziz dalam Setyawati, 2014: 09).
Swingewood mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha
dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Pada prinsipnya, sosiologi memang mempelajari
kehidupan nyata manusia sebagai suatu kolektivitas. Akan tetapi, didalamnya dijumpai banyak
teori dan metodologi yang berbeda dan bahkan saling bertentangan mengenai kehidupan tersebut
dan cara memperoleh pengetahuan mengenainya. Sementara itu, Ritzer mengatakan bahwa
sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu
tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing dalam usaha merebut hegemoni
dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma adalah unit konsenseus terluas dalam
suatu pengetahuan dan berfungsi untuk membedakan satu komunitas dari komunitas lainnya
Pada ruang lain yang bertentangan dengan arah romantisisme adalah pengaruh pemikiran
mencetuskan ilmu sosiologi. Seorang filsuf, Sejarawan, politisi, dan juga penulis esai, yaitu
Hypolite Taine (1828-1893) berupaya untuk mengembangkan suatu ilmu yang menempatkan
sastra dan juga seni pada wilayah metode pengkajian yang serupa dengan yang dikembangkan
dalam ilmu-ilmu fiksi dan ilmu alam. Taine secara konstan menyerang para novelis dan kritikus
sastra pada masanya yang memberi tekanan pada intensitas moral dalam karya-karya sastra
Menurut Taine, sifat karya sastra adalah dokumen pelengkap (furnished document) sebab
karya sastra adalah sebuah monument, perbedaan periode sejarah dalam sastra justru menciptakan
hubungan yang harmonis antara kecerdasan dan zaman. Pertama-tama, sastrawan melakukan
penetrasi kecerdasannya dalam memahami zaman dalam karya sastranya, selanjutnya sastrawan
melakukan penetrasi yang lebih jauh kedalam kecerdasan zaman dan rasnya. Apapun hasil cipta
suatu karya sastra, menurut Taine, mempunyai validitas yang sama untuk dijadikan sebagai
dokumen social, sekalipun karya sastra tersebut, tidak ekspresif dan representative secara social
posisi yang diklaim oleh Negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, misalnya
yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap negara-negara lain yang sejajar
Dalam pengertian di jaman ini, hegemoni menujukkan sebuah kepemimpinan dari suatu
Negara tertentu yang bukan hanya sebuah Negara kota terhadap Negara-negara lain yang
berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam Negara “pemimpin”. Dalam
konteks politik internasional, misalnya, pada periode perang dingin, pertarungan pengaruh antara
Negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan mantan Uni Sovyet, pada masa perang untuk
Bagi Gramsci, asumsi liberal “masa kini”, bahwa orang tanpa mempunyai kesempatan
sangat aneh. Diandaikan bahwa dalam suatu perjanjian dengan sendirinya ada disposisi mental,
ada titik-titik lemah disamping kekuatannya. Guna menjelaskan ini, Femia menangkap tiga
kategori penyesuaian yang berbeda yang dikemukakan Gramsci, yaitu karena rasa takut, karena
terbiasa dan karena kesadaran dan persetujuan. Tipe yang terakhir inilah yang kemudian disebut
Gramsci sebagai hegemoni (Hendarto dalam Patria dan Arief, 2015, 125-126). Ketiga kategori
itu meliputi:
1. Orang menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila ia tidak
yang menakutkan.
2. Orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-
cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang tidak
terefleksikan dalam hal ini bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang menganut pola-pola
3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan
Menurut Gramsci, hegemoni adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan
didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok
yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (dalam Faruk, 2016: 141).
Gramsci (dalam Faruk, 2016: 131-132), sebagaimana Karl Marx sendiri, tetapi berbeda
dari kaum marxis ortodoks, dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya sebagai
refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material,
melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Persoalan kultural dan formasi
ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya pun berlangsung proses yang rumit.
Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya
pusat informasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut
sebagai hegemoni.
Titik awal konsep tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan cara kekerasaan dan persuasi.
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004: 19).
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci (dikutip dalam Hendarto,
1993;82-84) yaitu, hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decadent) dan hegemoni
yang minimum. Pertama, hegemoni Integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati
totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Hegemoni
yang diidealkan, bahwa antara massa dan pimpinan tidak ada masalah yang berarti. Hubungan
yang terjalin adalah hubungan yang kuat. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony).
Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia
menunjukkan adanya potensi disintegrasi di sana. Artinya hegemoni merosot ini terjadi jika
masyarakat tidak sejalan dengan kepemimpinan yang ada. Sehingga, dalam kondisi demikian
dimungkinkan masyarakat mendapat kesepakatan lain yang tidak sejalan. Ketiga, hegemoni
minimum (minimal hegemony). Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni yang paling
rendah dibandingkan dua bentuk di atas. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit
ekonomis, politis, dan intelektual. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau
menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan klas lain dalam masyarakat.
Artinya hegemoni minimum adalah hegemoni yang bermasalah. Kepemimpinan yang ada
berlawanan dengan kesepakatan masyarakatnya (dalam Nezar Patria & Andi Arief, 2015: 128-
129).
Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat beberapa konsep kunci, yaitu
1. Kebudayaan
Gramsci menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan sebagai satu kekuatan
material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat. Pada saat itu ia
menolak konsep kebudayaan sebagai pengetahuan ensiklopedis dan melihat manusia sebagai
semata-mata wadah yang diisi penuh dengan data empirik dan massa dari fakta mentah yang tidak
saling berhubungan, yang harus didokumentasikan di dalam otak sebagai sebuah kolom dalam
sebuah kamus yang memampukan pemiliknya untuk memberikan respons terhadap berbagai
rangsangan dari dunia luar. Menurut Gramsci, konsep kebudayaan serupa itu sungguh-sungguh
berbahaya khususnya bagi proletariat. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menciptakan
masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan diri, masyarakat yang percaya bahwa mereka superior
di hadapan manusia lainnya karena sudah mengingat data-data dan fakta dan yang dengan cepat
menyebutkannya dalam setiap kesempatan yang dengan demikian mengubah mereka sebagai
perintang antara diri mereka sendiri dan orang lain. (dalam Faruk, 2016: 138).
Menurut Raymond Williams, dalam bukunya yang berjudul Culture and society, di Inggris,
juga seperti yang telah dipahami oleh Mathew Arnold, kebudayaan merupakan semacam “nilai-
Bagi Gramsci sendiri konsep kebudayaan yang lebih tepat, lebih adil, dan lebih demokratis,
adalah kebudayaan sebagai organisasi, disiplin batin seseorang yang merupakan pencapaian suatu
kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil dalam memahami nilai
historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (dalam Faruk, 2016:
139).
Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi
ideologis. Revolusi kebudayaan itu tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan
melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan terjadi revolusi tersebut (Faruk,
2016: 140).
Persoalan kebudayaan yang demikian menjadi menarik bagi Gramsci karena dengan hal-hal
itu orang dapat mendedukkasikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis.
Segala aktivitas kultural itu akan bermuara pada satu sasaran yang tunggal, yaitu penciptaan satu
iklim kultural yang tunggal melalui suatu proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal
menuntut satu pemersatuan sosial kultural yang melaluinya multisiplitas kehendak dan tujuan yang
tersebar dan heterogen tersatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya
2. Hegemoni
didasarkan pada asumsi bahwa supermasi-supermasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya
dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual”.
“hancurkan”, atau bahkan ia taklukan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut
memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya. Suatu kelompok sosial dapat, dan
menjadi dominan apabila menjalankan kekuasaan, tetapi bahkan jika ia sudah memegang dominasi
itu ia harus meneruskan untuk memimpinnya juga. Kepemimpinan itulah seperti yang telah
dikemukakan, yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (dalam Nezar Patria & Andi Arief,
2015: 117-118).
3. Ideologi
Ideologi merupakan cara berpikir seseorang atau suatu golongan (KBBI, edisi
keempat : 517). Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekedar ide. Ia membedakan antara sistem yang
berubah-ubah (arbitrary system) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu, dan
ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang
diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia
mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan
tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan
mereka, dan sebagainya” . ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup
kolektif masyarakat. Disini Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan
Dalam Prison Notebooks, Gramsci memakai berbagai istilah yang menurutnya ekuivalen
dengan ideologi seperti kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau konsepsi mengenai dunia,
demikian pula istilah ‘reformasi moral dan intelektual’ ketika ia membicarakan transformasi
kesadaran sebagai prasyarat perbaikan menuju sosialisme. Terdapat juga aspek penting lain dari
watak material ideologi. Praktik ideologi mempunyai agen-agennya sendiri dalam bangunan kaum
intelektual yang mana mereka itu menkhususkan diri dalam menjabarkan ideologi-ideologi
organik dan mengemban tugas melaksanakan reformasi moral dan intelektual (Simon, 2004: 84-
85).
