Anda di halaman 1dari 98

GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN

Studi Kasus: Pencekalan Dan Stigma Komunis


Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :
Ruddy Eppata Cahyono
014314019

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:

¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya
ke dalam hati dan pikiran ku.
¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang
telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya
hingga skripsi ini selesai.
¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan
Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan
penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.
¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam
susah maupun senang.

iv
MOTTO

“…..sebab perjuangan itu perlu bukti…..”

“ hasil tak kan pernah terbentuk tanpa adanya proses”

“ memahami masa lalu, bijak untuk masa depan”

“Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup

karna dunia belum terhenti, berputar searah….teruslah bermimpi jangan


pernah lelah meski tak mudah meraihnya….buktikan, buatlah menjadi
nyata..hadapi dunia dengan wibawa dan bijak…”

(Andrea Hirata “Sang Pemimpi”)

“kesadaran adalah matahari…kesabaran adalah bumi…

Perbuatan adalah wujud dari kata-kata…

….aku bernyanyi menjadi saksi…atas semua luka-luka…”

(W.S.Rendra)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli

kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang

telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Mei 2010

Penulis

Ruddy Eppata Cahyono


ABSTRACT
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., "GENJER-GENJER: Functions and Role.,
Case Studies, Bans and Communists Stigma in Genjer-Genjer Song by Orde
Baru", Undergraduate Thesis., Yogyakarta: Departement of History
Letter, Faculty of History Letter. Sanata Dharma University.

This research studies how the political upheaval that was happening in the life
of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the
Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change
image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became
a political song. This case study is divided into four main issues: the history of
creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 1942-
1966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia?
and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer
song?
The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the
travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru
regime, through the point of view function and its role as one of the products of
human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the
development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research.
To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study
uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection
of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of
sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several
steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to
analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as
Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the
theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of
the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of
this historiography.
From the overall results of this study it appears that, at the beginning of
creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi
community. Together with the values contained in the functions of this song tries to
enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in
the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song,
become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies
scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and
communist stigma.

vi
ABSTRAK
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN.,
Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer
Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah,
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pergolakan politik yang sedang


terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia membawa dampak
yang signifikan bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Kuatnya cengkraman ideologi-
ideologi politik yang sedang berkembang, berhasil mengubah-fungsikan citra lagu
Genjer-Genjer dari citra yang sesengguhnya yakni, lagu rakyat Banyuwangi, menjadi
lagu yang bernuansa politis. Penelitian kasus ini terbagi ke dalam empat
permasalahan yakni: sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer?, Perkembangannya dari
tahun 1942-1966?, fungsi dan peranannya bagi perkembangan kehidupan berkesenian
dan perpolitikan Indonesia? dan sebab-sebab dari pencekalan dan kuatnya stigma
komunis bagi lagu Genjer-Genjer?
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk dapat memahami dan menjawab
“misteri” dari pencekalan dan stigma komunis pada lagu ini yang dilancarkan oleh
Rejim Orde Baru, lewat sudut pandang fungsi dan perannya sebagai salah satu
produk dari kebudayaan manusia. Selain itu, bagaimana awal terciptanya lagu
Genjer-Genjer dan bagaimana perkembangan dari lagu Genjer-Genjer pada periode
selanjutnya juga menjadi salah satu tujuan dalam penelitian ini.
Guna memahami dan menjawab permasalahan yang terjadi pada kasus
tersebut, penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat
tahap yakni: pengumpulan sumber, kritik sumber, analisis sumber dan penulisan
sejarah. Dalam pengumpulan sumber guna memperoleh sumber-sumber yang valid
dan terkait dengan kasus tersebut, penelitian ini mengambil beberapa langkah seperti
wawancara, studi pustaka dan website. Selanjutnya, untuk dapat menganalisis
sumber-sumber tersebut penelitian ini mempergunakan beberapa teori ilmu sosial
seperti, teori fungsionalnya Bronislaw Malinowski, teori nilainya Mudji Soetrisno
dan teori musiknya Dieter Mack. Lewat teori-teori tersebut “misteri” dari fenomena
kehadiran lagu Genjer-Genjer dapat terungkap bersama kehadiran historiografi ini.
Dari hasil keseluruhan penelitian ini tampak bahwa, pada awal penciptaannya,
1942, lagu Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat masyarakat
Banyuwangi. Bersama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi-fungsinya
lagu ini mencoba mewarnai perjalanan seni-budaya di Indonesia. Namun pergolakan
sosial-politik yang terjadi pada era 1960-1966, berhasil mengubah-fungsikan citra
dari lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang berideologi politik. Kuatnya cengkraman
ideologi politik menggoreskan konsekuensi bagi lagu Genjer-Genjer dan berakhir
pada pencekalan dan terpasungnya pada sebuah stigma ko

vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : RUDDY EPPATA CAHYONO

Nomor Mahasiswa : 014314019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
GENJER-GENJER : FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus : Pencekalan Dan
Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-
ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-
berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 1 Mei 2010

Yang menyatakan

( Ruddy Eppata Cahyono )


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas

dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang sebanyak-

banyaknya kepada:

1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata

Dharma.

2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sanata Dharma.

3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan

dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah

diberikan

4. Drs. Silverio R. L. Aji Sampurna M.Hum., selaku dosen pembimbing atas

segala kritik, bimbingan, kesabaran dan kemudahan yang diberikan.

5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H.

Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G..

Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih,

M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan

tuntunannya selama kuliah.

6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna besar dan kecil,

Ajeng, Riska, Erna, Lina, Bertha, Eko, Hendri, Adit, Fenny, Agus, Mbelek,

viii
Sempal, Upi, Badu, Hananto, Bondan, Bondo, Qser, dan semua kawan-kawan

ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma atas dorongan dan motivasinya kepada

penulis, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

7. Songket Band: Gembes, Yoyon, Khonteng, Catag, Pletot, Melky, dan Tejo, yang

telah memberikan pengertian, dorongan dan motivasinya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Saudaraku Febby, Novi, Melly dan Gery atas bimbingannya selama ini.

9. Komunitas Seni WAPRES Bulungan, Jakarta Selatan

10. Komunitas Seni Bambu, Jakarta Selatan

11. Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur

12. Komunitas Seniman Banyuwangi, Surakarta

13. Komunitas Teplok, Surakarta

14. Bapak, Ibu, kakak-kakak, keponakan dan my soul of spirit Henny, aku bahagia

menjadi bagian kehidupan kalian.

15. Dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungannya selama ini

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan

dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga

skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.

Yogyakarta, 2010

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ v

ABSTRACT ........................................................................................................... vi

ABSTRAK ……………………………………………………………………... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1

A. Latar Belakang penelitian ......................................................……... 1


B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ....................................…….. 7
C. Rumusan Masalah ..................................................................……. 9
D. Tujuan Penelitian ...................................................................……. 10
E. Manfaat Penelitian .................................................................……. 11
F. Tinjauan Pustaka .....................................................................……. 12
G. Landasan Teori .......................................................................…….. 15
H. Metode Penelitian ..................................................................…….. 17
I. Sistematika Penulisan ..............................................................……. 19

BAB II RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER ............... .. 21

A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi .....................…….. 21


B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960) ...............…….. 30
C. Fungsi Lagu Genjer-Genjer ....................................................…….. 38

x
BAB III LAGU GENJER-GENJER DALAM CENGKRAMAN POLITIK ..... .. 41

A. Selayang Pandang Perkembangan Lagu di Indonesia Tahun 1960-


1966 .......................................................................................…….. 41
B. Jejak Langkah Lagu Genjer-Genjer 1960-1965......................……. 48
C. Pandangan PKI dan LEKRA bagi Lagu Genjer-Genjer .........……. 53

BAB IV JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER .......................................... .. 57

A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer 1965-


1966……..…………………………………………………………...57
B. Lagu Genjer-Genjer Di Antara Banyuwangi, PKI, LEKRA
Dan Orde Baru........................................................................……...63

BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... ..67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN I

LAMPIRAN II

LAMPIRAN III

LAMPIRAN IV

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Musik atau lagu, sebagai salah satu ungkapan ekspresi seni manusia,

melukiskan jejak tersendiri bagi perjalanan kehidupan kebudayaan manusia.

Musik atau lagu merupakan sebuah pernyataan seni yang paling universal dalam

bentuk dan merupakan suatu getar keindahan yang diantar langsung ketali rasa

manusia.1 Bersama dengan keindahan dan harmonisasi dari nada, irama, dan

syair-syair yang ditampilkannya, lagu berhasil hidup subur di setiap aspek

kehidupan manusia. Hampir setiap lapisan dari berbagai golongan terbius oleh

kenikmatan yang disuguhkan oleh musik atau lagu, dan kehadirannya tidak dapat

begitu saja terlepas dari kehidupan manusia.

Sebagai sebuah struktur seni, layaknya semua seni, lagu hadir dengan

beragam fungsi dan peran. Selain berfungsi sebagai media hiburan, fungsi-fungsi

lain seperti alat ritual, alat pengikat komunitas, alat perjuangan, media kritik,

sampai pada alat propaganda politis, juga turut mewarnai. Selanjutnya, bersama

dengan fungsi-fungsi tersebut nilai-nilai yang terkandung diharapkan dapat

menjadi wadah komunikasi antara si pengarang lagu dengan audience atau

penikmat lagu.

