Anda di halaman 1dari 156

REPRESENTASI MULTIKULTURALISME DALAM

TRILOGI NOVEL “SEMBALUN RINJANI”


KARYA DJELANTIK SANTHA

Oleh

I GEDE GITA PURNAMA ARSA PUTRA


NIM 0990161049

PROGRAM MAGISTER

KONSENTRASI WACANA SASTRA

UNIVERSITAS UDAYANA

2012

1
REPRESENTASI MULTIKULTURALISME DALAM
TRILOGI NOVEL “SEMBALUN RINJANI”
KARYA DJELANTIK SANTHA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister


pada Program Magister, Program Studi Linguistik (Konsentrasi Wacana
Sastra), Program Pascasarjana Universitas Udayana

I Gede Gita Purnama Arsa Putra


NIM 0990161049

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
(KONSENTRASI WACANA SASTRA)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
2
UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu

Puji Syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atasa Asung Wara

Nugraha-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan, dorongan, serta masukan dalam proses pembuatan tesis ini, di antarana kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P. D. (K), beserta seluruh

staf , atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana, khususnya

dalam penelitian tesis ini;

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.

S. (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa

Program Pascasarjana pada Program Pascasarjana Universitas Udayana;

3. Ketua Jurusan Konsentrasi Wacana Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M. S., atas segala bantuan saran dan masukan selama

proses pembelajaran hingga penulisan tesis;

4. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., sebagai pembimbing I yang telah dengan sabar

memberikan bimbingan, saran, serta masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis

ini;

5. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum., sebagai pembimbing II yang juga dengan penuh

kesabaran membimbing, memberikan motivasi, sehingga tesis ini dapat diselesaikan;

3
6. Seluruh staf pegawai akademik Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas

Udayana yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pembelajaran hingga

penulisan tesis;

7. I Gusti Gede Djelantik Santha yang meski dalam keadaan sakit telah memberikan

sambutan hangat, semangat, serta dorongan kepada penulis selama proses penulisan tesis;

8. Orang tua, Komang Budaarsa dan Ni Wayan Supartini (alm) yang telah mencurahkan

segalanya kepada penulis. Adik terbaik, Kadek Yogi yang tiada henti memberi motivasi.

Tiada jalan yang dapat dilalui tanpa doa kalian;

9. Dewa Ayu Carma Citrawati atas cinta, doa, dan penuh kesabaran mendampingi penulis

selama ini;

10. Rekan-rekan di Program Wacana Sastra sebagai teman diskusi paling baik, tempat

berbagi ilmu serta motivasi selama kuliah.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan kebahagiaan dan kedamaian bagi

semua pihak yang telah membantu penulis selama proses pembelajaran hingga penulisan tesis

ini. Akhir kata, penulis menyadari dalam penelitian ini banyak kekurangan, sehingga besar

harapan penulis mendapatkansaran serta kritikan yang berguna untuk menyempurnakan tulisan

ini nantinya.

Om Santih, Santih, Santih Om

4
ABSTRAK

REPRESENTASI MULTIKULTURALISME DALAM

TRILOGI NOVEL “SEMBALUN RINJANI”

KARYA DJELANTIK SANTHA

Penelitian terhadap novel Sembalun Rinjani, Gitaning Nusa Alit dan Suryak Suung
Mangmung bertujuan untuk mengungkapkan sejauh mana trilogi novel tersebut
merepresentasikan multikulturalisme. Jangkauan penelitian terhadap trilogi novel ini meliputi
analisis unsur-unsur multikulturalisme yang terepresentasi dalam trilogi novel ini. Selanjutnya
adalah menganalisis reaksi tiap-tiap tokoh terhadap multikulturalisme itu sendiri. Analisis
terhadap reaksi tiap-tiap tokoh meliputi analisis terhadap tokoh utama yang protagonis dan
analisis terhadap tokoh sekunder baik protagonis maupun antagonis. Pandangan dunia pengarang
menjadi bagian analisis terakhir yang meliputi dunia mistis dalam masyarakat multikultur dan
kedudukan perempuan dalam masyarakat mltikultur. Kesemua proses analisis tersebut
menggunakan teori Sosiologi Sastra sebagai pijakan, dibantu dengan teori konflik dan integrasi.

Representasi unsur-unsur multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel Sembalun


Rinjani adalah unsur bahasa, unsur adat dan tradisi, serta unsur religi. Tiap-tiap tokoh dalam
trilogi novel Sembalun Rinjani memberikan reaksi yang cukup beragam terhadap
multikulturalisme. Tokoh utama berdiri pada posisi mendukung secara penuh keberadaan
multikultur. Tokoh sekunder protagonis bersikap sama dengan tokoh utama, mendukung
multikulturalisme sebagai ideologi hidup. Tokoh sekunder antagonis hadir sebagai tokoh yang
beroposisi dengan tokoh protagonis, mereka menolak keberadaan multkultur dengan tegas.

Pandangan dunia pengarang yang dapat dilihat dari trilogi novel Sembalun Rinjani di
antaranya adalah keberadaan dunia mistik dalam masyarakat multikultur dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat multikultur. Dunia mistik memang cenderung identik dengan
tradisionalisme, bahkan identik dengan ketidaklogisan. Kedudukan perempuan dalam
masyarakat multikultur digambarkan dengan tokoh perempuan yang bersikap tegas menolak
diskriminasi dan tokoh perempuan yang tetap menerima pengkultusan dirinya sebagai mahluk
inferior. Tokoh perempuan yang berani hadir sebagai tokoh-tokoh yang telah berhasil berperan
tidak hanya di sektor domestik tapi juga disektor publik. Sementara itu, hadir pula tokoh
perempuan yang tetap bertahan dalam dominasi kaum laki-laki, dominasi patriarki, yang
sejatinya telah merampas sebagian kebebasannya sebagai individu.

Kata kunci: representasi, multikulturalisme, trilogi novel Sembalun Rinjani, dan pandangan
dunia

5
ABSTRACT
REPRESENTATION OF MULTICULTURALISM IN
DJELANTIK SANTHA’S TRILOGY NOVEL
“SEMBALUN RINJANI”

The study in the novels Sembaun Rinjani, Gitaning Nusa Alit, and Suryak
Suung Mangmung aims at revealing to what extant the trilogy novel represents
multiculturalism. The scope of the study includes the analysis of multicultural
elements represented in the trilogy novel. It also aims at analyzing the reactions
shown by the characters, toward multiculturalism. The insight provided by the
writer, which include the mysticalworld ia a multicultural society and woman’s
position in a multicultural society, ia the last part of analysis. All the processes of
analysis were doe using the theory of sociology of literature, as the main theory,
supported by the theory of conflicts and integration.
The multicultural elements represented in the trilogy novel Sembalun
Rinjani include the language elements, the elements of custom and tradition, and
the religious elements. Each character in the trilogy novel Sembalun Rinjani
reacted differently toward multiculturalism. The main character totally supported
multiculturalism as a life ideology, whereas the antagonist secondary characters,
who opposed the protagonist character, firmly disagreed with multiculturalism.
The insight into the mystical world in a multicultural society and women’s
position ia a multicultural society provide by writer, as far as the trilogy novel
Sembalun Rinjani is concerned, was that the mystical world tended to be identical
with traditionalism and even illogic. The women’s position in the multicultural
society was represented by a fimale character who firmly disagreed with
discrimination and another female one who accepted that she was an inferior
human being. The successful female characters did not only bravely appear in the
domestic sector but also in the public sector. However, there were also several
female characters who were still dominated by the males. Such a patriarchal
domination eliminated individual freedom.

Keywords: representation, multiculturalism, trilogy novel Sembalun Rinjani, and


the world’s insight.

6
DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM..................................................................................................... i
PRASYARAT GELAR.............................................................................................. ii
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................................... v
ABSTRACT................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….. 10
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………… 10
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………………………… 10
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………………………… 11
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………. 11
1.4.1 Manfaat Teoretis……………………………………………………………….. 11
1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………………… 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN METODE


PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………………………. 13
2.2 Konsep…………………………………………………………………………. 16
2.2.1 Representasi......................................................................................................... 17
2.2.2 Multikulturalisme……………………………………………………………….. 20
2.2.3 Trilogi Novel ”Sembalun Rinjani”.......................................................................... 23
2.2.4 Pandangan Dunia.................................................................................................. 27
2.3 Landasan Teori…………………………………………………………………. 30
2.3.1 Teori Sosiologi Sastra …………………………………………………………….. 30
2.3.2 Teori Konflik dan Integrasi ……………………………………………………. 35
2.4 Model Penelitian……………………………………………………………….. 39

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………………………... 40

7
3.2 Jenis dan Sumber Data………………………………………………………… 41
3.3 Instrumen Penelitian…………………………………………………………… 41
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….. 42
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……………………………………………... 42
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……………………………. 43

BAB IV BIOGRAFI PENGARANG


4.1 Riwayat Hidup Pengarang................................................................................. 45
4.2 Riwayat Kepengarangan dan Proses Kreatif..................................................... 50

BAB V REPRESENTASI UNSUR-UNSUR MULTIKULTUR


5.1 Unsur Bahasa.................................................................................................... 60
5.2 Unsur Adat dan Tradisi.................................................................................... 68
5.3 Unsur Religi...................................................................................................... 82

BAB VI RESPONS TOKOH TERHADAP MULTIKULTURALISME


6.1 Respons Tokoh Utama terhadap Multikulturalisme........................................... 90
6.2 Respons Tokoh Sekunder terhadap Multikulturalisme...................................... 100

BAB VII PANDANGAN DUNIA PENGARANG


7.1 Dunia Mistik dalam Masyarakat Multikultur.................................................... 116
7.2 Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Multikultur........................................ 131

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN


8.1 Kesimpulan........................................................................................................... 145
8.2 Saran..................................................................................................................... 148

DAFTAR PUSTAKA

8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra sebagai sebuah kreativitas, baik estetis maupun respons kehidupan sosial,

mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas sosial. Dimensi-dimensi

yang dilukiskan merupakan dimensi kehidupan dari sebuah struktur sosial. Dimensi dari struktur

sosial yang dimaksud tentu saja struktur sosial masyarakat di mana pengarang memperoleh

inspirasinya. Semi (1988: 8) mengungkapkan bahwa karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil

pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya yang menggunakan

bahasa sebagai perantaranya. Karya sastra sebagai struktur bermakna yang mewakili pandangan

dunia penulis, bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya.

Penulis memiliki peran yang sangat penting dalam mengangkat realita-realita sosial yang luput

dari pengamatan orang kebanyakan. Karya sastra dapat menjadi sebuah ensiklopedi sosial mini

yang memberikan banyak informasi bagi pembaca tentang sebuah struktur dan kehidupan sosial

masyarakat tertentu.

Karya-karya fiksi yang merupakan sebuah hasil imajinasi sastrawan tentang komunitas

sosial tentu saja bukan semata-mata hasil dari dunia penciptaan yang bersifat khayalan semata,

melainkan sebuah karya fiksi lebih dari itu. Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang

terjadi di masyarakat merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas

sosial dalam hal ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa dengan

kombinasi imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi sebuah karya. Karya yang

9
dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi sekaligus juga mendidik. Ratna (2007:389)

mengungkapkan bahwa sastra warna lokal memerlukan data khusus dalam bentuk fakta-fakta

sosial sesuai dengan semesta yang diacu. Ini menunjukkan bahwa seorang pengarang

membutuhkan data yang akurat mengenai fakta-fakta sosial yang diangkat dalam karyanya.

Untuk itu, pengarang memerlukan penelitian atau paling tidak observasi, baik langsung di

lapangan maupun melalui penelitian pustaka. Hasil dari proses tersebut merupakan sebuah

produk yang tidak hanya sebagai sebuah karya sastra, tetapi juga representasi fakta-fakta sosial.

Ini berarti bahwa ketika seseorang menikmati karya sastra maka secara tidak langsung mereka

menikmati refleksi kehidupannya dalam organisasi sosial.

Rekonstruksi terhadap realitas sosial masyarakat Bali menjadi perhatian bagi banyak

sastrawan, baik dari Bali sendiri maupun di luar Bali. Hal itu terjadi karena banyak hal yang bisa

dibicarakan dari Bali, mulai dari tradisi dan adat, masyarakat Bali yang dekat dengan nuansa

mistis sekaligus religious, serta masyarakat Bali yang mulai tergerus arus modernitas. Anwar

(2007) dalam artikelnya menyatakan “sebagai kultur, Bali memang khas dan kompleks

dibandingkan dengan kultur (etnik) lain di negeri ini. Itulah yang menyebabkan karya-karya

sastrawan tentang Pulau Dewata menarik untuk dibicarakan”.

Dinamika kultural Bali dan masyarakatnya terekam dalam karya-karya sastra Bali

sendiri, tentunya di samping juga terekam dalam karya sastra nasional, bahkan internasional.1

Sastra Bali sendiri terdiri atas sastra Bali klasik dan sastra Bali modern. Bentuk-bentuk yang

hadir dalam sastra Bali modern berupa puisi, cerpen, dan novel. Awal kemunculannya, sastra

Bali modern adalah bagian dari implementasi politik etis kolonial Belanda di bidang pendidikan.

1
Novel internasional yang belakangan terkenal adalah Eat, Pray, Love merupakan salah satu novel terbaru yang ikut
mengangkat eksotika Pulau Bali. Novel karya penulis Elisabeth Gilbert kemudian difilmkan dengan Julia Robert
sebagai pemeran utama. Film ini kemudian semakin mengangkat citra pariwisata Ubud sebagai destinasi pariwisata
budaya (culture tourism) ,bahkan kini mulai berkembang citra Bali sebagai pulau cinta (The Island of Love).

10
Tahun 1910-an dan 1920-an merupakan tonggak awal munculnya sastra Bali modern, ditandai

dengan munculnya cerpen berbahasa Bali yang dimuat dalam buku pelajaran untuk sekolah-

sekolah yang didirikan Belanda di Bali (Putra, 2010:16). Cerpen merupakan bentuk awal yang

hadir dalam sastra Bali modern.

Beberapa hal menarik dapat dilihat dari kemunculan sastra Bali modern. Bentuk awal

kemunculannya berupa cerpen yang dimuat dalam buku pelajaran terbitan pemerintah kolonial

dan menjadi bacaan untuk sekolah-sekolah formal masyarakat pribumi. Selain itu, pengarang

yang muncul pada awal tonggak sastra Bali modern tidak hanya orang Bali yang kala itu diwakili

Guru Made Pasek, tetapi juga orang non-Bali, yaitu Mas Niti Sastro seorang guru yang mengajar

di Singaraja. Made Sanggra (dalam Edy, 1991: 26 ) sempat mengungkapkan bahwa sastra Bali

modern merupakan peranakan sastra Indonesia modern. Tubuhnya (struktur) merupakan

perwujudan sastra Indonesia modern, sedangkan idenya khas Bali. Akan tetapi, pendapat yang

diungkapkan Sanggra tidak sepenuhnya tepat karena pada saat itu (1910 - 1920) sastra Barat juga

menjadi bacaan bagi peminat sastra (khususnya kaum terpelajar seperti guru). Jadi, bisa saja

tubuh (struktur) sastra Bali modern merujuk pada sastra-sastra Barat yang dibawa oleh

pemerintah kolonial (atau pedagang asing) ke Indonesia, mengingat saat itu sastra Indonesia juga

tengah dalam proses pertumbuhan. Namun, untuk masalah ide dan tema cerita memang benar

bahwa sastra Bali modern pada awal kemunculannya menggambarkan sosiokultur masyarakat

Bali saat itu.

Novel merupakan salah satu genre yang hadir dalam khazanah sastra Bali modern selain

cerpen, hanya jumlah novel yang hadir dalam sastra Bali modern tidak sebanyak cerpen. Novel

(roman) pertama yang hadir dalam sastra Bali modern adalah Nemoe Karma pada tahun 1931

oleh Wayan Gobiah. Setelah kehadiran Nemoe Karma, karya sastra Bali modern tak muncul lagi

11
sampai akhirnya terbit novel Mlantjaran ka Sasak tahun 1939 karya Gde Srawana. Tahun 1980

hadir novel Sunari karya I Ketut Rida sebagai pemenang I lomba menulis novel berbahasa Bali.

Jika dilihat kurun waktu kehadiran novel karya I Ketut Rida ini, ada jarak 41 tahun dari novel

Mlantjaran ka Sasak.

Tahun 1981 hadir novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karya Djelantik Santha.

Novel ini awalnya terbit bersambung di harian Bali Post.2 Sekitar delapan belas tahun kemudian

terbit novel Sayong pada tahun 1999 karya I Nyoman Manda dengan. Rentang waktu yang

terpaut jauh antara novel satu dengan lainnya menunjukkan bahwa tingkat kreativitas dan

produktivitas sastrawan Bali modern dalam menciptakan novel cukup rendah. Namun, memasuki

abab ke-21 produktivitas sastrawan Bali modern dalam menciptakan novel mulai

menggembirakan karena hampir setiap tahun ada novel yang diterbitkan. Djelantik Santha

mengawali dengan novel Sembalun Rinjani (2000) sebagai bagian awal sebuah novel trilogi, lalu

disusul Nyoman Manda dengan novel Bunga Gadung Ulung Abancang (2001) yang juga bagian

awal sebuah trilogi. Pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2010, Nyoman Manda dan

Djelantik Santha yang paling produktif dalam menciptakan novel berbahasa Bali. Nyoman

Manda sejak tahun 2000 - 2010 telah menciptakan sebelas buah novel, dan Djelantik Santha tiga

buah novel.

Djelantik Santha merupakan salah satu sastrawan Bali yang tertarik berkarya dalam

bidang sastra Bali modern. Ia adalah salah satu dari beberapa sastrawan senior sastra Bali

modern dan berhasil lolos dari seleksi alam yang ketat. Djelantik Santha tidak hanya menulis

dengan bahasa Bali, tetapi ada beberapa karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya-karya

2
Setelah dimuat bersambung oleh Bali Post novel ini dicetak dalam bentuk buku. Sayang dalam buku tidak
tercantum nama penerbit. Menurut Djelantik Santha karyanya telah dibajak, karena buku tersebut terbit tanpa
persetujuannya. Novel ini akan diterbitkan secara resmi oleh Pustaka Ekspresi Tabanan akhir 2012. Komunikasi
terakhir dengan pengarang 5 Januari 2012.

12
beliau telah banyak dipublikasikan di harian Bali Post, majalah Buratwangi, majalah Canang

Sari, dan majalah Satua.

Konsistensi Djelantik Santha bergelut dalam bidang sastra Bali modern memang patut

dibanggakan meski dengan kondisi fisiknya yang terbatas (lumpuh dan sakit-sakitan). Bahkan, ia

menjadi salah satu sastrawan terkemuka sastra Bali modern. Setiap karyanya selalu menjadi

bagian penting sejarah perkembangan sastra Bali modern. Meski bukan yang pertama menulis

karya sastra Bali modern, produktivitas dan kreativitasnya dalam berkarya telah banyak

mendapat pengakuan publik. Pada tahun 1979 salah satu karyanya yang berjudul Gamia Gamana

mendapat juara II mengarang cerpen dalam pesta kesenian Bali. Lalu pada tahun 2001 beliau

mendapat penghargaan cakepan dari majalah Sarad atas dedikasinya pada sastra Bali modern.

Tahun 2002 novel ciptaannya yang berjudul Sembalun Rinjani (2000) mendapatkan penghargaan

Sastra Rancage. Terakhir pada tahun 2003 novel beliau yang berjudul Di Bawah Letusan

Gunung Agung (berbahasa Indonesia) menjadi pemenang harapan II dalam lomba penulisan

novel yang diselenggarakan oleh Bali Post. Novel Sembalun Rinjani merupakan bagian pertama

dari rangkaian trilogi novel karya beliau. Trilogi novel tersebut terdiri atas novel Sembalun

Rijani (2000), novel Gita Ning Nusa Alit (2002), dan novel Suryak Suwung Mangmung (2005).

Kelahiran tiga novel yang alur ceritanya berangkai ini memang memerlukan waktu yang

cukup panjang. Jarak novel pertama dengan kedua adalah dua tahun, sedangkan novel ketiga

berjarak tiga tahun dari novel kedua. Multikultur hadir sebagai isu yang mendasar dalam trilogi

novel karya Djelantik Santha. Ini bukan pertama kalinya Djelantik Santha memasukkan unsur

multikultur dalam karya novelnya karena dalam novel pertamanya, yaitu Tresnane Labur Ajur

Satonden Kembang (1981) juga terdapat unsur multikultur. Akan tetapi intensitasnya tidak

13
sebanyak trilogi novel ini. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang juga menghadirkan

tokoh dari luar etnik Bali.

Usaha Djelantik Santha menghadirkan unsur multikultur dalam trilogi novel ini

ditunjukkan melalui tokoh serta latar dalam novel. Tokoh serta seting hadir dengan nuansa yang

penuh dengan keberagaman. Tokoh tak hanya hadir dari etnik Bali, tetapi juga dari etnik Sasak,

Dayak, Tionghoa dan Timor. Tokoh utama berasal dari etnik Bali yaitu Gusti Ngurah Darsana

dan Lale Dumilah dari etnik Sasak.

Pengarang dalam trilogi novelnya menggambarkan multikultur dengan jalan menyatukan

beberapa tokoh dalam sebuah ikatan perkawinan. Perkawinan endogami menjadi salah satu

pilihan menyatukan perbedaan dalam sebuah keharmonisan. Berawal dari hubungan pertemanan,

persahabatan, lalu mengarah pada hubungan asmara dan berlanjut dengan perkawinan. Etnik Bali

dengan Lombok yang diwakili oleh tokoh utama Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah, etnik

Bali dengan Dayak yang diwakili oleh Gusti Ngurah Anantha Bhuwana dengan Diah Rengsi

Pitaloka, Bali dengan Timor yang diwakili oleh Dokter Agung Krishna dan Meina Victoria.

Perkawinan endogami menjadi salah satu jalan untuk semakin mengukuhkan dimensi multikultur

meskipun awalnya muncul konflik dalam proses perkawinan antaretnik tersebut akibat

berbenturan dengan tradisi serta kepercayaan. Walaupun demikian, semua terselesaikan dengan

baik. Perbedaan tradisi dan kepercayaan tak lagi menjadi penghalang. Integrasi menjadi akhir

yang baik dalam salah satu proses multikultur tersebut.

Selain munculnya tokoh dengan latar belakang etnik yang berbeda seperti etnik Bali,

Sasak, Timor, Dayak dan Tionghoa, terlihat juga tradisi-tradisi beberapa etnik tersebut. Tokoh

dan tradisi yang beragam berbaur dalam keselarasan pada sebuah komunitas sosial. Di antara

tokoh tidak ada kecanggungan untuk mencoba atau masuk ke tradisi dari tokoh dengan etnik

14
yang berbeda. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa persinggungan antaretnik kadang kala

memunculkan konflik. Konflik sosial dalam novel tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi

juga terjadi dalam tataran masyarakat tradisi. Konflik dalam tataran individu, baik fisiologi

maupun psikologi, membawa dampak positif serta negatif bagi tokoh itu sendiri dan masyarakat

tradisi tempat tokoh itu berada. Namun, konflik-konflik ini kemudian menjadi benih persatuan

dan kebersamaan yang lebih baik antaretnik melalui proses integrasi sosial.

Sebagai bagian dari multikultur, hadirnya etnik-etnik yang berbeda dan terintegrasi dalam

satu setting yang sama merupakan sebuah usaha yang sangat baik dari pengarang. Djelantik

Santha mencoba untuk menunjukkan pada pembaca betapa kita harus menyikapi dengan arif

multikultur yang dianugerahkan Tuhan pada Indonesia di tengah merosotnya rasa persatuan

bangsa ini. Meskipun muncul konflik dalam persinggungan antaretnik, sikap saling menghargai

dan toleransi menjadikan segala sesuatunya lebih baik.

Munculnya beragam etnik dalam trilogi novel karya Djelantik Santha ini secara langsung

akan membawa tradisi, religi, serta bahasa masing-masing. Tradisi yang dibawa oleh setiap etnik

menunjukkan kekhasan mereka masing-masing. Sering kali tradisi dari tiap etnik terintegrasi

dalam satu setting yang sama. Tradisi di sini di antaranya kuliner dan kebiasaan sehari-hari.

Masakan khas, baik dari Bali, Lombok, maupun Timor sering kali muncul dalam satu momen

secara bersama-sama sehingga tiap tokoh dari etnik yang berbeda memiliki kesempatan

mencicipi masakan dari etnik lainnya. Begitu pula dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu,

misalnya magibung. Magibung merupakan salah satu tradisi masyarakat Bali, yaitu makan

bersama-sama dalam satu sela (kelompok). Meski bukan tradisinya, tokoh dari luar etnik Bali tak

canggung-canggung ikut mencoba magibung. Inilah awal sebuah toleransi yang positif antar-

etnik yang dicoba ditunjukkan oleh pengarang kepada pembaca. Pemahaman lintas budaya,

15
sebuah cross cultural understanding sangat diperlukan dalam sebuah masyarakat besar yang

multietnik dan multibudaya.

Bahasa adalah hal lain yang menarik dari unsur multikultur trilogi novel ini. Sebagai

novel sastra Bali modern tentunya pengarang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa utama.

Namun, di antara bahasa Bali yang digunakan terselip juga bahasa Sasak dan Timor. Bahasa

sebagai bagian dari sebuah kebudayaan membawa identitas etnis pemakainya. Dalam novel ini

pengarang menciptakan sebuah novel sastra Bali, tetapi dengan tidak menghilangkan etnisitas

yang dimiliki oleh tiap-tiap tokoh melalui bahasanya. Dengan demikian, konsep multikultur yang

diusung pengarang benar-benar terasa.

Peristiwa-peristiwa yang digambarkan Djelantik Santha dalam trilogi novel ini

menyiratkan bahwa setiap tokoh yang menerima stimulus akan melakukan respons, baik secara

individu maupun organisasi sosial. Respons terhadap stimulus tersebut menunjukkan bagaimana

manusia seharusnya tidak pasif terhadap perubahan, tetapi berusaha berinteraksi dengan semua

masalah yang dihadapi. Stimulus yang dihadirkan pengarang tidak hanya dari satu setting yang

sama. Hadirnya setting yang berbeda, baik dari waktu, tempat, situasi, maupun budaya

memungkinkan hadirnya stimulus yang beragam pula. Inilah implikasi dari multikuturalisme

yang dihadirkan pengarang dalam karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa sastrawan menyajikan

sebuah peristiwa sebagai bahan perenungan dan sebagai bahan pembelajaran. Jadi, pesan yang

disampaikan selalu berkaitan dengan berbagai aspek kemanusiaan.

Penelitian ini mengungkap dimensi multikulturalisme yang terkandung dalam trilogi

novel karya Djelantik Santha. Multikulturalisme sempat mengalami penolakan sehingga memicu

konflik serta multikultural sebagai sebuah paham yang berhasil menyatukan perbedaan.

O‟Sullivan menyebutkan bahwa multikultur lebih menekankan pada aspek kualitatif hubungan

16
antaretnik dan budaya (Putra, 2008: 121). Studi terhadap multikultur tidak menekankan bahwa

satu kelompok berbeda dengan kelompok lainnya, tidak juga menekankan pada eksotika atau

keunikan tradisi tiap-tiap kelompok, tetapi lebih mengarah pada interaksi antarkelompok yang

berbeda. Kualitas hubungan antaretnik dalam berinteraksi di tengah keberagaman tradisi

menjadi prioritas dalam studi multikultur. Oleh karena itu, yang menjadi fokus dalam penelitian

adalah kualitas dari multikulturalisme itu sendiri, sejauh mana multikulturalisme mempengaruhi

kehidupan individu di dalam masyarakat sosial yang heterogen. Intensitas persinggungan

antaretnik yang tinggi dalam masyarakat multikultur memang memungkinkan terjadinya

konflik. Namun, trilogi novel ini tidak memperlihatkan konflik yang kuat sebagai dampak dari

multikulturalisme. Berbeda dengan novel Tresnané Lebur Ajur Satonden Kembang yang

mengandung konflik yang kuat, trilogi novel ini justru memperlihatkan konflik yang datar,

kurang tajam, sehingga muncul kesan yang biasa saja dari sisi konflik. Meski demikian, konflik

dalam trilogi novel ini tetap mempengaruhi posisi multikulturalisme sebagai isu mendasar yang

menjiwai trilogi novel ini.

Pandangan dunia pengarang terhadap multikulturalisme yang terintegrasi dalam trilogi

novel ini juga menjadi bagian yang diungkapkan dalam penelitian ini. Pandangan dunia sebagai

akumulasi menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi, serta perasaan-perasaan masyarakat sosial

yang berhasil ditangkap oleh pengarang, kemudian dituangkan dalam karyanya. Melalui

pandangan dunia pengarang akan terungkap ideologi yang melatarbelakangi pengarang dalam

menciptakan trilogi novel ini.

Totalitas berkarya yang dilakoni pengarang juga menjadi bagian yang menarik untuk

diungkapkan. Djelantik Santha sebagai orang Bali yang bergelut dalam bidang sastra betul-betul

bekerja secara serius untuk menggali potensi kearifan lokal tanah kelahirannya. Bali sebagai

17
kampungnya dunia menjadi bahan inspirasi yang tak kunjung kering ketika diekspresikan dalam

karya sastra. Pengalaman Djelantik Santha mengelilingi Nusantara dan bertemu berbagai etnik

saat aktif bertugas sebagai pegawai bank menjadikannya sosok yang plural, arif menyikapi

perbedaan meskipun terkadang muncul kecanggungan dalam melakukan perubahan dan bersifat

ambivalen dalam menyampaikan pesan pada karyanya. Kiprahnya dalam berkarya di bidang

sastra Bali khususnya sastra Bali modern merupakan sesuatu yang patut mendapat perhatian, di

tengah kondisi fisiknya yang kian melemah.

1.2 Rumusan Masalah

Pada penelitian kali ini terdapat dua buah masalah yang dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah representasi multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel

Sembalun Rinjani karya Djelantik Santha?

2. Bagaimanakah respons tokoh trilogi novel Sembalun Rinjani terhadap

multikulturalisme?

3. Bagaimanakah pandangan dunia pengarang terhadap multikulturalisme dalam trilogi

novel Sembalun Rinjani?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa karya-karya

sastra dengan muatan lokalitas mampu menyuguhkan kehidupan masyarakat yang hidup dalam

18
lingkungan heterogen dalam menghadapi perkembangan zaman. Memahami karya sastra dengan

nuansa sosial yang heterogen memberikan kenikmatan tersendiri serta memberikan pengetahuan

secara umum tentang kehidupan sosial dan budaya masyarakat tertentu. Lebih-lebih karya

tersebut dapat memberikan sumbangan positif bagi peningkatan kepekaan pembaca terhadap

nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan terhadap khazanah penelitian sastra dan penelitian sosial budaya pada

umumnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis dari segi

sosiologi sastra trilogi novel Sembalun Rinjani karya Djelantik Santha. Sosiologi sastra akan

mengungkap representasi multikultur, respons tokoh serta pandangan dunia pengarang yang

terkandung dalam ketiga novel tersebut.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberi sumbangan keilmuan dan praktis.

Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan manfaat kedua bersifat praktis yang

dijabarkan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini nantinya diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi penelitian sejenis

pada masa mendatang. Artinya, penelitian ini bisa memberikan gambaran tentang masyarakat

multikultur. Peristiwa persinggungan antaretnik yang menghiasi novel ini menunjukkan betapa

19
perkembangan zaman menjadikan masyarakat semakin heterogen dengan kulturnya masing-

masing. Interaksi sosial masyarakat yang heterogen itu terepresentasikan dengan baik dalam

dunia fiksi naratif. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan pemahaman terhadap

karya sastra di bidang kajian wacana naratif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan agar bermanfaat bagi masyarakat dalam

memahami serta menyikapi betul makna sebuah multikultur. Nantinya diharapkan masyarakat

mampu menghubungkan kenyataan dalam dunia fiksi dengan realitas yang ada dalam lingkungan

sosialnya. Pemahaman serta penyikapan yang baik terhadap multikultural akan menjadi

semacam cermin bagi masyarakat agar ketika menghadapi konflik dapat bersikap arif dan

bijaksana sehingga tercipta integrasi sosial. Terciptanya integrasi sosial yang harmonis pada

masyarakat multikultur akan berujung pada sebuah kesatuan, solidaritas, serta kebersamaan

dalam keberagaman.

Konstelasi dan sikap-sikap tokoh ketika menghadapi konflik dalam trilogi novel

Sembalun Rinjani karya Djelantik Santha dapat menjadi referensi sebagai bahan renungan ketika

menghadapi konflik terutama yang bersinggungan dengan masalah SARA. Sumbangan untuk

dunia pendidikan formal penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai media belajar bagi para

pelajar untuk mengembangkan, memahami karya sastra tidak hanya sekadar untuk menghibur,

tetapi juga memberikan pembelajaran yang mengarah pada ranah afektif.

20
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian terhadap karya-karya Djelantik Santha telah banyak dilakukan oleh peneliti sastra.

Apresiasi terhadap karya-karya Djelantik Santha lebih banyak ditemukan dalam bentuk

penelitian sastra. Karya-karya Djelantik Santha yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

moralitas menjadikannya sebagai karya sastra yang menarik untuk dijadikan objek penelitian.

Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi bahan dasar

penciptaan sebagian besar karya-karya Djelantik Santha. Sehubungan dengan itu, penelitian yang

paling tepat dilakukan terhadap karya-karyanya adalah penelitian sosiologi sastra. Hal itu

dikatakan tepat karena dengan sosiologi sastra semua aspek sosial yang terkandung dalam setiap

karya sastra dapat dibedah dengan sedalam-dalamnya.

Novel karya Djelantik Santha, Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak

Suwung Mangmung, sebelumnya tidak pernah diteliti secara bersamaan sebagai sebuah kesatuan

novel trilogi. Hanya sebelumnya tiap-tiap bagian novel trilogi secara terpisah telah diteliti

dengan kajian sosiologi sastra. Made Dwi Budajayanti menggunakan karya Djelantik Santha,

yaitu novel Sembalun Rinjani (2007) sebagai objek penelitiannya. Penelitian Budajayanti

mengungkapkan aspek sosial yang terkandung dalam novel Sembalun Rinjani, di antaranya

aspek agama, aspek pendidikan, dan aspek kemasyarakatan.

21
Kadek Apriliana Mandasari dalam kajian sosiologi sastra terhadap novel Gita Ning Nusa

Alit (2008) mengungkapkan aspek-aspek sosial yang terkandung dalam novel tersebut. Aspek

sosial yang dominan dibicarakan dalam kajian Mandasari adalah aspek agama. Dalam hal ini

Mandasari terfokus pada konsep-konsep agama Hindu yang terdapat dalam novel Gita Ning

Nusa Alit. Konsep-konsep dasar agama Hindu yang terangkum dalam Tattwa, Etika, dan

Upacara pada novel ini diungkap dengan cukup baik. Meskipun demikian, penelitian Mandasari

secara kuantitas lebih banyak membicarakan struktur intrinsik novel dibandingkan dengan

struktur ekstrinsik.

Ni Nyoman Apriani melakukan penelitian terhadap bagian akhir novel trilogi karya

Djelantik Santha, yaitu Novel Suryak Suwung Mangmung (2009). Penelitian yang menggunakan

pendekatan sosiologi sastra ini mengungkapkan aspek-aspek sosial terutama aspek agama dan

aspek kemasyarakatan. Aspek keagamaan yang diungkapkan dalam penelitian Apriani sama

dengan yang diungkapkan dalam penelitian Mandasari, yaitu Tattwa, Etika, dan Upacara.

Sebaliknya, aspek kemasyarakatan yang diungkapkan dalam penelitian Apriani adalah tradisi

magibung. Tradisi magibung merupakan tradisi makan bersama dalam masyarakat Bali.

Magibung dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok makan yang disebut dengan sela.

Pada penelitian itu, Apriani memang mengungkapkan magibung sebagai bagian aspek

kemasyarakatan yang terdapat dalam novel Suryak Suwung Mangmung. Namun, ia tidak secara

konkret menjelaskan bagian mana dalam novel yang berhubungan dengan tradisi tersebut.

Penelitian yang dilakukan Budajayanti, Mandasari, dan Apriani terhadap tiap-tiap bagian

dari novel trilogi Sembalun Rinjani memang dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra,

hanya di antara ketiga penelitian tersebut tidak satu pun mengungkapkan multikultur. Multikultur

menjadi prioritas pembahasan dalam penelitian ini, tentu saja dengan tidak melupakan

22
pandangan dunia pegarang sebagai bagian penting sebuah karya sastra. Multikultural di sini tidak

hanya dipahami sebagai sebuah paham atau ideologi semata, tetapi juga multikultur sebagai

sebuah realitas dari proses bermasyarakat yang harus disikapi dengan bijak. Kuantitas tidak

menjadi prioritas dalam hubungan multikultur, tetapi kualitas interaksi antartokoh dengan latar

belakang etnik serta tradisilah yang menjadi prioritas pembahasan. Multikultur tidak hanya

melihat seberapa banyak etnik serta tradisi yang berinteraksi dalam sebuah komunitas sosial,

tetapi seberapa jauh kualitas hubungan antaretnik dengan tradisinya masing-masing.

Jumlah objek penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Jika pada

penelitian sebelumnya tiap-tiap bagian novel diteliti secara terpisah oleh orang yang berbeda,

maka pada penelitian ini ketiga bagian dari trilogi novel Sembalun Rinjani dibahas bersama-

sama. Mengkaji seluruh bagian trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan hal yang mutlak

dilakukan guna memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai isi yang terkandung dalam

novel.

Putra dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern memberikan sedikit pandangannya

tentang dua novel dari trilogi ini, yaitu novel Sembalun Rinjani dan Gitaning Nusa Alit. Putra

(2010:194) menyebutkan bahwa kedua novel menawarkan tema segar dalam jagat sastra Bali

modern karena novel ini tidak hanya mempertemukan, tetapi juga menyatukan hubungan dua

etnik (Bali dan Lombok) dalam sebuah kisah percintaan, persahabatan, bahkan persaudaraan.

Putra melihat konflik dalam kedua novel ini kurang kuat sehingga tegangan yang dihasilkan dari

novel ini pun kurang. Sayangnya novel ketiga tidak dibicarakan oleh Putra sehingga keutuhan

tema kurang didapatkan dalam ulasannya. Kurangnya informasi mengenai terbitnya novel ketiga

menyebabkan Putra dalam tulisannya menyatakan bahwa novel ketiga belum terbit, sejatinya

23
novel ketiga telah diterbitkan Balai Bahasa Denpasar pada tahun 2007, sekitar setahun dari tahun

terbitnya buku Darma Putra.