Bagi Gramsci, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus
dinilai dari ‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke
dalam satu wadah, dan dalam perannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial. Suatu
kelas hegemonik adalah kelas yang berhasil dalam menyatukan kepentingan-kepentingan dari
suatu kelas, kelompok dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan
tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional (Simon, 2004: 87).
Terdapat dua poin penting yang muncul dari prinsip bahwa sebuah kelas yang ingin
bergerak maju menjadi hegemoni perlu membangun sistem ideologi yang dapat bertindak sebagai
pondasi yang bisa mengikat dan menyatukan berbagai kelompok kekuatan sosial.
Pertama, suatu kelas tidak akan memperoleh hegemoni hanya semata-mata dengan
menerapkan pandangannya sendiri terhadap semua kelas atau kelompok sosial lainnya. Perlu
kiranya menekankan kembali hal ini karena konsep Gramsci tentang hegemoni seringkali
dipahami dengan adanya penerapan ideologi suatu kelas ke dalam kelas-kelas lain. Sebaliknya,
kecendrungan untuk mereduksi ideologi menjadi instrument kelas akan mengarah kepada
ekonomisme yang mana hal ini ditentang keras oleh Gramsci. Kedua, sistem ideologi baru tidak
bisa dibuat sekali jadi sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin
partai politik. Namun, ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan
politik dan ekonomi, dan karakternya akan bergantung pada hubungan berbagai kekuatan yang ada
selama masa ketika ia dibangun. Ini merupakan salah satu aspek dari strategi revolusioner yang
oleh Gramsci disebut sebagai perang posisi (war of position), yang berlangsung ketika kelas
pekerja membangun blok kekuatan sosial yang dilandasi oleh konsepsi yang sama mengenai dunia,
sehingga tidak memasukkan kelas kapitalis dan mengeluarkannya dari kelompok dan
dukungannya yang telah mereka peroleh dengan memasukkan tema-tema nasional kerakyatan ke
juga kekuatan material. Dalam hal ini yang terpenting bahwa gagasan-gagasan atau kepercayaan
itu tersebar sedemikian rupa sehingga memengaruhi seseorang tentang dunia. Ada tiga cara
penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu itu, yaitu melalui bahasa, common sense atau
kebiasaan umum dan folklor. Folklor meliputi sistem-sistem kepercayaan meyeluruh, tahayul-
tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan tertentu dan segala sesuatu. Gramsci mengatakan
bahwa Common Sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasive tetapi tidak
sistematik. Common Sense itu mempunyai dasar dalam pengalaman popular tetapi tidak
mempresentasikan suatu konsepsi yang terpadu mengenai dunia seperti halnya filsafat. Filsafat
merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan Common Sense. Lebih
jauh lagi, Common Sense seperti agama yang bersifat kolektif. Pada setiap stratum social
mempunyai common sense-nya sendiri yang secara mendasar merupakan konsepsi yang paling
5. Kaum Inteletual
Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci penyebaran
itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang
ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, dan
sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu
kaum intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tdiak dalam pengertian yang biasa,
melainkan suatu strata sosial yang meyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam
pengertian yang luas—entah dalam lapangan produksi, kebudayaan ataupun dalam administrasi
politik. Mereka meliputi kelompok-kelompok, misalnya, dari pegawai junior dalam ketentaraan
sampai dengan pegawai yang lebih tinggi. Strata itu harus ditempatkan dalam hubungan dengan
struktur fundamental masyarakat setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi menciptakan
satu atau lebih strata intelektual yang memberinya homogenitas dan suatu kesadaran melalui
fungsinya sendiri tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi juga dalam lapangan social dan
kelompok itu terpisah, tetapi secara historis dapat saling bertumpang tindih. Jadi, yang penting
dalam hal ini adalah bahwa sifat hubungan antar kelompok itu akan sangat memengaruhi sifat
hegemoni yang ada: apakah ada konflik dan stabilitas antar mereka, ataukah ada pertalian politis
dan kultural keduanya. bagi Gramsci, intelektualisme bukanlah dalam pengertian “bakat”
melainkan suatu fungsi dalam hubungan dengan struktur general masyarakat. Ada kategori-