1
M. Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu
Populer, Majalah Gelora, Jakarta, hal: 15

1
2

Eratnya hubungan yang terjalin antara lagu dengan kehidupan manusia

menyebabkan pola yang terbentuk pada lagu tidak jauh berbeda dengan pola yang

lahir dan berkembang dalam kehidupan manusia. Pergolakan-pergolakan yang

tampil dalam kehidupan kebudayaan manusia (sosial, ekonomi dan politik) secara

tidak langsung membawa pengaruh yang significant bagi kelangsungan

kehidupan lagu, begitu pula sebaliknya. Tidak jarang pergolakan tersebut

merubah fungsi nilai dan makna yang terkandung dalam lagu menjadi sebuah

nilai dan makna yang baru, dan terkadang memaksa lagu untuk berjalan jauh

terlepas dari ruang idealismenya, terkait dengan fungsi dasar terciptanya sebuah

lagu. Pada titik ini tanpa di sadari lagu berjalan pada titik ambiguitas makna dan

fungsi.

Perubahan fungsi tersebut terlihat jelas ketika kehadiran lagu harus

dibenturkan pada sebuah kepentingan dari sistem politik yang sedang berkembang

dalam kehidupan manusia, terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kuatnya makna kuasa dan kontrol dari sebuah sistem politik yang sedang

berkembang, memposisikan lagu untuk pada titik yang lemah. Keinginan untuk

dapat berjalan netral dalam ruang idealisme seninya dirasakan sulit untuk dapat

dicapai, terlebih ketika lagu dipaksa mempunyai nilai loyalitas terhadap sebuah

sistem politik tertentu. Dampak yang lebih luas lagi dari perubahan fungsi lagu

adalah diangkatnya sesuatu yang artifisial menjadi simbol demi menyaratkan

serta menguasai manusia dan akhirnya sebuah lagu hanya menjadi perpanjangan
3

tangan dari sebuah sistem politik,2 bahkan bisa dikatakan hanya sebatas

dimanfaatkan. Pada dasarnya hakikat seni, dalam hal ini lagu, adalah ekspresi

manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni pada zaman sekarang hanya

akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.3

Seperti halnya yang terjadi dalam kasus pencekalan dan stigma komunis

pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Dalam kasus ini, lagu Genjer-Genjer

pada perjalanannya dipaksa berubah fungsi demi sebuah kepentingan dari sistem

politik yang sedang berkembang dalam tubuh rezim politik yang sedang berkuasa

pada era 1960-an (PKI dan Orde Baru). Kuatnya cengkraman dari sistem politik,

baik dari PKI maupun Orde Baru, berhasil membentuk fungsi baru dalam tubuh

lagu Genjer-Genjer yang secara tidak langsung menghantar lagu Genjer-Genjer

pada titik ambiguitas fungsi dan nilai. Berawal dari titik ambiguitas tersebutlah

pada akhirnya menyebabkan pencekalan dan melahirkan sebuah makna komunis

pada lagu Genjer-Genjer. Pada ruang ini jelas terlihat bagaimana kehadiran lagu

Genjer-Genjer coba dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu demi perpanjangan

tangan sistem politiknya dan kelancaran dari kelangsungan kehidupan politiknya.

Ideologi politik yang terbentuk dalam tubuh partai atau kelompoknya dipaksa

melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan menyebabkan lahirnya sebuah

makna dan nilai baru bagi lagu. Ironisnya makna dan nilai tersebut dijadikan

2
Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan
Cinta, Pustaka LP3ES, Jakarta, lihat kata pengantar Dieter Mack, Musik di antara
Seni dan Politik : Sebuah Dilema Abadi, hal: xvii
3
Ibid., hal: xx
4

simbol yang menyaratkan sebuah kepentingan politik dari kelompok politik

tertentu.

Ketika dikaji lebih dalam melalui kerangka awal penciptaannya, lagu

Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat (folksong) yang berasal dari

daerah Banyuwangi. Lukisan kesengsaraan masyarakat Banyuwangi dalam

menjalankan kehidupannya di sela-sela bentuk kolonialisasi Jepang dijadikan

inspirasi dari sang pengarang lagu, M. Arief, untuk dapat menciptakan lagu

Genjer-Genjer. Digambarkan oleh M. Arief bagaimana akibat kolonialisasi,

masyarakat Banyuwangi hidup dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa

sehingga harus makan daun genjer.4 Berawal dari lukisan-lukisan inilah yang

selanjutnya oleh M.Arief lagu Genjer-Genjer diharapkan dapat berfungsi sebagai

media kritik terhadap bentuk penjajahan Jepang5 dan media perjuangan bagi

masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupannya di sela-sela kehidupan

kolonialisasi bangsa Jepang.

Bersama dengan kesederhanaan dan harmonisasi dari nada, irama, dan

syair-syairnya, lagu Genjer-Genjer berhasil menjadi perwakilan suara-suara

perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menghadapi bentuk kolonialisasi

Jepang dan menyebabkan semakin dikenalnya lagu ini oleh kalayak ramai. Pada

periode tahun 1960 sampai pada pertengahan tahun 1965, perjalanan lagu Genjer-

Genjer menapaki masa kejayaannya. Lagu ini semakin populer dan hampir setiap

4
Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi
Komunis, Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang
5
Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan
Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,
Jogjakarta, hal: 11
5

kalangan dari berbagai golongan mengenal dan menyenangi lagu ini. Akan tetapi

tanpa di sadari, cengkraman ideologi politik PKI secara perlahan mulai

mencengkram setiap jejak perjalanan lagu Genjer-Genjer pada era tersebut.

Tahap demi tahap cengkraman tersebut melahirkan sebuah fungsi baru bagi lagu

rakyat Banyuwangi ini menjadi sebuah lagu propaganda politiknya PKI. Lagu

Genjer-Genjer oleh PKI dijadikan alat perpanjangan sistem ideologinya guna

menarik simpati dari massa. Mulai saat itu lagu Genjer-Genjer di kenal bukan

lagi sebatas lagu rakyat yang berasal dari Banyuwangi namun juga di kenal

sebagai lagunya orang-orang PKI. Nilai propaganda yang digoreskan PKI ke

dalam tubuh lagu Genjer-Genjer ternyata melahirkan nilai konsekuensi, implikasi

dan indikasi tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Secara tidak langsung,

aroma ideologi komunis PKI melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang

menyebabkan terikatnya lagu Genjer-Genjer pada stigma komunis atau PKI.

Sejak saat itu kehadirannya tidak penah bisa terlepas begitu saja dari PKI, dan

wajar ketika Orde Baru memilih untuk mencekal lagu Genjer-Genjer.

Kuatnya cengkraman ideologi PKI bagi lagu Genjer-Genjer memaksa

lagu Genjer-Genjer menenggak pil pahit, serupa dengan nasib yang dialami PKI.

Pasca meletusnya tragedi G30S 1965 dan menyeret PKI sebagai dalang dibalik

peristiwa tersebut. Nasib lagu Genjer-Genjer pun berubah drastis, kedekatannya

dengan PKI menuntut lagu ini turut memanggul nilai tanggung jawab atas

terjadinya peristiwa tersebut. Lagu Genjer-Genjer dipaksa terlibat dan

didisfungsikan sebagai sebuah lagu rakyat yang berakhir pada pencekalannya di

panggung kesenian Indonesia. Kedekatannya dengan PKI dijadikan salah satu


6

dasar pemikiran Orde Baru guna untuk dapat mencekal lagu Genjer-Genjer. Orde

Baru memanfaatkan lagu Genjer-Genjer dan mendesaign lagu ini sebagai senjata

ampuh guna mematikan langkah PKI. Terlebih ketika pemerintah pada era itu

memberikan kuasa penuh bagi Suharto, salah satu petinggi dari Orde Baru, lewat

Tap MPRS No IX/MPRS/1966 tentang perintah untuk dapat mengondusifkan

keadaan dan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan

pelarangan/pengharaman segala ajaran komunis, Marxisisme-Leninisme.

Menambah semakin gencarnya Orde Baru melakukan maneuver-manuver

pemberatasan PKI dan segala atributnya. Lagu Genjer-Genjer pun tidak luput

terlahap, lagu ini di cekal dan didisfungsikan sebagai lagu rakyat Banyuwangi.

Bangunan mitologi-mitologi komunis yang dirancang Orde Baru berhasil

mendoktrin pola pikir sebagian besar Bangsa Indonesia sampai saat ini dan

melahirkan rasa paranoid untuk dapat menyanyikan lagu Genjer-Genjer dalam

kehidupan sehari-harinya.

Kasus yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer sekilas menggambarkan

bagaimana pergolakan yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya

pergolakan politik, mempunyai pengaruh yang sangat significant bagi perjalanan

atau perkembangan sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini lagu Genjer-

Genjer. Semakin besar sebuah bangsa semakin kompleks pula permasalahan yang

akan dihadapinya dan tidak jarang menuntut korban yang tidak sedikit dari segala

aspek. Benturan-benturan kepentingan politis antara PKI dan Orde Baru memaksa

lagu Genjer-Genjer untuk menelan pil pahit dan, dapat dikatakan, menjadi

‘Korban’ dari pertempuran politik mereka. Pada dasarnya hakikat seni tidak
7

pernah bisa dikaitkan dengan sebuah bangsa, kecuali bila dipaksakan oleh sistem

politik tertentu yang berwatak otoriter.6

B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah

Kasus pencekalan dan stigma7 komunis pada lagu Genjer-Genjer yang

dilancarkan oleh Orde Baru membawa keunikan tersendiri untuk dikaji secara

mendalam. Bermuara pada uraian di atas, lahirlah beberapa permasalahan di

dalamnya. Dibalik nuansa PKI dan pekatnya aroma komunis pada lagu Genjer-

Genjer, ternyata mengandung keistimewaan tersendiri dari fungsi dan perannya

bagi perkembangan kesenian masyarakat Banyuwangi, Indonesia, Lekra dan

ideologi politik PKI. Dari sebab itu keistimewaan-keistimewaan fungsi dan peran

yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dirasa perlu untuk di ungkap.

Selain itu, apakah yang melatarbelakangi si pencipta lagu dalam menciptakan

lagu Genjer-Genjer juga menjadi salah satu topik permasalahan dalam pengkajian

ini untuk dapat menjadi dasar pengertian kenapa fungsi dan peran itu bisa

tertanam dalam lagu Genjer-Genjer.