Selain dari sisi sastranya, karya prosa fiksi Djelantik Santha juga diminati oleh peneliti

bahasa. Bahasa yang digunakan oleh Djelantik Santha merupakan bahasa Bali yang tergolong

dalam bahasa Bali yang baik dan benar sesuai dengan anggah ungguhing basa yang terdapat

dalam bahasa Bali. Salah satu yang mengkaji karya Djelantik Santha dari sudut ilmu bahasa

adalah I Wayan Muliarta. Penelitian unsur linguistik yang dilakukan Muliarta memfokuskan

pada kata majemuk yang terdapat dalam novel-novel karya Djelantik Santha. Penelitian yang

berjudul Kata Majemuk Bahasa Bali dalam Novel-novel Djelantik Santha (2009) ini

menunjukkan kualitas bahasa Bali yang digunakan Djelantik Santha sangat baik. Djelantik

Santha sebagai pengarang besar selalu berusaha memenuhi kaidah-kaidah penggunaan anggah

ungguhing basa bahasa Bali dalam setiap karyanya. Penggunaan bahasa yang tepat dan baku

dalam sebuah karya sastra akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi karya tersebut. Selain

meningkatkan unsur estetikanya, bahasa yang tepat dan baku juga akan membantu menjaga

keutuhan unsur-unsur bahasa yang digunakan pengarangnya (khususnya bahasa daerah). Kadang

kala pengarang melupakan unsur ketatabahasaan (unsur linguistik) dalam berkarya. Hal ini

dimungkinkan dengan adanya licentia poetica yang membebaskan pengarang melakukan

penyimpangan-penyimpangan dari aturan baku yang ada.

2.2 Konsep

Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis teori yang dikaitkan dengan masalah

penelitian yang dihadapi untuk menjawab dan memecahlan masalah penelitian (Buku Pedoman

24
Penulisan Usulan Penelitian, Tesis, dan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana,

2003:11).

Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini menggunakan konsep representasi,

multikultur, dan pandangan dunia.

2.2.1 Representasi

Representasi merupakan perbuatan mewakili (penggambaran) terhadap suatu objek

(KBBI, 1989:744). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek

sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2005: 612). Jika dikaitkan

dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya

sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai

kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau

keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan,

atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang

melambangkan kenyataan (mimesis) (Teeuw, 1984:220).

Plato mengungkapkan bahwa seni (sastra) melalui mimesis melakukan penggambaran

melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak sama persis dengan kenyataan. Seni

hanya dapat menggambarkan dan membayangkan hal-hal dalam kenyataan, seni berdiri di bawah

kenyataan itu sendiri (Teeuw, 1984: 220). Aristoteles juga mengungkapkan bahwa seni melalui

mimesis melakukan proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi yang terjadi dalam

seni tidak semata-mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan

renungan yang kompleks atas kenyataan alam. Dalam pandangan Aristoteles, seni bekerja seperti

sejarah, yakni menghadirkan peristiwa atau kenyataan faktual dan khusus. Di samping itu, seni

25
juga harus mampu menunjukkan ciri-ciri general dan universalnya yang berlaku untuk zaman

kapan pun (Teeuw, 1984: 222). Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari

masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial yang ada dengan

sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan

dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara

sosial (Ratna, 2003: 36).

Menurut Sumardjo (2000: 467) representasi adalah (1) penggambaran yang

melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum

yang universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia

yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada

di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman.

Keempat klasifikasi yang diungkapkan oleh Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat

objektif, representasi juga bersifat subyektif. Klasifikasi 1 dan 2 menunjukkan bahwa

representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang

dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4

menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara subjektif

melalui struktur mental, struktur nalar senimannya.

Pandangan Sumardjo mengenai representasi jelas menunjukkan bahwa hasil dari proses

representasi sangat ditentukan oleh kemampuan interpretasi sastrawan. Taine mengungkapkan

tiga konsep yang menentukan kualitas interpretasi sastrawan, yaitu ras, saat, dan lingkungan

(millieu). Hubungan timbal balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan

struktur mental yang praktis dan spekulatif. Struktur mental ini menyebabkan timbulnya dunia

gagasan yang masih berupa benih, yang selanjutnya oleh pengarang diwujudkan dalam bentuk

26
karya sastra (Teeuw, 1984: 19). ‟Ras‟ dalam konsep Taine tentu saja merujuk pada keturunan,

perangai, dan bentuk fisik, sedangkan ‟saat‟ merupakan waktu atau periode tertentu (jiwa

zaman). Hal ini memberikan gambaran khusus tentang kondisi manusia dalam kurun waktu

tertentu. Selanjutnya ‟lingkungan‟ merupakan letak georafis dan iklim. Tentu saja letak geografis

dan iklim akan mempengaruhi kondisi masyarakat sosialnya. Kondisi masyarakat sosial inilah

yang kemudian direpresentasikan sastrawan dalam karyanya.

Poses representasi yang dilakukan pengarang dalam karyanya menggunakan bahasa

sebagai media. Karya sastra memiliki kelebihan dalam menggambarkan kenyataan sosial.

Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa, karya sastra mampu

menggambarkan sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda. Durkheim memandang bahasa

sebagai institusi sosial yang terbagi secara kolektif. Bahasa merupakan indikator dari keberadaan

realitas sosial sebagai sesuatu yang terlepas dari individu (Faruk, 2010: 49). Melalui bahasa,

dunia sosial dikukuhkan dan sekaligus dipelihara. Melalui bahasa pula, dunia sosial yang objektif

diinternalisasikan ke dalam kesadaran subjektif para warga dunia sosial ( Berger dan Luckmann

dalam Faruk, 2010: 49 - 50).

Representasi sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara

kekuatan fiktif dan imajinatif. Dua kekuatan ini mampu menangkap secara langsung bangunan

dunia sosial yang memang berada di luar dan melampaui dunia pengalaman langsung, objek,

serta gerak-gerik. Karya sastra dapat merepresentasikan objek dan gerak-gerik yang berbeda dari

objek dan gerak-gerik yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi

strukturasi atas objek dan gerak-gerik, sastra dapat merepresentasikan persamaannya melalui

strukturasi dalam dunia sosial (Faruk, 2010: 52).

27
Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena sosial

sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, lebih mengarah kepada

penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif

pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomen sosial dalam karyanya sangat

dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya.

2.2.2 Multikulturalisme

Multikultur secara etimologi berasal dari dua kata, multi ‟banyak/beragam‟ dan kultur

/budaya atau kebudayaan‟, yang berarti keberagaman budaya (KBBI, 1989). Budaya yang mesti

dipahami di sini bukanlah budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua

bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti

sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, dan lain-lain. Multikultur adalah sebuah filosofi yang

juga kadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai

kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial yang sama dalam masyarakat modern.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan multikultur sebagai sarana untuk

kerja sama, pengakuan kesederajatan, dan berapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan

tidak monokultur lagi (Parekh, 2008: 7).

Akar dari multikultur adalah kebudayaan. Kebudayaan yang beraneka ragam, tetapi dapat

hidup berdampingan dalam satu wadah komunitas sosial. Hal ini bisa terjadi karena multikultur

merupakan sebuah wahana serta ideologi untuk meningkatkan derajat manusia dan

kemanusiannya. Oleh karena itu, kebudayaan harus dilihat dari perspektif fungsinya bagi

manusia.

28
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme akan mengakui dan mengagungkan

perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara sosial budaya. Dalam

multikultur, sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum pada masyarakat

tersebut. Kebudayaan umum tersebut terdiri atas masyarakat-masyarakat yang lebih kecil dengan

kebudayaannya sendiri yang membentuk masyarakat yang lebih besar. Satu kelompok

masyarakat harus menyesuaikan tradisi, perilaku, kebutuhan-kebutuhan, sumber daya moral, dan

psikologi dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh mereka hidup dalam

lingkungan heterogen yang terdiri atas beberapa elemen yang berbeda (Parekh, 2008: 232).

Sebuah masyarakat yang heterogen merupakan representasi dari multikulturalisme.

Keberadaan multikultur memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif multikultur adalah

keberanian untuk dapat menerima perbedaan sebagai sebuah modal serta kekuatan untuk

persatuan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih

banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.

Sebaliknya, sisi negatif multikultur adalah munculnya penolakan terhadap yang lain, baik

individu maupun kelompok. Hal ini terjadi akibat tidak bisa menerima perbedaan dan perbedaan

dianggap menyimpang atau salah. Penafian atau penolakan terhadap yang lain pada hakikatnya

adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu

maupun kelompok (Astawa, 2005: 58).

Konstruksi sosial hierarkis yang secara tegas melakukan penolakan terhadap multikultur

itu membangun pengakuan bahwa seseorang atau kelompok lain unggul atas yang lain serta

mengajukan klaim yang melebihi hak-haknya dengan cara merampas hak-hak pihak lain. Astawa

(2005:58) lebih jauh menjelaskan bahwa kemajemukan masyarakat lokal seperti itu tidak saja

bersifat horizontal (perbedaan etnik, agama, dan sebagainya), tetapi juga sering

29
berkecenderungan vertikal. Kecenderungan vertikal ini mengakibatkan terjadinya polarisasi

status dan kelas sosial berdasarkan kekayaan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal pertama,

perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya

etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang naik peringkatnya menjadi masyarakat dengan

ekonomi menengah ke atas. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial masyarakat setempat yang

mandek perkembangannya (khususnya dalam bidang ekonomi). Sebaliknya, dalam hal kedua,

kelompok masyarakat etnik dan agama tertentu yang semula berada di luar mainstream, yaitu

berada di pinggiran, mulai masuk ke tengah mainstream. Hal ini juga dapat menimbulkan

gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu,

seperti terjadi di Ambon, Poso, dan Aceh.

Guna meminimalisasi terjadinya hal-hal negatif dalam masyarakat multikultural seperti

Indonesia, paradigma hubungan dialog atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan untuk

mengatasi gesekan-gesekan negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Pemahaman yang

mendasar tentang toleransi serta sikap saling menghargai menjadi hal yang sangat penting.

Komunikasi sekali lagi menjadi hal yang memegang peran penting, bisa dengan membuka

dialog-dialog yang sehat antarpemuka masyarakat, pemuka agama, dan pemerintah sebagai

fasilitator. Kebudayaan secara internal merupakan sesuatu yang majemuk, maka dialog-dialog

yang berkesinambungan sangat diperlukan. Di tengah masyarakat yang multikultur akan menjadi

sangat riskan jika sedikit saja terjadi miskomunikasi karena cenderung mengarah pada urusan

yang fundamental, yaitu SARA. Sering kali muncul konflik horizontal, yakni konflik

antarmasyarakat akibat kurangnya komunikasi yang positif. Sesungguhnya konflik sosial

merupakan sesuatu yang wajar serta alamiah dalam sebuah komunitas sosial. Akan tetapi,

menjadi lain ceritanya ketika konflik sosial yang berkembang di masyarakat mengarah pada

30
tindakan anarkis. Anarkisme tentu saja akan membuka peluang yang sangat besar bagi timbulnya

disorganisasi sosial yang berujung pada disintegrasi bangsa.

2.2.3 Trilogi Novel ”Sembalun Rinjani”

Novel merupakan salah satu genre dalam karya sastra yang berjenis prosa rekaan. Novel

menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun

(Sudjiman, 1986: 53). Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa novel adalah

karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan tokoh dengan lingkungan

sekelilingnya serta menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Departemen Pendididkan dan

Kebudayaan, 1989:618). Pengertian di atas menunjukkan bahwa novel memiliki rangkaian

peristiwa serta jalan cerita yang panjang sehingga memberikan ruang yang luas untuk

menuturkan lebih detail perjalanan kehidupan tokoh.

Trilogi dalam pengertian di bidang sastra adalah seri karya sastra yang terdiri atas tiga

satuan (bagian) yang saling berhubungan dan mengembangkan satu tema utama (KBBI,

1989:961). Umumnya dalam bidang sastra yang menggunakan istilah trilogi adalah novel,

sedangkan dalam puisi, cerpen, dan drama jarang digunakan. Sastra Bali modern sendiri tidak

banyak mencatat lahirnya novel trilogi. Sejak awal kemunculan hingga saat ini dalam sastra Bali

modern hanya terdapat tiga novel trilogi, yaitu trilogi novel Sembalun Rinjani (Djelantik Santha),

trilogi novel Bunga Gadung Ulung Abancang (Nyoman Manda), dan trilogi novel Puputan

Badung (Nyoman Manda).

Penamaan dalam seri sasrta trilogi biasanya menggunakan judul novel pertama dari seri

trilogi tersebut. Trilogi novel yang diciptakan oleh Djelantik Santha sendiri terdiri atas novel

Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suwung Mangmung. Itulah sebabnya trilogi

31
novel ini disebut trilogi novel Sembalun Rinjani karena judul novel ini merupakan judul novel

pertama. Trilogi novel ini menceritakan kisah hidup tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana

yang bekerja sebagai pegawai BRI sejak awal bertugas hingga masa pensiun. Isu

multikulturalisme dicoba diangkat oleh pengarang dalam trilogi novel ini. Dikatakan demikian

karena, baik dari tokoh maupun latar yang dihadirkan dalam trilogi novel ini sarat dengan unsur

keberagaman dan heterogenitas sosial budaya Indonesia.

Judul trilogi novel sesungguhnya telah menunjukkan unsur multikultur jika ditelisik lebih

mendalam. Judul trilogi novel, yaitu Sembalun Rinjani merupakan nama daerah di Lombok

Timur. Sembalun adalah nama desa yang terdapat gunung tertinggi di Lombok, yaitu Gunung

Rinjani. Masyarakat Desa Sembalun merupakan masyarakat yang masih menganut tradisi

tradisonal Lombok. Masyarakat desa Sembalun yang beragama Islam Wetu Telu hidup

berdampingan dengan masyarakat Bali yang hidup secara turun temurun di desa tersebut sejak

ekspansi kerajaan Karangasem ke Lombok. Masyarakat etnik Sasak dan Bali di Desa Sembalun

sama-sam memiliki keyakinan terhadap keberadaan Dewi Anjani sebagai dewi kesuburan yang

berstana di Gunung Rinjani. Setiap menjelang musim panen, masyarakat etnik Sasak dan Bali

bersama-sama melakukan persembahan di Gunung Rinjani untuk memohon agar nantinya hasil

pertanian mereka melimpah. Kebersamaan ini menjadi salah satu gambaran multikulturalisme

yang terepresentasi melalui judul novel pertama.

Keberadaan masyarakat etnik Sasak dan etnik Bali yang hidup harmonis di Desa

Sembalun bisa jadi merupakan alasan mengapa pengarang menyatukan dua tokoh utama dalam

ikatan cinta di Gunung Rinjani Desa Sembalun. Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah adalah

dua tokoh utama yang bebeda agama serta suku, Gusti Ngurah Darsana adalah orang Bali yang

beragama Hindu, sedangkan Lale Dumilah adalah orang Lombok dengan agama Islam. Mereka

32
sepakat memulai menjalin hubungan cinta di Gunung Rinjani. Meskipun perjalanan cinta mereka

pada awalnya selalu mendapat hambatan karena perbedaan di antara mereka.

Novel pertama mengisahkan perjalanan tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana dan

Lale Dumilah dalam menjalin persahabatan hingga berlanjut ke hubungan asmara. Selanjutnya

pada novel kedua yaitu Gita Ning Nusa Alit kedua tokoh utama telah menikah dan memiliki

seorang putra. Setelah menikah mereka menetap di Bima karena Gusti Ngurah Darsana

mendapat tugas di BRI cabang Bima. Persinggungan antaretnik semakin banyak terjadi pada

novel kedua. Gita Ning Nusa Alit yang berarti nyanyian indah di pulau kecil adalah representasi

kebahagiaan hubungan antaretnik di sebuah pulau kecil, yaitu Sumbawa. Kebahagian di sini

adalah dapat diterimanya hubungan Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah oleh keluarga Lale

Dumilah. Selain itu, di pulau ini pula lahir putra pertama dari pasangan dua etnik berbeda

tersebut yang diberi nama Gusti Ngurah Anantha Buana.

Hubungan indah antaretnik juga semakin terasa ketika Gusti Ngurah Darsana dan Lale

Dumilah dapat diterima dengan baik oleh penduduk sekitar. Mereka dihormati sebagai penduduk

pendatang, diterima dengan baik sebagai bagian keluarga baru di komunitas penduduk lokal

Atambua. Bahkan, rumah dinas Gusti Ngurah Darsana menjadi tempat untuk mengadakan acara-

acara kekeluargaan di antara pegawai BRI dengan latar belakang etnik yang berbeda. Semua

berkumpul, berbaur dalam suasana kekeluargaan tanpa rasa canggung.

Novel ketiga yang berjudul Suryak Suwung Mangmung mengisahkan masa pensiun tokoh

utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana. Suryak Suwung Mangmung secara harafiah dapat diartikan

teriakan sunyi senyap, namun jika dikaitkan dengan multikulturalisme dapat bermakna

kebersamaan yang akhirnya menuju sebuah tujuan yang sama. Suryak berarti teriakan yang

dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu orang (bersifat kolektif), ini yang menjadi

33
simbol heterogenitas dalam masyarakat multikultur. Suung Mangmung berarti suatu keadaan

yang sunyi senyap, menyiratkan kesatuan persepsi dan tujuan. Meskipun berbeda namun

memiliki satu pandangan sama, memiliki satu persepsi dan tujuan yang sama tentang

multikulturalisme, yaitu kehidupan yang bertoleransi dalam mayarakat yang beragam. Jika

dikaitkan dengan filsafat kehidupan maka dapat dimaknai sebagai sebuah proses perjalanan

kehidupan menuju jenjang yang lebih mulia. Jenjang kehidupan mulai meninggalkan hiruk

pikukkehidupan duniawi untuk lebih berfokus pada pendekatan diri dengan sang pencipta. Hal

ini bisa dilihat dari kahidupan tokoh utama yang mulai memasuki masa pensiun, kembali ke

kampung halaman yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Pada novel ketiga kehidupan

tokoh utama lebih banyak bergelut dengan urusan religius, seperti tirtha yatra 3 , yoga 4 , dan

makakawin5. Namun, sebagai novel dengan multikultur jadi isu mendasar, pada novel ketiga ini

pun pengarang kembali memunculkan pernikahan antaretnik. Gusti Ngurah Anantha Buana yang

merupakan putra Gusti Ngurah Darsana menikah dengan seorang gadis Dayak bernama Diah

Rengsi Pitaloka.

Trilogi novel Sembalun Rinjani mengangkat isu yang sangat sensitif sesungguhnya, isu

yang beberapa tahun belakangan ini menjadi perbincangan di masyarakat. Multikultur sebagai

sebuah ragam kehidupan bermasyarakat di Indonesia merupakan potensi besar yang harus

disadari oleh masyarakat Indonesia sendiri. Pengarang melalui novelnya mencoba memberikan

gambaran tentang multikultur yang disikapi secara arif. Hasilnya adalah sebuah keharmonisan

dalam kehidupan yang heterogen. Pengarang dalam novelnya juga mencoba memberikan jalan

3
Perjalanan spiritual ke tempat-tempat suci
4
Yoga merupakan cara atau jalan untuk mengendalikan gerak-gerik pikiran untuk menyatukan Sang Jiwa dan Jiwa
Yang Mahaagung.
5
Menyanyikan nyanyian suci dalam bentuk kakawin

34
guna menghadapi masalah yang muncul akibat multikultur tanpa bermaksud untuk menggurui

penikmat karyanya.

2.2.4 Pandangan Dunia

Pandangan merupakan sesuatu yang paling penting untuk mengetahui hubungan karya

sastra dengan masyarakat sosial karena pandangan dunia yang berhubungan langsung dengan

struktur masyarakat. Kondisi struktural masyarakat dapat membuat suatu kelas sosial yang ada

dalam posisi tertentu dalam masyarakat membuahkan dan mengembangkan suatu pandangan

dunia. Goldmannn (Faruk, 2010: 66) mengungkapkan bahwa pandangan dunia merupakan

kumpulan menyeluruh gagasan, aspirasi, serta perasaan yang menghubungkan secara bersama-

sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang membedakannya dengan

kelompok sosial yang lain. Kumpulan menyeluruh gagasan, aspirasi, serta perasaan dalam

sebuah kelas sosial disebut juga dengan struktur global yang bermakna. Suatu pemahaman total

yang mencoba menangkap makna dari dunia dengan segala kerumitan dan keutuhannya

(Damono, 1984: 40).

Pandangan dunia tidak hanya sebuah gagasan yang abstrak dari suatu kelompok sosial

mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada (lingkungannya), tetapi juga

bisa merepresentasikan cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota-anggota suatu

kelas dalam kelas sosial yang sama dan membedakannya dengan kelas sosial yang lain (Damono,

1984: 41). Hal ini bisa menjadi suatu ciri khas tersendiri bagi sebuah kelas sosial tertentu

sehingga menjadikannya terlihat berbeda meskipun terintegrasi dalam lingkungan yang sama

dengan kelas sosial yang berbeda.

35
Pandangan dunia merupakan pandangan dengan koherensi yang menyeluruh. Pandangan

Dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan antara manusia

dengan lingkungannya. Pandangan dunia dibangun dalam perspektif sebuah kelompok

masyarakat yang berbeda pada posisi tertentu dalam struktur sosial secara keseluruhan. Di

samping itu, juga merupakan respons kelompok masyarakat terhadap lingkungan sosial yang

beragam (Faruk, 2010:70 - 71). Ini menyiratkan bahwa pandangan dunia lebih mungkin terjadi

pada masyarakat yang multikultur. Hal ini dimungkinkan karena pandangan dunia tidak akan

terbangun dalam masyarakat yang homogen, monokultur, serta terisolasi dari kelompok sosial

lainnya.

Sebagai sebuah kesadaran intelektual antara subjek kolektif dengan lingkungannya,

pandangan dunia tidak terlahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara

perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya

mentalitas yang lama (Faruk, 2010:67). Transformasi mentalitas yang dimaksud di atas

merupakan sebuah penyesuaian norma, gaya hidup, bahkan religiusitas sebuah kelas sosial

dengan sesuatu yang baru sebagai akibat dari interaksi dengan kelas sosial lainnya. Hal ini

dimungkinkan terjadi dalam sebuah masyarakat yang heterogen dengan pandangan dunia yang

berbeda di setiap kelas sosialnya. Masyarakat multikultur cenderung mengalami transformasi

mentalitas sebagai bagian sebuah proses adaptasi di tengah interaksi dalam kehidupan sosialnya.

Pandangan dunia terepresntasikan dalam karya sastra melalui pengarang. Goldmannn

mengungkapkan bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner karena

dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia, pengarang menciptakan semesta tokoh-

tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (dalam Faruk, 2010: 71). Pandangan dunia

diaanggap memicu subjek untuk mengarang. Pandangan dunia juga dianggap sebagai salah satu

36
ciri keberhasilan suatu karya. Dengan mengetahui pandangan dunia dalam suatu karya, maka

akan diketahui kecenderungan suatu masyarakat serta sistem ideologi yang mendasari perilaku

sosial sehari-hari (Ratna, 2006: 126). Oleh karena itulah, pengarang yang peka terhadap

lingkungan serta situasi sosial di sekitarnya akan dengan mudah mengapresiasikan pandangan

dunia sosial ke dalam karyanya.

Goldmann menyebutkan bahwa pandangan dunia menentukan struktur karya sastra. Kaya

sastra yang besar adalah karya sastra yang memiliki keterpaduan internal sehingga karya tersebut

mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan mendasar. Karya sastra yang besar akan

mengangkat masalah yang besar pula. Dalam hal ini tentu pengarangnya pun pengarang yang

besar karena hanya pribadi yang luar biasa yang mampu mengidentifikasi dirinya dengan

kecenderungan-kecenderungan sosial yang penting pada zamannya sehingga ia bisa mencapai

ekspresi yang padu tentang kenyataan (Damono, 1984: 42). Setiap pengarang akan memiliki cara

yang berbeda dalam mengungkapkan pandangan dunia di dalam karyanya (Ratna, 2006: 126).

Hal itu terjadi karena pengarang sebagai individu sosial dibentuk dan dikondisikan oleh

lingkungannya. Sebagai anggota masyarakat, partisipasi pengarang tidak hanya sebatas

partisipasi kreatif, tetapi meliputi keseluruhan kehidupan praktis masyarakat sosialnya.

Pandangan dunia yang terepresentasikan dalam karyanya adalah bentuk akumulasi ide serta

pengalaman yang diperoleh dari aktivitas praktis dalam lingkungannya. Ratna mengungkapkan

bahwa isi karya sastra mengisyaratkan relevansi dunia pengarang dalam struktur naratif, yang

secara jelas dapat diidentifikasi melalui eksistensi semesta tokoh dan kejadian. Manifestasi isi

dapat menunjukkan kualitas dan kuantitas pengarang dalam bidang kreatif, sekaligus sebagai

kualitas transformatif realitas sosial ke dalam realitas imajinatif (2003: 196).

37
Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya,

sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Fungsi sastra sebagai sarana pendidik akan

tercapai dengan baik. Masyarakat dapat belajar dengan membaca, memahami, serta menghayati

nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra lewat pemahaman terhadap pandangan dunia.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra yang dijadikan teori utama untuk

menganalisis tiga prosa karya Djelantik Santha, yaitu Sembalun Rinjani, Gita Ning Nusa Alit,

dan Suryak Suwung Mangmung. Sebagai teori utama, sosiologi sastra menjadi teori utama dalam

penelitian ini. Teori konflik dan integrasi juga digunakan sebagai teori pembantu dalam proses

penelitian. Kedua teori yang digunakan untuk membedah ketiga karya Djelantik Santha

diuraikan satu per satu sebagai berikut.

3.3.1 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra muncul sebagai suatu bentuk dobrakan atas stagnasi yang terjadi pada

strukturalisme murni. Strukturalisme klasik atau strukturalisme murni hanya berkiblat pada karya

sastra semata, karya sebagai sesuatu yang otonom lepas dari latar belakang sejarah atau

lingkungan sosialnya (Teeuw, 1984:152). Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom yang

terdiri atas unsur-unsur intrinsik yang berkolerasi saja, tetapi lebih dari itu karya sastra juga

merupakan dokumen sosial dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Karya

sastra sendiri tidak lahir dari sebuah kekosongan. Karya sastra lahir dari kemajemukan dan

kompleksitas unsur budaya dalam suatu masyarakat. Untuk itulah sosiologi hadir sebagai ilmu

yang mempelajari hubungan karya sastra dan masyarakatnya. Kemajemukan dan kompleksitas

38
yang terdapat dalam masyarakat merupakan sebuah struktur yang dinamis sama halnya dengan

struktur yang terdapat dalam karya sastra (Ratna, 2005: 295 - 296).

Damono (1978: 2 - 3) menegaskan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan

terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Karya sastra merupakan

sebuah rekonstruksi pandangan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya dan bisa jadi

merupakan sebuah respons pengarang terhadap sebuah perubahan sosial. Lebih lanjut Damono

mengemukakan bahwa telaah sosiologi terhadap karya sastra memiliki dua kecenderungan.

Pertama, merupakan proses ekonomis belaka, yaitu membicarakan sastra dari faktor-faktor di

luar sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan telaah untuk

kemudian digunakan memahami gejala-gejala sosial di luar sastra. Pandangan pertama Damono

di atas merupakan penelitian terhadap proses distribusi karya sastra. Bagaimana karya sastra

yang telah dihasilkan pengarang kemudian dicetak, dikemas, lalu didistribusikan hingga sampai

pada tangan konsumen (pembaca). Di sini proses ekonomi pada karya sastra yang berperan

dominan, teks karya sastra merupakan gejala sekunder yang tidak mendapat perhatian besar.

Sementara pada pendekatan yang kedua, teks karya sastra menjadi pusat penelaahan utama dan

faktor ekonomi menjadi gejala sekunder. Teks karya sastra ditelaah dan dipahami lebih dalam

untuk selanjutnya digunakan memahami gejala-gejala sosial di luar karya sastra.

Dasar filosofi pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra

dengan masyarakat. Hubungan –hubungan yang dimaksud disebabkan oleh (a) karya sastra

dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, (c) pengarang

memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya itu dimanfaatkan

kembali oleh masyarakat (Damono, 1984:1, Ratna, 2004: 60). Sastrawan adalah bidan yang

berperan membantu proses lahirnya karya sastra yang mengandung realita sosial di masyarakat.

39
Jadi, apa pun bentuk karya sastra, ia tercipta dari kemajemukan fakta sosial yang oleh pengarang

dikemas dalam bentuk fiksi. Fakta sosial dalam pengertian di atas mencakup berbagai aspek

kehidupan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat disebut sebagai lembaga

sosial yang diciptakan oleh sastrawan.

Wellek dan Warren (1990: 111) membuat klasifikasi mengenai sosiologi sastra sebagai

berikut.

(a) Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan

lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra.

(b) Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang

menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa

yang menjadi tujuannya.

(c) Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya

sastra.

Klasifikasi di atas memisahkan bagian-bagian yang dapat menjadi pokok pembahasan

dalam sebuah penelitian sosiologi sastra. Pada klasifikasi pertama, telaah yang dilakukan lebih

banyak berkaitan dengan pengarang sebagai penghasil karya sastra. Pengarang sebagai individu

yang memiliki ideologi, status sosial, serta latar belakang sosial yang turut serta mempengaruhi

hasil karyanya. Ideologi, status sosial, serta latar belakang sosial pengarang berpengaruh besar

terhadap hasil karyanya karena secara manusiawi ideologi, status sosial, serta latar belakang

sosial akan mempengaruhi setiap tindakan manusia. Ketiga hal inilah yang sering kali

menjadikan setiap pengarang memiliki ciri khas pada hasil karyanya.

40
Klasifikasi kedua memfokuskan telaah pada objek karya sastra. Karya sastra ditelaah

dengan memperhatikan unsur-unsur sosial, baik yang tersirat maupun tersurat di dalamnya.

Mengkaji dengan dalam setiap unsur sosial yang ada dalam teks sehingga ditemukan tujuan dari

pengarang menulis karya sastra tersebut. Hal itu penting karena sering kali pengarang menulis

karya dengan tujuan-tujuan tertentu serta pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada

pembaca.

Klasifikasi ketiga berkaitan dengan pembaca sebagai rantai akhir perjalanan sebuah

karya sastra. Pembaca sebagai penikmat serta yang akan memanfaatkan karya sastra dalam

kehidupan sosialnya. Pengarang sebagai kreator memasukkan ideologi, pemikiran, serta ide-

idenya dengan kemasan yang dapat diterima oleh pembaca sehingga apa yang menjadi tujuannya

tepat sasaran. Untuk menjadikan karya sastra tepat sasaran, pengarang menentukan bentuk dan

isi karyanya sesuai dengan masyarakat pembaca yang akan dituju. Pengaruh karya sastra pada

masyarakat yang tepat sasaran akan sangat besar tergantung sejauh mana karya tersbut dihayati

oleh masyarakat pembacanya. Karya sastra mampu menjadi sarana pendidik yang paling baik,

mampu sebagai motivator, bahkan mampu sebagai pendobrak sistem yang ada.

Lucien Goldmann memberikan pandangannya terhadap unsur ekstrinsik (sosiologi) karya

sastra. Konsep dasar dari pandangan Goldmannn, yaitu simetri atau homologi, kelas-kelas sosial,

subjek transindividual, dan pandangan dunia (Goldmann dalam Ratna, 2006:123).

Homologi menandai hubungan resiprokal antara masyarakat dengan karya sastra karena

keduanya merupakan hasil (produk) dari sebuah aktivitas strukturasi sosial yang sama. Oleh

karena itulah, antara karya sastra dan masyarakat terdapat hubungan bermakna. Konsep

homologi Goldmann berbeda dengan konsep refleksi yang pernah ada sebelumnya. Jika dalam

konsep refleksi (mirror) karya sastra merupakan sebuah karya imajiner yang identik dengan

41
dunia nyata, maka dalam konsep homologi terdapat perbedaan yang dapat dilihat di antara dunia

imajiner dalam karya sastra dengan dunia nyata. Kesamaan antara dunia imajiner dalam karya

sastra dengan dunia nyata adalah kesamaan yang tidak bersifat absolut dan substansial,

melainkan kesamaan dari segi struktur. Contoh sederhana dari perbedaan struktur dan substansi

yang demikian misalnya terdapat dua buah gelas dengan bentuk, bahan, dan motif yang sama

diisi dengan minuman yang berbeda. Gelas A diisi dengan air soda, sedangkan gelas B diisi air

mineral. Jadi, kedua gelas (struktur) akan memiliki substansi yang berbeda meskipun dari segi

struktur pembangun kedua gelas sama.

Kelas-kelas sosial dalam karya sastra merupakan implementasi kelas sosial yang ada di

masyarakat. Sastra terkadang mengungkapkan pertentangan-pertentangan antarkelas yang terjadi

di masyarakat, mengungkapkan ketimpangan-ketimpangan antarkelas, dan itulah salah satu tugas

karya sastra. Lenin (Luxemburg dkk., 1982:25) mengungkapkan bahwa sastra dapat membawa

perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sastra dapat berperan sebagai guru yang menjalankan

fungsi mengajarnya. Sastra tidak hanya membuka mata para pelaku pertentangan antarkelas

sosial, tetapi memberikan pembelajaran atas apa yang terjadi. Pandangan kaum Marxis terhadap

karya sastra dan kelas sosial adalah karya sastra merupakan perwakilan kelas sosial tertentu

sebab karya sastra digunakan untuk menyampaikan aspirasi kelasnya.

Subjek transindividual menurut pandangan Goldmann (Ratna, 2006:124) merupakan

penampilan pemikiran-pemikiran individu, tetapi dengan mental kelompok. Artinya, pemikiran-

pemikiran individu dalam suatu kelompok sosial yang mewakili kelompoknya. Pemikiran,

gagasan, atau perasaan-perasaan individu yang kemudian terakumulasi sebagai bentuk sebuah

pemikiran, gagasan, atau perasaan-perasaan kelompok sosial. Subjek transindividual inilah yang

kemudian menjadi energi pembangun pandangan dunia.

42
Pandangan dunia merupakan inti dari strukturalisme genetik. Pandangan dunia

merupakan akumulasi dari homologi, kelas sosial, transindividual, dan struktur bermakna yang

menjadi totalitas pemahaman. Goldmann (Faruk, 2010: 65) mengungkapkan bahwa pandangan

dunia sebagai kumpulan menyeluruh dari gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan

anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan

kelompok sosial lainnya. Pandangan dunia merupakan sebuah gambaran dengan hubungan yang

menyeluruh dan berkaitan. Pandangan dunia merupakan perspektif yang terpadu mengenai

hubungan antar manusia, manusia dengan alam secara utuh dan menyeluruh.

Penelitian ini mengacu pada teori yang diungkapkan Wellek dan Warren dengan tiga

klasifikasinya terhadap sosiologi sastra. Mengkaji karya sastra dengan melihat unsur-unsur sosial

yang tersirat serta tersurat dalam teks dengan tidak melupakan pengarang sebagai kreator lalu

menghubungkannya dengan masyarakat sosial. Teori Goldmann turut mendukung penelitian ini

dengan konsep simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan

dunia. Membedah karya sastra dengan teori sosiologi sastra mengarahkan kita menemukan

hubungan karya sastra dengan masyarakat sosial.

2.3.3 Teori Konflik dan Integrasi

Konflik dan integrasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan ini bersifat

kausal, di mana muncul konflik pasti diikuti dengan proses integrasi meskipun kurun waktu

untuk terjadinya proses integrasi tersebut tidak dapat ditentukan. Konflik muncul ketika terjadi

regangan dalam proses sosial yang diawali dengan disorganisasi sebelum akhirnya mengarah

pada disintegrasi. Susanto (1985: 103) mengungkapkan bahwa ”disorganisasi sebagai taraf

43
kehidupan sosial yang mendahului disintegrasi mungkin terjadi karena perbedaan paham tentang

tujuan kelompok sosial, norma-norma sosial (yang hendak diubah), dan tindakan dalam

masyarakat”.

Poloma (2004: 1107 - 108) menyatakan bahwa konflik apa pun bentuknya dapat

membantu untuk mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat

yang mengalami konflik atau dis integrasi dengan masyarakat lain dapat memperbaiki kepaduan

integrasi, konflik juga membantu fungsi komunikasi. Sebelum terjadinya sebuah konflik,

kelompok-kelompok atau individu mungkin tidak percaya terhadap posisi atau fungsi dari

musuhnya, tetapi akibat terjadinya sebuah konflik sering kali posisi dan fungsi serta batas

antarkelompok, antarindividu menjadi diperjelas. Konflik tidak selalu berdampak negatif karena

dari konflik sering kali pihak yang bertikai menemukan jalan atau cara yang lebih baik mengenai

kekuatan relatif mereka serta meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling

berdamai.

Konflik sebagai sebuah proses sosial menurut Susanto (1985: 103) memiliki beberapa

fase. Fase-fase tersebut terdiri atas fase disorganisasi dan disintegrasi. Karena suatu kelompok

sosial selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, maka pertentangan akan dipengaruhi oleh

beberapa faktor sehingga pertentangan akan berkisar pada penyesuaian diri atau penolakan dari

faktor-faktor sosial tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah tujuan dari kelompok

sosial (goals and objective), sistem sosial (social system), sistem tindakan (action system), dan

sistem sanksi (sanction system). Keempat faktor ini tentunya yang akan menentukan arah dari

konflik yang akan terjadi dalam sebuah proses sosial, serta bentuk penyelesaian yang mungkin

muncul sebagai gejala awal sebuah integrasi.

44
Susanto (1985:104) menyebutkan bahwa integrasi sebagai sebuah proses melalui

beberapa fase. Fase tersebut di antaranya adalah akomodasi, kerja sama, koordinasi, dan

asimilasi. Lebih lanjut Susanto (1985:104) mengungkapkan bahwa ”integrasi sebagai salah satu

proses dan hasil kehidupan sosial merupakan alat yang bertujuan untuk mengadakan suatu

keadaan budaya yang homogen”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebuah integrasi

dikatakan berhasil ketika terjadi homogenitas yang teratur dalam sebuah komunitas sosial.

Proses integrasi sosial banyak ditentukan pula oleh jarak sosial yang terjadi dalam sebuah

komunitas sosial. Jarak sosial ini berkaitan langsung dengan komunikasi dan interaksi yang

terjadi antarindividu. Komunikasi dan interaksi ini adalah benang merah dari keempat fase

integrasi yang diungkapkan oleh Susanto di atas. Secara subjektif, jarak sosial ditentukan oleh

empat faktor yaitu frekuensi interaksi, ketepatan konvergensi atau divergensi gambaran pada

tiap-tiap individu tentang pihak yang lain, hasrat atau keinginan untuk berinteraksi, dan intensitas

interaksi (Susanto, 1985:110).

Komunikasi dan interaksi menjadi sangat berperan dalam proses integrasi. Semakin

tinggi dan positif tingkat komunikasi dan interaksi, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya

integrasi begitu pula sebaliknya. Homans (dalam Susanto, 1985:110) berpendapat bahwa

kemajuan di bidang ekonomi, frekuensi interaksi berkurang, intensitas perasaan berkurang dan

dengan sendirinya disorganisasi, bahkan disintegrasi masyarakat dimulai. Kemajuan di bidang

ekonomi dan teknologi ternyata tidak menjamin bahwa integrasi dalam masyarakat dapat terjaga

dengan baik, bahkan akibat kemajuan ekonomi dan teknologi peluang disorganisasi cenderung

lebih terbuka lebar.

Teori konflik dan integrasi dalam penelitian ini digunakan untuk memahami bagaimana

konflik serta integrasi sosial yang terkandung dalam objek penelitian. Konflik dalam hal ini

45
adalah konflik yang muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap proses terjadinya

multikuturalisme, di antaranya adalah penolakan terhadap proses asimilasi kebudayaan sebagai

bagian multikultur itu sendiri. Kemudian integrasi yang dimaksud adalah proses terjadinya

kompromi terhadap multikultur oleh individu atau kelompok yang semula menolak multikultur.

