Anda di halaman 1dari 6

Teori Psikologi Sastra

PSIKOLOGI SASTRA

A.      Pendahuluan
1.        Latar Belakang
Sastra adalah kegiatan kreatif   yang menjadi alat mengekspresikan dan menyampaikan
pesan ataupun perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan bersosialisasi ,banyak sekali cerita
dan inspirasi yang harus diutarakan karena sifat mendasar manusia sendiri sebagai makhluk
sosial. Sehingga munculah karya sastra baik novel, puisi dan lain-lain yang dijadikan alat
mengekspresikan dan mengutarakan pesan tersebut.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan
studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya
sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat
dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan
diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud.
Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah akan
gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Didalam makalah ini
akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan pengaplikasiannya.
2.        Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dijadikan pembahasan adalah bagaimana konsep
dan teori mengenai psikologi sastra ?
3.        Tujuan
Untuk mengetahui konsep dan teori mengenai psikologi sastra.

B.       Teori
1.        Definisi Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan
kreativitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami
adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan
para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.[1]
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses
kreatif. Yang ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat
mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[2] 
Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis.
Secara definitif menurut Nyoman Kutha Ratna, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-
aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra.[3]
Langkah memahami psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman
teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan
terlebih dahulu menentrukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan
menentukan teori dan objek penelitian.[4]

2.        Landasan Pijak Psikologi Sastra


Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru
dituangkan ke dalam bentuk secara sadar. Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai dalam
proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu
mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu kedalam sebuah cipta rasa.
Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga
aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa
jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin
hidup.[5] Sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala
merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaahn melalui
pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif,
dapat menampilkan berbagai problem psikologis.[6]

3.      Hubungan Psikologis dengan Sastra


Psikonalia adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali
dimunculkan oleh Sigmund Freud, seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan
gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian
besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar.[7]
Psikologi dalam karya sastra mempunyai kaitan yang tercakup dalam dua aspek yaitu :
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.dalam aspek ekstrinsik berbicara tentang hal-hal yang
berkaitan dengan faktor-faktor kepengaranngan dan proses kreativitasnya. Sementara unsur
intrinsik membicarakan tentang unsur intrinsik yang terkandung dalam karya sastra seperti unsur
tema, perwatakan dan plot.
Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena, sama-sama untuk mempelajari
keadaan kejiwaan orang-orang, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam
sastra bersifat imajinatif. Dalam kaitannya dengan psikologi dalam karya sastra, Carl G. Jung
menandaskan bahwa karena psikologi mempelajari poses-proses kejiwaan manusia, maka
psikologi dapat diikutsertakan dalam studi sastra sebab jiwa manusia merupakan sumber dari
segala ilmu pengetahuan dan kesenian.[8]
Hubungan antara sastra dengan psikologi, menurut Milner ada dua hal, pertama ada
kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan
kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu
memberikan jalan keluar terrhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara
mimpi dan sastra, dalam hal ini menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi
mimpi, yang oleh Freud disebut “Pekerjaan Mimpi”. Keadaan orang yang bermimpi adalah
seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.[9]
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologis
dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, kedua
memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Dengan
penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat erat didalam menganalisis
karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan pada psikologi praktis.
Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah yang menetukan teori, bukan teori yang
menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra barulah
kemudian menentukan kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk menganalisis.[10]

