Oleh
PROGRAM MAGISTER
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
1
REPRESENTASI MULTIKULTURALISME DALAM
TRILOGI NOVEL “SEMBALUN RINJANI”
KARYA DJELANTIK SANTHA
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
(KONSENTRASI WACANA SASTRA)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
2
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu
Puji Syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atasa Asung Wara
Nugraha-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan, dorongan, serta masukan dalam proses pembuatan tesis ini, di antarana kepada:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P. D. (K), beserta seluruh
staf , atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.
S. (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa
3. Ketua Jurusan Konsentrasi Wacana Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M. S., atas segala bantuan saran dan masukan selama
4. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., sebagai pembimbing I yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan, saran, serta masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis
ini;
5. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum., sebagai pembimbing II yang juga dengan penuh
3
6. Seluruh staf pegawai akademik Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas
Udayana yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pembelajaran hingga
penulisan tesis;
7. I Gusti Gede Djelantik Santha yang meski dalam keadaan sakit telah memberikan
sambutan hangat, semangat, serta dorongan kepada penulis selama proses penulisan tesis;
8. Orang tua, Komang Budaarsa dan Ni Wayan Supartini (alm) yang telah mencurahkan
segalanya kepada penulis. Adik terbaik, Kadek Yogi yang tiada henti memberi motivasi.
9. Dewa Ayu Carma Citrawati atas cinta, doa, dan penuh kesabaran mendampingi penulis
selama ini;
10. Rekan-rekan di Program Wacana Sastra sebagai teman diskusi paling baik, tempat
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan kebahagiaan dan kedamaian bagi
semua pihak yang telah membantu penulis selama proses pembelajaran hingga penulisan tesis
ini. Akhir kata, penulis menyadari dalam penelitian ini banyak kekurangan, sehingga besar
harapan penulis mendapatkansaran serta kritikan yang berguna untuk menyempurnakan tulisan
ini nantinya.
4
ABSTRAK
Penelitian terhadap novel Sembalun Rinjani, Gitaning Nusa Alit dan Suryak Suung
Mangmung bertujuan untuk mengungkapkan sejauh mana trilogi novel tersebut
merepresentasikan multikulturalisme. Jangkauan penelitian terhadap trilogi novel ini meliputi
analisis unsur-unsur multikulturalisme yang terepresentasi dalam trilogi novel ini. Selanjutnya
adalah menganalisis reaksi tiap-tiap tokoh terhadap multikulturalisme itu sendiri. Analisis
terhadap reaksi tiap-tiap tokoh meliputi analisis terhadap tokoh utama yang protagonis dan
analisis terhadap tokoh sekunder baik protagonis maupun antagonis. Pandangan dunia pengarang
menjadi bagian analisis terakhir yang meliputi dunia mistis dalam masyarakat multikultur dan
kedudukan perempuan dalam masyarakat mltikultur. Kesemua proses analisis tersebut
menggunakan teori Sosiologi Sastra sebagai pijakan, dibantu dengan teori konflik dan integrasi.
Pandangan dunia pengarang yang dapat dilihat dari trilogi novel Sembalun Rinjani di
antaranya adalah keberadaan dunia mistik dalam masyarakat multikultur dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat multikultur. Dunia mistik memang cenderung identik dengan
tradisionalisme, bahkan identik dengan ketidaklogisan. Kedudukan perempuan dalam
masyarakat multikultur digambarkan dengan tokoh perempuan yang bersikap tegas menolak
diskriminasi dan tokoh perempuan yang tetap menerima pengkultusan dirinya sebagai mahluk
inferior. Tokoh perempuan yang berani hadir sebagai tokoh-tokoh yang telah berhasil berperan
tidak hanya di sektor domestik tapi juga disektor publik. Sementara itu, hadir pula tokoh
perempuan yang tetap bertahan dalam dominasi kaum laki-laki, dominasi patriarki, yang
sejatinya telah merampas sebagian kebebasannya sebagai individu.
Kata kunci: representasi, multikulturalisme, trilogi novel Sembalun Rinjani, dan pandangan
dunia
5
ABSTRACT
REPRESENTATION OF MULTICULTURALISM IN
DJELANTIK SANTHA’S TRILOGY NOVEL
“SEMBALUN RINJANI”
The study in the novels Sembaun Rinjani, Gitaning Nusa Alit, and Suryak
Suung Mangmung aims at revealing to what extant the trilogy novel represents
multiculturalism. The scope of the study includes the analysis of multicultural
elements represented in the trilogy novel. It also aims at analyzing the reactions
shown by the characters, toward multiculturalism. The insight provided by the
writer, which include the mysticalworld ia a multicultural society and woman’s
position in a multicultural society, ia the last part of analysis. All the processes of
analysis were doe using the theory of sociology of literature, as the main theory,
supported by the theory of conflicts and integration.
The multicultural elements represented in the trilogy novel Sembalun
Rinjani include the language elements, the elements of custom and tradition, and
the religious elements. Each character in the trilogy novel Sembalun Rinjani
reacted differently toward multiculturalism. The main character totally supported
multiculturalism as a life ideology, whereas the antagonist secondary characters,
who opposed the protagonist character, firmly disagreed with multiculturalism.
The insight into the mystical world in a multicultural society and women’s
position ia a multicultural society provide by writer, as far as the trilogy novel
Sembalun Rinjani is concerned, was that the mystical world tended to be identical
with traditionalism and even illogic. The women’s position in the multicultural
society was represented by a fimale character who firmly disagreed with
discrimination and another female one who accepted that she was an inferior
human being. The successful female characters did not only bravely appear in the
domestic sector but also in the public sector. However, there were also several
female characters who were still dominated by the males. Such a patriarchal
domination eliminated individual freedom.
6
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM..................................................................................................... i
PRASYARAT GELAR.............................................................................................. ii
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................................... v
ABSTRACT................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….. 10
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………… 10
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………………………… 10
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………………………… 11
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………. 11
1.4.1 Manfaat Teoretis……………………………………………………………….. 11
1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………………… 12
7
3.2 Jenis dan Sumber Data………………………………………………………… 41
3.3 Instrumen Penelitian…………………………………………………………… 41
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….. 42
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……………………………………………... 42
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……………………………. 43
DAFTAR PUSTAKA
8
BAB I
PENDAHULUAN
Karya sastra sebagai sebuah kreativitas, baik estetis maupun respons kehidupan sosial,
yang dilukiskan merupakan dimensi kehidupan dari sebuah struktur sosial. Dimensi dari struktur
sosial yang dimaksud tentu saja struktur sosial masyarakat di mana pengarang memperoleh
inspirasinya. Semi (1988: 8) mengungkapkan bahwa karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya yang menggunakan
bahasa sebagai perantaranya. Karya sastra sebagai struktur bermakna yang mewakili pandangan
dunia penulis, bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya.
Penulis memiliki peran yang sangat penting dalam mengangkat realita-realita sosial yang luput
dari pengamatan orang kebanyakan. Karya sastra dapat menjadi sebuah ensiklopedi sosial mini
yang memberikan banyak informasi bagi pembaca tentang sebuah struktur dan kehidupan sosial
masyarakat tertentu.
Karya-karya fiksi yang merupakan sebuah hasil imajinasi sastrawan tentang komunitas
sosial tentu saja bukan semata-mata hasil dari dunia penciptaan yang bersifat khayalan semata,
melainkan sebuah karya fiksi lebih dari itu. Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang
terjadi di masyarakat merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas
sosial dalam hal ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa dengan
kombinasi imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi sebuah karya. Karya yang
9
dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi sekaligus juga mendidik. Ratna (2007:389)
mengungkapkan bahwa sastra warna lokal memerlukan data khusus dalam bentuk fakta-fakta
sosial sesuai dengan semesta yang diacu. Ini menunjukkan bahwa seorang pengarang
membutuhkan data yang akurat mengenai fakta-fakta sosial yang diangkat dalam karyanya.
Untuk itu, pengarang memerlukan penelitian atau paling tidak observasi, baik langsung di
lapangan maupun melalui penelitian pustaka. Hasil dari proses tersebut merupakan sebuah
produk yang tidak hanya sebagai sebuah karya sastra, tetapi juga representasi fakta-fakta sosial.
Ini berarti bahwa ketika seseorang menikmati karya sastra maka secara tidak langsung mereka
Rekonstruksi terhadap realitas sosial masyarakat Bali menjadi perhatian bagi banyak
sastrawan, baik dari Bali sendiri maupun di luar Bali. Hal itu terjadi karena banyak hal yang bisa
dibicarakan dari Bali, mulai dari tradisi dan adat, masyarakat Bali yang dekat dengan nuansa
mistis sekaligus religious, serta masyarakat Bali yang mulai tergerus arus modernitas. Anwar
(2007) dalam artikelnya menyatakan “sebagai kultur, Bali memang khas dan kompleks
dibandingkan dengan kultur (etnik) lain di negeri ini. Itulah yang menyebabkan karya-karya
Dinamika kultural Bali dan masyarakatnya terekam dalam karya-karya sastra Bali
sendiri, tentunya di samping juga terekam dalam karya sastra nasional, bahkan internasional.1
Sastra Bali sendiri terdiri atas sastra Bali klasik dan sastra Bali modern. Bentuk-bentuk yang
hadir dalam sastra Bali modern berupa puisi, cerpen, dan novel. Awal kemunculannya, sastra
Bali modern adalah bagian dari implementasi politik etis kolonial Belanda di bidang pendidikan.
1
Novel internasional yang belakangan terkenal adalah Eat, Pray, Love merupakan salah satu novel terbaru yang ikut
mengangkat eksotika Pulau Bali. Novel karya penulis Elisabeth Gilbert kemudian difilmkan dengan Julia Robert
sebagai pemeran utama. Film ini kemudian semakin mengangkat citra pariwisata Ubud sebagai destinasi pariwisata
budaya (culture tourism) ,bahkan kini mulai berkembang citra Bali sebagai pulau cinta (The Island of Love).
10
Tahun 1910-an dan 1920-an merupakan tonggak awal munculnya sastra Bali modern, ditandai
dengan munculnya cerpen berbahasa Bali yang dimuat dalam buku pelajaran untuk sekolah-
sekolah yang didirikan Belanda di Bali (Putra, 2010:16). Cerpen merupakan bentuk awal yang
Beberapa hal menarik dapat dilihat dari kemunculan sastra Bali modern. Bentuk awal
kemunculannya berupa cerpen yang dimuat dalam buku pelajaran terbitan pemerintah kolonial
dan menjadi bacaan untuk sekolah-sekolah formal masyarakat pribumi. Selain itu, pengarang
yang muncul pada awal tonggak sastra Bali modern tidak hanya orang Bali yang kala itu diwakili
Guru Made Pasek, tetapi juga orang non-Bali, yaitu Mas Niti Sastro seorang guru yang mengajar
di Singaraja. Made Sanggra (dalam Edy, 1991: 26 ) sempat mengungkapkan bahwa sastra Bali
perwujudan sastra Indonesia modern, sedangkan idenya khas Bali. Akan tetapi, pendapat yang
diungkapkan Sanggra tidak sepenuhnya tepat karena pada saat itu (1910 - 1920) sastra Barat juga
menjadi bacaan bagi peminat sastra (khususnya kaum terpelajar seperti guru). Jadi, bisa saja
tubuh (struktur) sastra Bali modern merujuk pada sastra-sastra Barat yang dibawa oleh
pemerintah kolonial (atau pedagang asing) ke Indonesia, mengingat saat itu sastra Indonesia juga
tengah dalam proses pertumbuhan. Namun, untuk masalah ide dan tema cerita memang benar
bahwa sastra Bali modern pada awal kemunculannya menggambarkan sosiokultur masyarakat
Novel merupakan salah satu genre yang hadir dalam khazanah sastra Bali modern selain
cerpen, hanya jumlah novel yang hadir dalam sastra Bali modern tidak sebanyak cerpen. Novel
(roman) pertama yang hadir dalam sastra Bali modern adalah Nemoe Karma pada tahun 1931
oleh Wayan Gobiah. Setelah kehadiran Nemoe Karma, karya sastra Bali modern tak muncul lagi
11
sampai akhirnya terbit novel Mlantjaran ka Sasak tahun 1939 karya Gde Srawana. Tahun 1980
hadir novel Sunari karya I Ketut Rida sebagai pemenang I lomba menulis novel berbahasa Bali.
Jika dilihat kurun waktu kehadiran novel karya I Ketut Rida ini, ada jarak 41 tahun dari novel
Mlantjaran ka Sasak.
Tahun 1981 hadir novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha.
Novel ini awalnya terbit bersambung di harian Bali Post.2 Sekitar delapan belas tahun kemudian
terbit novel Sayong pada tahun 1999 karya I Nyoman Manda dengan. Rentang waktu yang
terpaut jauh antara novel satu dengan lainnya menunjukkan bahwa tingkat kreativitas dan
produktivitas sastrawan Bali modern dalam menciptakan novel cukup rendah. Namun, memasuki
abab ke-21 produktivitas sastrawan Bali modern dalam menciptakan novel mulai
menggembirakan karena hampir setiap tahun ada novel yang diterbitkan. Djelantik Santha
mengawali dengan novel Sembalun Rinjani (2000) sebagai bagian awal sebuah novel trilogi, lalu
disusul Nyoman Manda dengan novel Bunga Gadung Ulung Abancang (2001) yang juga bagian
awal sebuah trilogi. Pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2010, Nyoman Manda dan
Djelantik Santha yang paling produktif dalam menciptakan novel berbahasa Bali. Nyoman
Manda sejak tahun 2000 - 2010 telah menciptakan sebelas buah novel, dan Djelantik Santha tiga
buah novel.
Djelantik Santha merupakan salah satu sastrawan Bali yang tertarik berkarya dalam
bidang sastra Bali modern. Ia adalah salah satu dari beberapa sastrawan senior sastra Bali
modern dan berhasil lolos dari seleksi alam yang ketat. Djelantik Santha tidak hanya menulis
dengan bahasa Bali, tetapi ada beberapa karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya-karya
2
Setelah dimuat bersambung oleh Bali Post novel ini dicetak dalam bentuk buku. Sayang dalam buku tidak
tercantum nama penerbit. Menurut Djelantik Santha karyanya telah dibajak, karena buku tersebut terbit tanpa
persetujuannya. Novel ini akan diterbitkan secara resmi oleh Pustaka Ekspresi Tabanan akhir 2012. Komunikasi
terakhir dengan pengarang 5 Januari 2012.
12
beliau telah banyak dipublikasikan di harian Bali Post, majalah Buratwangi, majalah Canang
Konsistensi Djelantik Santha bergelut dalam bidang sastra Bali modern memang patut
dibanggakan meski dengan kondisi fisiknya yang terbatas (lumpuh dan sakit-sakitan). Bahkan, ia
menjadi salah satu sastrawan terkemuka sastra Bali modern. Setiap karyanya selalu menjadi
bagian penting sejarah perkembangan sastra Bali modern. Meski bukan yang pertama menulis
karya sastra Bali modern, produktivitas dan kreativitasnya dalam berkarya telah banyak
mendapat pengakuan publik. Pada tahun 1979 salah satu karyanya yang berjudul Gamia Gamana
mendapat juara II mengarang cerpen dalam pesta kesenian Bali. Lalu pada tahun 2001 beliau
mendapat penghargaan cakepan dari majalah Sarad atas dedikasinya pada sastra Bali modern.
Tahun 2002 novel ciptaannya yang berjudul Sembalun Rinjani (2000) mendapatkan penghargaan
Sastra Rancage. Terakhir pada tahun 2003 novel beliau yang berjudul Di Bawah Letusan
Gunung Agung (berbahasa Indonesia) menjadi pemenang harapan II dalam lomba penulisan
novel yang diselenggarakan oleh Bali Post. Novel Sembalun Rinjani merupakan bagian pertama
dari rangkaian trilogi novel karya beliau. Trilogi novel tersebut terdiri atas novel Sembalun
Rijani (2000), novel Gita Ning Nusa Alit (2002), dan novel Suryak Suwung Mangmung (2005).
Kelahiran tiga novel yang alur ceritanya berangkai ini memang memerlukan waktu yang
cukup panjang. Jarak novel pertama dengan kedua adalah dua tahun, sedangkan novel ketiga
berjarak tiga tahun dari novel kedua. Multikultur hadir sebagai isu yang mendasar dalam trilogi
novel karya Djelantik Santha. Ini bukan pertama kalinya Djelantik Santha memasukkan unsur
multikultur dalam karya novelnya karena dalam novel pertamanya, yaitu Tresnane Labur Ajur
Satonden Kembang (1981) juga terdapat unsur multikultur. Akan tetapi intensitasnya tidak
13
sebanyak trilogi novel ini. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang juga menghadirkan
Usaha Djelantik Santha menghadirkan unsur multikultur dalam trilogi novel ini
ditunjukkan melalui tokoh serta latar dalam novel. Tokoh serta seting hadir dengan nuansa yang
penuh dengan keberagaman. Tokoh tak hanya hadir dari etnik Bali, tetapi juga dari etnik Sasak,
Dayak, Tionghoa dan Timor. Tokoh utama berasal dari etnik Bali yaitu Gusti Ngurah Darsana
beberapa tokoh dalam sebuah ikatan perkawinan. Perkawinan endogami menjadi salah satu
pilihan menyatukan perbedaan dalam sebuah keharmonisan. Berawal dari hubungan pertemanan,
persahabatan, lalu mengarah pada hubungan asmara dan berlanjut dengan perkawinan. Etnik Bali
dengan Lombok yang diwakili oleh tokoh utama Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah, etnik
Bali dengan Dayak yang diwakili oleh Gusti Ngurah Anantha Bhuwana dengan Diah Rengsi
Pitaloka, Bali dengan Timor yang diwakili oleh Dokter Agung Krishna dan Meina Victoria.
Perkawinan endogami menjadi salah satu jalan untuk semakin mengukuhkan dimensi multikultur
meskipun awalnya muncul konflik dalam proses perkawinan antaretnik tersebut akibat
berbenturan dengan tradisi serta kepercayaan. Walaupun demikian, semua terselesaikan dengan
baik. Perbedaan tradisi dan kepercayaan tak lagi menjadi penghalang. Integrasi menjadi akhir
Selain munculnya tokoh dengan latar belakang etnik yang berbeda seperti etnik Bali,
Sasak, Timor, Dayak dan Tionghoa, terlihat juga tradisi-tradisi beberapa etnik tersebut. Tokoh
dan tradisi yang beragam berbaur dalam keselarasan pada sebuah komunitas sosial. Di antara
tokoh tidak ada kecanggungan untuk mencoba atau masuk ke tradisi dari tokoh dengan etnik
14
yang berbeda. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa persinggungan antaretnik kadang kala
memunculkan konflik. Konflik sosial dalam novel tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi
juga terjadi dalam tataran masyarakat tradisi. Konflik dalam tataran individu, baik fisiologi
maupun psikologi, membawa dampak positif serta negatif bagi tokoh itu sendiri dan masyarakat
tradisi tempat tokoh itu berada. Namun, konflik-konflik ini kemudian menjadi benih persatuan
dan kebersamaan yang lebih baik antaretnik melalui proses integrasi sosial.
Sebagai bagian dari multikultur, hadirnya etnik-etnik yang berbeda dan terintegrasi dalam
satu setting yang sama merupakan sebuah usaha yang sangat baik dari pengarang. Djelantik
Santha mencoba untuk menunjukkan pada pembaca betapa kita harus menyikapi dengan arif
multikultur yang dianugerahkan Tuhan pada Indonesia di tengah merosotnya rasa persatuan
bangsa ini. Meskipun muncul konflik dalam persinggungan antaretnik, sikap saling menghargai
Munculnya beragam etnik dalam trilogi novel karya Djelantik Santha ini secara langsung
akan membawa tradisi, religi, serta bahasa masing-masing. Tradisi yang dibawa oleh setiap etnik
menunjukkan kekhasan mereka masing-masing. Sering kali tradisi dari tiap etnik terintegrasi
dalam satu setting yang sama. Tradisi di sini di antaranya kuliner dan kebiasaan sehari-hari.
Masakan khas, baik dari Bali, Lombok, maupun Timor sering kali muncul dalam satu momen
secara bersama-sama sehingga tiap tokoh dari etnik yang berbeda memiliki kesempatan
mencicipi masakan dari etnik lainnya. Begitu pula dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu,
misalnya magibung. Magibung merupakan salah satu tradisi masyarakat Bali, yaitu makan
bersama-sama dalam satu sela (kelompok). Meski bukan tradisinya, tokoh dari luar etnik Bali tak
canggung-canggung ikut mencoba magibung. Inilah awal sebuah toleransi yang positif antar-
etnik yang dicoba ditunjukkan oleh pengarang kepada pembaca. Pemahaman lintas budaya,
15
sebuah cross cultural understanding sangat diperlukan dalam sebuah masyarakat besar yang
Bahasa adalah hal lain yang menarik dari unsur multikultur trilogi novel ini. Sebagai
novel sastra Bali modern tentunya pengarang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa utama.
Namun, di antara bahasa Bali yang digunakan terselip juga bahasa Sasak dan Timor. Bahasa
sebagai bagian dari sebuah kebudayaan membawa identitas etnis pemakainya. Dalam novel ini
pengarang menciptakan sebuah novel sastra Bali, tetapi dengan tidak menghilangkan etnisitas
yang dimiliki oleh tiap-tiap tokoh melalui bahasanya. Dengan demikian, konsep multikultur yang
menyiratkan bahwa setiap tokoh yang menerima stimulus akan melakukan respons, baik secara
individu maupun organisasi sosial. Respons terhadap stimulus tersebut menunjukkan bagaimana
manusia seharusnya tidak pasif terhadap perubahan, tetapi berusaha berinteraksi dengan semua
masalah yang dihadapi. Stimulus yang dihadirkan pengarang tidak hanya dari satu setting yang
sama. Hadirnya setting yang berbeda, baik dari waktu, tempat, situasi, maupun budaya
memungkinkan hadirnya stimulus yang beragam pula. Inilah implikasi dari multikuturalisme
yang dihadirkan pengarang dalam karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa sastrawan menyajikan
sebuah peristiwa sebagai bahan perenungan dan sebagai bahan pembelajaran. Jadi, pesan yang
novel karya Djelantik Santha. Multikulturalisme sempat mengalami penolakan sehingga memicu
konflik serta multikultural sebagai sebuah paham yang berhasil menyatukan perbedaan.
O‟Sullivan menyebutkan bahwa multikultur lebih menekankan pada aspek kualitatif hubungan
16
antaretnik dan budaya (Putra, 2008: 121). Studi terhadap multikultur tidak menekankan bahwa
satu kelompok berbeda dengan kelompok lainnya, tidak juga menekankan pada eksotika atau
keunikan tradisi tiap-tiap kelompok, tetapi lebih mengarah pada interaksi antarkelompok yang
menjadi prioritas dalam studi multikultur. Oleh karena itu, yang menjadi fokus dalam penelitian
adalah kualitas dari multikulturalisme itu sendiri, sejauh mana multikulturalisme mempengaruhi
konflik. Namun, trilogi novel ini tidak memperlihatkan konflik yang kuat sebagai dampak dari
multikulturalisme. Berbeda dengan novel Tresnané Lebur Ajur Satonden Kembang yang
mengandung konflik yang kuat, trilogi novel ini justru memperlihatkan konflik yang datar,
kurang tajam, sehingga muncul kesan yang biasa saja dari sisi konflik. Meski demikian, konflik
dalam trilogi novel ini tetap mempengaruhi posisi multikulturalisme sebagai isu mendasar yang
novel ini juga menjadi bagian yang diungkapkan dalam penelitian ini. Pandangan dunia sebagai
yang berhasil ditangkap oleh pengarang, kemudian dituangkan dalam karyanya. Melalui
pandangan dunia pengarang akan terungkap ideologi yang melatarbelakangi pengarang dalam
Totalitas berkarya yang dilakoni pengarang juga menjadi bagian yang menarik untuk
diungkapkan. Djelantik Santha sebagai orang Bali yang bergelut dalam bidang sastra betul-betul
bekerja secara serius untuk menggali potensi kearifan lokal tanah kelahirannya. Bali sebagai
17
kampungnya dunia menjadi bahan inspirasi yang tak kunjung kering ketika diekspresikan dalam
karya sastra. Pengalaman Djelantik Santha mengelilingi Nusantara dan bertemu berbagai etnik
saat aktif bertugas sebagai pegawai bank menjadikannya sosok yang plural, arif menyikapi
perbedaan meskipun terkadang muncul kecanggungan dalam melakukan perubahan dan bersifat
ambivalen dalam menyampaikan pesan pada karyanya. Kiprahnya dalam berkarya di bidang
sastra Bali khususnya sastra Bali modern merupakan sesuatu yang patut mendapat perhatian, di
Pada penelitian kali ini terdapat dua buah masalah yang dirumuskan sebagai berikut.
multikulturalisme?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa karya-karya
sastra dengan muatan lokalitas mampu menyuguhkan kehidupan masyarakat yang hidup dalam
18
lingkungan heterogen dalam menghadapi perkembangan zaman. Memahami karya sastra dengan
nuansa sosial yang heterogen memberikan kenikmatan tersendiri serta memberikan pengetahuan
secara umum tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat tertentu. Lebih-lebih karya
tersebut dapat memberikan sumbangan positif bagi peningkatan kepekaan pembaca terhadap
nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap khazanah penelitian sastra dan penelitian sosial budaya pada
umumnya.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis dari segi
sosiologi sastra trilogi novel Sembalun Rinjani karya Djelantik Santha. Sosiologi sastra akan
mengungkap representasi multikultur, respons tokoh serta pandangan dunia pengarang yang
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberi sumbangan keilmuan dan praktis.
Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan manfaat kedua bersifat praktis yang
Penelitian ini nantinya diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi penelitian sejenis
pada masa mendatang. Artinya, penelitian ini bisa memberikan gambaran tentang masyarakat
multikultur. Peristiwa persinggungan antaretnik yang menghiasi novel ini menunjukkan betapa
19
perkembangan zaman menjadikan masyarakat semakin heterogen dengan kulturnya masing-
masing. Interaksi sosial masyarakat yang heterogen itu terepresentasikan dengan baik dalam
dunia fiksi naratif. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan pemahaman terhadap
Secara praktis penelitian ini diharapkan agar bermanfaat bagi masyarakat dalam
memahami serta menyikapi betul makna sebuah multikultur. Nantinya diharapkan masyarakat
mampu menghubungkan kenyataan dalam dunia fiksi dengan realitas yang ada dalam lingkungan
sosialnya. Pemahaman serta penyikapan yang baik terhadap multikultural akan menjadi
semacam cermin bagi masyarakat agar ketika menghadapi konflik dapat bersikap arif dan
bijaksana sehingga tercipta integrasi sosial. Terciptanya integrasi sosial yang harmonis pada
masyarakat multikultur akan berujung pada sebuah kesatuan, solidaritas, serta kebersamaan
dalam keberagaman.
Konstelasi dan sikap-sikap tokoh ketika menghadapi konflik dalam trilogi novel
Sembalun Rinjani karya Djelantik Santha dapat menjadi referensi sebagai bahan renungan ketika
menghadapi konflik terutama yang bersinggungan dengan masalah SARA. Sumbangan untuk
dunia pendidikan formal penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai media belajar bagi para
pelajar untuk mengembangkan, memahami karya sastra tidak hanya sekadar untuk menghibur,
20
BAB II
Kajian terhadap karya-karya Djelantik Santha telah banyak dilakukan oleh peneliti sastra.
Apresiasi terhadap karya-karya Djelantik Santha lebih banyak ditemukan dalam bentuk
penelitian sastra. Karya-karya Djelantik Santha yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
moralitas menjadikannya sebagai karya sastra yang menarik untuk dijadikan objek penelitian.
Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi bahan dasar
penciptaan sebagian besar karya-karya Djelantik Santha. Sehubungan dengan itu, penelitian yang
paling tepat dilakukan terhadap karya-karyanya adalah penelitian sosiologi sastra. Hal itu
dikatakan tepat karena dengan sosiologi sastra semua aspek sosial yang terkandung dalam setiap
Novel karya Djelantik Santha, Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak
Suwung Mangmung, sebelumnya tidak pernah diteliti secara bersamaan sebagai sebuah kesatuan
novel trilogi. Hanya sebelumnya tiap-tiap bagian novel trilogi secara terpisah telah diteliti
dengan kajian sosiologi sastra. Made Dwi Budajayanti menggunakan karya Djelantik Santha,
yaitu novel Sembalun Rinjani (2007) sebagai objek penelitiannya. Penelitian Budajayanti
mengungkapkan aspek sosial yang terkandung dalam novel Sembalun Rinjani, di antaranya
21
Kadek Apriliana Mandasari dalam kajian sosiologi sastra terhadap novel Gita Ning Nusa
Alit (2008) mengungkapkan aspek-aspek sosial yang terkandung dalam novel tersebut. Aspek
sosial yang dominan dibicarakan dalam kajian Mandasari adalah aspek agama. Dalam hal ini
Mandasari terfokus pada konsep-konsep agama Hindu yang terdapat dalam novel Gita Ning
Nusa Alit. Konsep-konsep dasar agama Hindu yang terangkum dalam Tattwa, Etika, dan
Upacara pada novel ini diungkap dengan cukup baik. Meskipun demikian, penelitian Mandasari
secara kuantitas lebih banyak membicarakan struktur intrinsik novel dibandingkan dengan
struktur ekstrinsik.
Ni Nyoman Apriani melakukan penelitian terhadap bagian akhir novel trilogi karya
Djelantik Santha, yaitu Novel Suryak Suwung Mangmung (2009). Penelitian yang menggunakan
pendekatan sosiologi sastra ini mengungkapkan aspek-aspek sosial terutama aspek agama dan
aspek kemasyarakatan. Aspek keagamaan yang diungkapkan dalam penelitian Apriani sama
dengan yang diungkapkan dalam penelitian Mandasari, yaitu Tattwa, Etika, dan Upacara.
Sebaliknya, aspek kemasyarakatan yang diungkapkan dalam penelitian Apriani adalah tradisi
magibung. Tradisi magibung merupakan tradisi makan bersama dalam masyarakat Bali.
Magibung dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok makan yang disebut dengan sela.
Pada penelitian itu, Apriani memang mengungkapkan magibung sebagai bagian aspek
kemasyarakatan yang terdapat dalam novel Suryak Suwung Mangmung. Namun, ia tidak secara
konkret menjelaskan bagian mana dalam novel yang berhubungan dengan tradisi tersebut.
Penelitian yang dilakukan Budajayanti, Mandasari, dan Apriani terhadap tiap-tiap bagian
dari novel trilogi Sembalun Rinjani memang dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra,
hanya di antara ketiga penelitian tersebut tidak satu pun mengungkapkan multikultur. Multikultur
menjadi prioritas pembahasan dalam penelitian ini, tentu saja dengan tidak melupakan
22
pandangan dunia pegarang sebagai bagian penting sebuah karya sastra. Multikultural di sini tidak
hanya dipahami sebagai sebuah paham atau ideologi semata, tetapi juga multikultur sebagai
sebuah realitas dari proses bermasyarakat yang harus disikapi dengan bijak. Kuantitas tidak
menjadi prioritas dalam hubungan multikultur, tetapi kualitas interaksi antartokoh dengan latar
belakang etnik serta tradisilah yang menjadi prioritas pembahasan. Multikultur tidak hanya
melihat seberapa banyak etnik serta tradisi yang berinteraksi dalam sebuah komunitas sosial,
Jumlah objek penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Jika pada
penelitian sebelumnya tiap-tiap bagian novel diteliti secara terpisah oleh orang yang berbeda,
maka pada penelitian ini ketiga bagian dari trilogi novel Sembalun Rinjani dibahas bersama-
sama. Mengkaji seluruh bagian trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan hal yang mutlak
dilakukan guna memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai isi yang terkandung dalam
novel.
Putra dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern memberikan sedikit pandangannya
tentang dua novel dari trilogi ini, yaitu novel Sembalun Rinjani dan Gitaning Nusa Alit. Putra
(2010:194) menyebutkan bahwa kedua novel menawarkan tema segar dalam jagat sastra Bali
modern karena novel ini tidak hanya mempertemukan, tetapi juga menyatukan hubungan dua
etnik (Bali dan Lombok) dalam sebuah kisah percintaan, persahabatan, bahkan persaudaraan.
Putra melihat konflik dalam kedua novel ini kurang kuat sehingga tegangan yang dihasilkan dari
novel ini pun kurang. Sayangnya novel ketiga tidak dibicarakan oleh Putra sehingga keutuhan
tema kurang didapatkan dalam ulasannya. Kurangnya informasi mengenai terbitnya novel ketiga
menyebabkan Putra dalam tulisannya menyatakan bahwa novel ketiga belum terbit, sejatinya
23
novel ketiga telah diterbitkan Balai Bahasa Denpasar pada tahun 2007, sekitar setahun dari tahun
Selain dari sisi sastranya, karya prosa fiksi Djelantik Santha juga diminati oleh peneliti
bahasa. Bahasa yang digunakan oleh Djelantik Santha merupakan bahasa Bali yang tergolong
dalam bahasa Bali yang baik dan benar sesuai dengan anggah ungguhing basa yang terdapat
dalam bahasa Bali. Salah satu yang mengkaji karya Djelantik Santha dari sudut ilmu bahasa
adalah I Wayan Muliarta. Penelitian unsur linguistik yang dilakukan Muliarta memfokuskan
pada kata majemuk yang terdapat dalam novel-novel karya Djelantik Santha. Penelitian yang
berjudul Kata Majemuk Bahasa Bali dalam Novel-novel Djelantik Santha (2009) ini
menunjukkan kualitas bahasa Bali yang digunakan Djelantik Santha sangat baik. Djelantik
Santha sebagai pengarang besar selalu berusaha memenuhi kaidah-kaidah penggunaan anggah
ungguhing basa bahasa Bali dalam setiap karyanya. Penggunaan bahasa yang tepat dan baku
dalam sebuah karya sastra akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi karya tersebut. Selain
meningkatkan unsur estetikanya, bahasa yang tepat dan baku juga akan membantu menjaga
keutuhan unsur-unsur bahasa yang digunakan pengarangnya (khususnya bahasa daerah). Kadang
kala pengarang melupakan unsur ketatabahasaan (unsur linguistik) dalam berkarya. Hal ini
2.2 Konsep
Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis teori yang dikaitkan dengan masalah
penelitian yang dihadapi untuk menjawab dan memecahlan masalah penelitian (Buku Pedoman
24
Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2003:11).
2.2.1 Representasi
(KBBI, 1989:744). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek
sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2005: 612). Jika dikaitkan
dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya
sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai
kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau
keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan,
atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang
melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak sama persis dengan kenyataan. Seni
hanya dapat menggambarkan dan membayangkan hal-hal dalam kenyataan, seni berdiri di bawah
kenyataan itu sendiri (Teeuw, 1984: 220). Aristoteles juga mengungkapkan bahwa seni melalui
mimesis melakukan proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi yang terjadi dalam
seni tidak semata-mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan
renungan yang kompleks atas kenyataan alam. Dalam pandangan Aristoteles, seni bekerja seperti
sejarah, yakni menghadirkan peristiwa atau kenyataan faktual dan khusus. Di samping itu, seni
25
juga harus mampu menunjukkan ciri-ciri general dan universalnya yang berlaku untuk zaman
kapan pun (Teeuw, 1984: 222). Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari
masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial yang ada dengan
dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara
melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum
yang universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia
yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada
di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman.