Kompromi atau penerimaan diakibatkan oleh mulai terbukanya pikiran serta timbulnya

kesadaran sosial tentang arti penting multikultur bagi individu serta kelompok yang semula

menolak adanya multikultur.

46
2.4 Model Penelitian

Realita Sosial

Pengarang

Djelantik Santha

Sosiologi Sastra Trilogi Novel “Sembalun Konflik dan Integrasi


Rinjani”

Metode

Kualitatif Interpretatif

Representasi Pandangan Dunia


Multikulturalisme dalam Pengarang dalam Trilogi
Trilogi Novel “Sembalun Novel “Sembalun Rinjani”
Rinjani”

47
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang lazim digunakan pada jenis-jenis

penelitian ilmu sosial, humaniora, dan ilmu hukum. Penelitian terhadap sebuah karya sastra

merupakan penelitian dalam ranah ilmu humaniora. Itulah yang menjadi alasan metode kualitatif

tepat digunakan dalam proses penelitian terhadap ketiga novel Djelantik Santha. Selain itu,

metode kualitatif dapat memberikan perincian yang detail tentang fenomena yang belum

diketahui dalam objek penelitian.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian memiliki tiga tahapan penting. Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap

persiapan, tugas lapangan, dan tahap analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan

judul, studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan metode penelitian, dan

penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan terlebih dahulu membaca ketiga

karya Djelantik Santha. Setelah membaca dan memahani isi dari ketiga karya Djelantik Santha,

lalu mencari inti permasalahan yang menjadi titik temu antara ketiga novel tersebut. Tentu saja

fenomena yang berusaha dicari di sini adalah fenomena yang belum pernah dibicarakan dalam

penelitian sejenis sebelumnya.

Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan

untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang proses penelitian. Pemilihan

dan pengumpulan bahan-bahan serta literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan

masalah serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Perumusan masalah dalam

48
penelitian ini dilakukan dengan pola pemikiran yang diutarakan oleh Marzuki (1989:26), yaitu

manageable (topik penelitian terjangkau oleh peneliti), ontainable (permasalahan dirumuskan

dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan-bahan pustaka), significance (masalah yang

digarap cukup penting untuk diteliti), dan interest (masalah yang diangkat mengaktifkan niat).

Tahap tugas lapangan merupakan tahap selanjutnya. Pada tahapan ini dilakukan proses

pengumpulan bahan-bahan pustaka, wawancara dengan pengarang, wawancara dengan orang-

orang yang pernah melakukan penelitian terhadap hasil-hasil karya pengarang. Wawancara

dengan pengarang bertujuan untuk memperoleh data dalam proses penyusunan biografi

pengarang. Tahapan analisis meliputi editing dan coding. Tahapan editing bertujuan untuk

melihat keakuratan dan reliabilitas data dengan permasalahan yang hendak dipecahkan. Coding

merupakan tahap memberikan tanda pada data-data yang telah ditemukan untuk selanjutnya

diklasifikasikan menurut kategori-kategori yang sama.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berupa teks dan cerita novel karya

Djelantik Santha. Ketiga karya ini berjudul novel Sembalun Rinjani (majalah Sarad, 2000),

novel Gita Ning Nusa Alit (Balai Bahasa Denpasar, 2002), dan novel Suryak Suwung Mangmung

(Balai Bahasa Denpasar, 2005).

3.3 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen kartu data buatan peneliti, tape recorder,

handycam serta media internet. Kartu data menggunakan pengodean terbuka, yaitu pengumpulan

data dengan pemberian nama serta pengelompokan data dan fenomena-fenomena yang relevan

49
dengan masalah penelitian. Tape recorder dan handycam adalah insturmen penelitian yang

digunakan untuk menyimpan informasi yang diperoleh dari pegarang. Media internet

dimanfaatkan untuk mengumpulkan data penunjang dalam penelitian ini.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.

Sementara itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik

catat dan teknik wawancara. Hasil wawancara direkam dalam alat perekam (handycam dan tape

recorder). Teknik wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara tidak

berstruktur atau bebas terbuka. Wawancara untuk mendapatkan keterangan secara lisan melalui

percakapan-percakapan dan berhadapan muka dengan pengarang. Wawancara dengan terbuka

memberikan kemungkinan responden, yaitu pengarang untuk menjawab sesuai dengan

keinginannya dalam pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-

penemuan hingga menjadi satu data yang teratur dan lebih berarti. Data yang telah ditemukan

lalu dideskripsikan kemudian dianalisis dengan teori sosiologi sastra serta teori konflik dan

integrasi. Langkah awal teori sosiologi sastra bekerja adalah dengan menemukan unsur-unsur

sosial yang terdapat dalam teks. Realitas sosial yang terkandung dalam teks selanjutnya

diuraikan serta dianalisis untuk selanjutnya dibandingkan dengan realita sosial yang terdapat

dalam masyarakat.

50
Teori konflik dan integrasi turut mendukung dalam proses analisis terhadap data-data

yang terdapat dalam teks. Multikulturalisme sebagai sebuah fenomena kebudayaan tentu saja

tidak luput dari adanya konflik sebagai akibat dari persinggungan budaya yang berbeda.

Selanjutnya integrasi hadir sebagai solusi positif penyelesaian konflik yang sempat terjadi,

sejatinya integrasi merupakan tujuan akhir kehidupan multikultur yang harmonis. Konflik serta

integrasi yang terdapat dalam teks dianalisis sebagai satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat

multikultur.

Pendeskripsian terhadap data yang telah dianalisis akan memperlihatkan bagaimana

multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel Semalun Rinjani. Tentu saja akan terlihat

sejauh mana konflik serta integrasi berperan dalam masyarakat multikultur. Selanjutnya hasil

yang diperoleh dalam analisis terhadap teks akan dibandingkan dengan kenyataan sosial yang

ada di masyarakat.

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Analisis dituangkan dalam tujuh bab, bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan

teori, serta model penelitian. Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri atas rancangan

peneltian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data,

metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian analisis. Bab IV merupakan

biografi pengarang yang menjabarkan latar belakang kehidupan pengarang serta proses kreatif

pengarang. Bab V merupakan bab isi yang menuangkan unsur-unsur multikulturalisme yang

terdapat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani. Bab VI berisi uraian mengenai respons tokoh

terhadap multikulturalisme yang terdapat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani. Bab VII

51
menguraikan bagaimana pandangan dunia pengarang yang terdapat dalam trilogi novel ini. Bab

VIII adalah bagian akhir yang berisi simpulan atas proses analisis yang telah dilakukan serta

saran-saran yang berkaitan dengan hasil analisis.

52
BAB IV

BIOGRAFI PENGARANG TRILOGI NOVEL “SEMBALUN RINJANI”

4.1 Riwayat Hidup Pengarang

I Gusti Gede Djelantik Santha dilahirkan di Desa Selat Karangasem, yaitu sebuah desa di

kaki Gunung Agung pada 12 Agustus 1941. Ayahnya bernama I Gusti Kaler (meninggal 09-01-

1953) dan ibunya Jero Anyaran (meninggal 27-08-2004), keduanya hidup sebagai petani.

Djelantik Santha mempunyai lima orang saudara yaitu Wayan Gede, I Made Sudjana, I Gusti

Ayu Ratni, I Gusti Ayu Aryawati, dan I Gusti Ayu Aryani. Sebagaimana halnya Djelantik

Santha, hampir semua saudaranya mengenyam pendidikan di bangku sekolah dan hampir

semuanya mempunyai minat dalam bidang kesenian dan ilmu sastra.

Bila membaca nama saudara dari I Gusti Gede Djelantik Santha, yaitu Wayan Gede dan I

Made Sudjana maka akan terlihat perbedaan stratifikasi sosial. Penggunaan nama Wayan dan

Made berdampingan dengan nama I Gusti dalam kehidupan masyarakat Bali sangat tidak lazim

ditemukan. Akan tetapi itulah keadaan yang dapat ditemukan di Desa Selat Karangasem untuk

menandai adanya anak astra dalam keluarga itu. Astra menurut kamus Bali–Indonesia (1978:15)

berarti anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah antara seorang ayah dari triwangsa

dengan seorang ibu dari orang kebanyakan (jaba). Tidak sah dalam arti belum ada upacara yang

digelar selayaknya upacara perkawinan. Walaupun demikian, status anak astra tetap dianggap

sebagai anak yang sah dan dihormati dalam masyarakat.

53
Djelantik Santha berasal dari keluarga yang memang telah turun-temurun berkecimpung

dalam dunia sastra. Beberapa orang leluhurnya ternyata adalah orang-orang yang cukup dikenal

dalam sejarah kesusastraan Bali. Leluhurnya itu, antara lain Arya Nyuh Aya, I Gusti Dauh Bale

Agung, dan I Gusti Pande Basa. Nama I Gusti Dauh Bale Agung dan I Gusti Pande Basa adalah

sosok pujangga yang terkenal dalam khazanah kesusastraan Bali karena kualitas karya-karyanya.

Mereka pujangga yang terkenal pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel pada

abad ke-16.

Djelantik Santha mulai mengenyam pendidikan dari sekolah rakyat atau SR (sekarang

SD) tahun 1949 dan tamat tahun 1955 di Selat Karangasem. Setelah menyelesaikan pendidikan

sekolah rakyat di desanya dia meneruskan pendidikannya di sekolah guru bawah atau SGB. SGB

setingkat dengan SMP sekarang yang ada di Klungkung dan tamat pada tahun 1958. Tamat dari

SGB dia meneruskan pendidikannya di SMEA Singaraja dari tahun 1958 sampai dengan tahun

1961. Selama proses belajar di SMEA Singaraja Djelantik Santha juga banyak mengalami

cobaan hidup. Pada tahun 1960 ketika akan naik kelas 3 dia mengalami sakit mata. Sakit mata

yang tidak biasa karena setelah beberapa kali diperiksakan ke puskesmas sama sekali tidak

ditemukan penyakit pada matanya. Dia dinyatakan sehat secara medis, tetapi kenyataannya dia

mengalami gangguan penglihatan. Penyakit mata yang dialaminya tidaklah membuat Djelantik

Santha putus asa. Dia semakin terpacu dalam belajar hingga pada tahun 1961 pendidikannya di

SMEA dapat diselesaikan dengan baik.

Tamat dari SMEA Singaraja, Djelantik Santha sempat kembali ke desanya.

Kepulangannya ke desa kelahiran ternyata mendorong dirinya untuk mengabdi pada desa yang

selama ini ditinggalkan. Melihat banyak anak-anak di desanya yang tidak mampu melanjutkan

pendidikan ke SMP, akhirnya dia pun berinisiatif untuk mengajarkan anak-anak putus sekolah

54
yang dibantu oleh teman-teman guru di desanya. Tempat yang dipakai sebagai awal usahanya

mengabdikan diri pada desa adalah sebuah bale banjar 6 , yaitu banjar Sila Darsana. Berjalan

dengan waktu, kegiatan sosial itu pun mengalami perkembangan cukup pesat. Anak-anak mulai

banyak yang berminat untuk bersekolah lagi. Para orang tua pun tidak lagi keberatan anaknya

bersekolah meskipun anak-anak mereka harus tetap melaksanakan tugas sehari-harinya, seperti

pergi ke sawah, mencari rumput, atau menggembalakan sapi. Karena peminatnya semakin

banyak, bahkan murid-murid yang belajar tidak hanya dari desanya, tetapi juga dari desa

tetangga, kegiatan sosial ini pun akhirnya memiliki gedung sekolah.

Kegiatan sosial yang pada awalnya bertujuan membantu anak-anak putus sekolah telah

berkembang dengan baik dan menjadi SMP Gunung Agung. Namun, sayang sekolah ini tidak

bertahan lama. Pada tahun 1963 sekolah tersebut terkena bencana letusan Gunung Agung

sehingga seluruh muridnya harus mengadakan ujian ke Klungkung. Setelah ujian tersebut

kegiatan sekolah mulai terseok, bangunan yang telah rusak karena bencana, tenaga pengajar yang

mulai terpecah konsentrasinya karena ada yang memilih bekerja di kota, sekolah itu pun

akhirnya bubar.

Pembubaran sekolah yang dirintis sejak awal oleh Djelantik Santha sangat membuatnya

kecewa, akhirnya pada tahun 1964 Djelantik Santha pergi ke Singaraja untuk bisa melupakan

kenangan lalu saat-saat masih mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di desanya.

Kepindahannya ke Singaraja ternyata membuka lembaran baru dalam perjalanan hidupnya, yang

kemudian menjadi inspirasi penulisan trilogi novel Sembalun Rinjani. Djelantik Santha berhasil

lulus ujian kualifikasi menjadi pegawai BRI dan bertugas di BRI cabang Singaraja pada Januari

6
Tempat pertemuan umum bagi warga banjar. Banjar sendiri merupakan komunitas sosial terkecil dalam
masyarakat tradisional Bali.

55
sampai dengan September 1965. Setelah September dia dikirim untuk melaksanakan pendidikan

Sekapin (Sekolah Kader Pimpinan) ke Jakarta. Pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1967 dia

kemudian ditempatkan di BRI cabang Lumajang. Tahun 1967 sampai dengan 1970 Djelantik

Santha ditempatkan di BRI cabang Praya Lombok.

Selama bertugas di BRI cabang Praya Lombok, Djelantik Santha menemukan tambatan

hatinya yang bernama Martini, lalu memutuskan untuk menikahi gadis pujaannya. Menikah pada

20 Februari 1969, Djelantik Santha mengambil jalan ngarorod 7 untuk meresmikan hubungan

asmaranya ini. Jalan ini diambil karena orang tua dari pihak perempuan awalnya tidak setuju.

Perbedaan adat serta agama menjadi alasan utama. Martini adalah seorang gadis keturunan Jawa

yang telah menetap lama di Lombok. Setelah menikah, Martini mendapat nama baru yaitu Jro

Laksmi Wijayanti. Pernikahan Djelantik Santha ini dianugerahi lima orang anak, yaitu I Gusti

Ayu Prastiti Shantari, S.E. (1 Januari 1970), I Gusti Ngurah Dhyana Shantanu, S.E.Ak (5 Mei

1971), I Gusti Ayu Ary Larashanti, S.P. (15 Juli 1972), I Gusti Ayu Ratih Sushanti, S.T.P. (21

Mei 1974), dan I Gusti Agung Samadhi Shantosa, S.Sn. (14 Juni 1976).

Tahun 1970 sampai dengan 1971 kembali dia dipindahtugaskan di BRI Mataram. Karena

ada suatu permasalahan di BRI cabang Selong Lombok, akhirnya dia dipindahkan kembali pada

Oktober 1971 sampai dengan april 1972. Selama berada di Selong inilah dia kembali harus

mengalami cobaan hidup, yaitu kakinya lumpuh. Kelumpuhan yang dialami menurut

pengakuannya adalah penyakit nonmedis. Selama sakit dia banyak berobat ke dokter ataupun

pengobatan alternatif. Dia juga pernah menjalani rawat inap di Puskesmas Narmada atas

pengawasan dokter RSU Mataram selama empat bulan, kemudian pindah ke RSU Wangaya

7
Ngarorod adalah salah satu sistem perkawinan adat Bali di mana calon pengantin wanita dilarikan dari rumahnya
oleh keluarga pengantin laki-laki (kawin lari). Sistem ini dipilih biasanya jika keluarga mempelai wanita tidak
menyetujui perkawinan anaknya.

56
denpasar selama empat bulan, dan akhirnya dipindahkan ke RS orang cacat di Solo selama empat

bulan. Sekembalinya dari Solo dia bekerja lagi dan ditempatkan di kantor cabang BRI di

Klungkung mulai April 1973 sampai dengan Desember 1978. Terakhir sejak Januari 1979 dia

dipindahkan ke kantor dinas BRI Denpasar sampai dengan pensiun 1 September 1997. Setelah

pensiun dari BRI ternyata masih ada yang tertarik memakai jasanya dan tahun 1997 sampai

dengan Desember 2004 dia kembali bekerja menjadi konsultan kredit KKP di BPD Bali.

Selama melaksanakan pekerjaannnya, Djelantik Santha tidak pernah mengalami kesulitan

karena adanya rasa pengertian dari pimpinan dan rekan-rekan kerjanya. Penyakit ini rupanya bisa

mendatangkan suatu efek yang positif dan negatif. Efek positif yang dirasakannya ialah penyakit

ini kadang-kadang menimbulkan rasa ingin tahu lebih banyak lagi mengenai apa dan mengapa

sesuatu itu terjadi. Keingintahuannya terhadap sesuatu yang baru menjadikan Djelantik Santha

sebagai individu yang kritis terhadap masalah sosial di lingkungannya. Hal ini berpengaruh besar

bagi dunia kepengarangannya, bagi karya sastra ciptaannya yang cenderung mengangkat

masalah-masalah faktual dalam lingkungan sosial. Namun, tetap saja sebagai manusia, penyakit

ini membawa dampak yang cukup menggangu kesehariannya. Ruang gerak yang terbatas,

terlebih lagi beberapa hal harus dikerjakan dengan bantuan orang lain. Ini yang kadang-kadang

membuat Djelantik Santha menyesali keadaan fisiknya.

Kelumpuhan yang diderita Djelantik Santha sama sekali tidak mengurangi jumlah

aktivitas pekerjaan kantornya. Bahkan, dia lebih sering pergi ke luar kota seperti Lombok,

Sumbawa, atau Sumba. Kesempatan di rumah sering dihabiskan dengan membaca berbagai

buku, terutama buku-buku keagamaan. Djelantik Santha juga pernah mengalami rasa putus asa

demikian pula dengan istrinya Laksmi Wijayanti melihat keadaan suaminya. Akan tetapi,

semangat serta optimisme dalam menghadapi hidup ini terus dibangkitkan. Sebagai seorang

57
suami, kepala rumah tangga, sekaligus sebagai seorang ayah, serta sebagai wakil pimpinan di

kantornya, Djelantik Santha adalah seorang yang berwibawa dan disegani. Sebagai seorang

sastrawan, Djelantik Santha merupakan salah satu sastrawan sastra Bali modern yang paling

produktif berkarya.

4. 2 Riwayat Kepengarangan serta Proses Kreatif

Lahir di lingkungan masyarakat yang akrab dengan seni serta mengalir darah sastrawan

secara turun-temurun, tidaklah terlalu mengherankan jika dalam diri Djelantik Santha tersimpan

potensi bersastra yang luar biasa. Sejak duduk di bangku seolah dasar (SR) Djelantik Santha

telah mulai menulis puisi, pantun, cerita berbahasa Indonesia, serta lagu-lagu berbahasa Bali

yang dilakukannya ketika mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia. Bidang tulis-menulis sudah

menjadi ketertarikan tersendiri bagi Djelantik Santha kecil. Kebiasaan sang kakek I Gusti

Lanang Djelantik Noda bercerita (masatua) pada cucunya semakin menumbuhkan minatnya

kepada dunia sastra. Ia juga mulai belajar masatua, lalu mencoba mempraktikkannya di hadapan

teman-temannya. Kepiawaiannya dalam masatua kemudian membuat Djelantik Santha kecil

dijuluki tukang satua. Keberadaan majalah dinding di sekolahnya merupakan media publikasi

pertama karya sastra ciptaannya. Karya sastra pertama yang dibuat adalah sebuah tembang

Maskumambang8 dengan judul Pengangon Sampi ketika dia bersekolah di SGB (kira-kira tahun

1957). Sebuah karya dengan ide cerita yang sangat dekat menggambarkan keseharian anak-anak

pada masa itu, bermain di sawah, mencari rumput, lalu menggembalakan sapi. Sayangnya arsip

karya-karya Djelantik Santha pada masa kecil tidak tersimpan dengan baik sehingga sulit untuk

8
Maskumambang merupakan salah satu jenis pupuh dalam khazanah sastra Bali klasik.

58
melihat sejauh mana kualitas karya-karya yang dihasilkan pada awal ketertarikannya dengan

dunia sastra.

Memasuki Sekolah Menengah Ekonomi Atas di Singaraja aktivitas tulis-menulis

Djelantik Santha mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh jurusan yang digeluti sama

sekali tidak mendukung kegemarannya menulis selain juga kesibukan dalam kegiatan sekolah.

Namun, dia sempat menulis sebuah cerpen dan beberapa puisi dalam harian Suluh Marhaen

(sekarang Bali Post). Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEA, dia kembali ke kampung

halamannya untuk mengabdikan diri dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan untuk anak-

anak putus sekolah. Melalui lembaga pendidikan inilah dia kembali menyalurkan kegemaran

bersastranya dengan membentuk sebuah kelompok drama. Sanggar drama yang diberi nama

Sanggar Remaja Prakerti Selat dominan mementaskan cerita-cerita seputar kehidupan remaja

yang naskahnya ditulis sendiri oleh Djelantik Santha. Pementasan sanggar drama ini tidak hanya

di desanya, tetapi berkeliling ke desa-desa tetangga, dan uang hasil pementasan drama

dikumpulkan untuk membangun gedung sekolah. Sayangnya sanggar ini tidak bertahan lama,

akibat bencana meletusnya Gunung Agung tahun 1963, sanggar ini pun bubar. Bubarnya

sanggar ini bersamaan dengan bubarnya sekolah rintisan Djelantik Santha, lalu ia memutuskan

untuk hijrah ke Singaraja.

Bekerja di BRI memang membuat waktu Djelantik Santha tak banyak diluangkan untuk

menjalankan kegemarannya menulis. Menulis menjadi kegiatan yang jarang dilakukan, selain

hanya untuk mengisi waktu yang benar-benar luang. Setelah memasuki masa pensiun, barulah

seluruh waktunya digunakan untuk menulis. Hampir sebagian besar karya Djelantik Santha

berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya. Tema-tema khas Djelantik

Santha adalah seputar masalah adat, agama, kepecayaan, serta kehidupan bermasyarakat sebuah

59
lingkungan sosial. Hal ini boleh dikatakan merupakan sebuah gambaran multikulturalisme.

Pengalamannya sebagai pegawai bank, berpindah-pindah tugas, serta bertemu berbagai individu

dengan latar belakang yang beragam menjadikan Djelantik Santha fasih bercerita tentang

multikulturalisme.

Awal ketertarikannya berkarya di bidang sastra Bali khususnya sastra Bali modern adalah

sekitar tahun 1977. Saat itu puisinya yang berjudul Siwa Ratri dimuat di harian Bali Post yang

sekaligus menjadi karya pertamanya berbahasa Bali dimuat di media massa. Sejak saat itu ia

mulai konsisten menulis dengan bahasa Bali karena sebelumnya ia lebih banyak berkarya dengan

bahasa Indonesia. Memilih konsisten berkarya dalam sastra Bali modern adalah sebuah pilihan

yang kemudian menjadikan Djelantik Santha sebagai sastrawan senior sastra Bali modern.

Keprihatinan terhadap kondisi sastra Bali modern saat itu juga menjadi salah satu motivator

Djelantik Santha untuk terus dan tetap berkarya dalam sastra Bali modern, meskipun sadar betul

bahwa dunia sastra Bali tidaklah menjanjikan popularitas apalagi materi. Dia juga mengakui dan

mengalami sendiri bahwa sangat minim minat penerbit melirik sastra Bali modern. Menurutnya

merupakan barang langka sebuah penerbit yang mau menampung sastra Bali modern. Oleh

karena itu, lebih banyak karya-karya Djelantik Santha menjadi karya “sastra laci-laci”, artinya,

karya itu ditulis dan dinikmati sendiri lalu disimpan di laci-laci meja. Namun, kini menurut

Djelantik Santha keberadaan Bali Orti 9 sudah cukup membantu para sastrawan Bali modern

untuk mempublikasikan hasil karyanya. Bagi Djelantik Santha, menjadi sastrawan adalah

kepuasan batin, meskipun tanpa materi, dapat memberi arti bagi kehidupannya. Secara rendah

hati dia mengungkapkan bahwa menulis adalah pengabdian dan terpenting karya-karyanya dapat

diterima pembaca.

9
Bali Orti adalah sebuah rubrik khusus berbahasa Bali yang disediakan Bali Post sebagai sebuah apresiasi terhadap
keberadaan bahasa dan sastra Bali, rubrik ini hadir setiap hari Minggu dengan empat halaman.

60
Sedikit kritik disampaikan pada generasi baru penulis-penulis sastra Bali modern

terutama masalah penggunaan tata bahasa. Beberapa karya sastra Bali modern yang sempat

dibaca di Bali Post masih belum tepat penggunaan tata bahasa Balinya (anggah-ungguhing Basa

Bali). Menurut dia, masih banyak penulis kurang memperhatikan tata bahasa Bali yang baik dan

benar dalam menulis. Bagi Djelantik Santha, apabila seseorang mampu berbicara dengan

menggunakan Bahasa Bali menurut rasa bahasa dan tata bahasa yang baik, maka hal tersebut

mencerminkan bahwa ia adalah individu bertata krama dan sopan santun. Besar harapan

Djelantik Santha agar generasi muda yang berminat menulis sastra Bali lebih banyak belajar tata

bahasa Bali, memahaminya dengan benar, lalu mengaplikasikannya dalam karya. dengan

demikian, karya yang dihasilkan tidak hanya berkualitas dari segi sastra, tetapi juga bahasa.

Meskipun belum terlalu banyak menulis karya sastra dalam Bahasa Bali, produktivitas

dan kreativitasnya dalam berkarya telah banyak mendapat pengakuan publik. Novel pertamanya

Tresnané Lebur Ajur Satonden Kembang dimuat secara bersambung di Bali Post 15 Juli - 19

September 1981, kemudian novel ini dicetak ulang dalam bentuk buku tahun 1986. Pada tahun

1979 salah satu karyanya yang berjudul Gamia Gamana mendapat juara II mengarang cerpen

dalam Pesta Kesenian Bali. Pada tahun 2001 dia mendapat penghargaan Cakepan dari majalah

Sarad. Tahun 2002 novel ciptaannya yang berjudul Sembalun Rinjani (2000) mendapatkan

penghargaan Sastra Rancage. Terakhir pada tahun 2003 novelnya yang berjudul Di Bawah

Letusan Gunung Agung (berbahasa Indonesia) menjadi pemenang harapan II dalam lomba

penulisan novel yang diselenggarakan oleh Bali Post . Kini Djelantik Santha tengah

menyelesaikan satu lagi novel berbahasa Bali. Tema yang dianggkat dalam novel terbarunya

masih seputar realitas sosial masyarakat Bali, keseharian masyarakat Bali yang bergulat dengan

61
adat serta tradisi. Novel ini berlatar kisah asmara remaja Bali dengan berbagai

problematikanya.10

Sembalun Rinjani merupakan trilogi novel pertama yang ditulis oleh Djelantik Santha.

Trilogi novel ini memang sejak dulu sudah direncanakan penulisannya oleh Djelantik Santha,

hanya kesibukannya dalam pekerjaan membuat pengerjaan novel ini tertunda sampai akhirnya

novel pertama selesai ditulis pada tahun 2000. Novel pertama ditulis ketika dia mulai memasuki

masa pensiun, lalu majalah Sarad menerbitkannya dalam bentuk buku. Sayangnya peredaran

novel pertama ini kurang maksimal, entah karena peminat sastra Bali modern sedikit sehingga

Sarad mencetak dalam jumlah terbatas atau novel ini sengaja dibuat eksklusif sehingga dicetak

dengan jumlah tidak terlalu banyak. Novel kedua menyusul dua tahun kemudian, yaitu pada

tahun 2002 dengan judul Gitaning Nusa Alit yang akhirnya diterbitkan oleh Balai Bahasa

Denpasar. Novel terakhir terbit dengan jarak yang terpaut cukup jauh, yaitu tiga tahun dengan

novel kedua. Novel ketiga hadir dengan judul Suryak Suwung Mangmung. Novel ketiga ini pun

diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar pada tahun 2005.

Trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan novel trilogi pertama yang ditulis oleh

Djelantik Santha. Novel itu direncanakan sejak ia masih aktif bekerja, tetapi baru terealisasi saat

memasuki masa pensiun. Novel ini dibangun dengan kerangka filsafat tingkatan hidup yang

dijalani manusia menurut Hindu, yaitu Catur Asrama11 disandingkan dengan konsep tata bahasa

Bali (Anggah Ungguhing Basa). Tiap-tiap kerangka filsafat menjadi fondasi setiap bagian dari

trilogi novel ini, yaitu mulai dari brahmacari, grahasta, wanaprastha, hingga bhiksuka. Setiap

10
Pada wawancara terakhir (5 januari 2012) pengarang masih belum menemukan judul yang tepat untuk novelnya.
Pengarang juga belum menemukan penerbit yang mau menerima karya terbarunya.
11
Catur Asrama adalah empat tngkatan hidup yang dilalui manusia menurut ajaran Hindu. Keempat tahapan itu
adalah Brahmacari (masa menuntut ilmu/belajar), Grahasta (masa memasuki kehidupan berkeluarga),
Wanaprastha (masa di mana manusia mulai perlahan meningalkan keterikatan duniawi), Bhiksuka (masa ketika
manusia telah meninggalkan kehidupan keduniawian dan lebih banyak menjain hubungan spiritual dengan sang
pencipta).

62
novel disesuaikan penggunaan bahasanya dengan tata bahasa Bali menurut tingkatannya, mulai

dari basa andap, basa madia, hingga basa alus. Kemudian multikulturalisme menjadi isu utama

yang membangun cerita trilogi novel ini. Multikulturalisme dihadirkan mulai dari novel pertama

hingga ketiga dengan menyentuh setiap tataran kehidupan tokoh-tokohnya. Oleh karena itu,

terasa sangat kental nuansa keberagaman dalam kebersamaan yang dihadirkan oleh Djelantik

Santha.

Novel pertama, yaitu Sembalun Rinjani terbangun atas kerangka filsafat brahmacari

dengan bahasa pengantar basa andap. Brahmacari merupakan filosofi Hindu di mana manusia

dalam masa menuntut ilmu pengetahuan. Basa andap merupakan bahasa Bali yang digunakan

dalam pergaulan sehari-hari oleh individu dengan kedudukan yang sama, baik dalam

pemerintahan maupun di masyarakat. Rasa bahasa yang ditimbulkan oleh basa andap tidak

terlalu kasar juga tidak terlalu halus (Suparka dan Anom, 1993: 5). Pada novel pertama ini cerita

yang dihadirkan pengarang cukup ringan, yaitu mengangkat masalah di seputar kehidupan

manusia yang sedang menjalani masa Brahmacari. Berkutat dalam romantika kisah persahabatan

dan percintaan anak-anak muda yang sedang menuntut ilmu. Karena masalah yang disampaikan

adalah masalah yang tergolong sederhana, maka pilihan bahasanya pun menggunakan bahasa

yang ringan atau rendah (basa andap).

Novel kedua, yaitu Gitaning Nusa Alit dibangun dengan kerangka filosofi grahasta

berbahasa pengantar basa madia. Pada tingkatan grahasta ini manusia telah mulai memasuki

masa yang lebih dewasa, yaitu masa membina rumah tangga. Basa madia merupakan bahasa

Bali yang halus, tetapi rasa bahasanya menengah, artinya tidak terlalu halus juga tidak kasar

sekali. Basa madia ini berada di antara basa andap dan basa alus, dengan rasa bahasa yang

ditimbulkan tidak terlalu halus atau kasar (Suparka dan Anom, 1993: 5). Basa madia kemudian

63
dipilih menjadi bahasa pengantar karena pada masa ini manusia telah mulai belajar

meningkatkan kedewasaan serta kematangan diri, termasuk juga kedewasaan dalam berbahasa.

Novel ini menghadirkan masalah yang lebih kompleks dengan kadar kerumitan cukup tinggi.

Dari masalah yang semakin kompleks inilah setiap tokoh mendapatkan stimulus untuk

pendewasaan diri.

Novel terakhir Suryak Suwung Mangmung dibangun dengan kerangka filosofi

wanaprastha dan bhiksuka berbahasa pengantar basa alus. Wanaprastha dan bhiksuka

merupakan tingkatan terakhir jenjang kehidupan manusia menurut Hindu. Pada tahapan

wanaprastha manusia secara perlahan mulai meninggalkan kehidupan duniawi. Sebaliknya, pada

tahapan bhiksuka manusia telah benar-benar meninggalkan kehidupan duniawi serta totalitas

kehidupan adalah untuk meningkatkan hubungan dengan Sang Pencipta. Basa alus kemudian

menjadi bahasa yang tepat digunakan sebagai bahasa pengantar karena merupakan bahasa

dengan rasa bahasa yang halus. Basa alus merupakan bahasa yang digunakan untuk berbicara

dengan orang yang belum dikenal, orang yang patut dihormati, atau ketika berbicara dengan

orang banyak dalam sebuah pertemuan (Suparka dan Anom, 1993: 5). Masa di mana manusia

telah mulai meninggalkan kehidupan duniawi lalu lebih berfokus pada kegiatan spiritual yang

positif sehingga bahasa dengan rasa bahasa halus tepat sebagai bahasa komunikasi.

Meningkatnya kualitas diri, baik secara mental maupun spiritual juga harus diikuti peningkatan

kualitas bertutur. Tokoh utama menjadi individu yang memasuki masa wanaprastha dan

bhiksuka. Implementasinya pada tokoh adalah dengan mulai memasuki masa pensiun serta mulai

melakukan kegiatan-kegiatan spiritual keagamaan.

Setiap bagian novel yang telah terbangun oleh kerangka filsafat tingkatan kehidupan

dalam Hindu kemudian dimasukkan jiwa multikulturalisme oleh Djelantik Santha. Novel

64
pertama, Sembalun Rinjani, memulainya dengan persabahatan multietnik yang dilakoni para

tokoh. Persahabatan yang kental antara Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah, Gusti Ayu Sri

Wahyuni, Luh Purnama, Wayan Galang, dan Made Sinar menjadi awal multikulturalisme

sebagai bagian perjalanan hidup setiap tokohnya. Pada novel pertama ini dihadirkan masalah

yang sederhana, tidak terlalu kompleks, sehingga hubungan multietnik terlihat sangat harmonis.

Bahkan, dalam novel ini pengarang menghadirkan kenyataan bahwa multikultur mampu hadir

dalam lingkungan keluarga sekalipun. Hal ini ditunjukkan melalui peristiwa yang dialami oleh

tokoh sekunder Pan Kobar, Wayan Rempuh, Wayan Galang, dan Made Sinar. Djelantik Santha

menyatukan multietnik dalam satu ikatan keluarga, sebuah usaha yang sangat baik untuk

menunjukkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mampu menyatukan

kehidupan. Pan Kobar dan Wayan Rempuh adalah suami istri berlatar belakang etnik Bali yang

mengadopsi anak dari etnik Timor dan etnik Sasak. Kedua anak angkat tersebut diberi nama

sesuai dengan tradisi Bali, anak pertama bernama Wayan Galang (etnik Timor) dan anak kedua

Made Sinar (etnik Sasak).

Dalam novel kedua, Gitaning Nusa Alit, atmosfir multikulturalisme semakin terasa

karena tokoh yang hadir dengan latar belakang etnik berbeda kian banyak. Ditambah dengan

latar tempat dan sosial yang kian jamak, mulai dari Lombok, Bali, hingga NTT. Pernikahan

antaretnik kemudian menjadi pilihan pengarang untuk menyatukan perbedaan. Dari sinilah

konflik yang mempertentangkan multikultur mencuat. Penolakan terhadap multikultur hadir

sebagai sebuah reaksi yang wajar dalam sebuah heterogenitas sosial. Tokoh utama, yaitu Gusti

Ngurah Darsana dan Lale Dumilah yang menjalani pernikahan multietnik dihadapkan pada

kenyataan bahwa lingkungan sosial tempat mereka berada belum sepenuhnya mampu menerima

multikulturalisme dalam jalinan pernikahan. Selain tokoh utama, tokoh sekunder pun disatukan

65
dalam ikatan pernikahan multietnik oleh pengarang. Pernikahan antaretnik dipilih pengarang

untuk lebih menguatkan keberadaan multikulturalisme. Hal itu menegaskan bahwa perbedaan

dapat disatukan melalui hubungan yang paling intim, sekaligus membuka pandangan bahwa

pernikahan dengan latar belakang adat dan kepercayaan yang berbeda bukanlah hal yang tabu.

Suryak Suwung Mangmung menjadi judul novel ketiga sekaligus menjadi bagian akhir

dari trilogi novel Sembalun Rinjani. Djelantik Santha dalam novel ketiga ini masih

mempercayakan semangat multikulturalismenya melalui ikatan pernikahan karena pada novel

ketiga makin banyak tokoh yang melakoni pernikahan antaretnik. Pernikahan merupakan jalan

yang paling mudah untuk menyatukan perbedaan melalui proses asimilasi meskipun memerlukan

waktu yang relatif lama, hasil yang diperoleh menjadi maksimal. Perbedaan-perbedaan dapat

dibicarakan dalam suasana yang lebih intim sehingga mengurangi terjadinya gesekan, bahkan

konflik (Soekanto, 1990: 92). Ketika hubungan keluarga telah terjalin melalui pernikahan, sikap

etnosentrisme mulai dikikis habis. Sikap etnosentris yang tadinya sempat tumbuh dan

berkembang pada setiap tokoh berusaha diredam melalui komunikasi yang lebih intensif serta

peningkatan sikap toleransi. Sikap etnosentris ini merupakan sikap yang menganggap bahwa

segala sesuatu yang menjadi bagian dari kelompoknya adalah terbaik apabila dibandingkan

dengan kelompok lain.12

Seluruh tokoh yang hadir dalam trilogi novel Sembalun Rinjani merupakan tokoh fiktif

yang hanya berada dalam imajinasi Djelantik Santha. Hanya latar tempat, seperti Gunung

Rinjani, Desa Baledan, Danau Segara Anakan, serta berbagai pura yang muncul dalam novel

merupakan sesuatu yang memang benar-benar ada. Djelantik Santha mengungkapkan bahwa

12
Soekanto lebih lanjut menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan sifat naluriah in-group setiap individu ketika
berhadapan dengan out-group, dan in-group feeling menjadi faktor paling dominan yang menghambat proses
asimilasi.

66
trilogi novel ini merupakan akumulasi pengalaman serta perjalanan hidup yang pernah dijalani

sendiri, tetapi terdapat beberapa tambahan pada bagian cerita novel agar cerita lebih

berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tokoh utama sebagai pegawai di BRI yang mendapat

tugas berpindah-pindah daerah. Kemudian pernikahan antaretnik yang terjadi pada tokoh utama

juga pada beberapa tokoh sekunder. Dapat dilihat juga dari keputusan tokoh utama

menghabiskan masa pensiunnya untuk tinggal di kampung halaman. Beberapa hal di atas

memiliki kesamaan dengan latar kehidupan yang dialami sendiri oleh Djelantik Santha.

Trilogi novel Sembalun Rinjani bagi Djelantik Santha merupakan sebuah gambaran

perjalanan hidupnya. Dari novel ini ia mencoba membagi pengalaman serta pemahaman dengan

pembaca. Berhadapan dan hidup dalam sebuah masyarakat yang heterogen bukanlah sesuatu

yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi dan toleransi sehingga

terjalin hubungan yang harmonis dalam bermasyarakat di lingkungan yang multikultur, tetapi

dengan tidak mengurangi rasa bangga pada adat serta budaya sendiri. Tanpa bermaksud

menggurui, Djelantik Santha memberi pelajaran yang berarti lewat karya fiksi.

