Anda di halaman 1dari 3

1.

BAHASA BAKU
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang mempunyai nilai
komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi
resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan, ejaan
baku, istilah/kosa kata baku tata bahasa baku, serta lafal baku. (Husain dan Aripin, 1996 :
62).
Bahasa baku itu adalah bentuk bahasa yang telah dikodifikasi atau ditetapkan,
diterima dan difungsikan sebagai model oleh masyarakat secara luas. Di dalam
pengertian bahasa baku itu terdapat 3 aspek yang saling menyatu, yaitu kodifikasi,
keberterimaan, difungsikan sebagai model.
Istilah kodifikasi adalah terjemahan dari bahasa Inggris. Kodifikasi diartikan
sebagai hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma di
dalam berbahasa (Alwasilah, 1985 : 121).
Masalah kodifikasi berkait dengan masalah ketentuan atau ketetapan norma
kebahasaan. Norma-norma kebahasaan itu berupa pedoman tata bahasa, ejaan, kamus,
lafal, dan istilah. Kode kebahasaan sebagai norma itu dikaitkan juga dengan praanggapan
bahwa bahasa baku itu berkeseragaman. Keseragaman kode kebahasaan diperlukan
bahasa baku agar efisien, karena kaidah atau norma jangan berubah setiap saat.
Kodifikasi yang demikian diistilahkan oleh Moeliono (1975: 2) adalah sebagai kodifikasi
bahasa menurut struktur bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi.
Kodifikasi kebahasaan juga dikaitkan dengan masalah bahasa menurut situasi
pemakai dan pemakaian bahasa. Kodifikasi ini akan menghasilkan ragam bahasa.
Perbedaan ragam bahasa itu akan tampak dalam pemakaian bahasa lisan dan tulis.
Dengan demikian kodifikasi kebahasaan bahasa baku akan tampak dalam pemakaian
bahasa baku.
Bahasa baku atau bahasa standar itu harus diterima atau berterima bagi
masyarakat bahasa. Penerimaan ini sebagai kelanjutan kodifikasi bahasa baku. Dengan
penerimaan ini bahasa baku mempunyai kekuatan untuk mempersatukan dan
menyimbolkan masyarakat bahasa baku.
Bahasa baku itu difungsikan atau dipakai sebagai model atau acuan oleh
masyarakat secara luas. Acuan itu dijadikan ukuran yang disepakati secara umum tentang
kode bahasa dan kode pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu atau pemakaian bahasa
tertentu.
Pembakuan bahasa Indonesia dimaksudkan untuk : (1) fungsi bahasa nasional,
bahasa Negara, dan bahasa resmi; (2) fungsi penanda kepribadian; (3) fungsi penambah
wibawa; dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan, Husain dan Aripin (1996 : 62).
Sedangkan menurut Hasan Alwi dkk 2003 : 14) bahasa baku mendukung empat fungsi,
tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat
objektif: (1) fungsi sebagai pemersatu; (2) fungsi sebagai pemberi kekhasan; (3) fungsi
sebagai pembawa kewibawaan; dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Ciri bahasa baku bahasa indonesia adalah bahasa yang dipakai oleh penutur baik
bahasa lisan maupun bahasa tulis harus sesuai dengan ejaan yang disempurnahkan atau
sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
2. RAGAM BAHASA
Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian.
a. Ragam Bahasa Berdasarkan Media atau Sarana
1) Ragam lisan merupakan bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa
dalam berkomunikasi. Seperti ragam lisan standar, contohnya orang
berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah.
Dan ragam lisan non-standard, misalnya dalam percakapan antar teman di
pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
2) Ragam bahasa tulis dimanfaatkan menggunakan huruf sebagai unsur
dasarnya. Hal ini berkaitan dengan tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa
dan kosa kata. Kelengkapan tata bahasa seperti bentuk kata ataupun
susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan
penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
b. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
1) Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Pemakaian bahasa menimbulkan perbedaan bahasa, terutama bahasa
Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di luar daerahnya. Hal
ini memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
2) Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur. Kelompok penutur yang
berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam
pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,
vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin
akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas.