4.        Gambaran Psikoanalisis Sigmund Freud


Psikoanalisis digagas oleh Sigmund Freud. Ia lahir di Moravia, 6 Mei 1856, dan wafat di
London, 23 September 1939. Sebelum membahas substansi teori Psikoanalisis, ada baiknya
dikemukakan asumsi-asumsi dasar Freud dalam memandang dan mempelajari manusia (hakikat
manusia), yang kelak menjadi unsur yang melandasi teori Psikoanalisisnya.
Dasar asumsi pertamanya adalah materialisme. Freud mengakui adanya suatu perbedaan
antara kondisi-kondisi kejiwaan dan kondisi-kondisi fisiologis, namun baginya hal itu hanyalah
perbedaan dalam bahasa saja,[11] bukannya dualisme dua substansi (jiwa dan tubuh). Dasar
asumsi kedua adalah sebuah penerapan determinisme (prinsip bahwa setiap kejadian memiliki
penyebab bagi realitas kejiwaan). Segala sesuatu pada prinsipnya dapat dijelaskan oleh sesuatu
yang ada dalam jiwa tersebut.
Dasar asumsi ketiga dan mungkin keistimewaan yang paling berbeda dari teori Freud
adalah kondisi kejiwaan bawah sadar yang muncul dari asumsi kedua. Istilah “bawah sadar”
dipakai untuk menunjukan keadaan yang tidak dapat menjadi sadar dalam keadaan normal. [12]
Alam bawah sadar dalam perspektif psikoanalisi Freud memberikan pengaruh besar bagi
pola perilaku manusia. Hal ini mengamini apa yang disampaikan oleh Freud sebagaimana
diungkapkan oleh Bertens bahwa “aspek tidak sadar menguasai sebagian besar ruang akal
pikiran manusia”. Oleh karena itu, unsur tidak sadar memainkan peranan paling besar untuk
menggambarkan tingkah laku manusia.
Sebagaimana penekanan bahwa alam bawah sadar memiliki peran yang sangat besar
terhadap kondisi psikologis dan perilaku manusia, kita bisa lihat bagaimana Freud
mengemukakan teori tentang mimpi.[13] Freud menjelaskan pengalamannya dia alam mimpi
sebagai sesuatu yang berbeda dasi aktivitas di alamsadar maupun pra sadar. Saat itu, kita
mempergunakan lapisan yang berasal dari wilayah lain dari pikiran kita, yang sangat dalam,
tersembunti, banyak dan sangat kuat. Inilah yang dikatakan alam bawah sadar.[14]
Disamping itu Freud juga mengungkapkan bahwa mimpi adalah sebentuk reaksi dari
pikiran untuk merangsang tindakan selama tidur. Freud menjelaskan proses-proses mental, atau
cara kerja mimpi, yang dengan cara tersebut mimpi diubah dan dibuat menjadi tidak
mengganggu. Proses-proses ini meliputi , Kondensi, Disaplacement, Representasi, dan
Simbolisasi.
a.         Struktur Kepribadian Manusia[15]
Model pemikiran Freud yang baru tentang jiwa yang merupakan akibat dari refleksi ini dan
refleksi lain yang seluruhnya terdiri atas tiga bagian, yaitu : ego, id, dan super ego.[16]
1)        Id (das Es)
Dalam inti kepribadian dan yang sungguh-sungguh tidak sadar adalah wilayah psikis yang
disebut id. Id merupakan sisi kepribadian kita yang gelap dan tidak dapat ditelusuri. Id berisi
energi yang diperolehnya dari naluri, tetapi tidak teratur dan tidak menghasilkan kemauan
kolektif, tetapi hanyalah untuk mencapai kepuasan atau kebutuhan naluriah yang menjadi pokok
perhatian dan prinsip pencarian kesenangan.[17]
Id mengandung segala sesuatu yang diwarisinya, yaitu yang sudah ada sejak lahir, dan
terbentuk menurut aturan tertentu, karena itu naluri, yang berasal dari susunan saraf somatis dan
yang pertama kali mendapatkan ekspresi kejiwaannya, mempunyai bentuk yang tidak kita
ketahui.[18] Dalam pandangan atmaja id  merupakan acuan penting untuk memahami mengapa
seniman/sastrawan mampu menciptakan  simbol-simbol tertentu dalam karyanya.[19]
2)        Ego (das ich)
Ego adalah satu-satunya wilayah jiwa yang berhubungan dengan realitas. Ego adalah
bagian pikiran yang mewakili alam bawah sadar. Ego bekerja menggunakan proses sekunder,
yaitu pertimbangan, akal sehat, dan kekuatan untuk menunda respons spontan atas rangsangan
luar atau terhadap desakan naluriah dari dalam.[20]
Ego bertugas menghasilkan perubahan yang cukup berguna didunia eksternal untuk
kepentingannya sendiri (melalui aktifitas). Dalam memandang aktifitas-aktifitas internal,
sehubungan dengan ide, ego melakukan tugasnya dengan melakukan kontrol atas tuntutan
naluriah, dengan memutuskan apakah tuntutan tersebut layak  memperoleh kepuasan, menunda
kepuasan tersebut sesuai dengan waktu dan situasi yang memungkinkan bagi dunia eksternal,
atau menindas ketegangan perasaaan tersebut secara tuntas.[21]
3)        Superego (das Ueber Ich)
Super ego (das ueber ich)  adalah sistem kepribadiaan yang berisi nilai-nilai atau aturan
yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).[22] Superego bagian dari jiwa manusia yang
dihasilkan dalam menanggapi pengaruh orang tua, guru, dan figur-figur otoritas lainnya pada
masa kanak-kanak.[23] Superego berbeda dengan ego dalam satu sisi yang penting. Dia tidak
memiliki kontak dengan dunia luar. Karena itu dia tidak realistik dalam tuntutan-tuntutannya
akan kesempurnaan. [24]
Suprego dalam konteks perilaku manusia menjadi sebuah sistem pembentuk nilai moral
dan etika yang digunakan untuk membentuk kepribadian manusia yang paripurna. Superego
cenderung untuk menentang baik id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya
sendiri. [25]
b.        Kecemasan : Perspektif Psikoanalisis Freud
Ego berperan penting dalam konteks timbulnya berbagai macam kecemasan yang melanda
manusia. Hanya ego yang dapat mendeteksi atau merasakan setiap jenis kecemasan, sedangkan
id, superego, dan dunia eksternal masing-masing terlibat hanya disalah satu dari tiga jenis
kecemasan. Ketergantungan ego kepada id menghasilkan kecemasan neurotik, ketergantungan
ego kepada superego menghasilkan kecemasan moralistik, dan ketergantungan ego kepada dunia
eksternal menghasilkan kecemasan realistik.
1)        Kecemasan Neurotik
Freud membagi kecemasan ini menjadi 3 bagian, yaitu : kecemasan yang didapat karena
adanya faktor dalam dan luar yang menakutkan, kecemasan yang berkaitan dengan objek tertentu
yang bermanifestasi seperti fobia, kecemasan neurotik yang tidak berhubungan dengan faktor-
faktor berbahaya dari dalam dan dari luar.[26]
2)        Kecemasan moralistik
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang yang superegonya
berkembang dengan baik cenderung merasa masalah jika mereka melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan norma moral dengan mana mereka dibesarkan.[27]
Secara umum, kecemasan moral memiliki fungsi preventif untuk mengingatkan manusia
agar tidak melakukan hal-hal yang destruktif, karena kecemasan moral erat kaitannya dengan
bangunan sikap dan perilaku individu dalam konteks sosial kemasyarakatan.[28]
3)        Kecemasan Realistik
kecemasan realistik merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan
terhadap bahaya yang mengancam dunia nyata. Menurut Freud, kecemasan realistik bagi
manusia terlihat suatu hal yang sangat rasional dan alami. Ketakutan riil terkait dengan refleks
gerakan, dan dianggap sebagai suatu wujud dari insting perlindungan diri.[29]
Freud menambahkan bahwa kecemasan realistik (kecemasan objektif) bersifat rasional dan
bermanfaat, bagaimanapun juga dalam pikiran yang lebih dalam akan diakui membutuhkan
revisi lebih jauh. Kecemasan realistik merupakan kecemasan yang timbul karena adanya bahaya
nyata yang ditangkap oleh panca indra dan mengancam jiwa seseorang.[30]