67
BAB V

REPRESENTASI UNSUR-UNSUR MULTIKULTURALISME

Multikultur merupakan sebuah fenomena berbaurnya berbagai kebudayaan dalam sebuah

komunitas sosial. Interaksi yang melibatkan berbagai individu dengan latar belakang agama,

etnik, bahasa, serta tradisi masing-masing. Kualitas serta kuantitas bertemunya (interaksi)

berbagai etnik dengan latar belakang yang berbeda merupakan hal utama yang menjadi pokok

pembahasan dalam kajian multikultur. Kualitas menunjukkan seberapa tinggi tingkat kesadaran

tiap-tiap etnik dalam menerima adanya perbedaan dalam lingkungan sosial mereka serta

bagaimana mereka menyikapi perbedaan yang ada. Kuantitas dilihat dari seberapa sering terjadi

pertemuan antaretnik. Hal ini menjadi faktor penentu kualitas dari masyarakat multikultur itu

sendiri. Jika intensitas bertemunya berbagai etnik semakin tinggi serta positif, maka kualitas

masyarakat multikulturnya akan semakin baik. Analisis representasi unsur-unsur

multikulturalisme dalam trilogi novel Sembalun Rinjani melihat sejauh mana unsur-unsur budaya

dalam tiap-tiap etnik bersinggungan dalam kehidupan tokoh-tokoh cerita. Unsur-unsur budaya

itu, antara lain bahasa, adat serta tradisi, dan religi.

5.1 Unsur Bahasa

Bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang mampu menunjukkan latar belakang

penuturnya terutama latar belakang etnik. Sebagai bagian dari sebuah budaya, bahasa merupakan

mediasi pikiran, perasaan, dan perbuatan yang mencerminkan latar belakang budaya penuturnya.

68
Hubungan antara bahasa dan budaya dapat dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) bahasa sebagai

bagian dari budaya, (2) bahasa sebagai indeks budaya, dan (3) bahasa sebagai simbol budaya

(Fishman dalam Yadnya, 2003: 2). Berdasarkan tiga perspektif hubungan bahasa dan budaya

tersebut, dapat dilihat dalam trilogi novel Sembalun Rinjani dengan jelas sebagai bagian dari

multikultur. Berbaurnya etnik yang berbeda dengan identitas bahasanya masing-masing

mengakibatkan terjadinya komunikasi multilingual dalam novel. Situasi kebahasaan seperti ini

menjadikan setiap tokoh berbeda etnik saling memahami serta meningkatkan sikap toleransi.

Bahasa sebagai bagian dari budaya merupakan sebuah pengejawantahan perilaku

penuturnya. Bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.

Bahasa menguasai cara berpikir dan bertindak manusia13 . Hal ini menjadikan setiap orang yang

ingin terlibat atau memasuki daerah dengan kebudayaan baru harus menguasai bahasa karena

dengan menguasai (paham) bahasa setempat barulah dapat berpartisipasi dan berinteraksi dengan

baik. Gusti Ngurah Darsana sebagai seorang pegawai BRI yang bertugas berpidah-pindah daerah

memiliki kesadaran yang besar tentang arti penting untuk memahami bahasa tempat ia bertugas.

Karena sebagai pegawai bank yang bertugas di daerah, interaksi dengan penduduk lokal tidak

dapat dihindari. Untuk itulah saat mendapat tugas di Lombok ia mulai belajar adat serta bahasa

Sasak.

Kedatangan Gusti Ngurah Darsana ke Lombok disambut baik keluarga Pan Kobar yang

tidak lain adalah bekas pelayan setia Gusti Biang Suci, ibu kandung Gusti Ngurah Darsana.

Keluarga Pan Kobar merupakan etnik Bali yang menetap di Lombok serta telah masuk dalam

13
Hal ini merupakan hipotesis dua ahli linguistik Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (hipotesis Sapir-Whorf),
Chaer, hal. 70.

69
komunitas warga Bali yang terikat Banjar Adat14 Jeruk Manis. Gusti Ngurah Darsana belajar

menjalani kehidupan barunya di Lombok, belajar adat budaya dan bahasa Sasak dari keluarga

Pan Kobar. Selain belajar dari keluarga Pan Kobar, Gusti Ngurah Darsana juga dibantu teman-

teman sekantornya yang kebetulan cukup banyak berasal dari Bali.

Gusti Ngurah Darsana semakin mahir berbahasa Sasak setelah menikah dengan Lale

Dumilah. Setelah menikah Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Komunikasi

dengan bahasa Sasak yang dilakukan oleh Gusti Ngurah Darsana terlihat saat ia menawarkan

sate kepada mertuanya. “Silak sida cicipin bejulu, biar ndik ketemuk laun,” aturne Gusti Ngurah

ring matuanne (Suryak Suung Mangmung, 162). 15 Bahasa Sasak yang digunakan oleh Gusti

Ngurah Darsana terlihat cukup baik. Ia mempelajari bahasa Sasak untuk lebih bisa masuk dalam

kultur Sasak. Digunakannya bahasa Sasak bukan oleh penutur aslinya menguatkan kesan bahwa

bahasa daerah tidak hanya menjadi milik etnik itu. Bahasa daerah dapat dipelajari oleh etnik lain

guna kepentingan komunikasi yang lebih baik. Di samping itu, merupakan salah satu bagian

penerimaan multikuturalisme dari sisi bahasa.

Hal serupa juga dilakukan Ratna Dumilah ketika baru saja pindah dari Lombok ke

Atambua. Setelah menikah dengan Ratna Dumilah, Gusti Ngurah Darsana mendapat tugas

sebagai kepala Cabang BRI di Atambua. Keadaan ini membuat Ratna Dumilah harus belajar

bahasa serta adat daerah setempat, lebih-lebih suaminya adalah seorang pimpinan bank.

Keinginannya untuk belajar bahasa serta adat setempat disampaikan kepada Bu David istri sopir

yang bertugas di kantor BRI Atambua. “Matur suksma ibu-ibu, tiang kari malajah cara driki.

14
Banjar adat adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil daripada desa dan menjadi bagian dari desa adat.
Banjar merupakan persekutuan hidup sosial, baik dalam keadaan suka maupun duka (Surpha, 2006:75).
15
“Silakan coba dicicipi dahulu, supaya tahu bagaimana rasanya” kata Gusti Ngurah kepada mertuanya (penulis
mengucapkan terima kasih kepada Daniel Ugik karena telah membantu menerjemahkan beberapa kata Sasak
dalam novel).

70
Madak ibu-ibu ten med nelokin tiang meriki, utamane ibu David.” (Gitaning Nusa Alit, 170).16

Keinginan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah untuk belajar adat terutama bahasa

setempat terlihat saat mereka menjadi anggota baru dari sebuah komunitas sosial yang notabene

bukan komunitas asli mereka. Sudah seharusnya ketika memasuki lingkungan baru lebih-lebih

dengan situasi kultur yang berbeda, adaptasi terutama adaptasi bahasa perlu dilakukan. Setelah

mereka mampu berbahasa daerah setempat, mereka akan dengan lebih mudah bersosialisasi

dengan lingkungannya. Ketika mereka mulai menggunakan bahasa daerah setempat, secara

otomatis mereka akan menjadi masyarakat bahasa daerah tersebut. Masyarakat bahasa adalah

sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama (Chaer, 2007: 60 - 61).

Bilingualitas Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah merupakan bilingualitas sejajar, karena

meskipun telah mampu berkomunikasi dengan bahasa daerah lain, mereka masih tetap fasih

berbicara dengan bahasa daerahnya sendiri.17 Upaya untuk mencoba berbaur dengan lingkungan

sosial baru melalui bahasa merupakan langkah yang menunjukkan kesediaan tokoh menerima

multikultur sebagai bagian hidupnya. Ketika bumi dipijak maka langit pun mesti dijunjung

merupakan prinsip dasar yang ditunjukkan kedua tokoh tersebut saat menjadi anggota baru

sebuah komunitas etnik.

Pergaulan antaretnik dalam sebuah masyarakat multikultur seringkali mempertemukan

dua bahasa atau lebih dalam sebuah komunikasi. Hal ini dimungkinkan karena tiap-tiap etnik

memiliki bahasa sendiri sebagai jati diri etniknya. Menyikapi perbedaan bahasa yang terjadi

dalam pergaulan multikultur tersebut, maka sering kali bahasa yang dipakai sebagai komunikasi

adalah bahasa yang berkombinasi. Bahasa yang berkombinasi merupakan situasi tindak tutur
16
“Terima kasih ibu-ibu, saya masih belajar cara hidup di sini. Mudah-mudahan ibu-ibu tidak bosan mengunjungi
saya, terutama ibu David”.
17
Bilingualitas sejajar merupakan kemampuan berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa secara penuh dan
seimbang, kemampuan dan tindak laku tiap-tiap bahasa tersebut terpisah dan bekerja sendiri-sendiri (Nababan,
1991:32).

71
dengan menggunakan lebih dari satu bahasa atau digunakannya kosakata dari bahasa lain dalam

sebuah komunikasi. Komunikasi dengan bahasa yang berkombinasi ini bertujuan untuk

menghormati atau sebagai bentuk variasi serta usaha untuk masuk ke kultur lawan bicara.

Akibatnya muncul bahasa yang campur aduk, berkombinasi. Namun, pembicaraan seperti ini

cenderung mengarah pada pembicaraan pada situasi santai (nonformal) dan akrab. Istilah untuk

keadaan ini dalam linguistik dikenal dengan campur kode (Nababan, 1991: 32).

Campur kode memungkinkan komunikasi terjadi dengan baik di antara dua komunikator

atau lebih meskipun dengan latar belakang etnik yang berbeda. Namun, dengan syarat bahwa

tiap-tiap komunikator telah paham dengan budaya atau bahasa etnik lainnya18. Keadaan bahasa

seperti ini tampak ketika Gusti Ngurah Darsana melakukan kunjungan ke rumah Amaq Gading.

Amaq Gading adalah seorang pengepul sekaligus pedagang hasil pertanian. Untuk memajukan

usahanya, ia mengajukan kredit. Gusti Ngurah Darsana sebagai petugas bagian kredit akan

mengurus semua persyaratannya. Gusti Ngurah Darsana mengunjungi rumah Amaq Gading

untuk melakukan pengecekan semua persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon kredit.

“Om Swastiastu Pak Gusti, tiang mitahenang Pak Gusti banak rauh rainane mangkin,
santukan sampun tengari. Titiang ngantos saking ituni jumah....”Silak deriki di kamar
tamu melinggih Pak Gusti” (Sembalun Rinjani, 72).19

Sambutan yang dilakukan Amaq Gading terhadap Gusti Ngurah Darsana menunjukkan

komunikasi campur kode. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Bali yang diselipi kata-kata

bahasa Sasak. Hal ini diterima dengan baik oleh Gusti Ngurah Darsana. Ia mengerti serta

memahami maksud yang disampaikan Amaq Gading. Tidak terjadi kekeliruan apalagi salah

18
Campur kode juga memungkinkan terjadinya pembelajaran kebudayaan melalui penggunaan kata-kata asing yang
digunakan saat berkomunikasi. Ini terjadi pada tataran leksikal yang dapat juga disebut interferensi leksikal.
19
“Om Swastiastu Pak Gusti, saya kira Pak Gusti tidak akan datang hari ini karena sudah siang. Saya menunggu dari
tadi di rumah…..”silakan duduk di kamar tamu Pak Gusti”.

72
paham dalam komunikasi campur kode tersebut. Meskipun terselip motif ekonomi di balik

hubungan baik mereka, hal ini tidak menjadi landasan dasar bagi Amaq Gading untuk mencoba

berkomunikasi dengan bahasa Bali dan terselip beberapa kata dari bahasa Sasak.

Peranan campur kode ini berhasil menjadikan komunikasi yang efektif di antara

komunikator dengan latar belakang etnik yang berbeda. Komunikasi semacam ini terjadi secara

sadar dilakukan oleh Amaq Gading dan Gusti Ngurah Darsana. Di samping itu, merupakan usaha

yang baik untuk bisa menerima multilingual dalam kehidupan sehari-hari sebagai efek bawaan

dari multikultur. Kesadaran komunikasi campur kode juga dilakukan oleh David dan Alex.

Keduanya adalah sopir di kantor BRI Atambua. Sebagai kepala cabang yang baru di BRI

Atambua, Gusti Ngurah Darsana mendapat fasilitas sopir dan mobil dinas. David dan Alex yang

mendapatkan atasan baru mencoba melakukan komunikasi campur kode sebagai usaha untuk

lebih mengakrabkan diri dengan atasannya. “Ten kenten bu, kitorang sampun med makan apel.

Yen masan apel cara jani hargane murah.” (Gitaning Nusa Alit, 153).20 David dan Alex menjadi

wakil etniknya, yaitu etnik Timor yang mencoba belajar untuk berkomunikasi dengan bahasa

Bali meskipun tersendat dan masuk kata dari bahasa Timor. Pengalaman David dan Alex sebagai

sopir di BRI cukup menjadikan mereka sebagai orang yang sangat sadar akan manfaat

komunikasi multilingual. Hal itu dilakukan sebab sebagai sopir kantor yang atasannya selalu

berganti-ganti, mereka harus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan bahasa atasannya yang

berbeda etnik.

Komunikasi campur kode ini terjadi pada situasi yang santai atau informal, yang tidak

menuntut formalitas berlebih. hal tersebut terlihat ketika para tokoh sedang berkomunikasi

20
“Tidak Bu, kami sudah bosan makan apel. Kalau sedang musim apel seperti sekarang ini, harganya murah.”

73
dengan campur kode tidak sedang berada dalam situasi formal (resmi, kantor) meskipun mereka

berkomunikasi dalam hubungan keterikatan formal (antara nasabah dan bank, antara sopir dan

atasan). Kesadaran akan manfaat campur kode dalam komunikasi multikultur terjadi pada hampir

setiap etnik yang berperan dalam trilogi novel, etnik Bali yang diwakili Gusti Ngurah Darsana,

etnik Sasak oleh Amaq Gading, serta etnik Timor oleh David dan Alex. Kesadaran ini tidak

hanya sekadar sebuah toleransi, tetapi pemahaman yang baik terhadap perbedaan bahasa yang

ada di antara mereka. Jika pemahaman multilingual ini hanya dipahami oleh seorang tokoh, tentu

wacana multikultur tidak akan terjadi. Namun, kesadaran serta pemahaman terhadap campur

kode ini terjadi hampir merata pada setiap tokoh sehingga wacana multikultur terbangun di

sektor bahasa. Campur kode dalam masyarakat multikultur tidak begitu saja menghasilkan

keharmonisan dalam keragaman, tetapi diperlukan proses serta jiwa besar setiap individu yang

terlibat di dalamnya.

Tiap etnik memiliki bahasa masing-masing yang merupakan representasi identitas

etniknya sehingga bahasa pun menjadi simbol suatu identitas etnik. Etnisitas terpancar melalui

bahasa yang dituturkan pelakunya. Bahasa-bahasa tersebut digunakan dalam komunikasi di

lingkungan etniknya, sehingga bahasa tersebut menjadi bahasa khas milik mereka atau disebut
21
juga bahasa daerah. Ketika masyarakat makin heterogen pergaulan antaretnik tidak

terhindarkan maka bahasa daerah tersebut mungkin saja digunakan tidak dalam komunikasi

dengan satu etnik yang sama. Bahasa daerah mungkin saja diujarkan saat berinteraksi dengan

etnik lainnya. Hal ini terlihat ketika Inaq Wira bertemu dengan cucunya Gusti Ayu Kendariyani

(Gung Yani) setelah cucunya sempat hilang saat melakukan persembahyangan ke Pura

Pasaragung. Saat melakukan persembahyangan ke pura Pasaragung tiba-tiba terjadi kejadian

21
Karena bahasa daerah merupakan sarana komunikasi khas yang jadi milik suatu etnik, maka bahasa berperaan
sebagai inventaris dari kebudayaannya masing-masing. Nababan,1991:39.

74
aneh, yaitu kabut tebal serta angin kencang tiba-tiba datang dan Gung Yani pun menghilang

dalam tebalnya kabut. Sehubungan dengan itu, Jro Mangku Pasek, Mangku Nésa, serta warga

Banjar Sogra meminjamkan seperangkat gamelan sebagai sarana untuk menemukan Gung Yani.

Gamelan dibunyikan sekeras-kerasnya dan tak berapa lama Gung Yani pun muncul dari balik

pohon cemara sambil membawa sangku 22 yang berisi tirta 23 . Kejadian ini membuat semua

keluarga Gusti Ngurah Darsana panik, tidak terkecuali mertuanya, Inaq24 Wira.

“Brembé sangkak sida doang jari pangawéan dengan, keni begiq, katemuk lara marak
nika?” Aturne Inaq Wira saha ngelut putune kasih-asih. (Suryak Suung Mangmung,
110).25
Bahasa Sasak yang secara spontan diucapkan Inaq Wira saat bertemu kembali dengan

cucunya yang sempat hilang menunjukkan bahwa tanpa sadar Inaq Wira memperlihatkan

etnisitasnya di tengah komunitas etnik Bali. Etnisitas yang ditunjukkan melalui bahasa seolah-

olah mengukuhkan keberadaannya sebagai individu yang berbeda, tetapi namun tetap dapat

berinteraksi dengan baik di lingkungannya. Meskipun berada dalam lingkungan yang heterogen,

Inaq Wira tetap tak mau kehilangan rasa fanatis terhadap etniknya sendiri, setidaknya melalui

bahasa ia menunjukkan eksistensi kedaerahannya. Pada kesempatan lain juga Inaq Wira

menggunakan bahasa Sasak.

“Biar té paran belog ngubuh marak nika Tu Biang? Lasingan bagusan lepas, bebas mlai
mrika-mriki, dait tekurung. Cobak sida tekurung doang, brembe, masih ndik meléq”
(Suryak Suung Mangmung, 128). 26
Inaq Wira yang berada di lingkungan baru di mana ia menjadi golongan minoritas tidak

kehilangan kesempatan untuk menggunakan bahasa daerahnya sebagai sarana komunikasi.

22
Bejana yang terbuat dari logam.
23
Air suci dalam setiap ritual agama Hindu
24
Inaq merupakan panggilan ibu dalam bahasa Sasak.
25
“Kenapa selalu saja menjadi penyebab kesedihan, terkena penyakit, terkena musibah?” Tanya Inaq Wira sambil
memeluk cucunya dengan kasih.
26
“Walaupun kita tidak pandai memelihara, bukan begitu Tu Biang? Rasanya lebih baik dilepas, bebas ke sana
kemari, tidak dikurung. Coba dikurung saja, tidak mungkin masih hidup.”

75
Toleransi yang diberikan keluarga besar Gusti Ngurah Darsana sebagai golongan mayoritas

menjadikan Inaq Wira merasa nyaman meskipun komunikasi verbal yang dilakukan

menggunakan bahasa Sasak. Secara sadar Inaq Wira menggunakan bahasa daerahnya untuk

bereaksi atas suatu peristiwa, meskipun ia sedang tidak berada dalam lingkungan sosial bahasa

tersebut. Lawan bicara yang tidak sepenuhnya paham, tetapi dapat menerima maksud yang

disampaikan Inaq Wira.27 Spontanitas ini bisa jadi merupakan suatu usaha penguatan identitas

etnik secara spontan, tanpa disadari dan tentu saja tidak ada maksud untuk bersikap fanatik yang

berlebihan. Keberadaan berbagai bahasa daerah sebagai salah satu bagian dari kebudayaan

nasional merupakan suatu yang perlu disikapi dengan bijaksana. Tokoh-tokoh dalam novel

menunjukkan sikap yang positif terhadap hal tersebut. Ketika menjadi mayoritas tidak selalu

harus memonopoli dan saat berada pada posisi minoritas tidak selalu mesti terhegemoni.

5.2 Adat dan Tradisi

Adat serta tradisi menjadi salah satu komponen penting sebuah kebudayaan masyarakat

dan dalam masyarakat multikultur keduanya menjadi hal yang paling sering menimbulkan

gesekan. Multikulturalisme sebagai sebuah wadah kultural mengakomodasi banyak adat serta

tradisi sebagai bagian yang terintegrasi dalam sebuah masyarakat heterogen. Salah satu

fenomena dari sisi tradisi yang terjadi dalam masyarakat multikultur adalah pernikahan

eksogami. Pernikahan eksogami merupakan pernikahan yang terjadi antaretnik, klan, atau suku

dalam satu lingkungan yang sama. Pernikahan ini hanya mungkin terjadi pada masyarakat

27
Hal ini sesuai dengan teori sosial Culture Pluralism: Mosaic Analogy, setiap individu yang berbeda latar belakang
agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis.
Ricardo L. Garcia, Teaching in a Pluralism Society: Consepts, Models, Strategies. New York, Harper& Row
Publisher, hal. 37-42.

76
multikultur, baik dengan latar belakang etnik, suku, maupun klan yang beragam dan berinteraksi

dalam satu lingkungan sama. Tokoh-tokoh yang menjalani pernikahan eksogami berawal dari

persahabatan serta interaksi dalam satu lingkungan. Meskipun terdapat perbedaan di antara

mereka, tampaknya cinta telah meleburkan batas yang diciptakan oleh perbedaan. Pernikahan

eksogami bisa saja dijadikan indikator sejauh mana tingkat penerimaan masyarakat terhadap

multikulturalisme.28

Pernikahan eksogami terjadi pada tokoh utama, yaitu Gusti Ngurah Darsana dan Lale

Dumilah. Gusti Ngurah Darsana yang baru saja pindah tugas di BRI Mataram menjalin

persahabatan dengan Lale Dumilah, Wayan Galang, Gusti Ayu Sri, Luh Purnama, dan Made

Sinar. Awal hubungan mereka adalah ketika Lale Dumilah ikut dalam perjalanan mendaki ke

puncak Gunung Rinjani bersama rombongan Gusti Ngurah Darsana. Gusti Ngurah Darsana pun

memiliki perasaan yang sama dan menyatakan cintanya pada Lale Dumilah. “Nah Denda

sampunang ragu, né bungkung tiangé anggon paingetan. Né cirinné tresnan tiangé pamuput

serahang tiang...” (Sembalun Rinjani, 198).29 Hubungan mereka menginjak ke arah pernikahan

setelah Gusti Ngurah Darsana mengetahui bahwa ia akan dipindahtugaskan ke BRI Atambua.

Rupanya keinginan Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah untuk menikah ditentang

oleh kedua orang tua Lale Dumilah. Sikap ini ditunjukkan oleh ayah Ratna Dumilah, yaitu

Mamiq30 Wira yang dimintai pendapat oleh Lalu Wiradana jika benar adiknya akan menikah

dengan Gusti Ngurah Darsana. Berikut kutipannya:

28
Eksogami adalah perkawinan antaretnis, suku, klan dalam lingkungan yang berbeda.
29
“Nah Denda jangan ragu lagi, cincin saya ini sebagai pengingat. Ini bukti cinta saya telah saya serahkan
sepenuhnya...”
30
Mamiq merupakan panggilan bapak dalam masyarakat etnik Sasak

77
“yen alih keberatané dong saja keberatan, ngelah panak nganten ajak anak uli joh buina
malenan agama. Elek saja teken pisagané mirib tusing taen mituturin pianak.” (Gitaning
Nusa Alit, 31).31
Pernyataan yang diutarakan oleh ayah Ratna Dumilah menegaskan bahwa ia tidak dapat

menerima pernikahan beda agama yang akan dijalani putrinya. Ia merasa malu dengan keluarga

besar jika sampai anaknya menikah dengan orang berbeda keyakinan. Namun, tanpa sadar ia

sendiri rupanya menyetujui saat dulu anak pertamanya, yaitu Lalu Wiradana ketika akan

menikah dengan Gusti Ayu Sasih yang juga berbeda agama. Sikap ambivalen yang diperlihatkan

Mamiq Wira menjadikannya sebagai individu yang tidak bisa menerima begitu saja adanya

multikulturalisme. Di samping itu terlihat juga bahwa sistem patriarki masih menjadikan

perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan takluk pada aturan adat serta keyakinan usang.

Akhirnya atas dukungan Lalu Wiradana, kakak Lale Dumilah, mereka memutuskan untuk

ngarorod (kawin lari) atau dalam istilah Sasak dikenal dengan merarik.

Ngarorod merupakan salah satu sistem perkawinan adat Bali yang dilakukan apabila kedua

mempelai tidak mendapat persetujuan menikah dari salah satu pihak keluarga (biasanya dari

pihak keluarga wanita). Hal itulah menyebabkan mereka sepakat untuk ngarorod (kawin lari)

dan si wanita akan disembunyikan di rumah kerabat mempelai laki-laki yang disebut pengkeban

(Arnati, 2002:9). Proses ngarorod Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah berlangsung dengan

bantuan warga Banjar Jeruk Manis, lingkungan masyarakat Bali yang tinggal di Mataram.

Pernikahan antara dua etnik yang berbeda ini tetap berlangsung dengan meriah meskipun tidak

mendapat persetujuan penuh pihak keluarga perempuan. Upacara dilangsungkan dengan adat

31
”Jika dicari masalah keberatan, memang benar keberatan,mempunyai anak menikah dengan
orang dari jauh dan berlainan agama. Malu terhadap tetangga disangka tidak pernah menasihati
anak.”

78
Bali dan dibagi dalam dua tahap, yaitu mabiakala 32 dan makala-kalaan 33 . Prosesi mabiakala

dilangsungkan di rumah Pan Kobar, sedangkan makala-kalaan dilangsungkan di Jro Baledan

Karangasem rumah asal Gusti Ngurah Darsana. Lale Dumilah resmi menjad istri Gusti Ngurah

Darsana dan mendapat nama baru, yaitu Jro Ratna Dumilah. Nama ini diberikan oleh Gusti

Ngurah Bagus dan Gusti Biang Suci, orang tua Gusti Ngurah Darsana. “Inggih yen wantah

asapunika titiang amung ngawewehin antuk “RATNA” mangda dados “RATNA DUMILAH”

(Gitaning Nusa Alit, 93). 34 Pemberian nama oleh orang tua laki-laki kepada menantunya

merupakan tradisi masyarakat Hindu Bali dari kalangan tri wangsa. Hal ini terjadi ketika anak

laki-laki mereka menikah dengan wanita yang tidak sewangsa atau dari etnik lain. Umumnya

penambahan nama pada pengantin wanita menggunakan nama jenis-jenis bunga dengan diawali

kata jro.

Pernikahan antaretnik tidak hanya terjadi pada tokoh utama, beberapa tokoh sekunder

juga melakukan pernikahan eksogami. Kakak Ratna Dumilah, yaitu Lalu Wiradana juga menikah

tidak dengan wanita seetnik. Ia menikah dengan wanita Bali bernama Gusti Ayu Sasih, seorang

perawat yang bertugas di rumah sakit Mataram. Selanjutnya ada tokoh Hendun seorang gadis

Lombok yang menikah dengan Pak Kirno yang berasal dari etnik Jawa. Hendun sendiri masih

memiliki hubungan keluarga dengan Ratna Dumilah, ayah mereka adalah saudara sepupu. Putra

pertama Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah, yaitu Gusti Ngurah Anantha Bhuana juga

menikah dengan sorang gadis dari etnik Dayak bernama Diah Rengsi Pitaloka (Suryak Suwung

Mangmung). Selain itu, pernikahan antaretnik juga terjadi pada Meina Victoria dengan Dokter

32
Mabiakala merupakan bagian dari upacara pernikahan Hindu Bali yang merupakan simbol penyambutan masuk
dalam lingkungan keluarga laki-laki bagi mempelai wanita (Sudharta, 1993: 122).
33
Makala-kalaan adalah bagian terpenting dalam prosesi pernikahan Hindu Bali. Pada upacara ini dilakukan simbol
pembersihan terhadap kedua mempelai. Dengan upacara ini secara ritual pernikahan sudah dianggap sah, karena
upacara itu disaksikan oleh Tuhan dalam bentuk api takepan dan saksi dari keluarga serta perangkat desa.
34
“Baiklah, jika begitu saya hanya akan menambahkan dengan “RATNA” agar menjadi “RATNA DUMILAH.”

79
Agung Khrisna Meina sendiri adalah seorang gadis etnik Timor yang dijadikan pembantu oleh

Gusti Ngurah Darsana saat bertugas di BRI Atambua. Karena kebaikan Gusti Ngurah Darsana

dan Ratna Dumilah, Meina Victoria berhasil dipertemukan dengan kakak kandungnya yang

ternyata teman sepermainan mereka saat di Lombok, yaitu Wayan Galang (Suryak Suwung

Mangmung, 84).

Meskipun tidak semua pernikahan eksogami yang dijalani tokoh-tokoh dalam novel dapat

diterima begitu saja oleh pihak keluarga, semuanya mengalami proses yang cukup panjang.

Misalnya, keluarga besar Ratna Dumilah yang tidak bisa begitu saja menerima ketika anaknya

akan menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dan berbeda etnik. Akan tetapi, pada

akhirnya kedua orang tua Ratna Dumilah dapat menerima pernikahan anaknya dengan Gusti

Ngurah Darsana setelah anaknya berangkat ke Atambua bersama suaminya. Bentuk penerimaan

yang diperlihatkan oleh kedua orang tua Ratna Dumilah adalah wujud dari integrasi sebagai

akhir dari konflik sosial akibat multikulturalisme. Meleburnya batas-batas etnik melalui

perkawinan memang bukan hal yang mudah. Namun, merupakan salah satu jalan terbaik

membangun multikuturalisme permanen.

Masyarakat dengan latar belakang tradisional yang kuat akan menjaga adat serta

tradisinya masing-masing dengan kuat pula. Bahkan, ketika menjadi kaum minoritas pun tradisi

serta adat yang dibawa dari tanah kelahirannya akan tetap dipertahankan. 35 Namun, demikian

dalam multikulturalisme persinggungan yang tak terhindarkan dari adat dan tradisi menjadikan

masyarakatnya lebih menghargai serta memahami satu sama lain tanpa harus meninggalkan

prinsip serta identitasnya masing-masing. Hak-hak untuk tetap eksis serta tetap dapat

35
Bagi masyarakat tradisi kebudayaan merupakan pandangan hidup (world view). Jadi, kemana pun mereka pergi,
pandangan hidup mereka tidak akan pernah ditinggalkan.

80
mengindentifikasikan jati diri tradisi terlihat ketika Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah

melakukan upacara pemelaspasan rumah barunya saat di Atambua:

“Rabiné menekang banten perani, kelanan lan daksina di pelangkiran kamaré muah ulun
pekarangané. Suud malukat Gusti Ngurah Darsana lantas ngenjit dupa, ngantebang
bantené nunas laluputan lan keselametan ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mina kadi
sang sapa sira ugi ané milu nongos drika.” (Gitaning Nusa Alit, 169). 36
Upacara pemelaspasan yang dilakukan oleh Gusti Ngurah Darsana serta Ratna Dumilah

menunjukkan bahwa sebagai masyarakat tradisi Gusti Ngurah Darsana tetap menjalankan tradisi

serta adatnya meskipun berada di daerah yang jauh dari tanah kelahirannya. Pemelaspasan

menjadi bagian dari tradisi masyarakat Hindu Bali saat akan menempati rumah yang baru. Bagi

masyarakat Hindu di Bali, upacara ini merupakan hal yang wajib dilaksanakan serta menjadi hal

yang lumrah di Bali. Pelaksanaan tradisi ini membawa kesan yang berbeda ketika dilaksanakan

di luar Bali. Kesan ini muncul dari orang-orang di luar komunitas Hindu Bali. Para pegawai bank

yang diundang oleh Gusti Ngurah Darsana untuk hadir pada upacara pemelaspasan merasa heran

sekaligus kagum melihat jalannya upacara tersebut. Banyak buah, kue, serta bunga-bungaan

yang menjadi sarana upacara, begitu pula dengan prosesi upacara yang di mata mereka terlihat

asing. “Ibu-ibu patulungé bengong pakerimik mabalih” (Gitaning Nusa Alit, 169). 37 Para

pegawai bank yang diminta bantuannya oleh Gusti Ngurah Darsana saling berbisik melihat

prosesi pemelaspasan yang baru pertama kali dilihat. Setelah upacara selesai, Gusti Ngurah

Darsana menjelaskan apa makna serta fungsi dilaksanakannya upacara pemelaspasan tadi kepada

para pegawai bank yang hadir. Hal yang paling penting di sini adalah adanya toleransi dari

36
“Istrinya menaikkan banten perani, kelanan dan daksina di pelangkiran kamarnya dan arah ke
pekarangan. Sesudah melukat lalu Gusti Ngurah Darsana menghidupkan dupa.
Mempersembahkan banten meminta pembebasan dan keselamatan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dan siapa pun yang benar-benar ikut tinggal di sini.”
37
“Ibu-ibu yang ikut membantu bengong sambil berbisik-bisik menyaksikan.”

81
masyarakat sekitar rumah Gusti Ngurah Darsana. Para tetangga tidak merasa terganggu dengan

pelaksanaan tradisi tersebut. Malah mereka saling menolong untuk menyelesaikan persiapan

upacara pemelaspasan tersebut.

Selain melakukan upacara pemelaspasan, sebagai orang Hindu Bali, Gusti Ngurah

Darsana juga melakukan upacara magedong-gedongan saat usia kandungan Ratna Dumilah

sudah menginjak bulan. Upacara ini juga dihadiri orang-orang di sekitar kediaman Gusti Ngurah

Darsana. Mereka hadir untuk ikut membantu persiapan pelaksanaan upacara tersebut sekaligus

ikut berpartisipasi saat pelaksanaan upacara. Hal ini terlihat ketika prosesi penyiraman Ratna

Dumilah.

“Magilihan pada nyiramin Ratna Dumilah baan yeh kumkuman lan bunga kembang rampe
sarwa miyik limang macem nganti ngilgilang, saha doa.” (Gitaning Nusa Alit, 184).38

Semua undangan yang datang ikut berpartisipasi melakukan prosesi penyiraman Ratna

Dumilah serta turut memberikan doa agar bayi dalam kandungannya sehat. Setelah prosesi

penyiraman dilanjutkan dengan medagang-dagangan. Ini merupakan prosesi di mana Ratna

Dumilah diandaikan menjadi pedagang. Medagang-dagangan merupakan bagian dari ritual

magedong-gedongan yang bermakna agar si anak murah rezeki, rezeki anak diwakilkan melalui

sang ibu yang berjualan dan barang dagangannya laris dibeli (Sudharta, 1993: 11). Semua tamu

yang hadir ikut berpartisipasi dalam prosesi ini dengan menjadi pembeli. “Ané mabelanja tuah

tamiuné makejang. Marebut pada mabelanja takut ten kebagian rujak lan cendol.” (Gitaning

Nusa Alit, 185). 39 Semua undangan berpartisipasi aktif dalam rangkaian prosesi magedong-

gedongan.

38
“Bergiliran menyirami Rare Dumilah dengan yeh kumkuman dan bunga kembang rampe yang
serba harum lima macam hingga menggigil, serta doa.”
39
“Yang ikut berbelanja adalah semua tamu. Saling berebut takut tidak kebagian rujak dan cendol.”

82
Selain upacara magedong-gedongan, Gusti Ngurah Darsana juga melangsungkan upacara

nelu bulanin40 yang dilangsungkan ketika anaknya berusia tiga bulan. Pada upacara inilah anak

Gusti Ngurah Darsana untuk pertama kali diberi nama, yaitu Gusti Ngurah Anantha Bhuwana.

Pada upacara ini pun banyak undangan yang hadir untuk menyaksikan nelu bulanin putra

pertama Gusti Ngurah Darsana. Para pegawai bank, anggota TNI, pengusaha, serta pedagang

semua berbaur dalam acara yang diselenggarakan oleh Gusti Ngurah Darsana. Semua menikmati

serta mengikuti prosesi nelu bulanin putra pertama Gusti Ngurah Darsana.

Keterlibatan orang-orang yang berlatang belakang tidak hanya etnik Bali menjadikan

prosesi pemelaspasan, magedong-gedongan, dan nelu bulanin yang berlangsung di rumah Gusti

Ngurah Darsana unik sekaligus menarik. Unik karena sebagai orang Hindu Bali, Gusti Ngurah

Darsana tetap memegang teguh tradisinya. Ia tetap melangsungkan prosesi pemelaspasan,

magedong-gedongan dan nelu bulanin meskipun tidak berada di tanah kelahirannya. Bahkan,

Gusti Ngurah Darsana mengajak serta orang-orang nonetnik Bali untuk ikut terlibat dalam

prosesi tersebut, tidak ada kecanggungan yang diperlihatkan, baik oleh Gusti Ngurang Darsana

maupun para undangan yang ikut terlibat. Sisi menariknya adalah tumbuh dan berkembang rasa

kebersamaan, toleransi, serta rasa memiliki di antara masyarakat multikultur melalui sebuah

tradisi yang dilangsungkan oleh kaum minoritas.

Bentuk tradisi yang juga menjadikan komunitas heterogen berbaur baik dalam satu

lingkungan adalah magibung. Tradisi magibung atau makan bersama-sama dalam satu kelompok

memang tidak hanya dikenal di Bali, di Lombok atau daerah lain pun dikenal tradisi makan

40
Nelu bulanan dilaksanakan saat bayi berumur tiga bulan. Upacara ini merupakan simbol perpisahan dengan
eampat saudara bayi yang mengikuti serta menolong bayi saat lahir. Perpisahan ini hanya melepaskan unsur
negatif yang dibawa oleh empat saudara bayi tersebut. Namun, unsur jiwanya masih tetap dekat dan membantu
bayi hingga tua nanti.

83
bersama semacam ini41. Hanya dalam trilogi novel Sembalun Rinjani tradisi magibung menjadi

salah satu ikon tradisi masyarakat Bali yang menjadi media berbaurnya multietnik. Lalu

Wiradana sebagai etnik Sasak ingin mencoba magibung pada saat persiapan upacara otonan cucu

pertama Gusti Ngurah Darsana. “Nggih Yan, Beliq masih lakar magibung. Apang taen magibung

cara sameton di Bali” (Suryak Suung Mangmung, 83).42 Upacara otonan yang dilaksanakan di

Jro Baledan Karangasem mengundang seluruh keluarga besar Gusti Ngurah Darsana dan Ratna

Dumilah. Keluarga dari Lombok semua hadir untuk mengikuti upacara tersebut. Pada

kesempatan inilah Lalu Wiradana dan Inaq Wira untuk pertama kalinya mengikuti tradisi

magibung ala Bali. Posisi Lalu Wiradana dan Inaq Wira memang berada pada kaum minoritas

karena mereka hadir di tengah-tengah komunitas Hindu Bali di Jro Baledan Karangasem.

Meskipun demikian, mereka diterima dengan baik serta dapat masuk ke dalam tradisi lokal tanpa

rasa ragu. Hanya mereka harus menyesuaikan diri dengan masakan yang dihidangkan pada saat

magibung. Hal serupa juga sempat dialami oleh Ratna Dumilah dan Diah Rengsi Pitaloka saat

baru pertama kali menjadi bagian keluarga Gusti Ngurah Darsana.

Berbicara mengenai adat serta tradisi sebuah etnik, tentu tidak akan lepas dari kekhasan

yang menjadi ciri-ciri etnik tersebut di antaranya adalah kuliner. Makanan merupakan bagian

terpenting dalam proses hidup manusia. Untuk itu, makanan serta prosesnya pun mengalami

perkembangan dan perubahan seperti halnya manusia. Proses awalnya manusia mendapatkan

makanan dengan berburu, kemudian berkembang menjadi bercocok tanam lalu meramu. Pada

fase meramu inilah ketersediaan bahan di alam yang berbeda menjadikan tiap-tiap etnik memiliki

masakan yang berbeda dan kemudian menjadi ciri khas yang dikenal dengan masakan daerah.