Rejim Orde Baru yang pada era 1965 diberi mandat oleh pemerintah

untuk dapat mengkondusifkan kembali Indonesia dari segala kekacauan akibat

6
Teguh Esha, dkk., op.cit , hal: xvii
7
Dalam penelitian ini kata “Stigma” berujuk pada sebuah identitas negatif
yang dipaksakan melekat dalam tubuh lagu Genjer-Genjer. Stigma itu sendiri
berasal dari doktrinasi Orde Baru tentang opininya bagi lagu Genjer-Genjer
sebagai lagu yang berwarna komunis. Dan memiliki sifat terus-menerus dan
menyerupai abadi. Istilah stigma itu sendiri digunakan dalam penelitian guna
menerangkan bahwa komunis yang melekat berasal dari sebuah ideologi politik
yang dipaksakan untuk dapat melekat dan bukan sebuah identitas yang berasal
dari sebuah nilai estetika seni atau idealisme seninya.
8

peristiwa G30S, mengambil salah satu kebijakan yang cukup unik, yakni

pencekalan lagu Genjer-Genjer dari panggung hiburan Indonesia. Kebijakan

tersebut sudah barang tentu tidak berjalan begitu saja tanpa dasar-dasar penilaian

didalamnya. Oleh sebab itu, apakah yang melatarbelakangi kebijakan tersebut

dirasa tepat untuk dapat dikaji lebih dalam lagu dalam penelitian ini. Selain itu,

keistimewaan apa yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer dan apakah lagu

Genjer-Genjer mengandung fungsi atau hanya dimanfaatkan oleh Orde Baru guna

mematikan langkah PKI juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu

dijawab dalam penelitian ini. Lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya bukan saja

dicekal namun pekatnya stigma komunis dalam lagu ini juga turut mewarnai dan

permasalahan ini sampai sekarang belum terjawab dengan mendalam. Stigma

komunis itu sendiri terlahir sekilas dari sebuah konsekuensi kedekatannya dengan

PKI namun dibalik itu semua apakah ada nilai-nilai lain yang mendasari Orde

Baru dan KAMI untuk menstigma komunis lagu Genjer-Genjer, terlebih

kaitannya dengan unsur atau nilai keindahan suatu seni atau lagu.

Peristiwa sejarah, oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai sebuah

untaian peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu dan tersusun oleh runtutan

periode dari tahun ke tahun. Oleh sebab itulah guna tercapainya sebuah

historiografi kebudayaan maka urutan dari tahun ke tahun secara sistematis perlu

dihadirkan disini. Pengkajian ini terangkai dari tahun 1942 sampai 1966, tersusun

dari awal terciptanya lagu Genjer-Genjer 1942 sampai pada pencekalannya pada

tahun 1966. Kurun waktu 24 tahun merupakan putaran waktu yang tepat guna

mengidentifikasi masalah yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer. Dalam kurun


9

waktu ini dapat terlihat jelas bagaimana sebuah proses perjalanan lagu Genjer-

Genjer dalam menapaki kehidupannya sampai pada nasib pahitnya yakni

pencekalannya dan perubahan nilai dan maknanya menjadi sebuah lagu yang

mengandung stigma komunis.

Batasan waktu dalam pengkajian ini terhenti pada tahun 1966, pada tahun

ini dapat dengan jelas terlihat dasar-dasar penilaian apa saja yang diambil oleh

Orde Baru guna mencekal lagu Genjer-Genjer. Selain itu, bagaimanakah proses

sebuah stigma komunis bisa dengan mudah melekat dalam tubuh lagu Genjer-

Genjer. Bagaimanakah pandangan kalayak ramai pada umumnya dan juga

masyarakat Banyuwangi pada khusus tentang pencekalan lagu Genjer-Genjer

oleh Orde Baru juga dapat terkaji dengan jelas.

C. Rumusan Masalah

Bermuara dari uraian diatas, lahir beberapa permasalahan untuk dapat

dikaji lebih dalam. Adapun rumusan masalah tersebut terbagi dalam beberapa

butir yakni :

1. Bagaimanakah sejarah terciptanya lagu Genjer-Genjer dan apakah

yang melatarbelakangi terciptanya lagu Genjer-Genjer?

2. Bagaimanakah perkembangan lagu Genjer-Genjer pada tahun

1960-1966?

3. Bagaimanakah fungsi dan peran lagu Genjer-Genjer bagi

perkembangan kehidupan masyarakat Banyuwangi, masyarakat

Indonesia, dan PKI ?


10

4. Apakah yang mendasari Orde Baru mencekal dan menstigma

komunis lagu Genjer-Genjer?

Pengkajian berdasarkan pendekatan historis dari latar belakang terciptanya

lagu Genjer-Genjer, diharapkan dapat menjelaskan sejarah terciptanya lagu

Genjer-Genjer. Selanjutnya, bersama dengan pendekatan secara mendalam lewat

pendekatan antropologis, sosiologis, seni musik, hukum dan politik diharapkan

dapat menguak keistimewaan fungsi dan peran yang terkandung dalam lagu

Genjer-Genjer dan juga dapat mengungkap nilai-nilai dasar dari perubahan fungsi

lagu Genjer-Genjer sampai pada pencekalan dan stigma komunisnya.

Bersama dengan pendekatan displin-displin ilmu ini diharapkan dapat

menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini dari segala ruang

dan juga sekat-sekat terkecilnya.

D. Tujuan Penelitian

a. Akademis

Kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai lagu rakyat Banyuwangi menarik

keunikan tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keunikan dari ekspresi

seni musik yang ditampilkannya semakin mewarnai kehidupan berkesenian di

Indonesia. Dengan mengkaji kasus lagu Genjer-Genjer secara mendalam,

diharapkan “misteri” dari fenomena kehadirannya dapat terungkap. Dan

akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi peneliti

yang menaruh titik fokusnya pada penulisan sejarah kebudayaan khususnya seni

musik.
11

b. Praktis

Bersama dengan hadirnya tulisan mengenai kasus pencekalan dan stigma

Komunis pada lagu Genjer-Genjer ini. Diharapkan masyarakat di luar lingkup

akademis bisa dengan jelas memahami latarbelakang dari kasus pencekalan dan

proses melekatnya stigma komunis pada lagu Genjer-Genjer. Pada akhirnya

sebuah upaya untuk dapat merehabilitasi sebuah kultur dapat secara bijak dipilih.

E. Manfaat Penelitian

a Teoretis

Pengkajian kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Ordebaru, belum

sepenuhnya dijadikan minat khusus dalam penelitian oleh beberapa khalayak.

Terbatasnya sumber bahkan tulisan-tulisan yang mencoba mengkaji kasus

tersebut menyebabkan minimnya pemahaman kalayak umum terhadap

permasalahan yang terjadi. Dari sebab itulah maka diharapkan dengan lahirnya

tulisan ini dapat menambah pembendaharaan kasanah tulisan sejarah kebudayaan,

khususnya seni musik. Sehingga pada nantinya dapat bermanfaat bagi mereka

yang mencoba menaruh titik fokus pengkajiannya pada kasus ini.

b. Praktis

Keberhasilan dari sebuah penelitian adalah ketika hasil akhir dari

penelitian itu (tulisan) berhasil mengungkap dan mengkomunikasikan sebuah

peristiwa yang dikajinya kepermukaan. Sehingga masyarakat pada umumnya

dapat memahaminya sebagai sebuah pembelajaran mereka dalam menyikapi

segala peristiwa yang terjadi dalam masa lalu secara bijak. Begitu pula dengan

penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada


12

umumnya guna memahami dan mempelajari segala bentuk permasalahan yang

sebenarnya terjadi dalam pergolakan kehidupan seni dan politik dalam ruang

kebudayaan.

F. Tinjauan Pustaka

Kehadiran sumber-sumber pustaka disamping sumber-sumber lainnya

dalam sebuah penelitian, yang telah ada atau telah beredar sebelumnya

dilapangan, merupakan salah satu alat penting guna tercapainya keberhasilan dari

sebuah penelitian. Hal tersebut semata-mata bukan saja digunakan sebagai

panduan atau acuan bagi kelangsungan sebuah penelitian namun juga dijadikan

sebagai sebuah tolak ukur dasar dari keaslian sebuah penelitian. Sehingga

keaslian dari hasil penelitian yang dikaji dapat teruji valid secara akademis

maupun secara praktis.

Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan, baik yang ada dalam

bidangnya maupun tidak, untuk dapat menempatkan seni musik sebagai titik

fokus pengkajian dan penulisannya dan dapat menjadi acuan dan data-data.

Namun pengkajian yang bermuara pada kasus pencekalan dan stigmatisasi

komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru masihlah minim untuk dapat

ditemukan di lapangan sampai saat ini.

Bentuk-bentuk pustaka yang mencoba mengkaji musik atau lagu sebagai

fokus pengkajiannya dan cukup memiliki relevansi dengan kasus pencekalan

Genjer-Genjer antara lain: buku yang berjudul Catatan Musik Indonesia:

Fragmentasi Seni Modern Yang Terasing, karya Suka Hardjana. Dalam buku ini,
13

Hardjana mencoba menjelaskan tentang semua persoalan yang akan dan terus

dihadapi oleh seni musik dalam kehidupan sehari-harinya. Kompleksnya

permasalahan yang dihadapi akan terus berkembang dan terkadang dapat

melempar seni musik kedalam lorong keterasingan. Meski dalam buku ini kasus

Genjer-Genjer tidak masuk dalam pemahasan namun setidaknya lewat buku ini

sekilas tampak bagaimana perkembangan seni musik dalam menjawab segala

tantangan yang digoreskan oleh jaman.