C.    Metode Dalam Penelitian Karya Sastra


Setiap metode memiliki kedudukan dan kualitas yang sama. Penggunaannya tergantung
dari tujuan yang akan dicapai. Yang berbeda adalah kualitas penelitian yang dihasilkan oleh
masing-masing peneliti.[31] Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang
perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya adalah :[32]
1.        Metode Intuitif
Metode inuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami
unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya,
yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat dan seterusnya.[33] Ciri-ciri khas
metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara individu dan alam semesta.
2.        Metode Hermeneutika
Hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya
sastra.[34] Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami
agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan
mempertimbangkan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan dengan agama adalah
karya sastra.[35] Metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang
paling optimal.
3.        Metode Kualitatif [36]
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya
dengan konteks kebendaannya. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif adalah :  (a) Memberikan
perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.
[37] (b) Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna
selalu berubah. (c) Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian. (d) Desain dan
kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. (e) Penelitian bersifat
alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.
4.        Metode Analisis Isi
Isi dalam metode analisis isi terdiri dalam 2 macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi
laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah
pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi.[38]
5.        Metode formal 
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-
aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah study ilmiah
mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang di anggap artistik.[39]
6.        Metode dialektika
Prinsip-prinsip dialetika hampir sama dengan hermeneutika, khususnya dalam gerak spiral
eksplorasi makna yaitu surat penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya.[40]
7.        Metode deskriptif analisis
Metode penelitian dapat juga di peroleh melalui gabungan 2 metode, dengan syarat kedua
metode tidak bertentangan. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis.[41]

D.    Kesimpulan
Dengan demikian dapat definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang
diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya
psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang
ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni
lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar).
Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih
banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan
sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan
superego.

DAFTAR PUSTAKA

Budiantoro, Wahyu dan wiwit Mardianto. 2016. Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Terhadap Puisi
dan Kehidupan Penyair Abdul Wachid B.S.,  Purwokerto : Kaldera.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra,  Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra : Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta : Pustaka Pelaja.

Storr, Anthony. 1991.  Freud : Peletak Dasar Psikoanalisis, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti

Anda mungkin juga menyukai