41
Magibung sendiri diciptakan oleh I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Raja Karangasem yang memimpin ekspansi
ke Lombok. Magibung ini awalnya berfungsi sebagai sarana absensi pasukan yang ikut berperang.
42
“Baik Yan, kakak juga akan magibung. Supaya pernah magibung dengan cara Bali.”

84
Hal seperti itulah yang terlihat dalam novel, yaitu tidak hanya orang-orangnya yang berbaur

dalam keberagaman, tetapi masakan daerah juga hadir sebagai pelengkap suasana multikultur.

Perpaduan kuliner ini terlihat ketika acara pernikahan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah,

seperti dalam kutipan.

“Sejaba masakan Bali, timbungan, lawar, sate, lan jukut olah, masih mimbuh masakan
cara Sasak, ayam taliwang, plecing kangkung, lan beberok.” (Gitaning Nusa Alit, 140).43

Dalam kutipan itu terlihat bahwa multikulturalisme tidak hanya dapat terjadi pada

individu, tetapi juga pada masakan daerah yang dibawa oleh tiap-tiap etnik. Perpaduan hidangan

yang disuguhkan pada acara pernikahan Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah seolah turut

menjadi bagian bersatunya dua etnik dalam ikatan perkawinan.

Setelah menikah dan pindah tugas ke Atambua, Gusti Ngurah Darsana dan Ratna

Dumilah untuk pertama kalinya mencicipi masakan khas Timor saat diundang makan di rumah

Pak Abu. Pak Abu adalah kepala cabang BRI Atambua yang digantikan tugasnya oleh Gusti

Ngurah Darsana. Pada jamuan makan tersebut, Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah

merasa puas menikmati masakan laut khas Timor. Kepuasan mereka terlihat dengan

menghabiskan semua hidangan yang disajikan. “Mangkin ajaka patpat pada madaar namtamin

kaluihan masakanné, uli sop kepiting, kakap lan bandeng bakar telah ludes” (Gitaning Nusa

Alit, 154).44 Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah benar-benar menikmati masakan khas

Timor meskipun baru pertama kali mencobanya, dari situ muncul keinginan Ratna Dumilah

untuk belajar memasak makanan ala Timor. Ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap

perbedaan kuliner bisa langsung terjadi meskipun baru pertama kali mencobanya. Artinya, tak
43
“Selain merasakan masakan Bali, timbungan, lawar, dan olahan berbagai sayur, masih ditambah lagi dengan
masakan khas Sasak, ayam taliwang, plecing, dan beberok.”
44
“Sekarang mereka berempat mulai makan, menikmati masakan, dari sop kepala ikan, kakap dan bandeng bakar,
semuanya habis.”

85
butuh waktu lama bagi Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah untuk beradaptasi dengan

lingkungan kulinernya yang baru.

Meskipun telah berada pada lingkungan kuliner yang baru, Gusti Ngurah Darsanan tetap

membawa ciri khas masakan Bali dan Lombok. Pada setiap acara yang dilangsungkan di rumah

jabatannya tidak pernah absen hidangan perpaduan Bali, Lombok, dan ditambah pula hidangan

khas Timor. Hadirnya perpaduan kuliner dari tiga etnik tersebut dapat diihat ketika Gusti Ngurah

Darsana menggelar upacara telu bulanan 45 putra pertamanya. Acara yang diadakan dengan

meriah di rumah jabatannya mengundang banyak tamu dengan berbagai latar belakang. Masakan

khas Bali dibuat oleh Pak Made dan Pak Cerik dibantu oleh Gusti Ngurah Darsana. Masakan

khas Lombok dibuat sendiri oleh Ratna Dumilah, sedangkan masakan khas Timor dikerjakan

oleh Ibu Markus dan Meina.

Semua undangan yang hadir merasakan aneka masakan yang memadukan sekaligus

masakan khas Bali, Lombok dan Timor. Latar belakang etnik yang berbeda tidak menghalangi

keinginan untuk berbaur serta mencicipi kekhasan masakan masing-masing. Bahkan, kepuasan

terlihat dari David dan Alex ketika mencicipi masakan khas Bali. Hal serupa juga dirasakan Cik

Kong Amio, seorang etnik Tionghoa, yang merupakan salah satu nasabah Gusti Ngurah Darsana.

”David lan Alex nganti pindo mimbuh. Cik Kong Amio ajak kurenané masih tuara nyak keserian

naar be guling, lawar, lan jukut ares” (Gitaning Nusa Alit, 242).46 Kepuasan yang ditunjukkan

oleh David, Alex, serta Cik Kong Amio bisa dijadikan cermin penerimaan yang dilakukan tokoh

terhadap heterogenitas kuliner di lingkungan mereka. Ekspresi kepuasan menjadi indikator

seberapa jauh mereka dapat betul-betul menerima serta masuk dalam tradisi kuliner yang bukan

45
Sama dengan nelu bulanin
46
“David dan Alex dua kali menambah makan. Cik Kong Amio dan istrinya juga tidak ketinggalan menikmati babi
guling, lawar, dan sayur ares.”

86
milik mereka. Hal ini diungkapkan dalam novel bahwa David dan Alex sampai membuka ikat

pinggangnya karena kekenyangan dan Cik Kong Amio mengundang Gusti Ngurah Darsana

dalam acara uang tahun anaknya nanti sebagai juru masak. Cik Kong Amio meminta Gusti

Ngurah Darsana membuatkan lawar dan babi guling pada saat acara ulang tahun anaknya.

Kuliner juga mendapat imbas dari multikturalisme yang secara langsung mampu menghadirkan

interaksi perbedaan, terutama masalah rasa (taste) dalam menikmati makanan.

Terdapat satu hal menarik dalam hal tradisi yang berkaitan dengan multikulturalisme

dalam trilogi novel Sembalun Rinjani, yaitu pengadopsian atau pengangkatan anak (memeras

sentana). Hukum adat Bali mengenal pengangkatan anak (memeras sentana) serta aturannya

mengacu pada peraturan 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris berlaku bagi penduduk Hindu

Bali dari Kabupaten Buleleng yang dikeluarkan oleh Residen Bali Lombok. Aturan adat

(paswara) tersebut menegaskan bahwa pengangkatan anak yang dapat diterima oleh hukum adat

adalah pengangkatan anak dari keturunan keluarga laki-laki serta harus berasal dari kasta dan

agama yang sama. Upacara adat yang harus dilakukan sebagai bentuk pengesahan seseorang

mengangkat anak adalah Widi widana yang dilakukan oleh pendeta serta disaksikan oleh

perangkat desa adat (Windia, 2011: 5).

Pengangkatan anak dalam trilogi novel Sembalun Rinjani dilakukan oleh Pan Kobar dan

Wayan Rempuh. Pengangkatan anak dilakukan karena setelah sepuluh tahun menikah belum

juga memiliki anak. Ketika pindah dari Bali dan menetap di Lombok mereka memutuskan untuk

mengangkat anak. Anak pertama yang diadopsi adalah Wayan Galang, Wayan Galang

sesungguhnya adalah anak seorang perawat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Ibu

kandung Wayan Galang adalah seorang etnik Timor dari Pulau Rote, sedangkan ayahnya adalah

seorang tentara Belanda beragama Kristen. Akibat perang, kedua orang tuanya meninggal dan ia

87
diadobsi oleh Pan Kobar melalui Dokter Nurja. Dokter Nurja adalah dokter berasal dari Bali

yang bertugas di NTT serta merupakan atasan ibu kandung Wayan Galang.

Anak kedua yang diadopsi oleh Pan Kobar dan Wayan Rempuh adalah Made Sinar. Made

Sinar diadopsi dari seorang gadis Sasak yang ditolong oleh Wayan Rempuh di pasar. Ibu

kandung Made Sinar bernama Asmarinah, seorang gadis Sasak yang berasal dari Desa Tolot-

tolot. Ia pergi ke Cakranegara karena di desanya sedang musim paceklik dan suaminya baru saja

meninggal. Atas kebaikan Wayan Rempuh, ia diajak tinggal bersama dan dipekerjakan untuk

membantu Wayan Rempuh berjualan di pasar. Saat bertemu dengan Wayan Rempuh, Asmarinah

memang telah hamil tua. Setelah 15 hari bersama Wayan Rempuh, ia melahirkan seorang anak

perempuan. Anak perempuan Asmarinah diserahkan kepada Pan Kobar dan Wayan Rempuh

untuk diadopsi karena ia telah berjanji pada dirinya untuk menyerahkan anaknya bagi siapa yang

ikhlas membantunya dalam kesusahan. Asmarinah kemudian menikah dengan seorang tentara

yang berasal dari Bali bernama Gede Made Samudra. Setelah menikah Gede Made Samudra dan

Asmarinah pindah ke Balikpapan. Namun, sayang kapal yang tumpangi tenggelam dan mereka

pun meninggal.

Melihat silsilah kedua anak angkat Pan Kobar dan Wayan Rempuh tentu saja tidak sesuai

dengan hukum adat yang berlaku jika kedua anak tersebut diadopsi. Pertama, kedua anak

tersebut bukan dari keturunan laki-laki ataupun perempuan. Kedua, jelas anak-anak tersebut

tidak berasal dari agama apalagi kasta orang tua angkatnya. Namun, kedua anak tersebut telah

melalui upacara adat sesuai dengan aturan yang berlaku dalam hukum adat Bali yaitu Widi

widana. Seperti tampak dalam kutipan.

88
“Inggih, ipun sampun pianak titiangé makekalih, sampun kawidi-widanain, kaperas dados
panak titiang antuk Ida Pedanda Wayan Sidemen. Ida taler ngicen adan Wayan Galang
lan Made Sinar.” Keto Pan Kobar mragatang critané. (Sembalun Rinjani, 2001: 136).47

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pan Kobar dan Wayan Rempuh sesungguhnya

melanggar hukum adat yang berlaku karena kedua anak angkatnya tidak berasal dari agama

Hindu dan bukan dari keturunan keluarga mereka. Namun, hal tersebut tidak menjadi halangan,

Masyarakat banjar adat tempat mereka tinggal pun tidak mempermasalahkannya. Hal ini

menunjukkan bahwa Pan Kobar, Wayan Rempuh, dan masyarakat Banjar Jeruk Manis bukanlah

masyarakat adat yang kaku dan terpaku pada hukum adat kuno. Hukum adat seharusnya bersifat

fleksibel, yaitu mengikuti perkembangan zaman, tetapi tetap berpegang pada norma agama

sebagai jiwa dari adat tersebut. Pengangkatan anak yang dilakukan Pan Kobar dan Wayan

Rempuh menunjukkan mereka adalah orang yang betul-betul menjalankan prinsip dasar dari

multikulturalisme meskipun mereka sendiri tidak menyadari hal tersebut. Perbedaan agama serta

suku tidak menjadi halangan bagi mereka untuk membantu serta mengangkat anak dengan latar

belakang berbeda. Menarik untuk dipahami bahwa keluarga Pan Kobar akhirnya menjadi sebuah

miniatur kehidupan multikultur karena sejatinya mereka sekeluarga terdiri atas berbagai etnik.

Hidup rukun menjadi sebuah keluarga kecil yang bahagia. Meskipun merupakan anak angkat,

Wayan Galang dan Made Sinar tetap menjalankan kewajiban sebagai anak layaknya anak

kandung, baik kewajiban adat maupun kewajiban agama tempat mereka kini bernaung.

Multikultur terbukti tidak hanya menyatukan personal-personal yang berbeda latar

belakang etnik, tetapi juga mengintegrasikan segala bentuk tradisi serta adat yang dibawa oleh

tiap-tiap etnik. Hadirnya toleransi, sirnanya kecanggungan, dan positifnya terhadap setiap

47
“Benar, mereka berdualah anak saya. Sudah di-widi widana, diangkat jadi anak saya oleh Ida Pedanda Wayan
Sidemen. Beliau juga yang memberikan nama Wayan Galang dan Made Sinar.” Begitu Pan Kobar
menyelesaikan ceritanya.

89
keberagaman menjadikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang ideal di tengah kian

sempitnya dunia akibat kemajuan transportasi serta komunikasi. Adat sebagai wadah masyarakat

tradisional juga semakin fleksibel menyikapi perubahan serta heterogenitas. Adat tidak selalu

harus kaku lalu menjadi diskriminatif. Berbaurnya adat serta tradisi berbagai etnik menjadikan

segala sesuatunya lebih hidup, lebih berwarna, dan tentunya ini merupakan modal kuat untuk

harmonisasi hidup bermasyarakat.

5.3 Religi

Religi diartikan lebih luas daripada agama. Pengertian religi di sini lebih menyangkut

pada personalitas serta hal-hal pribadi yang berkaitan dengan hubungan manusia pada sang

pencipta. Religi jauh lebih dinamis daripada agama serta lebih menonjolkan eksistensi serta

pemahaman manusia tentang apa yang dipercaya, dalam hal ini tidak hanya Tuhan, tetapi juga

kekuatan-kekuatan supranatural. Agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doktrin) dan

peraturan-peraturan (Atmosuwito, 1989: 123). Religi dapat dipahami sebagai sebuah konsep

yang mencakup segala hal yang menghubungkan manusia dengan kekuatan supranatural ( tidak

hanya Tuhan, tetapi juga roh-roh, dewa, serta hal mistis yang berada di luar nalar manusia),

teori-teori mengenai hakikat kekuatan supranatural tersebut, serta segala macam daya upaya

manusia untuk mencari dan mencapai kesadaran spiritual tertentu. Cakupan religi lebih luas

daripada agama, oleh karena itu, secara pasti religi merupakan sesuatu yang melintasi batas

agama, melintasi batas rasionalitas, menciptakan keterbukaan antarmanusia, dan tidak identik

dengan sikap fanatisme.

90
Triogi novel Sembalun Rinjani sebagai sebuah novel yang mengusung multikulturalisme

tidak lepas dengan hal-hal yang berhubungan dengan religi. Latar belakang etnik yang berbeda

pada beberapa tokohnya menjadikan novel ini juga menghadirkan beragam keyakinan yang

dipercaya oleh setiap tokoh etnik. Religiusitas setiap tokoh memang berbeda, sistem

kepercayaannya pun berbeda, tetapi mereka tidak canggung untuk bertukar pikiran, bahkan ikut

merasakan kegiatan spiritual tokoh dari etnik lain. Hal ini merupakan bentuk nyata bahwa religi

mampu menembus batas agama serta menciptakan keterbukaan antarmanusia. Hal itu bisa dilihat

ketika Gusti Ngurah Darsana dan teman-temannya melakukan tirta yatra ke Gunung Rinjani.

Tirta yatra sendiri merupakan perjalanan spiritual dalam agama Hindu menuju tempat-tempat

suci untuk melakukan persembahyangan. Kegiatan tirta yatra yang dilaksanakan Gusti Ngurah

Darsana ke Gunung Rinjani juga diikuti oleh Lale Dumilah, Raden Rangga, dan Loq Gading.

Ketiganya memang bukan pemeluk agama Hindu, tetapi mereka adalah orang Sasak yang juga

meyakini Gunung Rinjani sebagai tempat yang disucikan. Perjalanan spiritual menuju ke puncak

Gunung Rinjani diakhiri dengan bersembahyang bersama di puncak Gunung Rinjani.

Persembahyangan dilakukan berdasarkan keyakinan masing-masing. Tidak ada pemaksaan untuk

melakukan persembahyangan dengan cara yang seragam. Setiap tokoh menjalankan

keyakinannya atas kebesaran Sang Pencipta.

Duduk di puncak gunung sembari menghaturkan rasa syukur atas segala kebesaran yang

dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa menjadikan suasana kebersamaan di antara para

pendaki semakin terasa. Meskipun sadar akan perbedaan keyakinan, tujuan mereka menuju

puncak gunung sama, yaitu untuk melakukan persembahyangan, mencapai puncak pendakian

spiritual. Hingga akhirnya mereka sampai di puncak gunung dan merasakan kebesaran Sang

Pencipta “Tu Ngurah, mara mangkin tiang marasa yen dewek tiangé niki saja cenik, amun

91
tepung miber yang bandingang teken kagungan jagaté.“ (Sembalun Rinjani, 167).48 Ketut Tirta

baru dapat menyadari kebesaran Tuhan setelah melakukan perjalanan spiritual menuju puncak

Gunung Rinjani. Ungkapan yang disampaikan mewakili juga perasaan teman-temannya yang

ikut serta dalam pendakian. Pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari oleh Ketut Tirta (dogma-

dogma agama) mengenai kebesaran Tuhan tidak cukup memuaskan, hanya sebatas teori-teori.

Perjalanan spiritual sebagai bentuk praktis dari pengetahuan yang bersifat teoretis seolah

menjawab keraguan serta rasa penasaran akan kebesaran Tuhan.

Kegiatan tirta yatra yang umumnya hanya dilakukan oleh orang Hindu, dalam novel hal

tersebut menjadi berbeda. Tirta yatra tidak menjadi aktivitas eksklusif yang hanya dimiliki dan

hanya boleh diakukan oleh orang Hindu, tetapi menjadi kegiatan religius bersama yang

menyatukan perbedaan. Kesadaran spiritual dalam trilogi novel Sembalun Rinjani yang

berangkat dari keberagaman tidak hanya bersifat personal, tetapi juga terlihat yang bersifat

kolektif. Hal ini bisa dilihat ketika masyarakat etnik Bali dan Sasak melakukan upacara

memohon air yang dilakukan bersama-sama di Danau Segara Anakan, seperti tampak pada

kutipan berikut.

“Yen suba keto mula uli ilu sameton petani Bali wiadin Sasak bareng ngelaksanayang
upacara mapag yeh ngaturang pakelem di Danu Segara Anakan.” (Sembalun Rinjani,
157).49
Kebersamaan secara kolektif yang terlihat dalam novel menunjukkan bahwa perbedaan

keyakinan tidak menghalangi kebersamaan untuk mencapai kesadaran spiritual. Tujuan mereka

juga sama, yaitu memohon agar diberikan air untuk mengairi sawah mereka, sehingga sawah

dapat ditanami dan panen yang dihasilkan melimpah. Rasa kebersamaan yang muncul sebagai

48
“Tu Ngurah, baru sekarang ini saya merasakan bahwa benar diri ini sangat kecil, bagai tepung yang tertiup angin,
jika dibandingkan dengan keagungan jagat ini”
49
“Jika sudah begitu, memang sejak dulu petani Bali dan Sasak bersama-sama melaksanakan upacara penyambutan
air, menghaturkan persembahan di Danau Segara Anakan.”

92
akibat dari persamaan kebutuhan sudah cukup mapan dan terpelihara sejak dulu. Hal ini

diwariskan secara turun-temurun, dijaga betul keberadaannya. Dengan demikian, terpelihara

dengan baik harmonisasi religi dalam sebuah komunitas sosial dengan latar belakang keyakinan

yang berbeda.

Religiusitas yang baik telah dimiliki beberapa tokoh dalam trilogi novel ini sehingga

menjadikan kehidupan antaretnik berjalan dengan baik meskipun dengan kepercayaan yang

berbeda. Tiap-tiap tokoh menjalankan kepercayaannya dengan leluasa tanpa tekanan, bahkan

tokoh utama Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah merupakan tokoh yang mengedepankan

toleransi dalam hal religi. Hal ini bisa dilihat dari kebebasan yang diberikan oleh Gusti Ngurah

Darsana kepada Meina untuk beribadah ke gereja. “Dané ngicen kabebasan Meina nyalanang

kebaktian agamanné di gereja ané paek uli umah dinesé” (Gitaning Nusa Alit, 187). 50

Kebebasan ini menunjukkan toleransi, keterbukaan, serta tidak adanya rasa fanatisme yang

berlebih dari Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Kedua tokoh utama sadar betul

meskipun Meina berstatus sebagai pembantu, mereka tidak memiliki otoritas atas religiusitas

Meina. Bahkan, Gusti Ngurah Darsana sering bertanya mengenai ajaran-ajaran Kristen kepada

Meina. Ia merupakan orang yang terbuka dalam menerima ajaran-ajaran agama yang bukan dari

agamanya. Hal ini dilakukan tidak untuk mencari kelemahan atau kelebihan suatu ajaran, tetapi

untuk lebih membuka wawasan tentang kebesaran Tuhan. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar

tidak terlalu picik dengan hanya mempelajari keyakinan sendiri sehingga menimbulkan rasa

fanatik yang berlebihan atas agama sendiri dan mengerdilkan agama lain.

50
“Ia memberikan kebebasan kepada Meina untuk menjalankan kebaktian di gereja yang berada dekat dengan
rumah dinas.”

93
Hubungan manusia dengan dunia supranatural (mistis) selalu berkaitan dengan religi.

Dunia supranatural berada jauh di luar nalar manusia, tetapi bersanding sangat dekat dengan

keseharian manusia. Novel trilogi Sembalun Rinjani memperlihatkan dunia supranatural atau

mistis menjadi bagian perjalanan kehidupan tokoh. Di dalamnya terdapat kurang lebih empat

peristiwa yang melibatkan tokoh utama dengan ilmu hitam. Dunia mistis yang selalu berkaitan

dengan ilmu hitam, dukun, atau benda-benda pusaka seakan berada dekat mendampingi

religiusitas para tokoh. Pola hidup tokoh yang modern, berpikiran maju dengan mengutamakan

rasionalitas seolah digiring kembali pada hal-hal mistis yang bersifat tradisional dan tidak masuk

akal. Lale Dumilah (Ratna Dumilah) merupakan tokoh yang mengalami kejadian berkaitan

dengan dunia supranatural. Saat akan melangsungkan pernikahan dengan Gusti Ngurah Darsana

tiba-tiba saja Lale Dumilah (Ratna Dumilah) menjadi lumpuh dan tidak dapat menggerakkan

badannya. Hal ini tentu saja membuat panik seluruh keluarga yang telah mempersiapkan acara

pernikahan mereka. Akhirnya mereka meminta bantuan Amaq Tirah yang berasal dari Desa

Sembalun. Amaq Tirah dikenal sebagai guru spiritual yang cukup disegani di desanya.

Berdasarkan penglihatan Amaq Tirah, Lale Dumilah terkena Sokeq. ”Paa kayang betekanné

beseh tur mapeluh dingin. Aah kena sokeq, kenten ragané ngarenggeng” (Gitaning Nusa Alit,

85).51 Sokeq sendiri adalah jenis ilmu hitam yang dikenal di daerah Lombok. Biasanya ilmu ini

dapat membunuh orang secara halus (Kardji, 2004:7). Gusti Ngurah Darsana dan keluarga

menyerahkan sepenuhnya penyembuhan Lale Dumilah kepada Amaq Tirah. Melalui

kepercayaan serta ritual-ritual khusus pengobatan tradisonal Sasak, Amaq Tirah berhasil

menyembuhkan Lale Dumilah. Akhirnya Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah dapat

melangsungkan pernikahannya.

51
“Paha hingga kakinya bengkak serta mengeluarkan keringat dingin. Aah...kena sokeq, begitu ia bergumam.”

94
Ketika menetap di Atambua, Ratna Dumilah kembali berkemelut dengan ilmu hitam.

Kali ini akibat perbuatan sepupunya sendiri yang bernama Hendun meletakkan guna-guna di

perhiasan gading yang dijualnya pada Ratna Dumilah. Kali ini Ratna Dumilah disembuhkan oleh

Romo Ulumondo, seorang pastor yang biasanya memberikan ceramah di gereja dekat rumah

dinas Gusti Ngurah Darsana. Dengan pengobatan tradisional Timor yang dipadukan dengan doa-

doa serta keyakinan Nasrani, Ratna Dumilah berhasil disembuhkan. Setelah Gusti Ngurah

Darsana memasuki masa pensiun dan menjenguk mertuanya di Lombok, kembali ia dan istrinya

terkena sokeq. Kali ini yang menyembuhkan adalah Loq Sudangsa dengan ritual serta cara

tradisional Sasak.

Tokoh yang juga mengalami gangguan ilmu hitam adalah Gusti Ayu Kendariyani. Ia

adalah putri Gusti Ngurah Darsana. Gusti Ayu Kendariyani mendapat pengaruh ilmu hitam dari

Gus Ayodia. Gus Ayodia adalah laki-laki yang ditolak cintanya oleh Gusti Ayu Kendariyani.

Gus Ayodia akhirnya meninggal akibat pertarungan dengan Gusti Ngurah Darsana. Dalam kasus

Gusti Ayu Kendariyani, ia disembuhkan oleh Gusti Ngurah Darsana sendiri dengan bantuan

keris pusaka warisan keluarganya. Keris itu dipercaya memiliki tuah, serta merupakan pusaka

sakti leluhur Gusti Ngurah Darsana yang diperoleh dari Gunung Agung.

Beberapa peristiwa yang melibatkan para tokoh dengan dunia mistis dan ilmu hitam

menunjukkan betapa dekatnya kehidupan manusia dengan dunia supranatural. Sekalipun

manusia telah menetapkan dirinya sebagai makhluk yang modern serta mencoba menafikan hal-

hal yang berbau gaib dan tak masuk akal, ternyata dunia supranatural tidak dapat

dikesampingkan. Religiusitas yang bisa dilihat adalah bagaimana para tokoh yang terlibat dalam

peristiwa pergolakan melawan ilmu hitam tidak lagi memandang batas-batas agama, hanya ada

keyakinan untuk menyembuhkan yang mengalami penderitaan. Amaq Tirah, Romo Ulumondo,

95
serta Loq Sudangsa adalah tokoh adat sekaligus orang yang berpengaruh dalam agamanya

masing-masing. Namun, bukan agama yang dilihat untuk membantu seseorang yang mengalami

musibah. Amaq Tirah dan Loq Sudangsa merupakan etnik Sasak dengan keyakinan Muslim yang

kuat. Mereka membantu dengan menggunakan keyakinan yang dianut. Cara-cara penyembuhan

dengan perpaduan mantra-mantra tradisional Sasak serta ayat-ayat suci yang terkandung dalam

kitab suci mereka. Begitu pula dengan Romo Ulumondo, sebagai seorang pemuka agama

Nasrani ia selalu menggunakan ayat-ayat suci serta salib untuk melakukan penyembuhan.

Cara-cara penyembuhan yang ditawarkan melalui pengkombinasian antara cara

tradisional dengan cara-cara yang terkandung dalam ajaran suatu agama bukan merupakan

sesuatu yang baru. Sistem pengobatan tiap etnik berbeda yang pada umumnya masuk humoral

medicine dan memiliki elemen-elemen magis. Hal ini menunjukkan bahwa agama-agama yang

dianut oleh seseorang tidak lantas menghilangkan cara-cara tradisional yang telah diwariskan

jauh sebelum agama-agama formal tersebut diyakini. Meskipun cara penyembuhan yang

dilakukan, baik oleh Amaq Tirah maupun Romo Ulumondo tidak sejalan dengan keyakinan sang

pasien, hal ini tidak mengurangi keampuhan dari pengobatan yang dilakukan. Sesungguhnya

yang menjadi penting dalam hal ini bukanlah bentuk fisik (agama yang dianut), melainkan sejauh

mana kita percaya dan meyakini kebesaran Sang Pencipta. Religiusitas tidak dipandang dari

agama apa yang diyakini, tetapi sejauh mana kesadaran spiritual seseorang untuk meyakini

kebenaran yang hakiki.

96
BAB VI

RESPONS TOKOH TERHADAP MULITKULTURALISME

Perubahan pola kehidupan bermasyarakat dari masyarakat homogen ke arah masyarakat

heterogen menimbulkan dampak berbaurnya individu-individu dengan latar belakang (etnik,

agama, golongan) berbeda dalam satu lingkungan sosial yang sama. Interaksi antarindividu ini

memungkinkan terjadinya perubahan terhadap struktur sosial masyarakat, yaitu dari struktur

sosial yang bersifat sederhana ke struktur sosial yang lebih kompleks. Struktur sosial seperti ini

disebut struktur sosial konsolidasi dengan tingkat diferensiasi sosial yang rendah dan inilah

struktur sosial masyarakat multikultur. Individu-individu dalam masyarakat multikultur inilah

yang selalu bergerak dan bersinggungan secara budaya melalui parameternya (etnik, agama, dan

golongan). Namun, tidak setiap individu dalam masyarakat modern lantas memiliki pemikiran

yang terbuka, visioner, serta menerima dengan baik multikulturalisme tersebut.

Multikulturalisme menghadirkan berbagai reaksi dari setiap individu pelakunya, ada yang

berpandangan positif terhadap keberagaman, ada pula yang hadir sebagai penentang atas

keberagaman. Perbedaan padangan ini lebih banyak disebabkan oleh kurang terbukanya

pemikiran serta kurang dipahaminya konsep-konsep menjalankan kehidupan di tengah

masyarakat yang heterogen.

Hak setiap individu dalam masyarakat multikultur sesungguhnya sangat diakui, karena

esensinya multikulturalisme menyediakan ruang terbuka bagi setiap individu untuk

mengekspresikan diri. Kesadaran terhadap multikulturalisme tidak hanya terbatas pada kesadaran

akan keberagaman budaya, tetapi juga meliputi kesadaran atas persamaan derajat, hak, bahkan

kesetaraan gender. Persamaan derajat, hak, serta kesetaraan gender merata dalam semua bidang,

97
termasuk pendidikan formal serta kesempatan mencari peluang kerja dan usaha (Nugroho, 2008:

3-4). Individu-individu modern yang telah secara langsung berinteraksi dalam masyarakat

multikultur tidak lantas menjadi individu yang memiliki sifat toleransi. Hal itu terjadi karena

untuk menjadi manusia yang toleran terhadap keberagaman diperlukan lebih dari sekadar

predikat manusia modern, dibutuhkan sikap berjiwa besar, saling menghargai, dan saling

percaya. Ketika tidak setiap individu mampu bersikap seperti itu, maka akan muncul pandangan

beragam tentang bagaimana menyikapi multikulturalisme. Oleh karena itu, reaksi beragam akan

dapat dilihat dari setiap tokoh yang ada dalam trilogi novel Sembalun Rinjani.

Respon tiap-tiap tokoh terhadap multikulturalisme yang terdapat di dalam trilogi novel

ini dapat tercermin dari tindakan dan sikap mereka. Sikap serta tindakan merefleksikan bentuk

penerimaan atau penolakan terhadap multikulturalisme berdasarkan stimulus yang dibawa oleh

multikulturalisme itu sendiri. Stimulus yang hadir pada setiap tokoh tentu berbeda-beda dan

tidak secara simultan, tetapi bertahap serta berkesinambungan mengikuti alur peristiwa. Keadaan

ini memungkinkan tokoh untuk membangun kesadaran diri sehinggga mampu menempatkan

dirinya pada sisi koalisi atau malah beroposisi dengan multikulturalisme.

6.1 Respons Tokoh Utama terhadap Multikulturalisme

Tokoh utama sebagai tokoh yang mendominasi porsi penceritaan dalam novel trilogi

Sembalun Rinjani adalah Gusti Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Kedua tokoh ini paling

banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sebagai tokoh

yang paling dominan diceritakan, secara langsung kedua tokoh ini juga paling sering berinteraksi

dengan tokoh lain yang akhirnya menciptakan suasana multikultur. Kedua tokoh utama

mengalami semua proses multikultur, di mana mulikulturalisme mulai terbentuk, mengalami

98
penolakan yang menciptakan konflik, hingga akhirnya multikulturalisme dapat diterima dan

terjadi integrasi sosial antar etnik.

Tokoh utama menjadi agen yang mengusung paham multikultur dan mencoba

menularkan pemahaman positifnya pada tokoh lain sehingga tercipta toleransi antaretnik. Gusti

Ngurah Darsana merupakan tokoh dengan pemahaman multikultur yang baik. Ia menyadari betul

tentang arti penting sebuah kebersamaan dan kesederajatan ketika bergaul dalam lingkungan

yang multietnik. Ia mengajak semua temannya untuk ikut berpatisipasi dalam acara pendakian

(tirtha yatra) ke Gunung Rinjani. Meskipun sesungguhnya ini merupakan kegiatan spiritual

untuk agama Hindu, namun Gusti Ngurah Darsana mampu merangkul Lale Dumilah dan teman-

temannya yang bukan orang Hindu untuk ikut berpartisipasi (Sembalun Rinjani, 184). Keinginan

Gusti Ngurah Darsana untuk mengikutsertakan Lale Dumilah dan teman-temannya adalah untuk

meningkatkan keakraban serta toleransi antarteman, tidak ada maksud lain apalagi usaha untuk

melakukan gerakan konversi agama.

Bentuk kegiatan semacam ini sesungguhnya merupakan salah satu usaha yang dilakukan

Gusti Ngurah Darsana untuk membuka mata teman-temannya yang berbeda agama.

Pengertiannya adalah membuka mata dalam hal bagaimana mensyukuri segala anugerah serta

kebesaran Tuhan, tidak selalu merasa sombong dan menganggap diri paling baik.

“Mula keto tetujoné iraga menek ka gunung...Apang bisa ngrasayang yen idup iragané
sujatiné sing ada artiné bandingang teken kasempurnaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Keto masih apang matilesang dewek, tusing sombong, apa buin nyapa kadi aku.”
(Sembalun Rinjani. 167).52

52
“Memang begitu tujuan kita mendaki gunung...Agar dapat merasakan kalau hidup kita tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan kesempurnaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Begitu pula agar kita mampu mengendalikan
diri, tidak sombong, apalagi menganggap diri paling baik.”

99
Secara tidak langsung melalui acara mendaki (tirtha yatra) ke Gununng Rinjani, Gusti

Ngurah Darsana telah membuka jalan menumbuhkan kesadaran teman-temannya tentang

kebesaran Tuhan, yang berujung pada peningkatan sikap saling menghargai sesama makhluk

ciptaan-Nya. Setibanya di puncak gunung semua peserta pendakian merasakan hal yang sama,

yaitu mereka sadar akan kebesaran Tuhan. Reaksi teman-temannya sesama pendaki membuat

Gusti Ngurah Darsana bahagia. Apa yang menjadi tujuan utama pendakian telah tercapai

meskipun harus dibayar dengan rasa lelah serta musibah kecil yang menimpa Lale Dumilah.

Gusti Ngurah Darsana sebagai sosok yang berpandangan serta berwawasan multikultur

mampu mengadaptasi dan mengapresiasi berbagai nilai kebudayaan. Baginya manusia tidak

seharusnya dibatasi oleh ruang gerak suatu tradisi, disekat-sekat atas dasar perbedaan budaya

etnik. Lebih-lebih pada era globalisasi yang telah mampu mengantarkan manusia pada dunia

tanpa batas. Tradisi masa lalu yang telah usang serta tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman

sudah sepantasnya direstorasi. Kebebasan menentukan serta menjalankan pilihan merupakan

salah satu hak yang paling dihormati pada era globalisasi, lebih-lebih pilihan tersebut

menyangkut hal paling mendasar dalam kelangsungan hidup, yaitu kebebasan menentukan

pasangan. Karena itulah, ia menetapkan pilihan hidup untuk mencintai Lale Dumilah seorang

gadis Sasak yang memeluk agama Islam. Keinginan Gusti Ngurah Darsana untuk

mempersunting Lale Dumilah merupakan suatu gambaran bahwa etnisitas serta agama tidak

mampu membatasi ruang gerak asmara. Keseriusannya menjalin cinta dinyatakan pada Lale

Dumilah ketika akan pulang ke Bali:

“Né ciriné tresnan tiangé pamuput serahang tiang kapining Lale Dumilah. Tiang tusing
ngelah apa, among ukudan jatma lara satmaka kedis ngempu awak ngandelang buah

100
kayu di alase. Dumadak Denda pageh bareng ajak tiang nuut tukad uli pucak gunungé
nganti teked di segara, salunglung subayantaka” (Sembalun Rinjani, 198).53
Menjalin hubungan dengan etnik yang berbeda bukan suatu hal yang tabu bagi orang-

orang pengusung ideologi multikulturalisme seperti Gusti Ngurah Darsana. Pernikahan eksogami

yang dijalani dari sisi tradisi merupakan sebuah pernikahan yang tidak dibenarkan. Lebih-lebih

Gusti Ngurah Darsana merupakan bagian dari kaum tri wangsa yang cenderung

mempertahankan tradisi lama dengan aroma feodalisme yang kental.54 Sebagai manusia dengan

pemikiran modern, nilai tradisi yang dinilai kurang menghargai hak asasi manusia itu ditolaknya

mentah-mentah. Ia mampu meyakinkan keluarganya bahwa jalannya untuk menikahi Lale

Dumilah tidaklah salah.

Meskipun berhasil meyakinkan keluarganya, Gusti Ngurah Darsana mendapatkan

penolakan dari keluarga Lale Dumilah atas rencananya menikahi Lale Dumilah. Kedua orang tua

Lale Dumilah menentang pernikahan mereka, tidak bisa menerima anaknya menikah dengan

laki-laki yang berlainan agama dan etnik. Hal itu menyebabkan kedua orang tua Lale Dumilah

menjodohkan Lale Dumilah dengan Raden Nuna (sepupu Lale Dumilah). Lale Dumilah dengan

tegas menolak perjodohan tersebut. ”Beeh, Inaq jag setata netehang awak tiangé apang

ngenyakin batur sadulur doing mara tiang anak luh, yaning ianq bas sanget ngalihang tiang

kurenan, melahan sapihang.” (Gitaning Nusa Alit, 33).55 Akhirnya Lale Dumilah lebih memilih

53
“Ini tanda cinta yang akhirnya saya serahkan kepada Lale Dumilah. Saya tidak memiliki apa
pun, bagaikan burung yang hidup mengandalkan buah di tengah hutan. Semoga dinda teguh
bersama dengan saya mengarungi sungai dari puncak gunung hingga di laut, sehidup semati
dalam keadaan suka dan duka.”
54
Umumnya yang dimaksud dengan Tri Wangsa yaitu Brahmana, Ksatria, dan Vaisya. Sebaliknya, yang disebut
dengan Sudra adalah yang tergolong Jaba. Namun, penerapan sistem wangsa seperti ini telah banyak
menimbulkan polemik dalam masyarakat Hindu Bali. Menimbulkan kesalahpahaman berabad-abad sebagai salah
satu dampak berkepanjangan feodalisme zaman kerajaan dan zaman penjajahan. Wiana, Hal. 11-13
55
“Beeh, ibu selalu memaksa saya untuk menerima perjodohan hanya karena saya seorang perempuan, kalau ibu
terlalu memaksa, lebih baik impaskan saja.”

101
Gusti Ngurah Darsana dan mereka memutuskan untuk kawin lari, menjalani proses pernikahan

meskipun tanpa persetujuan orang tua Lale Dumilah. Kedua tokoh utama ini membangun konflik

atas dasar cinta yang mewujudkan multikuluralisme melalaui jalur pernikahan multi-etnik.

Konflik terjadi sebagai akibat pernikahan eksogami yang dijalani Gusti Ngurah Darsana dan Lale

Dumilah. Generasi muda sebagai tokoh utama pengusung ideologi multikulturalisme membuka

jalan konflik demi satu keyakinan yang dipandang sebagai suatu kebenaran. Jika saja mereka

bukan individu yang mengusung ideologi multikulturalisme, tentu saja akan menyerah pasrah

pada adat serta tradisi yang mengekang kebebasan untuk menentukan pilihan.