Selanjutnya, penelusuran pun terhenti pada sebuah buku yang berjudul

Kembang-Kembang Genjer, karya Fransisca Ria Susanti. Dalam buku ini

dijelaskan bagaimana trauma dan penderitaan orang-orang yang dianggap

mempunyai kedekatan dengan PKI dan ideologi komunis harus dihadapkan pada

nasib yang ironis dan kenangan tersebut sulit untuk dapat terhapus oleh waktu.

Keunikan dalam buku ini adalah ketika bahasan bermuara pada korban 65, tidak

tertutup pada permasalahan kedekatannya dengan PKI dan juga kedekatannya

dengan lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi bahasan tentang lagu Genjer-Genjer

tidak menjadi titik fokus pembicaraan, hanya sebatas nilai konsekuensi dan

indikasi dari kegemarannya menyanyi lagu Genjer-Genjer.

Sebuah pembahasan tentang kasus yang dihadapi lagu Genjer-Genjer

coba diuraikan secara cerdas dan kritis dalam buku Musik Dan Politik: Genjer-

Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, karya Utan Parlindungan S. Dalam buku

ini, coba dijabarkan secara gamblang bagaimana makna kuasa politik yang

berkembang dalam tubuh PKI dan Orde Baru, telah berhasil memperkosa

idealisme seni yang ada dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan merubah fungsikan
14

lagu Genjer-Genjer jauh terlepas dari fungsi awal terciptanya lagu Genjer-

Genjer. Meskipun dalam buku ini kasus lagu Genjer-Genjer secara gamblang

diulas namun dasar pendekatan penulisan buku lebih terfokus pada kacamata

politik. Kajian historis dari sudut pandang fungsi dan peran belumlah secara

fokus menjadi dasar penelitian.

Selain buku-buku tersebut diatas, jurnal-jurnal seperti jurnal Srinthil dan

jurnal Paring Waluyo mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan

lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi penjelasan hanya sebatas rangkuman dan dirasa

kurang jelas menjawab latar belakang pencekalan dan stigmatisasi komunis pada

lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Penyampain masih terlihat sekilas dan belum

secara mendalam.

Sumber-sumber pustaka tersebut hadir dengan keunikannya tersendiri,

walaupun kehadirannya mencoba memposisikan musik atau lagu sebagai

kajiannya. Namun belum dapat ditemukan pengkajian historis yang bermuara

pada pencekalan dan stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer lewat sudut

pandang fungsi dan peran. Dari sebab itulah penelitian ini diyakini perlu untuk

dilakukan guna terciptanya tulisan historis tentang kasus pencekalan dan

stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru lewat sudut

pandang fungsi dan peranannya.


15

G. Landasan Teori

Dalam menganalisis pergerakan seni musik dalam ruang lingkup

kehidupan manusia yang dinamis, kehadiran sebuah metode yang tepat di rasa

perlu guna tercapainya pengkajian secara mendalam. Kerangka teori menurut

Koenjtaraningrat berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang

bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu

kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai

dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, teori pendekatan yang

dirasa tepat guna mengkaji kasus tersbut adalah pendekatan Fungsional.

Bronislaw Malinoswski dalam bukunya The Dinamics Of Culture Change,

menjelaskan bahwa metodologi yang tepat guna meneliti, menganalisis, dan

melukiskan proses perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan ini adalah

lewat pedekatan fungsional terhadap gejala berkesenian yang sedang terjadi.8

Teori Fungsional yang diajukan oleh Malinowski dalam Koentjaraningrat, antara

lain menyinggung tentang fungsi kebudayaan yang merupakan segala aktifitas

kebudayaan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia yang

berkaitan dengan kehidupannya.9 Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan

sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga,

aliran dan pasar dapat terwujud.

8
Bronislaw Malinowski., 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya (
Pengenalan Baru Phyllis M. Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat
Kementerian Pelajaran, hal: 95
9
Koentjaraningrat., 1985, Persepsi tentang Kebudayaan Nasional, Jakarta,
Gramedia, hal: 102
16

Lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah karya seni, sudah barang tentu

membutuhkan Audience atau penikmat seni guna menilai dan menikmati lagu

tersebut. Dengan demikian penilaian yang berkaitan dengan makna atau nilai

estetis yang lahir dari tiap individu atau kelompok dari penikmat seni dan penilai

berdasarkan kualitas dan tujuan karya seni sangatlah penting digunakan di dalam

tulisan ini.10 Selain itu, guna lebih mendalamnya penulisan ini dalam mengkaji

pergerak seni musik, maka pengertian tentang gejala yang sedang terjadi dan

mencerminkan suatu periode juga sangat menentukan dalam tulisan ini.11

Musik tradisional sendiri mempunyai sifat fungsional, baik untuk

kepentingan ritual dan hiburan maupun kepentingan lain yang menjadi bagian

integral dari kehidupan kelompok etnis tertentu, dia dapat memenuhi kebutuhan

kreatif, apresiatif, dan rohani. Jenis seni melalui tradisi oral semacam itu

berkembang dan selalu berubah tanpa disadari.12

Musik sendiri terlalu abstrak untuk dijadikan alat politis yang konkret.

Bila dampak politis dalam arti luas ingin diwujudkan secara massal, seorang

komponis harus melakukan sejumlah kompromi dalam mencipta yakni, (a) musik

program, atau (b) secara nyata membuat parodi musik fungsional yang terlanjur

diklaim oleh sebuah sistem politik.13

10
Mudji Soestrisno, Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta, Kanisius, hal: 81-83
11
Doris Van De Bogart., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting,
Sculputure, music, And Literature), New York, Bames & Noble Inc, hal: 24
12
Karya Teguh Esha, dkk., op.cit, hal: xx
13
Ibid, hal: xxi
17

Sebuah bangsa modern adalah produk artificial yang sangat ditentukan

oleh pertimbangan ekonomi, politik, dan sosial, bukan berdasarkan kesamaan

alamiah. Masalah yang kemudian muncul adalah argumen tentang pembentukan

bangsa nasional yang niscaya tak berlaku sama sekali di bidang kesenian. Hakikat

kesenian adalah ekspresi manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni

pada zaman sekarang hanya akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.14

Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah

kebudayaan menilai masa lalunya. Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau

roman, sejarah adalah cara mengenal dunia. Sejarah harus kritis, dalam arti

mempunyai komitmen kepada kejujuran dan ketekunan dalam mengenal

objeknya. Namun, dengan metodenya sendiri, sejarah adalah sumbangan penting

bagi kebudayaan.

H. Metode Penelitian

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam

melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang

keberhasilan sebuah bentuk tulisan. Dalam memahami kasus pencekalan yang

terjadi dalam lagu Genjer-Genjer dan merangkumnya kedalam sebuah tulisan

sejarah maka diperlukan langkah-langkah yang tepat. Koentjaraningrat

menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan

permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen

14
Karya Teguh Esha, dkk., loc.cit hal: xx
18

untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah

sebagai kisah (history as written).15 Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode

penelitian itu disebut metode sejarah.

Langkah awal yang diyakini tepat adalah dengan pengumpulan data dan

sumber. Karena minimnya sumber tertulis yang mencoba mengkaji kasus ini

maka pencarian data lebih bersifat kualitatif yakni, pengumpulan data yang lebih

menekankan wawancara dengan informan. Guna mempelancar metode ini maka

susunan dari wawancara yang terarah, yang dalam hal ini kaitannya dengan kasus

pencekalan lagu Genjer-Genjer, coba disusun terlebih dahulu. Sehingga

pengakajian lebih dalam dapat dilancarkan dalam penelitian ini.

Langkah selanjutnya adalah lewat penelusuran sumber tertulis.

Penelusuran ini digunakan untuk menganalisis kasus yang terjadi. Adapun

sumber-sumber tersebut berkisaran pada: buku, Koran atau majalah, jurnal, dan

internet. Setelah pengumpulan data telah berhasil dilakukan maka tahap kedua

yang dilakukan adalah kritik sumber. Dengan kritik sumber inilah kredibilitas

sumber diuji dan kevalidan dari sumber..

Setelah kedua langkah tersebut dirasa maka langkah selanjutnya yang

dilakukan adalah analisis sumber. Langkah ini merupakan langkah terpenting

dalam penelitian karena lewat analisis sumber keberhasilan dari penelitian diuji.

Adapun analisis dari kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer difokuskan pada

fungsi dan nilai yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer bagi kelangsungan

hidup kesenian dan kelangsungan kehidupan politik.

15
Sartono Kartodirdjo., 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal : 55
19

Pada akhirnya langkah terakhir yang diambil adalah peleburan semua

langkah kedalam sebuah penulisan sejarah. Penulisan sejarah bermuara pada

sebuah kronologis dari peristiwa sejarah yang terjadi. Sedangkan kerangka

penulisan tersusun secara sistematis dalam ruang sistematika penulisan sejarah.

Setelah semua tahap tersebut telah dilalui tugas akhir adalah penyampaian hasil

penelitian secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut

kaidah-kaidah yang telah diterapkan16

I. Sistematika Penulisan

Bermuara pada uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulisan

tentang kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru dan lekatnya

stigmanisasi PKI dan komunis dalam lagu ini. Tersusun secara sistematis dengan

didasari oleh sistematika penulisan sejarah yang berlaku. Adapun penulisan ini

tersusun dalam lima bab pokok yakni:

Bab I. Merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang alasan dari

penulisan ini. Meliputi permasalahannya, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan

pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II. Pembahasan tentang latarbelakang penciptaan lagu Genjer-Genjer

lewat ruang lokalitasnya sampai pada perkembangannya. Perkembangan kesenian

Banyuwangi yang ada pada masa itu coba di jadikan sebagai dasar untuk dapat

16
Nugroho, Notosusanto, 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan
Sejarah, Idayu, Jakarta, hal:17
20

memahami fungsi awal dari terciptanya lagu Genjer-Genjer. Kurun waktu yang

dikaji sekitar tahun 1942-1960.