Keempat klasifikasi yang diungkapkan oleh Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat
representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang
dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4
menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara subjektif
Pandangan Sumardjo mengenai representasi jelas menunjukkan bahwa hasil dari proses
tiga konsep yang menentukan kualitas interpretasi sastrawan, yaitu ras, saat, dan lingkungan
(millieu). Hubungan timbal balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan
struktur mental yang praktis dan spekulatif. Struktur mental ini menyebabkan timbulnya dunia
gagasan yang masih berupa benih, yang selanjutnya oleh pengarang diwujudkan dalam bentuk
26
karya sastra (Teeuw, 1984: 19). ‟Ras‟ dalam konsep Taine tentu saja merujuk pada keturunan,
perangai, dan bentuk fisik, sedangkan ‟saat‟ merupakan waktu atau periode tertentu (jiwa
zaman). Hal ini memberikan gambaran khusus tentang kondisi manusia dalam kurun waktu
tertentu. Selanjutnya ‟lingkungan‟ merupakan letak georafis dan iklim. Tentu saja letak geografis
dan iklim akan mempengaruhi kondisi masyarakat sosialnya. Kondisi masyarakat sosial inilah
sebagai media. Karya sastra memiliki kelebihan dalam menggambarkan kenyataan sosial.
menggambarkan sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda. Durkheim memandang bahasa
sebagai institusi sosial yang terbagi secara kolektif. Bahasa merupakan indikator dari keberadaan
realitas sosial sebagai sesuatu yang terlepas dari individu (Faruk, 2010: 49). Melalui bahasa,
dunia sosial dikukuhkan dan sekaligus dipelihara. Melalui bahasa pula, dunia sosial yang objektif
diinternalisasikan ke dalam kesadaran subjektif para warga dunia sosial ( Berger dan Luckmann
Representasi sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara
kekuatan fiktif dan imajinatif. Dua kekuatan ini mampu menangkap secara langsung bangunan
dunia sosial yang memang berada di luar dan melampaui dunia pengalaman langsung, objek,
serta gerak-gerik. Karya sastra dapat merepresentasikan objek dan gerak-gerik yang berbeda dari
objek dan gerak-gerik yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi
strukturasi atas objek dan gerak-gerik, sastra dapat merepresentasikan persamaannya melalui
27
Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena sosial
sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, lebih mengarah kepada
penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif
pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomen sosial dalam karyanya sangat
2.2.2 Multikulturalisme
Multikultur secara etimologi berasal dari dua kata, multi ‟banyak/beragam‟ dan kultur
/budaya atau kebudayaan‟, yang berarti keberagaman budaya (KBBI, 1989). Budaya yang mesti
dipahami di sini bukanlah budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua
bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti
sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, dan lain-lain. Multikultur adalah sebuah filosofi yang
juga kadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai
kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial yang sama dalam masyarakat modern.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan multikultur sebagai sarana untuk
kerja sama, pengakuan kesederajatan, dan berapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan
Akar dari multikultur adalah kebudayaan. Kebudayaan yang beraneka ragam, tetapi dapat
hidup berdampingan dalam satu wadah komunitas sosial. Hal ini bisa terjadi karena multikultur
merupakan sebuah wahana serta ideologi untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiannya. Oleh karena itu, kebudayaan harus dilihat dari perspektif fungsinya bagi
manusia.
28
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme akan mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara sosial budaya. Dalam
multikultur, sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum pada masyarakat
tersebut. Kebudayaan umum tersebut terdiri atas masyarakat-masyarakat yang lebih kecil dengan
kebudayaannya sendiri yang membentuk masyarakat yang lebih besar. Satu kelompok
masyarakat harus menyesuaikan tradisi, perilaku, kebutuhan-kebutuhan, sumber daya moral, dan
psikologi dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh mereka hidup dalam
lingkungan heterogen yang terdiri atas beberapa elemen yang berbeda (Parekh, 2008: 232).
Keberadaan multikultur memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif multikultur adalah
keberanian untuk dapat menerima perbedaan sebagai sebuah modal serta kekuatan untuk
persatuan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih
banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
Sebaliknya, sisi negatif multikultur adalah munculnya penolakan terhadap yang lain, baik
individu maupun kelompok. Hal ini terjadi akibat tidak bisa menerima perbedaan dan perbedaan
dianggap menyimpang atau salah. Penafian atau penolakan terhadap yang lain pada hakikatnya
adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu
Konstruksi sosial hierarkis yang secara tegas melakukan penolakan terhadap multikultur
itu membangun pengakuan bahwa seseorang atau kelompok lain unggul atas yang lain serta
mengajukan klaim yang melebihi hak-haknya dengan cara merampas hak-hak pihak lain. Astawa
(2005:58) lebih jauh menjelaskan bahwa kemajemukan masyarakat lokal seperti itu tidak saja
bersifat horizontal (perbedaan etnik, agama, dan sebagainya), tetapi juga sering
29
berkecenderungan vertikal. Kecenderungan vertikal ini mengakibatkan terjadinya polarisasi
status dan kelas sosial berdasarkan kekayaan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal pertama,
etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang naik peringkatnya menjadi masyarakat dengan
ekonomi menengah ke atas. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial masyarakat setempat yang
mandek perkembangannya (khususnya dalam bidang ekonomi). Sebaliknya, dalam hal kedua,
kelompok masyarakat etnik dan agama tertentu yang semula berada di luar mainstream, yaitu
berada di pinggiran, mulai masuk ke tengah mainstream. Hal ini juga dapat menimbulkan
gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu,
Indonesia, paradigma hubungan dialog atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan untuk
mengatasi gesekan-gesekan negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Pemahaman yang
mendasar tentang toleransi serta sikap saling menghargai menjadi hal yang sangat penting.
Komunikasi sekali lagi menjadi hal yang memegang peran penting, bisa dengan membuka
dialog-dialog yang sehat antarpemuka masyarakat, pemuka agama, dan pemerintah sebagai
fasilitator. Kebudayaan secara internal merupakan sesuatu yang majemuk, maka dialog-dialog
yang berkesinambungan sangat diperlukan. Di tengah masyarakat yang multikultur akan menjadi
sangat riskan jika sedikit saja terjadi miskomunikasi karena cenderung mengarah pada urusan
yang fundamental, yaitu SARA. Sering kali muncul konflik horizontal, yakni konflik
merupakan sesuatu yang wajar serta alamiah dalam sebuah komunitas sosial. Akan tetapi,
menjadi lain ceritanya ketika konflik sosial yang berkembang di masyarakat mengarah pada
30
tindakan anarkis. Anarkisme tentu saja akan membuka peluang yang sangat besar bagi timbulnya
Novel merupakan salah satu genre dalam karya sastra yang berjenis prosa rekaan. Novel
menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun
(Sudjiman, 1986: 53). Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa novel adalah
karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan tokoh dengan lingkungan
sekelilingnya serta menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Departemen Pendididkan dan
peristiwa serta jalan cerita yang panjang sehingga memberikan ruang yang luas untuk
Trilogi dalam pengertian di bidang sastra adalah seri karya sastra yang terdiri atas tiga
satuan (bagian) yang saling berhubungan dan mengembangkan satu tema utama (KBBI,
1989:961). Umumnya dalam bidang sastra yang menggunakan istilah trilogi adalah novel,
sedangkan dalam puisi, cerpen, dan drama jarang digunakan. Sastra Bali modern sendiri tidak
banyak mencatat lahirnya novel trilogi. Sejak awal kemunculan hingga saat ini dalam sastra Bali
modern hanya terdapat tiga novel trilogi, yaitu trilogi novel Sembalun Rinjani (Djelantik Santha),
trilogi novel Bunga Gadung Ulung Abancang (Nyoman Manda), dan trilogi novel Puputan
Penamaan dalam seri sasrta trilogi biasanya menggunakan judul novel pertama dari seri
trilogi tersebut. Trilogi novel yang diciptakan oleh Djelantik Santha sendiri terdiri atas novel
Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suwung Mangmung. Itulah sebabnya trilogi
31
novel ini disebut trilogi novel Sembalun Rinjani karena judul novel ini merupakan judul novel
pertama. Trilogi novel ini menceritakan kisah hidup tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana
yang bekerja sebagai pegawai BRI sejak awal bertugas hingga masa pensiun. Isu
multikulturalisme dicoba diangkat oleh pengarang dalam trilogi novel ini. Dikatakan demikian
karena, baik dari tokoh maupun latar yang dihadirkan dalam trilogi novel ini sarat dengan unsur
Judul trilogi novel sesungguhnya telah menunjukkan unsur multikultur jika ditelisik lebih
mendalam. Judul trilogi novel, yaitu Sembalun Rinjani merupakan nama daerah di Lombok
Timur. Sembalun adalah nama desa yang terdapat gunung tertinggi di Lombok, yaitu Gunung
Rinjani. Masyarakat Desa Sembalun merupakan masyarakat yang masih menganut tradisi
tradisonal Lombok. Masyarakat desa Sembalun yang beragama Islam Wetu Telu hidup
berdampingan dengan masyarakat Bali yang hidup secara turun temurun di desa tersebut sejak
ekspansi kerajaan Karangasem ke Lombok. Masyarakat etnik Sasak dan Bali di Desa Sembalun
sama-sam memiliki keyakinan terhadap keberadaan Dewi Anjani sebagai dewi kesuburan yang
berstana di Gunung Rinjani. Setiap menjelang musim panen, masyarakat etnik Sasak dan Bali
bersama-sama melakukan persembahan di Gunung Rinjani untuk memohon agar nantinya hasil
pertanian mereka melimpah. Kebersamaan ini menjadi salah satu gambaran multikulturalisme
Keberadaan masyarakat etnik Sasak dan etnik Bali yang hidup harmonis di Desa
Sembalun bisa jadi merupakan alasan mengapa pengarang menyatukan dua tokoh utama dalam
ikatan cinta di Gunung Rinjani Desa Sembalun. Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah adalah
dua tokoh utama yang bebeda agama serta suku, Gusti Ngurah Darsana adalah orang Bali yang
beragama Hindu, sedangkan Lale Dumilah adalah orang Lombok dengan agama Islam. Mereka
32
sepakat memulai menjalin hubungan cinta di Gunung Rinjani. Meskipun perjalanan cinta mereka
Novel pertama mengisahkan perjalanan tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana dan
Lale Dumilah dalam menjalin persahabatan hingga berlanjut ke hubungan asmara. Selanjutnya
pada novel kedua yaitu Gita Ning Nusa Alit kedua tokoh utama telah menikah dan memiliki
seorang putra. Setelah menikah mereka menetap di Bima karena Gusti Ngurah Darsana
mendapat tugas di BRI cabang Bima. Persinggungan antaretnik semakin banyak terjadi pada
novel kedua. Gita Ning Nusa Alit yang berarti nyanyian indah di pulau kecil adalah representasi
kebahagiaan hubungan antaretnik di sebuah pulau kecil, yaitu Sumbawa. Kebahagian di sini
adalah dapat diterimanya hubungan Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah oleh keluarga Lale
Dumilah. Selain itu, di pulau ini pula lahir putra pertama dari pasangan dua etnik berbeda
Hubungan indah antaretnik juga semakin terasa ketika Gusti Ngurah Darsana dan Lale
Dumilah dapat diterima dengan baik oleh penduduk sekitar. Mereka dihormati sebagai penduduk
pendatang, diterima dengan baik sebagai bagian keluarga baru di komunitas penduduk lokal
Atambua. Bahkan, rumah dinas Gusti Ngurah Darsana menjadi tempat untuk mengadakan acara-
acara kekeluargaan di antara pegawai BRI dengan latar belakang etnik yang berbeda. Semua
Novel ketiga yang berjudul Suryak Suwung Mangmung mengisahkan masa pensiun tokoh
utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana. Suryak Suwung Mangmung secara harafiah dapat diartikan
teriakan sunyi senyap, namun jika dikaitkan dengan multikulturalisme dapat bermakna
kebersamaan yang akhirnya menuju sebuah tujuan yang sama. Suryak berarti teriakan yang
dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu orang (bersifat kolektif), ini yang menjadi
33
simbol heterogenitas dalam masyarakat multikultur. Suung Mangmung berarti suatu keadaan
yang sunyi senyap, menyiratkan kesatuan persepsi dan tujuan. Meskipun berbeda namun
memiliki satu pandangan sama, memiliki satu persepsi dan tujuan yang sama tentang
multikulturalisme, yaitu kehidupan yang bertoleransi dalam mayarakat yang beragam. Jika
dikaitkan dengan filsafat kehidupan maka dapat dimaknai sebagai sebuah proses perjalanan
kehidupan menuju jenjang yang lebih mulia. Jenjang kehidupan mulai meninggalkan hiruk
pikukkehidupan duniawi untuk lebih berfokus pada pendekatan diri dengan sang pencipta. Hal
ini bisa dilihat dari kahidupan tokoh utama yang mulai memasuki masa pensiun, kembali ke
kampung halaman yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Pada novel ketiga kehidupan
tokoh utama lebih banyak bergelut dengan urusan religius, seperti tirtha yatra 3 , yoga 4 , dan
makakawin5. Namun, sebagai novel dengan multikultur jadi isu mendasar, pada novel ketiga ini
pun pengarang kembali memunculkan pernikahan antaretnik. Gusti Ngurah Anantha Buana yang
merupakan putra Gusti Ngurah Darsana menikah dengan seorang gadis Dayak bernama Diah
Rengsi Pitaloka.
Trilogi novel Sembalun Rinjani mengangkat isu yang sangat sensitif sesungguhnya, isu
yang beberapa tahun belakangan ini menjadi perbincangan di masyarakat. Multikultur sebagai
sebuah ragam kehidupan bermasyarakat di Indonesia merupakan potensi besar yang harus
disadari oleh masyarakat Indonesia sendiri. Pengarang melalui novelnya mencoba memberikan
gambaran tentang multikultur yang disikapi secara arif. Hasilnya adalah sebuah keharmonisan
dalam kehidupan yang heterogen. Pengarang dalam novelnya juga mencoba memberikan jalan
3
Perjalanan spiritual ke tempat-tempat suci
4
Yoga merupakan cara atau jalan untuk mengendalikan gerak-gerik pikiran untuk menyatukan Sang Jiwa dan Jiwa
Yang Mahaagung.
5
Menyanyikan nyanyian suci dalam bentuk kakawin
34
guna menghadapi masalah yang muncul akibat multikultur tanpa bermaksud untuk menggurui
penikmat karyanya.
Pandangan merupakan sesuatu yang paling penting untuk mengetahui hubungan karya
sastra dengan masyarakat sosial karena pandangan dunia yang berhubungan langsung dengan
struktur masyarakat. Kondisi struktural masyarakat dapat membuat suatu kelas sosial yang ada
dalam posisi tertentu dalam masyarakat membuahkan dan mengembangkan suatu pandangan
dunia. Goldmannn (Faruk, 2010: 66) mengungkapkan bahwa pandangan dunia merupakan
kumpulan menyeluruh gagasan, aspirasi, serta perasaan yang menghubungkan secara bersama-
sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang membedakannya dengan
kelompok sosial yang lain. Kumpulan menyeluruh gagasan, aspirasi, serta perasaan dalam
sebuah kelas sosial disebut juga dengan struktur global yang bermakna. Suatu pemahaman total
yang mencoba menangkap makna dari dunia dengan segala kerumitan dan keutuhannya
Pandangan dunia tidak hanya sebuah gagasan yang abstrak dari suatu kelompok sosial
mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada (lingkungannya), tetapi juga
bisa merepresentasikan cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota-anggota suatu
kelas dalam kelas sosial yang sama dan membedakannya dengan kelas sosial yang lain (Damono,
1984: 41). Hal ini bisa menjadi suatu ciri khas tersendiri bagi sebuah kelas sosial tertentu
sehingga menjadikannya terlihat berbeda meskipun terintegrasi dalam lingkungan yang sama
35
Pandangan dunia merupakan pandangan dengan koherensi yang menyeluruh. Pandangan
Dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan antara manusia
masyarakat yang berbeda pada posisi tertentu dalam struktur sosial secara keseluruhan. Di
samping itu, juga merupakan respons kelompok masyarakat terhadap lingkungan sosial yang
beragam (Faruk, 2010:70 - 71). Ini menyiratkan bahwa pandangan dunia lebih mungkin terjadi
pada masyarakat yang multikultur. Hal ini dimungkinkan karena pandangan dunia tidak akan
terbangun dalam masyarakat yang homogen, monokultur, serta terisolasi dari kelompok sosial
lainnya.
pandangan dunia tidak terlahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara
perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya
mentalitas yang lama (Faruk, 2010:67). Transformasi mentalitas yang dimaksud di atas
merupakan sebuah penyesuaian norma, gaya hidup, bahkan religiusitas sebuah kelas sosial
dengan sesuatu yang baru sebagai akibat dari interaksi dengan kelas sosial lainnya. Hal ini
dimungkinkan terjadi dalam sebuah masyarakat yang heterogen dengan pandangan dunia yang
mentalitas sebagai bagian sebuah proses adaptasi di tengah interaksi dalam kehidupan sosialnya.
mengungkapkan bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner karena
tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (dalam Faruk, 2010: 71). Pandangan dunia
diaanggap memicu subjek untuk mengarang. Pandangan dunia juga dianggap sebagai salah satu
36
ciri keberhasilan suatu karya. Dengan mengetahui pandangan dunia dalam suatu karya, maka
akan diketahui kecenderungan suatu masyarakat serta sistem ideologi yang mendasari perilaku
sosial sehari-hari (Ratna, 2006: 126). Oleh karena itulah, pengarang yang peka terhadap
lingkungan serta situasi sosial di sekitarnya akan dengan mudah mengapresiasikan pandangan
Goldmann menyebutkan bahwa pandangan dunia menentukan struktur karya sastra. Kaya
sastra yang besar adalah karya sastra yang memiliki keterpaduan internal sehingga karya tersebut
mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan mendasar. Karya sastra yang besar akan
mengangkat masalah yang besar pula. Dalam hal ini tentu pengarangnya pun pengarang yang
besar karena hanya pribadi yang luar biasa yang mampu mengidentifikasi dirinya dengan
ekspresi yang padu tentang kenyataan (Damono, 1984: 42). Setiap pengarang akan memiliki cara
yang berbeda dalam mengungkapkan pandangan dunia di dalam karyanya (Ratna, 2006: 126).
Hal itu terjadi karena pengarang sebagai individu sosial dibentuk dan dikondisikan oleh
Pandangan dunia yang terepresentasikan dalam karyanya adalah bentuk akumulasi ide serta
pengalaman yang diperoleh dari aktivitas praktis dalam lingkungannya. Ratna mengungkapkan
bahwa isi karya sastra mengisyaratkan relevansi dunia pengarang dalam struktur naratif, yang
secara jelas dapat diidentifikasi melalui eksistensi semesta tokoh dan kejadian. Manifestasi isi
dapat menunjukkan kualitas dan kuantitas pengarang dalam bidang kreatif, sekaligus sebagai
37
Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya,
sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Fungsi sastra sebagai sarana pendidik akan
tercapai dengan baik. Masyarakat dapat belajar dengan membaca, memahami, serta menghayati
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra lewat pemahaman terhadap pandangan dunia.
Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra yang dijadikan teori utama untuk
menganalisis tiga prosa karya Djelantik Santha, yaitu Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit,
dan Suryak Suwung Mangmung. Sebagai teori utama, sosiologi sastra menjadi teori utama dalam
penelitian ini. Teori konflik dan integrasi juga digunakan sebagai teori pembantu dalam proses
penelitian. Kedua teori yang digunakan untuk membedah ketiga karya Djelantik Santha
Sosiologi sastra muncul sebagai suatu bentuk dobrakan atas stagnasi yang terjadi pada
strukturalisme murni. Strukturalisme klasik atau strukturalisme murni hanya berkiblat pada karya
sastra semata, karya sebagai sesuatu yang otonom lepas dari latar belakang sejarah atau
lingkungan sosialnya (Teeuw, 1984:152). Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom yang
terdiri atas unsur-unsur intrinsik yang berkolerasi saja, tetapi lebih dari itu karya sastra juga
merupakan dokumen sosial dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Karya
sastra sendiri tidak lahir dari sebuah kekosongan. Karya sastra lahir dari kemajemukan dan
kompleksitas unsur budaya dalam suatu masyarakat. Untuk itulah sosiologi hadir sebagai ilmu
yang mempelajari hubungan karya sastra dan masyarakatnya. Kemajemukan dan kompleksitas
38
yang terdapat dalam masyarakat merupakan sebuah struktur yang dinamis sama halnya dengan
struktur yang terdapat dalam karya sastra (Ratna, 2005: 295 - 296).
sebuah rekonstruksi pandangan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya dan bisa jadi
merupakan sebuah respons pengarang terhadap sebuah perubahan sosial. Lebih lanjut Damono
mengemukakan bahwa telaah sosiologi terhadap karya sastra memiliki dua kecenderungan.
Pertama, merupakan proses ekonomis belaka, yaitu membicarakan sastra dari faktor-faktor di
luar sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan telaah untuk
kemudian digunakan memahami gejala-gejala sosial di luar sastra. Pandangan pertama Damono
di atas merupakan penelitian terhadap proses distribusi karya sastra. Bagaimana karya sastra
yang telah dihasilkan pengarang kemudian dicetak, dikemas, lalu didistribusikan hingga sampai
pada tangan konsumen (pembaca). Di sini proses ekonomi pada karya sastra yang berperan
dominan, teks karya sastra merupakan gejala sekunder yang tidak mendapat perhatian besar.
Sementara pada pendekatan yang kedua, teks karya sastra menjadi pusat penelaahan utama dan
faktor ekonomi menjadi gejala sekunder. Teks karya sastra ditelaah dan dipahami lebih dalam
Dasar filosofi pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra
dengan masyarakat. Hubungan –hubungan yang dimaksud disebabkan oleh (a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, (c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya itu dimanfaatkan
kembali oleh masyarakat (Damono, 1984:1, Ratna, 2004: 60). Sastrawan adalah bidan yang
berperan membantu proses lahirnya karya sastra yang mengandung realita sosial di masyarakat.
39
Jadi, apa pun bentuk karya sastra, ia tercipta dari kemajemukan fakta sosial yang oleh pengarang
dikemas dalam bentuk fiksi. Fakta sosial dalam pengertian di atas mencakup berbagai aspek
kehidupan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat disebut sebagai lembaga
Wellek dan Warren (1990: 111) membuat klasifikasi mengenai sosiologi sastra sebagai
berikut.
(a) Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan
(b) Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang
menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
(c) Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra.
dalam sebuah penelitian sosiologi sastra. Pada klasifikasi pertama, telaah yang dilakukan lebih
banyak berkaitan dengan pengarang sebagai penghasil karya sastra. Pengarang sebagai individu
yang memiliki ideologi, status sosial, serta latar belakang sosial yang turut serta mempengaruhi
hasil karyanya. Ideologi, status sosial, serta latar belakang sosial pengarang berpengaruh besar
terhadap hasil karyanya karena secara manusiawi ideologi, status sosial, serta latar belakang
sosial akan mempengaruhi setiap tindakan manusia. Ketiga hal inilah yang sering kali
40
Klasifikasi kedua memfokuskan telaah pada objek karya sastra. Karya sastra ditelaah
dengan memperhatikan unsur-unsur sosial, baik yang tersirat maupun tersurat di dalamnya.
Mengkaji dengan dalam setiap unsur sosial yang ada dalam teks sehingga ditemukan tujuan dari
pengarang menulis karya sastra tersebut. Hal itu penting karena sering kali pengarang menulis
karya dengan tujuan-tujuan tertentu serta pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada
pembaca.
Klasifikasi ketiga berkaitan dengan pembaca sebagai rantai akhir perjalanan sebuah
karya sastra. Pembaca sebagai penikmat serta yang akan memanfaatkan karya sastra dalam
kehidupan sosialnya. Pengarang sebagai kreator memasukkan ideologi, pemikiran, serta ide-
idenya dengan kemasan yang dapat diterima oleh pembaca sehingga apa yang menjadi tujuannya
tepat sasaran. Untuk menjadikan karya sastra tepat sasaran, pengarang menentukan bentuk dan
isi karyanya sesuai dengan masyarakat pembaca yang akan dituju. Pengaruh karya sastra pada
masyarakat yang tepat sasaran akan sangat besar tergantung sejauh mana karya tersbut dihayati
oleh masyarakat pembacanya. Karya sastra mampu menjadi sarana pendidik yang paling baik,
mampu sebagai motivator, bahkan mampu sebagai pendobrak sistem yang ada.
sastra. Konsep dasar dari pandangan Goldmannn, yaitu simetri atau homologi, kelas-kelas sosial,
Homologi menandai hubungan resiprokal antara masyarakat dengan karya sastra karena
keduanya merupakan hasil (produk) dari sebuah aktivitas strukturasi sosial yang sama. Oleh
karena itulah, antara karya sastra dan masyarakat terdapat hubungan bermakna. Konsep
homologi Goldmann berbeda dengan konsep refleksi yang pernah ada sebelumnya. Jika dalam
konsep refleksi (mirror) karya sastra merupakan sebuah karya imajiner yang identik dengan
41
dunia nyata, maka dalam konsep homologi terdapat perbedaan yang dapat dilihat di antara dunia
imajiner dalam karya sastra dengan dunia nyata. Kesamaan antara dunia imajiner dalam karya
sastra dengan dunia nyata adalah kesamaan yang tidak bersifat absolut dan substansial,
melainkan kesamaan dari segi struktur. Contoh sederhana dari perbedaan struktur dan substansi
yang demikian misalnya terdapat dua buah gelas dengan bentuk, bahan, dan motif yang sama
diisi dengan minuman yang berbeda. Gelas A diisi dengan air soda, sedangkan gelas B diisi air
mineral. Jadi, kedua gelas (struktur) akan memiliki substansi yang berbeda meskipun dari segi
Kelas-kelas sosial dalam karya sastra merupakan implementasi kelas sosial yang ada di
karya sastra. Lenin (Luxemburg dkk., 1982:25) mengungkapkan bahwa sastra dapat membawa
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sastra dapat berperan sebagai guru yang menjalankan
fungsi mengajarnya. Sastra tidak hanya membuka mata para pelaku pertentangan antarkelas
sosial, tetapi memberikan pembelajaran atas apa yang terjadi. Pandangan kaum Marxis terhadap
karya sastra dan kelas sosial adalah karya sastra merupakan perwakilan kelas sosial tertentu
pemikiran individu dalam suatu kelompok sosial yang mewakili kelompoknya. Pemikiran,
gagasan, atau perasaan-perasaan individu yang kemudian terakumulasi sebagai bentuk sebuah
pemikiran, gagasan, atau perasaan-perasaan kelompok sosial. Subjek transindividual inilah yang
42
Pandangan dunia merupakan inti dari strukturalisme genetik. Pandangan dunia
merupakan akumulasi dari homologi, kelas sosial, transindividual, dan struktur bermakna yang
menjadi totalitas pemahaman. Goldmann (Faruk, 2010: 65) mengungkapkan bahwa pandangan
dunia sebagai kumpulan menyeluruh dari gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan
kelompok sosial lainnya. Pandangan dunia merupakan sebuah gambaran dengan hubungan yang
menyeluruh dan berkaitan. Pandangan dunia merupakan perspektif yang terpadu mengenai
hubungan antar manusia, manusia dengan alam secara utuh dan menyeluruh.
Penelitian ini mengacu pada teori yang diungkapkan Wellek dan Warren dengan tiga
klasifikasinya terhadap sosiologi sastra. Mengkaji karya sastra dengan melihat unsur-unsur sosial
yang tersirat serta tersurat dalam teks dengan tidak melupakan pengarang sebagai kreator lalu
menghubungkannya dengan masyarakat sosial. Teori Goldmann turut mendukung penelitian ini
dengan konsep simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan
dunia. Membedah karya sastra dengan teori sosiologi sastra mengarahkan kita menemukan
Konflik dan integrasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan ini bersifat
kausal, di mana muncul konflik pasti diikuti dengan proses integrasi meskipun kurun waktu
untuk terjadinya proses integrasi tersebut tidak dapat ditentukan. Konflik muncul ketika terjadi
regangan dalam proses sosial yang diawali dengan disorganisasi sebelum akhirnya mengarah
pada disintegrasi. Susanto (1985: 103) mengungkapkan bahwa ”disorganisasi sebagai taraf
43
kehidupan sosial yang mendahului disintegrasi mungkin terjadi karena perbedaan paham tentang
tujuan kelompok sosial, norma-norma sosial (yang hendak diubah), dan tindakan dalam
masyarakat”.
Poloma (2004: 1107 - 108) menyatakan bahwa konflik apa pun bentuknya dapat
membantu untuk mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat
yang mengalami konflik atau dis integrasi dengan masyarakat lain dapat memperbaiki kepaduan
integrasi, konflik juga membantu fungsi komunikasi. Sebelum terjadinya sebuah konflik,
kelompok-kelompok atau individu mungkin tidak percaya terhadap posisi atau fungsi dari
musuhnya, tetapi akibat terjadinya sebuah konflik sering kali posisi dan fungsi serta batas
antarkelompok, antarindividu menjadi diperjelas. Konflik tidak selalu berdampak negatif karena
dari konflik sering kali pihak yang bertikai menemukan jalan atau cara yang lebih baik mengenai
kekuatan relatif mereka serta meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling
berdamai.
Konflik sebagai sebuah proses sosial menurut Susanto (1985: 103) memiliki beberapa
fase. Fase-fase tersebut terdiri atas fase disorganisasi dan disintegrasi. Karena suatu kelompok
sosial selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, maka pertentangan akan dipengaruhi oleh
beberapa faktor sehingga pertentangan akan berkisar pada penyesuaian diri atau penolakan dari
faktor-faktor sosial tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah tujuan dari kelompok
sosial (goals and objective), sistem sosial (social system), sistem tindakan (action system), dan
sistem sanksi (sanction system). Keempat faktor ini tentunya yang akan menentukan arah dari
konflik yang akan terjadi dalam sebuah proses sosial, serta bentuk penyelesaian yang mungkin
44
Susanto (1985:104) menyebutkan bahwa integrasi sebagai sebuah proses melalui
beberapa fase. Fase tersebut di antaranya adalah akomodasi, kerja sama, koordinasi, dan
asimilasi. Lebih lanjut Susanto (1985:104) mengungkapkan bahwa ”integrasi sebagai salah satu
proses dan hasil kehidupan sosial merupakan alat yang bertujuan untuk mengadakan suatu
keadaan budaya yang homogen”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebuah integrasi
dikatakan berhasil ketika terjadi homogenitas yang teratur dalam sebuah komunitas sosial.
Proses integrasi sosial banyak ditentukan pula oleh jarak sosial yang terjadi dalam sebuah
komunitas sosial. Jarak sosial ini berkaitan langsung dengan komunikasi dan interaksi yang
terjadi antarindividu. Komunikasi dan interaksi ini adalah benang merah dari keempat fase
integrasi yang diungkapkan oleh Susanto di atas. Secara subjektif, jarak sosial ditentukan oleh
empat faktor yaitu frekuensi interaksi, ketepatan konvergensi atau divergensi gambaran pada
tiap-tiap individu tentang pihak yang lain, hasrat atau keinginan untuk berinteraksi, dan intensitas
Komunikasi dan interaksi menjadi sangat berperan dalam proses integrasi. Semakin
tinggi dan positif tingkat komunikasi dan interaksi, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya
integrasi begitu pula sebaliknya. Homans (dalam Susanto, 1985:110) berpendapat bahwa
kemajuan di bidang ekonomi, frekuensi interaksi berkurang, intensitas perasaan berkurang dan
ekonomi dan teknologi ternyata tidak menjamin bahwa integrasi dalam masyarakat dapat terjaga
dengan baik, bahkan akibat kemajuan ekonomi dan teknologi peluang disorganisasi cenderung
Teori konflik dan integrasi dalam penelitian ini digunakan untuk memahami bagaimana
konflik serta integrasi sosial yang terkandung dalam objek penelitian. Konflik dalam hal ini
45
adalah konflik yang muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap proses terjadinya
bagian multikultur itu sendiri. Kemudian integrasi yang dimaksud adalah proses terjadinya
kompromi terhadap multikultur oleh individu atau kelompok yang semula menolak multikultur.
Kompromi atau penerimaan diakibatkan oleh mulai terbukanya pikiran serta timbulnya
kesadaran sosial tentang arti penting multikultur bagi individu serta kelompok yang semula
46
2.4 Model Penelitian
Realita Sosial
Pengarang
Djelantik Santha
Metode
Kualitatif Interpretatif
47
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang lazim digunakan pada jenis-jenis
penelitian ilmu sosial, humaniora, dan ilmu hukum. Penelitian terhadap sebuah karya sastra
merupakan penelitian dalam ranah ilmu humaniora. Itulah yang menjadi alasan metode kualitatif
tepat digunakan dalam proses penelitian terhadap ketiga novel Djelantik Santha. Selain itu,
metode kualitatif dapat memberikan perincian yang detail tentang fenomena yang belum
persiapan, tugas lapangan, dan tahap analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan
judul, studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan metode penelitian, dan
penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan terlebih dahulu membaca ketiga
karya Djelantik Santha. Setelah membaca dan memahani isi dari ketiga karya Djelantik Santha,
lalu mencari inti permasalahan yang menjadi titik temu antara ketiga novel tersebut. Tentu saja
fenomena yang berusaha dicari di sini adalah fenomena yang belum pernah dibicarakan dalam
Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan
untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang proses penelitian. Pemilihan
dan pengumpulan bahan-bahan serta literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan
masalah serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Perumusan masalah dalam
48
penelitian ini dilakukan dengan pola pemikiran yang diutarakan oleh Marzuki (1989:26), yaitu
digarap cukup penting untuk diteliti), dan interest (masalah yang diangkat mengaktifkan niat).
Tahap tugas lapangan merupakan tahap selanjutnya. Pada tahapan ini dilakukan proses
orang yang pernah melakukan penelitian terhadap hasil-hasil karya pengarang. Wawancara
dengan pengarang bertujuan untuk memperoleh data dalam proses penyusunan biografi
pengarang. Tahapan analisis meliputi editing dan coding. Tahapan editing bertujuan untuk
melihat keakuratan dan reliabilitas data dengan permasalahan yang hendak dipecahkan. Coding
merupakan tahap memberikan tanda pada data-data yang telah ditemukan untuk selanjutnya
Jenis data dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berupa teks dan cerita novel karya
Djelantik Santha. Ketiga karya ini berjudul novel Sembalun Rinjani (majalah Sarad, 2000),
novel Gita Ning Nusa Alit (Balai Bahasa Denpasar, 2002), dan novel Suryak Suwung Mangmung
Penelitian ini menggunakan instrumen kartu data buatan peneliti, tape recorder,
handycam serta media internet. Kartu data menggunakan pengodean terbuka, yaitu pengumpulan
data dengan pemberian nama serta pengelompokan data dan fenomena-fenomena yang relevan
49
dengan masalah penelitian. Tape recorder dan handycam adalah insturmen penelitian yang
digunakan untuk menyimpan informasi yang diperoleh dari pegarang. Media internet
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.
Sementara itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik
catat dan teknik wawancara. Hasil wawancara direkam dalam alat perekam (handycam dan tape
recorder). Teknik wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara tidak
berstruktur atau bebas terbuka. Wawancara untuk mendapatkan keterangan secara lisan melalui
Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-
penemuan hingga menjadi satu data yang teratur dan lebih berarti. Data yang telah ditemukan
lalu dideskripsikan kemudian dianalisis dengan teori sosiologi sastra serta teori konflik dan
integrasi. Langkah awal teori sosiologi sastra bekerja adalah dengan menemukan unsur-unsur
sosial yang terdapat dalam teks. Realitas sosial yang terkandung dalam teks selanjutnya
diuraikan serta dianalisis untuk selanjutnya dibandingkan dengan realita sosial yang terdapat
dalam masyarakat.
50
Teori konflik dan integrasi turut mendukung dalam proses analisis terhadap data-data
yang terdapat dalam teks. Multikulturalisme sebagai sebuah fenomena kebudayaan tentu saja
tidak luput dari adanya konflik sebagai akibat dari persinggungan budaya yang berbeda.
Selanjutnya integrasi hadir sebagai solusi positif penyelesaian konflik yang sempat terjadi,
sejatinya integrasi merupakan tujuan akhir kehidupan multikultur yang harmonis. Konflik serta
integrasi yang terdapat dalam teks dianalisis sebagai satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat
multikultur.
multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel Semalun Rinjani. Tentu saja akan terlihat
sejauh mana konflik serta integrasi berperan dalam masyarakat multikultur. Selanjutnya hasil
yang diperoleh dalam analisis terhadap teks akan dibandingkan dengan kenyataan sosial yang
ada di masyarakat.
Analisis dituangkan dalam tujuh bab, bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan
teori, serta model penelitian. Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri atas rancangan
peneltian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data,
metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian analisis. Bab IV merupakan
biografi pengarang yang menjabarkan latar belakang kehidupan pengarang serta proses kreatif
pengarang. Bab V merupakan bab isi yang menuangkan unsur-unsur multikulturalisme yang
terdapat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani. Bab VI berisi uraian mengenai respons tokoh
terhadap multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani. Bab VII
51
menguraikan bagaimana pandangan dunia pengarang yang terdapat dalam trilogi novel ini. Bab
VIII adalah bagian akhir yang berisi simpulan atas proses analisis yang telah dilakukan serta
52
BAB IV
I Gusti Gede Djelantik Santha dilahirkan di Desa Selat Karangasem, yaitu sebuah desa di
kaki Gunung Agung pada 12 Agustus 1941. Ayahnya bernama I Gusti Kaler (meninggal 09-01-
1953) dan ibunya Jero Anyaran (meninggal 27-08-2004), keduanya hidup sebagai petani.
Djelantik Santha mempunyai lima orang saudara yaitu Wayan Gede, I Made Sudjana, I Gusti
Ayu Ratni, I Gusti Ayu Aryawati, dan I Gusti Ayu Aryani. Sebagaimana halnya Djelantik
Santha, hampir semua saudaranya mengenyam pendidikan di bangku sekolah dan hampir
Bila membaca nama saudara dari I Gusti Gede Djelantik Santha, yaitu Wayan Gede dan I
Made Sudjana maka akan terlihat perbedaan stratifikasi sosial. Penggunaan nama Wayan dan
Made berdampingan dengan nama I Gusti dalam kehidupan masyarakat Bali sangat tidak lazim
ditemukan. Akan tetapi itulah keadaan yang dapat ditemukan di Desa Selat Karangasem untuk
menandai adanya anak astra dalam keluarga itu. Astra menurut kamus Bali–Indonesia (1978:15)
berarti anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah antara seorang ayah dari triwangsa
dengan seorang ibu dari orang kebanyakan (jaba). Tidak sah dalam arti belum ada upacara yang
digelar selayaknya upacara perkawinan. Walaupun demikian, status anak astra tetap dianggap
53
Djelantik Santha berasal dari keluarga yang memang telah turun-temurun berkecimpung
dalam dunia sastra. Beberapa orang leluhurnya ternyata adalah orang-orang yang cukup dikenal
dalam sejarah kesusastraan Bali. Leluhurnya itu, antara lain Arya Nyuh Aya, I Gusti Dauh Bale
Agung, dan I Gusti Pande Basa. Nama I Gusti Dauh Bale Agung dan I Gusti Pande Basa adalah
sosok pujangga yang terkenal dalam khazanah kesusastraan Bali karena kualitas karya-karyanya.
Mereka pujangga yang terkenal pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel pada
abad ke-16.
Djelantik Santha mulai mengenyam pendidikan dari sekolah rakyat atau SR (sekarang
SD) tahun 1949 dan tamat tahun 1955 di Selat Karangasem. Setelah menyelesaikan pendidikan
sekolah rakyat di desanya dia meneruskan pendidikannya di sekolah guru bawah atau SGB. SGB
setingkat dengan SMP sekarang yang ada di Klungkung dan tamat pada tahun 1958. Tamat dari
SGB dia meneruskan pendidikannya di SMEA Singaraja dari tahun 1958 sampai dengan tahun
1961. Selama proses belajar di SMEA Singaraja Djelantik Santha juga banyak mengalami
cobaan hidup. Pada tahun 1960 ketika akan naik kelas 3 dia mengalami sakit mata. Sakit mata
yang tidak biasa karena setelah beberapa kali diperiksakan ke puskesmas sama sekali tidak
ditemukan penyakit pada matanya. Dia dinyatakan sehat secara medis, tetapi kenyataannya dia
mengalami gangguan penglihatan. Penyakit mata yang dialaminya tidaklah membuat Djelantik
Santha putus asa. Dia semakin terpacu dalam belajar hingga pada tahun 1961 pendidikannya di
Kepulangannya ke desa kelahiran ternyata mendorong dirinya untuk mengabdi pada desa yang
selama ini ditinggalkan. Melihat banyak anak-anak di desanya yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan ke SMP, akhirnya dia pun berinisiatif untuk mengajarkan anak-anak putus sekolah
54
yang dibantu oleh teman-teman guru di desanya. Tempat yang dipakai sebagai awal usahanya
mengabdikan diri pada desa adalah sebuah bale banjar 6 , yaitu banjar Sila Darsana. Berjalan
dengan waktu, kegiatan sosial itu pun mengalami perkembangan cukup pesat. Anak-anak mulai
banyak yang berminat untuk bersekolah lagi. Para orang tua pun tidak lagi keberatan anaknya
bersekolah meskipun anak-anak mereka harus tetap melaksanakan tugas sehari-harinya, seperti
pergi ke sawah, mencari rumput, atau menggembalakan sapi. Karena peminatnya semakin
banyak, bahkan murid-murid yang belajar tidak hanya dari desanya, tetapi juga dari desa
Kegiatan sosial yang pada awalnya bertujuan membantu anak-anak putus sekolah telah
berkembang dengan baik dan menjadi SMP Gunung Agung. Namun, sayang sekolah ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1963 sekolah tersebut terkena bencana letusan Gunung Agung
sehingga seluruh muridnya harus mengadakan ujian ke Klungkung. Setelah ujian tersebut
kegiatan sekolah mulai terseok, bangunan yang telah rusak karena bencana, tenaga pengajar yang
mulai terpecah konsentrasinya karena ada yang memilih bekerja di kota, sekolah itu pun
akhirnya bubar.
Pembubaran sekolah yang dirintis sejak awal oleh Djelantik Santha sangat membuatnya
kecewa, akhirnya pada tahun 1964 Djelantik Santha pergi ke Singaraja untuk bisa melupakan
kenangan lalu saat-saat masih mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di desanya.
Kepindahannya ke Singaraja ternyata membuka lembaran baru dalam perjalanan hidupnya, yang
kemudian menjadi inspirasi penulisan trilogi novel Sembalun Rinjani. Djelantik Santha berhasil
lulus ujian kualifikasi menjadi pegawai BRI dan bertugas di BRI cabang Singaraja pada Januari
6
Tempat pertemuan umum bagi warga banjar. Banjar sendiri merupakan komunitas sosial terkecil dalam
masyarakat tradisional Bali.
55
sampai dengan September 1965. Setelah September dia dikirim untuk melaksanakan pendidikan
Sekapin (Sekolah Kader Pimpinan) ke Jakarta. Pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1967 dia
kemudian ditempatkan di BRI cabang Lumajang. Tahun 1967 sampai dengan 1970 Djelantik
Selama bertugas di BRI cabang Praya Lombok, Djelantik Santha menemukan tambatan
hatinya yang bernama Martini, lalu memutuskan untuk menikahi gadis pujaannya. Menikah pada
20 Februari 1969, Djelantik Santha mengambil jalan ngarorod 7 untuk meresmikan hubungan
asmaranya ini. Jalan ini diambil karena orang tua dari pihak perempuan awalnya tidak setuju.
Perbedaan adat serta agama menjadi alasan utama. Martini adalah seorang gadis keturunan Jawa
yang telah menetap lama di Lombok. Setelah menikah, Martini mendapat nama baru yaitu Jro
Laksmi Wijayanti. Pernikahan Djelantik Santha ini dianugerahi lima orang anak, yaitu I Gusti
Ayu Prastiti Shantari, S.E. (1 Januari 1970), I Gusti Ngurah Dhyana Shantanu, S.E.Ak (5 Mei
1971), I Gusti Ayu Ary Larashanti, S.P. (15 Juli 1972), I Gusti Ayu Ratih Sushanti, S.T.P. (21
Mei 1974), dan I Gusti Agung Samadhi Shantosa, S.Sn. (14 Juni 1976).
Tahun 1970 sampai dengan 1971 kembali dia dipindahtugaskan di BRI Mataram. Karena
ada suatu permasalahan di BRI cabang Selong Lombok, akhirnya dia dipindahkan kembali pada
Oktober 1971 sampai dengan april 1972. Selama berada di Selong inilah dia kembali harus
mengalami cobaan hidup, yaitu kakinya lumpuh. Kelumpuhan yang dialami menurut
pengakuannya adalah penyakit nonmedis. Selama sakit dia banyak berobat ke dokter ataupun
pengobatan alternatif. Dia juga pernah menjalani rawat inap di Puskesmas Narmada atas
pengawasan dokter RSU Mataram selama empat bulan, kemudian pindah ke RSU Wangaya
7
Ngarorod adalah salah satu sistem perkawinan adat Bali di mana calon pengantin wanita dilarikan dari rumahnya
oleh keluarga pengantin laki-laki (kawin lari). Sistem ini dipilih biasanya jika keluarga mempelai wanita tidak
menyetujui perkawinan anaknya.
56
denpasar selama empat bulan, dan akhirnya dipindahkan ke RS orang cacat di Solo selama empat
bulan. Sekembalinya dari Solo dia bekerja lagi dan ditempatkan di kantor cabang BRI di
Klungkung mulai April 1973 sampai dengan Desember 1978. Terakhir sejak Januari 1979 dia
dipindahkan ke kantor dinas BRI Denpasar sampai dengan pensiun 1 September 1997. Setelah
pensiun dari BRI ternyata masih ada yang tertarik memakai jasanya dan tahun 1997 sampai
dengan Desember 2004 dia kembali bekerja menjadi konsultan kredit KKP di BPD Bali.
karena adanya rasa pengertian dari pimpinan dan rekan-rekan kerjanya. Penyakit ini rupanya bisa
mendatangkan suatu efek yang positif dan negatif. Efek positif yang dirasakannya ialah penyakit
ini kadang-kadang menimbulkan rasa ingin tahu lebih banyak lagi mengenai apa dan mengapa
sesuatu itu terjadi. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang baru menjadikan Djelantik Santha
sebagai individu yang kritis terhadap masalah sosial di lingkungannya. Hal ini berpengaruh besar
bagi dunia kepengarangannya, bagi karya sastra ciptaannya yang cenderung mengangkat
masalah-masalah faktual dalam lingkungan sosial. Namun, tetap saja sebagai manusia, penyakit
ini membawa dampak yang cukup menggangu kesehariannya. Ruang gerak yang terbatas,
terlebih lagi beberapa hal harus dikerjakan dengan bantuan orang lain. Ini yang kadang-kadang
Kelumpuhan yang diderita Djelantik Santha sama sekali tidak mengurangi jumlah
aktivitas pekerjaan kantornya. Bahkan, dia lebih sering pergi ke luar kota seperti Lombok,
Sumbawa, atau Sumba. Kesempatan di rumah sering dihabiskan dengan membaca berbagai
buku, terutama buku-buku keagamaan. Djelantik Santha juga pernah mengalami rasa putus asa
demikian pula dengan istrinya Laksmi Wijayanti melihat keadaan suaminya. Akan tetapi,
semangat serta optimisme dalam menghadapi hidup ini terus dibangkitkan. Sebagai seorang
57
suami, kepala rumah tangga, sekaligus sebagai seorang ayah, serta sebagai wakil pimpinan di
kantornya, Djelantik Santha adalah seorang yang berwibawa dan disegani. Sebagai seorang
sastrawan, Djelantik Santha merupakan salah satu sastrawan sastra Bali modern yang paling
produktif berkarya.
Lahir di lingkungan masyarakat yang akrab dengan seni serta mengalir darah sastrawan
secara turun-temurun, tidaklah terlalu mengherankan jika dalam diri Djelantik Santha tersimpan
potensi bersastra yang luar biasa. Sejak duduk di bangku seolah dasar (SR) Djelantik Santha
telah mulai menulis puisi, pantun, cerita berbahasa Indonesia, serta lagu-lagu berbahasa Bali
yang dilakukannya ketika mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia. Bidang tulis-menulis sudah
menjadi ketertarikan tersendiri bagi Djelantik Santha kecil. Kebiasaan sang kakek I Gusti
Lanang Djelantik Noda bercerita (masatua) pada cucunya semakin menumbuhkan minatnya
kepada dunia sastra. Ia juga mulai belajar masatua, lalu mencoba mempraktikkannya di hadapan
dijuluki tukang satua. Keberadaan majalah dinding di sekolahnya merupakan media publikasi
pertama karya sastra ciptaannya. Karya sastra pertama yang dibuat adalah sebuah tembang
Maskumambang8 dengan judul Pengangon Sampi ketika dia bersekolah di SGB (kira-kira tahun
1957). Sebuah karya dengan ide cerita yang sangat dekat menggambarkan keseharian anak-anak
pada masa itu, bermain di sawah, mencari rumput, lalu menggembalakan sapi. Sayangnya arsip
karya-karya Djelantik Santha pada masa kecil tidak tersimpan dengan baik sehingga sulit untuk
8
Maskumambang merupakan salah satu jenis pupuh dalam khazanah sastra Bali klasik.
58
melihat sejauh mana kualitas karya-karya yang dihasilkan pada awal ketertarikannya dengan
dunia sastra.
Djelantik Santha mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh jurusan yang digeluti sama
sekali tidak mendukung kegemarannya menulis selain juga kesibukan dalam kegiatan sekolah.
Namun, dia sempat menulis sebuah cerpen dan beberapa puisi dalam harian Suluh Marhaen
(sekarang Bali Post). Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEA, dia kembali ke kampung
halamannya untuk mengabdikan diri dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan untuk anak-
anak putus sekolah. Melalui lembaga pendidikan inilah dia kembali menyalurkan kegemaran
bersastranya dengan membentuk sebuah kelompok drama. Sanggar drama yang diberi nama
Sanggar Remaja Prakerti Selat dominan mementaskan cerita-cerita seputar kehidupan remaja
yang naskahnya ditulis sendiri oleh Djelantik Santha. Pementasan sanggar drama ini tidak hanya
di desanya, tetapi berkeliling ke desa-desa tetangga, dan uang hasil pementasan drama
dikumpulkan untuk membangun gedung sekolah. Sayangnya sanggar ini tidak bertahan lama,
akibat bencana meletusnya Gunung Agung tahun 1963, sanggar ini pun bubar. Bubarnya
sanggar ini bersamaan dengan bubarnya sekolah rintisan Djelantik Santha, lalu ia memutuskan
Bekerja di BRI memang membuat waktu Djelantik Santha tak banyak diluangkan untuk
menjalankan kegemarannya menulis. Menulis menjadi kegiatan yang jarang dilakukan, selain
hanya untuk mengisi waktu yang benar-benar luang. Setelah memasuki masa pensiun, barulah
seluruh waktunya digunakan untuk menulis. Hampir sebagian besar karya Djelantik Santha
berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya. Tema-tema khas Djelantik
Santha adalah seputar masalah adat, agama, kepecayaan, serta kehidupan bermasyarakat sebuah
59
lingkungan sosial. Hal ini boleh dikatakan merupakan sebuah gambaran multikulturalisme.
Pengalamannya sebagai pegawai bank, berpindah-pindah tugas, serta bertemu berbagai individu
dengan latar belakang yang beragam menjadikan Djelantik Santha fasih bercerita tentang
multikulturalisme.
Awal ketertarikannya berkarya di bidang sastra Bali khususnya sastra Bali modern adalah
sekitar tahun 1977. Saat itu puisinya yang berjudul Siwa Ratri dimuat di harian Bali Post yang
sekaligus menjadi karya pertamanya berbahasa Bali dimuat di media massa. Sejak saat itu ia
mulai konsisten menulis dengan bahasa Bali karena sebelumnya ia lebih banyak berkarya dengan
bahasa Indonesia. Memilih konsisten berkarya dalam sastra Bali modern adalah sebuah pilihan
yang kemudian menjadikan Djelantik Santha sebagai sastrawan senior sastra Bali modern.
Keprihatinan terhadap kondisi sastra Bali modern saat itu juga menjadi salah satu motivator
Djelantik Santha untuk terus dan tetap berkarya dalam sastra Bali modern, meskipun sadar betul
bahwa dunia sastra Bali tidaklah menjanjikan popularitas apalagi materi. Dia juga mengakui dan
mengalami sendiri bahwa sangat minim minat penerbit melirik sastra Bali modern. Menurutnya
merupakan barang langka sebuah penerbit yang mau menampung sastra Bali modern. Oleh
karena itu, lebih banyak karya-karya Djelantik Santha menjadi karya “sastra laci-laci”, artinya,
karya itu ditulis dan dinikmati sendiri lalu disimpan di laci-laci meja. Namun, kini menurut
Djelantik Santha keberadaan Bali Orti 9 sudah cukup membantu para sastrawan Bali modern
untuk mempublikasikan hasil karyanya. Bagi Djelantik Santha, menjadi sastrawan adalah
kepuasan batin, meskipun tanpa materi, dapat memberi arti bagi kehidupannya. Secara rendah
hati dia mengungkapkan bahwa menulis adalah pengabdian dan terpenting karya-karyanya dapat
diterima pembaca.
9
Bali Orti adalah sebuah rubrik khusus berbahasa Bali yang disediakan Bali Post sebagai sebuah apresiasi terhadap
keberadaan bahasa dan sastra Bali, rubrik ini hadir setiap hari Minggu dengan empat halaman.
60
Sedikit kritik disampaikan pada generasi baru penulis-penulis sastra Bali modern
terutama masalah penggunaan tata bahasa. Beberapa karya sastra Bali modern yang sempat
dibaca di Bali Post masih belum tepat penggunaan tata bahasa Balinya (anggah-ungguhing Basa
Bali). Menurut dia, masih banyak penulis kurang memperhatikan tata bahasa Bali yang baik dan
benar dalam menulis. Bagi Djelantik Santha, apabila seseorang mampu berbicara dengan
menggunakan Bahasa Bali menurut rasa bahasa dan tata bahasa yang baik, maka hal tersebut
mencerminkan bahwa ia adalah individu bertata krama dan sopan santun. Besar harapan
Djelantik Santha agar generasi muda yang berminat menulis sastra Bali lebih banyak belajar tata
bahasa Bali, memahaminya dengan benar, lalu mengaplikasikannya dalam karya. dengan
demikian, karya yang dihasilkan tidak hanya berkualitas dari segi sastra, tetapi juga bahasa.
Meskipun belum terlalu banyak menulis karya sastra dalam Bahasa Bali, produktivitas
dan kreativitasnya dalam berkarya telah banyak mendapat pengakuan publik. Novel pertamanya
Tresnané Lebur Ajur Satonden Kembang dimuat secara bersambung di Bali Post 15 Juli - 19
September 1981, kemudian novel ini dicetak ulang dalam bentuk buku tahun 1986. Pada tahun
1979 salah satu karyanya yang berjudul Gamia Gamana mendapat juara II mengarang cerpen
dalam Pesta Kesenian Bali. Pada tahun 2001 dia mendapat penghargaan Cakepan dari majalah
Sarad. Tahun 2002 novel ciptaannya yang berjudul Sembalun Rinjani (2000) mendapatkan
penghargaan Sastra Rancage. Terakhir pada tahun 2003 novelnya yang berjudul Di Bawah
Letusan Gunung Agung (berbahasa Indonesia) menjadi pemenang harapan II dalam lomba
penulisan novel yang diselenggarakan oleh Bali Post . Kini Djelantik Santha tengah
menyelesaikan satu lagi novel berbahasa Bali. Tema yang dianggkat dalam novel terbarunya
masih seputar realitas sosial masyarakat Bali, keseharian masyarakat Bali yang bergulat dengan
61
adat serta tradisi. Novel ini berlatar kisah asmara remaja Bali dengan berbagai
problematikanya.10
Sembalun Rinjani merupakan trilogi novel pertama yang ditulis oleh Djelantik Santha.
Trilogi novel ini memang sejak dulu sudah direncanakan penulisannya oleh Djelantik Santha,
hanya kesibukannya dalam pekerjaan membuat pengerjaan novel ini tertunda sampai akhirnya
novel pertama selesai ditulis pada tahun 2000. Novel pertama ditulis ketika dia mulai memasuki
masa pensiun, lalu majalah Sarad menerbitkannya dalam bentuk buku. Sayangnya peredaran
novel pertama ini kurang maksimal, entah karena peminat sastra Bali modern sedikit sehingga
Sarad mencetak dalam jumlah terbatas atau novel ini sengaja dibuat eksklusif sehingga dicetak
dengan jumlah tidak terlalu banyak. Novel kedua menyusul dua tahun kemudian, yaitu pada
tahun 2002 dengan judul Gitaning Nusa Alit yang akhirnya diterbitkan oleh Balai Bahasa
Denpasar. Novel terakhir terbit dengan jarak yang terpaut cukup jauh, yaitu tiga tahun dengan
novel kedua. Novel ketiga hadir dengan judul Suryak Suwung Mangmung. Novel ketiga ini pun
Trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan novel trilogi pertama yang ditulis oleh
Djelantik Santha. Novel itu direncanakan sejak ia masih aktif bekerja, tetapi baru terealisasi saat
memasuki masa pensiun. Novel ini dibangun dengan kerangka filsafat tingkatan hidup yang
dijalani manusia menurut Hindu, yaitu Catur Asrama11 disandingkan dengan konsep tata bahasa
Bali (Anggah Ungguhing Basa). Tiap-tiap kerangka filsafat menjadi fondasi setiap bagian dari
trilogi novel ini, yaitu mulai dari brahmacari, grahasta, wanaprastha, hingga bhiksuka. Setiap
10
Pada wawancara terakhir (5 januari 2012) pengarang masih belum menemukan judul yang tepat untuk novelnya.
Pengarang juga belum menemukan penerbit yang mau menerima karya terbarunya.
11
Catur Asrama adalah empat tngkatan hidup yang dilalui manusia menurut ajaran Hindu. Keempat tahapan itu
adalah Brahmacari (masa menuntut ilmu/belajar), Grahasta (masa memasuki kehidupan berkeluarga),
Wanaprastha (masa di mana manusia mulai perlahan meningalkan keterikatan duniawi), Bhiksuka (masa ketika
manusia telah meninggalkan kehidupan keduniawian dan lebih banyak menjain hubungan spiritual dengan sang
pencipta).
62
novel disesuaikan penggunaan bahasanya dengan tata bahasa Bali menurut tingkatannya, mulai
dari basa andap, basa madia, hingga basa alus. Kemudian multikulturalisme menjadi isu utama
yang membangun cerita trilogi novel ini. Multikulturalisme dihadirkan mulai dari novel pertama
hingga ketiga dengan menyentuh setiap tataran kehidupan tokoh-tokohnya. Oleh karena itu,
terasa sangat kental nuansa keberagaman dalam kebersamaan yang dihadirkan oleh Djelantik
Santha.
Novel pertama, yaitu Sembalun Rinjani terbangun atas kerangka filsafat brahmacari
dengan bahasa pengantar basa andap. Brahmacari merupakan filosofi Hindu di mana manusia
dalam masa menuntut ilmu pengetahuan. Basa andap merupakan bahasa Bali yang digunakan
dalam pergaulan sehari-hari oleh individu dengan kedudukan yang sama, baik dalam
pemerintahan maupun di masyarakat. Rasa bahasa yang ditimbulkan oleh basa andap tidak
terlalu kasar juga tidak terlalu halus (Suparka dan Anom, 1993: 5). Pada novel pertama ini cerita
yang dihadirkan pengarang cukup ringan, yaitu mengangkat masalah di seputar kehidupan
manusia yang sedang menjalani masa Brahmacari. Berkutat dalam romantika kisah persahabatan
dan percintaan anak-anak muda yang sedang menuntut ilmu. Karena masalah yang disampaikan
adalah masalah yang tergolong sederhana, maka pilihan bahasanya pun menggunakan bahasa
Novel kedua, yaitu Gitaning Nusa Alit dibangun dengan kerangka filosofi grahasta
berbahasa pengantar basa madia. Pada tingkatan grahasta ini manusia telah mulai memasuki
masa yang lebih dewasa, yaitu masa membina rumah tangga. Basa madia merupakan bahasa
Bali yang halus, tetapi rasa bahasanya menengah, artinya tidak terlalu halus juga tidak kasar
sekali. Basa madia ini berada di antara basa andap dan basa alus, dengan rasa bahasa yang
ditimbulkan tidak terlalu halus atau kasar (Suparka dan Anom, 1993: 5). Basa madia kemudian
63
dipilih menjadi bahasa pengantar karena pada masa ini manusia telah mulai belajar
meningkatkan kedewasaan serta kematangan diri, termasuk juga kedewasaan dalam berbahasa.
Novel ini menghadirkan masalah yang lebih kompleks dengan kadar kerumitan cukup tinggi.
Dari masalah yang semakin kompleks inilah setiap tokoh mendapatkan stimulus untuk
pendewasaan diri.
wanaprastha dan bhiksuka berbahasa pengantar basa alus. Wanaprastha dan bhiksuka
merupakan tingkatan terakhir jenjang kehidupan manusia menurut Hindu. Pada tahapan
wanaprastha manusia secara perlahan mulai meninggalkan kehidupan duniawi. Sebaliknya, pada
tahapan bhiksuka manusia telah benar-benar meninggalkan kehidupan duniawi serta totalitas
kehidupan adalah untuk meningkatkan hubungan dengan Sang Pencipta. Basa alus kemudian
menjadi bahasa yang tepat digunakan sebagai bahasa pengantar karena merupakan bahasa
dengan rasa bahasa yang halus. Basa alus merupakan bahasa yang digunakan untuk berbicara
dengan orang yang belum dikenal, orang yang patut dihormati, atau ketika berbicara dengan
orang banyak dalam sebuah pertemuan (Suparka dan Anom, 1993: 5). Masa di mana manusia
telah mulai meninggalkan kehidupan duniawi lalu lebih berfokus pada kegiatan spiritual yang
positif sehingga bahasa dengan rasa bahasa halus tepat sebagai bahasa komunikasi.
Meningkatnya kualitas diri, baik secara mental maupun spiritual juga harus diikuti peningkatan
kualitas bertutur. Tokoh utama menjadi individu yang memasuki masa wanaprastha dan
bhiksuka. Implementasinya pada tokoh adalah dengan mulai memasuki masa pensiun serta mulai
Setiap bagian novel yang telah terbangun oleh kerangka filsafat tingkatan kehidupan
dalam Hindu kemudian dimasukkan jiwa multikulturalisme oleh Djelantik Santha. Novel
64
pertama, Sembalun Rinjani, memulainya dengan persabahatan multietnik yang dilakoni para
tokoh. Persahabatan yang kental antara Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah, Gusti Ayu Sri
Wahyuni, Luh Purnama, Wayan Galang, dan Made Sinar menjadi awal multikulturalisme
sebagai bagian perjalanan hidup setiap tokohnya. Pada novel pertama ini dihadirkan masalah
yang sederhana, tidak terlalu kompleks, sehingga hubungan multietnik terlihat sangat harmonis.
Bahkan, dalam novel ini pengarang menghadirkan kenyataan bahwa multikultur mampu hadir
dalam lingkungan keluarga sekalipun. Hal ini ditunjukkan melalui peristiwa yang dialami oleh
tokoh sekunder Pan Kobar, Wayan Rempuh, Wayan Galang, dan Made Sinar. Djelantik Santha
menyatukan multietnik dalam satu ikatan keluarga, sebuah usaha yang sangat baik untuk
kehidupan. Pan Kobar dan Wayan Rempuh adalah suami istri berlatar belakang etnik Bali yang
mengadopsi anak dari etnik Timor dan etnik Sasak. Kedua anak angkat tersebut diberi nama
sesuai dengan tradisi Bali, anak pertama bernama Wayan Galang (etnik Timor) dan anak kedua
Dalam novel kedua, Gitaning Nusa Alit, atmosfir multikulturalisme semakin terasa
karena tokoh yang hadir dengan latar belakang etnik berbeda kian banyak. Ditambah dengan
latar tempat dan sosial yang kian jamak, mulai dari Lombok, Bali, hingga NTT. Pernikahan
antaretnik kemudian menjadi pilihan pengarang untuk menyatukan perbedaan. Dari sinilah
sebagai sebuah reaksi yang wajar dalam sebuah heterogenitas sosial. Tokoh utama, yaitu Gusti
Ngurah Darsana dan Lale Dumilah yang menjalani pernikahan multietnik dihadapkan pada
kenyataan bahwa lingkungan sosial tempat mereka berada belum sepenuhnya mampu menerima
multikulturalisme dalam jalinan pernikahan. Selain tokoh utama, tokoh sekunder pun disatukan
65
dalam ikatan pernikahan multietnik oleh pengarang. Pernikahan antaretnik dipilih pengarang
untuk lebih menguatkan keberadaan multikulturalisme. Hal itu menegaskan bahwa perbedaan
dapat disatukan melalui hubungan yang paling intim, sekaligus membuka pandangan bahwa
pernikahan dengan latar belakang adat dan kepercayaan yang berbeda bukanlah hal yang tabu.
Suryak Suwung Mangmung menjadi judul novel ketiga sekaligus menjadi bagian akhir
dari trilogi novel Sembalun Rinjani. Djelantik Santha dalam novel ketiga ini masih
ketiga makin banyak tokoh yang melakoni pernikahan antaretnik. Pernikahan merupakan jalan
yang paling mudah untuk menyatukan perbedaan melalui proses asimilasi meskipun memerlukan
waktu yang relatif lama, hasil yang diperoleh menjadi maksimal. Perbedaan-perbedaan dapat
dibicarakan dalam suasana yang lebih intim sehingga mengurangi terjadinya gesekan, bahkan
konflik (Soekanto, 1990: 92). Ketika hubungan keluarga telah terjalin melalui pernikahan, sikap
etnosentrisme mulai dikikis habis. Sikap etnosentris yang tadinya sempat tumbuh dan
berkembang pada setiap tokoh berusaha diredam melalui komunikasi yang lebih intensif serta
peningkatan sikap toleransi. Sikap etnosentris ini merupakan sikap yang menganggap bahwa
segala sesuatu yang menjadi bagian dari kelompoknya adalah terbaik apabila dibandingkan
Seluruh tokoh yang hadir dalam trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan tokoh fiktif
yang hanya berada dalam imajinasi Djelantik Santha. Hanya latar tempat, seperti Gunung
Rinjani, Desa Baledan, Danau Segara Anakan, serta berbagai pura yang muncul dalam novel
merupakan sesuatu yang memang benar-benar ada. Djelantik Santha mengungkapkan bahwa
12
Soekanto lebih lanjut menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan sifat naluriah in-group setiap individu ketika
berhadapan dengan out-group, dan in-group feeling menjadi faktor paling dominan yang menghambat proses
asimilasi.
66
trilogi novel ini merupakan akumulasi pengalaman serta perjalanan hidup yang pernah dijalani
sendiri, tetapi terdapat beberapa tambahan pada bagian cerita novel agar cerita lebih
berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tokoh utama sebagai pegawai di BRI yang mendapat
tugas berpindah-pindah daerah. Kemudian pernikahan antaretnik yang terjadi pada tokoh utama
juga pada beberapa tokoh sekunder. Dapat dilihat juga dari keputusan tokoh utama
menghabiskan masa pensiunnya untuk tinggal di kampung halaman. Beberapa hal di atas
memiliki kesamaan dengan latar kehidupan yang dialami sendiri oleh Djelantik Santha.
Trilogi novel Sembalun Rinjani bagi Djelantik Santha merupakan sebuah gambaran
perjalanan hidupnya. Dari novel ini ia mencoba membagi pengalaman serta pemahaman dengan
pembaca. Berhadapan dan hidup dalam sebuah masyarakat yang heterogen bukanlah sesuatu
yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi dan toleransi sehingga
terjalin hubungan yang harmonis dalam bermasyarakat di lingkungan yang multikultur, tetapi
dengan tidak mengurangi rasa bangga pada adat serta budaya sendiri. Tanpa bermaksud
menggurui, Djelantik Santha memberi pelajaran yang berarti lewat karya fiksi.
67
BAB V
komunitas sosial. Interaksi yang melibatkan berbagai individu dengan latar belakang agama,
etnik, bahasa, serta tradisi masing-masing. Kualitas serta kuantitas bertemunya (interaksi)
berbagai etnik dengan latar belakang yang berbeda merupakan hal utama yang menjadi pokok
pembahasan dalam kajian multikultur. Kualitas menunjukkan seberapa tinggi tingkat kesadaran
tiap-tiap etnik dalam menerima adanya perbedaan dalam lingkungan sosial mereka serta
bagaimana mereka menyikapi perbedaan yang ada. Kuantitas dilihat dari seberapa sering terjadi
pertemuan antaretnik. Hal ini menjadi faktor penentu kualitas dari masyarakat multikultur itu
sendiri. Jika intensitas bertemunya berbagai etnik semakin tinggi serta positif, maka kualitas
multikulturalisme dalam trilogi novel Sembalun Rinjani melihat sejauh mana unsur-unsur budaya
dalam tiap-tiap etnik bersinggungan dalam kehidupan tokoh-tokoh cerita. Unsur-unsur budaya
Bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang mampu menunjukkan latar belakang
penuturnya terutama latar belakang etnik. Sebagai bagian dari sebuah budaya, bahasa merupakan
mediasi pikiran, perasaan, dan perbuatan yang mencerminkan latar belakang budaya penuturnya.
68
Hubungan antara bahasa dan budaya dapat dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) bahasa sebagai
bagian dari budaya, (2) bahasa sebagai indeks budaya, dan (3) bahasa sebagai simbol budaya
(Fishman dalam Yadnya, 2003: 2). Berdasarkan tiga perspektif hubungan bahasa dan budaya
tersebut, dapat dilihat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani dengan jelas sebagai bagian dari
mengakibatkan terjadinya komunikasi multilingual dalam novel. Situasi kebahasaan seperti ini
menjadikan setiap tokoh berbeda etnik saling memahami serta meningkatkan sikap toleransi.
penuturnya. Bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.
Bahasa menguasai cara berpikir dan bertindak manusia13 . Hal ini menjadikan setiap orang yang
ingin terlibat atau memasuki daerah dengan kebudayaan baru harus menguasai bahasa karena
dengan menguasai (paham) bahasa setempat barulah dapat berpartisipasi dan berinteraksi dengan
baik. Gusti Ngurah Darsana sebagai seorang pegawai BRI yang bertugas berpidah-pindah daerah
memiliki kesadaran yang besar tentang arti penting untuk memahami bahasa tempat ia bertugas.
Karena sebagai pegawai bank yang bertugas di daerah, interaksi dengan penduduk lokal tidak
dapat dihindari. Untuk itulah saat mendapat tugas di Lombok ia mulai belajar adat serta bahasa
Sasak.
Kedatangan Gusti Ngurah Darsana ke Lombok disambut baik keluarga Pan Kobar yang
tidak lain adalah bekas pelayan setia Gusti Biang Suci, ibu kandung Gusti Ngurah Darsana.
Keluarga Pan Kobar merupakan etnik Bali yang menetap di Lombok serta telah masuk dalam
13
Hal ini merupakan hipotesis dua ahli linguistik Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (hipotesis Sapir-Whorf),
Chaer, hal. 70.
69
komunitas warga Bali yang terikat Banjar Adat14 Jeruk Manis. Gusti Ngurah Darsana belajar
menjalani kehidupan barunya di Lombok, belajar adat budaya dan bahasa Sasak dari keluarga
Pan Kobar. Selain belajar dari keluarga Pan Kobar, Gusti Ngurah Darsana juga dibantu teman-
Gusti Ngurah Darsana semakin mahir berbahasa Sasak setelah menikah dengan Lale
Dumilah. Setelah menikah Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Komunikasi
dengan bahasa Sasak yang dilakukan oleh Gusti Ngurah Darsana terlihat saat ia menawarkan
sate kepada mertuanya. “Silak sida cicipin bejulu, biar ndik ketemuk laun,” aturne Gusti Ngurah
ring matuanne (Suryak Suung Mangmung, 162). 15 Bahasa Sasak yang digunakan oleh Gusti
Ngurah Darsana terlihat cukup baik. Ia mempelajari bahasa Sasak untuk lebih bisa masuk dalam
kultur Sasak. Digunakannya bahasa Sasak bukan oleh penutur aslinya menguatkan kesan bahwa
bahasa daerah tidak hanya menjadi milik etnik itu. Bahasa daerah dapat dipelajari oleh etnik lain
guna kepentingan komunikasi yang lebih baik. Di samping itu, merupakan salah satu bagian
Hal serupa juga dilakukan Ratna Dumilah ketika baru saja pindah dari Lombok ke
Atambua. Setelah menikah dengan Ratna Dumilah, Gusti Ngurah Darsana mendapat tugas
sebagai kepala Cabang BRI di Atambua. Keadaan ini membuat Ratna Dumilah harus belajar
bahasa serta adat daerah setempat, lebih-lebih suaminya adalah seorang pimpinan bank.
Keinginannya untuk belajar bahasa serta adat setempat disampaikan kepada Bu David istri sopir
yang bertugas di kantor BRI Atambua. “Matur suksma ibu-ibu, tiang kari malajah cara driki.
14
Banjar adat adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil daripada desa dan menjadi bagian dari desa adat.
Banjar merupakan persekutuan hidup sosial, baik dalam keadaan suka maupun duka (Surpha, 2006:75).
15
“Silakan coba dicicipi dahulu, supaya tahu bagaimana rasanya” kata Gusti Ngurah kepada mertuanya (penulis
mengucapkan terima kasih kepada Daniel Ugik karena telah membantu menerjemahkan beberapa kata Sasak
dalam novel).
70
Madak ibu-ibu ten med nelokin tiang meriki, utamane ibu David.” (Gitaning Nusa Alit, 170).16
Keinginan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah untuk belajar adat terutama bahasa
setempat terlihat saat mereka menjadi anggota baru dari sebuah komunitas sosial yang notabene
bukan komunitas asli mereka. Sudah seharusnya ketika memasuki lingkungan baru lebih-lebih
dengan situasi kultur yang berbeda, adaptasi terutama adaptasi bahasa perlu dilakukan. Setelah
mereka mampu berbahasa daerah setempat, mereka akan dengan lebih mudah bersosialisasi
dengan lingkungannya. Ketika mereka mulai menggunakan bahasa daerah setempat, secara
otomatis mereka akan menjadi masyarakat bahasa daerah tersebut. Masyarakat bahasa adalah
sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama (Chaer, 2007: 60 - 61).
Bilingualitas Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah merupakan bilingualitas sejajar, karena
meskipun telah mampu berkomunikasi dengan bahasa daerah lain, mereka masih tetap fasih
berbicara dengan bahasa daerahnya sendiri.17 Upaya untuk mencoba berbaur dengan lingkungan
sosial baru melalui bahasa merupakan langkah yang menunjukkan kesediaan tokoh menerima
multikultur sebagai bagian hidupnya. Ketika bumi dipijak maka langit pun mesti dijunjung
merupakan prinsip dasar yang ditunjukkan kedua tokoh tersebut saat menjadi anggota baru
dua bahasa atau lebih dalam sebuah komunikasi. Hal ini dimungkinkan karena tiap-tiap etnik
memiliki bahasa sendiri sebagai jati diri etniknya. Menyikapi perbedaan bahasa yang terjadi
dalam pergaulan multikultur tersebut, maka sering kali bahasa yang dipakai sebagai komunikasi
adalah bahasa yang berkombinasi. Bahasa yang berkombinasi merupakan situasi tindak tutur
16
“Terima kasih ibu-ibu, saya masih belajar cara hidup di sini. Mudah-mudahan ibu-ibu tidak bosan mengunjungi
saya, terutama ibu David”.
17
Bilingualitas sejajar merupakan kemampuan berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa secara penuh dan
seimbang, kemampuan dan tindak laku tiap-tiap bahasa tersebut terpisah dan bekerja sendiri-sendiri (Nababan,
1991:32).
71
dengan menggunakan lebih dari satu bahasa atau digunakannya kosakata dari bahasa lain dalam
sebuah komunikasi. Komunikasi dengan bahasa yang berkombinasi ini bertujuan untuk
menghormati atau sebagai bentuk variasi serta usaha untuk masuk ke kultur lawan bicara.
Akibatnya muncul bahasa yang campur aduk, berkombinasi. Namun, pembicaraan seperti ini
cenderung mengarah pada pembicaraan pada situasi santai (nonformal) dan akrab. Istilah untuk
keadaan ini dalam linguistik dikenal dengan campur kode (Nababan, 1991: 32).
Campur kode memungkinkan komunikasi terjadi dengan baik di antara dua komunikator
atau lebih meskipun dengan latar belakang etnik yang berbeda. Namun, dengan syarat bahwa
tiap-tiap komunikator telah paham dengan budaya atau bahasa etnik lainnya18. Keadaan bahasa
seperti ini tampak ketika Gusti Ngurah Darsana melakukan kunjungan ke rumah Amaq Gading.
Amaq Gading adalah seorang pengepul sekaligus pedagang hasil pertanian. Untuk memajukan
usahanya, ia mengajukan kredit. Gusti Ngurah Darsana sebagai petugas bagian kredit akan
mengurus semua persyaratannya. Gusti Ngurah Darsana mengunjungi rumah Amaq Gading
untuk melakukan pengecekan semua persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon kredit.
“Om Swastiastu Pak Gusti, tiang mitahenang Pak Gusti banak rauh rainane mangkin,
santukan sampun tengari. Titiang ngantos saking ituni jumah....”Silak deriki di kamar
tamu melinggih Pak Gusti” (Sembalun Rinjani, 72).19
Sambutan yang dilakukan Amaq Gading terhadap Gusti Ngurah Darsana menunjukkan
komunikasi campur kode. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Bali yang diselipi kata-kata
bahasa Sasak. Hal ini diterima dengan baik oleh Gusti Ngurah Darsana. Ia mengerti serta
memahami maksud yang disampaikan Amaq Gading. Tidak terjadi kekeliruan apalagi salah
18
Campur kode juga memungkinkan terjadinya pembelajaran kebudayaan melalui penggunaan kata-kata asing yang
digunakan saat berkomunikasi. Ini terjadi pada tataran leksikal yang dapat juga disebut interferensi leksikal.
19
“Om Swastiastu Pak Gusti, saya kira Pak Gusti tidak akan datang hari ini karena sudah siang. Saya menunggu dari
tadi di rumah…..”silakan duduk di kamar tamu Pak Gusti”.
72
paham dalam komunikasi campur kode tersebut. Meskipun terselip motif ekonomi di balik
hubungan baik mereka, hal ini tidak menjadi landasan dasar bagi Amaq Gading untuk mencoba
berkomunikasi dengan bahasa Bali dan terselip beberapa kata dari bahasa Sasak.
Peranan campur kode ini berhasil menjadikan komunikasi yang efektif di antara
komunikator dengan latar belakang etnik yang berbeda. Komunikasi semacam ini terjadi secara
sadar dilakukan oleh Amaq Gading dan Gusti Ngurah Darsana. Di samping itu, merupakan usaha
yang baik untuk bisa menerima multilingual dalam kehidupan sehari-hari sebagai efek bawaan
dari multikultur. Kesadaran komunikasi campur kode juga dilakukan oleh David dan Alex.
Keduanya adalah sopir di kantor BRI Atambua. Sebagai kepala cabang yang baru di BRI
Atambua, Gusti Ngurah Darsana mendapat fasilitas sopir dan mobil dinas. David dan Alex yang
mendapatkan atasan baru mencoba melakukan komunikasi campur kode sebagai usaha untuk
lebih mengakrabkan diri dengan atasannya. “Ten kenten bu, kitorang sampun med makan apel.
Yen masan apel cara jani hargane murah.” (Gitaning Nusa Alit, 153).20 David dan Alex menjadi
wakil etniknya, yaitu etnik Timor yang mencoba belajar untuk berkomunikasi dengan bahasa
Bali meskipun tersendat dan masuk kata dari bahasa Timor. Pengalaman David dan Alex sebagai
sopir di BRI cukup menjadikan mereka sebagai orang yang sangat sadar akan manfaat
komunikasi multilingual. Hal itu dilakukan sebab sebagai sopir kantor yang atasannya selalu
berganti-ganti, mereka harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan bahasa atasannya yang
berbeda etnik.
Komunikasi campur kode ini terjadi pada situasi yang santai atau informal, yang tidak
menuntut formalitas berlebih. hal tersebut terlihat ketika para tokoh sedang berkomunikasi
20
“Tidak Bu, kami sudah bosan makan apel. Kalau sedang musim apel seperti sekarang ini, harganya murah.”
73
dengan campur kode tidak sedang berada dalam situasi formal (resmi, kantor) meskipun mereka
berkomunikasi dalam hubungan keterikatan formal (antara nasabah dan bank, antara sopir dan
atasan). Kesadaran akan manfaat campur kode dalam komunikasi multikultur terjadi pada hampir
setiap etnik yang berperan dalam trilogi novel, etnik Bali yang diwakili Gusti Ngurah Darsana,
etnik Sasak oleh Amaq Gading, serta etnik Timor oleh David dan Alex. Kesadaran ini tidak
hanya sekadar sebuah toleransi, tetapi pemahaman yang baik terhadap perbedaan bahasa yang
ada di antara mereka. Jika pemahaman multilingual ini hanya dipahami oleh seorang tokoh, tentu
wacana multikultur tidak akan terjadi. Namun, kesadaran serta pemahaman terhadap campur
kode ini terjadi hampir merata pada setiap tokoh sehingga wacana multikultur terbangun di
sektor bahasa. Campur kode dalam masyarakat multikultur tidak begitu saja menghasilkan
keharmonisan dalam keragaman, tetapi diperlukan proses serta jiwa besar setiap individu yang
terlibat di dalamnya.
etniknya sehingga bahasa pun menjadi simbol suatu identitas etnik. Etnisitas terpancar melalui
lingkungan etniknya, sehingga bahasa tersebut menjadi bahasa khas milik mereka atau disebut
21
juga bahasa daerah. Ketika masyarakat makin heterogen pergaulan antaretnik tidak
terhindarkan maka bahasa daerah tersebut mungkin saja digunakan tidak dalam komunikasi
dengan satu etnik yang sama. Bahasa daerah mungkin saja diujarkan saat berinteraksi dengan
etnik lainnya. Hal ini terlihat ketika Inaq Wira bertemu dengan cucunya Gusti Ayu Kendariyani
(Gung Yani) setelah cucunya sempat hilang saat melakukan persembahyangan ke Pura
21
Karena bahasa daerah merupakan sarana komunikasi khas yang jadi milik suatu etnik, maka bahasa berperaan
sebagai inventaris dari kebudayaannya masing-masing. Nababan,1991:39.
74
aneh, yaitu kabut tebal serta angin kencang tiba-tiba datang dan Gung Yani pun menghilang
dalam tebalnya kabut. Sehubungan dengan itu, Jro Mangku Pasek, Mangku Nésa, serta warga
Banjar Sogra meminjamkan seperangkat gamelan sebagai sarana untuk menemukan Gung Yani.
Gamelan dibunyikan sekeras-kerasnya dan tak berapa lama Gung Yani pun muncul dari balik
pohon cemara sambil membawa sangku 22 yang berisi tirta 23 . Kejadian ini membuat semua
keluarga Gusti Ngurah Darsana panik, tidak terkecuali mertuanya, Inaq24 Wira.
“Brembé sangkak sida doang jari pangawéan dengan, keni begiq, katemuk lara marak
nika?” Aturne Inaq Wira saha ngelut putune kasih-asih. (Suryak Suung Mangmung,
110).25
Bahasa Sasak yang secara spontan diucapkan Inaq Wira saat bertemu kembali dengan
cucunya yang sempat hilang menunjukkan bahwa tanpa sadar Inaq Wira memperlihatkan
etnisitasnya di tengah komunitas etnik Bali. Etnisitas yang ditunjukkan melalui bahasa seolah-
olah mengukuhkan keberadaannya sebagai individu yang berbeda, tetapi namun tetap dapat
berinteraksi dengan baik di lingkungannya. Meskipun berada dalam lingkungan yang heterogen,
Inaq Wira tetap tak mau kehilangan rasa fanatis terhadap etniknya sendiri, setidaknya melalui
bahasa ia menunjukkan eksistensi kedaerahannya. Pada kesempatan lain juga Inaq Wira
“Biar té paran belog ngubuh marak nika Tu Biang? Lasingan bagusan lepas, bebas mlai
mrika-mriki, dait tekurung. Cobak sida tekurung doang, brembe, masih ndik meléq”
(Suryak Suung Mangmung, 128). 26
Inaq Wira yang berada di lingkungan baru di mana ia menjadi golongan minoritas tidak
22
Bejana yang terbuat dari logam.
23
Air suci dalam setiap ritual agama Hindu
24
Inaq merupakan panggilan ibu dalam bahasa Sasak.
25
“Kenapa selalu saja menjadi penyebab kesedihan, terkena penyakit, terkena musibah?” Tanya Inaq Wira sambil
memeluk cucunya dengan kasih.
26
“Walaupun kita tidak pandai memelihara, bukan begitu Tu Biang? Rasanya lebih baik dilepas, bebas ke sana
kemari, tidak dikurung. Coba dikurung saja, tidak mungkin masih hidup.”
75
Toleransi yang diberikan keluarga besar Gusti Ngurah Darsana sebagai golongan mayoritas
menjadikan Inaq Wira merasa nyaman meskipun komunikasi verbal yang dilakukan
menggunakan bahasa Sasak. Secara sadar Inaq Wira menggunakan bahasa daerahnya untuk
bereaksi atas suatu peristiwa, meskipun ia sedang tidak berada dalam lingkungan sosial bahasa
tersebut. Lawan bicara yang tidak sepenuhnya paham, tetapi dapat menerima maksud yang
disampaikan Inaq Wira.27 Spontanitas ini bisa jadi merupakan suatu usaha penguatan identitas
etnik secara spontan, tanpa disadari dan tentu saja tidak ada maksud untuk bersikap fanatik yang
berlebihan. Keberadaan berbagai bahasa daerah sebagai salah satu bagian dari kebudayaan
nasional merupakan suatu yang perlu disikapi dengan bijaksana. Tokoh-tokoh dalam novel
menunjukkan sikap yang positif terhadap hal tersebut. Ketika menjadi mayoritas tidak selalu
harus memonopoli dan saat berada pada posisi minoritas tidak selalu mesti terhegemoni.
Adat serta tradisi menjadi salah satu komponen penting sebuah kebudayaan masyarakat
dan dalam masyarakat multikultur keduanya menjadi hal yang paling sering menimbulkan
gesekan. Multikulturalisme sebagai sebuah wadah kultural mengakomodasi banyak adat serta
tradisi sebagai bagian yang terintegrasi dalam sebuah masyarakat heterogen. Salah satu
fenomena dari sisi tradisi yang terjadi dalam masyarakat multikultur adalah pernikahan
eksogami. Pernikahan eksogami merupakan pernikahan yang terjadi antaretnik, klan, atau suku
dalam satu lingkungan yang sama. Pernikahan ini hanya mungkin terjadi pada masyarakat
27
Hal ini sesuai dengan teori sosial Culture Pluralism: Mosaic Analogy, setiap individu yang berbeda latar belakang
agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis.
Ricardo L. Garcia, Teaching in a Pluralism Society: Consepts, Models, Strategies. New York, Harper& Row
Publisher, hal. 37-42.
76
multikultur, baik dengan latar belakang etnik, suku, maupun klan yang beragam dan berinteraksi
dalam satu lingkungan sama. Tokoh-tokoh yang menjalani pernikahan eksogami berawal dari
persahabatan serta interaksi dalam satu lingkungan. Meskipun terdapat perbedaan di antara
mereka, tampaknya cinta telah meleburkan batas yang diciptakan oleh perbedaan. Pernikahan
eksogami bisa saja dijadikan indikator sejauh mana tingkat penerimaan masyarakat terhadap
multikulturalisme.28
Pernikahan eksogami terjadi pada tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana dan Lale
Dumilah. Gusti Ngurah Darsana yang baru saja pindah tugas di BRI Mataram menjalin
persahabatan dengan Lale Dumilah, Wayan Galang, Gusti Ayu Sri, Luh Purnama, dan Made
Sinar. Awal hubungan mereka adalah ketika Lale Dumilah ikut dalam perjalanan mendaki ke
puncak Gunung Rinjani bersama rombongan Gusti Ngurah Darsana. Gusti Ngurah Darsana pun
memiliki perasaan yang sama dan menyatakan cintanya pada Lale Dumilah. “Nah Denda
sampunang ragu, né bungkung tiangé anggon paingetan. Né cirinné tresnan tiangé pamuput
serahang tiang...” (Sembalun Rinjani, 198).29 Hubungan mereka menginjak ke arah pernikahan
setelah Gusti Ngurah Darsana mengetahui bahwa ia akan dipindahtugaskan ke BRI Atambua.
Rupanya keinginan Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah untuk menikah ditentang
oleh kedua orang tua Lale Dumilah. Sikap ini ditunjukkan oleh ayah Ratna Dumilah, yaitu
Mamiq30 Wira yang dimintai pendapat oleh Lalu Wiradana jika benar adiknya akan menikah
28
Eksogami adalah perkawinan antaretnis, suku, klan dalam lingkungan yang berbeda.
29
“Nah Denda jangan ragu lagi, cincin saya ini sebagai pengingat. Ini bukti cinta saya telah saya serahkan
sepenuhnya...”
30
Mamiq merupakan panggilan bapak dalam masyarakat etnik Sasak
77
“yen alih keberatané dong saja keberatan, ngelah panak nganten ajak anak uli joh buina
malenan agama. Elek saja teken pisagané mirib tusing taen mituturin pianak.” (Gitaning
Nusa Alit, 31).31
Pernyataan yang diutarakan oleh ayah Ratna Dumilah menegaskan bahwa ia tidak dapat
menerima pernikahan beda agama yang akan dijalani putrinya. Ia merasa malu dengan keluarga
besar jika sampai anaknya menikah dengan orang berbeda keyakinan. Namun, tanpa sadar ia
sendiri rupanya menyetujui saat dulu anak pertamanya, yaitu Lalu Wiradana ketika akan
menikah dengan Gusti Ayu Sasih yang juga berbeda agama. Sikap ambivalen yang diperlihatkan
Mamiq Wira menjadikannya sebagai individu yang tidak bisa menerima begitu saja adanya
multikulturalisme. Di samping itu terlihat juga bahwa sistem patriarki masih menjadikan
perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan takluk pada aturan adat serta keyakinan usang.
Akhirnya atas dukungan Lalu Wiradana, kakak Lale Dumilah, mereka memutuskan untuk
ngarorod (kawin lari) atau dalam istilah Sasak dikenal dengan merarik.
Ngarorod merupakan salah satu sistem perkawinan adat Bali yang dilakukan apabila kedua
mempelai tidak mendapat persetujuan menikah dari salah satu pihak keluarga (biasanya dari
pihak keluarga wanita). Hal itulah menyebabkan mereka sepakat untuk ngarorod (kawin lari)
dan si wanita akan disembunyikan di rumah kerabat mempelai laki-laki yang disebut pengkeban
(Arnati, 2002:9). Proses ngarorod Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah berlangsung dengan
bantuan warga Banjar Jeruk Manis, lingkungan masyarakat Bali yang tinggal di Mataram.
Pernikahan antara dua etnik yang berbeda ini tetap berlangsung dengan meriah meskipun tidak
mendapat persetujuan penuh pihak keluarga perempuan. Upacara dilangsungkan dengan adat
31
”Jika dicari masalah keberatan, memang benar keberatan,mempunyai anak menikah dengan
orang dari jauh dan berlainan agama. Malu terhadap tetangga disangka tidak pernah menasihati
anak.”
78
Bali dan dibagi dalam dua tahap, yaitu mabiakala 32 dan makala-kalaan 33 . Prosesi mabiakala
Karangasem rumah asal Gusti Ngurah Darsana. Lale Dumilah resmi menjad istri Gusti Ngurah
Darsana dan mendapat nama baru, yaitu Jro Ratna Dumilah. Nama ini diberikan oleh Gusti
Ngurah Bagus dan Gusti Biang Suci, orang tua Gusti Ngurah Darsana. “Inggih yen wantah
asapunika titiang amung ngawewehin antuk “RATNA” mangda dados “RATNA DUMILAH”
(Gitaning Nusa Alit, 93). 34 Pemberian nama oleh orang tua laki-laki kepada menantunya
merupakan tradisi masyarakat Hindu Bali dari kalangan tri wangsa. Hal ini terjadi ketika anak
laki-laki mereka menikah dengan wanita yang tidak sewangsa atau dari etnik lain. Umumnya
penambahan nama pada pengantin wanita menggunakan nama jenis-jenis bunga dengan diawali
kata jro.
Pernikahan antaretnik tidak hanya terjadi pada tokoh utama, beberapa tokoh sekunder
juga melakukan pernikahan eksogami. Kakak Ratna Dumilah, yaitu Lalu Wiradana juga menikah
tidak dengan wanita seetnik. Ia menikah dengan wanita Bali bernama Gusti Ayu Sasih, seorang
perawat yang bertugas di rumah sakit Mataram. Selanjutnya ada tokoh Hendun seorang gadis
Lombok yang menikah dengan Pak Kirno yang berasal dari etnik Jawa. Hendun sendiri masih
memiliki hubungan keluarga dengan Ratna Dumilah, ayah mereka adalah saudara sepupu. Putra
pertama Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah, yaitu Gusti Ngurah Anantha Bhuana juga
menikah dengan sorang gadis dari etnik Dayak bernama Diah Rengsi Pitaloka (Suryak Suwung
Mangmung). Selain itu, pernikahan antaretnik juga terjadi pada Meina Victoria dengan Dokter
32
Mabiakala merupakan bagian dari upacara pernikahan Hindu Bali yang merupakan simbol penyambutan masuk
dalam lingkungan keluarga laki-laki bagi mempelai wanita (Sudharta, 1993: 122).
33
Makala-kalaan adalah bagian terpenting dalam prosesi pernikahan Hindu Bali. Pada upacara ini dilakukan simbol
pembersihan terhadap kedua mempelai. Dengan upacara ini secara ritual pernikahan sudah dianggap sah, karena
upacara itu disaksikan oleh Tuhan dalam bentuk api takepan dan saksi dari keluarga serta perangkat desa.
34
“Baiklah, jika begitu saya hanya akan menambahkan dengan “RATNA” agar menjadi “RATNA DUMILAH.”
79
Agung Khrisna Meina sendiri adalah seorang gadis etnik Timor yang dijadikan pembantu oleh
Gusti Ngurah Darsana saat bertugas di BRI Atambua. Karena kebaikan Gusti Ngurah Darsana
dan Ratna Dumilah, Meina Victoria berhasil dipertemukan dengan kakak kandungnya yang
ternyata teman sepermainan mereka saat di Lombok, yaitu Wayan Galang (Suryak Suwung
Mangmung, 84).
Meskipun tidak semua pernikahan eksogami yang dijalani tokoh-tokoh dalam novel dapat
diterima begitu saja oleh pihak keluarga, semuanya mengalami proses yang cukup panjang.
Misalnya, keluarga besar Ratna Dumilah yang tidak bisa begitu saja menerima ketika anaknya
akan menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dan berbeda etnik. Akan tetapi, pada
akhirnya kedua orang tua Ratna Dumilah dapat menerima pernikahan anaknya dengan Gusti
Ngurah Darsana setelah anaknya berangkat ke Atambua bersama suaminya. Bentuk penerimaan
yang diperlihatkan oleh kedua orang tua Ratna Dumilah adalah wujud dari integrasi sebagai
akhir dari konflik sosial akibat multikulturalisme. Meleburnya batas-batas etnik melalui
perkawinan memang bukan hal yang mudah. Namun, merupakan salah satu jalan terbaik
Masyarakat dengan latar belakang tradisional yang kuat akan menjaga adat serta
tradisinya masing-masing dengan kuat pula. Bahkan, ketika menjadi kaum minoritas pun tradisi
serta adat yang dibawa dari tanah kelahirannya akan tetap dipertahankan. 35 Namun, demikian
dalam multikulturalisme persinggungan yang tak terhindarkan dari adat dan tradisi menjadikan
masyarakatnya lebih menghargai serta memahami satu sama lain tanpa harus meninggalkan
prinsip serta identitasnya masing-masing. Hak-hak untuk tetap eksis serta tetap dapat
35
Bagi masyarakat tradisi kebudayaan merupakan pandangan hidup (world view). Jadi, kemana pun mereka pergi,
pandangan hidup mereka tidak akan pernah ditinggalkan.
80
mengindentifikasikan jati diri tradisi terlihat ketika Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah
“Rabiné menekang banten perani, kelanan lan daksina di pelangkiran kamaré muah ulun
pekarangané. Suud malukat Gusti Ngurah Darsana lantas ngenjit dupa, ngantebang
bantené nunas laluputan lan keselametan ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mina kadi
sang sapa sira ugi ané milu nongos drika.” (Gitaning Nusa Alit, 169). 36
Upacara pemelaspasan yang dilakukan oleh Gusti Ngurah Darsana serta Ratna Dumilah
menunjukkan bahwa sebagai masyarakat tradisi Gusti Ngurah Darsana tetap menjalankan tradisi
serta adatnya meskipun berada di daerah yang jauh dari tanah kelahirannya. Pemelaspasan
menjadi bagian dari tradisi masyarakat Hindu Bali saat akan menempati rumah yang baru. Bagi
masyarakat Hindu di Bali, upacara ini merupakan hal yang wajib dilaksanakan serta menjadi hal
yang lumrah di Bali. Pelaksanaan tradisi ini membawa kesan yang berbeda ketika dilaksanakan
di luar Bali. Kesan ini muncul dari orang-orang di luar komunitas Hindu Bali. Para pegawai bank
yang diundang oleh Gusti Ngurah Darsana untuk hadir pada upacara pemelaspasan merasa heran
sekaligus kagum melihat jalannya upacara tersebut. Banyak buah, kue, serta bunga-bungaan
yang menjadi sarana upacara, begitu pula dengan prosesi upacara yang di mata mereka terlihat
asing. “Ibu-ibu patulungé bengong pakerimik mabalih” (Gitaning Nusa Alit, 169). 37 Para
pegawai bank yang diminta bantuannya oleh Gusti Ngurah Darsana saling berbisik melihat
prosesi pemelaspasan yang baru pertama kali dilihat. Setelah upacara selesai, Gusti Ngurah
Darsana menjelaskan apa makna serta fungsi dilaksanakannya upacara pemelaspasan tadi kepada
para pegawai bank yang hadir. Hal yang paling penting di sini adalah adanya toleransi dari
36
“Istrinya menaikkan banten perani, kelanan dan daksina di pelangkiran kamarnya dan arah ke
pekarangan. Sesudah melukat lalu Gusti Ngurah Darsana menghidupkan dupa.
Mempersembahkan banten meminta pembebasan dan keselamatan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dan siapa pun yang benar-benar ikut tinggal di sini.”
37
“Ibu-ibu yang ikut membantu bengong sambil berbisik-bisik menyaksikan.”
81
masyarakat sekitar rumah Gusti Ngurah Darsana. Para tetangga tidak merasa terganggu dengan
pelaksanaan tradisi tersebut. Malah mereka saling menolong untuk menyelesaikan persiapan
Selain melakukan upacara pemelaspasan, sebagai orang Hindu Bali, Gusti Ngurah
Darsana juga melakukan upacara magedong-gedongan saat usia kandungan Ratna Dumilah
sudah menginjak bulan. Upacara ini juga dihadiri orang-orang di sekitar kediaman Gusti Ngurah
Darsana. Mereka hadir untuk ikut membantu persiapan pelaksanaan upacara tersebut sekaligus
ikut berpartisipasi saat pelaksanaan upacara. Hal ini terlihat ketika prosesi penyiraman Ratna
Dumilah.
“Magilihan pada nyiramin Ratna Dumilah baan yeh kumkuman lan bunga kembang rampe
sarwa miyik limang macem nganti ngilgilang, saha doa.” (Gitaning Nusa Alit, 184).38
Semua undangan yang datang ikut berpartisipasi melakukan prosesi penyiraman Ratna
Dumilah serta turut memberikan doa agar bayi dalam kandungannya sehat. Setelah prosesi
magedong-gedongan yang bermakna agar si anak murah rezeki, rezeki anak diwakilkan melalui
sang ibu yang berjualan dan barang dagangannya laris dibeli (Sudharta, 1993: 11). Semua tamu
yang hadir ikut berpartisipasi dalam prosesi ini dengan menjadi pembeli. “Ané mabelanja tuah
tamiuné makejang. Marebut pada mabelanja takut ten kebagian rujak lan cendol.” (Gitaning
Nusa Alit, 185). 39 Semua undangan berpartisipasi aktif dalam rangkaian prosesi magedong-
gedongan.
38
“Bergiliran menyirami Rare Dumilah dengan yeh kumkuman dan bunga kembang rampe yang
serba harum lima macam hingga menggigil, serta doa.”
39
“Yang ikut berbelanja adalah semua tamu. Saling berebut takut tidak kebagian rujak dan cendol.”
82
Selain upacara magedong-gedongan, Gusti Ngurah Darsana juga melangsungkan upacara
nelu bulanin40 yang dilangsungkan ketika anaknya berusia tiga bulan. Pada upacara inilah anak
Gusti Ngurah Darsana untuk pertama kali diberi nama, yaitu Gusti Ngurah Anantha Bhuwana.
Pada upacara ini pun banyak undangan yang hadir untuk menyaksikan nelu bulanin putra
pertama Gusti Ngurah Darsana. Para pegawai bank, anggota TNI, pengusaha, serta pedagang
semua berbaur dalam acara yang diselenggarakan oleh Gusti Ngurah Darsana. Semua menikmati
serta mengikuti prosesi nelu bulanin putra pertama Gusti Ngurah Darsana.
Keterlibatan orang-orang yang berlatang belakang tidak hanya etnik Bali menjadikan
prosesi pemelaspasan, magedong-gedongan, dan nelu bulanin yang berlangsung di rumah Gusti
Ngurah Darsana unik sekaligus menarik. Unik karena sebagai orang Hindu Bali, Gusti Ngurah
magedong-gedongan dan nelu bulanin meskipun tidak berada di tanah kelahirannya. Bahkan,
Gusti Ngurah Darsana mengajak serta orang-orang nonetnik Bali untuk ikut terlibat dalam
prosesi tersebut, tidak ada kecanggungan yang diperlihatkan, baik oleh Gusti Ngurang Darsana
maupun para undangan yang ikut terlibat. Sisi menariknya adalah tumbuh dan berkembang rasa
kebersamaan, toleransi, serta rasa memiliki di antara masyarakat multikultur melalui sebuah
Bentuk tradisi yang juga menjadikan komunitas heterogen berbaur baik dalam satu
lingkungan adalah magibung. Tradisi magibung atau makan bersama-sama dalam satu kelompok
memang tidak hanya dikenal di Bali, di Lombok atau daerah lain pun dikenal tradisi makan
40
Nelu bulanan dilaksanakan saat bayi berumur tiga bulan. Upacara ini merupakan simbol perpisahan dengan
eampat saudara bayi yang mengikuti serta menolong bayi saat lahir. Perpisahan ini hanya melepaskan unsur
negatif yang dibawa oleh empat saudara bayi tersebut. Namun, unsur jiwanya masih tetap dekat dan membantu
bayi hingga tua nanti.
83
bersama semacam ini41. Hanya dalam trilogi novel Sembalun Rinjani tradisi magibung menjadi
salah satu ikon tradisi masyarakat Bali yang menjadi media berbaurnya multietnik. Lalu
Wiradana sebagai etnik Sasak ingin mencoba magibung pada saat persiapan upacara otonan cucu
pertama Gusti Ngurah Darsana. “Nggih Yan, Beliq masih lakar magibung. Apang taen magibung
cara sameton di Bali” (Suryak Suung Mangmung, 83).42 Upacara otonan yang dilaksanakan di
Jro Baledan Karangasem mengundang seluruh keluarga besar Gusti Ngurah Darsana dan Ratna
Dumilah. Keluarga dari Lombok semua hadir untuk mengikuti upacara tersebut. Pada
kesempatan inilah Lalu Wiradana dan Inaq Wira untuk pertama kalinya mengikuti tradisi
magibung ala Bali. Posisi Lalu Wiradana dan Inaq Wira memang berada pada kaum minoritas
karena mereka hadir di tengah-tengah komunitas Hindu Bali di Jro Baledan Karangasem.
Meskipun demikian, mereka diterima dengan baik serta dapat masuk ke dalam tradisi lokal tanpa
rasa ragu. Hanya mereka harus menyesuaikan diri dengan masakan yang dihidangkan pada saat
magibung. Hal serupa juga sempat dialami oleh Ratna Dumilah dan Diah Rengsi Pitaloka saat
Berbicara mengenai adat serta tradisi sebuah etnik, tentu tidak akan lepas dari kekhasan
yang menjadi ciri-ciri etnik tersebut di antaranya adalah kuliner. Makanan merupakan bagian
terpenting dalam proses hidup manusia. Untuk itu, makanan serta prosesnya pun mengalami
perkembangan dan perubahan seperti halnya manusia. Proses awalnya manusia mendapatkan
makanan dengan berburu, kemudian berkembang menjadi bercocok tanam lalu meramu. Pada
fase meramu inilah ketersediaan bahan di alam yang berbeda menjadikan tiap-tiap etnik memiliki
masakan yang berbeda dan kemudian menjadi ciri khas yang dikenal dengan masakan daerah.
41
Magibung sendiri diciptakan oleh I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Raja Karangasem yang memimpin ekspansi
ke Lombok. Magibung ini awalnya berfungsi sebagai sarana absensi pasukan yang ikut berperang.
42
“Baik Yan, kakak juga akan magibung. Supaya pernah magibung dengan cara Bali.”
84
Hal seperti itulah yang terlihat dalam novel, yaitu tidak hanya orang-orangnya yang berbaur
dalam keberagaman, tetapi masakan daerah juga hadir sebagai pelengkap suasana multikultur.
Perpaduan kuliner ini terlihat ketika acara pernikahan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah,
“Sejaba masakan Bali, timbungan, lawar, sate, lan jukut olah, masih mimbuh masakan
cara Sasak, ayam taliwang, plecing kangkung, lan beberok.” (Gitaning Nusa Alit, 140).43
Dalam kutipan itu terlihat bahwa multikulturalisme tidak hanya dapat terjadi pada
individu, tetapi juga pada masakan daerah yang dibawa oleh tiap-tiap etnik. Perpaduan hidangan
yang disuguhkan pada acara pernikahan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah seolah turut
Setelah menikah dan pindah tugas ke Atambua, Gusti Ngurah Darsana dan Ratna
Dumilah untuk pertama kalinya mencicipi masakan khas Timor saat diundang makan di rumah
Pak Abu. Pak Abu adalah kepala cabang BRI Atambua yang digantikan tugasnya oleh Gusti
Ngurah Darsana. Pada jamuan makan tersebut, Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah
merasa puas menikmati masakan laut khas Timor. Kepuasan mereka terlihat dengan
menghabiskan semua hidangan yang disajikan. “Mangkin ajaka patpat pada madaar namtamin
kaluihan masakanné, uli sop kepiting, kakap lan bandeng bakar telah ludes” (Gitaning Nusa
Alit, 154).44 Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah benar-benar menikmati masakan khas
Timor meskipun baru pertama kali mencobanya, dari situ muncul keinginan Ratna Dumilah
untuk belajar memasak makanan ala Timor. Ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap
perbedaan kuliner bisa langsung terjadi meskipun baru pertama kali mencobanya. Artinya, tak
43
“Selain merasakan masakan Bali, timbungan, lawar, dan olahan berbagai sayur, masih ditambah lagi dengan
masakan khas Sasak, ayam taliwang, plecing, dan beberok.”
44
“Sekarang mereka berempat mulai makan, menikmati masakan, dari sop kepala ikan, kakap dan bandeng bakar,
semuanya habis.”
85
butuh waktu lama bagi Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah untuk beradaptasi dengan
Meskipun telah berada pada lingkungan kuliner yang baru, Gusti Ngurah Darsanan tetap
membawa ciri khas masakan Bali dan Lombok. Pada setiap acara yang dilangsungkan di rumah
jabatannya tidak pernah absen hidangan perpaduan Bali, Lombok, dan ditambah pula hidangan
khas Timor. Hadirnya perpaduan kuliner dari tiga etnik tersebut dapat diihat ketika Gusti Ngurah
Darsana menggelar upacara telu bulanan 45 putra pertamanya. Acara yang diadakan dengan
meriah di rumah jabatannya mengundang banyak tamu dengan berbagai latar belakang. Masakan
khas Bali dibuat oleh Pak Made dan Pak Cerik dibantu oleh Gusti Ngurah Darsana. Masakan
khas Lombok dibuat sendiri oleh Ratna Dumilah, sedangkan masakan khas Timor dikerjakan
Semua undangan yang hadir merasakan aneka masakan yang memadukan sekaligus
masakan khas Bali, Lombok dan Timor. Latar belakang etnik yang berbeda tidak menghalangi
keinginan untuk berbaur serta mencicipi kekhasan masakan masing-masing. Bahkan, kepuasan
terlihat dari David dan Alex ketika mencicipi masakan khas Bali. Hal serupa juga dirasakan Cik
Kong Amio, seorang etnik Tionghoa, yang merupakan salah satu nasabah Gusti Ngurah Darsana.
”David lan Alex nganti pindo mimbuh. Cik Kong Amio ajak kurenané masih tuara nyak keserian
naar be guling, lawar, lan jukut ares” (Gitaning Nusa Alit, 242).46 Kepuasan yang ditunjukkan
oleh David, Alex, serta Cik Kong Amio bisa dijadikan cermin penerimaan yang dilakukan tokoh
seberapa jauh mereka dapat betul-betul menerima serta masuk dalam tradisi kuliner yang bukan
45
Sama dengan nelu bulanin
46
“David dan Alex dua kali menambah makan. Cik Kong Amio dan istrinya juga tidak ketinggalan menikmati babi
guling, lawar, dan sayur ares.”
86
milik mereka. Hal ini diungkapkan dalam novel bahwa David dan Alex sampai membuka ikat
pinggangnya karena kekenyangan dan Cik Kong Amio mengundang Gusti Ngurah Darsana
dalam acara uang tahun anaknya nanti sebagai juru masak. Cik Kong Amio meminta Gusti
Ngurah Darsana membuatkan lawar dan babi guling pada saat acara ulang tahun anaknya.
Kuliner juga mendapat imbas dari multikturalisme yang secara langsung mampu menghadirkan
Terdapat satu hal menarik dalam hal tradisi yang berkaitan dengan multikulturalisme
dalam trilogi novel Sembalun Rinjani, yaitu pengadopsian atau pengangkatan anak (memeras
sentana). Hukum adat Bali mengenal pengangkatan anak (memeras sentana) serta aturannya
mengacu pada peraturan 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris berlaku bagi penduduk Hindu
Bali dari Kabupaten Buleleng yang dikeluarkan oleh Residen Bali Lombok. Aturan adat
(paswara) tersebut menegaskan bahwa pengangkatan anak yang dapat diterima oleh hukum adat
adalah pengangkatan anak dari keturunan keluarga laki-laki serta harus berasal dari kasta dan
agama yang sama. Upacara adat yang harus dilakukan sebagai bentuk pengesahan seseorang
mengangkat anak adalah Widi widana yang dilakukan oleh pendeta serta disaksikan oleh
Pengangkatan anak dalam trilogi novel Sembalun Rinjani dilakukan oleh Pan Kobar dan
Wayan Rempuh. Pengangkatan anak dilakukan karena setelah sepuluh tahun menikah belum
juga memiliki anak. Ketika pindah dari Bali dan menetap di Lombok mereka memutuskan untuk
mengangkat anak. Anak pertama yang diadopsi adalah Wayan Galang, Wayan Galang
sesungguhnya adalah anak seorang perawat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Ibu
kandung Wayan Galang adalah seorang etnik Timor dari Pulau Rote, sedangkan ayahnya adalah
seorang tentara Belanda beragama Kristen. Akibat perang, kedua orang tuanya meninggal dan ia
87
diadobsi oleh Pan Kobar melalui Dokter Nurja. Dokter Nurja adalah dokter berasal dari Bali
yang bertugas di NTT serta merupakan atasan ibu kandung Wayan Galang.
Anak kedua yang diadopsi oleh Pan Kobar dan Wayan Rempuh adalah Made Sinar. Made
Sinar diadopsi dari seorang gadis Sasak yang ditolong oleh Wayan Rempuh di pasar. Ibu
kandung Made Sinar bernama Asmarinah, seorang gadis Sasak yang berasal dari Desa Tolot-
tolot. Ia pergi ke Cakranegara karena di desanya sedang musim paceklik dan suaminya baru saja
meninggal. Atas kebaikan Wayan Rempuh, ia diajak tinggal bersama dan dipekerjakan untuk
membantu Wayan Rempuh berjualan di pasar. Saat bertemu dengan Wayan Rempuh, Asmarinah
memang telah hamil tua. Setelah 15 hari bersama Wayan Rempuh, ia melahirkan seorang anak
perempuan. Anak perempuan Asmarinah diserahkan kepada Pan Kobar dan Wayan Rempuh
untuk diadopsi karena ia telah berjanji pada dirinya untuk menyerahkan anaknya bagi siapa yang
ikhlas membantunya dalam kesusahan. Asmarinah kemudian menikah dengan seorang tentara
yang berasal dari Bali bernama Gede Made Samudra. Setelah menikah Gede Made Samudra dan
Asmarinah pindah ke Balikpapan. Namun, sayang kapal yang tumpangi tenggelam dan mereka
pun meninggal.
Melihat silsilah kedua anak angkat Pan Kobar dan Wayan Rempuh tentu saja tidak sesuai
dengan hukum adat yang berlaku jika kedua anak tersebut diadopsi. Pertama, kedua anak
tersebut bukan dari keturunan laki-laki ataupun perempuan. Kedua, jelas anak-anak tersebut
tidak berasal dari agama apalagi kasta orang tua angkatnya. Namun, kedua anak tersebut telah
melalui upacara adat sesuai dengan aturan yang berlaku dalam hukum adat Bali yaitu Widi
88
“Inggih, ipun sampun pianak titiangé makekalih, sampun kawidi-widanain, kaperas dados
panak titiang antuk Ida Pedanda Wayan Sidemen. Ida taler ngicen adan Wayan Galang
lan Made Sinar.” Keto Pan Kobar mragatang critané. (Sembalun Rinjani, 2001: 136).47
Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pan Kobar dan Wayan Rempuh sesungguhnya
melanggar hukum adat yang berlaku karena kedua anak angkatnya tidak berasal dari agama
Hindu dan bukan dari keturunan keluarga mereka. Namun, hal tersebut tidak menjadi halangan,
Masyarakat banjar adat tempat mereka tinggal pun tidak mempermasalahkannya. Hal ini
menunjukkan bahwa Pan Kobar, Wayan Rempuh, dan masyarakat Banjar Jeruk Manis bukanlah
masyarakat adat yang kaku dan terpaku pada hukum adat kuno. Hukum adat seharusnya bersifat
fleksibel, yaitu mengikuti perkembangan zaman, tetapi tetap berpegang pada norma agama
sebagai jiwa dari adat tersebut. Pengangkatan anak yang dilakukan Pan Kobar dan Wayan
Rempuh menunjukkan mereka adalah orang yang betul-betul menjalankan prinsip dasar dari
multikulturalisme meskipun mereka sendiri tidak menyadari hal tersebut. Perbedaan agama serta
suku tidak menjadi halangan bagi mereka untuk membantu serta mengangkat anak dengan latar
belakang berbeda. Menarik untuk dipahami bahwa keluarga Pan Kobar akhirnya menjadi sebuah
miniatur kehidupan multikultur karena sejatinya mereka sekeluarga terdiri atas berbagai etnik.
Hidup rukun menjadi sebuah keluarga kecil yang bahagia. Meskipun merupakan anak angkat,
Wayan Galang dan Made Sinar tetap menjalankan kewajiban sebagai anak layaknya anak
kandung, baik kewajiban adat maupun kewajiban agama tempat mereka kini bernaung.
belakang etnik, tetapi juga mengintegrasikan segala bentuk tradisi serta adat yang dibawa oleh
tiap-tiap etnik. Hadirnya toleransi, sirnanya kecanggungan, dan positifnya terhadap setiap
47
“Benar, mereka berdualah anak saya. Sudah di-widi widana, diangkat jadi anak saya oleh Ida Pedanda Wayan
Sidemen. Beliau juga yang memberikan nama Wayan Galang dan Made Sinar.” Begitu Pan Kobar
menyelesaikan ceritanya.
89
keberagaman menjadikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang ideal di tengah kian
sempitnya dunia akibat kemajuan transportasi serta komunikasi. Adat sebagai wadah masyarakat
tradisional juga semakin fleksibel menyikapi perubahan serta heterogenitas. Adat tidak selalu
harus kaku lalu menjadi diskriminatif. Berbaurnya adat serta tradisi berbagai etnik menjadikan
segala sesuatunya lebih hidup, lebih berwarna, dan tentunya ini merupakan modal kuat untuk
5.3 Religi
Religi diartikan lebih luas daripada agama. Pengertian religi di sini lebih menyangkut
pada personalitas serta hal-hal pribadi yang berkaitan dengan hubungan manusia pada sang
pencipta. Religi jauh lebih dinamis daripada agama serta lebih menonjolkan eksistensi serta
pemahaman manusia tentang apa yang dipercaya, dalam hal ini tidak hanya Tuhan, tetapi juga
peraturan-peraturan (Atmosuwito, 1989: 123). Religi dapat dipahami sebagai sebuah konsep
yang mencakup segala hal yang menghubungkan manusia dengan kekuatan supranatural ( tidak
hanya Tuhan, tetapi juga roh-roh, dewa, serta hal mistis yang berada di luar nalar manusia),
teori-teori mengenai hakikat kekuatan supranatural tersebut, serta segala macam daya upaya
manusia untuk mencari dan mencapai kesadaran spiritual tertentu. Cakupan religi lebih luas
daripada agama, oleh karena itu, secara pasti religi merupakan sesuatu yang melintasi batas
agama, melintasi batas rasionalitas, menciptakan keterbukaan antarmanusia, dan tidak identik
90
Triogi novel Sembalun Rinjani sebagai sebuah novel yang mengusung multikulturalisme
tidak lepas dengan hal-hal yang berhubungan dengan religi. Latar belakang etnik yang berbeda
pada beberapa tokohnya menjadikan novel ini juga menghadirkan beragam keyakinan yang
dipercaya oleh setiap tokoh etnik. Religiusitas setiap tokoh memang berbeda, sistem
kepercayaannya pun berbeda, tetapi mereka tidak canggung untuk bertukar pikiran, bahkan ikut
merasakan kegiatan spiritual tokoh dari etnik lain. Hal ini merupakan bentuk nyata bahwa religi
mampu menembus batas agama serta menciptakan keterbukaan antarmanusia. Hal itu bisa dilihat
ketika Gusti Ngurah Darsana dan teman-temannya melakukan tirta yatra ke Gunung Rinjani.
Tirta yatra sendiri merupakan perjalanan spiritual dalam agama Hindu menuju tempat-tempat
suci untuk melakukan persembahyangan. Kegiatan tirta yatra yang dilaksanakan Gusti Ngurah
Darsana ke Gunung Rinjani juga diikuti oleh Lale Dumilah, Raden Rangga, dan Loq Gading.
Ketiganya memang bukan pemeluk agama Hindu, tetapi mereka adalah orang Sasak yang juga
meyakini Gunung Rinjani sebagai tempat yang disucikan. Perjalanan spiritual menuju ke puncak
Duduk di puncak gunung sembari menghaturkan rasa syukur atas segala kebesaran yang
dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa menjadikan suasana kebersamaan di antara para
pendaki semakin terasa. Meskipun sadar akan perbedaan keyakinan, tujuan mereka menuju
puncak gunung sama, yaitu untuk melakukan persembahyangan, mencapai puncak pendakian
spiritual. Hingga akhirnya mereka sampai di puncak gunung dan merasakan kebesaran Sang
Pencipta “Tu Ngurah, mara mangkin tiang marasa yen dewek tiangé niki saja cenik, amun
91
tepung miber yang bandingang teken kagungan jagaté.“ (Sembalun Rinjani, 167).48 Ketut Tirta
baru dapat menyadari kebesaran Tuhan setelah melakukan perjalanan spiritual menuju puncak
Gunung Rinjani. Ungkapan yang disampaikan mewakili juga perasaan teman-temannya yang
ikut serta dalam pendakian. Pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari oleh Ketut Tirta (dogma-
dogma agama) mengenai kebesaran Tuhan tidak cukup memuaskan, hanya sebatas teori-teori.
Perjalanan spiritual sebagai bentuk praktis dari pengetahuan yang bersifat teoretis seolah
Kegiatan tirta yatra yang umumnya hanya dilakukan oleh orang Hindu, dalam novel hal
tersebut menjadi berbeda. Tirta yatra tidak menjadi aktivitas eksklusif yang hanya dimiliki dan
hanya boleh diakukan oleh orang Hindu, tetapi menjadi kegiatan religius bersama yang
menyatukan perbedaan. Kesadaran spiritual dalam trilogi novel Sembalun Rinjani yang
berangkat dari keberagaman tidak hanya bersifat personal, tetapi juga terlihat yang bersifat
kolektif. Hal ini bisa dilihat ketika masyarakat etnik Bali dan Sasak melakukan upacara
memohon air yang dilakukan bersama-sama di Danau Segara Anakan, seperti tampak pada
kutipan berikut.
“Yen suba keto mula uli ilu sameton petani Bali wiadin Sasak bareng ngelaksanayang
upacara mapag yeh ngaturang pakelem di Danu Segara Anakan.” (Sembalun Rinjani,
157).49
Kebersamaan secara kolektif yang terlihat dalam novel menunjukkan bahwa perbedaan
keyakinan tidak menghalangi kebersamaan untuk mencapai kesadaran spiritual. Tujuan mereka
juga sama, yaitu memohon agar diberikan air untuk mengairi sawah mereka, sehingga sawah
dapat ditanami dan panen yang dihasilkan melimpah. Rasa kebersamaan yang muncul sebagai
48
“Tu Ngurah, baru sekarang ini saya merasakan bahwa benar diri ini sangat kecil, bagai tepung yang tertiup angin,
jika dibandingkan dengan keagungan jagat ini”
49
“Jika sudah begitu, memang sejak dulu petani Bali dan Sasak bersama-sama melaksanakan upacara penyambutan
air, menghaturkan persembahan di Danau Segara Anakan.”
92
akibat dari persamaan kebutuhan sudah cukup mapan dan terpelihara sejak dulu. Hal ini
dengan baik harmonisasi religi dalam sebuah komunitas sosial dengan latar belakang keyakinan
yang berbeda.
Religiusitas yang baik telah dimiliki beberapa tokoh dalam trilogi novel ini sehingga
menjadikan kehidupan antaretnik berjalan dengan baik meskipun dengan kepercayaan yang
berbeda. Tiap-tiap tokoh menjalankan kepercayaannya dengan leluasa tanpa tekanan, bahkan
tokoh utama Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah merupakan tokoh yang mengedepankan
toleransi dalam hal religi. Hal ini bisa dilihat dari kebebasan yang diberikan oleh Gusti Ngurah
Darsana kepada Meina untuk beribadah ke gereja. “Dané ngicen kabebasan Meina nyalanang
kebaktian agamanné di gereja ané paek uli umah dinesé” (Gitaning Nusa Alit, 187). 50
Kebebasan ini menunjukkan toleransi, keterbukaan, serta tidak adanya rasa fanatisme yang
berlebih dari Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Kedua tokoh utama sadar betul
meskipun Meina berstatus sebagai pembantu, mereka tidak memiliki otoritas atas religiusitas
Meina. Bahkan, Gusti Ngurah Darsana sering bertanya mengenai ajaran-ajaran Kristen kepada
Meina. Ia merupakan orang yang terbuka dalam menerima ajaran-ajaran agama yang bukan dari
agamanya. Hal ini dilakukan tidak untuk mencari kelemahan atau kelebihan suatu ajaran, tetapi
untuk lebih membuka wawasan tentang kebesaran Tuhan. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar
tidak terlalu picik dengan hanya mempelajari keyakinan sendiri sehingga menimbulkan rasa
fanatik yang berlebihan atas agama sendiri dan mengerdilkan agama lain.
50
“Ia memberikan kebebasan kepada Meina untuk menjalankan kebaktian di gereja yang berada dekat dengan
rumah dinas.”
93
Hubungan manusia dengan dunia supranatural (mistis) selalu berkaitan dengan religi.
Dunia supranatural berada jauh di luar nalar manusia, tetapi bersanding sangat dekat dengan
keseharian manusia. Novel trilogi Sembalun Rinjani memperlihatkan dunia supranatural atau
mistis menjadi bagian perjalanan kehidupan tokoh. Di dalamnya terdapat kurang lebih empat
peristiwa yang melibatkan tokoh utama dengan ilmu hitam. Dunia mistis yang selalu berkaitan
dengan ilmu hitam, dukun, atau benda-benda pusaka seakan berada dekat mendampingi
religiusitas para tokoh. Pola hidup tokoh yang modern, berpikiran maju dengan mengutamakan
rasionalitas seolah digiring kembali pada hal-hal mistis yang bersifat tradisional dan tidak masuk
akal. Lale Dumilah (Ratna Dumilah) merupakan tokoh yang mengalami kejadian berkaitan
dengan dunia supranatural. Saat akan melangsungkan pernikahan dengan Gusti Ngurah Darsana
tiba-tiba saja Lale Dumilah (Ratna Dumilah) menjadi lumpuh dan tidak dapat menggerakkan
badannya. Hal ini tentu saja membuat panik seluruh keluarga yang telah mempersiapkan acara
pernikahan mereka. Akhirnya mereka meminta bantuan Amaq Tirah yang berasal dari Desa
Sembalun. Amaq Tirah dikenal sebagai guru spiritual yang cukup disegani di desanya.
Berdasarkan penglihatan Amaq Tirah, Lale Dumilah terkena Sokeq. ”Paa kayang betekanné
beseh tur mapeluh dingin. Aah kena sokeq, kenten ragané ngarenggeng” (Gitaning Nusa Alit,
85).51 Sokeq sendiri adalah jenis ilmu hitam yang dikenal di daerah Lombok. Biasanya ilmu ini
dapat membunuh orang secara halus (Kardji, 2004:7). Gusti Ngurah Darsana dan keluarga
kepercayaan serta ritual-ritual khusus pengobatan tradisonal Sasak, Amaq Tirah berhasil
menyembuhkan Lale Dumilah. Akhirnya Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah dapat
melangsungkan pernikahannya.
51
“Paha hingga kakinya bengkak serta mengeluarkan keringat dingin. Aah...kena sokeq, begitu ia bergumam.”
94
Ketika menetap di Atambua, Ratna Dumilah kembali berkemelut dengan ilmu hitam.
Kali ini akibat perbuatan sepupunya sendiri yang bernama Hendun meletakkan guna-guna di
perhiasan gading yang dijualnya pada Ratna Dumilah. Kali ini Ratna Dumilah disembuhkan oleh
Romo Ulumondo, seorang pastor yang biasanya memberikan ceramah di gereja dekat rumah
dinas Gusti Ngurah Darsana. Dengan pengobatan tradisional Timor yang dipadukan dengan doa-
doa serta keyakinan Nasrani, Ratna Dumilah berhasil disembuhkan. Setelah Gusti Ngurah
Darsana memasuki masa pensiun dan menjenguk mertuanya di Lombok, kembali ia dan istrinya
terkena sokeq. Kali ini yang menyembuhkan adalah Loq Sudangsa dengan ritual serta cara
tradisional Sasak.
Tokoh yang juga mengalami gangguan ilmu hitam adalah Gusti Ayu Kendariyani. Ia
adalah putri Gusti Ngurah Darsana. Gusti Ayu Kendariyani mendapat pengaruh ilmu hitam dari
Gus Ayodia. Gus Ayodia adalah laki-laki yang ditolak cintanya oleh Gusti Ayu Kendariyani.
Gus Ayodia akhirnya meninggal akibat pertarungan dengan Gusti Ngurah Darsana. Dalam kasus
Gusti Ayu Kendariyani, ia disembuhkan oleh Gusti Ngurah Darsana sendiri dengan bantuan
keris pusaka warisan keluarganya. Keris itu dipercaya memiliki tuah, serta merupakan pusaka
sakti leluhur Gusti Ngurah Darsana yang diperoleh dari Gunung Agung.
Beberapa peristiwa yang melibatkan para tokoh dengan dunia mistis dan ilmu hitam
manusia telah menetapkan dirinya sebagai makhluk yang modern serta mencoba menafikan hal-
hal yang berbau gaib dan tak masuk akal, ternyata dunia supranatural tidak dapat
dikesampingkan. Religiusitas yang bisa dilihat adalah bagaimana para tokoh yang terlibat dalam
peristiwa pergolakan melawan ilmu hitam tidak lagi memandang batas-batas agama, hanya ada
keyakinan untuk menyembuhkan yang mengalami penderitaan. Amaq Tirah, Romo Ulumondo,
95
serta Loq Sudangsa adalah tokoh adat sekaligus orang yang berpengaruh dalam agamanya
masing-masing. Namun, bukan agama yang dilihat untuk membantu seseorang yang mengalami
musibah. Amaq Tirah dan Loq Sudangsa merupakan etnik Sasak dengan keyakinan Muslim yang
kuat. Mereka membantu dengan menggunakan keyakinan yang dianut. Cara-cara penyembuhan
dengan perpaduan mantra-mantra tradisional Sasak serta ayat-ayat suci yang terkandung dalam
kitab suci mereka. Begitu pula dengan Romo Ulumondo, sebagai seorang pemuka agama
Nasrani ia selalu menggunakan ayat-ayat suci serta salib untuk melakukan penyembuhan.
tradisional dengan cara-cara yang terkandung dalam ajaran suatu agama bukan merupakan
sesuatu yang baru. Sistem pengobatan tiap etnik berbeda yang pada umumnya masuk humoral
medicine dan memiliki elemen-elemen magis. Hal ini menunjukkan bahwa agama-agama yang
dianut oleh seseorang tidak lantas menghilangkan cara-cara tradisional yang telah diwariskan
jauh sebelum agama-agama formal tersebut diyakini. Meskipun cara penyembuhan yang
dilakukan, baik oleh Amaq Tirah maupun Romo Ulumondo tidak sejalan dengan keyakinan sang
pasien, hal ini tidak mengurangi keampuhan dari pengobatan yang dilakukan. Sesungguhnya
yang menjadi penting dalam hal ini bukanlah bentuk fisik (agama yang dianut), melainkan sejauh
mana kita percaya dan meyakini kebesaran Sang Pencipta. Religiusitas tidak dipandang dari
agama apa yang diyakini, tetapi sejauh mana kesadaran spiritual seseorang untuk meyakini
96
BAB VI
agama, golongan) berbeda dalam satu lingkungan sosial yang sama. Interaksi antarindividu ini
memungkinkan terjadinya perubahan terhadap struktur sosial masyarakat, yaitu dari struktur
sosial yang bersifat sederhana ke struktur sosial yang lebih kompleks. Struktur sosial seperti ini
disebut struktur sosial konsolidasi dengan tingkat diferensiasi sosial yang rendah dan inilah
yang selalu bergerak dan bersinggungan secara budaya melalui parameternya (etnik, agama, dan
golongan). Namun, tidak setiap individu dalam masyarakat modern lantas memiliki pemikiran
Multikulturalisme menghadirkan berbagai reaksi dari setiap individu pelakunya, ada yang
berpandangan positif terhadap keberagaman, ada pula yang hadir sebagai penentang atas
keberagaman. Perbedaan padangan ini lebih banyak disebabkan oleh kurang terbukanya
Hak setiap individu dalam masyarakat multikultur sesungguhnya sangat diakui, karena
mengekspresikan diri. Kesadaran terhadap multikulturalisme tidak hanya terbatas pada kesadaran
akan keberagaman budaya, tetapi juga meliputi kesadaran atas persamaan derajat, hak, bahkan
kesetaraan gender. Persamaan derajat, hak, serta kesetaraan gender merata dalam semua bidang,
97
termasuk pendidikan formal serta kesempatan mencari peluang kerja dan usaha (Nugroho, 2008:
3-4). Individu-individu modern yang telah secara langsung berinteraksi dalam masyarakat
multikultur tidak lantas menjadi individu yang memiliki sifat toleransi. Hal itu terjadi karena
untuk menjadi manusia yang toleran terhadap keberagaman diperlukan lebih dari sekadar
predikat manusia modern, dibutuhkan sikap berjiwa besar, saling menghargai, dan saling
percaya. Ketika tidak setiap individu mampu bersikap seperti itu, maka akan muncul pandangan
beragam tentang bagaimana menyikapi multikulturalisme. Oleh karena itu, reaksi beragam akan
dapat dilihat dari setiap tokoh yang ada dalam trilogi novel Sembalun Rinjani.
Respon tiap-tiap tokoh terhadap multikulturalisme yang terdapat di dalam trilogi novel
ini dapat tercermin dari tindakan dan sikap mereka. Sikap serta tindakan merefleksikan bentuk
penerimaan atau penolakan terhadap multikulturalisme berdasarkan stimulus yang dibawa oleh
multikulturalisme itu sendiri. Stimulus yang hadir pada setiap tokoh tentu berbeda-beda dan
tidak secara simultan, tetapi bertahap serta berkesinambungan mengikuti alur peristiwa. Keadaan
ini memungkinkan tokoh untuk membangun kesadaran diri sehinggga mampu menempatkan
Tokoh utama sebagai tokoh yang mendominasi porsi penceritaan dalam novel trilogi
Sembalun Rinjani adalah Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Kedua tokoh ini paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sebagai tokoh
yang paling dominan diceritakan, secara langsung kedua tokoh ini juga paling sering berinteraksi
dengan tokoh lain yang akhirnya menciptakan suasana multikultur. Kedua tokoh utama
98
penolakan yang menciptakan konflik, hingga akhirnya multikulturalisme dapat diterima dan
Tokoh utama menjadi agen yang mengusung paham multikultur dan mencoba
menularkan pemahaman positifnya pada tokoh lain sehingga tercipta toleransi antaretnik. Gusti
Ngurah Darsana merupakan tokoh dengan pemahaman multikultur yang baik. Ia menyadari betul
tentang arti penting sebuah kebersamaan dan kesederajatan ketika bergaul dalam lingkungan
yang multietnik. Ia mengajak semua temannya untuk ikut berpatisipasi dalam acara pendakian
(tirtha yatra) ke Gunung Rinjani. Meskipun sesungguhnya ini merupakan kegiatan spiritual
untuk agama Hindu, namun Gusti Ngurah Darsana mampu merangkul Lale Dumilah dan teman-
temannya yang bukan orang Hindu untuk ikut berpartisipasi (Sembalun Rinjani, 184). Keinginan
Gusti Ngurah Darsana untuk mengikutsertakan Lale Dumilah dan teman-temannya adalah untuk
meningkatkan keakraban serta toleransi antarteman, tidak ada maksud lain apalagi usaha untuk
Bentuk kegiatan semacam ini sesungguhnya merupakan salah satu usaha yang dilakukan
Gusti Ngurah Darsana untuk membuka mata teman-temannya yang berbeda agama.
Pengertiannya adalah membuka mata dalam hal bagaimana mensyukuri segala anugerah serta
kebesaran Tuhan, tidak selalu merasa sombong dan menganggap diri paling baik.
“Mula keto tetujoné iraga menek ka gunung...Apang bisa ngrasayang yen idup iragané
sujatiné sing ada artiné bandingang teken kasempurnaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Keto masih apang matilesang dewek, tusing sombong, apa buin nyapa kadi aku.”
(Sembalun Rinjani. 167).52
52
“Memang begitu tujuan kita mendaki gunung...Agar dapat merasakan kalau hidup kita tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan kesempurnaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Begitu pula agar kita mampu mengendalikan
diri, tidak sombong, apalagi menganggap diri paling baik.”
99
Secara tidak langsung melalui acara mendaki (tirtha yatra) ke Gununng Rinjani, Gusti
kebesaran Tuhan, yang berujung pada peningkatan sikap saling menghargai sesama makhluk
ciptaan-Nya. Setibanya di puncak gunung semua peserta pendakian merasakan hal yang sama,
yaitu mereka sadar akan kebesaran Tuhan. Reaksi teman-temannya sesama pendaki membuat
Gusti Ngurah Darsana bahagia. Apa yang menjadi tujuan utama pendakian telah tercapai
meskipun harus dibayar dengan rasa lelah serta musibah kecil yang menimpa Lale Dumilah.
Gusti Ngurah Darsana sebagai sosok yang berpandangan serta berwawasan multikultur
mampu mengadaptasi dan mengapresiasi berbagai nilai kebudayaan. Baginya manusia tidak
seharusnya dibatasi oleh ruang gerak suatu tradisi, disekat-sekat atas dasar perbedaan budaya
etnik. Lebih-lebih pada era globalisasi yang telah mampu mengantarkan manusia pada dunia
tanpa batas. Tradisi masa lalu yang telah usang serta tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman
salah satu hak yang paling dihormati pada era globalisasi, lebih-lebih pilihan tersebut
menyangkut hal paling mendasar dalam kelangsungan hidup, yaitu kebebasan menentukan
pasangan. Karena itulah, ia menetapkan pilihan hidup untuk mencintai Lale Dumilah seorang
gadis Sasak yang memeluk agama Islam. Keinginan Gusti Ngurah Darsana untuk
mempersunting Lale Dumilah merupakan suatu gambaran bahwa etnisitas serta agama tidak
mampu membatasi ruang gerak asmara. Keseriusannya menjalin cinta dinyatakan pada Lale
“Né ciriné tresnan tiangé pamuput serahang tiang kapining Lale Dumilah. Tiang tusing
ngelah apa, among ukudan jatma lara satmaka kedis ngempu awak ngandelang buah
100
kayu di alase. Dumadak Denda pageh bareng ajak tiang nuut tukad uli pucak gunungé
nganti teked di segara, salunglung subayantaka” (Sembalun Rinjani, 198).53
Menjalin hubungan dengan etnik yang berbeda bukan suatu hal yang tabu bagi orang-
orang pengusung ideologi multikulturalisme seperti Gusti Ngurah Darsana. Pernikahan eksogami
yang dijalani dari sisi tradisi merupakan sebuah pernikahan yang tidak dibenarkan. Lebih-lebih
Gusti Ngurah Darsana merupakan bagian dari kaum tri wangsa yang cenderung
mempertahankan tradisi lama dengan aroma feodalisme yang kental.54 Sebagai manusia dengan
pemikiran modern, nilai tradisi yang dinilai kurang menghargai hak asasi manusia itu ditolaknya
penolakan dari keluarga Lale Dumilah atas rencananya menikahi Lale Dumilah. Kedua orang tua
Lale Dumilah menentang pernikahan mereka, tidak bisa menerima anaknya menikah dengan
laki-laki yang berlainan agama dan etnik. Hal itu menyebabkan kedua orang tua Lale Dumilah
menjodohkan Lale Dumilah dengan Raden Nuna (sepupu Lale Dumilah). Lale Dumilah dengan
tegas menolak perjodohan tersebut. ”Beeh, Inaq jag setata netehang awak tiangé apang
ngenyakin batur sadulur doing mara tiang anak luh, yaning ianq bas sanget ngalihang tiang
kurenan, melahan sapihang.” (Gitaning Nusa Alit, 33).55 Akhirnya Lale Dumilah lebih memilih
53
“Ini tanda cinta yang akhirnya saya serahkan kepada Lale Dumilah. Saya tidak memiliki apa
pun, bagaikan burung yang hidup mengandalkan buah di tengah hutan. Semoga dinda teguh
bersama dengan saya mengarungi sungai dari puncak gunung hingga di laut, sehidup semati
dalam keadaan suka dan duka.”
54
Umumnya yang dimaksud dengan Tri Wangsa yaitu Brahmana, Ksatria, dan Vaisya. Sebaliknya, yang disebut
dengan Sudra adalah yang tergolong Jaba. Namun, penerapan sistem wangsa seperti ini telah banyak
menimbulkan polemik dalam masyarakat Hindu Bali. Menimbulkan kesalahpahaman berabad-abad sebagai salah
satu dampak berkepanjangan feodalisme zaman kerajaan dan zaman penjajahan. Wiana, Hal. 11-13
55
“Beeh, ibu selalu memaksa saya untuk menerima perjodohan hanya karena saya seorang perempuan, kalau ibu
terlalu memaksa, lebih baik impaskan saja.”
101
Gusti Ngurah Darsana dan mereka memutuskan untuk kawin lari, menjalani proses pernikahan
meskipun tanpa persetujuan orang tua Lale Dumilah. Kedua tokoh utama ini membangun konflik
atas dasar cinta yang mewujudkan multikuluralisme melalaui jalur pernikahan multi-etnik.
Konflik terjadi sebagai akibat pernikahan eksogami yang dijalani Gusti Ngurah Darsana dan Lale
Dumilah. Generasi muda sebagai tokoh utama pengusung ideologi multikulturalisme membuka
jalan konflik demi satu keyakinan yang dipandang sebagai suatu kebenaran. Jika saja mereka
bukan individu yang mengusung ideologi multikulturalisme, tentu saja akan menyerah pasrah
pada adat serta tradisi yang mengekang kebebasan untuk menentukan pilihan.
Konflik antara Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah dan keluarga besarnya merupakan
suatu titik di mana multikulturalisme tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah
menjadi satu tantangan tersendiri bagi tokoh pengusung ideologi multikulturalisme. Konflik
dalam masyarakat multikultur memang tidak dapat dihindari sebagai bagian sebuah perubahan
sosial. Konflik yang terjadi mungkin bersifat fungsional (baik) dan disfungsional (buruk) bagi
hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu
keseluruhan (Irving, 1998: 157). Konflik yang diciptakan oleh tokoh dalam novel ini cenderung
mengarah pada konflik yang fungsional. Sebab dari konflik ini dihasilkan hubungan yang kian
Konsekuensi yang harus diterima oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah sebagai
pembangun konflik adalah tidak diperolehnya restu dari kedua orang tua Lale Dumilah, bahkan
keluarga besar Lale Dumilah tidak menghadiri upacara pernikahan mereka. Sebuah risiko yang
cukup berat bagi Lale Dumilah ketika hari besar dalam hidupya harus dilalui tanpa dukungan
orang tua, lebih-lebih ia mendapat ancaman dari keluarga besarnya, bahkan dianggap anak yang
102
tidak berbakti pada orang tua. Keluarga besar Lale Dumilah menolak kehadiran kembali Lale
Dumilah karena dianggap telah melanggar aturan adat sehingga ia tidak lagi dianggap menjadi
bagian dari keluarga. “Yen tuara nyak kenten melahan kutang sampunang baanga mulih ka
Sengkol” (Gitaning Nusa Alit,58).56 Konflik yang dihadapi oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale
Dumilah merupakan bentuk konflik realistis sebagai akibat dari kekecewaan keluarga besar Lale
Dumilah atas keputusan yang diambil. Konflik realistis merupakan akumulasi kekecewaan
sebagai akibat tidak terpenuhinya tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam sebuah komunitas
sosial (Poloma, 2004: 110). Tidak terpenuhinya tuntutan keluarga besar Lale Dumilah-yaitu agar
Lale Dumila tidak menikah dengan lelaki yang tidak seiman-menjadi alasan utama konflik
tercipta.
Konflik realistis yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah memang tidak
secara fisik dihadapi oleh mereka. Namun, konflik menyerang psikologi mereka dan
berpengaruh pada ketahanan fisik. Tekanan secara psikologi membuat Lale Dumilah menangis
berhari-hari menjelang pernikahannya, membuatnya merasa lemah sehingga jatuh sakit. Dampak
psikologis dari konflik yang dihadapi Lale Dumilah rupanya mempengaruhi ketahanan fisiknya,
sehingga lemahnya jiwa akibat tekanan psikologi turut mempengaruhi lemahnya kondisi fisik.
Sakit yang diderita Lale Dumilah menjelang hari pernikahannya membuat semua keluarga Gusti
Ngurah Darsana panik. Sakit yang tidak wajar dialami Lale Dumilah, menyebabkan Gusti
Rupanya konflik realistis yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah
berujung pada konflik nonrealistis. Konflik nonrealistis ini pada dasarnya memiliki motif yang
sama dengan konflik realistis, hanya jalan untuk menyampaikan konfliknya cenderung mengarah
56
“Kalau tidak mau mengikuti aturan adat, lebih baik dibuang, jangan biarkan kembali ke Sengkol.”
103
pada hal-hal yang berbau magis (Poloma, 2004: 110). Konflik yang telah mengarah pada konflik
nonrealistis kini tidak hanya dialami Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah tetapi telah
melibatkan Amaq Tirah sebagai pihak ketiga yang mencoba menjadi penengah dengan berusaha
menghadapi serangan konflik nonrealistis (magis) tersebut. Bentuk penyelesaian konflik yang
dihadirkan oleh Amaq Tirah juga bersifat nonrealistis, tetapi berfungsi secara maksimal untuk
menyelesaikan konflik yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah. Amaq Tirah
dapat membantu Lale Dumilah sehingga ia sembuh seperti sediakala dan melangsungkan
upacara pernikahannya. Setelah menikah dengan Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah resmi
menjadi bagian dari keluarga besar Gusti Ngurah Darsana dan mendapatkan nama baru, yaitu Jro
Ratna Dumilah. Konflik, realistis maupun nonrealistis yang dihadapi oleh Gusti Ngurah Darsana
dan Lale Dumilah merupakan bagian dari konsekuensi mereka menjalani pernikahan eksogami.
ditunjukkan oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah adalah masalah kebebasan
menjalankan keyakinan beribadah setiap individu. Gusti Ngurah Darsana sadar betul akan
kesederajatan serta kebebasan dalam memilih dan menjalankan keyakinan agama. Kebebasan
dalam menjalankan aktivitas serta ibadah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing
sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang pasal 29 ayat 2. Bahwa setiap warga negara
diberikan kebebasan memilih keyakinan serta bebas melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinannya masing-masing. Penerapan pasal ini jelas terlihat dalam keseharian keluarga Gusti
Ngurah Darsana. Ketika bertugas di Atambua ia memiliki pembantu bernama Meina Victoria
seorang Nasrani. Dalam keseharian menjalankan ibadah Gusti Ngurah Darsana dan istrinya tidak
104
dengan keyakinan tetap dijalankan Meina meskipun hidup dalam keluarga yang berbeda aktivitas
keagamaannya. Setiap hari Minggu Meina diberikan kebebasan untuk menjalankan kebaktian di
Sejatinya hubungan manusia dengan Sang Pencipta merupakan hubungan yang paling
individu dan merupakan hak asasi yang paling mendasar. Sepantasnya memang dihargai dan
dihormati karena sedikit kesalahpahaman yang menyangkut keyakinan akan berakibat fatal.
Dunia mencatat sejarah kelam peperangan yang disebabkan oleh sikap tidak saling menghargai,
bahkan keinginan untuk mengekspansi (menaklukan) keyakinan lain. Perang salib terjadi pada
abad ke-11 hingga abad ke-16. Perebutan tanah suci yang terjadi antara umat Muslim dan
Kristen itu memakan banyak korban jiwa serta diklaim sebagai perang terburuk sebagai akibat
perbedaan keyakinan.57 Indonesia pun mencatat kelamnya ketidakharmonisan antar etnik ketika
kasus di Poso pada Mei 2000 (Astawa, 2005: 58). Bahkan, hingga kini rasanya kebebasan
menjalankan ibadah serta keyakinan di negeri ini masih menjadi barang mahal. Keberadaan
kaum mayoritas yang terlalu fanatik, bahkan cenderung cauvinisme serta sering kali bertindak
Pengalaman hidup mengajarkan Gusti Ngurah Darsana menjadi manusia dewasa serta
mapan akan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat multietnik. Pekerjaan sebagai pegawai,
bank BRI mengantarkannya untuk bertugas di berbagai daerah. Inilah yang kemudian menjadi
dasar baginya untuk memahami tidak hanya tradisi, tetapi juga agama masyarakat di mana ia
bertugas. Oleh karena i9tulah Gusti Ngurah Darsana selain mempelajari ajaran agamanya, ia juga
mempelajari ajaran agama lain. Hal ini terlihat ketika Maeina Victoria masuk ke dalam ruang
57
Perang Salib ini dikenal sebagai perang terburuk sepanjang sejarah, menewaskan ratusan juta manusia serta
mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan nasrani dan muslim. David Nicolle dan Christa Hook. Perang Salib I
1096-99, Penaklukan Tanah Suci. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal.1-5.
105
baca Gusti Ngurah Darsana . Di sana ia melihat tidak hanya ada buku bacaan ajaran Hindu tetapi
ada juga buku ajaran Budha, Injil serta Tafsir Al Qur‟an. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan
dari istrinya kepada Meina Victoria, “Apa salahné melajahin agama lenan? Bapak mula seneng
maguru teken ane patut dadiang guru, apang tusing ngaden agama iragané dogen ané paling
melaha.” (Gitaning Nusa Alit, 189).58 Kesadaran untuk mau mempelajari keyakinan dari agama
lain dengan tujuan untuk membuka wawasan merupakan salah satu jalan menjaga keharmonisan
Kegemaran Gusti Ngurah Darsana maupun Ratna Dumilah membaca serta mempelajari
budaya serta agama dari etnik lain, merupakan salah satu modal yang kuat untuk masuk dalam
pergaulan masyarakat multikultur. Pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari keyakinan lain
tidak lantas menjadi senjata untuk saling menjatuhkan, tidak menjadi bahan perbandingan untuk
melakukan penistaan pada kepercayaan lain. Akan tetapi sebagai dasar untuk meningkatkan
kesederajatan serta rasa saling menghargai ketika berbaur dalam satu lingkungan yang sama.
Kesadaran akan hal ini selalu ditunjukkan Gusti Ngurah Darsana ketika membicarakan masalah
keagamaan dengan etnik lain. Ia tidak hanya menyebutkan istilah-istilah dalam agama Hindu,
saja, namun acapkali ia menggunakan istilah-istilah dari agama lain yang ia ketahui. Hal tersebut
“...di panegarané ané peradabané rusak, jahiliah. Nanging ajaran agamané tetep asalné
uli Tuhan Yang Maha Esa, Hyang Widhi, Thian, Allah, Gusti Sang Maha Kuasa, Nenek
Kaji Sak Kuasa, Sang Maha Agung,..sakasidan manusané ngucapang,” kenten pesaurné
Gusti Ngurah. (Gitaning Nusa Alit, 186).59
58
“Apa salah mempelajari agama lain? Bapak memang senang belajar dengan orang yang mengerti dan pantas
dijadikan guru agar tidak selalu merasa agama kita yang paling baik”
59
“Di negara yang peradabannya rusak, jahiliyah. Namun ajaran agama tetap berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
Thian, Allah, Gusti Sang Maha Kuasa, Nenek Kaji Sak Kuasa, Sang Maha Agung,,,sebisanya manusia
mengucapkan,” jawab Gusti Ngurah.
106
Penjelasan yang diberikan Gusti Ngurah Darsana seperti kutipan di atas adalah ketika ia
berdialog dengan Meina Victoria. Hal itu terlihat dari istilah-istilah yang digunakan cukup
beragam, tidak hanya istilah dalam agama Hindu, tetapi juga beberapa istilah dari agama lain.
Muncul istilah Jahiliyah, yaitu sebuah masa di mana manusia dipenuhi dengan kegelapan,
kebodohan, serta belum mengenal Tuhan. Istilah ini digunakan oleh agama Islam. Selain itu ada
penyebutan nama Tuhan dari beberapa agama serta kepercayaan yang turut menjadi bagian
pembicaraan. Sikap serupa juga dilakukan Gusti Ngurah Darsana ketika ia berbicara masalah
agama dengan lawan bicara yang berlainan agama dengannya, di antaranya adalah saat berbicara
dengan Lalu Wiradana, Romo Ulumondo, Cik Amio atau Loq Sudangsa. Setiap pembicaraan
yang mengarah pada masalah ritual agama serta simbol-simbol keagamaan, ia selalu
menyampaikannya dari berbagai perspektif agama. Kacamata penilaian suatu masalah tidak
hanya dari satu sisi saja, tetapi dari berbagai sudut pandang agama, sehingga lawan bicara tidak
merasa bahwa agamanya direndahkan. Gusti Ngurah Darsana tidak menunjukkan sikap fanatik
yang berlebihan atas keyakinannya. Hal ini membuat lawan bicara berbeda keyakinan merasa
nyaman.
Ratna Dumilah sama halnya dengan Gusti Ngurah Darsana. Ia mencoba menjadi individu
yang melihat agama tidak sebagai sebuah media untuk membedakan seseorang dengan lainnya.
Setiap agama memang menawarkan jalan yang berbeda, menyodorkan penyelesaian yang
berbeda terhadap suatu peristiwa, tetapi menghadirkan satu persamaan yang hakiki, yaitu
keyakinan pada satu kebenaran Tuhan serta cinta kasih. Perbedaan yang terdapat di antara agama
satu dan lainnya hanyalah perbedaan fisik, perbedaan yang tampak oleh mata, tetapi
sesungguhnya yang dituju adalah sama. Keberagaman ini oleh Ratna Dumilah dianalogikan
seperti banyak aliran sungai yang mengalir, tetapi pada akhirnya toh akan menyatu menuju satu
107
lautan yang luas. “Patuh buka nuut aliran tukadé ngatebenang sinah pacang teked di segarané
agung tanpa tepi” (Gitaning Nusa Alit, 179). 60 Analogi sungai yang mengalir adalah untuk
melukiskan adanya banyak agama serta kepercayaan, sedangkan lautan luas merupakan tujuan
akhir (Tuhan) dari setiap aliran sungai tersebut. Penganalogian yang dilakukan oleh Ratna
Dumilah merupakan salah satu jalan untuk mempermudah menjelaskan tentang keberadaan
keberagaman yang harus disikapi dengan bijaksana. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan
sikap toleransi pada lawan bicara dan mencoba memberi pengertian secara sederhana tentang arti
sebuah perbedaan.
Sikap yang ditunjukkan kedua tokoh utama ini mencerminkan individu yang telah
memahami betul arti penting kesederajatan dalam bermasyarakat. Mereka membawa angin segar
bagi penguatan rasa toleransi multietnik, membangun sikap saling memiliki dan menghormati
dalam pergaulan bermasyarakat. Secara teoretis (melalui dialog dan diskusi) mereka mampu
mampu merangkul individu-individu multietnik untuk berbaur bersama tanpa ada kesenjangan
dan rasa curiga. Tokoh utama inilah yang menjadi agen penyebarluasan ideologi
multikulturalisme.
Tokoh sekunder mendapatkan porsi penceritaan yang tidak begitu dominan, intensitasnya
dalam penceritaan berada di bawah tokoh utama. Meskipun porsi penceritaannya yang tidak
60
“Bagaikan aliran sungai ke hilir pasti akan sampaii di lautan besar tak bertepi”
108
sedominan tokoh utama, keberadaan tokoh sekunder mampu menggerakkan alur cerita. Bahkan,
keberadaan tokoh sekunder dalam trilogi novel Sembalun Rinjani mampu mempertegas posisi
multikulturalisme di tengah jalinan peristiwa. Beberapa tokoh sekunder dalam trilogi novel
dalam masyarakat yang heterogen. Jadi, harus bisa menerima segala bentuk perbedaan yang
mungkin ditemukan dalam bersosialisasi. Tokoh sekunder yang memiliki pemahaman baik
tentang multikulturalisme di antaranya adalah Pan Kobar dan Wayan Rempuh. Mereka adalah
pasangan suami istri asal Bali yang telah menetap lama di Lombok. Pekerjaan sehari-hari sebagai
petani dan pedagang membuat keseharian mereka selalu berinteraksi dengan banyak individu
yang berlatar belakang berbeda-beda. Meskipun bukan dari kaum berada, namun mereka sangat
mengadopsi seorang anak laki-laki yang berasal dari Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur) karena
kedua orang tua anak tersebut telah hilang akibat terjadinya kerusuhan di Selong tempat orang
tua anak tersebut bekerja. Pan Kobar dan Wayan Rempuh sadar betul bahwa anak yang mereka
diadopsi adalah anak dari suku yang berbeda dengan mereka. Latar belakang orang tua anak itu
pun tidak diketahui. Rasa kemanusiaan menjadikan mereka menghapus sekat yang dibawa oleh
perbedaan etnik. Anak tersebut diasuh seperti anak sendiri dan diberi nama Wayan Galang.
Rasa kemanusiaan Pan Kobar dan Wayan Rempuh terlihat lagi ketika suatu hari Wayan
Rempuh sedang berjualan di pasar bertemu dengan seorang gadis gelandangan yang tengah
mengandung. Wayan Rempuh menolong gadis yang bernama Asrmarinah tersebut, memberinya
makan, pakaian dan tempat untuk tingggal di rumahnya. Asmarinah adalah seorang gadis yang
berasal dari Desa Tolot-tolot, Kecamatan Jonggot, Lombok. Ia terpaksa menggelandang karena
ditinggal mati oleh suaminya beberapa bulan setelah menikah. Asmarinah membantu Wayan
109
Rempuh berjualan di pasar sebagai bentuk balas budi atas pertolongan yang diberikan padanya.
Setelah melahirkan, Asmarinah menyerahkan anaknya kepada Wayan Rempuh dan Pan Kobar.
Hal itu dilakukan karena ia telah berjanji pada diri sendiri bahwa jika ada yang mau menolong
saat dalam kesusahan, ia rela menyerahkan anaknya pada si penolong. Anak tersebut kemudian
diberi nama Made Sinar. Asmarinah kemudian bertemu dengan seorang lelaki yang bernama
Gede Made Samudra. Mereka saling jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah dan pindah
menuju Semarang. Tindakan Pan Kobar dan Wayan Rempuh untuk mau mengadopsi dua anak
yang jelas-jelas bukan dari suku mereka cukup menunjukkan seberapa besar kemapanan ideologi
multikulturalisme yang dimiliki, lebih-lebih mereka juga telah menolong Asmarinah yang saat
itu tengah mengalami masa sulit. Tidak ada rasa curiga, tidak ada kecemburuan, apalagi motif
ekonomi yang melandasi setiap perbuatan Pan Kobar dan Wayan Rempuh ketika membantu
Rasa kemanusiaan boleh jadi merupakan modal dasar untuk membangun sikap toleransi
dan sikap toleransi inilah yang menentukan seberapa jauh multikultural dapat diterima seseorang
atau kelompok masyarakat. Semakin besar sikap toleran, semakin besar pula kesempatan
multikulturalisme berkembang di setiap individu. Jadi, bisa disebutkan bahwa antara rasa
kemanusiaan, toleransi, serta multikulturalisme memiliki satu hubungan sebab akibat yang
Tokoh sekunder berikutnya yang juga memiliki pandangan positif terhadap multikultur
adalah Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih. Mereka adalah sepasang suami istri yang memilih
pernikahan eksogami sebagai jalan hidup. Sama halnya dengan kedua tokoh utama yang
melakukan pernikahan eksogami, pernikahan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih pun tidak
berjalan dengan mudah. Lalu Wiradana laki-laki dari enik Sasak, sedangkan Gusti Ayu Sasih
110
adalah perempuan etnik Bali. Pernikahan mereka pun tidak mendapat persetujuan dari orang tua
Gusti Ayu Sasih karena perbedaan adat dan agama. Lalu Wiradana sadar betul akan jalan sulit
yang akan ditempuh ketika memutuskan pilihannya menikahi Gusti Ayu Sasih karena adat
mengekang kebebasan mereka menentukan pilihan. ”Nanging adaté cara lawas kari keweh
nerapang yen pradené panganténané pada malenan adat lan agama.” (Gitaning Nusa Alit,
27).61 Mereka pun mengambil keputusan untuk melakukan kawin lari. Hali inidan hal ini tentu
saja menyulut kemarahan keluarga Gusti Ayu Sasih. Akibatnya Gusti Ayu Sasih mendapat
perlakuan yang tidak baik dari keluarganya sendiri, tidak dianggap anak oleh kedua orang
tuanya. ”Patuh cara mbok ipidan mara icéna mulih mapamit sesubané ada panaké Agus.”
(Gitaning Nusa Alit, 104).62 Kasus semacam ini juga dialami tokoh utama dan terlihat peran adat
kemanusiaan.
Kutipan di atas menunjukkan betapa adat telah dengan ketat mengatur kebebasan
individunya, merampas hak-hak paling dasar manusia, yaitu menentukan pilihan. Keluarga Gusti
Ayu Sasih masih memegang adat lama yang terkesan kaku, feodal, bahkan bertindak semena-
mena atas masyarakatnya. Adat semacam ini menjadikan mereka kurang terbuka terhadap
perubahan yang menuntut pembaruan di sekitar mereka. Adat seharusnya dapat bergerak lebih
dinamis mengikuti perkembangan lingkungan, bukan malah menjadi sesuatu yang diberlakukan
secara baku dan bersifat kaku. Adat pada dasarnya sangat penting untuk menguatkan identitas
suatu kelompok sosial. Namun, adat juga harus mampu menjadi media bagi berkembangnya
kelompok sosial tersebut. Jika dianalogikan, adat layaknya sebuah baju, ketika baju telah usang
61
“Namun melihat adat yang masih saja seperti dulu, sulit rasanya jika pasangan pengantin berbeda adat dan
agama”
62
“Sama seperti kakak dulu, izinkan pulang setelah lahir si Agus.”
111
atau rusak, maka baju tersebut patut diganti sesuai dengan mode terbaru, tetapi masih dalam
Pengalamannya menghadapi konflik dengan adat yang sangat kaku dalam menyikapi
multikulturalisme, menjadikan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih kian terbuka pemahamannya.
Mereka menyadari bahwa kebebasan menentukan pilihan adalah hak setiap orang. Kebebasan
menikmati hak inilah yang menjadi bagian penting. dari kehidupan multikultur. Karena itu, saat
Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah (adik Lalu Wiradana) memutuskan untuk menikah,
Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih merupakan orang yang paling mendukung keputusan itu.
Mereka tahu bahwa adat Sasak dalam keluarga besar Lalu Wiradana akan sangat menolak
keputusan Gusti Ngurah Darsana menikahi adiknya. Namun, ia tetap memberi jalan serta
mencoba membujuk kedua orang tuanya. Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih akhirnya berhasil
memberi pengertian kepada kedua orang tuanya atas keputusan yang diambil oleh Gusti Ngurah
Darsana dan Ratna Dumilah. Mamiq dan inaq Wiradana akhirnya mampu menerima kenyataan
bahwa pernikahan beda adat dan agama bukanlah hal yang tabu. Keberhasilan Lalu Wiradana
membujuk orang tuanya disampaikan kepada Ratna Dumilah melalui sebuah surat. “Liang
Manahné sawireh reramané prasida nyak ngampurayang kapelihanné ngalahin nganten ngajak
Gusti Ngurah Darsana ané malenan adat lan agamanné.” (Gitaning Nusa Alit, 206).63
Keberhasilan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih mengubah cara pandang mamiq dan
tularkan kepada individu lain dengan cara persuasif dan bertahap. Meskipun tidak mudah, namun
keyakinan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih menjadikan segalanya lebih baik. Mereka mampu
63
“Lega rasanya mengetahui kedua orang tuanya telah memaafkan kesalahannya dahulu ketika berani mengambil
keputusan untuk menenikah dengan Gusti Ngurah Darsana yang berbeda adat dan agama .“
112
membuat kedua orang tuanya menerima kenyataan bahwa Ratna Dumilah telah memilih jalan
yang terbaik dalam hal ini adalah pernikahan eksogami. Sama dengan dirinya dahulu yang
Jika dua pasang tokoh sekunder di atas dengan mantap dan yakin mengusung ideologi
multikulturalisme, bahkan mencoba menularkan keyakinan mereka pada individu lain, berbeda
lagi dengan tokoh sekunder lainnya yang bersikap ambivalen ketika berhadapan dengan
heterogenitas. Tokoh ambivalen ini gamang menentukan pilihan, terhimpit diantara menerima
atau justru menolak multikulturalisme meskipun akhirnya menentukan pilihan untuk berdiri pada
sisi berkoalisi dengan multikulturalisme. Tokoh ini adalah mamiq64 dan inaq Wiradana. Mereka
adalah orang tua Lalu Wiradana dan Lale Dumilah. Kegamangan kedua tokoh sekunder ini
terlihat ketika harus memberi keputusan saat Lale Dumilah akan menikah dengan Gusti Ngurah
Darsana.
Mamiq dan inaq Wiradana sesungguhnya tidak melarang anaknya berbaur serta bergaul
di lingkungan yang heterogen. Bahkan, mereka tidak melarang anak pertamanya, Lalu Wiradana,
saat memutuskan untuk menikahi gadis dari etnik dan agama yang berbeda. Namun, sikap serupa
tidak ditunjukkan ketika anak perempuannya hendak menikah dengan laki-laki yang berbeda
adat dan agamanya. Perbedaan agama dan adat menjadi alasan untuk menolak pernikahan anak
perempuan mereka. “Yen alih kaberatan dong saja kaberatan, ngelah panak nganten ajak anak
uli joh buina malenan agama” (Gitaning Nusa Alit, 31).65 Pernyataan yang dilontarkan mamiq
perkawinan.
64
Panggilan ayah dalam keseharian suku Sasak
65
“Jika dibilang keberatan tentu saja keberatan, punya anak menikah dengan orang dari jauh dan berbeda agama.”
113
Sayangnya pernyataan tersebut tidak dilontarkan saat anak laki-lakinya akan menikahi
perempuan dari etnik dan agama yang berbeda. Dari hal itu terlihat bahwa mamiq dan inaq
Wiradana bersifat ambivalen, serta masih berada dalam hegemoni sistem patriarki. Saat anak
laki-laki menentukan pilihan, mereka mendukung tanpa rasa canggung. Namun ketika anak
perempuannya akan menentukan pilihan hidup, mereka malah terlalu jauh mengintervensi.
Mereka menjadikan adat serta tradisi usang sebagai pembenaran atas tindakan mereka menolak
pernikahan anaknya dengan Gusti Ngurah Darsana. Tradisi yang menganut paham patriarki
sering kali tidak memberikan hak yang wajar pada kaum perempuan. Budaya patriarki berkaitan
dengan sistem kekeluargaan patriarkat yang menggariskan bahwa anak laki-laki adalah penerus
keluarga. Oleh karena itulah anak laki-laki sangat penting dilihat dari segi hukum, sosial,
ekonomi, budaya dan agama sehingga anak laki-laki cenderung dinomorsatukan (Atmadja dan
Atmadja, 2005:110). Ketika perempuan menikah dengan laki-laki maka ia akan menjadi hak
keluarga laki-laki. Kewajiban dan hak atas keluarganya sendiri tidak akan diakui lagi, lebih-lebih
anak perempuan tersebut menikah dengan laki-laki yang berbeda adat serta agama. Inilah yang
menjadi alasan orang tua penganut tradisi patriarki tidak mengizinkan anak perempuannya
menikah dengan laki-laki berbeda adat serta keyakinan dengan mereka. Dasar pemikiran sistem
tradisi patriarki ini sesungguhnya merupakan representasi dari ketidakpahaman tradisi menyikapi
Parahnya lagi, situasi tradisi seperti ini dipertahankan oleh beberapa masyarakat tradisi yang
Situasi tradisi seperti inilah yang menjadikan mamiq dan inaq Wiradana menghalangi
niat Lale Dumilah menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Mereka memiliki ketakutan mendapat
cibiran dari masyarakat sekitarnya, “Elek saja teken pisagané mirib tusing taen mituturin
114
pianak.” (Gitaning Nusa Alit, 31).66 Rasa takut yang muncul di pikiran kedua orang tua Lale
Dumilah merupakan sesuatu yang wajar ketika mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang
belum bisa menerima multikulturalisme secara utuh. Terpengaruh oleh lingkungan menyebabkan
kedua orang tua Lale Dumilah bertindak sesuai dengan adat serta tradisi. Pembenarannya hanya
berlandaskan kepada adat serta tradisi yang menolak kebebasan perempuan menjalankan
Akhirnya mamiq dan inaq Wiradana mengikuti keputusan rapat keluarga besar yang
berpegang pada adat serta tradisi, yaitu membuang anak perempuannya dengan tidak hadir pada
upacara pernikahan anak mereka. Ini adalah tindakan nyata mamiq serta inaq menolak
eksogami. Mereka menepis kemungkinan bernegosiasi yang dicoba ditawarkan oleh Lalu
Wiradana untuk menerima keputusan Lale Dumilah dan memberikan restu pada pernikahannya.
Dilema memang ketika harus menjadi sebuah pilihan antara kepatuhan terhadap tradisi atau
sebuah hubungan biologis dengan seorang anak. Namun, mamiq dan inaq Wiradana telah
menentukan pilihan yang terbaik bagi mereka, meskipun konsekuensinya berat memisahkan
hubungan emosional antara anak dan orang tua. Pada kesempatan ini mereka lebih memilih
posisi aman di depan adat dengan menjadi individu yang beroposisi dengan multikulturalisme,
Mengizinkan adat terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka dan dengan
sadar telah turut menjadi bagian oposisi dari multikulturalisme rupanya membawa beban
tersendiri bagi mamiq dan inaq Wiradana. Setelah berulang-ulang dibujuk dan diberi pengertian
oleh Lalu Wiradana akhirnya mamiq dan inaq sadar akan kesalahan yang telah dilakukan. Betapa
66
“Malu dengan tetangga jika dikatakan tidak pernah menasehati anak.”
115
kekeliruan yang telah mereka lakukan dengan membiarkan anak perempuannya menikah tanpa
restu dari mereka, Beban psikologis mereka rasakan bertambah berat ketika Lale Dumilah telah
pergi meninggalkan Lombok bersama suaminya. “Sedih saja kenehné tuara nyidaang nepukin
pianakné luas ninggalin tanah palekadané.” (Gitaning Nusa Alit, 112).67 Ratna Dumilah dan
Gusti Ngurah Darsana pergi menuju Bali untuk merampungkan prosesi upacara pernikahan
Upaya memihak pada adat ternyata tidak selalu memberikan kenyamanan, tidak selalu
menjadikan jalan yang ditentukan adat lantas benar, setidaknya inilah yang dirasakan oleh
Mamiq dan inaq Wiradana setelah kepergian anak perempuannya. Mereka yang sebelumnya
lebih mendengarkan omongan keluarga besar daripada anak sendiri akhirnya menyesali
perbuatannya. Pertimbangan yang dulu sempat diberikan Lalu Wiradana kepada kedua orang
tuanya untuk menerima keputusan Lale Dumilah tidak diindahkan, hingga kini menimbulkan
penyesalan bagi mamiq dan inaq Wiradana, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Kaden tiang sampun matuinget inaq apang ten bas sangat nuutang omongan anak len
ngutang pianak. Ané kelangan masih ja i raga.” (Gitaning Nusa Allit, 112).68
Kini mereka hanya mampu menyesali diri, bahkan bagi mamiq dan inaq ini merupakan
sebuah masalah baru yang harus diselesaikan sendiri tanpa campur tangan adat lagi. Penyesalan
mereka muncul setelah semuanya berlalu tanpa mereka tahu bagaimana jalan terbaik mengakhiri
konflik yang mereka bangun sendiri dengan anak perempuannya. Saling menyalahkan kemudian
menjadi buntut dari kekecewaan mereka atas diri mereka sendiri. ”Nanging kenehné inaq lan
mamiq Wiradana kari sungsut saling salahang ajak kurenanné, srebut cara gedahé pantigang.”
67
“Sedih rasanya tidak bisa melihat anak pergi meninggalkan tanah kelahirannya.”
68
“Bukankah saya sudah ingatkan Inaq agar tidak mendengarkan omongan orang lain untuk membuang anak. Yang
kehilangan toh akhirnya kita sendiri.”
116
(Gitaning Nusa Alit, 112).69 Setelah kekeliruan yang mereka lakukan dengan tidak memberikan
restu saat pernikahan Ratna Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana, mereka pun mencari jalan
untuk meminta maaf pada putri dan menantunya melalui surat. Sikap mamiq dan inaq Wiradana
ini menunjukkan bahwa mereka mulai menyadari arti multikulturalisme, meski itu dibawa oleh
anak perempuan yang dalam tradisi patriarki memiliki kedudukan marjinal. Kejadian ini
membuat mamiq dan inaq Wiradana belajar membuka diri terhadap proses multikultur, belajar
membangun toleransi diri, sehingga akhirnya dapat menerima multikulruralisme manjadi bagian
hidup mereka secara utuh. Proses ini kemudian menjadi proses pengakuan yang utuh atas
Setelah sempat melakukan penolakan terhadap multikulturalisme, kini mamiq dan inaq
Wiradana justru berbalik arah menerima dengan terbuka multikulturalisme tersebut. Berulang –
ulang rasa bersalah dan penyesalan mereka lontarkan atas tindakan mereka dahulu. Ketidak
pahaman terhadap apa dan bagaimana multikultur itu menjadikan mereka mudah terbawa
pengaruh negatif yang menggiring mereka untuk bertindak menentang multikultur tersebut.
Keterikatan pada sistem adat serta tradisi yang masih menjadikan multikultur sebagai oposisi
semakin menambah pandangan negatif mereka terhadap multikultur. Menjadi bagian dari sebuah
heterogenitas sosial memang bukanlah hal yang mudah karena pemahaman akan indahnya
keberagaman tidak hanya datang dari dalam diri, tetapi dibutuhkan dukungan dari lingkungan
sosial tempat individu tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang menjadi salah satu faktor
pembentuk karakter diri manusia ikut menentukan bentuk pencitraan individu terhadap
multikultur.
69
“Akan tetapi perasaan inaq dan mamiq Wiradana masih sedih dan mereka saling menyalahkan, bagaikan gelas
yang dibanting, hancur berkeping-keping.”
117
Tokoh sekunder hadir sebagai tokoh yang dengan pasti menerima multikultur, ada yang
bersikap ambivalen meskipun akhirnya memihak pada multikultur, ada pula yang dengan tegas
menolak multikultur. Tokoh yang dengan tegas menolak multikultur merupakan tokoh yang
dikecewakan oleh multikultur itu sendiri, hingga akhirnya memilih untuk bersikap reaktif
menentang multikultur. Tokoh sekunder ini diantaranya adalah Raden Nuna, ia adalah sepupu
dari Lale Dumilah yang sebelumnya telah dijodohkan dengannya. Karena memiliki sikap yang
kurang baik, Lale Dumilah menolak dijodohkan dengan Raden Nuna. Sikap buruk yang
ditunjukkan oleh Raden Nuna adalah ketika ia hendak memperkosa Lale Dumilah. “Tong
madaya dugasé singgah di jumah timpalné di Selong minuman tiangé isinina ubad tidur.
Nanging dugas tiang lakar prekosana pules tiangé kari sekedap sepera” (Gitaning Nusa Alit,
62). 70 Kepercayaan yang diberikan keluarga Lale Dumilah pada Raden Nuna untuk menjaga
Kejadian ini memicu kemarahan Lale Dumilah yang membuatnya menjadi dendam
dengan Raden Nuna. Hingga akhirnya ia menolak untuk dijodohkan dengan Raden Nuna serta
memilih Gusti Ngurah Darsana untuk menjadi pendamping hidupnya. Raden Nuna yang cintanya
ditolak oleh Lale Dumilah merasa kecewa, bahkan lebih parah lagi setelah mengetahui bahwa
Lale Dumilah akan menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Ia yang paling keras menolak
rencana pernikahan antara Ratna Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana, lalu menghasut
keluarganya untuk ikut menentang rencana pernikahan tersebut. Ini adalah langkah awal yang
dijalankan Raden Nuna untuk menolak perkawinan eksogami yang akan dilangsungkan oleh
70
“Tidak disangka saat di rumah temannya di Selong minuman saya diberi obat tidur. Namun saat hendak
diperkosa saya masih dalam keadaan setengah sadar”
118
Rapat keluarga besar Lale Dumilah menjadi tempat yang paling tepat bagi Raden Nuna
untuk menghasut keluarga besarnya agar menolak rencana pernikahan Lale Dumilah. Rupanya ia
berhasil melakukan penghasutan tersebut. Seluruh keluarga besar dengan tegas menolak rencana
pernikahan Lale Dumilah. “Kanti peteng pabligbagané sengit, napi buin sasampuné misan,
paman, bibik, lan tetua-tetuané lenan teka milu ngebatang tat titi titah adat gumi Jonggaté.”
(Gitaning Nusa Alit, 58). 71 Hasil rapat keluarga memutuskan bahwa jika Lale Dumilah tetap
bersikeras menikah, maka ia akan dibuang secara adat karena telah menikah dengan laki-laki
Langkah awal yang dilakukan Raden Nuna untuk mencegah Lale Dumilah menikah
memang berhasil. Ia berhasil memperkeruh suasana rapat keluarga hingga akhirnya muncul
keputusan pembuangan Lale Dumilah secara adat. Namun, tidak cukup sampai di sana, ia
melanjutkan konfliknya dengan Lale Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana melalui jalur konflik
nonrealistis. Konflik nonrealistis ini menggiring individu yang berada dalam situasi konflik
untuk berkutat dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia spiritual, mistis, prelogis. Jalan
konflik ini dipilih Raden Nuna karena dengan konflik realistis ia tidak mendapatkan hasil
maksimal. Membangun konflik realistis rupanya kurang memuaskan keinginan Raden Nuna,
sehingga memilih untuk melanjukan konfliknya dengan Lale Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana
di jalur nonrealistis.
Meskipun merupakan manusia modern, karena telah menempatkan diri pada sektor-
sektor formal, hal ini tidak lantas menjadikan pola pikir Raden Nuna menjadi seutuhnya modern.
