Anda di halaman 1dari 3

Sastra dan Pandemi: Sarana Edukasi

dalam Membangun Kreativitas dan Penguatan Karakter

Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Kota Malang yang


bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang telah sukses mempersembahkan
seminar daring yang bertajuk sastra dan pandemi. Kegiatan yang dilakukan Jumat, 17 Juli
2020 pada pukul 13.00-16.00 WIB telah menyita penggiat sastra Kota Malang dengan
berbagai segmentasi profesi, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen. Bahkan, juga
disaksikan oleh sastrawan kondang Budi Darma. Seminar ini dipranatacarai oleh ketua
progam BIPA Unisma Elva Riezky Maharany, S.Pd., M.Pd. dengan menggunakan aplikasi
zoom meeting. Tema sastra yang diangkat memang lebih pada penyikapan sastra di era
pandemi. Sastra yang menjadi warna dalam mengedukasi dan membangun kreativitas sebagai
penguatan karakter.

Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Ari Ambarawati, M.Pd. dengan 4 narasumber dan 1
pembicara utama Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M. A. dari Universitas Negeri
Surabaya. Keempat narasumber diambil dari perwakilan dosen penggiat sastra di 4
universitas, yaitu Yusri Fajar, M. A. (Universitas Brawijaya), Dr. Arief Budi Wurianto, M.
Si (Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Halimi Zuhdy, M. Pd., M. A. (Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang), dan Dr. Ahmad Tabrani, M. Pd. (Universitas
Islam Malang). Keseluruhan pemateri membawa subtopiknya masing-masing seputar sastra
di masa pandemi dengan kajian sastra tradisi lisan pada era normal baru sebagai menu utama
yang disampaikan oleh pembicara utama. Acara yang berlangsung empat jam dikemas
dengan 3 sesi dengan 2 sesi oleh keempat narasumber dan 1 sesi terakhir oleh pembicara
utama.

Yusri Fajar, M. A. merupakan dosen penggiat sastra dari Universitas Brawijaya. Ia


telah memukau audien dengan membawa topik kehidupan masa pandemi sebagai inspirasi
penciptaan karya sastra. Faktanya bisa ditemukan dalam rubrik sastra di media massa pada
masa pandemi ini, yakni sastrawan merespon dan terinspirasi situasi masa pandemi sebagai
bentuk umpan balik atas wabah yang juga mengancam dirinya. Oleh karena itu, rubrik sastra
yang hadir di masa pandemi banyak diisi karya sastra tentang pandemi. Fakta lainnya muncul
sastra koran yang dikatakan sebagai karya sastra menengah, dengan maksud sekumpulan
karya sastra dalam koran yang membuat penulis karya sastra pandemi mulai menggayungkan
idenya dengan segala keterbatasan pengetahuannya tentang pandemi, akhirnya muncul prosa,
puisi, naskah drama yang justru lebih mengarah pada pandangan sepihak penulis. Pandangan
tersebut mengarah pada surealis (imajinasi liar) atau realis (gambaran kehidupan) di masa
pandemi.

Pandangan berbeda oleh Dr. Arief Budi Wurianto, M. Si dari Universitas


Muhammadiyah Malang yang membawa topik sastra Indonesia dan holocaust. Sastra
dianggap mempunyai rasa tersendiri untuk ditanggapi sebagai kegiatan rekreatif dengan
banyak tragedi kemanusian yang diangkat ke dalam karya sastra. Tanggapan sastra dengan
tema kengerian, bencana, peperangan, pageblug, kelaparan, dll. merupakan salah satu wujud
sastra yang mempunyai nuansa tragedi tersendiri saat diselami. Keadaan holocaust memuat
pembaca sastra dibayang-bayangi ketakutan dalam masa pandemi. Mayarakat awam sastra
akan lebih kasihan lagi di situasi saat ini, karena mereka hanya akan menggunakan
pandangan visualnya tanpa mengawinkannya dengan hati. Artinya, rasa yang muncul dalam
bahasa karya sastra dengan banyak tema pandemi harus benar-benar disaring untuk
mensugestikan pikiran bahwa keadaan ini akan mempunyai metafor yang indah saat sastra
mulai dijamah dengan sudut pandang yang lain.

Hal menarik disampaikan oleh Dr. Halimi Zuhdy, M. Pd., M. A. dari Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang lewat topiknya tentang relegiuitas sastra dan
pandemi. Banyak yang tidak mengetahui bahwa sastra sangat erat dengan relegiuitas,
ditemukan ketenangan penikmat sastra dalam menanggapi masa pandemi saat relegiuitas
berpengaruh besar dalam pikiran. Saat sastra mulai berkelana dalam karya sastra akan
memunculkan efek moralitas, religius, estetis, rekreatif, dan didaktif yang mampu membius
penikmatnya dengan berbagai macam reaksi. Dr. Ahmad Tabrani, M. Pd. selaku penggiat
sastra dari Universitas Islam Malang telah menyatakan lewat topiknya sastra era pandemi
bahwa segala bentuk reaksi yang mengatakan sastra kurang beruntung hanya karena sastra
sebagai media ekspresi kegelisahan di masa pandemi adalah salah, justru sebaliknya sastra
sebagai media untuk melukiskan pandemi yang indah.

Kegelisahan yang muncul atas dasar sastra dalam pandemi juga tidak luput dari tradisi
lisan yang diungkapkan oleh pembicara utama Prof. Setya Yuwana Sudikan, M. A.. Penggiat
sastra dari kampus Universitas Negeri Surabaya menyatakan bahwa pergesaran tradisi lisan
pada tradisi pandang juga menjadi perhatian saat ini. Namun, tidak dipungkiri bahwa tradisi
lisan telah bangun dari tidurnya. Budaya bercerita yang selama ini tertidur, telah bangun
lewat kegiatan merdeka belajar, dimana yang belajar tidak hanya anak tetapi orang tua juga
ikut berkontribusi. Kegiatan berdiskusi dan bercerita sebelum tidur telah banyak dilakukan.
Walaupun tidak bisa dipungkiri, hal itu tetap melalui proses dimana ketakukan bahwa peran
orang tua dan guru digantikan oleh segenggam gawai. Sastra yang bertugas memilah hati dan
rasa memang harus kembali pada kodratnya bahwa sastra sesungguhnya akan
mengembalikan peran orang tua untuk mendidik anak.

Helmi Wicaksono
Technical Editor Open Journal System FKIP
Dosen Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia - Unisma

Anda mungkin juga menyukai