Anda di halaman 1dari 19

Teori Resepsi Estetik dalam

Kritik Prosa dan Penerapannya


dalam Sastra Jawa XI Adiparwa
oleh Penulis Serat Kanthaning
Ringgit Purwa

Kelompok 16

Condro Ayu Mukti Kuncoro


(200211605203)
Devi Putri Pertiwi (200211605248)
Sumber Rujukan
Asia Padmopuspito. 1986. Serat Kandhaning Ringgit Purwa jilid 4. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Jausz. 1974. Literary history as achallenge. Dalam R. Cohen (ed.),New
Direction in Literary History. London: Roudlege &Kegan Paul, 11-41. 1983.
Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of
Minnesota.
Khuta Ratna, Nyoman. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Padmopuspito, Asia. 1993. Teori Resepsi dan Penerapannya. diakses pada 27
Februari 2021.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1991. “Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya”
dalam Sulatin Sutrisno, Danu Suprapto, Sudaryanto (Eds),
Bahasa Sastra Budaya: Ratna Manikam Untaian Persembahan
kepada Prof. Dr. P. J. Zoet Mulder. Hlm 182-191. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.2007. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

------------. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pengertian Teori Resepsi
Beberapa ahli mengemukakan konsep resepsi sastra, diantaranya menurut Leo
Towenthal teori resepsi adalah penerimaan masyarakat tertentu terhadap karya tertentu.
Adapun Endaswara (2008:115) resepsi sastra adalah penelitian yang ditujukan pada
aspek pembaca sebagai penerimaan makna atau pemberi makna. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Teuuw (1984:152) yang mengemukakan resepsi pembaca sebagai
penerimaan atau tanggapan pembaca terhadap karya sastra yang diberikan berdasarkan
pemaknaan terhadapnya.

Secara umum teori resepsi sastra diartikan sebagai penerimaan, penyambutan,


tanggapan, reaksi dan sikap pembaca terhadap suatu karya sastra (Ratna 2010:203).
Resespsi dalam arti luas dapat berarti sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian
makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadap karya sastra. Respon
yang dimaksudkan tidak dilakukan karya sastra dengan seorang pembaca, melainkan
pembaca dalam proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.
Dasar-dasar Teori Resepsi Sastra

Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra
yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1).
Lanjutnya, tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang
bersifat aktif. Pasif maksudnya adalah bagaiaman seorang pembaca dapat memahami karya itu,
atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu
bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.

Jauss menumpukkan perhatiannya kepada bagaimana suatu karya dapat diterima pada
suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu atau horizon tertentu yang
diharapkan ( Erwartungs horizont, horizon of expectation). Hanya dengan partisipasi aktif dari
pembaca suatu karya sastra dapat hidup (Junus 1985:33). Karya sastra bukanlah objek yang
berdiri sendiri, dan yang memberikan wajah yang sama kepada masing-masing pembaca di tiap
periode. Sebuah karya sastra jauh lebih merupakan orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-
suara baru diantara para pembacanya (Jauss dalam Pradopo 1991:186).
Jauss dalam Taum (1997:59) mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoritisnya dalam buku Toward an Astheticof Reception, secara singkat ketujuh ringkasan tesis tersebut adalah :

Karya sastra bukanlah monument yang mengungkapkan makna yang satu dan sama,
01 seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai
deskripsi yang tertutup.

Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya
sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya
02 yang sudah diakrabi, dan dari prapemahaman mengenai
oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari.

Jarak estetik antara horizon harapan dengan wujud karya sastra yang baru apabila masih

03 ada, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik


melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal, atau
melaui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.

Rekontruksi mengenai horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan sampai
04 masa kini, akan menghasilkan berbagai variasi resepsi sesuai dengan
semangat jaman yang berbeda.
Teori estetika penerimaan tidak hanya memahami makna bentuk karya sastra menurut
pemahaman historis. Karya sastra individual perlu dimasukkan dalam rangkaian sastra,
05 agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks
pengalaman sastra.

Pemahaman dan pemaknaan karya sastra menurut resepsi historis (analisis


diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik,
06 maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk
menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan
antara karya seni sejaman dengan sistem seni masa lampau.

Tugas sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem


07 karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan
dengan sejarah umum.
Kriteria dan Metode Teori Resepsi Sastra
Pradopo (2008:23) resepsi sastra merupakan cara pandang estetika resepsi,
maksudnya keindahan karya sastra yang dilihat dari sisi pembaca. Pandangan ini banyak
mengekor pada gagasan Jauss, yang menyatakan bahwa pembaca itu memiliki peran
aktif dan membentuk sejarah. Estetika resepsi merupakan sebuah ilmu (keindahan) yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya
sastra. Resepsi memberikan perhatian atas peranan pembaca terhadap pemberian makna
pada karya sastra. Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna
terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan
terhadapnya (Junus, 1985:1).

Jauss menumpukkan perhatiannya kepada bagaimana suatu karya dapat diterima


pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu atau horizon
tertentu yang diharapkan ( Erwartungs horizont, horizon of expectation). Hanya dengan
partisipasi aktif dari pembaca suatu karya sastra dapat hidup (Junus 1985:33). Karya
sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri, dan yang memberikan wajah yang sama
kepada masing-masing pembaca di tiap periode. Sebuah karya sastra jauh lebih
merupakan orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-suara baru diantara para
pembacanya (Jauss dalam Pradopo 1991:186).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Teori resepsi berdasarkan
latar belakang historis pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Resepsi secara sinkronis, penelitian dalam kaitannya dengan pembaca


sejaman.

b. Resepsi secara diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan pembaca


beda jaman.

Model resepsi pertama dilakukan oleh para pembaca terhadap


sebuah atau beberapa karya sastra. Pembaca dan karya sastra berada dalam ciri-ciri periode yang
relatif sama. Model resepsi kedua dilakukan oleh para pembaca yang dilakukan pada periode
yang berbeda-beda (Ratna 2005:209). Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau
eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik
sastranya terlebih dahulu, (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa
menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra, dan (3) dapat dilakukan pada
karya sastra populer.
PENERAPAN TEORI RESEPSI SASTRA
PADA BAGIAN AKHIR EPISODE XI
ADIPARWA OLEH PENULIS SERAT
KANT/HANING RINGGIT PURWA.
Stuktur Penulisan Makalah
Dalam penelitian terhadap Sastra Jawa XI Adiparwa oleh penulis Serat
Kanthaning Ringgit Purwa ini digunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan penulis
adalah sinkronis. Teori yang digunakan terdapat dalam metode estetika resepsi. Stuktur yang
digunakan untuk menganalisis resepsi terhadap Sastra Jawa XI Adiparwa oleb penulis Serat
Kanthaning Ringgit Purwa adalah sebagai berikut:

1. Pada tahap awal penulis menentukan objek penelitian, yaitu Sastra Jawa XI Adiparwa oleb
penulis Serat Kanthaning Ringgit Purwa. Tahap selanjutnya adalah menemukan menyatakan
alasan memilih topik tersebut.

2. Menjelasakan mengenai teori resepsi, karakteristik, serta kriteria dan metode yang diambil
dalam penerapan teori resepsi Sastra Jawa XI Adiparwa oleb penulis Serat Kanthaning
Ringgit Purwa.

3. Membaca dan mencermati episode terkhir dari ojek yang dikaji yaitu Sastra Jawa XI
Adiparwa oleb penulis Serat Kanthaning Ringgit Purwa.
4. Mencatat bagian-bagain yang akan dikaji.

5. Menjelakan mengenai stuktur terkait contoh kajian teori resepsi

6. Menjabarkan hasil mengenai episode terkhir dari ojek yang dikaji yaitu Sastra Jawa XI
Adiparwa oleb penulis Serat Kanthaning Ringgit Purwa. Dalam penjabaran tersebut berisi
mengenai beberapa versi yang berbeda dari setiap bagian episode terakhir dari berbagai penulis.