kategori khusus yang secara historis dibentuk bagi pelaksanaan fungsi intelektual. Kategori-
kategori itu dibentuk dalam hubungannya dengan seluruh kelompok social, khususnya dalam
hubungan dengan kelompok yang lebih penting dan mendasar. Karena di dalam masyarakat selalu
terdapat kelompok yang antagonistik, terjadi pulalah pertarungan dalam kelompok intelektual
yang terbentuk itu. Salah satu ciri dari kelompok yang berkembang ke arah dominasi adalah
perjuangannya untuk berasimilasi dan bertarung secara ideologis dengan kelompok intelektual
tradisional. Asimilasi dan pertarungan itu dibuat lebih cepat dan lebih efektif apabila kelompok
6. Negara
Gramsci mengatakan ada dua wilayah dalam negara yang membedakan dunia masyarakat
sipil dan masyarakat politik. Yang pertama terpenting bagi konsep hegemoni karena merupakan
wilayah “kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan wilayah kedua merupakan dunia kekerasan,
pemaksaan, dan intervensi. Kedua dunia tersebut termasuk dalam konsep negara dalam pengertian
khusus. Negara bagi Gramsci tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga
aparat-aparat hegemoni atau masyarakat sipil. Negara adalah kompleks menyeluruh aktivitas-
aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan
Perluasan konsep negara itu akibat adanya kepentingan kebudayaan dalam teori Gramsci.
Itulah sebabnya, ia berbicara tentang negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Setiap Negara
dikatakan etis sejauh salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan / mengangkat
massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural, suatu level yang berhubungan dengan
sebagai fungsi edukatif yang positif dan istana sebagai satu fungsi edukatif yang negative dan
represif merupakan aktivitas-aktivitas Negara yang paling penting dalam pnegertian ini. Akan
tetapi, pada kenyataannya, sejumlah besar inisiatif dan aktivitas-aktivitas swasta pun mengarah
kea rah yang sama—inisiatif dan aktivitas-aktivitas yang membentuk aparat-aparat hegemoni
politik dan kultural kelas penguasa. Dalam pengertian yang terakhir itulah negara dapat dianggap
sebagai “edukator” sejauh cenderung menciptakan suatu tipe atau level kebudayaan baru, hal itu
dilakukannya dengan cara yang terorganisasi, dengan segala asosiasi-asosiasi politik dan
kita ingin memaksakan kemauan walaupun atas individu atau kalangan lain. Hal ini menurut
Budiarjo menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat
mutlak untuk keselamatan sendiri. Kekuasaan merupakan kemauan seseorang atau kelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tindakan itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai
METODE PENELITIAN
yaitu dengan mengumpulkan bahan bacaan dan informasi yang relevan serta mendukung
penelitian ini.
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari dan meneliti
Menurut Bogman dan Taylor, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang
Peneliti dalam hal ini, mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta dan dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang ada berupa
pencatatan dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Teori Hegemoni Antonio
Gramsci.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata atau gambar, bukan angka-angka
Data dalam penelitian ini adalah teks cerita yang berkaitan dengan hegemoni dalam
novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur, berupa dialog, penggambaran pengarang,
Sumber data penelitian ini adalah novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur. Novel
ini diterbitkan oleh penerbit Gramedia di Jakarta, cetakan pertama tahun 2016 dengan tebal
312 halaman.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode baca dan catat. Metode baca
digunakan penulis untuk memahami isi novel dan untuk mendapatkan gambaran permasalahan
sebelum menemukan latar belakang masalah. Kemudian, metode catat digunakan untuk mencatat
teks berupa kata, frasa atau kalimat yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian,
yaitu teks-teks dari berbagai referensi dan teks yang terdapat dalam novel Tanah Surga Merah
Langkah-langkah yang ditempuh dalam teknik pengumpulan data meliputi sebagai berikut.
1. Membaca berulang-ulang secara keseluruhan novel Tanah Surga Merah Karya Arafat
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci
dengan mendeskripsikan hegemoni kelas berkuasa terhadap kelas subordinat dalam novel Tanah
3. Menarik kesimpulan