Konflik antara Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah dan keluarga besarnya merupakan

suatu titik di mana multikulturalisme tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah

masyarakat. Masyarakat yang tertutup-atau lebih tepatnya konservatif- atas multikulturalisme

menjadi satu tantangan tersendiri bagi tokoh pengusung ideologi multikulturalisme. Konflik

dalam masyarakat multikultur memang tidak dapat dihindari sebagai bagian sebuah perubahan

sosial. Konflik yang terjadi mungkin bersifat fungsional (baik) dan disfungsional (buruk) bagi

hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu

keseluruhan (Irving, 1998: 157). Konflik yang diciptakan oleh tokoh dalam novel ini cenderung

mengarah pada konflik yang fungsional. Sebab dari konflik ini dihasilkan hubungan yang kian

baik diantara individu, serta meningkatkan rasa toleransi dalam bermasyarakat.

Konsekuensi yang harus diterima oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah sebagai

pembangun konflik adalah tidak diperolehnya restu dari kedua orang tua Lale Dumilah, bahkan

keluarga besar Lale Dumilah tidak menghadiri upacara pernikahan mereka. Sebuah risiko yang

cukup berat bagi Lale Dumilah ketika hari besar dalam hidupya harus dilalui tanpa dukungan

orang tua, lebih-lebih ia mendapat ancaman dari keluarga besarnya, bahkan dianggap anak yang

102
tidak berbakti pada orang tua. Keluarga besar Lale Dumilah menolak kehadiran kembali Lale

Dumilah karena dianggap telah melanggar aturan adat sehingga ia tidak lagi dianggap menjadi

bagian dari keluarga. “Yen tuara nyak kenten melahan kutang sampunang baanga mulih ka

Sengkol” (Gitaning Nusa Alit,58).56 Konflik yang dihadapi oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale

Dumilah merupakan bentuk konflik realistis sebagai akibat dari kekecewaan keluarga besar Lale

Dumilah atas keputusan yang diambil. Konflik realistis merupakan akumulasi kekecewaan

sebagai akibat tidak terpenuhinya tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam sebuah komunitas

sosial (Poloma, 2004: 110). Tidak terpenuhinya tuntutan keluarga besar Lale Dumilah-yaitu agar

Lale Dumila tidak menikah dengan lelaki yang tidak seiman-menjadi alasan utama konflik

tercipta.

Konflik realistis yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah memang tidak

secara fisik dihadapi oleh mereka. Namun, konflik menyerang psikologi mereka dan

berpengaruh pada ketahanan fisik. Tekanan secara psikologi membuat Lale Dumilah menangis

berhari-hari menjelang pernikahannya, membuatnya merasa lemah sehingga jatuh sakit. Dampak

psikologis dari konflik yang dihadapi Lale Dumilah rupanya mempengaruhi ketahanan fisiknya,

sehingga lemahnya jiwa akibat tekanan psikologi turut mempengaruhi lemahnya kondisi fisik.

Sakit yang diderita Lale Dumilah menjelang hari pernikahannya membuat semua keluarga Gusti

Ngurah Darsana panik. Sakit yang tidak wajar dialami Lale Dumilah, menyebabkan Gusti

Ngurah Darsana meminta bantuan seorang dukun bernama Amaq Tirah.

Rupanya konflik realistis yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah

berujung pada konflik nonrealistis. Konflik nonrealistis ini pada dasarnya memiliki motif yang

sama dengan konflik realistis, hanya jalan untuk menyampaikan konfliknya cenderung mengarah

56
“Kalau tidak mau mengikuti aturan adat, lebih baik dibuang, jangan biarkan kembali ke Sengkol.”

103
pada hal-hal yang berbau magis (Poloma, 2004: 110). Konflik yang telah mengarah pada konflik

nonrealistis kini tidak hanya dialami Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah tetapi telah

melibatkan Amaq Tirah sebagai pihak ketiga yang mencoba menjadi penengah dengan berusaha

menghadapi serangan konflik nonrealistis (magis) tersebut. Bentuk penyelesaian konflik yang

dihadirkan oleh Amaq Tirah juga bersifat nonrealistis, tetapi berfungsi secara maksimal untuk

menyelesaikan konflik yang dihadapi Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah. Amaq Tirah

dapat membantu Lale Dumilah sehingga ia sembuh seperti sediakala dan melangsungkan

upacara pernikahannya. Setelah menikah dengan Gusti Ngurah Darsana, Lale Dumilah resmi

menjadi bagian dari keluarga besar Gusti Ngurah Darsana dan mendapatkan nama baru, yaitu Jro

Ratna Dumilah. Konflik, realistis maupun nonrealistis yang dihadapi oleh Gusti Ngurah Darsana

dan Lale Dumilah merupakan bagian dari konsekuensi mereka menjalani pernikahan eksogami.

Pernikahan antaretnik sebagai salah satu simbol kemultikulturan mereka dalam

bermasyarakat. Selain melalui pernikahan, dukungan terhadap multikulturalisme yang

ditunjukkan oleh Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah adalah masalah kebebasan

menjalankan keyakinan beribadah setiap individu. Gusti Ngurah Darsana sadar betul akan

kesederajatan serta kebebasan dalam memilih dan menjalankan keyakinan agama. Kebebasan

dalam menjalankan aktivitas serta ibadah berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing

sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang pasal 29 ayat 2. Bahwa setiap warga negara

diberikan kebebasan memilih keyakinan serta bebas melakukan ibadah sesuai dengan

keyakinannya masing-masing. Penerapan pasal ini jelas terlihat dalam keseharian keluarga Gusti

Ngurah Darsana. Ketika bertugas di Atambua ia memiliki pembantu bernama Meina Victoria

seorang Nasrani. Dalam keseharian menjalankan ibadah Gusti Ngurah Darsana dan istrinya tidak

pernah melakukan pengekangan apalagi pelarangan. Kebebasan menjalankan ibadah sesuai

104
dengan keyakinan tetap dijalankan Meina meskipun hidup dalam keluarga yang berbeda aktivitas

keagamaannya. Setiap hari Minggu Meina diberikan kebebasan untuk menjalankan kebaktian di

gereja yang tak jauh dari kediaman Gusti Ngurah Darsana.

Sejatinya hubungan manusia dengan Sang Pencipta merupakan hubungan yang paling

individu dan merupakan hak asasi yang paling mendasar. Sepantasnya memang dihargai dan

dihormati karena sedikit kesalahpahaman yang menyangkut keyakinan akan berakibat fatal.

Dunia mencatat sejarah kelam peperangan yang disebabkan oleh sikap tidak saling menghargai,

bahkan keinginan untuk mengekspansi (menaklukan) keyakinan lain. Perang salib terjadi pada

abad ke-11 hingga abad ke-16. Perebutan tanah suci yang terjadi antara umat Muslim dan

Kristen itu memakan banyak korban jiwa serta diklaim sebagai perang terburuk sebagai akibat

perbedaan keyakinan.57 Indonesia pun mencatat kelamnya ketidakharmonisan antar etnik ketika

kasus di Poso pada Mei 2000 (Astawa, 2005: 58). Bahkan, hingga kini rasanya kebebasan

menjalankan ibadah serta keyakinan di negeri ini masih menjadi barang mahal. Keberadaan

kaum mayoritas yang terlalu fanatik, bahkan cenderung cauvinisme serta sering kali bertindak

frontal (radikal) dalam menyikapi masalah perbedaan keyakinan.

Pengalaman hidup mengajarkan Gusti Ngurah Darsana menjadi manusia dewasa serta

mapan akan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat multietnik. Pekerjaan sebagai pegawai,

bank BRI mengantarkannya untuk bertugas di berbagai daerah. Inilah yang kemudian menjadi

dasar baginya untuk memahami tidak hanya tradisi, tetapi juga agama masyarakat di mana ia

bertugas. Oleh karena i9tulah Gusti Ngurah Darsana selain mempelajari ajaran agamanya, ia juga

mempelajari ajaran agama lain. Hal ini terlihat ketika Maeina Victoria masuk ke dalam ruang

57
Perang Salib ini dikenal sebagai perang terburuk sepanjang sejarah, menewaskan ratusan juta manusia serta
mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan nasrani dan muslim. David Nicolle dan Christa Hook. Perang Salib I
1096-99, Penaklukan Tanah Suci. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal.1-5.

105
baca Gusti Ngurah Darsana . Di sana ia melihat tidak hanya ada buku bacaan ajaran Hindu tetapi

ada juga buku ajaran Budha, Injil serta Tafsir Al Qur‟an. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan

dari istrinya kepada Meina Victoria, “Apa salahné melajahin agama lenan? Bapak mula seneng

maguru teken ane patut dadiang guru, apang tusing ngaden agama iragané dogen ané paling

melaha.” (Gitaning Nusa Alit, 189).58 Kesadaran untuk mau mempelajari keyakinan dari agama

lain dengan tujuan untuk membuka wawasan merupakan salah satu jalan menjaga keharmonisan

dalam bermasyarakat di lingkungan yang heterogen.

Kegemaran Gusti Ngurah Darsana maupun Ratna Dumilah membaca serta mempelajari

budaya serta agama dari etnik lain, merupakan salah satu modal yang kuat untuk masuk dalam

pergaulan masyarakat multikultur. Pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari keyakinan lain

tidak lantas menjadi senjata untuk saling menjatuhkan, tidak menjadi bahan perbandingan untuk

melakukan penistaan pada kepercayaan lain. Akan tetapi sebagai dasar untuk meningkatkan

kesederajatan serta rasa saling menghargai ketika berbaur dalam satu lingkungan yang sama.

Kesadaran akan hal ini selalu ditunjukkan Gusti Ngurah Darsana ketika membicarakan masalah

keagamaan dengan etnik lain. Ia tidak hanya menyebutkan istilah-istilah dalam agama Hindu,

saja, namun acapkali ia menggunakan istilah-istilah dari agama lain yang ia ketahui. Hal tersebut

dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“...di panegarané ané peradabané rusak, jahiliah. Nanging ajaran agamané tetep asalné
uli Tuhan Yang Maha Esa, Hyang Widhi, Thian, Allah, Gusti Sang Maha Kuasa, Nenek
Kaji Sak Kuasa, Sang Maha Agung,..sakasidan manusané ngucapang,” kenten pesaurné
Gusti Ngurah. (Gitaning Nusa Alit, 186).59

58
“Apa salah mempelajari agama lain? Bapak memang senang belajar dengan orang yang mengerti dan pantas
dijadikan guru agar tidak selalu merasa agama kita yang paling baik”
59
“Di negara yang peradabannya rusak, jahiliyah. Namun ajaran agama tetap berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
Thian, Allah, Gusti Sang Maha Kuasa, Nenek Kaji Sak Kuasa, Sang Maha Agung,,,sebisanya manusia
mengucapkan,” jawab Gusti Ngurah.

106
Penjelasan yang diberikan Gusti Ngurah Darsana seperti kutipan di atas adalah ketika ia

berdialog dengan Meina Victoria. Hal itu terlihat dari istilah-istilah yang digunakan cukup

beragam, tidak hanya istilah dalam agama Hindu, tetapi juga beberapa istilah dari agama lain.

Muncul istilah Jahiliyah, yaitu sebuah masa di mana manusia dipenuhi dengan kegelapan,

kebodohan, serta belum mengenal Tuhan. Istilah ini digunakan oleh agama Islam. Selain itu ada

penyebutan nama Tuhan dari beberapa agama serta kepercayaan yang turut menjadi bagian

pembicaraan. Sikap serupa juga dilakukan Gusti Ngurah Darsana ketika ia berbicara masalah

agama dengan lawan bicara yang berlainan agama dengannya, di antaranya adalah saat berbicara

dengan Lalu Wiradana, Romo Ulumondo, Cik Amio atau Loq Sudangsa. Setiap pembicaraan

yang mengarah pada masalah ritual agama serta simbol-simbol keagamaan, ia selalu

menyampaikannya dari berbagai perspektif agama. Kacamata penilaian suatu masalah tidak

hanya dari satu sisi saja, tetapi dari berbagai sudut pandang agama, sehingga lawan bicara tidak

merasa bahwa agamanya direndahkan. Gusti Ngurah Darsana tidak menunjukkan sikap fanatik

yang berlebihan atas keyakinannya. Hal ini membuat lawan bicara berbeda keyakinan merasa

nyaman.

Ratna Dumilah sama halnya dengan Gusti Ngurah Darsana. Ia mencoba menjadi individu

yang melihat agama tidak sebagai sebuah media untuk membedakan seseorang dengan lainnya.

Setiap agama memang menawarkan jalan yang berbeda, menyodorkan penyelesaian yang

berbeda terhadap suatu peristiwa, tetapi menghadirkan satu persamaan yang hakiki, yaitu

keyakinan pada satu kebenaran Tuhan serta cinta kasih. Perbedaan yang terdapat di antara agama

satu dan lainnya hanyalah perbedaan fisik, perbedaan yang tampak oleh mata, tetapi

sesungguhnya yang dituju adalah sama. Keberagaman ini oleh Ratna Dumilah dianalogikan

seperti banyak aliran sungai yang mengalir, tetapi pada akhirnya toh akan menyatu menuju satu

107
lautan yang luas. “Patuh buka nuut aliran tukadé ngatebenang sinah pacang teked di segarané

agung tanpa tepi” (Gitaning Nusa Alit, 179). 60 Analogi sungai yang mengalir adalah untuk

melukiskan adanya banyak agama serta kepercayaan, sedangkan lautan luas merupakan tujuan

akhir (Tuhan) dari setiap aliran sungai tersebut. Penganalogian yang dilakukan oleh Ratna

Dumilah merupakan salah satu jalan untuk mempermudah menjelaskan tentang keberadaan

keberagaman yang harus disikapi dengan bijaksana. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan

sikap toleransi pada lawan bicara dan mencoba memberi pengertian secara sederhana tentang arti

sebuah perbedaan.

Sikap yang ditunjukkan kedua tokoh utama ini mencerminkan individu yang telah

memahami betul arti penting kesederajatan dalam bermasyarakat. Mereka membawa angin segar

bagi penguatan rasa toleransi multietnik, membangun sikap saling memiliki dan menghormati

dalam pergaulan bermasyarakat. Secara teoretis (melalui dialog dan diskusi) mereka mampu

memberikan pemahaman pada orang-orang di sekitar mereka tentang bagaimana seharusnya

menyikapi diferensiasi sosial. Secara praktis (melalui kegiatan-kegiatan bersama) mereka

mampu merangkul individu-individu multietnik untuk berbaur bersama tanpa ada kesenjangan

dan rasa curiga. Tokoh utama inilah yang menjadi agen penyebarluasan ideologi

multikulturalisme.

6.2 Respons Tokoh Sekunder terhadap Multikulturalisme

Tokoh sekunder mendapatkan porsi penceritaan yang tidak begitu dominan, intensitasnya

dalam penceritaan berada di bawah tokoh utama. Meskipun porsi penceritaannya yang tidak

60
“Bagaikan aliran sungai ke hilir pasti akan sampaii di lautan besar tak bertepi”

108
sedominan tokoh utama, keberadaan tokoh sekunder mampu menggerakkan alur cerita. Bahkan,

keberadaan tokoh sekunder dalam trilogi novel Sembalun Rinjani mampu mempertegas posisi

multikulturalisme di tengah jalinan peristiwa. Beberapa tokoh sekunder dalam trilogi novel

Sembalun Rinjani bersikap kooperatif terhadap multikulturalisme. Mereka menyadari hidup

dalam masyarakat yang heterogen. Jadi, harus bisa menerima segala bentuk perbedaan yang

mungkin ditemukan dalam bersosialisasi. Tokoh sekunder yang memiliki pemahaman baik

tentang multikulturalisme di antaranya adalah Pan Kobar dan Wayan Rempuh. Mereka adalah

pasangan suami istri asal Bali yang telah menetap lama di Lombok. Pekerjaan sehari-hari sebagai

petani dan pedagang membuat keseharian mereka selalu berinteraksi dengan banyak individu

yang berlatar belakang berbeda-beda. Meskipun bukan dari kaum berada, namun mereka sangat

paham bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai kebersamaan serta nilai kemanusiaan. Mereka

mengadopsi seorang anak laki-laki yang berasal dari Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur) karena

kedua orang tua anak tersebut telah hilang akibat terjadinya kerusuhan di Selong tempat orang

tua anak tersebut bekerja. Pan Kobar dan Wayan Rempuh sadar betul bahwa anak yang mereka

diadopsi adalah anak dari suku yang berbeda dengan mereka. Latar belakang orang tua anak itu

pun tidak diketahui. Rasa kemanusiaan menjadikan mereka menghapus sekat yang dibawa oleh

perbedaan etnik. Anak tersebut diasuh seperti anak sendiri dan diberi nama Wayan Galang.

Rasa kemanusiaan Pan Kobar dan Wayan Rempuh terlihat lagi ketika suatu hari Wayan

Rempuh sedang berjualan di pasar bertemu dengan seorang gadis gelandangan yang tengah

mengandung. Wayan Rempuh menolong gadis yang bernama Asrmarinah tersebut, memberinya

makan, pakaian dan tempat untuk tingggal di rumahnya. Asmarinah adalah seorang gadis yang

berasal dari Desa Tolot-tolot, Kecamatan Jonggot, Lombok. Ia terpaksa menggelandang karena

ditinggal mati oleh suaminya beberapa bulan setelah menikah. Asmarinah membantu Wayan

109
Rempuh berjualan di pasar sebagai bentuk balas budi atas pertolongan yang diberikan padanya.

Setelah melahirkan, Asmarinah menyerahkan anaknya kepada Wayan Rempuh dan Pan Kobar.

Hal itu dilakukan karena ia telah berjanji pada diri sendiri bahwa jika ada yang mau menolong

saat dalam kesusahan, ia rela menyerahkan anaknya pada si penolong. Anak tersebut kemudian

diberi nama Made Sinar. Asmarinah kemudian bertemu dengan seorang lelaki yang bernama

Gede Made Samudra. Mereka saling jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah dan pindah

menuju Semarang. Tindakan Pan Kobar dan Wayan Rempuh untuk mau mengadopsi dua anak

yang jelas-jelas bukan dari suku mereka cukup menunjukkan seberapa besar kemapanan ideologi

multikulturalisme yang dimiliki, lebih-lebih mereka juga telah menolong Asmarinah yang saat

itu tengah mengalami masa sulit. Tidak ada rasa curiga, tidak ada kecemburuan, apalagi motif

ekonomi yang melandasi setiap perbuatan Pan Kobar dan Wayan Rempuh ketika membantu

sesamanya yang dalam kesulitan. Inilah sesungguhnya rasa kemanusiaan itu.

Rasa kemanusiaan boleh jadi merupakan modal dasar untuk membangun sikap toleransi

dan sikap toleransi inilah yang menentukan seberapa jauh multikultural dapat diterima seseorang

atau kelompok masyarakat. Semakin besar sikap toleran, semakin besar pula kesempatan

multikulturalisme berkembang di setiap individu. Jadi, bisa disebutkan bahwa antara rasa

kemanusiaan, toleransi, serta multikulturalisme memiliki satu hubungan sebab akibat yang

berbanding lurus satu sama lainnya.

Tokoh sekunder berikutnya yang juga memiliki pandangan positif terhadap multikultur

adalah Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih. Mereka adalah sepasang suami istri yang memilih

pernikahan eksogami sebagai jalan hidup. Sama halnya dengan kedua tokoh utama yang

melakukan pernikahan eksogami, pernikahan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih pun tidak

berjalan dengan mudah. Lalu Wiradana laki-laki dari enik Sasak, sedangkan Gusti Ayu Sasih

110
adalah perempuan etnik Bali. Pernikahan mereka pun tidak mendapat persetujuan dari orang tua

Gusti Ayu Sasih karena perbedaan adat dan agama. Lalu Wiradana sadar betul akan jalan sulit

yang akan ditempuh ketika memutuskan pilihannya menikahi Gusti Ayu Sasih karena adat

mengekang kebebasan mereka menentukan pilihan. ”Nanging adaté cara lawas kari keweh

nerapang yen pradené panganténané pada malenan adat lan agama.” (Gitaning Nusa Alit,

27).61 Mereka pun mengambil keputusan untuk melakukan kawin lari. Hali inidan hal ini tentu

saja menyulut kemarahan keluarga Gusti Ayu Sasih. Akibatnya Gusti Ayu Sasih mendapat

perlakuan yang tidak baik dari keluarganya sendiri, tidak dianggap anak oleh kedua orang

tuanya. ”Patuh cara mbok ipidan mara icéna mulih mapamit sesubané ada panaké Agus.”

(Gitaning Nusa Alit, 104).62 Kasus semacam ini juga dialami tokoh utama dan terlihat peran adat

yang sangat otoriter, yaitu mengatur masyarakatnya tanpa mempertimbangakan sisi

kemanusiaan.

Kutipan di atas menunjukkan betapa adat telah dengan ketat mengatur kebebasan

individunya, merampas hak-hak paling dasar manusia, yaitu menentukan pilihan. Keluarga Gusti

Ayu Sasih masih memegang adat lama yang terkesan kaku, feodal, bahkan bertindak semena-

mena atas masyarakatnya. Adat semacam ini menjadikan mereka kurang terbuka terhadap

perubahan yang menuntut pembaruan di sekitar mereka. Adat seharusnya dapat bergerak lebih

dinamis mengikuti perkembangan lingkungan, bukan malah menjadi sesuatu yang diberlakukan

secara baku dan bersifat kaku. Adat pada dasarnya sangat penting untuk menguatkan identitas

suatu kelompok sosial. Namun, adat juga harus mampu menjadi media bagi berkembangnya

kelompok sosial tersebut. Jika dianalogikan, adat layaknya sebuah baju, ketika baju telah usang

61
“Namun melihat adat yang masih saja seperti dulu, sulit rasanya jika pasangan pengantin berbeda adat dan
agama”
62
“Sama seperti kakak dulu, izinkan pulang setelah lahir si Agus.”

111
atau rusak, maka baju tersebut patut diganti sesuai dengan mode terbaru, tetapi masih dalam

norma kesusilaan yang berlaku.

Pengalamannya menghadapi konflik dengan adat yang sangat kaku dalam menyikapi

multikulturalisme, menjadikan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih kian terbuka pemahamannya.

Mereka menyadari bahwa kebebasan menentukan pilihan adalah hak setiap orang. Kebebasan

menikmati hak inilah yang menjadi bagian penting. dari kehidupan multikultur. Karena itu, saat

Gusti Ngurah Darsana dan Lale Dumilah (adik Lalu Wiradana) memutuskan untuk menikah,

Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih merupakan orang yang paling mendukung keputusan itu.

Mereka tahu bahwa adat Sasak dalam keluarga besar Lalu Wiradana akan sangat menolak

keputusan Gusti Ngurah Darsana menikahi adiknya. Namun, ia tetap memberi jalan serta

mencoba membujuk kedua orang tuanya. Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih akhirnya berhasil

memberi pengertian kepada kedua orang tuanya atas keputusan yang diambil oleh Gusti Ngurah

Darsana dan Ratna Dumilah. Mamiq dan inaq Wiradana akhirnya mampu menerima kenyataan

bahwa pernikahan beda adat dan agama bukanlah hal yang tabu. Keberhasilan Lalu Wiradana

membujuk orang tuanya disampaikan kepada Ratna Dumilah melalui sebuah surat. “Liang

Manahné sawireh reramané prasida nyak ngampurayang kapelihanné ngalahin nganten ngajak

Gusti Ngurah Darsana ané malenan adat lan agamanné.” (Gitaning Nusa Alit, 206).63

Keberhasilan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih mengubah cara pandang mamiq dan

inaqnya tentang multikulturalisme menunjukkan bahwa ideologi multikulturalisme dapat di

tularkan kepada individu lain dengan cara persuasif dan bertahap. Meskipun tidak mudah, namun

keyakinan Lalu Wiradana dan Gusti Ayu Sasih menjadikan segalanya lebih baik. Mereka mampu

63
“Lega rasanya mengetahui kedua orang tuanya telah memaafkan kesalahannya dahulu ketika berani mengambil
keputusan untuk menenikah dengan Gusti Ngurah Darsana yang berbeda adat dan agama .“

112
membuat kedua orang tuanya menerima kenyataan bahwa Ratna Dumilah telah memilih jalan

yang terbaik dalam hal ini adalah pernikahan eksogami. Sama dengan dirinya dahulu yang

dengan teguh juga bertahan untuk menikahi Gusti Ayu Sasih.

Jika dua pasang tokoh sekunder di atas dengan mantap dan yakin mengusung ideologi

multikulturalisme, bahkan mencoba menularkan keyakinan mereka pada individu lain, berbeda

lagi dengan tokoh sekunder lainnya yang bersikap ambivalen ketika berhadapan dengan

heterogenitas. Tokoh ambivalen ini gamang menentukan pilihan, terhimpit diantara menerima

atau justru menolak multikulturalisme meskipun akhirnya menentukan pilihan untuk berdiri pada

sisi berkoalisi dengan multikulturalisme. Tokoh ini adalah mamiq64 dan inaq Wiradana. Mereka

adalah orang tua Lalu Wiradana dan Lale Dumilah. Kegamangan kedua tokoh sekunder ini

terlihat ketika harus memberi keputusan saat Lale Dumilah akan menikah dengan Gusti Ngurah

Darsana.

Mamiq dan inaq Wiradana sesungguhnya tidak melarang anaknya berbaur serta bergaul

di lingkungan yang heterogen. Bahkan, mereka tidak melarang anak pertamanya, Lalu Wiradana,

saat memutuskan untuk menikahi gadis dari etnik dan agama yang berbeda. Namun, sikap serupa

tidak ditunjukkan ketika anak perempuannya hendak menikah dengan laki-laki yang berbeda

adat dan agamanya. Perbedaan agama dan adat menjadi alasan untuk menolak pernikahan anak

perempuan mereka. “Yen alih kaberatan dong saja kaberatan, ngelah panak nganten ajak anak

uli joh buina malenan agama” (Gitaning Nusa Alit, 31).65 Pernyataan yang dilontarkan mamiq

Wiradana menyiratkan penolakan terhadap multikulturaisme yang akan dikukuhkan melalui

perkawinan.

64
Panggilan ayah dalam keseharian suku Sasak
65
“Jika dibilang keberatan tentu saja keberatan, punya anak menikah dengan orang dari jauh dan berbeda agama.”

113
Sayangnya pernyataan tersebut tidak dilontarkan saat anak laki-lakinya akan menikahi

perempuan dari etnik dan agama yang berbeda. Dari hal itu terlihat bahwa mamiq dan inaq

Wiradana bersifat ambivalen, serta masih berada dalam hegemoni sistem patriarki. Saat anak

laki-laki menentukan pilihan, mereka mendukung tanpa rasa canggung. Namun ketika anak

perempuannya akan menentukan pilihan hidup, mereka malah terlalu jauh mengintervensi.

Mereka menjadikan adat serta tradisi usang sebagai pembenaran atas tindakan mereka menolak

pernikahan anaknya dengan Gusti Ngurah Darsana. Tradisi yang menganut paham patriarki

sering kali tidak memberikan hak yang wajar pada kaum perempuan. Budaya patriarki berkaitan

dengan sistem kekeluargaan patriarkat yang menggariskan bahwa anak laki-laki adalah penerus

keluarga. Oleh karena itulah anak laki-laki sangat penting dilihat dari segi hukum, sosial,

ekonomi, budaya dan agama sehingga anak laki-laki cenderung dinomorsatukan (Atmadja dan

Atmadja, 2005:110). Ketika perempuan menikah dengan laki-laki maka ia akan menjadi hak

keluarga laki-laki. Kewajiban dan hak atas keluarganya sendiri tidak akan diakui lagi, lebih-lebih

anak perempuan tersebut menikah dengan laki-laki yang berbeda adat serta agama. Inilah yang

menjadi alasan orang tua penganut tradisi patriarki tidak mengizinkan anak perempuannya

menikah dengan laki-laki berbeda adat serta keyakinan dengan mereka. Dasar pemikiran sistem

tradisi patriarki ini sesungguhnya merupakan representasi dari ketidakpahaman tradisi menyikapi

multikulturalisme, ketidakmampuan adat menyikapi heterogenitas serta hak asasi manusia.

Parahnya lagi, situasi tradisi seperti ini dipertahankan oleh beberapa masyarakat tradisi yang

seolah enggan beranjak dari keterbelakangan.

Situasi tradisi seperti inilah yang menjadikan mamiq dan inaq Wiradana menghalangi

niat Lale Dumilah menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Mereka memiliki ketakutan mendapat

cibiran dari masyarakat sekitarnya, “Elek saja teken pisagané mirib tusing taen mituturin

114
pianak.” (Gitaning Nusa Alit, 31).66 Rasa takut yang muncul di pikiran kedua orang tua Lale

Dumilah merupakan sesuatu yang wajar ketika mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang

belum bisa menerima multikulturalisme secara utuh. Terpengaruh oleh lingkungan menyebabkan

kedua orang tua Lale Dumilah bertindak sesuai dengan adat serta tradisi. Pembenarannya hanya

berlandaskan kepada adat serta tradisi yang menolak kebebasan perempuan menjalankan

ideologi multikulturalismenya, jadilah ia sebuah sistem intimidasi bagi kaum hawa.

Akhirnya mamiq dan inaq Wiradana mengikuti keputusan rapat keluarga besar yang

berpegang pada adat serta tradisi, yaitu membuang anak perempuannya dengan tidak hadir pada

upacara pernikahan anak mereka. Ini adalah tindakan nyata mamiq serta inaq menolak

multikulturalisme yang mencoba dihadirkan oleh anak perempuannya melalui pernikahan

eksogami. Mereka menepis kemungkinan bernegosiasi yang dicoba ditawarkan oleh Lalu

Wiradana untuk menerima keputusan Lale Dumilah dan memberikan restu pada pernikahannya.

Dilema memang ketika harus menjadi sebuah pilihan antara kepatuhan terhadap tradisi atau

sebuah hubungan biologis dengan seorang anak. Namun, mamiq dan inaq Wiradana telah

menentukan pilihan yang terbaik bagi mereka, meskipun konsekuensinya berat memisahkan

hubungan emosional antara anak dan orang tua. Pada kesempatan ini mereka lebih memilih

posisi aman di depan adat dengan menjadi individu yang beroposisi dengan multikulturalisme,

dibandingkan dengan menjaga hubungan baiknya dengan sang anak.

Mengizinkan adat terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka dan dengan

sadar telah turut menjadi bagian oposisi dari multikulturalisme rupanya membawa beban

tersendiri bagi mamiq dan inaq Wiradana. Setelah berulang-ulang dibujuk dan diberi pengertian

oleh Lalu Wiradana akhirnya mamiq dan inaq sadar akan kesalahan yang telah dilakukan. Betapa

66
“Malu dengan tetangga jika dikatakan tidak pernah menasehati anak.”

115
kekeliruan yang telah mereka lakukan dengan membiarkan anak perempuannya menikah tanpa

restu dari mereka, Beban psikologis mereka rasakan bertambah berat ketika Lale Dumilah telah

pergi meninggalkan Lombok bersama suaminya. “Sedih saja kenehné tuara nyidaang nepukin

pianakné luas ninggalin tanah palekadané.” (Gitaning Nusa Alit, 112).67 Ratna Dumilah dan

Gusti Ngurah Darsana pergi menuju Bali untuk merampungkan prosesi upacara pernikahan

mereka yang belum tuntas.

Upaya memihak pada adat ternyata tidak selalu memberikan kenyamanan, tidak selalu

menjadikan jalan yang ditentukan adat lantas benar, setidaknya inilah yang dirasakan oleh

Mamiq dan inaq Wiradana setelah kepergian anak perempuannya. Mereka yang sebelumnya

lebih mendengarkan omongan keluarga besar daripada anak sendiri akhirnya menyesali

perbuatannya. Pertimbangan yang dulu sempat diberikan Lalu Wiradana kepada kedua orang

tuanya untuk menerima keputusan Lale Dumilah tidak diindahkan, hingga kini menimbulkan

penyesalan bagi mamiq dan inaq Wiradana, seperti tampak pada kutipan berikut.

“Kaden tiang sampun matuinget inaq apang ten bas sangat nuutang omongan anak len
ngutang pianak. Ané kelangan masih ja i raga.” (Gitaning Nusa Allit, 112).68

Kini mereka hanya mampu menyesali diri, bahkan bagi mamiq dan inaq ini merupakan

sebuah masalah baru yang harus diselesaikan sendiri tanpa campur tangan adat lagi. Penyesalan

mereka muncul setelah semuanya berlalu tanpa mereka tahu bagaimana jalan terbaik mengakhiri

konflik yang mereka bangun sendiri dengan anak perempuannya. Saling menyalahkan kemudian

menjadi buntut dari kekecewaan mereka atas diri mereka sendiri. ”Nanging kenehné inaq lan

mamiq Wiradana kari sungsut saling salahang ajak kurenanné, srebut cara gedahé pantigang.”

67
“Sedih rasanya tidak bisa melihat anak pergi meninggalkan tanah kelahirannya.”
68
“Bukankah saya sudah ingatkan Inaq agar tidak mendengarkan omongan orang lain untuk membuang anak. Yang
kehilangan toh akhirnya kita sendiri.”

116
(Gitaning Nusa Alit, 112).69 Setelah kekeliruan yang mereka lakukan dengan tidak memberikan

restu saat pernikahan Ratna Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana, mereka pun mencari jalan

untuk meminta maaf pada putri dan menantunya melalui surat. Sikap mamiq dan inaq Wiradana

ini menunjukkan bahwa mereka mulai menyadari arti multikulturalisme, meski itu dibawa oleh

anak perempuan yang dalam tradisi patriarki memiliki kedudukan marjinal. Kejadian ini

membuat mamiq dan inaq Wiradana belajar membuka diri terhadap proses multikultur, belajar

membangun toleransi diri, sehingga akhirnya dapat menerima multikulruralisme manjadi bagian

hidup mereka secara utuh. Proses ini kemudian menjadi proses pengakuan yang utuh atas

multikulturalisme oleh mamiq dan inaq Wiradana.

Setelah sempat melakukan penolakan terhadap multikulturalisme, kini mamiq dan inaq

Wiradana justru berbalik arah menerima dengan terbuka multikulturalisme tersebut. Berulang –

ulang rasa bersalah dan penyesalan mereka lontarkan atas tindakan mereka dahulu. Ketidak

pahaman terhadap apa dan bagaimana multikultur itu menjadikan mereka mudah terbawa

pengaruh negatif yang menggiring mereka untuk bertindak menentang multikultur tersebut.

Keterikatan pada sistem adat serta tradisi yang masih menjadikan multikultur sebagai oposisi

semakin menambah pandangan negatif mereka terhadap multikultur. Menjadi bagian dari sebuah

heterogenitas sosial memang bukanlah hal yang mudah karena pemahaman akan indahnya

keberagaman tidak hanya datang dari dalam diri, tetapi dibutuhkan dukungan dari lingkungan

sosial tempat individu tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang menjadi salah satu faktor

pembentuk karakter diri manusia ikut menentukan bentuk pencitraan individu terhadap

multikultur.

69
“Akan tetapi perasaan inaq dan mamiq Wiradana masih sedih dan mereka saling menyalahkan, bagaikan gelas
yang dibanting, hancur berkeping-keping.”

117
Tokoh sekunder hadir sebagai tokoh yang dengan pasti menerima multikultur, ada yang

bersikap ambivalen meskipun akhirnya memihak pada multikultur, ada pula yang dengan tegas

menolak multikultur. Tokoh yang dengan tegas menolak multikultur merupakan tokoh yang

dikecewakan oleh multikultur itu sendiri, hingga akhirnya memilih untuk bersikap reaktif

menentang multikultur. Tokoh sekunder ini diantaranya adalah Raden Nuna, ia adalah sepupu

dari Lale Dumilah yang sebelumnya telah dijodohkan dengannya. Karena memiliki sikap yang

kurang baik, Lale Dumilah menolak dijodohkan dengan Raden Nuna. Sikap buruk yang

ditunjukkan oleh Raden Nuna adalah ketika ia hendak memperkosa Lale Dumilah. “Tong

madaya dugasé singgah di jumah timpalné di Selong minuman tiangé isinina ubad tidur.

Nanging dugas tiang lakar prekosana pules tiangé kari sekedap sepera” (Gitaning Nusa Alit,

62). 70 Kepercayaan yang diberikan keluarga Lale Dumilah pada Raden Nuna untuk menjaga

anaknya ternyata disalahgunakan.

Kejadian ini memicu kemarahan Lale Dumilah yang membuatnya menjadi dendam

dengan Raden Nuna. Hingga akhirnya ia menolak untuk dijodohkan dengan Raden Nuna serta

memilih Gusti Ngurah Darsana untuk menjadi pendamping hidupnya. Raden Nuna yang cintanya

ditolak oleh Lale Dumilah merasa kecewa, bahkan lebih parah lagi setelah mengetahui bahwa

Lale Dumilah akan menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Ia yang paling keras menolak

rencana pernikahan antara Ratna Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana, lalu menghasut

keluarganya untuk ikut menentang rencana pernikahan tersebut. Ini adalah langkah awal yang

dijalankan Raden Nuna untuk menolak perkawinan eksogami yang akan dilangsungkan oleh

Lale Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana.

70
“Tidak disangka saat di rumah temannya di Selong minuman saya diberi obat tidur. Namun saat hendak
diperkosa saya masih dalam keadaan setengah sadar”

118
Rapat keluarga besar Lale Dumilah menjadi tempat yang paling tepat bagi Raden Nuna

untuk menghasut keluarga besarnya agar menolak rencana pernikahan Lale Dumilah. Rupanya ia

berhasil melakukan penghasutan tersebut. Seluruh keluarga besar dengan tegas menolak rencana

pernikahan Lale Dumilah. “Kanti peteng pabligbagané sengit, napi buin sasampuné misan,

paman, bibik, lan tetua-tetuané lenan teka milu ngebatang tat titi titah adat gumi Jonggaté.”

(Gitaning Nusa Alit, 58). 71 Hasil rapat keluarga memutuskan bahwa jika Lale Dumilah tetap

bersikeras menikah, maka ia akan dibuang secara adat karena telah menikah dengan laki-laki

yang berbeda adat dan agama.

Langkah awal yang dilakukan Raden Nuna untuk mencegah Lale Dumilah menikah

memang berhasil. Ia berhasil memperkeruh suasana rapat keluarga hingga akhirnya muncul

keputusan pembuangan Lale Dumilah secara adat. Namun, tidak cukup sampai di sana, ia

melanjutkan konfliknya dengan Lale Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana melalui jalur konflik

nonrealistis. Konflik nonrealistis ini menggiring individu yang berada dalam situasi konflik

untuk berkutat dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia spiritual, mistis, prelogis. Jalan

konflik ini dipilih Raden Nuna karena dengan konflik realistis ia tidak mendapatkan hasil

maksimal. Membangun konflik realistis rupanya kurang memuaskan keinginan Raden Nuna,

sehingga memilih untuk melanjukan konfliknya dengan Lale Dumilah dan Gusti Ngurah Darsana

di jalur nonrealistis.

Meskipun merupakan manusia modern, karena telah menempatkan diri pada sektor-

sektor formal, hal ini tidak lantas menjadikan pola pikir Raden Nuna menjadi seutuhnya modern.

Lingkungan tradisi menyebabkan ia memiliki pikiran untuk mengambil jalan mistis sebagai

71
“Hingga malam perdebatan sengit masih terjadi, apalagi setelah sepupu, paman, bibi dan tetua-tetua datang
menjabarkan aturan-aturan yang berlaku di tanah Jonggat.”