c. Ragam Bahasa Berdasarkan Sikap Penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara
(jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara
lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap
penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
ragam bahasa baku yang digunakan, seperti:
 Pembicaraan di muka umum.
 Pembicaraan dengan orang yang dihormati.
 Komunikasi resmi.
 Wacana teknis.
Sedangkan ragam bahasa nonbaku dipakai dalam kegiatan tidak resmi
(informal), seperti percakapan sehari-hari. Sehingga pemakaian bahasa formal
(resmi) berfungsi sebagai alat komunikasi antarsahabat, antaranggota dan
kesemuanya digolongkan dalam ragam tak baku.
d. Ragam Bahasa Menurut Pokok Persoalan atau Bidang Pemakaian.
Pada kehidupan sehari-hari masayarakat menggunakan ragam bahasa yang
berbeda. Hal ini dilihat dari lingkungan, agama, serta profesi yang masing-masing
berbeda penuturnya. Perbedaan itu tampak jelas dalam pemilihan atau
penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam
bidang tertentu. Seperti istilah dalam bidang kedokteran, hanya dapat dimengerti
oleh kalangan tertentu. Maka dari itu, pemilihan kata disesuaikan dengan
kebutuhan sesuai bidang pemakaiannya.
3. DIGLOSIA
Situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa
atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat.
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat bahasa jika dua ragam
pokok bahasa – yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi – dipakai
secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-beda. Ragam pokok
yang satu, yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain, merupakan
sarana kepustakaan dan kesusastraan yang muncul pada suatu masyarakat bahasa seperti
halnya dengan bahasa Melayu untuk Indonesia dan Malaysia. Ragam pokok yang kedua
tumbuh dalam berbagai rupa dialek rakyat. Ragam pokok yang pertama dapat disebut
ragam tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah.
Ragam yang tinggi digunakan, misalnya, untuk pidato resmi, khotbah, kuliah,
atau ceramah; penyiaran lewat radio dan televisi; penulisan yang bersifat resmi; tajuk
rencana dan artikel surat kabar; dan susastra, khususnya puisi. Ragam yang rendah
biasanya dipakai, misalnya, di dalam percakapan yang akrab di lingkungan keluarga atau
dengan teman sebaya; di pasar dalam tawar-menawar; di dalam seni dan sastra rakyat
seperti lenong dan cerita Kabayan; di dalam penulisan yang tidak resmi seperti surat
pribadi kepada teman yang karib; atau di dalam pojok surat kabar atau kolom khusus
majalah yang secara khusus dimaksudkan untuk memperagakan ragam itu.
Oleh karena ragam tinggi disarankan untuk peranan kemasyarakatan yang dinilai
lebih tinggi atau lebih berharga, maka ragam itu pun memiliki gengsi yang lebih tinggi;
bahkan ragam itu dianggap lebih elok, lebih adab, dan lebih mampu mengungkapkan
pikiran yang berbobot dan majemuk. Di dalam proses pemerolehan bahasa, ragam yang
rendah dipelajari sebagai bahasa ibu atau lewat pergaulan dengan teman sebaya. Anak-
anak pada usia prasekolah mungkin berpeluang mendengar ragam yang tinggi, tetapi
mereka memperolehnya terutama lewat pendidikan formal. Tata bahasa ragam yang
rendah dihayati tanpa pembahasan kaidah-kaidahnya; sebaliknya, tata bahasa ragam yang
tinggi dipelajari lewat pemahiran norma dan kaidahnya.

4. KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA


Bahasa Indonesia mempuyai kedudukan sangat penting, seperti tercantum pada
ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.Ini berarti bahwa bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional; kedudukannya berada diatas bahasa-bahasa
daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus (Bab
XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa
negara ialah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan bahasa
Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai
dengan sumpah pemuda 1928; Kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa
negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa Indonesia, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
lambing kebanggaan nasional, (2) lambing identitas nasional, (3) alat penghubung
antarwarga,antar daerah dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan penyatuan
berbagaibagai suku bangsa dengan antar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing
kedalam kesatuan bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai