Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Ari Ambarawati, M.Pd. dengan 4 narasumber dan 1
pembicara utama Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M. A. dari Universitas Negeri
Surabaya. Keempat narasumber diambil dari perwakilan dosen penggiat sastra di 4
universitas, yaitu Yusri Fajar, M. A. (Universitas Brawijaya), Dr. Arief Budi Wurianto, M.
Si (Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Halimi Zuhdy, M. Pd., M. A. (Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang), dan Dr. Ahmad Tabrani, M. Pd. (Universitas
Islam Malang). Keseluruhan pemateri membawa subtopiknya masing-masing seputar sastra
di masa pandemi dengan kajian sastra tradisi lisan pada era normal baru sebagai menu utama
yang disampaikan oleh pembicara utama. Acara yang berlangsung empat jam dikemas
dengan 3 sesi dengan 2 sesi oleh keempat narasumber dan 1 sesi terakhir oleh pembicara
utama.
Hal menarik disampaikan oleh Dr. Halimi Zuhdy, M. Pd., M. A. dari Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang lewat topiknya tentang relegiuitas sastra dan
pandemi. Banyak yang tidak mengetahui bahwa sastra sangat erat dengan relegiuitas,
ditemukan ketenangan penikmat sastra dalam menanggapi masa pandemi saat relegiuitas
berpengaruh besar dalam pikiran. Saat sastra mulai berkelana dalam karya sastra akan
memunculkan efek moralitas, religius, estetis, rekreatif, dan didaktif yang mampu membius
penikmatnya dengan berbagai macam reaksi. Dr. Ahmad Tabrani, M. Pd. selaku penggiat
sastra dari Universitas Islam Malang telah menyatakan lewat topiknya sastra era pandemi
bahwa segala bentuk reaksi yang mengatakan sastra kurang beruntung hanya karena sastra
sebagai media ekspresi kegelisahan di masa pandemi adalah salah, justru sebaliknya sastra
sebagai media untuk melukiskan pandemi yang indah.
Kegelisahan yang muncul atas dasar sastra dalam pandemi juga tidak luput dari tradisi
lisan yang diungkapkan oleh pembicara utama Prof. Setya Yuwana Sudikan, M. A.. Penggiat
sastra dari kampus Universitas Negeri Surabaya menyatakan bahwa pergesaran tradisi lisan
pada tradisi pandang juga menjadi perhatian saat ini. Namun, tidak dipungkiri bahwa tradisi
lisan telah bangun dari tidurnya. Budaya bercerita yang selama ini tertidur, telah bangun
lewat kegiatan merdeka belajar, dimana yang belajar tidak hanya anak tetapi orang tua juga
ikut berkontribusi. Kegiatan berdiskusi dan bercerita sebelum tidur telah banyak dilakukan.
Walaupun tidak bisa dipungkiri, hal itu tetap melalui proses dimana ketakukan bahwa peran
orang tua dan guru digantikan oleh segenggam gawai. Sastra yang bertugas memilah hati dan
rasa memang harus kembali pada kodratnya bahwa sastra sesungguhnya akan
mengembalikan peran orang tua untuk mendidik anak.
Helmi Wicaksono
Technical Editor Open Journal System FKIP
Dosen Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia - Unisma