7. Mengkritisi contoh kritik teori resepsi dari episode terkhir dari ojek yang dikaji yaitu
Sastra Jawa XI Adiparwa oleb penulis Serat Kanthaning Ringgit Purwa.

8. Membuat kesimpulan
Hasil Teori Resepsi dari Sastra Jawa
Xi Adiparwa oleb Penulis Serat
Kanthaning Ringgit Purwa
Pupuh C XI bait 11 sampai dengan Serat Kandhaning Ringgit Purwa berbunyi sebagai
berikut:
 
11. Sapraplane ing pura sang aji, ingkang rama res; Palasara, alon amanis wuwuse, lah kulup putraningsun,
Abiyasa kapingin mami, aduwe wayah ingwang, lah mara garwamu, sarenana dipun inggal, Abiyasa ing manah
ewa kepati, dhumateng garwanira.

12. Palasara wus wikan ing galih, lamun wau lumuh ingkang putra, esmu duka ing galihe, sigra wau sang sunu,
pinanjingken ing kenya puri, kalayan sang dyah reIna, kin unci pan sampun, Abiyasa duk samana, pan
angungrum kang garwa denarih-arih, sarwi merem kewala.

13. Sang Ambayun dhasare awasis, amel ati angunggar ing priya, dadya karsa ta kakunge, semana sang
abagus, nekakaken asmara kapti, sarwi meremra, sang Ambayun murcita sajroning ati, rahaden wus amedal.

14. Duk semana Ambayun sang dewi, lajeng wawral, wus katur sang rama, Palasara ting sukane, wus lami
wawratipun, wus atutuk semayaneki, babar wau kang putra,jalu pan ahagus, nanging datan darbe netra, ukur
gatra netra kang jabang hayi, angungun Palsarah. (Asia Padmopuspito 1986.'108-109).
Maksudnya dalam bahasa Indonesia lebih kurang sebagai berikut:

11. Setiba di istana baginda, Ayahandanya yakni resi Palasara berkata dengan lembut dan merdu: "hai
putraku Abiyasa, saya amat ingin bercucu. Silakan tiduri segera isterimu!" Di dalam hati Abiyasa amat
kurang senang kepada isterinya.

12. Palasara di dalam hati sudah tabu bahwa puteranya pada waktu itu enggan. Baginda agak marah di
dalam hati. Puteranya segera dimasukkan ke dalam kamar puteri bersama-sama dengan sang puteri dan
telah dikunci. Pada waktu itu Abiyasa merayu isterinya sambit memejamkan mata.

13. Sang Ambayun memang pandai membangkitkan asmara pria sehingga sang suami bergairah. Sang
bagus melaksanakan permainan asmara dengan memejamkan mata saja, tidak suka melihat. Setelah
selesai sang Ambayun puas hatinya, raden Abiyasa telah keluar.

14. Pada waktu itu dewi Ambayun lalu hamil. Hal itu diberitahukan kepada ayahandanya. Palasara
amat gembira. Setelah sampai saatnya, lahirlah putera laki-laki bagus rupawan tetapi tak bermata.
Mata bayi itu hanya gatra saja. Palasara heran.
Kedua teks di atas mempunyai konsepsi sebab akibat. Konsepsi akibat kedua teks
itu sarna yakni putra Abiyasa itu buta. Tetapi konsepsi sebab kedua teks itu
berbeda. Pada teks Adiparwa yang memejamkan mata sang Ambika. Sedangkan
pada teks Serat Katjdhaning Ringgit Purwa yang memejamkan mata adalah
Abiyasa. Varian ini merupakan resepsi penulis Serat Kandhaning Ringgit Purwa
terhadap Adiparwa. Resepsi ini ditandai oleh adat istiadat Jawa bahwa akibat
buruk kelahiran bayi adalah disebabkan ulah bapaknya. Sedangkan teks Adiparwa
bersumber dari Mahabharata Sanskerta yang berlandaskan paham Hinduisme.

Di dalam paham Hinduisme kedudukan seorang resi amat tinggi, sehingga


kelahiran bayi yang cacat putera resi Byasa dengan dewi Ambika itu bukan
kesalahan resi Byasa, melainkan kesalahan dewi Ambika. Varian konsep yang
lain adalah tokoh yang menyurub bagawan Byasa melakukan perkawinan. Pada
teks Adiparwa tokoh itu ibu begawan Byasa yang bemama Dewi Gandhawati dan
pada teks Serat Kandhaning Ringgit Purwa tokoh itu ayah sang begawan yang
bemama Prabu Palasara. Latar belakang resepsi ini adanya anggapan bahwa
peranan raja lebih besar daripada permaisuri.
Varian berikutnya adalah nama ibu sibayi yang buta. Di dalam
teks Adiparwa bemama Ambika dan di dalam Serat
Kandhaning Ringgit Puma bemama Ambayun. Nama ini benar-
benar sebuah kreasi karena di daJam teks Jawa Kuna hanya
terdapat nama Amba, Ambika dan Ambalika.

Varian yang tidak jauh berbeda adalah nama Byasa yang


menjadi Abiyasa. Pada zaman Surakarta awal terjadi resepsi
Serat Rama, Wiwaha. Bimasuci, Bratayuda dan Suluk Malang
Sumirang oleh Yasadipura pada waktu sang pujangga menulis
Serat Cebolek.
Kesimpulan
Resepsi berdasarkan perbandingan bagian pada episode terkhir XI Adiparwa oleb penulis Serat Kanthaning Ringgit
Purwa dibagi berdasarkan tanggapan pembaca terhadap kreativitas tiap pengarang dalam menyuguhkan materi. Kesan positif berupa
penerimaan terhadap pengubahan alur yang awalnya berakhir sedih menjadi akhir bahagia, sejalan dengan pengaruh resepsi
sebelumnya dari pembaca yang menyampaikan tanggapan pada karya pertama yang terjadi dalam cerita Ramayana. Sedangkan
untuk serat XI Adiparwa memberi varian pada resepsi penulis. Resepsi ini ditandai oleh adat istiadat Jawa bahwa akibat buruk
kelahiran bayi adalah disebabkan ulah bapaknya. Sedangkan teks Adiparwa bersumber dari Mahabharata Sanskerta yang
berlandaskan paham Hinduisme. Di dalam paham Hinduisme kedudukan seorang resi amat tinggi, sehingga kelahiran bayi yang
cacat putra resi Byasa dengan dewi Ambika itu bukan kesalahan resi Byasa, melainkan kesalahan dewi Ambika.

Kemudian untuk kesan negatif sebagian pembaca berpendapat bahwa dengan mengubah alur ternyata juga mengubah
rasa dalam menikmati cerita. Dengan jalan cerita teks Adiparwa bersumber dari Mahabharata Sanskerta yang berlandaskan paham
Hinduisme seakan menempatkan wanita sebagai biang kesialn atau kesalahan dalam hidup. Bentuk diskriminasi juga tergambar
jelas pada teks Adiparwa tokoh itu ibu begawan Byasa yang bemama Dewi Gandhawati dan pada teks Serat Kandhaning Ringgit
Purwa tokoh itu ayah sang begawan yang bemama Prabu Palasara. Latar belakang resepsi ini adanya anggapan bahwa peranan raja
lebih besar daripada permaisuri.
Saran
Tulisan ini bersifat garis besar dan masih merupakan kajian awaI. Karena itu para peminat disarankan
untuk mendalami sendiri pustaka sumber dan mengembangkan analisis reseptif.
THANK YOU FOR YOUR
ATTENTION

Anda mungkin juga menyukai