Lingkungan tradisi menyebabkan ia memiliki pikiran untuk mengambil jalan mistis sebagai
71
“Hingga malam perdebatan sengit masih terjadi, apalagi setelah sepupu, paman, bibi dan tetua-tetua datang
menjabarkan aturan-aturan yang berlaku di tanah Jonggat.”
119
pelampiasan dendam. Hal ini wajar saja terjadi pada individu-individu yang hidup di “dunia
Timur”, karena kebudayaan Timur memiliki pandangan hidup yang lebih cenderung pada hal-hal
Tindakan Raden Nuna ini terlihat sejak awal kedatangannya ke rumah Gusti Ngurah Darsana
bersama rombongan keluarga besarnya untuk menyampaikan jawaban atas pinangan Gusti
Ngurah Darsana.”Nanging misan lan pamanné masebeng jengah. Anggon ngilangang kabilbilné
Raden Nuna tidak sendiri dalam menjalankan niatnya menyakiti Lale Dumilah dengan
jalan mistis. Ia dibantu oleh ayahnya yang juga merasa kecewa dengan keputusan Lela Dumilah.
Peran ayah Raden Nuna di dalam konflik nonrealistis ini sebagai orang yang menjalankan guna-
guna kepada Lale Dumilah.”Pamanné mesuang lekesan lantas nginang. Peesné kecah-
kecuhanga di samping undagé.” (Gitaning Nusa Alit, 70).73 Melalui ludah inilah ayah Raden
Nuna menebarkan guna-guna kepada Lale Dumilah, hal ini tentu saja tidak dirasakan oleh orang-
orang di sekitarnya.
Lale Dumilah sadar betul bahwa Raden Nuna dan ayahnya merasa kecewa dengan
keputusan yang diambil untuk menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Namun, ia tidak pernah
menyangka bahwa keputusannya ini menjadi jalan untuk membangun konflik non-realistis
dengan sepupu dan pamannya. Lale Dumilah mulai merasakan efek dari guna-guna tersebut pada
malam hari saat ia bermimpi pakaiannya dibakar oleh Raden Nuna dan ayahnya. Setelah ia
bermimpi, seluruh badan mulai tidak bisa digerakkan dan menjadi lumpuh.
72
“Namun, sepupunya terlihat bersikap tidak menyenangkan, untuk menghilangkan rasa emosinya Raden Nuna
lantas mengisap sebatang rokok.”
73
“Pamannya mengeluarkan lekesan lalu mulai makan kapir sirih, ia meludah sembarangan di sebeah anak tangga.”
120
Ketidaksiapan Raden Nuna juga ayahnya menjadi bagian dari masyarakat multikultur
tidak hanya disampaikan melalui konflik realistis, namun juga melalui konflik nonrealistis.
Dasarnya adalah bentuk kekecewaan serta ketidakpahaman Raden Nuna dalam menyikapi
multikulturalisme yang mulai masuk dan berkembang di dalam masyarakat tradisi. Bahwa
kebebasan dalam menentukan pilihan adalah salah satu bagian penting dalam multikulturalisme
yang belum bisa diterima oleh Raden Nuna, sehingga ia memaksakan kehendaknya atas Lale
Dumilah. Semua sikap Raden Nuna ini adalah faktor-faktor yang kemudian menumbuhkan
prasangka sosial. Prasangka sosial dipupuk serta dipelihara dalam situasi yang mendukungnya
untuk semakin mengarah pada prasangka negatif. Prasangka negatif ini kemudian menjadi media
subur bagi berkembangnya sebuah konflik. Reaksi berbeda diberikan terhadap satu objek yang
sama oleh dua orang (dua kelompok) atau lebih dalam suatu situasi yang sama merupakan
pemicu sebuah konflik (Susanto, 1985: 106). Konflik yang terjadi di antara Raden Nuna dan Lale
Dumilah berujung pada disintegrasi intrakelompok sosialnya yang terikat dalam satu tataran
adat.
Hendun, ia sepupu Lale Dumilah. Dasar penolakan Hendun terhadap multikulturalisme sama
dengan Raden Nuna, kecewa dengan multikultur itu sendiri. Ia sebelumnya berada pada posisi
mendukung multikultur dengan menjalani pernikahan eksogami. Hendun adalah seorang gadis
Sasak, kemudian menikah dengan seorang laki-laki asal Jawa yang bernama Kirno. Pernikahan
ini membuktikan bahwa Hendun adalah seorang individu yang menerima baik multikulturalisme,
suaminya mulai kehilangan rasa cinta pada Hendun serta melakukan perselingkuhan. Semakin
parah lagi karena Kirno berselingkuh dengan pembantu yang notabene adalah orang dari etnik
121
Jawa sama seperti suaminya. Hendun awalnya memberikan kepercayaan besar pada
pembantunya, ia tidak menaruh curiga sedikit pun. “Ia bebasang tiang jumah sawireh mrasa
paturu uli Jawa. Yen tiang nyerep ngedarang roko, ia ané nyérep nyérvis Pak Kirno jumah”
(Gitaning Nusa Alit, 228).74 Hendun yang merasa kecewa dikhianati suaminya mulai bersikap
apatis terhadap multikultur, hilang kepercayaan serta rasa toleran pada etnik lain khususnya etnik
Jawa.
memberikan pengaruh buruk bahwa menikah dengan lelaki yang berbeda keyakinan adalah salah
dan musibah. Pengalaman pribadinya ia jadikan pembanding dan meyakinkan Lale Dumilah
tentang keyakinannya yang kini tidak lagi toleran terhadap multikultur. Hendun mencoba merayu
Lale Dumilah agar mau kembali pada Raden Nuna sepupunya yang seadat dan seiman. Berikut
kutipannya:
“Raden Nuna jani suba dadi camat di Sengkol. Nanging kayang jani ia tonden nganten.
Mirib tresnané teken Denda Milah tusing nyidayang baana ngengsapang,” raos Hendun
nyobak mancingin paingetané Ratna Dumilah ané pucuk-pucukanga teken inaq lan
mamiqné apang ngenyakin misané. (Gitaning Nusa Alit, 236).75
Usaha Hendun ini bisa jadi merupakan jalannya untuk menarik Lale Dumilah kembali
pada Raden Nuna, yang berarti adalah kembali kepada keyakinan adat serta tradisi dan
menafikan multikultur. Memang tidak secara eksplisit terlihat pernyataan Hendun untuk
memaksa Lale Dumilah. Namun, secara tersirat maksud tersebut dapat terbaca dari kata-kata
Hendun. Konflik yang muncul antara Hendun dan suaminya mengubah orientasi berpikir
74
“Ia saya bebaskan di rumah karena sama-sama dari Jawa. Saat saya menggantikan untuk berkeliling menjual
rokok, dia malah yang menggantikan saya melayani Pak Kirno.”
75
“Raden Nuna sekarang sudah jadi Camat di Sengkol. Namun, sampai saat ini belum juga menikah, mungkin
cintanya pada Denda Milah tidak bisa dilupakan,” jawab Hendun mencoba memancing ingatan Ratna Dumilah
yang dijodohkan dengan sepupunya tersebut.”
122
Hendun terhadap multikultur, yaitu dari bersikap toleran menjadi apatis. Kekecewaan pada
suaminya berdampak pada perkawinan eksogami yang dijalani, dan ini secara spontan mengubah
pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan cerita. Tokoh-tokoh sekunder yang tidak selalu
memihak pada multikultur menjadi bagian berarti guna semakin menguatkan arti penting sebuah
multikultur itu sendiri. Keberadaan tokoh oposisi jelas akan menjadi identitas sekaligus
representasi bagaimana posisi multikultur dalam masyarakat karena tanpa tokoh oposisi tersebut
sulit menentukan posisi multikultur. Suatu hal dapat ditentukan posisi serta kedudukannya jika ia
123
BAB VII
Masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas beragam latar belakang
yang bersifat dinamis sehingga terus-menerus berkembang lalu diwariskan secara turun-temurun.
Salah satu unsur budaya yang diwariskan secara berkelanjutan adalah sistem religi. Sistem religi
pada masyarakat budaya mencakup dua pokok khusus, yaitu sistem religi dan sistem ilmu gaib
atau mistik (Koentjaranigrat, 1990: 376). Mistik bisa juga disebut pengetahuan yang tidak
rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak
dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang
mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian
membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
Kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau mistik dalam masyarakat multikultur sendiri
sangat besar, mengingat masyarakat multikultur adalah masyarakat yang mewarisi budaya, Salah
satu di antaranya adalah sistem religi yang berkaitan dengan hal-hal mistik. Hal-hal mistik selalu
dikaitkan dengan dukun, ilmu hitam, setan, atau kutukan yang dalam pandangan masyarakat
tradisional merupakan sesuatu yang selalu ada dan berdampingan dalam kesehariannya.
Tradisionalisme masih memberikan ruang penerimaan bagi hal-hal mistik yang diidentikkan
dengan suatu kondisi irasional, di luar nalar, bahkan tak kasat mata. Modernisme bertolak
belakang dengan tradisionalisme. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan mistik
124
ditabukan dalam pola pikir masyarakat modern. Keadaan ini menjadi sebuah fenomena tersendiri
modernisme yang bersanding dengan tradisionalisme. Satu sisi masyarakat multikultur jelas
merupakan masyarakat modern karena mereka telah berbaur dan berinteraksi dengan pola
kehidupan modern, telekomunikasi, transportasi, dan kemajuan di bidang ilmu serta teknologi.
Keterbukaan terhadap berbagai kehidupan dengan pola modern lebih mungkin terjadi pada
sebagai masyarakat modern, ternyata masyarakat multikultur tidak sepenuhnya dapat lepas dari
tradisi dan modernisasi masih sangat jelas dapat terlihat. Sistem kekerabatan tradisional
masyarakat Indonesia yang begitu kuat menjadikan individunya tetap bertradisi meskipun hidup
di tengah modernisasi. Masyarakat multikultur tetap memegang teguh tradisi yang telah
terwariskan dari generasi ke generasi, tradisi yang kadang kala bersifat mistik dan di luar nalar.
Dunia mistik dalam masyarakat multikultur dapat dilihat dari munculnya penyakit-
penyakit yang dalam dunia paramedik tidak dapat dipercaya. Penyakit-penyakit tersebut dapat
dirasakan penderita dalam tubuhnya, tetapi analisis ilmu kedokteran modern tidak dapat
menerima dengan baik. Jenis-jenis penyakit ini dalam keyakinan Hindu dikenal dengan
Daiwabala prawrta yaitu gangguan penyakit sebagai akibat pengaruh kekuatan supranatural atau
mistik, tidak terdeteksi dengan jelas oleh kemampuan manusia biasa. 76 Penyakit dengan latar
belakang mistik tentu saja bukan bagian dari pengobatan medis modern untuk
menyembuhkannya. Hal ini merupakan ranah pengobatan tradisional karena sumber penyakitnya
pun berada pada ranah tradisi, bersifat irasional. Namun, tidak berarti bahwa segala yang berbau
76
Jenis penyakit ini bermacam-macam di setiap daerah, di Bali dikenal dengan Bebai, di Lombok di kenal Sokeq,di
Timor dikenal dengan Begik atau Bangruk.
125
tradisional bersifat irasional. Akan tetapi, dalam hal mistik hanya tradisionalismelah yang
memahaminya dengan baik. Kalaupun pengobatan biomedis mencoba mengambil peran, tidak
lebih dari sekadar pertolongan pertama yang tidak memberikan efek kesembuhan permanen pada
pasiennya.
Sistem pengobatan tradisonal merupakan salah satu bagian dari sistem pengetahuan
tradisional yang dipelajari manusia dari alam dan sering kali dikaitkan dengan konsep-konsep
atau paham tentang alam gaib (Koentjaraningrat, 1990: 371). Sistem pengobatan tradisional yang
ada di Indonesia memiliki ragam yang begitu banyak karena setiap etnik memiliki sistem
pengobatan tradisionalnya masing-masing. Sistem pengobatan ini beragam jenis serta tata cara
pengobatannya karena tergantung pada lingkungan alam yang menyediakan sarana pengobatan
Masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih percaya pada hal-hal gaib dan
supranatural menjadikan masyarakatnya tetap cenderung pada pengobatan tradisional. Hal itu
terjadi karena dalam pengobatan tradisional hal-hal gaib dan berbau metafisik diyakini
keberadaannya, sementara dalam pengobatan modern hal-hal tersebut sama sekali tidak dapat
diterima. Pengobatan modern yang lebih rasional cenderung menyikapi suatu gejala penyakit
dari sisi biomedis bukan magis. Hal ini bertolak belakang dengan sistem pengobatan tradisional.
Pengobatan modern hanya mengenal virus, bakteri, kuman, atau jamur sebagai penyebab
terjadinya penyakit. Sebaliknya, dalam pengobatan tradisional ada sebab-sebab khusus yang
menjadi dasar sebuah penyakit. Sebab khusus inilah yang sering kali dikaitkan dengan dunia
mistik. Penyakit dengan sebab-sebab khusus ini bisa dikatakan penyakit luar biasa (Bandel,
2009: 20). Oleh karena itu, penanganan yang diperlukan untuk penyakit jenis ini tidak cukup
126
hanya dengan pengobatan secara fisik, tetapi juga secara psikologis melalui ritual-ritual yang
berbau mistik.
Sebab-sebab khusus yang muncul dari suatu penyakit dalam pengobatan tradisional dapat
dilihat ketika Ratna Dumilah mengalami kejadian aneh sehari menjelang hari pernikahannya
dengan Gusti Ngurah Darsana. Tiba-tiba saja Ratna Dumilah menjadi lemah dan tidak mampu
menahan tubuhnya sehingga akhirnya ia terjatuh. Tatapan matanya kosong, mulutnya kaku, dan
tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Gusti Ngurah Darsana segera mengambil dupa,
mengucapkan mantra, lalu mengasapi seluruh tubuh istrinya dengan asap dupa yang
digenggamnya. Seketika itu Ratna Dumilah sadarkan diri, tetapi tubuhnya masih belum dapat
digerakkan. Ratna Dumilah menceritakan awal sakitnya ketika ia bermimpi semua pakaiannya
dibakar oleh paman dan sepupunya Raden Nuna, lalu ia merasakan seperti ada suara yang
memanggilnya untuk pulang. Hingga akhirnya ia lemas tanpa tenaga dan merasakan kakinya
Gusti Ngurah Darsana bergegas meminta bantuan seorang dukun untuk mengobati
istrinya, tanpa berpikir akan meminta bantuan tenaga medis modern. Dukun pertama yang
mencoba membantu menyembuhkan Ratna Dumilah adalah Dandak Ketut Patrem. Berdasarkan
analisisnya, Ratna Dumilah terkena penyakit magis Sasak. Sistem kerja penyakit ini menurut
Dandak Ketut Patrem melalui media tertentu yang dilakukan dari jarak jauh dan media yang
telah dipasang sebelumnya di rumah korban. “Beh, niki penyakit pegaen Sasak, nganggo alat
ané acepa uli joh. Nanging bisa masih pasangina jumah driki” (Gitaning Nusa Alit: 74). 77
Merasa tidak mampu menangani jenis penyakit ini, Dandak Ketut Patrem menyarankan Gusti
77
“Beh,, ini penyakit buatan Sasak, menggunakan alat yang dikendalikan dari jarak jauh. Akan tetapi, bisa juga
telah dipasang di rumah”
127
Ngurah Darsana untuk mencari dukun lain yang lebih paham mengenai pengobatan tradisional
Sasak.
Selanjutnya Gusti Ngurah Darsana meminta bantuan Amaq Tirah, seorang dukun dari
Sembalun yang dikenalkan oleh Loq Sudangsa. Sebelum melakukan pengobatan, Amaq Tirah
melakukan pemeriksaan jenis penyakit yang diderita pasien. Cara yang digunakan mendeteksi
penyakit pasien adalah dengan mengusapkan semacam ramuan ke seluruh tubuh pasien.
Beberapa saat pasien akan bereaksi mengeluarkan tanda-tanda sesuai jenis dengan penyakitnya.
Ratna Dumilah merasakan panas di seluruh tubuhnya, paha dan kakinya membesar layaknya
batang pisang yang telah membusuk. Atas dasar ciri tersebut Amaq Tirah memvonis bahwa
Ratna Dumilah terkena Sokeq, lalu mempersiapkan ramuan khusus untuk menyembuhkan jenis
penyakit ini. Ramuan-ramuan tradisional yang khusus dibuat sesuai dengan jenis penyakit
pasien. Selama pembuatan ramuan tersebut tidak henti-hentinya Amaq Tirah mengujarkan
mantra-mantra. Selama proses pengobatan Amaq Tirah melakukan puasa, membakar dupa, dan
berdoa tiada henti. Di halaman rumah Gusti Ngurah Darsana muncul banyak ulat yang berwarna
keemasan. Menurut Amaq Tirah, ulat-ulat tersebut merupakan sumber penyakit Ratna Dumilah.
Kemunculan ulat-ulat tersebut menjadi ciri bahwa penyakit pasien telah dapat disembuhkan
Menurut sang penyembuh, hal-hal khusus yang menjadi penyebab munculnya penyakit
Ratna Dumilah adalah ilmu hitam khas Sasak yang dikenakan pada Ratna Dumilah. Ciri-ciri
yang tampak pada penyakit jenis ini adalah seluruh tubuh pasien akan membengkak layaknya
batang pisang yang membusuk, pasien tidak dapat berbicara, dan akan muncul ulat di halaman
rumah jika si penyembuh mampu menandingi si pengirim penyakit. Penyakit yang dikenal
dengan nama sokeq mengakibatkan pasiennya menjadi lumpuh, bahkan dapat membunuh secara
128
halus dan perlahan (Kardji, 2004: 7). Sebab-sebab khusus inilah yang mengarahkan pemikiran
Gusti Ngurah Darsana untuk mengambil inisiatif meminta bantuan pada pengobatan tradisional.
Tindakan yang dilakukan Gusti Ngurah Darsana menunjukkan bahwa individu modern sekalipun
rupanya tidak lepas begitu saja dengan hal-hal yang beraroma mistik. Tindakannya
menggunakan dupa, lalu mengucapkan mantra-mantra, kemudian lebih percaya kepada dukun
merupakan tindakan yang mengarah pada kepercayaan supranatural. Pengaruh dunia mistik pada
individu modern ternyata mampu menggiringnya untuk lebih dekat bergulat dengan tradisi.
Selain sebab-sebab khusus yang menjadi ciri dari sistem pengobatan tradisional, proses
diagnosis terhadap jenis penyakitnya pun memiliki prinsip dasar yang berbeda dengan sistem
pengobatan modern. Analisis sistem pengobatan modern lebih melihat gejala-gejala pasien dari
sisi fisiologis dan psikologis yang disertai dengan rasional nalar. Hal ini bisa dilihat ketika Ratna
Dumilah menderita sakit saat tinggal di Atambua. Seorang dokter bernama Dokter Budi
melakukan pemeriksaan terhadap Ratna Dumilah yang sejak pagi tertidur dan tidak sadarkan
diri. Pemeriksaan yang dilakukan Dokter Budi pada Ratna Dumilah tidak menyebutkan jenis
penyakit apa yang diderita Ratna Dumilah. Diagnosis medis atas penyakit yang diderita Ratna
Dumilah tidak disebutkan dengan jelas oleh Dokter Budi. Keterangan yang didapatkan dari
Dokter Budi hanya sebatas imbauan kepada Ratna Dumilah agar lebih banyak beristirahat serta
tepat waktu makan. Tindakan medis Dokter Budi hanya menyuntikkan beberapa dosis obat,
memberikan vitamin, lalu menyarankan Ratna Dumilah untuk makan serta beristirahat (Gitaning
Nusa Alit: 248). Memang setelah mendapatkan penanganan dari Dokter Budi, Ratna Dumilah
sadar dari tidur lelapnya yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya. Namun, tidak lantas Ratna
Dumilah menjadi sembuh dari penyakit yang dideritanya. Beberapa hari kemudian Ratna
Dumilah kembali tak sadarkan diri, tangan dan kakinya mengeluarkan keringat dingin. Obat
129
yang diberikan oleh Dokter Budi rupanya tidak bekerja secara maksimal untuk menyembuhkan
Ratna Dumilah. Kegamangan atas diagnosis penyakit serta hasil pengobatan yang kurang
maksimal dari Dokter Budi seolah-olah memposisikan tenaga medis modern pada sudut minor.
Kesan yang muncul kemudian adalah tenaga medis modern tidak cukup berhasil menangani
pasien. Hal ini juga terjadi karena dokter tidak mampu memberi jawaban yang meyakinkan
mengenai jenis penyakit yang diderita pasien. Dokter lebih cenderung untuk diam kecuali pasien
atau keluarganya menanyakan dengan lebih mendetail. Meskipun hal itu sama sekali tidak
tersurat dalam novel, jelas terlihat dari tindakan Gusti Ngurah Darsana. Bentuk kekecewaannya
pada hasil kerja seorang dokter ditunjukkan dengan tidak menggunakan jasa dokter lagi ketika
penyakit istrinya kambuh. Peristiwa ini juga semakin menegaskan bahwa dunia mistik dengan
Melihat keadaan istrinya yang terlihat kurang sehat serta menunjukkan gejala-gejala yang
tidak seperti biasanya, Gusti Ngurah Darsana meminta Pak Markus memanggil dukun, bukan
dokter. Romo Ulumondo menjadi rekomendasi Pak Markus, seorang pastor yang juga biasa
melakukan penyembuhan secara tradisional. Tanpa pikir panjang Gusti Ngurah Darsana meminta
Pak Markus untuk menjemput Romo Ulumondo. Romo Ulumondo kemudian memeriksa Ratna
Dumilah lalu menjelaskan hasil pemeriksaannya pada Gusti Ngurah Darsana. Menurut Romo,
Ratna terkena guna-guna yang diletakkan pada perhiasan gading yang didapatkan dari Hendun
sepupunya. Hasil analisis kesehatan yang dilakukan Romo Ulumondo berbeda dengan yang
didapatkan Dokter Budi. Romo lebih melihat penyakit Ratna Dumilah sebagai penyakit yang
disebabkan oleh kekuatan berbau magis, sehingga pengobatannya mesti lewat jalur magis.
kebanyakan dukun lainnya- adalah sebuah interpretasi alternatif, bukan merupakan diagnosis
130
biomedis. Walaupun hasil analisis yang dilakukan dukun lebih pada sebuah interpretasi, namun
hasil maksimal yang ditunjukkan dalam mengobati pasien mampu menumbuhkan tingkat
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang ditunjukkan pasien, lalu dengan
tangan kosong memeriksa tubuh Ratna Dumilah dari kepala hingga kakinya, tidak ada stetoskop
“Romo mreksain rabiné uli duur nganti ka cokor. Salibné anggona ngetok-ngetok
gidatné, bibihné, dadanné, weteng nganti teked ka cokorné. Ratna Dumilah mrasa cara
ada sinar nyetrum ragané.” (Gitaning Nusa Alit: 263).78
Melalui doa dan mantra Ratna Dumilah disembuhkan, bahkan Ratna Dumilah merasakan
hal mistik ketika Romo Ulumondo menyentuhkan salib di kepalanya. Ia tiba-tiba merasakan
sesuatu yang hangat dan melihat sinar yang sangat terang. Fenomena supranatural inilah yang
menjadi ciri khusus sekaligus kelebihan dari sistem pengobatan tradisional. Salib yang oleh kasat
mata hanya sebuah benda berbentuk menyerupai tanda tambah dan terbuat dari kayu, simbol
sebuah kepercayaan, mampu mengeluarkan semacam energi, bahkan memiliki kekuatan yang
dapat menyembuhkan. Hal itu kemudian ditambah dengan ramuan-ramuan tradisional disertai
sedikit mantra-mantra khusus yang menjadi sarana pengobatan, bukan suntikan obat dan
antibiotik seperti Dokter Budi. Hal-hal seperti ini merupakan sesuatu yang sering kali disangkal
oleh pengobatan modern, karena dianggap tidak masuk akal, tetapi nyatanya ampuh untuk
menyembuhkan.
Setelah mendapat penanganan dari Romo, Ratna Dumilah kembali seperti sediakala.
Tidak lagi kambuh penyakitnya seperti dahulu, lalu perhiasan gading yang menurut analisis
Romo mengandung guna-guna dibersihkan secara spiritual oleh Romo sehingga dapat digunakan
78
“Romo memeriksa istrinya dari atas sampai kaki. Salib digunakan untuk memukul-mukul dahi, bibir, dada, perut,
sampai ke kaki. Ratna Dumilah merasakan ada cahaya yang memberikan getaran pada tubuhnya.”
131
lagi. Keinginan Gusti Ngurah Darsana untuk meminta bantuan pada seorang dukun sekali lagi
menunjukkan bahwa pengobatan tradisional memang menjadi solusi yang tepat ketika
berhadapan dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan dunia mistik. Hal yang
dilakukan Gusti Ngurah Darsana untuk mempercayakan keselamatan istrinya pada seorang
dukun menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan indiviu modern pada penanganan medis.
Jelas ini bisa jadi adalah sebuah ironi, yaitu ketika kehidupan modern mulai merambah setiap
individu, kekuatan tradisional semakin kuat mengikat serta mencoba mendominasi melalui jalan-
Kejadian dengan motif yang sama juga terjadi ketika putri Gusti Ngurah Darsana sakit.
Peran biomedis kembali menjadi marjinal ketika menghadapi kenyataan penyakit yang diikuti
aroma spiritualitas. Putri Gusti Ngurah Darsana yang bernama Gusti Ayu Kendariyani
mengalami penyakit yang menurut analisis biomedis dapat dijelaskan sebagai penyakit darah
rendah. Diagnosis ini dijelaskan oleh Gusti Ayu Sri Wahyuni, bibinya sendiri yang berprofesi
sebagai seorang dokter. Saat berada di Baledan untuk mempersiapkan upacara otonan Gusti Ayu
Widyakayani penyakitnya tiba-tiba kambuh. Ia kehilangan kesadaran diri lemas layaknya raga
tanpa jiwa. Gusti Ayu Sri dan suaminya Dokter Ngurah Usadhi bergegas mempersiapkan
berikut kutipannya:
79
“Dokter Ngurah Usadhi dengan cepat memeriksa denyut nadi, mulut dan mata,,,Gusti Ayu Sri segera mengambil
tas perlengkapan kedokterannya lalu memeriksa dada, perutnya Gek Yani dengan stetoskop. Dengan cekatan ia
mengejutkan menekan-nekan dada lalu memberikan pernapasan buatan. Gung Gek Yani pun mulai sadar”
132
Paman dan bibi Gusti Ayu Kendariyani memang sangat sigap dalam menghadapi
pasiennya dengan cekatan memberikan pertolongan pertama. Suntikan vitamin dan glucose
diberikan untuk membantu memulihkan kondisi Gusti Ayu Kendariyani yang lemah. Gejala
medis yang ditunjukkan oleh Gung Yani (nama panggilan Gusti Ayu Kendariyani) mengarah
pada penyakit darah rendah. Hal ini diperkuat dengan analisis Gusti Ayu Sri melalui pengukuran
tensi Gung Yani. Tensi Gung Yani yang hanya 70-50 menunjukkan bahwa ia menderita penyakit
darah rendah. Setidaknya ini analisis dari segi medis yang paling akurat dapat dijelaskan oleh
tenaga dokter.
penyakit Gung Yani tidak begitu saja dapat disembuhkan. Lagi-lagi sistem pengobatan modern
tidak memberikan jalan keluar yang final. Ia hanya berfungsi sebagai peredam sementara
penyakit yang diderita pasien karena setelah mendapat pengobatan secara biomedis, sempat
beberapa kali Gung Yani kambuh lagi dan muncul kejadian-kejadian aneh yang menyertai
kambuhnya penyakit Gung Yani. Kejadian-kejadian mistis yang menyertai kambuhnya penyakit
Gung Yani membuat seluruh anggota keluarga yakin bahwa penyakit yang diderita Gung Yani
bukanlah penyakit darah rendah biasa seperti hasil diagnosis paman dan bibinya, melainkan
penyakit luar biasa. Kasus nonmedis yang dialami Gung Yani sama halnya dengan yang
Keyakinan keluarga Gusti Ngurah Darsana akan penyakit nonmedis yang menimpa
anaknya ini diperkuat dengan kejadian-kejadian aneh yang sering kali menimpa anaknya.
Kejadian-kejadian ini kian menguatkan keberadaan dunia mistik dalam masyarakat multikultur.
Kejadian pertama ketika Gung Yani diserang oleh kelelawar putih dan digigit hingga
menimbulkan luka yang cukup parah kemudian saat ia hendak diculik oleh makhluk besar hitam
133
yang bersembunyi di kamarnya serta saat ia akan diserang oleh seekor babi hutan yang besar.
Selain kejadian-kejadian tersebut, sebab khusus lainnya yang menyebabkan Gung Yani
mengalami penyakit nonmedis ini adalah karena Gung Yani sempat memakan makanan yang
telah diberi guna-guna. “Ragané sering maang tiang makanan, minuman. Yéning suud kénten
awak tiangé mrasa iying, lemet tanpa bayu” (Suryak Suung Mangmung, 181).80 Ini merupakan
pernyataan Gung Yani. Ia sebenarnya telah merasakan bahwa Gus Ayodia meletakkan guna-
kekecewaan Gus Ayodia. Gus Ayodia merupakan seorang laki-laki yang bekerja di satu tempat
yang sama dengan Gung Yani, Gus Ayodia menaruh hati pada Gung Yani, tetapi Gung Yani
lebih memilih lelaki lain. Buntut kekecewaan karena cintanya ditolak inilah yang membuat Gus
Ayodia mengambil jalan pintas untuk merebut Gung Yani dari kekasihnya, yaitu Gung Wiweka.
Gus Ayodia belajar ilmu hitam, berguru pada Mangku Songkrong dan Niang Mas. Bergelut
dengan dunia mistis menjadi pilihan terbaik yang dapat ditempuh Gus Ayodia guna memenuhi
hasratnya. Sayangnya pilihan ini justru membuatnya jatuh semakin dalam pada lubang hitam
penderitaan.
Berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya yang bermotif sama-yaitu bergulat dengan
ilmu hitam-kali ini tidak hadir dukun sebagai figur sang penyembuh. Kasus Gung Yani, dukun
hadir sebagai sosok yang turut membantu, tetapi tidak turut andil menuntaskan permasalahan.
Dukun yang hadir adalah Ida Pedanda Gedé. Beliau sempat beberapa kali memberikan penawar
untuk meredakan penyakit Gung Yani. Sosok yang paling berperan dalam proses penyembuhan
penyakit Gung Yani justru adalah ayahnya, Gusti Ngurah Darsana. Peristiwa dengan motif yang
sama sebelumnya Gusti Ngurah Darsana hanya hadir sebagai sosok yang tidak banyak bergerak
80
“Dia sering memberikan saya makanan dan minuman. Setelah itu tubuh saya terasa ringan, lemas tanpa tenaga”
134
melawan penyakit. Namun, kini justru ia hadir sebagai tokoh pahlawan. Bertindak aktif dan
Gusti Ngurah Darsana dalam proses penyembuhan penyakit Gung Yani bertindak sebagai
penyembuh dengan bantuan keris pusaka I Léak Langgam warisan leluhurnya. Melalui keris
pusaka tersebut Gusti Ngurah Darsana melakukan proses penyembuhan terhadap Gung Yani.
Keris pusaka itu pun membantu Gusti Ngurah Darsana ketika berhadapan dengan Gus Ayodia
dan gurunya. Pertarungan dunia supranatural antara Gusti Ngurah Darsana dan Gus Ayodia juga
melibatkan Gung Wiweka. Gus Ayodia akhirnya dapat dikalahkan beserta semua gurunya.
Perlahan penyakit yang diberikan Gus Ayodia pada Gung Yani menjadi sirna. Guna
membersihkan sisa-sisa penyakit yang mungkin masih tersisa, Gung Yani dibersihkan dengan air
basuhan keris pusaka I Léak Langgam. Ini bisa menjadi gambaran bahwa manusia yang modern
memiliki kesempatan ataupun niat untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan tradisi sekalipun
Beberapa kejadian yang menimpa Gung Yani sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya tampak telah mematahkan diagnosis dokter. Hal itu semakin menjauhkan dokter dari
citra sang penyembuh. Pelukisan berbagai peristiwa supranatural yang berkaitan dengan penyakit
Gung Yani semakin menguatkan posisi sistem pengobatan tradisional. Bahkan, semakin jelas
polarisasi yang terjadi di antara sistem pengobatan tradisional dan sistem pengobatan modern.
Sistem pengobatan modern tidak dapat berbuat banyak ketika sumber penyakit sudah berada jauh
di luar jangkauan nalar. Bahkan, sistem pengobatan modern kemudian menyerah dan malah
merujuk pasien untuk bernegosiasi dengan kekuatan supranatural. Hal ini dapat dilihat ketika
dokter dan perawat sudah tidak mampu lagi menangani penyakit Gus Ayodia, berikut
kutipannya.
135
“Béh, puniki sungkané sekadi tawah. Prémanané sayan alit yadin sampun suntik, infuse
lan upaya siosan. Yéning jaga bakta ka balian, rarisang,” atur dokteré sekadi nyerah
santukan sami tambané ngampar. Perawaté sering mrasa jerih (Suryak Suung
Mangmung, 175).81
Kutipan di atas jelas menunjukkan bagaimana dokter sebagai tenaga medis harus
menyerah pada kenyataan sebuah penyakit yang sulit diterima oleh pengobatan modern.
Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan fenomena supranatural setiap tokoh yang notabene
adalah manusa modern semakin menggiring opini publik terhadap sistem pengobatan tradisional.
Opini yang kemudian terbangun secara perlahan, tetapi pasti adalah bahwa sistem pengobatan
tradisional lebih memberikan jawaban yang pasti terhadap suatu penyakit. Sistem pengobatan
tradisional tidak lagi menjadi pilihan alternatif setelah pengobatan medis, tetapi dapat menjadi
pilihan utama.
dibandingkan dengan harus bergantung pada pengobatan biomedis. Ketika Ratna Dumilah sakit
sehari sebelum pernikahannya tidak ada sama sekali sentuhan pengobatan modern, dukun
langsung menjadi pilihan. Kemudian saat ia sakit lagi di Atambua, peran dokter tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan kesehatan Ratna Dumilah. Akhirnya seorang
pastor yang memliki kemampuan khusus membantu mengobati Ratna Dumilah. Kembali peran
tenaga kesehatan modern tidak mendapatkan tempat yang dominan dalam proses pengobatan
pasien. Gung Yani yang menderita suatu penyakit kurang mendapat-atau dengan sengaja tidak-
konsultasi atau penanganan dokter. Ini sangat ironis ketika sebagian besar keluarga Gung Yani
adalah tenaga kesehatan modern, beberapa orang pamannya merupakan dokter, bibinya ada yang
menjadi perawat dan bidan. Semakin ironis lagi ketika tenaga dokter mulai kehabisan akal untuk
81
“Beh,,penyakit seperti ini sangat aneh. Badannya semakin kurus walaupun sudah diberikan suntikan, infuse dan
cara lain. Jika ingin dibawa ke dukun silakan saja.” Kata dokter seakan menyerah karena semua obat yang
diberikan tidak membuahkan hasil. Perawat pun sering kali merasa takut.
136
menangani pasien. Ia malah merujuk pasiennya untuk melakukan pengobatan alternatif ke
dukun. Peristiwa terakhir ini mungkin menjadi simbol simbiosis yang bisa saja terjadi di antara
pengobatan modern dan tradisional. Pengobatan modern yang merujuk langsung pasiennya ke
kepercayaan dirinya untuk dapat menyembuhkan pasien. Ini jelas berbeda situasinya dengan
beberapa peristiwa sebelumnya. Beberapa peristiwa medis sebelumnya pasien sendiri yang
Pengobatan tradisional dengan aroma mistisnya menjadi jalan keluar yang dipilih
pengarang untuk membebaskan tokohnya dari penyakit. Sistem pengobatan modern tidak bekerja
secara optimal dalam novel ini. Pengobatan modern hanya berfungsi sebagai peredam sementara
penyakit yang diderita oleh para tokoh. Jika dilihat dari deskripsi dan diagnosis yang dilakukan
pengobatan tradisional dan modern terhadap penyakit tokoh, maka sistem pengobatan tradisional
diagnosis (interpretasi) menurutnya dan tindakan medis yang akan dilakukannya terhadap pasien.