Bab III. Pada bab ini pembahasan berkisar pada perkembangan lebih

lanjut pada lagu Genjer-Genjer dan bagaimana kedekatannya dengan PKI. Dalam

bab ini bagaimana pergolakan yang terjadi secara tidak langsung merubah

fungsikan lagu Genjer-Genjer. Sekilas tentang pergolakan peristiwa yang terjadi

pada masa itu coba diulas guna meninjau proses perubahan fungsi dan nilai dari

kehadiran lagu Genjer-Genjer. Adapun kurun waktu yang terpapar meliputi tahun

1960-1965.

Bab IV. Bab ini mencoba mengangkat bagaimana kentalnya makna kuasa

yang dilancarkan oleh rezim politik yang berkuasa pada era itu (Ordebaru) telah

berhasil menjadikan lagu Genjer-Genjer sebagai alat kelangsungan sistemnya.

Kehadiran payung-payung legitimasi kekuasaan yang dipakai oleh Orde Baru

dalam memberangus segala hal yang bernuansa PKI dan komunis, yang dalam hal

ini lagu Genjer-Genjer juga turut jadi korban, coba diulas secara gamblang.

Selain itu pada bab ini pandangan-pandangan masyarakat terhadap lagu Genjer-

Genjer juga coba dipaparkan. Kurun waktu yang dipilih seputaran tahun 1965-

1966.

Bab V. Bab ini merupakan bab penutup atau kesimpulan yang merupakan

sebuah jawaban dari segala uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab

sebelumnya.
BAB II
RUANG SENI DAN TRADISI
LAGU GENJER-GENJER

A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi

Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna

mengembangkan pola kebudayaan yang berkembang dalam daerahnya. Kehadiran

kesenian dalam setiap jengkal kehidupan kebudayaan manusia secara tidak

langsung melukiskan sebuah identitas tersendiri bagi daerah tertentu. Identitas

inilah yang menjadikan semakin beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu

daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari

bentuk-bentuk kesenian yang tercipta. Beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

di Banyuwangi menjadi salah satu bukti nyata. Kesenian menurut masyarakat

Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap

jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan

yang ada adalah kesenian.

Kesenian Banyuwangi tersendiri terlahir dari beragam tradisi etnis yang

mendiami setiap wilayah Banyuwangi. Sebuah proses percampuran budaya dari

beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan

masyarakat Banyuwangi. Menurut letak geografisnya, Banyuwangi posisinya

tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,

21
22

suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang

ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang

tidak ditemui di wilayah manapun di Nusantara.17

Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh

adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk

seni dan tradisi masyarakat Banyuwangi yang hampir sama dengan corak seni dan

tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing 20.layaknya gaya bahasa

yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi

perkembangan budaya Banyuwangi. Pada mayoritasnya, penduduk asli yang

17
Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni
dan budaya Banyuwangi
18
Http://www.banyuwangikab.go.id
19
Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari
tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu,
arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali,
terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing
mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian
suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali.
Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam
kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula,
kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat
pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam
yang sebagian besar dipeluk oleh masyarakat Banyuwangi.
(http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)
20
Bahasa Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau
Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya
bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya
oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah
sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:
Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM, Jogyakarta, hal: 49)
23

mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu sub-

suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat

Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.

Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka

tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara

pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka

percayai.

Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah

upacara kesuburan yang dikemas dalam bentuk tarian disebut-sebut sebagai

seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat

dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara

21
Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa
suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri
berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai
merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa
keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit.
(Http://www.banyuwangikab.go.id)
22
Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah
subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan
penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti
Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal
Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)
23
Menurut mitosnya Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan
atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga
menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat
Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan
terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)
24
Tarian seblang pada masa lampau dipentaskan untuk upacara selamatan
sehabis musim panen atau selamatan bersih desa. Selamatan dimaksudkan untuk
menyampaikan rasa terima kasih para petani kepada Dewi Sri yang telah
memberikan kesuburan tanah pertaniannya, sehingga hasil tanaman padinya bisa
melimpah. (Ibid., hal: 258)
24

tertentu. Dalam perjalanannya tarian seblang mulai tergeser dan hampir dapat

dikatakan punah. Selanjutnya tarian ini dikenal dengan nama Gandrung oleh

sebagian masyarakat Banyuwangi. Tarian ini pada nanti yang menjadi salah satu

icon masyarakat Banyuwangi atau Osing sampai saat ini.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa masyarakat Banyuwangi atau

lebih dikenal dengan sebutan Osing, merupakan masyarakat yang konglomerat

akan bentuk seni dan tradisinya. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan

urat nadi mereka, tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian

adalah nafas mereka dan dipandang sebagai sebuah ritual yang mengandung

makna spiritual-yang selalu dekat dengan kehidupan sosial mereka.25 Dari sebab

itu tak heran ketika seni dan tradisi yang lahir tidak jauh dari pelukisan atau

penggambaran kehidupan keseharian mereka dalam memaknai sebuah

keselarasan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini penciptaan Lagu

Genjer-Genjer diyakini memiliki latar belakang yang hampir serupa. Hal ini dapat

dibuktikan lewat syair-syairnya yang mengkisahkan sebuah perjuangan seorang

ibu dalam mencari bahan makanan yang berasal dari sumber daya alam sekitar

yang mereka miliki, daun genjer.

Dari sekian banyak bentuk-bentuk kesenian yang lahir dan berkembang di

Banyuwangi, bentuk seni yang paling digemari masyarakat Banyuwangi adalah

seni musik atau lagu. Hampir semua bentuk seni dan tradisi yang berkembang

syarat dengan unsur-unsur musik ataupun lagu. Bagi masyarakat Osing kehadiran

25
Kajian Perempuan Desantara, 2007, Banyuwangi dan Problem Seni
Tradisi, Penggalan dari tulisan panjang Amuk Rakus Industri Dan Napas Sengal
Perempuan Seni Tradisi, Jurnal Srinthil, Rabu, 3 Oktober 2007
25

lagu merupakan syarat penting dalam mewarnai dan memaknai segala dinamika

yang terjadi dalam kehidupan kebudayaannya.26 Hampir sebagian besar kesenian

yang berkembang di Banyuwangi memadukan unsur-unsur musik atau lagu di

dalamnya. Bersama kehadiran lagu di dalamnya, nilai-nilai spiritual yang ada

diyakini dapat dengan mudah dikomunikasikan. Sehingga seni tersebut tidak

hanya menjadi sebuah hiburan semata namun juga menjadi perwakilan dari nilai-

nilai seni yang coba disuguhkan. Seperti terlukiskan pada seni Gandrung, dalam

seni Gandrung kehadiran lagu menjadi syarat utama karena lewat adanya lagu

maka nilai-nilai spiritual yang terkandung diyakini dapat dengan mudah diterima

dan dimaknai oleh audience. Terlebih ketika sentilan-sentilan nakal dari syair-

syair yang tampil mencoba dan berhasil masuk keranah sensitifitas para penikmat

atau audience. Maka nilai-nilai yang ada semakin melebur ke setiap ruas jiwa si

penikmat (audience ) musik.

Kekayaan dan keunikan lagu yang berkembang di Banyuwangi dapat

dikatakan sangat variatif. Hal inilah yang menyebabkan lagu dapat berkambang

subur dalam raung kebudayaan Banyuwangi. Ayu Sutarto, salah satu budayawan

Jawa timur, mengungkapkan bahwa dari 32 acara budaya yang dimiliki

masyarakat Osing, delapan belas diantaranya adalah kesenian yang di dalamnya

terkandung unsur-unsur seni musik atau lagu. Dari kesenian yang berhubungan

dengan siklus kehidupan (pitonan atau upacara hamil hari ke tujuh, colongan,

ngleboni, angkat-angkat atau pindahan), kemasyarakatan (rebo wekasan atau

26
Hasil wawancara dengan Bapak Deden. S., pada tanggal 31-Maret-
2009, Di Jakarta
26

pemberian sesaji pada roh halus, ndok-ngandongan atau mauludan, kebo-keboan

atau musim panen) hingga pada tarian dan nyayian pemujaan rakyat bagi dewa-

dewi yang dipercaya sebagai penjaga kehidupannya dan alamnya.

Kegemaran masyarakat Banyuwangi dalam menyanyi menjadikan

semakin eratnya lagu di sela-sela kehidupan masyarkat Banyuwangi. Sama

halnya dengan seni Banyuwangi yang ada, yang bermuara pada nilai-nilai sosial

masyarakat. Begitu pula dengan lagu yang berkembang di Banyuwangi yang

semua syair-syairnya tidak dapat lepas dari pelukisan kehidupan sosial

masyarakat Banyuwangi hubungannya dengan alam sekitarnya. Pada awalnya

menurut sebagian besar masyarakat Banyuwangi, kelahiran sebuah musik atau

lagu bagi sebagian masyarakat Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat atau

media ritual, semacam seblang atau alat perjuangan dan juga sebagai sebuah

pengerat tali solidaritas masyarakat Banyuwangi. Pada tempo dulu lagu-lagu yang

berkembang di Banyuwangi lebih banyak bercerita tentang hubungan-hubungan

sosial dan juga hubungannya dengan permohonan dan rasa syukur kepada Sang

Maha Kuasa. Biasanya lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan nuansa sederhana

dan melankolis27 yang berlanggam Jawa28 dan dengan iringan Gamelan

Banyuwangi. Namun dengan bergulirnya waktu, dan dengan semakin

bermunculan varian-varian lagu yang berkembang di Banyuwangi maka warna-

warna lagu Banyuwangi menjadi populer dengan iringan-iringan musik

27
Bernada lembut dan memiliki tempo yang lambat dan mendayu-dayu
28
Lagu-lagu ini biasanya hadir sebagai pengiring tarian Gandrung
bersama dengan iringan gamelan. Namun saat ini iringan tidak tertutup pada
gamelan saja. Hadirnya musik-musik keroncongan dan band-band modern
membawa nuansa baru bagi musik dan lagu dalam tarian gandrung.
27

keroncong dan band. Arrangement besar-besaran terhadap lagu Banyuwangi

mulai berkembang kira-kira pada tahun 1950. Dalam hal ini lagu Genjer-Genjer

di yakini sebagai cikal bakal lagu yang berhasil di Arrangement menjadi lagu

popular.

Kekhasan dan keunikan lagu Banyuwangi terletak pada lirik-liriknya dan

juga nadanya yang sedikit berbeda dengan langgam Jawa pada umumnya.

Perbedaannya terletak pada nuansa iringan musik yang ada pada Gamelan yang

mereka miliki. Gamelan Banyuwangi pada dasarnya menyerupai Gamelan Jawa

pada umumnya namun kehadiran beberapa alat musik seperti, biola,29 yang

menjadi pantus atau pemimpin dari irama lagu, suling, kluching (triangle), yakni

alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan

dengan alat pemukul dari bahan yang sama berfungsi sebagai penguat tempo

dalam lagu. 30

Lalu ada juga kethuk, terbuat dari besi berjumlah dua buah dan dibuat

berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. Kethuk estri (feminine) adalah yang

besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro, sedangkan kethuk jaler

29
Biola dijadikan sebagai pantus atau pemimpin (leader) dari lagu yang
ada. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan
pertunjukan Seblang atau Gandrung yang diiringi dengan suling. Kemudian orang
tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada
saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar
terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola
mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak
mungkin dikeluarkan oleh suling. (www.banyuwangikab.go.id/ musik khas
Banyuwangi)
30
Kajian Perempuan Desantara, op.cit
28

31
(maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini

bukan sekedar sebagai instrumen penguat atau penjaga irama seperti halnya pada

gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan

kendang. Sedangkan kempul atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya

Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi

dengan saron bali dan angklung. Dan yang terakhir kendhang yang mirip dengan

kendhang sunda. Iringan-iringan Gamelan Banyuwangi inilah yang melahirkan

keunikan tersendiri bagi lagu Banyuwangi diantara lagu-lagu rakyat yang ada di

Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu dan instrumen lagu Osing

mengalami perubahan hal ini disebabkan guna menghindari penciuman dari

bangsa Jepang terlebih ketika isi lagu bernuansa isyarat bagi perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan instrumen yang mengiringinya merupakan tanda-

tanda isyarat perlawanan masyarakat Banyuwangi. Salah satunya adalah lahirnya

kreasi baru dalam instrumen lagu yakni angklung32-walaupun angklung

sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Blambangan-menyebabkan warna

baru bagi kelahiran lagu di Banyuwangi. Angklung sendiri pada dasarnya tidak

jauh berbeda dengan gamelan Banyuwangi. Hanya saja dalam instrumen

31
www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi
32
Pada awalnya angklung yang beredar dikalangan masyarakat
Banyuwangi adalah angklung gubuk. Lalu dengan bergulirnya waktu angklung
tersebut di kembangkan kedalam beberapa jenis yakni, angklung caruk, angklung
gandrung dan angklung modern. Bagi angklung modern merupakan kembangan
dari M. Arief dan diyakini sebagai alat awal dalam mengiringi lagu Genjer-
Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dan Muhidin M Dahlan, 2008, LEKRA Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965,
Merakesumba, Yogyakarta, hal: 414)
29

angklung ditambah dengan beberapa alat seperti, saron, slentem, dan gong besar.

Kehadiran alat musik angklung diterima masyarakat Banyuwangi sebagai salah

satu bentuk varian baru dalam musik. Selain itu dengan munculnya tembang-

tembang baru karya M.Arief,33 seperti Nandur Jagung dan Genjer-Genjer, yang

menjadi titik awal kebangkitan instrumen angklung di sela-sela kehidupan

masyarakat Banyuwangi.

Pada era itu biasanya lagu-lagu yang tercipta lebih banyak bercerita

tentang kesengsaraan bangsa dan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani

kehidupannya akibat kolonialisasi. Lagu-lagu yang dilantunkannya pun biasanya

berisi bahasa isyarat dan simbol-simbol bagi perjuangan dan juga sebagai wahana

kritikan bagi penjajah. Oleh sebab itulah syair-syair yang ada tidak secara vulgar

tampak dan maknanya sengaja disamarkan. Hal ini semata-mata guna

menghindari penciuman penjajah. Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer, disela-

sela alunannya yang melankolis, tersirat kritikan bagi para penjajah. Dalam hal ini

ditujukan bagi pemerintah Jepang yang telah berhasil memporaporandakan

kehidupan masyarakat Banyuwangi sehingga masyarakat dipaksa hidup miskin

dan sengsara. Alunannya yang mendayu-dayu mencoba menjadi topeng bagi

keaslian dari lagu yang tercipta pada era itu. Kuatnya kontrol kuasa dari

33
Muhhamad Arief adalah salah satu musisi Banyuwangi yang cukup
kondang pada masa itu. Dan salah satu musisi yang cukup vokal dalam
memperjuangkan eksistensi seni-seni Banyuwangi. Dengan kelihaiannya dalam
mengolah dan menciptakan lagu dan musik. M. Arief mencoba memodifikasi
beberapa lagu, musik dan instrument yang ada di Banyuwangi ke berbagai bentuk.
Seperti alat musik angklung dan lagu Genjer-Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri,
dan Muhidin M Dahlan, op.cit hal : 20)
30

pemerintah jepang terhadap bentuk-bentuk kesenian rakyat yang tercipta

memaksa kehadiran lagu rakyat berjalan secara tidak vulgar.

Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi,

munculnya beragam varian musik yang merupakan paduan tradisional dan

modern, yang mencoba memasukkan unsur elekton kedalam musiknya,

menyebabkan lagu Banyuwangi semakin dikenal sebagai kesenian popular di

kalangan masyarakat. Terlebih ketika industri musik tanpa tedeng aling

mencengkram lagu-lagu rakyat yang berkembang, menambah semakin terjeratnya

lagu Banyuwangi pada titik popularitasnya. Munculnya beragam varian tersebut

mengundang kekhawatiran dari beberapa pakar kebudayaan yang berpandangan

bahwa seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang

selama beratus-ratus tahun.

B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960)

“genjer-genjer nong ledokan pating keleler, emak’ e tole teko-teko


mbubuti genjer, oleh satenong mungkur sedot sing tole-tole, genjer-
genjer saiki wis digowo mulih...”34

Sepenggal bait lagu diatas mungkin tak asing lagi untuk didengar,

pekatnya stigmatisasi komunis dan PKI pada penggalan bait lagu di atas masih

terus melekat dalam sanubari sebagian besar bangsa Indonesia. Terlebih ketika

34
“ genjer-genjer di pematang sawah berhamburan, ibunya anak-anak
datang datang mencabut genjer, dapat sebakul lalu bergegas pergi dapat yang
kecil-kecil, genjer-genjer sekarang sudah di bawa pulang…”
(http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa indonesia /
fenomena lagu Genjer-Genjer)
31

Orde Baru dengan sukses membangun sebuah mitologi tentang nilai dan makna

lagu ini, maka kehadirannya sampai sekarang terpasung pada sebuah ruang

ideologi komunis dan PKI. ”Genjer-Genjer”, bait diatas coba disusun dalam

bentuk lagu yang kemudian disuguhkan pada kalayak ramai. Fenomena kehadiran

lagu ini disela-sela kehidupan bangsa Indonesia menarik cerita tersendiri bagi

perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika diselami lebih dalam, maka yang

tersirat dari lagu ini adalah sebuah kemurnian lagu rakyat yang tercipta dari seni

dan tradisi masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, lagu Genjer-Genjer adalah lagu

rakyat (folksong) yang berasal dari Banyuwangi. Lewat kesederhanaan dari nada

dan lirik-liriknya, lagu ini mencoba membingkai kisah sengsara masyarakat

Banyuwangi dalam menjalankan kehidupannya di sela-sela kolonialisasi yang

dilancarkan bangsa Jepang. Dari lukisan-lukisan tersebut lagu Genjer-Genjer

hadir sebagai sebuah lagu rakyat dalam ruang kebudayaan Banyuwangi.

Pada tahun 1940-an Jepang berhasil menduduki Indonesia dan

membentuk koloni di setiap penjuru Indonesia. Dengan berdalih ingin membantu

bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari cengkraman pemerintah Belanda, yang

pada waktu itu berkuasa di Hindia Belanda,35 Jepang berhasil masuk dan

berkuasa di Indonesia. Layaknya peribahasa keluar dari mulut harimau masuk ke

mulut buaya, setelah bangsa Belanda keluar dari tanah Nusantara kesengsaraan

yang dialami bangsa Indonesia pun tidak berubah malah semakin parah. Ekspansi

35
Pada masa pendudukan Belanda pemerintahan yang ada terkenal dengan
nama Hindia Belanda, belum Indonesia. Baru setelah kemerdekaannya diakui baik
secara de fakto maupun de yure, nama Indonesia terukir dalam sebagai sebuah
nama Negara.
32

yang dilancarkan Jepang berhasil memporaporandakan kehidupan bangsa

Indonesia. Dan memaksa bangsa Indonesia hidup pada titik kesengsaraan yang

lebih parah. Masyarakat indonesia dipaksa untuk berkerja demi kepentingan

pemerintahan Jepang. Ekploitasi besar-besaran yang dilancarkan Jepang bagi

Bangsa Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,

menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia.