119
pelampiasan dendam. Hal ini wajar saja terjadi pada individu-individu yang hidup di “dunia

Timur”, karena kebudayaan Timur memiliki pandangan hidup yang lebih cenderung pada hal-hal

bersifat kerohanian, mistis, prelogis, dan kehidupan kolektif (Koentjaraningrat, 1990:121).

Tindakan Raden Nuna ini terlihat sejak awal kedatangannya ke rumah Gusti Ngurah Darsana

bersama rombongan keluarga besarnya untuk menyampaikan jawaban atas pinangan Gusti

Ngurah Darsana.”Nanging misan lan pamanné masebeng jengah. Anggon ngilangang kabilbilné

Raden Nuna lantas ngaroko klepus-klepus.” (Gitaning Nusa Alit, 67).72

Raden Nuna tidak sendiri dalam menjalankan niatnya menyakiti Lale Dumilah dengan

jalan mistis. Ia dibantu oleh ayahnya yang juga merasa kecewa dengan keputusan Lela Dumilah.

Peran ayah Raden Nuna di dalam konflik nonrealistis ini sebagai orang yang menjalankan guna-

guna kepada Lale Dumilah.”Pamanné mesuang lekesan lantas nginang. Peesné kecah-

kecuhanga di samping undagé.” (Gitaning Nusa Alit, 70).73 Melalui ludah inilah ayah Raden

Nuna menebarkan guna-guna kepada Lale Dumilah, hal ini tentu saja tidak dirasakan oleh orang-

orang di sekitarnya.

Lale Dumilah sadar betul bahwa Raden Nuna dan ayahnya merasa kecewa dengan

keputusan yang diambil untuk menikah dengan Gusti Ngurah Darsana. Namun, ia tidak pernah

menyangka bahwa keputusannya ini menjadi jalan untuk membangun konflik non-realistis

dengan sepupu dan pamannya. Lale Dumilah mulai merasakan efek dari guna-guna tersebut pada

malam hari saat ia bermimpi pakaiannya dibakar oleh Raden Nuna dan ayahnya. Setelah ia

bermimpi, seluruh badan mulai tidak bisa digerakkan dan menjadi lumpuh.

72
“Namun, sepupunya terlihat bersikap tidak menyenangkan, untuk menghilangkan rasa emosinya Raden Nuna
lantas mengisap sebatang rokok.”
73
“Pamannya mengeluarkan lekesan lalu mulai makan kapir sirih, ia meludah sembarangan di sebeah anak tangga.”

120
Ketidaksiapan Raden Nuna juga ayahnya menjadi bagian dari masyarakat multikultur

tidak hanya disampaikan melalui konflik realistis, namun juga melalui konflik nonrealistis.

Dasarnya adalah bentuk kekecewaan serta ketidakpahaman Raden Nuna dalam menyikapi

multikulturalisme yang mulai masuk dan berkembang di dalam masyarakat tradisi. Bahwa

kebebasan dalam menentukan pilihan adalah salah satu bagian penting dalam multikulturalisme

yang belum bisa diterima oleh Raden Nuna, sehingga ia memaksakan kehendaknya atas Lale

Dumilah. Semua sikap Raden Nuna ini adalah faktor-faktor yang kemudian menumbuhkan

prasangka sosial. Prasangka sosial dipupuk serta dipelihara dalam situasi yang mendukungnya

untuk semakin mengarah pada prasangka negatif. Prasangka negatif ini kemudian menjadi media

subur bagi berkembangnya sebuah konflik. Reaksi berbeda diberikan terhadap satu objek yang

sama oleh dua orang (dua kelompok) atau lebih dalam suatu situasi yang sama merupakan

pemicu sebuah konflik (Susanto, 1985: 106). Konflik yang terjadi di antara Raden Nuna dan Lale

Dumilah berujung pada disintegrasi intrakelompok sosialnya yang terikat dalam satu tataran

adat.

Tokoh sekunder selanjutnya yang juga bersikap menolak multikulturalisme adalah

Hendun, ia sepupu Lale Dumilah. Dasar penolakan Hendun terhadap multikulturalisme sama

dengan Raden Nuna, kecewa dengan multikultur itu sendiri. Ia sebelumnya berada pada posisi

mendukung multikultur dengan menjalani pernikahan eksogami. Hendun adalah seorang gadis

Sasak, kemudian menikah dengan seorang laki-laki asal Jawa yang bernama Kirno. Pernikahan

ini membuktikan bahwa Hendun adalah seorang individu yang menerima baik multikulturalisme,

bahkan mengukuhkannya dalam ikatan perkawinan. Namun, waktu mengubah segalanya,

suaminya mulai kehilangan rasa cinta pada Hendun serta melakukan perselingkuhan. Semakin

parah lagi karena Kirno berselingkuh dengan pembantu yang notabene adalah orang dari etnik

121
Jawa sama seperti suaminya. Hendun awalnya memberikan kepercayaan besar pada

pembantunya, ia tidak menaruh curiga sedikit pun. “Ia bebasang tiang jumah sawireh mrasa

paturu uli Jawa. Yen tiang nyerep ngedarang roko, ia ané nyérep nyérvis Pak Kirno jumah”

(Gitaning Nusa Alit, 228).74 Hendun yang merasa kecewa dikhianati suaminya mulai bersikap

apatis terhadap multikultur, hilang kepercayaan serta rasa toleran pada etnik lain khususnya etnik

Jawa.

Hendun kemudian mendekati Lale Dumilah dan menceritakan pengalamannya, lalu

memberikan pengaruh buruk bahwa menikah dengan lelaki yang berbeda keyakinan adalah salah

dan musibah. Pengalaman pribadinya ia jadikan pembanding dan meyakinkan Lale Dumilah

tentang keyakinannya yang kini tidak lagi toleran terhadap multikultur. Hendun mencoba merayu

Lale Dumilah agar mau kembali pada Raden Nuna sepupunya yang seadat dan seiman. Berikut

kutipannya:

“Raden Nuna jani suba dadi camat di Sengkol. Nanging kayang jani ia tonden nganten.
Mirib tresnané teken Denda Milah tusing nyidayang baana ngengsapang,” raos Hendun
nyobak mancingin paingetané Ratna Dumilah ané pucuk-pucukanga teken inaq lan
mamiqné apang ngenyakin misané. (Gitaning Nusa Alit, 236).75

Usaha Hendun ini bisa jadi merupakan jalannya untuk menarik Lale Dumilah kembali

pada Raden Nuna, yang berarti adalah kembali kepada keyakinan adat serta tradisi dan

menafikan multikultur. Memang tidak secara eksplisit terlihat pernyataan Hendun untuk

memaksa Lale Dumilah. Namun, secara tersirat maksud tersebut dapat terbaca dari kata-kata

Hendun. Konflik yang muncul antara Hendun dan suaminya mengubah orientasi berpikir

74
“Ia saya bebaskan di rumah karena sama-sama dari Jawa. Saat saya menggantikan untuk berkeliling menjual
rokok, dia malah yang menggantikan saya melayani Pak Kirno.”
75
“Raden Nuna sekarang sudah jadi Camat di Sengkol. Namun, sampai saat ini belum juga menikah, mungkin
cintanya pada Denda Milah tidak bisa dilupakan,” jawab Hendun mencoba memancing ingatan Ratna Dumilah
yang dijodohkan dengan sepupunya tersebut.”

122
Hendun terhadap multikultur, yaitu dari bersikap toleran menjadi apatis. Kekecewaan pada

suaminya berdampak pada perkawinan eksogami yang dijalani, dan ini secara spontan mengubah

cara pandang Hendun.

Tokoh sekunder meskipun bukan merupakan pusat penceritaan namun membawa

pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan cerita. Tokoh-tokoh sekunder yang tidak selalu

memihak pada multikultur menjadi bagian berarti guna semakin menguatkan arti penting sebuah

multikultur itu sendiri. Keberadaan tokoh oposisi jelas akan menjadi identitas sekaligus

representasi bagaimana posisi multikultur dalam masyarakat karena tanpa tokoh oposisi tersebut

sulit menentukan posisi multikultur. Suatu hal dapat ditentukan posisi serta kedudukannya jika ia

memiliki pembanding, demikian juga yang terjadi pada multikulturalisme.

123
BAB VII

PANDANGAN DUNIA PENGARANG

7.1 Dunia Mistik dalam Masyarakat Multikultur

Masyarakat multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas beragam latar belakang

budaya. Budaya yang terintegrasi merupakan sebuah kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi

yang bersifat dinamis sehingga terus-menerus berkembang lalu diwariskan secara turun-temurun.

Salah satu unsur budaya yang diwariskan secara berkelanjutan adalah sistem religi. Sistem religi

pada masyarakat budaya mencakup dua pokok khusus, yaitu sistem religi dan sistem ilmu gaib

atau mistik (Koentjaranigrat, 1990: 376). Mistik bisa juga disebut pengetahuan yang tidak

rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak

dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang

mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian

membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.

Kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau mistik dalam masyarakat multikultur sendiri

sangat besar, mengingat masyarakat multikultur adalah masyarakat yang mewarisi budaya, Salah

satu di antaranya adalah sistem religi yang berkaitan dengan hal-hal mistik. Hal-hal mistik selalu

dikaitkan dengan dukun, ilmu hitam, setan, atau kutukan yang dalam pandangan masyarakat

tradisional merupakan sesuatu yang selalu ada dan berdampingan dalam kesehariannya.

Tradisionalisme masih memberikan ruang penerimaan bagi hal-hal mistik yang diidentikkan

dengan suatu kondisi irasional, di luar nalar, bahkan tak kasat mata. Modernisme bertolak

belakang dengan tradisionalisme. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan mistik

124
ditabukan dalam pola pikir masyarakat modern. Keadaan ini menjadi sebuah fenomena tersendiri

dalam masyarakat multikultur karena masyarakat multikultur merupakan bagian dari

modernisme yang bersanding dengan tradisionalisme. Satu sisi masyarakat multikultur jelas

merupakan masyarakat modern karena mereka telah berbaur dan berinteraksi dengan pola

kehidupan modern, telekomunikasi, transportasi, dan kemajuan di bidang ilmu serta teknologi.

Keterbukaan terhadap berbagai kehidupan dengan pola modern lebih mungkin terjadi pada

masyarakat multikultur sehingga masyarakat multikultur cenderung bersifat modern. Namun,

sebagai masyarakat modern, ternyata masyarakat multikultur tidak sepenuhnya dapat lepas dari

unsur tradisional. Pada masyarakat multikultur (terutama di Indonesia) tarik-menarik antara

tradisi dan modernisasi masih sangat jelas dapat terlihat. Sistem kekerabatan tradisional

masyarakat Indonesia yang begitu kuat menjadikan individunya tetap bertradisi meskipun hidup

di tengah modernisasi. Masyarakat multikultur tetap memegang teguh tradisi yang telah

terwariskan dari generasi ke generasi, tradisi yang kadang kala bersifat mistik dan di luar nalar.

Dunia mistik dalam masyarakat multikultur dapat dilihat dari munculnya penyakit-

penyakit yang dalam dunia paramedik tidak dapat dipercaya. Penyakit-penyakit tersebut dapat

dirasakan penderita dalam tubuhnya, tetapi analisis ilmu kedokteran modern tidak dapat

menerima dengan baik. Jenis-jenis penyakit ini dalam keyakinan Hindu dikenal dengan

Daiwabala prawrta yaitu gangguan penyakit sebagai akibat pengaruh kekuatan supranatural atau

mistik, tidak terdeteksi dengan jelas oleh kemampuan manusia biasa. 76 Penyakit dengan latar

belakang mistik tentu saja bukan bagian dari pengobatan medis modern untuk

menyembuhkannya. Hal ini merupakan ranah pengobatan tradisional karena sumber penyakitnya

pun berada pada ranah tradisi, bersifat irasional. Namun, tidak berarti bahwa segala yang berbau

76
Jenis penyakit ini bermacam-macam di setiap daerah, di Bali dikenal dengan Bebai, di Lombok di kenal Sokeq,di
Timor dikenal dengan Begik atau Bangruk.

125
tradisional bersifat irasional. Akan tetapi, dalam hal mistik hanya tradisionalismelah yang

memahaminya dengan baik. Kalaupun pengobatan biomedis mencoba mengambil peran, tidak

lebih dari sekadar pertolongan pertama yang tidak memberikan efek kesembuhan permanen pada

pasiennya.

Sistem pengobatan tradisonal merupakan salah satu bagian dari sistem pengetahuan

tradisional yang dipelajari manusia dari alam dan sering kali dikaitkan dengan konsep-konsep

atau paham tentang alam gaib (Koentjaraningrat, 1990: 371). Sistem pengobatan tradisional yang

ada di Indonesia memiliki ragam yang begitu banyak karena setiap etnik memiliki sistem

pengobatan tradisionalnya masing-masing. Sistem pengobatan ini beragam jenis serta tata cara

pengobatannya karena tergantung pada lingkungan alam yang menyediakan sarana pengobatan

seperti misalnya jenis dedaunan, buah-buahan, akar-akar, dan lainnya.

Masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih percaya pada hal-hal gaib dan

supranatural menjadikan masyarakatnya tetap cenderung pada pengobatan tradisional. Hal itu

terjadi karena dalam pengobatan tradisional hal-hal gaib dan berbau metafisik diyakini

keberadaannya, sementara dalam pengobatan modern hal-hal tersebut sama sekali tidak dapat

diterima. Pengobatan modern yang lebih rasional cenderung menyikapi suatu gejala penyakit

dari sisi biomedis bukan magis. Hal ini bertolak belakang dengan sistem pengobatan tradisional.

Pengobatan modern hanya mengenal virus, bakteri, kuman, atau jamur sebagai penyebab

terjadinya penyakit. Sebaliknya, dalam pengobatan tradisional ada sebab-sebab khusus yang

menjadi dasar sebuah penyakit. Sebab khusus inilah yang sering kali dikaitkan dengan dunia

mistik. Penyakit dengan sebab-sebab khusus ini bisa dikatakan penyakit luar biasa (Bandel,

2009: 20). Oleh karena itu, penanganan yang diperlukan untuk penyakit jenis ini tidak cukup

126
hanya dengan pengobatan secara fisik, tetapi juga secara psikologis melalui ritual-ritual yang

berbau mistik.

Sebab-sebab khusus yang muncul dari suatu penyakit dalam pengobatan tradisional dapat

dilihat ketika Ratna Dumilah mengalami kejadian aneh sehari menjelang hari pernikahannya

dengan Gusti Ngurah Darsana. Tiba-tiba saja Ratna Dumilah menjadi lemah dan tidak mampu

menahan tubuhnya sehingga akhirnya ia terjatuh. Tatapan matanya kosong, mulutnya kaku, dan

tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Gusti Ngurah Darsana segera mengambil dupa,

mengucapkan mantra, lalu mengasapi seluruh tubuh istrinya dengan asap dupa yang

digenggamnya. Seketika itu Ratna Dumilah sadarkan diri, tetapi tubuhnya masih belum dapat

digerakkan. Ratna Dumilah menceritakan awal sakitnya ketika ia bermimpi semua pakaiannya

dibakar oleh paman dan sepupunya Raden Nuna, lalu ia merasakan seperti ada suara yang

memanggilnya untuk pulang. Hingga akhirnya ia lemas tanpa tenaga dan merasakan kakinya

berair begitu pula tangannya.

Gusti Ngurah Darsana bergegas meminta bantuan seorang dukun untuk mengobati

istrinya, tanpa berpikir akan meminta bantuan tenaga medis modern. Dukun pertama yang

mencoba membantu menyembuhkan Ratna Dumilah adalah Dandak Ketut Patrem. Berdasarkan

analisisnya, Ratna Dumilah terkena penyakit magis Sasak. Sistem kerja penyakit ini menurut

Dandak Ketut Patrem melalui media tertentu yang dilakukan dari jarak jauh dan media yang

telah dipasang sebelumnya di rumah korban. “Beh, niki penyakit pegaen Sasak, nganggo alat

ané acepa uli joh. Nanging bisa masih pasangina jumah driki” (Gitaning Nusa Alit: 74). 77

Merasa tidak mampu menangani jenis penyakit ini, Dandak Ketut Patrem menyarankan Gusti

77
“Beh,, ini penyakit buatan Sasak, menggunakan alat yang dikendalikan dari jarak jauh. Akan tetapi, bisa juga
telah dipasang di rumah”

127
Ngurah Darsana untuk mencari dukun lain yang lebih paham mengenai pengobatan tradisional

Sasak.

Selanjutnya Gusti Ngurah Darsana meminta bantuan Amaq Tirah, seorang dukun dari

Sembalun yang dikenalkan oleh Loq Sudangsa. Sebelum melakukan pengobatan, Amaq Tirah

melakukan pemeriksaan jenis penyakit yang diderita pasien. Cara yang digunakan mendeteksi

penyakit pasien adalah dengan mengusapkan semacam ramuan ke seluruh tubuh pasien.

Beberapa saat pasien akan bereaksi mengeluarkan tanda-tanda sesuai jenis dengan penyakitnya.

Ratna Dumilah merasakan panas di seluruh tubuhnya, paha dan kakinya membesar layaknya

batang pisang yang telah membusuk. Atas dasar ciri tersebut Amaq Tirah memvonis bahwa

Ratna Dumilah terkena Sokeq, lalu mempersiapkan ramuan khusus untuk menyembuhkan jenis

penyakit ini. Ramuan-ramuan tradisional yang khusus dibuat sesuai dengan jenis penyakit

pasien. Selama pembuatan ramuan tersebut tidak henti-hentinya Amaq Tirah mengujarkan

mantra-mantra. Selama proses pengobatan Amaq Tirah melakukan puasa, membakar dupa, dan

berdoa tiada henti. Di halaman rumah Gusti Ngurah Darsana muncul banyak ulat yang berwarna

keemasan. Menurut Amaq Tirah, ulat-ulat tersebut merupakan sumber penyakit Ratna Dumilah.

Kemunculan ulat-ulat tersebut menjadi ciri bahwa penyakit pasien telah dapat disembuhkan

(Gitaning Nusa Alit: 86).

Menurut sang penyembuh, hal-hal khusus yang menjadi penyebab munculnya penyakit

Ratna Dumilah adalah ilmu hitam khas Sasak yang dikenakan pada Ratna Dumilah. Ciri-ciri

yang tampak pada penyakit jenis ini adalah seluruh tubuh pasien akan membengkak layaknya

batang pisang yang membusuk, pasien tidak dapat berbicara, dan akan muncul ulat di halaman

rumah jika si penyembuh mampu menandingi si pengirim penyakit. Penyakit yang dikenal

dengan nama sokeq mengakibatkan pasiennya menjadi lumpuh, bahkan dapat membunuh secara

128
halus dan perlahan (Kardji, 2004: 7). Sebab-sebab khusus inilah yang mengarahkan pemikiran

Gusti Ngurah Darsana untuk mengambil inisiatif meminta bantuan pada pengobatan tradisional.

Tindakan yang dilakukan Gusti Ngurah Darsana menunjukkan bahwa individu modern sekalipun

rupanya tidak lepas begitu saja dengan hal-hal yang beraroma mistik. Tindakannya

menggunakan dupa, lalu mengucapkan mantra-mantra, kemudian lebih percaya kepada dukun

merupakan tindakan yang mengarah pada kepercayaan supranatural. Pengaruh dunia mistik pada

individu modern ternyata mampu menggiringnya untuk lebih dekat bergulat dengan tradisi.

Selain sebab-sebab khusus yang menjadi ciri dari sistem pengobatan tradisional, proses

diagnosis terhadap jenis penyakitnya pun memiliki prinsip dasar yang berbeda dengan sistem

pengobatan modern. Analisis sistem pengobatan modern lebih melihat gejala-gejala pasien dari

sisi fisiologis dan psikologis yang disertai dengan rasional nalar. Hal ini bisa dilihat ketika Ratna

Dumilah menderita sakit saat tinggal di Atambua. Seorang dokter bernama Dokter Budi

melakukan pemeriksaan terhadap Ratna Dumilah yang sejak pagi tertidur dan tidak sadarkan

diri. Pemeriksaan yang dilakukan Dokter Budi pada Ratna Dumilah tidak menyebutkan jenis

penyakit apa yang diderita Ratna Dumilah. Diagnosis medis atas penyakit yang diderita Ratna

Dumilah tidak disebutkan dengan jelas oleh Dokter Budi. Keterangan yang didapatkan dari

Dokter Budi hanya sebatas imbauan kepada Ratna Dumilah agar lebih banyak beristirahat serta

tepat waktu makan. Tindakan medis Dokter Budi hanya menyuntikkan beberapa dosis obat,

memberikan vitamin, lalu menyarankan Ratna Dumilah untuk makan serta beristirahat (Gitaning

Nusa Alit: 248). Memang setelah mendapatkan penanganan dari Dokter Budi, Ratna Dumilah

sadar dari tidur lelapnya yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya. Namun, tidak lantas Ratna

Dumilah menjadi sembuh dari penyakit yang dideritanya. Beberapa hari kemudian Ratna

Dumilah kembali tak sadarkan diri, tangan dan kakinya mengeluarkan keringat dingin. Obat

129
yang diberikan oleh Dokter Budi rupanya tidak bekerja secara maksimal untuk menyembuhkan

Ratna Dumilah. Kegamangan atas diagnosis penyakit serta hasil pengobatan yang kurang

maksimal dari Dokter Budi seolah-olah memposisikan tenaga medis modern pada sudut minor.

Kesan yang muncul kemudian adalah tenaga medis modern tidak cukup berhasil menangani

pasien. Hal ini juga terjadi karena dokter tidak mampu memberi jawaban yang meyakinkan

mengenai jenis penyakit yang diderita pasien. Dokter lebih cenderung untuk diam kecuali pasien

atau keluarganya menanyakan dengan lebih mendetail. Meskipun hal itu sama sekali tidak

tersurat dalam novel, jelas terlihat dari tindakan Gusti Ngurah Darsana. Bentuk kekecewaannya

pada hasil kerja seorang dokter ditunjukkan dengan tidak menggunakan jasa dokter lagi ketika

penyakit istrinya kambuh. Peristiwa ini juga semakin menegaskan bahwa dunia mistik dengan

penyakitnya tidak mampu mendapatkan penyembuhan maksimal dari pengobatan modern.

Melihat keadaan istrinya yang terlihat kurang sehat serta menunjukkan gejala-gejala yang

tidak seperti biasanya, Gusti Ngurah Darsana meminta Pak Markus memanggil dukun, bukan

dokter. Romo Ulumondo menjadi rekomendasi Pak Markus, seorang pastor yang juga biasa

melakukan penyembuhan secara tradisional. Tanpa pikir panjang Gusti Ngurah Darsana meminta

Pak Markus untuk menjemput Romo Ulumondo. Romo Ulumondo kemudian memeriksa Ratna

Dumilah lalu menjelaskan hasil pemeriksaannya pada Gusti Ngurah Darsana. Menurut Romo,

Ratna terkena guna-guna yang diletakkan pada perhiasan gading yang didapatkan dari Hendun

sepupunya. Hasil analisis kesehatan yang dilakukan Romo Ulumondo berbeda dengan yang

didapatkan Dokter Budi. Romo lebih melihat penyakit Ratna Dumilah sebagai penyakit yang

disebabkan oleh kekuatan berbau magis, sehingga pengobatannya mesti lewat jalur magis.

Sesungguhnya diagnosis yang dilakukan Romo Ulumondo pada pasiennya-seperti juga

kebanyakan dukun lainnya- adalah sebuah interpretasi alternatif, bukan merupakan diagnosis

130
biomedis. Walaupun hasil analisis yang dilakukan dukun lebih pada sebuah interpretasi, namun

hasil maksimal yang ditunjukkan dalam mengobati pasien mampu menumbuhkan tingkat

kepercayaan pengguna jasa perdukunan.

Pemeriksaan dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang ditunjukkan pasien, lalu dengan

tangan kosong memeriksa tubuh Ratna Dumilah dari kepala hingga kakinya, tidak ada stetoskop

apalagi termometer, berikut kutipannya:

“Romo mreksain rabiné uli duur nganti ka cokor. Salibné anggona ngetok-ngetok
gidatné, bibihné, dadanné, weteng nganti teked ka cokorné. Ratna Dumilah mrasa cara
ada sinar nyetrum ragané.” (Gitaning Nusa Alit: 263).78

Melalui doa dan mantra Ratna Dumilah disembuhkan, bahkan Ratna Dumilah merasakan

hal mistik ketika Romo Ulumondo menyentuhkan salib di kepalanya. Ia tiba-tiba merasakan

sesuatu yang hangat dan melihat sinar yang sangat terang. Fenomena supranatural inilah yang

menjadi ciri khusus sekaligus kelebihan dari sistem pengobatan tradisional. Salib yang oleh kasat

mata hanya sebuah benda berbentuk menyerupai tanda tambah dan terbuat dari kayu, simbol

sebuah kepercayaan, mampu mengeluarkan semacam energi, bahkan memiliki kekuatan yang

dapat menyembuhkan. Hal itu kemudian ditambah dengan ramuan-ramuan tradisional disertai

sedikit mantra-mantra khusus yang menjadi sarana pengobatan, bukan suntikan obat dan

antibiotik seperti Dokter Budi. Hal-hal seperti ini merupakan sesuatu yang sering kali disangkal

oleh pengobatan modern, karena dianggap tidak masuk akal, tetapi nyatanya ampuh untuk

menyembuhkan.

Setelah mendapat penanganan dari Romo, Ratna Dumilah kembali seperti sediakala.

Tidak lagi kambuh penyakitnya seperti dahulu, lalu perhiasan gading yang menurut analisis

Romo mengandung guna-guna dibersihkan secara spiritual oleh Romo sehingga dapat digunakan

78
“Romo memeriksa istrinya dari atas sampai kaki. Salib digunakan untuk memukul-mukul dahi, bibir, dada, perut,
sampai ke kaki. Ratna Dumilah merasakan ada cahaya yang memberikan getaran pada tubuhnya.”

131
lagi. Keinginan Gusti Ngurah Darsana untuk meminta bantuan pada seorang dukun sekali lagi

menunjukkan bahwa pengobatan tradisional memang menjadi solusi yang tepat ketika

berhadapan dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan dunia mistik. Hal yang

dilakukan Gusti Ngurah Darsana untuk mempercayakan keselamatan istrinya pada seorang

dukun menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan indiviu modern pada penanganan medis.

Jelas ini bisa jadi adalah sebuah ironi, yaitu ketika kehidupan modern mulai merambah setiap

individu, kekuatan tradisional semakin kuat mengikat serta mencoba mendominasi melalui jalan-

jalan yang disangkal pemikiran modern.

Kejadian dengan motif yang sama juga terjadi ketika putri Gusti Ngurah Darsana sakit.

Peran biomedis kembali menjadi marjinal ketika menghadapi kenyataan penyakit yang diikuti

aroma spiritualitas. Putri Gusti Ngurah Darsana yang bernama Gusti Ayu Kendariyani

mengalami penyakit yang menurut analisis biomedis dapat dijelaskan sebagai penyakit darah

rendah. Diagnosis ini dijelaskan oleh Gusti Ayu Sri Wahyuni, bibinya sendiri yang berprofesi

sebagai seorang dokter. Saat berada di Baledan untuk mempersiapkan upacara otonan Gusti Ayu

Widyakayani penyakitnya tiba-tiba kambuh. Ia kehilangan kesadaran diri lemas layaknya raga

tanpa jiwa. Gusti Ayu Sri dan suaminya Dokter Ngurah Usadhi bergegas mempersiapkan

perlengkapan kedokterannya untuk memberikan pertolongan pada Gusti Ayu Kendariyani,

berikut kutipannya:

“Dokter Ngurah Usadhi ngelisang mreksa denyut nadi, cangkem, penyingakan....Gusti


Ayu Sri ngelisang ngambil tas piranti kedokterané raris mreksa dada, otengné Gek Yani
antuk stetoskop. Saking trengginas ragané nengkejutang neen dadné raris pernapasan
buatan. Gung Gek Yani ngeliab” (Suryak Suung Mangmung, 69).79

79
“Dokter Ngurah Usadhi dengan cepat memeriksa denyut nadi, mulut dan mata,,,Gusti Ayu Sri segera mengambil
tas perlengkapan kedokterannya lalu memeriksa dada, perutnya Gek Yani dengan stetoskop. Dengan cekatan ia
mengejutkan menekan-nekan dada lalu memberikan pernapasan buatan. Gung Gek Yani pun mulai sadar”

132
Paman dan bibi Gusti Ayu Kendariyani memang sangat sigap dalam menghadapi

pasiennya dengan cekatan memberikan pertolongan pertama. Suntikan vitamin dan glucose

diberikan untuk membantu memulihkan kondisi Gusti Ayu Kendariyani yang lemah. Gejala

medis yang ditunjukkan oleh Gung Yani (nama panggilan Gusti Ayu Kendariyani) mengarah

pada penyakit darah rendah. Hal ini diperkuat dengan analisis Gusti Ayu Sri melalui pengukuran

tensi Gung Yani. Tensi Gung Yani yang hanya 70-50 menunjukkan bahwa ia menderita penyakit

darah rendah. Setidaknya ini analisis dari segi medis yang paling akurat dapat dijelaskan oleh

tenaga dokter.

Meskipun telah mendapatkan penanganan dokter, pengobatan secara medis, rupanya

penyakit Gung Yani tidak begitu saja dapat disembuhkan. Lagi-lagi sistem pengobatan modern

tidak memberikan jalan keluar yang final. Ia hanya berfungsi sebagai peredam sementara

penyakit yang diderita pasien karena setelah mendapat pengobatan secara biomedis, sempat

beberapa kali Gung Yani kambuh lagi dan muncul kejadian-kejadian aneh yang menyertai

kambuhnya penyakit Gung Yani. Kejadian-kejadian mistis yang menyertai kambuhnya penyakit

Gung Yani membuat seluruh anggota keluarga yakin bahwa penyakit yang diderita Gung Yani

bukanlah penyakit darah rendah biasa seperti hasil diagnosis paman dan bibinya, melainkan

penyakit luar biasa. Kasus nonmedis yang dialami Gung Yani sama halnya dengan yang

menimpa ibunya, Ratna Dumilah.

Keyakinan keluarga Gusti Ngurah Darsana akan penyakit nonmedis yang menimpa

anaknya ini diperkuat dengan kejadian-kejadian aneh yang sering kali menimpa anaknya.

Kejadian-kejadian ini kian menguatkan keberadaan dunia mistik dalam masyarakat multikultur.

Kejadian pertama ketika Gung Yani diserang oleh kelelawar putih dan digigit hingga

menimbulkan luka yang cukup parah kemudian saat ia hendak diculik oleh makhluk besar hitam

133
yang bersembunyi di kamarnya serta saat ia akan diserang oleh seekor babi hutan yang besar.

Selain kejadian-kejadian tersebut, sebab khusus lainnya yang menyebabkan Gung Yani

mengalami penyakit nonmedis ini adalah karena Gung Yani sempat memakan makanan yang

telah diberi guna-guna. “Ragané sering maang tiang makanan, minuman. Yéning suud kénten

awak tiangé mrasa iying, lemet tanpa bayu” (Suryak Suung Mangmung, 181).80 Ini merupakan

pernyataan Gung Yani. Ia sebenarnya telah merasakan bahwa Gus Ayodia meletakkan guna-

guna pada makanan yang diberikan, tetapi ia tidak dapat melawan.

Kejadian-kejadian misterius ini merupakan rentetan dari satu bentuk akumulasi

kekecewaan Gus Ayodia. Gus Ayodia merupakan seorang laki-laki yang bekerja di satu tempat

yang sama dengan Gung Yani, Gus Ayodia menaruh hati pada Gung Yani, tetapi Gung Yani

lebih memilih lelaki lain. Buntut kekecewaan karena cintanya ditolak inilah yang membuat Gus

Ayodia mengambil jalan pintas untuk merebut Gung Yani dari kekasihnya, yaitu Gung Wiweka.

Gus Ayodia belajar ilmu hitam, berguru pada Mangku Songkrong dan Niang Mas. Bergelut

dengan dunia mistis menjadi pilihan terbaik yang dapat ditempuh Gus Ayodia guna memenuhi

hasratnya. Sayangnya pilihan ini justru membuatnya jatuh semakin dalam pada lubang hitam

penderitaan.

Berbeda dengan dua peristiwa sebelumnya yang bermotif sama-yaitu bergulat dengan

ilmu hitam-kali ini tidak hadir dukun sebagai figur sang penyembuh. Kasus Gung Yani, dukun

hadir sebagai sosok yang turut membantu, tetapi tidak turut andil menuntaskan permasalahan.

Dukun yang hadir adalah Ida Pedanda Gedé. Beliau sempat beberapa kali memberikan penawar

untuk meredakan penyakit Gung Yani. Sosok yang paling berperan dalam proses penyembuhan

penyakit Gung Yani justru adalah ayahnya, Gusti Ngurah Darsana. Peristiwa dengan motif yang

sama sebelumnya Gusti Ngurah Darsana hanya hadir sebagai sosok yang tidak banyak bergerak
80
“Dia sering memberikan saya makanan dan minuman. Setelah itu tubuh saya terasa ringan, lemas tanpa tenaga”

134
melawan penyakit. Namun, kini justru ia hadir sebagai tokoh pahlawan. Bertindak aktif dan

dominan menguasai pertarungan ketika berhadapan dengan sang pemberi penyakit.

Gusti Ngurah Darsana dalam proses penyembuhan penyakit Gung Yani bertindak sebagai

penyembuh dengan bantuan keris pusaka I Léak Langgam warisan leluhurnya. Melalui keris

pusaka tersebut Gusti Ngurah Darsana melakukan proses penyembuhan terhadap Gung Yani.

Keris pusaka itu pun membantu Gusti Ngurah Darsana ketika berhadapan dengan Gus Ayodia

dan gurunya. Pertarungan dunia supranatural antara Gusti Ngurah Darsana dan Gus Ayodia juga

melibatkan Gung Wiweka. Gus Ayodia akhirnya dapat dikalahkan beserta semua gurunya.

Perlahan penyakit yang diberikan Gus Ayodia pada Gung Yani menjadi sirna. Guna

membersihkan sisa-sisa penyakit yang mungkin masih tersisa, Gung Yani dibersihkan dengan air

basuhan keris pusaka I Léak Langgam. Ini bisa menjadi gambaran bahwa manusia yang modern

memiliki kesempatan ataupun niat untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan tradisi sekalipun

bertentangan dengan prinsip hidup manusia modern.

Beberapa kejadian yang menimpa Gung Yani sehubungan dengan penyakit yang

dideritanya tampak telah mematahkan diagnosis dokter. Hal itu semakin menjauhkan dokter dari

citra sang penyembuh. Pelukisan berbagai peristiwa supranatural yang berkaitan dengan penyakit

Gung Yani semakin menguatkan posisi sistem pengobatan tradisional. Bahkan, semakin jelas

polarisasi yang terjadi di antara sistem pengobatan tradisional dan sistem pengobatan modern.

Sistem pengobatan modern tidak dapat berbuat banyak ketika sumber penyakit sudah berada jauh

di luar jangkauan nalar. Bahkan, sistem pengobatan modern kemudian menyerah dan malah

merujuk pasien untuk bernegosiasi dengan kekuatan supranatural. Hal ini dapat dilihat ketika

dokter dan perawat sudah tidak mampu lagi menangani penyakit Gus Ayodia, berikut

kutipannya.

135
“Béh, puniki sungkané sekadi tawah. Prémanané sayan alit yadin sampun suntik, infuse
lan upaya siosan. Yéning jaga bakta ka balian, rarisang,” atur dokteré sekadi nyerah
santukan sami tambané ngampar. Perawaté sering mrasa jerih (Suryak Suung
Mangmung, 175).81

Kutipan di atas jelas menunjukkan bagaimana dokter sebagai tenaga medis harus

menyerah pada kenyataan sebuah penyakit yang sulit diterima oleh pengobatan modern.

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan fenomena supranatural setiap tokoh yang notabene

adalah manusa modern semakin menggiring opini publik terhadap sistem pengobatan tradisional.

Opini yang kemudian terbangun secara perlahan, tetapi pasti adalah bahwa sistem pengobatan

tradisional lebih memberikan jawaban yang pasti terhadap suatu penyakit. Sistem pengobatan

tradisional tidak lagi menjadi pilihan alternatif setelah pengobatan medis, tetapi dapat menjadi

pilihan utama.

Kecenderungan yang terjadi adalah lebih mempercayai pengobatan tradisional

dibandingkan dengan harus bergantung pada pengobatan biomedis. Ketika Ratna Dumilah sakit

sehari sebelum pernikahannya tidak ada sama sekali sentuhan pengobatan modern, dukun

langsung menjadi pilihan. Kemudian saat ia sakit lagi di Atambua, peran dokter tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan kesehatan Ratna Dumilah. Akhirnya seorang

pastor yang memliki kemampuan khusus membantu mengobati Ratna Dumilah. Kembali peran

tenaga kesehatan modern tidak mendapatkan tempat yang dominan dalam proses pengobatan

pasien. Gung Yani yang menderita suatu penyakit kurang mendapat-atau dengan sengaja tidak-

konsultasi atau penanganan dokter. Ini sangat ironis ketika sebagian besar keluarga Gung Yani

adalah tenaga kesehatan modern, beberapa orang pamannya merupakan dokter, bibinya ada yang

menjadi perawat dan bidan. Semakin ironis lagi ketika tenaga dokter mulai kehabisan akal untuk

81
“Beh,,penyakit seperti ini sangat aneh. Badannya semakin kurus walaupun sudah diberikan suntikan, infuse dan
cara lain. Jika ingin dibawa ke dukun silakan saja.” Kata dokter seakan menyerah karena semua obat yang
diberikan tidak membuahkan hasil. Perawat pun sering kali merasa takut.

136
menangani pasien. Ia malah merujuk pasiennya untuk melakukan pengobatan alternatif ke

dukun. Peristiwa terakhir ini mungkin menjadi simbol simbiosis yang bisa saja terjadi di antara

pengobatan modern dan tradisional. Pengobatan modern yang merujuk langsung pasiennya ke

pengobatan tradisional, memunculkan kesan bahwa pengobatan modern telah kehilangan

kepercayaan dirinya untuk dapat menyembuhkan pasien. Ini jelas berbeda situasinya dengan

beberapa peristiwa sebelumnya. Beberapa peristiwa medis sebelumnya pasien sendiri yang

kehilangan kepercayaan pada tenaga medis modern hingga akhirnya mempercayakan

kesembuhannya dengan pengobatan tradisional.

Pengobatan tradisional dengan aroma mistisnya menjadi jalan keluar yang dipilih

pengarang untuk membebaskan tokohnya dari penyakit. Sistem pengobatan modern tidak bekerja

secara optimal dalam novel ini. Pengobatan modern hanya berfungsi sebagai peredam sementara

penyakit yang diderita oleh para tokoh. Jika dilihat dari deskripsi dan diagnosis yang dilakukan

pengobatan tradisional dan modern terhadap penyakit tokoh, maka sistem pengobatan tradisional

memberi penjelasan yang sangat detail. Si penyembuh dengan gamblang memberitahukan

diagnosis (interpretasi) menurutnya dan tindakan medis yang akan dilakukannya terhadap pasien.

Sementara deskripsi demikian tidak dengan jelas didapat ketika dihadapkan dengan dokter.

Dokter tidak dengan jelas memerinci informasi mengenai sebab-sebab penyakit pasien.