Sementara deskripsi demikian tidak dengan jelas didapat ketika dihadapkan dengan dokter.
Dokter tidak dengan jelas memerinci informasi mengenai sebab-sebab penyakit pasien.
Kekurangan informasi yang didapatkan dari dokter ini sesungguhnya tidak terlalu mengherankan
karena memang sering kali dokter lebih bersifat “pendiam”. Jika tidak si pasien yang aktif
bertanya, dokter jarang menjelaskan dengan detail hasil diagnosisnya. Sering satu-satuya
informasi yang diperoleh pasien hanyalah keterangan seperlunya tentang pengobatan (dosis
obat). Pada kesempatan inilah pengarang mencoba mengkritisi keadaan tersebut di masyarakat.
Dokter diingatkan bahwa posisinya tidak hanya sebagai penyembuh secara fisik, tetapi juga
137
psikologi. Pasien berhak tahu apa yang menimpa dirinya dengan sejelas-jelasnya, serta solusi
penyembuhannya, tidak malah ditutup-tutupi serta berlindung di balik kode etik kedokteran.
Pengarang rupanya ingin “konspirasi rahasia” semacam ini mulai ditinggalkan dokter sebagai
tarik-menarik antara tradisi dan modern khususnya di bidang medis. Pengarang menghadirkan
polemik yang cukup kuat ketika tokoh-tokoh yang memiliki pola pikir dan hidup dalam
kehidupan modern dihadapkan pada kenyataan medis yang berada jauh di luar logika. Benda-
benda gaib serta kejadian-kejadian berbau mistis memaksa tokoh yang terlihat dalam polemik
tersebut harus berpikir secara irasional. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dapat diterima
pemikiran modern.
Hadirnya tokoh penyembuh (dukun) dengan cara-cara tradisional yang berbau magis
seolah menjadi lawan tanding tokoh-tokoh penyembuhan modern (dokter, bidan, perawat).
Lawan tanding di sini tidak berarti bahwa secara eksplisit terjadi persaingan antara pengobatan
tradisi dan modern. Akan tetapi lebih pada pembanding bahwa dengan hadirnya pengobatan
modern sebagai dampak dari globalisasi tidak lantas menjadikan pengobatan tradisional
kehilangan peminat atau pamor. Bahkan, ada hal menarik yang ditunjukkan pengarang pada sisi
pengobatan tradisional. Pada pengobatan tradisional, sang penyembuh ternyata berprofesi dan
berfungsi ganda. Munculnya tokoh dukun dari kalangan pemuka agama (Pastor dan Padanda)
jelas memiliki interpretasi tersendiri. Pemuka agama (Pastor dan Padanda) sudah semestinya
mampu memberikan pencerahan serta kesembuhan bagi umatnya bukan malah sebaliknya
meracuni umat dengan dogma-dogma sesat. Misalnya, memberikan pembenaran atas tindakan
138
Kesembuhan tidak dalam artian fisik semata, tetapi lebih pada bidang spiritual dan moral
sebagaimana fungsi dasar pemuka agama. Penyembuhan secara spiritual dan moral jauh lebih
dibutuhkan masyarakat yang “sakit jiwa” saat ini sehingga mampu hidup bertoleransi di tengah
masyarakat multikultur. Di samping itu, menghilangkan sekat-sekat SARA yang sering kali
menyulut konflik berkepanjangan dan mencoba bersahabat dengan perbedaan. Dengan demikian,
Baik pengobatan tradisional maupun pengobatan modern meskipun merupakan dua hal
yang sering kali bersebrangan, keduanya tidak pernah menjadi kekuatan oposisi yang berhadapan
secara frontal dan sporadis. Pengobatan tradisional memang tidak bisa dilepaskan dari aroma
mistik, magis, serta hal-hal yang jauh berada di luar nalar (irasional). Namun, tidak selalu lantas
hal-hal tersebut menjadikan sistem pengobatan tradisional kampungan atau terlihat bodoh. Hal
itu perlu dipahami karena sering kali masyarakat memandang bahwa segala sesuatu yang berbau
„Barat‟ jauh lebih baik. Bahkan, muncul sikap menolak hal-hal yang terkesan kuno dan
kampungan, lalu menggantikannya dengan yang berbau „Barat‟. Akan tetapi tanpa disadari
bahwa yang mereka anggap modern sejatinya berasal dari hal-hal yang bersifat tradisional.
Perubahan serta kemajuan zaman mengantarkan manusia pada pola kehidupan yang lebih
baik dalam segala bidang, maju dalam setiap sektor kehidupan. Perkembangan, kemajuan, serta
globalisasi yang menghadirkan multikulturalisme tidak lantas menjadikan urusan gender jadi
terlupakan. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dengan pola pikir yang modern,
pergolakan wacana kesetaraan gender tidak pernah sepi. Sejak dulu bahkan hingga kini mungkin
139
juga sampai nanti. Laki-laki selalu berusaha untuk berada di atas perempuan, baik secara fisik
maupun moral.
Multikulturalisme yang digiring oleh modernitas membuka peluang besar bagi kaum
perempuan untuk belajar banyak dan membuka wawasannya sehingga tidak selalu jadi bulan-
bulanan kaum laki-laki. Indonesia memiliki Raden Adjeng Kartini sebagai pembuka jalan
perempuan agar disetarakan dengan kaum laki-laki. Perempuan akhirnya berani unjuk gigi untuk
bersaing dengan laki-laki. Perempuan akhirnya memiliki peluang untuk mengenyam pendidikan,
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, serta memiliki bargaining power dalam hal-hal
merupakan salah satu hak yang diperjuangkan perempuan. Melalui pendidikan formal,
konsistensinya dalam mendukung wacana kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan
adalah Gusti Biang Ngurah. Gusti Biang Ngurah adalah bibi dari Gusti Ngurah Darsana dan
Gusti Ayu Darsini. Namun, karena kedua orang tua Gusti Darsana dan Darsini telah pergi
meninggalkan mereka, akhirnya Gusti Biang Ngurah mengasuh mereka layaknya anak sendiri.
Gusti Biang Ngurah sangat mendukung kemajuan anak-anaknya khsusnya dalam bidang
bagi anak-anaknya.
140
Gusti Biang Ngurah tidak membedakan tingkat pendidikan anaknya, baik laki-laki
maupun perempuan. Baginya, baik anak laki-laki maupun perempuan berhak atas pendidikan
yang sama tanpa harus dibatasi oleh dikotomi gender, berikut kutipannya:
“Ibu anak tusing méda-médaang pianak, jawat muani jawat luh. Yén jégeg mabudi
masekolah ngalanjutang ka kota, nah lautang. Nyen nawang cening cocok dadi bidan
utawi dadi guru ibu tusing kaberatan” (Sembalun Rinjani,5).82
Kutipan di atas menunjukkan betapa terbukanya pemikiran Gusti Biang Ngurah terhadap
kesetaraan gender khususnya di bidang pendidikan, meski ia sendiri bukanlah perempuan yang
berpendidikan. Ia sangat ingin anak-anaknya memiliki pendidikan tinggi meski mereka bukan
anak kandungnnya. Di samping itu, ia harus bekerja sendiri untuk memenuhi keperluan hidup
rumah tangga. Peran yang dilakoni Gusti Biang Ngurah sebagai seorang perempuan sunguh luar
biasa. Ia bekerja sendiri karena suaminya telah meninggal, kemudian bertindak sebagai orang tua
bagi anak-anak yang sejatinya bukan anak kandungnya. Gusti Biang Ngurah mewakili sosok
kaum perempuan tangguh yang mampu bertindak tidak hanya sebagai ibu, tetapi juga sebagai
ayah bagi anak-anaknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga, sebagai pencari nafkah telah
dipikul sendiri.
Hak pendidikan yang diberikan oleh Gusti Biang Ngurah pada anak perempuannya
menunjukkan pola pikir modern seorang perempuan tradisional, merasa dengan dirinya miskin
harta, maka ia berjuang keras bekerja untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tak
mampu memberi modal dalam bentuk material, Gusti Biang Ngurah mampu memberikan modal
pendidikan (gelar) pada anak perempuannya. Dengan modal pendidikan yang dimiliki
perempuan, ia dapat meningkatkan status sosialnnya. Dari modal pendidikan perempuan dapat
memperoleh pekerjaan atau menciptakan pekerjaan sehingga memperoleh penghasilan. Hal ini
82
“Ibu tidak pernah membeda-bedakan anak, baik laki maupun perempuan. Kalau kamu mau melanjutkan sekolah
ke kota, ya silah kan. Siapa tahu kamu cocok menjadi bidan atau guru ibu tidak keberatan”
141
berpengaruh besar ketika kelak ia menjadi istri, perempuan tidak hanya bermodalkan tubuh,
tetapi juga berbekalkan modal akademik, modal kultur, dan modal ekonomi sehingga perempuan
tidak mutlak bergantung pada suaminya. Akan tetapi justru mampu berkontribusi bagi kehidupan
rumah tangga. Kontribusi aktif, baik berupa finansial, material, maupun ideasional, bahkan
Peran aktif para perempuan yang telah mengenyam pendidikan terlihat jelas dengan
terjadinya pergeseran peran gender. Peran gender telah menempatkan suatu polarisasi antara
laki-laki dan perempuan sebagai individu yang memiliki fungsinya masing-masing. Para
perempuan dikultuskan pada satu peran domestik, bertindak sebagai pengelola rumah tangga,
mengurus suami dan anak-anak. Sebaliknya laki-laki berperan pada ranah publik yang
menjadikan suami berperan sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah untuk keluarga
(Atmadja dan Atmadja, 2005: 122). Pergeseran peran gender dalam novel terjadi manakala laki-
laki tidak mampu berperan aktif sebagai pemain di sektor publik dan fungsinya diambil alih oleh
pencari nafkah dilakoni oleh Marieta Victoria. Ia adalah ibu kandung Meina Victoria, seorang
gadis Flores yang menjadi pembantu di keluarga Gusti Ngurah Darsana saat bertugas di
Atambua.
Marieta awalnya adalah seorang perawat yang bertugas di Mataram mendampingi Dokter
Nurja. Ia memiliki suami bernama Letda Fritse Tondoan yang seorang pensiunan tentara dan kini
bekerja sebagai petugas kebun di Mataram. Akibat kerusuhan yang terjadi di Mataram keluarga
Marieta terpisah, suaminya meninggal di perkebunan tempatnya bekerja. Ia pun berpisah dengan
anak pertamanya bernama Leonardo yang dibawa Dokter Nurja ke Cakranegara. Sementara itu
Marieta yang tengah mengandung pergi ke Atambua bersama Emon Bello sahabat suaminya
142
sewaktu masih menjadi tentara. Setelah menetap di Atambua, Marieta yang tengah mengandung
terpaksa harus mengakui Emon Bello sebagai suaminya untuk menghindari gunjingan orang
karena mereka hidup serumah. Untuk menghidupi dirinya, Marieta bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Setelah anaknya lahir, ia bekerja di panti asuhan sebagai pengurus asrama. Tak
hanya untuk menghidupi anaknya, Marieta juga bekerja agar bisa memberi uang pada Emon
yang selalu menyiksannya ketika tidak diberi uang. ”Emon lakar meres Marieta apang nyak
maang pipis yen katuju ia mamotoh, mamunyah lan ngalih lonté di pelabuhan” (Gitaning Nusa
Alit, 215).83 Tindakan Emon inilah yang menjadi salah satu simbol intimidasi patriarki terhadap
perempuan, intimidasi secara fisik dan batin. Secara fisik Marieta akan disiksa jika tidak
memberikan uang pada Emon. Sebaliknya, secara batin Marieta tertekan karena hasil jerih
Emon ditangkap di pelabuhan karena berjudi dan pengedar cocain. Marieta dan anaknya
yang diberi nama Meina akhirnya menetap di panti asuhan. Saat Marieta kehilangan suaminya ia
telah memulai hidup baru dengan tinggal bersama laki-laki yang tidak memiliki ikatan apa pun
dengannya. Ia mulai memainkan peranan ganda, sebagai pekerja domestik (mengurus rumah
serta anaknya) dan pekerja di ranah publik (sebagai pencari nafkah dan tulang punggung
perekonomian). Peranan ganda yang dilakoni Marieta tidak hanya karena ia telah kehilangan
suami sebagai pencari nafkah keluarga, tetapi juga karena ia berada dalam intimidasi laki-laki
yang kini hidup bersamanya. Memang setelah Emon Bello ditangkap polisi Marieta bisa bebas
dari tekanan fisik dan intimidasi patriarki. Namun, peranan gandanya sebagai pekerja rumah
tangga dan pencari nafkah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tanggung jawab kepada anak
83
“Emon akan memeras Marieta agar memberinya uang saat ia akan berjudi, mabuk-mabukan dan mencari pelacur
di pelabuhan”
143
menjadikannya harus bertahan pada situasi yang berat. Namun, Marieta menjadi sosok yang
tangguh, mampu bertahan pada peranan gandanya sebagai akibat dari pergeseran peran gender.
Tokoh perempuan lain yang juga menjalankan peranan ganda adalah Diah Rengsi
Pitaloka. Ia adalah seorang gadis Dayak yang menikah dengan Gusti Ngurah Anantha Bhuana,
putra pertama Gusti Ngurah Darsana. Menikah dengan laki-laki yang berbeda etnik membuat
Diah Rengsi mesti belajar banyak untuk dapat masuk dalam kebudayaan dan lingkungan
barunya. Pemberlakuan sistem patriarki menimbulkan implikasi jika laki-laki kawin, maka
mereka akan membawa istrinya untuk masuk ke lingkungan keluarganya. Sistem kekeluargaan
patrilineal-patrilokal membawa perempuan pada lingkungan baru dengan tidak terlepas pada
pembagian kerja di bidang domestik. Kondisi ini menjadikan perempuan harus dapat beradaptasi
dengan baik agar mereka dapat diterima di lingkungan baru (Atmadja dan Atmadja, 2005: 111).
Diah Rengsi mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan baru keluarga suaminya, belajar
banyak tentang adat serta budaya di lingkungan barunya. “Seringan Diah Rengsi sané mamaca
lan matakén indik Upakara lan Tattwa agama Hinduné.Utamané indik bebanten nuju Purnama,
Tilem.” (Suryak Suung Mangmung, 43). 84 Kemampuan Diah Rengsi beradaptasi dengan
lingkungan barunya merupakan salah satu bentuk kemapanannya menjalankan peran domestik
Peranan Diah Rengsi di sektor publik sebagai penopang perekonomian keluarga telah
mendominasi- sektor publik kini tergantikan posisinya oleh Diah Rengsi. Diah Rengsi yang
telah bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta mampu menjalankan perannya sebagai tulang
punggung keluarga memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini karena suaminya masih kuliah dan
84
“Lebih sering Diah Rengsi yang membaca dan bertanya tentang Upakara dan Tattwa agama Hindu. Terutama
tentang banten saat Purnama, Tilem”
144
tidak bekerja. Akhirnya Diah Rengsilah yang menanggung biaya kehidupan sehari-hari
keluarganya. Meskipun telah menikah Gusti Ngurah Anantha Bhuana belum mampu
perekonomian.”Raganné dururng taler lulus, napi malih makarya mangda nénten setata
nglantingin rabi sane ngrereh pangupa jiwa”85 (Suryak Suung Mangmung, 44). Ketergantungan
laki-laki (suami) secara finansial pada perempuan (istri) yang ditunjukkan oleh Gung Anantha
membuktikan bahwa perempuan telah mampu menjadi basis ekonomi bagi keluarganya.
Kemampuan Diah Rengsi untuk memasuki sektor publik lalu berperan aktif (malah cenderung
mampu juga menjalankan peran maskulin sebagai tulang punggung keluarga. Peranan ganda
mampu dijalankan dengan baik oleh Diah Rengsi, tidak hanya berkubang pada sektor domestik
(mengurus anak, membuat banten, mencuci, dll), tetapi juga mampu berperan aktif di sektor
Gusti Biang Ngurah, Marieta Victoria dan Diah Rengsi adalah cermin perempuan yang
mampu menunjukkan diri sebagai wanita yang tangguh dalam masyarakat multikultur. Mereka
menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memenuhi kebutuhan finansial keluarga meskipun
tanpa dukungan laki-laki. Ada peralihan fungsi gender, pergeseran peran ketika laki-laki tidak
aktif berperan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan mampu bergerak secara aktif dan
dominan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, baik secara material maupun moral. Perempuan
yang berperan ganda tidak hanya berkutat pada domainnya sebagai individu yang terikat pada
urusan domestik. Namun, telah melangkah untuk berperan juga dalam sektor publik yang
perempuan modern yang tidak lagi takluk pada laki-laki. Namun, bangkit dari keterpurukan
85
“Dia belum juga lulus apalagi bekerja, supaya tidak selalu bergantung pada istri yang mencari nafkah”
145
(Gusti Biang Ngurah dan Marieta Victoria yang ditinggal suaminya) lalu bersaing di ranah
publik untuk mendapatkan pengakuan dan pendapatan. Meskipun mereka sendiri tidak
sepenuhnya bisa lepas dari keterikatan tugas-tugas domestik (mencuci, memasak, mengasuh
anak, dll). Setidaknya mereka menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu berada pada posisi
inferior. Perempuan mampu bekerja, mampu mencukupi kebutuhan financial dan moral keluarga
sangat diperhitungkan. Perempuan tidak hanya menjadi pemain tingkat kedua (second player),
tetapi duduk bersama dalam kegiatan keseharian yang berkaitan dengan adat dan agama. Hindu
memandang perempuan sebagai Shakti (Sanskerta) yang berarti “kekuatan” atau “energi”.
Perempuan dipandang sebagai sebuah kekuatan atau energi yang menjadikan manusia, bahkan
dewa tetap pada posisi mereka, membuat seseorang kuat, atau membuat manusia menjadi orang
suci.86 Desa-desa Bali Aga87 bahkan memiliki larangan untuk berpoligami yang bertujuan untuk
melindungi hak-hak perempuan dari dominasi laki-laki. Larangan-larangan ini tertuang dalam
awig-awig88 desa yang diatur dengan sangat ketat karena berkaitan langsung dengan hak laki-laki
Etnik Sasak juga menempatkan perempuan sebagai sosok yang dihormati. Etnik Sasak
yang sebagian besar penganut Islam menjunjung tinggi keberadaan perempuan dalam adat serta
86
Shakti dalam ajaran Hindu adalah pasangan dewa-dewa (istri) yang menjaga kekuatan dewa-dewa tersebut tetap
pada tempatnya. Sedikitnya terdapat 40 Shakti dalam kepercayaan Hindu yang termuat di Rig Veda. Frank
Morales, 2011, hal. 10-15.
87
Bali Aga atau disebut juga dengan Bali Mula adalah orang-orang Bali asli yang tidak berasal dari keturunan Jawa
(Majapahit). Orang-orang Bali Aga adalah penghuni Bali sebelum akhirnya ditaklukan oleh kerajaan Majapahit
melalui ekspansi yang dilakukan Gajah Mada. Bali Aga kini menghuni desa-desa yang kebanyakan berada di
pegunungan, di antaranya adalah Tenganan (Karangasem), Bayung Gede (Bangli), Bonyoh (Bangli), dan
Umbalan (Bangli).
88
Awig-awig adalah aturan atau tata krama yang dimiliki oleh setiap organisasi sosial tradisional di Bali. Awig-awig
ada yang bersifat tertulis ada yang tidak tertulis.
89
Krama desa adalah anggota masyarakat suatu desa adat di Bali. Mereka memiliki hak serta kewajiban yang diatur
dalam awig-awig.
146
agama. Masyarakat etnik Sasak meyakini Gunung Rinjani sebagai manifestasi kekuatan
perempuan. Gunung Rinjani dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Dewi Anjani, sumber
kekuatan dan kesuburan. Keyakinan Islam yang dianut etnik Sasak juga menyebutkan bahwa
“Barang siapa memperhatikan anak perempuannya kemudian bertakwa kepada Allah (dalam
proses pemenuhan hak dan kewajibannya), maka balasannya adalah surga” (Depag RI, 1986:
231). Ayat ini menunjukkan betapa perempuan memiliki tempat yang sangat baik di dalam
agama Islam. Hal itu penting karena dengan memperhatikan hak dan kewajiban anak perempuan
gerakan emansipasi yang mencoba menghapus jejak kelam masa silam terhadap marginalisasi
fungsi dan peran perempuan. Namun, masih saja menyisakan perempuan-perempuan yang
terlelap dalam hegemoni budaya patriakhi. Individu tersebut tidak kuasa (atau enggan) beranjak
dari citra feminisme yang menempatkan perempuan pada sisi lemah, pasif, serta tidak mandiri.
Konsep ideologi gender rupanya masih membelenggu individu ini dalam ikatan patriarki yang
sudah jelas merugikan dirinya. Proses pembentukan citra baku antara feminim dan maskulin
menjadi sebuah ideologi gender yang lebih banyak mengakibatkan perempuan secara fisik
Perempuan seperti ini tidak bergerak aktif dalam merespons arus emansipasi yang turut
dibawa oleh multikulturalisme. Mereka tidak turut berkiprah dalam sektor publik dan lebih
memilih untuk berkutat pada urusan domestik semata. Tokoh perempuan yang mencerminkan
perempuan pasif dalam arti kesetaraan gender dalam novel adalah Gusti Biang Suci. Gusti Biang
Suci merupakan sosok perempuan yang membiarkan dirinya larut dalam urusan domestik, tidak
147
membuka diri pada pergerakan emansipasi, tidak membuka diri pada pengetahuan lingkungan
Gusti Biang Suci adalah perempuan yang bersuamikan seorang pejuang. Namun, ia tidak
memahami tugas dan kewajiban seorang pejuang. Saat suaminya berjuang, keluar masuk hutan
untuk bergerilya melawan musuh, ia malah menaruh curiga pada suaminya. Ia menyangka
suaminya telah memiliki wanita lain sehingga jarang pulang ke rumah. Pertempuran dengan
strategi gerilya memang memaksa suami Gusti Biang Suci untuk tidak menetap pada satu tempat
saja. Hal inilah yang tidak dipahami oleh Gusti Biang Suci. Kurang terbukanya wawasan Gusti
Biang Suci akan pekerjaan suaminya menyebabkan rasa curiga yang berlebihan kian tertanam di
hatinya. Tanpa dasar bukti yang kuat ia menuduh suaminya berselingkuh lalu pergi
meninggalkan suami dan anak pertamanya, padahal saat itu ia sedang mengandung. Gusti Biang
Gusti Biang Suci berada pada posisi terhimpit akibat perbuatannya sendiri. Ia terpaksa
menerima ketika dinikahkan dengan sepupunya oleh orang tuanya. Hal ini dilakukan guna
menghindari gunjingan orang ketika anak yang dikandungnya lahir tanpa ayah. Terhimpit di
antara keterpaksaan menikah dengan orang yang tak dicintai serta mempertahankan nama baik
keluarga.”Nganti basang ibuné ngenah ngedenang. Ditu lantas anaké lingsir majangkepang ibu
ngajak beli Ngurah Gede” (Sembalun Rinjani, 85).90 Keputusan pernikahan ini benar ketika
alasannya untuk menghindari aib keluarga jika anak yang dikandung Gusti Biang Suci lahir
tanpa ayah. Namun, menjadi miris ketika Gusti Biang Suci harus mengorbankan kesempatannya
untuk menjadi perempuan bebas dan mandiri. Hal itu terjadi karena dinikahkan dengan laki-laki
yang tidak dicintai sehingga kembali termarjinalkan oleh kuasa patriarki. Jalinan rumah tangga
ini memang berjalan dengan baik karena cinta akan tumbuh seiring dengan waktu berjalan.
90
“Sampai perut ibu terlihat membesar. Di sana lantas orang tua menikahkan ibu dengan Ngurah Gede”
148
Namun, seiring dengan waktu pula, Gusti Biang Suci semakin melemah menghadapi suaminya.
Ia kehilangan bargaining power atas kedudukannya sebagai istri ketika usia senja tiba.
Gusti Ngurah Gede melakukan perselingkuhan dengan pembantu yang bekerja membantu
Gusti Biang Suci mengurus peternakannya. Gusti Biang Suci awalnya menentang dan sulit
menerima kenyataan pahit ini. Namun, lagi-lagi ia menyerah pasrah pada keadaan.
Perselingkuhan Gusti Ngurah Gede terjadi karena Gusti Biang Suci tidak lagi mampu memenuhi
hasrat seksual suaminya. Perselingkuhan ini menunjukkan bagaimana Gusti Biang Suci
menyerah pada dominasi seksualitas laki-laki. “Pamuputné, miribang saking tan sida
nanggehang kayuné, lantas ragané mamitra ngajak Ni Genitri. Sujatiné ibu sedih pesan ngelah
madu ulian sesiliban.” (Suryak Suung Mangmung, 35).91 Sebagai suami, Gusti Ngurah Gede
Masa manapouse yang dialami perempuan datang secara alamiah ketika usia perempuan
semakin tua dan secara alamiah akan mengurangi hasrat seksualitas perempuan. Hal ini menjadi
alasan bagi laki-laki (Gusti Ngurah Gede) untuk menyalurkan hasrat seksualnya pada perempuan
lain yang lebih muda. Ironinya adalah seorang perempuan yang menjadi tempat pelampiasan
hasrat seksual Gusti Ngurah Gede merelakan tubuhnya tanpa ikatan perkawinan atau transaksi
materi. Berdasarkan hal itu, semakin jelas terlihat bahwa Gusti Ngurah Gede hanya
menyalurkan libido yang tidak lagi mampu ditangani oleh istrinya. Penerimaan Gusti Biang Suci
pada keadaan ini semakin menguatkan steriotipe bahwa perempuan merupakan makhluk yang
lemah, terjajah oleh lelaki khususnya dalam urusan seks. “Yen ajiné perlu mara ia ngiring ajiné
91
“Akhirnya karena tidak bisa mengendalikan keinginannya, ia berselingkuh dengan Ni Genitri. Sebetulnya ibu
sangat sedih dimadu.”
149
di kubu” (Suryak Suung Mangmung, 35).92 Tubuh perempuan dihargai ketika hasrat seksual laki-
laki membutuhkan objek, kemudian dilupakan ketika subjek telah menemukan sesuatu yang
Lemahnya posisi Gusti Biang Suci sebagai seorang perempuan (istri dan ibu) rupanya
telah tertanam sebagai sebuah ideologi baginya. Gusti Biang Suci berprinsip bahwa perempuan
hanya memiliki hak dan kewajiban atas wilayah domestik, lebih dari itu adalah ranah yang
diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Keyakinan inilah yang mendorong Gusti Biang Suci untuk
melarang anak perempuannya melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Gusti Ayu Sri Wahyuni
adalah putri Gusti Biang Suci yang hendak melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
Keinginan ini mendapatkan penolakan dari ibunya. “Yen anak luh sesubané makurenan lakar
nutug ané muani, ngurus umahné padidi, patutné ia ngurus kulewargan kurenané”93 (Sembalun
Rinjani, 130). Pernyataan yang dilontarkan Gusti Biang Suci menyiratkan bahwa dalam
keyakinannya perempuan harus mengurus rumah, suami, dan keluarganya bekerja di sektor
publik.
Keinginan Gusti Biang Suci ini mendapat tentangan dari kedua anaknya. Gusti Ayu Sri
Wahyuni mendapat dukungan kakaknya, Gusti Ngurah Darsana yang berhasil meyakinkan Gusti
Biang Suci bahwa perempuan pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang
kedokteran, ia tetap meyakini bahwa tugas perempuan adalah berkutat di ranah domestik semata.
Modernitas rupanya tidak mampu mengikis habis dominasi patriarki yang telah terpatri
dalam beberapa masyarakat sosial sejak dulu. Laki-laki yang terlanjur nyaman pada posisi
dominan enggan untuk membagi kenyamannya pada kaum perempuan. Dengan demikian,
92
“Jika ayah menginginkannya, barulah ia menemani ayahmu di rumah”.
93
“Kalau anak perempuan setelah bersuami akan ikut suaminya, mengurus rumah, juga mengurus keluarga
suaminya.”
150
hegemoni terhadap kaum perempuan terus menerus terjadi, perempuan masih dipandang sebelah
mata oleh laki-laki. Perempuan sering kali hanya menjadi objek bagi laki-laki, hanya menjadi
Tokoh perempuan yang hadir dalam trilogi novel Sembalun Rinjani memang tidak selalu
hadir sebagai perempuan yang lemah serta turut pada budaya patriarki. Gusti Biang Ngurah,
Marieta, serta Diah Rengsi adalah tokoh perempuan yang cukup tangguh untuk lepas dari
hegemoni laki-laki. Mereka mampu tampil lebih dominan dari pada laki-laki, tidak hanya bekerja
di sektor domestik yang selama ini dikultuskan pada kaum perempuan, tetapi juga di sektor
publik. Pada sektor publik, tokoh-tokoh perempuan mampu bekerja lebih baik dari pada laki-laki
yang mendampinginya (suami). Mereka mampu mendapatkan materi (uang) yang cukup untuk
Tokoh perempuan ini maju dan berjuang mencari tempatnya di sektor publik tanpa
dukungan laki-laki. Mereka berusaha sendiri dengan kemampuannya, menjadikan diri mereka
tangguh tanpa kehilangan rasa tanggung jawab sebagai seorang perempuan. Mereka mengambil
alih tugas laki-laki sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah, mereka mengendalikan
perekonomian keluarga karena dari merekalah sumber utama pemasukan ekonomi. Secara
sosiologis tokoh-tokoh perempuan ini telah mampu sejajar dengan laki-laki, meskipun secara
fisik dan psikologis masih belum mampu menghapuskan hegemoni ideologi patriarki. Tokoh-
tokoh perempuan ini menunjukkan jati diri sebagai perempuan modern yang mampu duduk sama
rata dengan laki-laki, memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, yaitu berkiprah pada ranah
publik.
Kedudukan perempuan dalam masyarakat multikutur yang tercermin dalam trilogi novel
Sembalun Rinajani telah lebih baik, yaitu hak dan kewajiban kaum perempuan lebih
151
diperhatikan. Perjuangan kaum perempuan yang berpikiran maju melalui gerakan emansipasinya
telah mengantarkan harkat serta martabat perempuan ke tempat yang lebih layak, tidak lagi harus
berada di bawah laki-laki. Namun, ada juga kaum perempuan yang masih saja enggan beranjak
dari bayang-bayang ideologi patriarki. Mereka masih merasa nyaman hanya dengan menjadi
objek bagi laki-laki, baik secara fisik, sosiologis, maupun psikologis. Dilema memang ketika di
satu sisi kaum perempuan berjuang guna mendobrak batas-batas polarisasi, sedangkan di sisi
lain ada juga kaumnya yang masih menerima pengkultusan dirinya sebagai makhluk inferior.
Akan tetapi inilah dualitas dalam realitas masyarakat multikultur yang terus akan berkembang ke
arah lebih baik seiring dengan membaiknya pola pikir individu-individu di dalamnya.
152
Daftar Pustaka
Anwar, Wan. 2007. ”Potret Gelap Keluarga Griya dalam Novel Kenanga karya Oka Rusmini.”
Makalah yang disampaikan pada pelatihan APRESDA Guru Tingkat Nasional.
Apriani, Ni Nyoman. 2009. ”Novel Suryak Suwung Mangmung Karya Djelantik Santha
Pendekatan Sosiologi Sastra.” Denpasar: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Arnati, Ni Wayan. 2002. Petunjuk Bahasa Pawiwahan Adat di Bali. Denpasar: CV. Nira Surya
Raditya.
Astawa, I Nengah Dasi. 2005. ”Sisi SWOT Multikulturalisme Indonesia” (dalam Jurnal Kajian
Budaya, Vol.2, No. 3, Januari 2005, hlm. 58 -59). Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.
Atmadja, Nengah Bawa dan Anantawikrama Tungga Atmadja. 2005. ”Dekonstruksi Alasan
Maknawi Wanita Bali Menjadi Guru dan Implikasinya terhadap Kesetaraan Gender”
(dalam Jurnal Kajian Budaya, Vol. 2, No. 3, Januari 2005, hlm. 122). Denpasar:
Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung: CV
Sinar Baru.
Bainar, Hajjah, dkk. 2006. Ilmu Sosial, Budaya, dan Kealaman Dasar. Jakarta: CV Jenki Satria.
Budajayanti, Made Dwi. 2007. ”Kajian Sosisologi Sastra Novel Sembalun Rinjani”. Denpasar:
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Edy, Nyoman Tusthi. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakarta : Balai Pustaka.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernise.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
153
Fathoni, Abdurrahmat. 2005. Antropologi Sosial Budaya, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Irving, M Zeitin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer
(Terjemahan Anshori dan Juhanda). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kardji, I Wayan. 2004. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: PT
Gramedia.
Manda, I Nyoman. 2001. Bunga Gadung Ulung Abancang 1. Gianyar: Pondok Tebuwatu
_______________. 2006. Kisah-kisah Jumah, Basa lan Sastra Bali. Gianyar: Pondok Tebuwatu.
Mariyah, Emiliana dkk. 2005. ”Perkawinan Poligini dalam Perspektif Agama dan Gender”
(dalam Jurnal Kajian Budaya, Vol. 2, No. 3, Januari 2005, hlm 95 - 107). Denpasar:
Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Morales, Frank. 2011. ”Konsep Shakti: Agama Hindu sebagai Kekuatan Pembebasan bagi
Perempuan”. Media Hindu. Edisi. 09, Agustus 2011, hlm 10-15). Jakarta: Media Hindu.
Muliarta, I Wayan. 2009. ”Kata Majemuk Bahasa Bali dalam Novel Djelantik Santha”.
Denpasar: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Nababan, P.J.W. 1991. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nicolle, David dan Christa Hook. Perang Salib I 1096-99, Penaklukan Tanah Suci (Terj.
Damaning Tyas Wulandari Palar). Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.
154
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Parekh, Bhiku. 2008. Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik
(Terj. Bambang Kukuh Adi). Jakarta: Kanisius.
Putra, I Nyoman Darma. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation.
___________________. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________________.2005. Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________________. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan
Kedua.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
155
Surpha, I Wayan. 2006. Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Susanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta.
Srawana, Gde. 1978. Mlantjaran ka Sasak. Denpasar: Yayasan Sabha Sastra Bali.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Taum, Yoseph Yapi. 1995. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran
Daerah Tingkat I Bali.
Tim Penyusun: Pengadaan Buku Sejarah dan Purbakala. 2003. Sekelumit Sejarah Puri
Karangasem. Karangasem: Diparsenibud.
Tingkat, I Nyoman. 2007. “Representasi Perubahan Budaya Bali dalam Novel-novel Sunaryono
Basuki”. Tesis pada Konsentrasi Wacana Sastra, Program S-2 Linguistik, Pascasarjana
Universitas Udayana.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta). Jakarta: PT
Gramedia.
Windia, Wayan P. 2011. ”Pasidikaran dalam Pengangkatan Anak”. Bali Post edisi 24 Juli 20011.
Yadnya, I.B. Putra. 2003. ”Revitalisasi Bahasa Daerah (Bali) di Tengah Persaingan Bahasa
Nasional, Daerah dan Asing untuk Memperkukuh Ketahanan Budaya” (hal. 2). Makalah
Konggres Bahasa Indonesia VIII.
156