Kolonialisasi yang dilancarkan Jepang berhasil masuk jauh ke setiap sudut

wilayah Indonesia, hampir semua sumber daya, baik itu alam maupun manusia,

yang dimiliki setiap daerah dan wilayah di Indonesia di ekspolitasi besar-besaran

oleh Jepang. Kemiskinan dan kesengsaran semakin merangkul setiap perjalanan

kehidupan bangsa Indonesia. Banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia guna

melawan bentuk-bentuk penindasan yang di lakukan oleh Jepang.

Seperti halnya di Banyuwangi, daerah yang terkenal kaya dan subur akan

sumber daya alamnya tiba-tiba berubah drastis menjadi miskin. Kolonialisasi

yang dilancarkan Jepang pada daerah tersebut, memaksa rakyat Banyuwangi

hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hampir semua sumber daya alam

yang dimilikinya dieksploitasi besar-besaran oleh Jepang demi kelangsungan

kehidupan pemerintahnya (Jepang).36 Bermuara pada kondisi tersebut, rakyat

Banyuwangi terpaksa mencari jalan keluar guna memenuhi kebutuhan hidup

sehari-harinya. Mereka mencoba survive dengan segala sumber daya alam yang

tersisa dan kemudian coba diolah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.

36
http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa
indonesia/ fenomena lagu Genjer-Genjer
33

Salah satunya adalah dengan cara mengolah daun genjer yang hidup di seputaran

ruas-ruas sungai sebagai bahan pokok makanan sehari-hari rakyat Banyuwangi.

Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus

mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh

masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu.37 Daun genjer atau dalam

bahasa ilmiahnya disebut dengan nama Limnocharis Flava sendiri adalah

tanaman parasit yang hidup di ruas-ruas sungai dan biasanya diolah untuk

dijadikan bahan makanan hewan ternak seperti babi dan sapi. Selanjutnya, daun

genjer coba diolah menyerupai tumis dan oseng-oseng yang kemudian disajikan

sebagai makanan sehari-hari masyarakat Banyuwangi pada masa itu.

Melihat kesengsaran yang dialami masyarakat Banyuwangi yang

mengetuk jiwa musikalitas dari Muhhamad Arief,38 salah satu seniman dan juga

musisi handal Banyuwangi, untuk merangkum peristiwa tersebut kedalam bentuk

lagu. Dengan judul “Genjer-Genjer” lagu tersebut tercipta, lewat lukisan

keprihatinan M.Arief dengan melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat

Banyuwangi akibat bentuk kolonialisasi Jepang. Dengan kesederhanaan dari

37
Paring Waluyo Utomo, “Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis”,
Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang, 2003
38
Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Genjer-Genjer pernah dilakukan
oleh pelaku sejarah dan pelaku budaya diantaranya Ki Manteb Sudharsono (harian
Merdeka Semarang, 2000) yang merujuk pada nama Muhhamad Arief sebagai
pencipta. Sementara menurut Hesri Setiawan, salah satu eks-tapol Lekra dan juga
budayawan Banyuwangi, mencoba mengklarifikasikan bahwa ketika mengakitkan
Genjer-Genjer dengan Ki Narto Sabdho (seniman yang pada awalnya diyakini
sebagai pencipta lagu Genjer-Genjer) selain anakronis juga tidak mempunyai
dasar sejarah yang kuat. Sebab kebanyakan kesenian rakyat tercipta tanpa
diketahui siapa penciptanya. (Utan Parlindungan, op.cit., hal: 56)
34

irama dan nadanya lagu ini tampil sebagai media perwakalian komunikasi

masyarakat Banyuwangi guna mengkritik segala bentuk penjajahan yang ada.

Oleh karena kesederhanaan tersebut pulalah kehadiran lagu ini dengan mudah

cepat diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Selain sebagai salah satu media

kritik lagu ini juga diyakini dapat membangkitkan semangat masyarakat

Banyuwangi dalam melawan segala bentuk-bentuk penindasan yang ada. Dan

juga sebagai pengikat rasa soldaritas masyarakat dalam menjalani kehidupannya

dalam masa-masa penjajahan.

Dalam perjalanannya lagu ini terlahir sebagai salah satu produk

kebudayaan yang dimiliki masyarakat Banyuwangi. Selain fungsi yang

terkandung di atas, lagu ini juga difungsikan sebagai salah satu isyarat perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan pengikat rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi. 39

Layaknya lagu-lagu yang berkembang di Banyuwangi pada masa penjajahan

Jepang-yang menyiratkan bahasa isyarat bagi perjuangan masyarakat

Banyuwangi.

Kesederhanaan lagu ini semakin membawa ketenaran lagu ini di kalangan

masyarakat Banyuwangi dan di kancah panggung kesenian Banyuwangi. Lirik-

liriknya yang menggambarkan perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam

menjalani hidupnya di sela-sela penindasan yang dilancarkan bangsa Jepang-yang

39
Walaupun ketika kita kaji lewat dasar-dasar musikalitasnya, lagu
Genjer-Genjer tidak dapat dikategorikan sebagai lagu perjuangan. Karena nada
dan iramanya yang cenderung melankolis dan tidak memiliki kriteria lagu
perjuangan yang memiliki nada dan irama mars dan juga liriknya yang harus
berbahasa Indonesia. Jadi lagu Genjer-Genjer lebih dapat dikatakan sebagai lagu
rakyat (folksong). (Iqbal Thawakal., 1993, Atjungkan Tindju Kita, Lagu dan Sikap
Politik Jaman Soekarno, Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3)
35

dalam hal ini kata ibu coba dimaknai secara universal sebagai masyarakat

Banyuwangi-, berhasil mempertebal rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi

dalam menjalani hidupnya. Melalui kehadiran lagu ini kesengsaraan dan

kemiskinan yang dialami masyarakat Banyuwangi coba dimaknai dan dinilai

secara bijak oleh masyarakat Banyuwangi. Semangat juang yang tertanam berkat

kehadirannya semakin tebal dan kokoh di setiap lubuk jiwa masyarakat

Banyuwangi. Oleh sebab itulah tak heran ketika M. Arief merasa perlu

mengangkat lagu ini ke kancah yang lebih popular, begitu pula dengan Nyoto.40

Sampai pada tahun 1945 ketika Jepang menyatakan tunduk pada Inggris41

dan Indonesia mendapatkan kemerdekaanya, kepakan sayap lagu Genjer-Genjer

mulai terlihat semakin lebar. Dengan cepat lagu ini berhasil merangkul jiwa

masyarakat Banyuwangi dan para pekerja seni Banyuwangi pada khususnya.

Identitasnya sebagai salah satu produk kebudayaan Banyuwangi (lagu rakyat

Banyuwangi), semakin dikenal oleh kalayak ramai. Walaupun masih sebatas pada

ruang budaya masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Kehadirannya dapat

menjadi sebuah media komunikasi masyarakat Banyuwangi guna membingkai

segala memori masyarakat pada masa penjajahan Jepang dan juga sebagai media

kritik terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Selain itu, fungsinya sebagai media

40
Nyoto salah satu dedengkot PKI baru dan juga pendiri Lekra. Tercatat
bahwa Nyotolah yang pada awalnya tertarik dengan lagu ini. Lewat prediksinya
yang menyatakan kalau lagu ini dapat menjadi lagu popular dan dapat mewakili
ideologi PKI dan Lekra, kehadiran lagu ini coba perjuangkan dan diangkat
keepermukaan. (Iqbal Thawakal., op.cit.)
41
Peristiwa pemboman Hirosima dan Nagasaki menandai awal kekalahan
Jepang dari Inggris. Hal tersebutlah yang menyebabkan Jepang terpaksa hengkang
dari bumi pertiwi. (www.wikipedia.com)
36

hiburan semakin memposisikan eksistensi lagu ini sebagai lagu rakyat yang

menyenangkan bagi masyarakat Banyuwangi.

Terlebih ketika pada tahun 1950-an sang pencipta lagu, M. Arief, memilih

bergabung dengan Lekra-lembaga kebudayaan yang secara tidak langsung

mempunyai hubungan ideologis dengan PKI-, menyebabkan eksistensi lagu ini

semakin dikenal oleh banyak kalangan baik masyarakat Banyuwangi dan juga

masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini terbukti dengan semakin

populernya lagu ini di berbagai kalangan dan lapisan dan golongan masyarakat.

Adapun M.Arief sendiri tertarik untuk dapat bergabung dengan Lekra didorong

oleh situasi kebudayaan Indonesia yang semakin-dan dapat dikatakan-jauh pada

cita-cita revolusi kemerdekaan yang diperjuangkan bangsa Indonesia. Isu-isu ini

menjadi isu terpenting yang dingkat kaum komunis ketika itu dan mereka menilai

sebagai sebuah titik dari kegagalan cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia

(1945-1949). Gagalnya revolusi kemerdekaan Indonesia sama artinya kegagalan

perjuangan pekerja kebudayaan Indonesia untuk menghancurkan kebudayaan

kolonial dan menggantikannya dengan kebudayaan yang demokratis dengan

kebudayaan rakyat.42

Dalam perjalanannya lebih lanjut, kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai

salah satu lagu rakyat Banyuwangi, semakin populer. Pada tahun 1960-an

kejayaan lagu mulai tampak dan semakin jelas. Dengan nuansa langgam jawa

yang berlaraskan pelog, lagu ini mencoba bersaing dengan lagu-lagu popular

yang ada pada masa itu. Fakta mengkisahkan kepada kita bahwa pada tahun 1960

42
Utan Parlindungan, op.cit., hal: 60
37

Lilies Suryani43 merilis lagu Genjer-Genjer bersama dengan lagu lainnya. Hal ini

yang semakin membawa lagu Genjer-Genjer pada titik kepopulerannya. Dan

keberadaannya sebagai lagu rakyat banyuwangi semakin dikenal dan digemari

oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan.