Kekurangan informasi yang didapatkan dari dokter ini sesungguhnya tidak terlalu mengherankan

karena memang sering kali dokter lebih bersifat “pendiam”. Jika tidak si pasien yang aktif

bertanya, dokter jarang menjelaskan dengan detail hasil diagnosisnya. Sering satu-satuya

informasi yang diperoleh pasien hanyalah keterangan seperlunya tentang pengobatan (dosis

obat). Pada kesempatan inilah pengarang mencoba mengkritisi keadaan tersebut di masyarakat.

Dokter diingatkan bahwa posisinya tidak hanya sebagai penyembuh secara fisik, tetapi juga

137
psikologi. Pasien berhak tahu apa yang menimpa dirinya dengan sejelas-jelasnya, serta solusi

penyembuhannya, tidak malah ditutup-tutupi serta berlindung di balik kode etik kedokteran.

Pengarang rupanya ingin “konspirasi rahasia” semacam ini mulai ditinggalkan dokter sebagai

tenaga penyembuh profesional.

Pengarang melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh menunjukkan adanya

tarik-menarik antara tradisi dan modern khususnya di bidang medis. Pengarang menghadirkan

polemik yang cukup kuat ketika tokoh-tokoh yang memiliki pola pikir dan hidup dalam

kehidupan modern dihadapkan pada kenyataan medis yang berada jauh di luar logika. Benda-

benda gaib serta kejadian-kejadian berbau mistis memaksa tokoh yang terlihat dalam polemik

tersebut harus berpikir secara irasional. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dapat diterima

pemikiran modern.

Hadirnya tokoh penyembuh (dukun) dengan cara-cara tradisional yang berbau magis

seolah menjadi lawan tanding tokoh-tokoh penyembuhan modern (dokter, bidan, perawat).

Lawan tanding di sini tidak berarti bahwa secara eksplisit terjadi persaingan antara pengobatan

tradisi dan modern. Akan tetapi lebih pada pembanding bahwa dengan hadirnya pengobatan

modern sebagai dampak dari globalisasi tidak lantas menjadikan pengobatan tradisional

kehilangan peminat atau pamor. Bahkan, ada hal menarik yang ditunjukkan pengarang pada sisi

pengobatan tradisional. Pada pengobatan tradisional, sang penyembuh ternyata berprofesi dan

berfungsi ganda. Munculnya tokoh dukun dari kalangan pemuka agama (Pastor dan Padanda)

jelas memiliki interpretasi tersendiri. Pemuka agama (Pastor dan Padanda) sudah semestinya

mampu memberikan pencerahan serta kesembuhan bagi umatnya bukan malah sebaliknya

meracuni umat dengan dogma-dogma sesat. Misalnya, memberikan pembenaran atas tindakan

kekerasan, mengintimidasi minoritas, lalu berlindung di balik ayat-ayat suci agama.

138
Kesembuhan tidak dalam artian fisik semata, tetapi lebih pada bidang spiritual dan moral

sebagaimana fungsi dasar pemuka agama. Penyembuhan secara spiritual dan moral jauh lebih

dibutuhkan masyarakat yang “sakit jiwa” saat ini sehingga mampu hidup bertoleransi di tengah

masyarakat multikultur. Di samping itu, menghilangkan sekat-sekat SARA yang sering kali

menyulut konflik berkepanjangan dan mencoba bersahabat dengan perbedaan. Dengan demikian,

indahnya persaudaraan akan sangat mudah dinikmati.

Baik pengobatan tradisional maupun pengobatan modern meskipun merupakan dua hal

yang sering kali bersebrangan, keduanya tidak pernah menjadi kekuatan oposisi yang berhadapan

secara frontal dan sporadis. Pengobatan tradisional memang tidak bisa dilepaskan dari aroma

mistik, magis, serta hal-hal yang jauh berada di luar nalar (irasional). Namun, tidak selalu lantas

hal-hal tersebut menjadikan sistem pengobatan tradisional kampungan atau terlihat bodoh. Hal

itu perlu dipahami karena sering kali masyarakat memandang bahwa segala sesuatu yang berbau

„Barat‟ jauh lebih baik. Bahkan, muncul sikap menolak hal-hal yang terkesan kuno dan

kampungan, lalu menggantikannya dengan yang berbau „Barat‟. Akan tetapi tanpa disadari

bahwa yang mereka anggap modern sejatinya berasal dari hal-hal yang bersifat tradisional.

7.2 Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Multikultur

Perubahan serta kemajuan zaman mengantarkan manusia pada pola kehidupan yang lebih

baik dalam segala bidang, maju dalam setiap sektor kehidupan. Perkembangan, kemajuan, serta

globalisasi yang menghadirkan multikulturalisme tidak lantas menjadikan urusan gender jadi

terlupakan. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dengan pola pikir yang modern,

pergolakan wacana kesetaraan gender tidak pernah sepi. Sejak dulu bahkan hingga kini mungkin

139
juga sampai nanti. Laki-laki selalu berusaha untuk berada di atas perempuan, baik secara fisik

maupun moral.

Multikulturalisme yang digiring oleh modernitas membuka peluang besar bagi kaum

perempuan untuk belajar banyak dan membuka wawasannya sehingga tidak selalu jadi bulan-

bulanan kaum laki-laki. Indonesia memiliki Raden Adjeng Kartini sebagai pembuka jalan

sekaligus pembangunan tonggak emansipasi di Indonesia. Perjuangannya menyuarakan hak-hak

perempuan agar disetarakan dengan kaum laki-laki. Perempuan akhirnya berani unjuk gigi untuk

bersaing dengan laki-laki. Perempuan akhirnya memiliki peluang untuk mengenyam pendidikan,

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, serta memiliki bargaining power dalam hal-hal

yang menyangkut hak serta kewajiban dalam bermasyarakat.

Kesetaraan dalam memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal

merupakan salah satu hak yang diperjuangkan perempuan. Melalui pendidikan formal,

perempuan mampu meningkatkan status sosialnya, meningkatkan peran sosialnya, baik di

keluarga maupun di masyarakat. Tokoh perempuan dalam novel yang menunjukkan

konsistensinya dalam mendukung wacana kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan

adalah Gusti Biang Ngurah. Gusti Biang Ngurah adalah bibi dari Gusti Ngurah Darsana dan

Gusti Ayu Darsini. Namun, karena kedua orang tua Gusti Darsana dan Darsini telah pergi

meninggalkan mereka, akhirnya Gusti Biang Ngurah mengasuh mereka layaknya anak sendiri.

Gusti Biang Ngurah sangat mendukung kemajuan anak-anaknya khsusnya dalam bidang

pendidikan. Bahkan, ia menggadaikan tanah sawahnya untuk mendapatkan biaya pendidikan

bagi anak-anaknya.

140
Gusti Biang Ngurah tidak membedakan tingkat pendidikan anaknya, baik laki-laki

maupun perempuan. Baginya, baik anak laki-laki maupun perempuan berhak atas pendidikan

yang sama tanpa harus dibatasi oleh dikotomi gender, berikut kutipannya:

“Ibu anak tusing méda-médaang pianak, jawat muani jawat luh. Yén jégeg mabudi
masekolah ngalanjutang ka kota, nah lautang. Nyen nawang cening cocok dadi bidan
utawi dadi guru ibu tusing kaberatan” (Sembalun Rinjani,5).82

Kutipan di atas menunjukkan betapa terbukanya pemikiran Gusti Biang Ngurah terhadap

kesetaraan gender khususnya di bidang pendidikan, meski ia sendiri bukanlah perempuan yang

berpendidikan. Ia sangat ingin anak-anaknya memiliki pendidikan tinggi meski mereka bukan

anak kandungnnya. Di samping itu, ia harus bekerja sendiri untuk memenuhi keperluan hidup

rumah tangga. Peran yang dilakoni Gusti Biang Ngurah sebagai seorang perempuan sunguh luar

biasa. Ia bekerja sendiri karena suaminya telah meninggal, kemudian bertindak sebagai orang tua

bagi anak-anak yang sejatinya bukan anak kandungnya. Gusti Biang Ngurah mewakili sosok

kaum perempuan tangguh yang mampu bertindak tidak hanya sebagai ibu, tetapi juga sebagai

ayah bagi anak-anaknya. Peran ayah sebagai kepala keluarga, sebagai pencari nafkah telah

dipikul sendiri.

Hak pendidikan yang diberikan oleh Gusti Biang Ngurah pada anak perempuannya

menunjukkan pola pikir modern seorang perempuan tradisional, merasa dengan dirinya miskin

harta, maka ia berjuang keras bekerja untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tak

mampu memberi modal dalam bentuk material, Gusti Biang Ngurah mampu memberikan modal

pendidikan (gelar) pada anak perempuannya. Dengan modal pendidikan yang dimiliki

perempuan, ia dapat meningkatkan status sosialnnya. Dari modal pendidikan perempuan dapat

memperoleh pekerjaan atau menciptakan pekerjaan sehingga memperoleh penghasilan. Hal ini

82
“Ibu tidak pernah membeda-bedakan anak, baik laki maupun perempuan. Kalau kamu mau melanjutkan sekolah
ke kota, ya silah kan. Siapa tahu kamu cocok menjadi bidan atau guru ibu tidak keberatan”

141
berpengaruh besar ketika kelak ia menjadi istri, perempuan tidak hanya bermodalkan tubuh,

tetapi juga berbekalkan modal akademik, modal kultur, dan modal ekonomi sehingga perempuan

tidak mutlak bergantung pada suaminya. Akan tetapi justru mampu berkontribusi bagi kehidupan

rumah tangga. Kontribusi aktif, baik berupa finansial, material, maupun ideasional, bahkan

perempuan mampu menduduki fungsi tulang punggung keluarga mengggantikan laki-laki.

Peran aktif para perempuan yang telah mengenyam pendidikan terlihat jelas dengan

terjadinya pergeseran peran gender. Peran gender telah menempatkan suatu polarisasi antara

laki-laki dan perempuan sebagai individu yang memiliki fungsinya masing-masing. Para

perempuan dikultuskan pada satu peran domestik, bertindak sebagai pengelola rumah tangga,

mengurus suami dan anak-anak. Sebaliknya laki-laki berperan pada ranah publik yang

menjadikan suami berperan sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah untuk keluarga

(Atmadja dan Atmadja, 2005: 122). Pergeseran peran gender dalam novel terjadi manakala laki-

laki tidak mampu berperan aktif sebagai pemain di sektor publik dan fungsinya diambil alih oleh

perempuan. Peran perempuan berpendidikan yang menggantikan kedudukan laki-laki sebagai

pencari nafkah dilakoni oleh Marieta Victoria. Ia adalah ibu kandung Meina Victoria, seorang

gadis Flores yang menjadi pembantu di keluarga Gusti Ngurah Darsana saat bertugas di

Atambua.

Marieta awalnya adalah seorang perawat yang bertugas di Mataram mendampingi Dokter

Nurja. Ia memiliki suami bernama Letda Fritse Tondoan yang seorang pensiunan tentara dan kini

bekerja sebagai petugas kebun di Mataram. Akibat kerusuhan yang terjadi di Mataram keluarga

Marieta terpisah, suaminya meninggal di perkebunan tempatnya bekerja. Ia pun berpisah dengan

anak pertamanya bernama Leonardo yang dibawa Dokter Nurja ke Cakranegara. Sementara itu

Marieta yang tengah mengandung pergi ke Atambua bersama Emon Bello sahabat suaminya

142
sewaktu masih menjadi tentara. Setelah menetap di Atambua, Marieta yang tengah mengandung

terpaksa harus mengakui Emon Bello sebagai suaminya untuk menghindari gunjingan orang

karena mereka hidup serumah. Untuk menghidupi dirinya, Marieta bekerja sebagai pembantu

rumah tangga. Setelah anaknya lahir, ia bekerja di panti asuhan sebagai pengurus asrama. Tak

hanya untuk menghidupi anaknya, Marieta juga bekerja agar bisa memberi uang pada Emon

yang selalu menyiksannya ketika tidak diberi uang. ”Emon lakar meres Marieta apang nyak

maang pipis yen katuju ia mamotoh, mamunyah lan ngalih lonté di pelabuhan” (Gitaning Nusa

Alit, 215).83 Tindakan Emon inilah yang menjadi salah satu simbol intimidasi patriarki terhadap

perempuan, intimidasi secara fisik dan batin. Secara fisik Marieta akan disiksa jika tidak

memberikan uang pada Emon. Sebaliknya, secara batin Marieta tertekan karena hasil jerih

payahnya hanya digunakan untuk bersenang-senang oleh Emon.

Emon ditangkap di pelabuhan karena berjudi dan pengedar cocain. Marieta dan anaknya

yang diberi nama Meina akhirnya menetap di panti asuhan. Saat Marieta kehilangan suaminya ia

telah memulai hidup baru dengan tinggal bersama laki-laki yang tidak memiliki ikatan apa pun

dengannya. Ia mulai memainkan peranan ganda, sebagai pekerja domestik (mengurus rumah

serta anaknya) dan pekerja di ranah publik (sebagai pencari nafkah dan tulang punggung

perekonomian). Peranan ganda yang dilakoni Marieta tidak hanya karena ia telah kehilangan

suami sebagai pencari nafkah keluarga, tetapi juga karena ia berada dalam intimidasi laki-laki

yang kini hidup bersamanya. Memang setelah Emon Bello ditangkap polisi Marieta bisa bebas

dari tekanan fisik dan intimidasi patriarki. Namun, peranan gandanya sebagai pekerja rumah

tangga dan pencari nafkah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tanggung jawab kepada anak

83
“Emon akan memeras Marieta agar memberinya uang saat ia akan berjudi, mabuk-mabukan dan mencari pelacur
di pelabuhan”

143
menjadikannya harus bertahan pada situasi yang berat. Namun, Marieta menjadi sosok yang

tangguh, mampu bertahan pada peranan gandanya sebagai akibat dari pergeseran peran gender.

Tokoh perempuan lain yang juga menjalankan peranan ganda adalah Diah Rengsi

Pitaloka. Ia adalah seorang gadis Dayak yang menikah dengan Gusti Ngurah Anantha Bhuana,

putra pertama Gusti Ngurah Darsana. Menikah dengan laki-laki yang berbeda etnik membuat

Diah Rengsi mesti belajar banyak untuk dapat masuk dalam kebudayaan dan lingkungan

barunya. Pemberlakuan sistem patriarki menimbulkan implikasi jika laki-laki kawin, maka

mereka akan membawa istrinya untuk masuk ke lingkungan keluarganya. Sistem kekeluargaan

patrilineal-patrilokal membawa perempuan pada lingkungan baru dengan tidak terlepas pada

pembagian kerja di bidang domestik. Kondisi ini menjadikan perempuan harus dapat beradaptasi

dengan baik agar mereka dapat diterima di lingkungan baru (Atmadja dan Atmadja, 2005: 111).

Diah Rengsi mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan baru keluarga suaminya, belajar

banyak tentang adat serta budaya di lingkungan barunya. “Seringan Diah Rengsi sané mamaca

lan matakén indik Upakara lan Tattwa agama Hinduné.Utamané indik bebanten nuju Purnama,

Tilem.” (Suryak Suung Mangmung, 43). 84 Kemampuan Diah Rengsi beradaptasi dengan

lingkungan barunya merupakan salah satu bentuk kemapanannya menjalankan peran domestik

sebagai seorang perempuan.

Peranan Diah Rengsi di sektor publik sebagai penopang perekonomian keluarga telah

menggeser peranan suaminya. Suami sebagai laki-laki yang seharusnya berperan-biasanya

mendominasi- sektor publik kini tergantikan posisinya oleh Diah Rengsi. Diah Rengsi yang

telah bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta mampu menjalankan perannya sebagai tulang

punggung keluarga memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini karena suaminya masih kuliah dan

84
“Lebih sering Diah Rengsi yang membaca dan bertanya tentang Upakara dan Tattwa agama Hindu. Terutama
tentang banten saat Purnama, Tilem”

144
tidak bekerja. Akhirnya Diah Rengsilah yang menanggung biaya kehidupan sehari-hari

keluarganya. Meskipun telah menikah Gusti Ngurah Anantha Bhuana belum mampu

menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga untuk menjadi tulang punggung

perekonomian.”Raganné dururng taler lulus, napi malih makarya mangda nénten setata

nglantingin rabi sane ngrereh pangupa jiwa”85 (Suryak Suung Mangmung, 44). Ketergantungan

laki-laki (suami) secara finansial pada perempuan (istri) yang ditunjukkan oleh Gung Anantha

membuktikan bahwa perempuan telah mampu menjadi basis ekonomi bagi keluarganya.

Kemampuan Diah Rengsi untuk memasuki sektor publik lalu berperan aktif (malah cenderung

memegang kendali) dalam mengatasi masalah eekonomi keluarga menunjukkan bahwa ia

mampu juga menjalankan peran maskulin sebagai tulang punggung keluarga. Peranan ganda

mampu dijalankan dengan baik oleh Diah Rengsi, tidak hanya berkubang pada sektor domestik

(mengurus anak, membuat banten, mencuci, dll), tetapi juga mampu berperan aktif di sektor

publik (bekerja sebagai perawat dan memenuhi kebutuhan finansial keluarga).

Gusti Biang Ngurah, Marieta Victoria dan Diah Rengsi adalah cermin perempuan yang

mampu menunjukkan diri sebagai wanita yang tangguh dalam masyarakat multikultur. Mereka

menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memenuhi kebutuhan finansial keluarga meskipun

tanpa dukungan laki-laki. Ada peralihan fungsi gender, pergeseran peran ketika laki-laki tidak

aktif berperan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan mampu bergerak secara aktif dan

dominan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, baik secara material maupun moral. Perempuan

yang berperan ganda tidak hanya berkutat pada domainnya sebagai individu yang terikat pada

urusan domestik. Namun, telah melangkah untuk berperan juga dalam sektor publik yang

dulunya didominasi kaum laki-laki. Mereka mampu menunjukkan eksistensinya sebagai

perempuan modern yang tidak lagi takluk pada laki-laki. Namun, bangkit dari keterpurukan
85
“Dia belum juga lulus apalagi bekerja, supaya tidak selalu bergantung pada istri yang mencari nafkah”

145
(Gusti Biang Ngurah dan Marieta Victoria yang ditinggal suaminya) lalu bersaing di ranah

publik untuk mendapatkan pengakuan dan pendapatan. Meskipun mereka sendiri tidak

sepenuhnya bisa lepas dari keterikatan tugas-tugas domestik (mencuci, memasak, mengasuh

anak, dll). Setidaknya mereka menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu berada pada posisi

inferior. Perempuan mampu bekerja, mampu mencukupi kebutuhan financial dan moral keluarga

tanpa bantuan suami (Diah Rengsi).

Kedudukan perempuan dalam masyarakat Bali yang bernapaskan Hindu sesungguhnya

sangat diperhitungkan. Perempuan tidak hanya menjadi pemain tingkat kedua (second player),

tetapi duduk bersama dalam kegiatan keseharian yang berkaitan dengan adat dan agama. Hindu

memandang perempuan sebagai Shakti (Sanskerta) yang berarti “kekuatan” atau “energi”.

Perempuan dipandang sebagai sebuah kekuatan atau energi yang menjadikan manusia, bahkan

dewa tetap pada posisi mereka, membuat seseorang kuat, atau membuat manusia menjadi orang

suci.86 Desa-desa Bali Aga87 bahkan memiliki larangan untuk berpoligami yang bertujuan untuk

melindungi hak-hak perempuan dari dominasi laki-laki. Larangan-larangan ini tertuang dalam

awig-awig88 desa yang diatur dengan sangat ketat karena berkaitan langsung dengan hak laki-laki

sebagai krama desa89 (Sujaya, 2007: vi-vii).

Etnik Sasak juga menempatkan perempuan sebagai sosok yang dihormati. Etnik Sasak

yang sebagian besar penganut Islam menjunjung tinggi keberadaan perempuan dalam adat serta

86
Shakti dalam ajaran Hindu adalah pasangan dewa-dewa (istri) yang menjaga kekuatan dewa-dewa tersebut tetap
pada tempatnya. Sedikitnya terdapat 40 Shakti dalam kepercayaan Hindu yang termuat di Rig Veda. Frank
Morales, 2011, hal. 10-15.
87
Bali Aga atau disebut juga dengan Bali Mula adalah orang-orang Bali asli yang tidak berasal dari keturunan Jawa
(Majapahit). Orang-orang Bali Aga adalah penghuni Bali sebelum akhirnya ditaklukan oleh kerajaan Majapahit
melalui ekspansi yang dilakukan Gajah Mada. Bali Aga kini menghuni desa-desa yang kebanyakan berada di
pegunungan, di antaranya adalah Tenganan (Karangasem), Bayung Gede (Bangli), Bonyoh (Bangli), dan
Umbalan (Bangli).
88
Awig-awig adalah aturan atau tata krama yang dimiliki oleh setiap organisasi sosial tradisional di Bali. Awig-awig
ada yang bersifat tertulis ada yang tidak tertulis.
89
Krama desa adalah anggota masyarakat suatu desa adat di Bali. Mereka memiliki hak serta kewajiban yang diatur
dalam awig-awig.

146
agama. Masyarakat etnik Sasak meyakini Gunung Rinjani sebagai manifestasi kekuatan

perempuan. Gunung Rinjani dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Dewi Anjani, sumber

kekuatan dan kesuburan. Keyakinan Islam yang dianut etnik Sasak juga menyebutkan bahwa

“Barang siapa memperhatikan anak perempuannya kemudian bertakwa kepada Allah (dalam

proses pemenuhan hak dan kewajibannya), maka balasannya adalah surga” (Depag RI, 1986:

231). Ayat ini menunjukkan betapa perempuan memiliki tempat yang sangat baik di dalam

agama Islam. Hal itu penting karena dengan memperhatikan hak dan kewajiban anak perempuan

serta selalu bertakwa orang tua akan mendapatkan tempat di surga.

Modernisasi membawa dampak besar terhadap kedudukan perempuan dalam bentuk

gerakan emansipasi yang mencoba menghapus jejak kelam masa silam terhadap marginalisasi

fungsi dan peran perempuan. Namun, masih saja menyisakan perempuan-perempuan yang

terlelap dalam hegemoni budaya patriakhi. Individu tersebut tidak kuasa (atau enggan) beranjak

dari citra feminisme yang menempatkan perempuan pada sisi lemah, pasif, serta tidak mandiri.

Konsep ideologi gender rupanya masih membelenggu individu ini dalam ikatan patriarki yang

sudah jelas merugikan dirinya. Proses pembentukan citra baku antara feminim dan maskulin

menjadi sebuah ideologi gender yang lebih banyak mengakibatkan perempuan secara fisik

termarjinalisasi (Mariyah dkk., 2005: 100).

Perempuan seperti ini tidak bergerak aktif dalam merespons arus emansipasi yang turut

dibawa oleh multikulturalisme. Mereka tidak turut berkiprah dalam sektor publik dan lebih

memilih untuk berkutat pada urusan domestik semata. Tokoh perempuan yang mencerminkan

perempuan pasif dalam arti kesetaraan gender dalam novel adalah Gusti Biang Suci. Gusti Biang

Suci merupakan sosok perempuan yang membiarkan dirinya larut dalam urusan domestik, tidak

147
membuka diri pada pergerakan emansipasi, tidak membuka diri pada pengetahuan lingkungan

sehingga akhirnya menyesali diri sebagai akibat perbuatannya.

Gusti Biang Suci adalah perempuan yang bersuamikan seorang pejuang. Namun, ia tidak

memahami tugas dan kewajiban seorang pejuang. Saat suaminya berjuang, keluar masuk hutan

untuk bergerilya melawan musuh, ia malah menaruh curiga pada suaminya. Ia menyangka

suaminya telah memiliki wanita lain sehingga jarang pulang ke rumah. Pertempuran dengan

strategi gerilya memang memaksa suami Gusti Biang Suci untuk tidak menetap pada satu tempat

saja. Hal inilah yang tidak dipahami oleh Gusti Biang Suci. Kurang terbukanya wawasan Gusti

Biang Suci akan pekerjaan suaminya menyebabkan rasa curiga yang berlebihan kian tertanam di

hatinya. Tanpa dasar bukti yang kuat ia menuduh suaminya berselingkuh lalu pergi

meninggalkan suami dan anak pertamanya, padahal saat itu ia sedang mengandung. Gusti Biang

Suci memutuskan untuk pergi ke Lombok bersama keluarga besarnya.

Gusti Biang Suci berada pada posisi terhimpit akibat perbuatannya sendiri. Ia terpaksa

menerima ketika dinikahkan dengan sepupunya oleh orang tuanya. Hal ini dilakukan guna

menghindari gunjingan orang ketika anak yang dikandungnya lahir tanpa ayah. Terhimpit di

antara keterpaksaan menikah dengan orang yang tak dicintai serta mempertahankan nama baik

keluarga.”Nganti basang ibuné ngenah ngedenang. Ditu lantas anaké lingsir majangkepang ibu

ngajak beli Ngurah Gede” (Sembalun Rinjani, 85).90 Keputusan pernikahan ini benar ketika

alasannya untuk menghindari aib keluarga jika anak yang dikandung Gusti Biang Suci lahir

tanpa ayah. Namun, menjadi miris ketika Gusti Biang Suci harus mengorbankan kesempatannya

untuk menjadi perempuan bebas dan mandiri. Hal itu terjadi karena dinikahkan dengan laki-laki

yang tidak dicintai sehingga kembali termarjinalkan oleh kuasa patriarki. Jalinan rumah tangga

ini memang berjalan dengan baik karena cinta akan tumbuh seiring dengan waktu berjalan.
90
“Sampai perut ibu terlihat membesar. Di sana lantas orang tua menikahkan ibu dengan Ngurah Gede”

148
Namun, seiring dengan waktu pula, Gusti Biang Suci semakin melemah menghadapi suaminya.

Ia kehilangan bargaining power atas kedudukannya sebagai istri ketika usia senja tiba.

Gusti Ngurah Gede melakukan perselingkuhan dengan pembantu yang bekerja membantu

Gusti Biang Suci mengurus peternakannya. Gusti Biang Suci awalnya menentang dan sulit

menerima kenyataan pahit ini. Namun, lagi-lagi ia menyerah pasrah pada keadaan.

Perselingkuhan Gusti Ngurah Gede terjadi karena Gusti Biang Suci tidak lagi mampu memenuhi

hasrat seksual suaminya. Perselingkuhan ini menunjukkan bagaimana Gusti Biang Suci

menyerah pada dominasi seksualitas laki-laki. “Pamuputné, miribang saking tan sida

nanggehang kayuné, lantas ragané mamitra ngajak Ni Genitri. Sujatiné ibu sedih pesan ngelah

madu ulian sesiliban.” (Suryak Suung Mangmung, 35).91 Sebagai suami, Gusti Ngurah Gede

tidak mampu mengendalikan hasrat seksualitasnya hingga akhirnya melakukan perselingkuhan

dengan wanita yang lebih muda.

Masa manapouse yang dialami perempuan datang secara alamiah ketika usia perempuan

semakin tua dan secara alamiah akan mengurangi hasrat seksualitas perempuan. Hal ini menjadi

alasan bagi laki-laki (Gusti Ngurah Gede) untuk menyalurkan hasrat seksualnya pada perempuan

lain yang lebih muda. Ironinya adalah seorang perempuan yang menjadi tempat pelampiasan

hasrat seksual Gusti Ngurah Gede merelakan tubuhnya tanpa ikatan perkawinan atau transaksi

materi. Berdasarkan hal itu, semakin jelas terlihat bahwa Gusti Ngurah Gede hanya

memanfaatkan tubuh perempuan sebagai objek seksualitasnya. Sebagai media untuk

menyalurkan libido yang tidak lagi mampu ditangani oleh istrinya. Penerimaan Gusti Biang Suci

pada keadaan ini semakin menguatkan steriotipe bahwa perempuan merupakan makhluk yang

lemah, terjajah oleh lelaki khususnya dalam urusan seks. “Yen ajiné perlu mara ia ngiring ajiné

91
“Akhirnya karena tidak bisa mengendalikan keinginannya, ia berselingkuh dengan Ni Genitri. Sebetulnya ibu
sangat sedih dimadu.”

149
di kubu” (Suryak Suung Mangmung, 35).92 Tubuh perempuan dihargai ketika hasrat seksual laki-

laki membutuhkan objek, kemudian dilupakan ketika subjek telah menemukan sesuatu yang

dicarinya, kenikmatan seksual!

Lemahnya posisi Gusti Biang Suci sebagai seorang perempuan (istri dan ibu) rupanya

telah tertanam sebagai sebuah ideologi baginya. Gusti Biang Suci berprinsip bahwa perempuan

hanya memiliki hak dan kewajiban atas wilayah domestik, lebih dari itu adalah ranah yang

diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Keyakinan inilah yang mendorong Gusti Biang Suci untuk

melarang anak perempuannya melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Gusti Ayu Sri Wahyuni

adalah putri Gusti Biang Suci yang hendak melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.

Keinginan ini mendapatkan penolakan dari ibunya. “Yen anak luh sesubané makurenan lakar

nutug ané muani, ngurus umahné padidi, patutné ia ngurus kulewargan kurenané”93 (Sembalun

Rinjani, 130). Pernyataan yang dilontarkan Gusti Biang Suci menyiratkan bahwa dalam

keyakinannya perempuan harus mengurus rumah, suami, dan keluarganya bekerja di sektor

publik.

Keinginan Gusti Biang Suci ini mendapat tentangan dari kedua anaknya. Gusti Ayu Sri

Wahyuni mendapat dukungan kakaknya, Gusti Ngurah Darsana yang berhasil meyakinkan Gusti

Biang Suci bahwa perempuan pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki di bidang

pendidikan. Meskipun akhirnya mengizinkan anaknya untuk melanjutkan sekolahnya di

kedokteran, ia tetap meyakini bahwa tugas perempuan adalah berkutat di ranah domestik semata.

Modernitas rupanya tidak mampu mengikis habis dominasi patriarki yang telah terpatri

dalam beberapa masyarakat sosial sejak dulu. Laki-laki yang terlanjur nyaman pada posisi

dominan enggan untuk membagi kenyamannya pada kaum perempuan. Dengan demikian,

92
“Jika ayah menginginkannya, barulah ia menemani ayahmu di rumah”.
93
“Kalau anak perempuan setelah bersuami akan ikut suaminya, mengurus rumah, juga mengurus keluarga
suaminya.”

150
hegemoni terhadap kaum perempuan terus menerus terjadi, perempuan masih dipandang sebelah

mata oleh laki-laki. Perempuan sering kali hanya menjadi objek bagi laki-laki, hanya menjadi

jalan atas pemenuhan hasrat laki-laki.

Tokoh perempuan yang hadir dalam trilogi novel Sembalun Rinjani memang tidak selalu

hadir sebagai perempuan yang lemah serta turut pada budaya patriarki. Gusti Biang Ngurah,

Marieta, serta Diah Rengsi adalah tokoh perempuan yang cukup tangguh untuk lepas dari

hegemoni laki-laki. Mereka mampu tampil lebih dominan dari pada laki-laki, tidak hanya bekerja

di sektor domestik yang selama ini dikultuskan pada kaum perempuan, tetapi juga di sektor

publik. Pada sektor publik, tokoh-tokoh perempuan mampu bekerja lebih baik dari pada laki-laki

yang mendampinginya (suami). Mereka mampu mendapatkan materi (uang) yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan mampu menggerakkan ekonomi keluarga.

Tokoh perempuan ini maju dan berjuang mencari tempatnya di sektor publik tanpa

dukungan laki-laki. Mereka berusaha sendiri dengan kemampuannya, menjadikan diri mereka

tangguh tanpa kehilangan rasa tanggung jawab sebagai seorang perempuan. Mereka mengambil

alih tugas laki-laki sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah, mereka mengendalikan

perekonomian keluarga karena dari merekalah sumber utama pemasukan ekonomi. Secara

sosiologis tokoh-tokoh perempuan ini telah mampu sejajar dengan laki-laki, meskipun secara

fisik dan psikologis masih belum mampu menghapuskan hegemoni ideologi patriarki. Tokoh-

tokoh perempuan ini menunjukkan jati diri sebagai perempuan modern yang mampu duduk sama

rata dengan laki-laki, memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, yaitu berkiprah pada ranah

publik.

Kedudukan perempuan dalam masyarakat multikutur yang tercermin dalam trilogi novel

Sembalun Rinajani telah lebih baik, yaitu hak dan kewajiban kaum perempuan lebih

151
diperhatikan. Perjuangan kaum perempuan yang berpikiran maju melalui gerakan emansipasinya

telah mengantarkan harkat serta martabat perempuan ke tempat yang lebih layak, tidak lagi harus

berada di bawah laki-laki. Namun, ada juga kaum perempuan yang masih saja enggan beranjak

dari bayang-bayang ideologi patriarki. Mereka masih merasa nyaman hanya dengan menjadi

objek bagi laki-laki, baik secara fisik, sosiologis, maupun psikologis. Dilema memang ketika di

satu sisi kaum perempuan berjuang guna mendobrak batas-batas polarisasi, sedangkan di sisi

lain ada juga kaumnya yang masih menerima pengkultusan dirinya sebagai makhluk inferior.

Akan tetapi inilah dualitas dalam realitas masyarakat multikultur yang terus akan berkembang ke

arah lebih baik seiring dengan membaiknya pola pikir individu-individu di dalamnya.

152
Daftar Pustaka

Anwar, Wan. 2007. ”Potret Gelap Keluarga Griya dalam Novel Kenanga karya Oka Rusmini.”
Makalah yang disampaikan pada pelatihan APRESDA Guru Tingkat Nasional.

Apriani, Ni Nyoman. 2009. ”Novel Suryak Suwung Mangmung Karya Djelantik Santha
Pendekatan Sosiologi Sastra.” Denpasar: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra
Universitas Udayana.

Arnati, Ni Wayan. 2002. Petunjuk Bahasa Pawiwahan Adat di Bali. Denpasar: CV. Nira Surya
Raditya.

Astawa, I Nengah Dasi. 2005. ”Sisi SWOT Multikulturalisme Indonesia” (dalam Jurnal Kajian
Budaya, Vol.2, No. 3, Januari 2005, hlm. 58 -59). Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.

Atmadja, Nengah Bawa dan Anantawikrama Tungga Atmadja. 2005. ”Dekonstruksi Alasan
Maknawi Wanita Bali Menjadi Guru dan Implikasinya terhadap Kesetaraan Gender”
(dalam Jurnal Kajian Budaya, Vol. 2, No. 3, Januari 2005, hlm. 122). Denpasar:
Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung: CV
Sinar Baru.

Bainar, Hajjah, dkk. 2006. Ilmu Sosial, Budaya, dan Kealaman Dasar. Jakarta: CV Jenki Satria.

Bandel, Katrin. 2009. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.

Budajayanti, Made Dwi. 2007. ”Kajian Sosisologi Sastra Novel Sembalun Rinjani”. Denpasar:
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Departemen Agama RI. 1986. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Surajaya.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Edy, Nyoman Tusthi. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakarta : Balai Pustaka.

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernise.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

153
Fathoni, Abdurrahmat. 2005. Antropologi Sosial Budaya, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.

Gobiah, I Wayan. 1931. Nemoe Karma. Jakarta: Balai Bahasa.

Irving, M Zeitin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer
(Terjemahan Anshori dan Juhanda). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kardji, I Wayan. 2004. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: PT
Gramedia.

Manda, I Nyoman. 2001. Bunga Gadung Ulung Abancang 1. Gianyar: Pondok Tebuwatu

______________. 2001. Bunga Gadung Ulung Abancang 2. Gianyar: Pondok Tebuwatu

_______________. 2002. Bunga Gadung Ulung Abancang 3 Gianyar: Pondok Tebuwatu.

_______________. 2004. Tiang. Gianyar: Pondok Tebuwatu.

_______________. 2006. Kisah-kisah Jumah, Basa lan Sastra Bali. Gianyar: Pondok Tebuwatu.

______________. 2010. Biyur-biyur ring Pesisi Sanur. Gianyar: Pondok Tebuwatu.

______________. 2010. Kulkul Bulus. Gianyar: Pondok Tebuwatu.

______________. 2010. Tyaga Wani Mati. Gianyar: Pondok Tebuwatu.

Mariyah, Emiliana dkk. 2005. ”Perkawinan Poligini dalam Perspektif Agama dan Gender”
(dalam Jurnal Kajian Budaya, Vol. 2, No. 3, Januari 2005, hlm 95 - 107). Denpasar:
Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Morales, Frank. 2011. ”Konsep Shakti: Agama Hindu sebagai Kekuatan Pembebasan bagi
Perempuan”. Media Hindu. Edisi. 09, Agustus 2011, hlm 10-15). Jakarta: Media Hindu.

Muliarta, I Wayan. 2009. ”Kata Majemuk Bahasa Bali dalam Novel Djelantik Santha”.
Denpasar: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Nababan, P.J.W. 1991. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nicolle, David dan Christa Hook. Perang Salib I 1096-99, Penaklukan Tanah Suci (Terj.
Damaning Tyas Wulandari Palar). Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.

154
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Parekh, Bhiku. 2008. Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik
(Terj. Bambang Kukuh Adi). Jakarta: Kanisius.

Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer (Terj. Tim Penerjemah YASOGAMA).


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Putra, I Nyoman Darma. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Denpasar: Arti Foundation.

___________________. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Pustaka Larasan.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
___________________.2005. Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________________. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan
Kedua.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rida, I Ketut. 1999. Sunari. Jakarta: Yayasan Obor.

Santha, Djelantik. 1981. Tresnane Labur Ajur Satonden Kembang. Denpasar:-

____________________. 2000. Sembalun Rinjani. Denpasar: Majalah SARAD.

____________________. 2003. Gita Ning Nusa Alit. Denpasar: Balai Bahasa.

____________________. 2005. Suryak Suwung Mangmung. Denpasar: Balai Bahasa.

Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarata: CV Rajawali

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.


______________. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.
Sujaya, I Made. 2007. Perkawinan Terlarang, Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno.
Denpasar: Arti Foundation.
Sumardjo, Trisno. 2000. ”Seni sebagai Tanggung Djawab” dalam Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX, hal. 467 (Penyusun E. Ulrich Kratz).Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Suparka, I Wayan dan I Gusti Ketut Anom. 1993. Tata Basa Basa Bali Anyar. Denpasar: Upada
Sastra.

155
Surpha, I Wayan. 2006. Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Susanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta.
Srawana, Gde. 1978. Mlantjaran ka Sasak. Denpasar: Yayasan Sabha Sastra Bali.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Taum, Yoseph Yapi. 1995. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran
Daerah Tingkat I Bali.
Tim Penyusun: Pengadaan Buku Sejarah dan Purbakala. 2003. Sekelumit Sejarah Puri
Karangasem. Karangasem: Diparsenibud.
Tingkat, I Nyoman. 2007. “Representasi Perubahan Budaya Bali dalam Novel-novel Sunaryono
Basuki”. Tesis pada Konsentrasi Wacana Sastra, Program S-2 Linguistik, Pascasarjana
Universitas Udayana.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta). Jakarta: PT
Gramedia.
Windia, Wayan P. 2011. ”Pasidikaran dalam Pengangkatan Anak”. Bali Post edisi 24 Juli 20011.
Yadnya, I.B. Putra. 2003. ”Revitalisasi Bahasa Daerah (Bali) di Tengah Persaingan Bahasa
Nasional, Daerah dan Asing untuk Memperkukuh Ketahanan Budaya” (hal. 2). Makalah
Konggres Bahasa Indonesia VIII.

156

Anda mungkin juga menyukai