Perlu diketahui juga bahwa populeritas lagu Genjer-Genjer merupakan

salah satu titik awal kebangkitan dari lagu-lagu rakyat Banyuwangi. Hal ini di

buktikan dengan banyak bermunculannya musisi-musisi dan seniman

Banyuwangi dan mencoba berkiprah bersama dengan karya-karyanya dalam

panggung hiburan Indonesia. Biasanya lagu-lagu yang tercipta cenderung

mewakili kepentingan politis partai politis tertentu. Hal ini dikerenakan situasi

politis pada masa itu menuntut seniman dan juga musisi untuk dapat berjalan

beriringan dengan nilai loyalitasnya pada ideologi partai yang diperjuangkan.

Salah satunya adalah M.Arief sendiri, dalam hal ini M. Arief tidak bisa

menghindar dari situasi ini dan mau tidak mau harus bersikap memihak pada satu

ideologi yang ada dalam tubuh partai politik.44 Dari sini dapat terlihat bagaimana

kehadiran lagu Genjer-Genjer bukan saja memperkaya kasanah seni musik

popular Indonesia, akan tetapi kehadirannya secara tidak langsung mempunyai

43
Lilies Suryani adalah salah satu musisi terkenal pada era itu, namanya
sangat dikenal senagai penyanyi Indonesia. Banyak karya yang telah
didendangkannya, salah satunya lagu Genjer-Genjer. (www.wikipedia.co.id)
44
Selain M. Arief komponis yang mewakili kelompok sayap kiri, juga
bermunculan komponis-komponis lain dari kelompok lain. Seolah-olah
komponis-komponis ini mencoba menjadi pesaing meskipun warna dan nuansa
yang sama. Kontestasi ini terus mewarnai perkembangan berkesenian pada masa
itu.
38

pengaruh yang significant bagi perkembangan lagu rakyat Banyuwangi di kancah

panggung popular dan juga bagi kehidupan politik pada masa itu.

Dengan bergulirnya waktu, kehadiran lagu ini mulai merambah ke segala

kalangan dan lapisan. Hampir setiap kalangan mempunyai kerinduan untuk dapat

mendendangkan lagu ini di sela-sela kehidupan sehari-harinya. Keunikan dari

nada, irama dan syair-syairnya, semakin memposisikannya ke dalam wadah

media hiburan yang menyenangkan bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya itu

dengan semakin senangnya masyarakat Indonesia dalam menikmati dan

mendendangkan lagu Genjer-Genjer, melahirkan sebuah modifikasi dan

arragement tersendiri dalam menyanyikan dan mendendangkan lagu Genjer-

Genjer baik dalam bentuk langgam Jawa maupun versi Band. Pada periode tahun

ini disebut oleh sebagian kalangan, khususnya seniman dan musisi Banyuwangi,

merupakan titik awal kebangkitannya di kancah panggung lagu popular di

Indonesia.

C. Fungsi Lagu Genjer-Genjer

Seni tercipta dan hadir di dalam ruang kehidupan kebudayaan manusia

bukan tanpa sebab, harapan-harapan yang diinginkan dari seniman atau musisi

melahirkan fungsi tersendiri dari kehadiran seni tersebut. Fungsi-fungsi inilah

yang kemudian menjadi tolak ukur penilaian dari para pendukungnya untuk dapat

mengeksiskan seni tersebut di dalam ruang-ruang kebudayaannya. Selanjutnya,


39

tanpa disadari secara tidak langsung fungsi-fungsi ini pula yang semakin

memperkokoh kehidupan kesenian di ruas-ruas jaman.

Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer, kehadiran di kancah panggung

kesenian diyakini terkandung fungsi-fungsi istimewa di dalamnya. Sebagai

sebuah lagu rakyat, lagu Genjer-Genjer hidup dalam beragam dimensi fungsi di

dalamnya. Lagu Genjer-Genjer oleh sebagian besar masyarakat Banyuwangi

diakui memiliki fungsi sebagai media kritik bagi bentuk-bentuk kolonialisasi

Jepang pada era itu. Hal ini tampak jelas pada susunan syairnya yang semuanya

bercerita tentang bagaimana sulitnya perjuangan seorang ibu dalam mencari

bahan makanan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya akibat

kolonialisasi bangsa Jepang. Kata Ibu sendiri diartikan sebagai perwakilan dari

gambaran perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani hidupnya di sela-

sela kolonialisasi bangsa Jepang. Gambaran-gambaran dari perjuangan seorang

ibu inilah yang coba divisualisasikan oleh si pengarang lagu guna mengkrtitk

kolonialisasi Jepang di Banyuwangi yang mengakibatkan kemiskinan bagi

masyarakat Banyuwangi, sehingga mereka terpaksa mencari bahan makanan yang

tersisa seperti daun genjer untuk dapat dikonsumsi layaknya makanan sehari-hari.

Selain itu, kesederhanaan dari syair-syair yang tampil juga memposisikan

lagu Genjer-Genjer sebagai media untuk dapat mempertebal rasa solidaritas

masyarakat Banyuwangi. Konon katanya, kehadiran lagu Genjer-Genjer kerap

dijadikan alat perwakilan komunikasi dari suara-suara masyarakat Banyuwangi

dalam memperjuangkan kehidupannya di sela-sela kehidupan kolonialisasi.

Dengan menyanyikan lagu Genjer-Genjer maka suara-suara dan ajakan untuk


40

bersatu dan tabah dalam menjalani setiap ruas kehidupan telah terwakili. Sehingga

masyarakat Banyuwangi tetap semangat untuk terus memperjuangkan

kehidupannya dan juga melawan bentuk-bentuk penjajahan.

Beberapa kalangan beranggapan lagu Genjer-Genjer memiliki nilai dan

fungsi ritual dan magis. Lewat bentuk nadanya yang berlanggam jawa dan syair-

syairnya yang bermakna doa seorang ibu. Lagu Genjer-Genjer dijadikan oleh

sebagian besar masyarakat Banyuwangi sebagai sebuah seblang guna memohon

kekuatan untuk dapat menjalani hidupnya. Terlebih ketika tari gandrung yang

syarat akan nilai-nilai ritual dan magis, mencoba mengkolaborasikan lagu Genjer-

Genjer dengan tarian-tariannya.

Dalam tarian gandrung sendiri lagu dijadikan sebagai sebuah doa atau alat

seblang guna memanjatkan rasa syukur dan permohonan bagi sang Maha Kuasa.

Bersama dengan kehadiran lagu, tarian-tarian gandrung-yang syarat dengan nilai

ritual dan seblang- semakin kental dan panjatan-panjatan doa yang mereka

panjatkan semakin terlihat dengan jelas. Pada kesempatan ini lagu Genjer-Genjer

dalam seni tari gandrung diyakini sebagai perwakilan dari permohonan mereka

akan sebuah rasa kekuatan dan ketegaran mereka dalam menjalani kehidupan

sehari-harinya.
BAB III
LAGU GENJER-GENJER
DALAM CENGKRAMAN POLITIK

A. Selayang Pandang Perkembangan Lagu di Indonesia (1960-

1966)

Periode tahun 1960-1966 merupakan salah satu periode terpanas bagi

perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Labilnya kondisi yang terjadi, baik sosial

maupun politik, menyebabkan semakin panasnya situasi yang berkembang pada

era tersebut. Maka tak dapat dipungkiri ketika pada periode ini, dan agaknya

mulai sejak saat itu, para penguasa hanya mempunyai satu cara guna

menyelesaikan segala perbedaan lewat pembungkaman dengan kesewenangan

yang liar. Setiap perbedaan yang terjadi dianggap perlu diselesaikan dengan cepat

melalui penghalalan segala cara. Lawan berpendapat dianggap musuh dan juga

dianggap sedang mengkampanyekan ideologinya. Pada akhirnya semuanya

dikerahkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang akan habis menghabisi.1

Kompleksnya permasalahan yang terjadi ternyata menarik perhatian

tersendiri untuk dapat disikapi, benturan-benturan dari kepentingan ideologi yang

sedang mereka perjuangkan semakin menambah panasnya keadaan. Tindakan-

tindakan menghalalkan segala cara guna kelangsungan kehidupan ideologinya

dan juga guna menjatuhkan bahkan menyingkirkan lawan politiknya mulai

1
Goenawan Mohammad, 1995, Catatan Pinggir, Gramedia, Jakarta,
hal:50
41
42

dilancarkan. Pada akhirnya, tak sedikit korban yang berjatuhan hanya demi

kelangsungan kehidupan ideologi politiknya.

Panasnya kondisi tersebut tak luput melahap kelangsungan kehidupan

berkesenian bangsa ini. Kehadirannya pada era ini menjadi salah satu titik fokus

perhatian bagi sebagian besar kalangan yang hidup dalam sekat-sekat politik

bangsa Indonesia. Mudahnya sebuah karya seni bertransformasi dalam kehidupan

manusia, coba dimanfaatkan demi perpanjangan tangan dari sistem politiknya.

Maka tak heran ketika banyak karya-karya seni yang lahir pada era ini bernuansa

dan berwarna politis atau mensyaratkan nilai-nilai propaganda politik. Syair-syair

dan juga irama-irama yang bisa membangkitkan semangat perjuangan, terlebih

ketika semangat juang tersebut mewakilkan salah satu ideologi politik dari

kelompok politik yang ada, sangat dibutuhkan guna kelancaran ideologi politik

yang sedang di kembangkan.

Kehidupan kesenian pada era ini tidak dapat berjalan bebas sesuai dengan

idealisme seninya. Sebagian besar seniman yang lahir pada era itu di paksa untuk

dapat memihak pada salah satu ideologi politik atau kelompok politik tertentu.

Keberpihakan ini yang diharapkan oleh para politikus unutk dapat menjadi

perpanjangan tangannya guna mempermudah mereka mengkampanyekan

ideologi politiknya di kalangan masyarakat luas. Selanjutnya, simpati massa pada

apa yang mereka perjuangkan dapat dengan mudah diterima dan pada akhirnya

kelancaran dari perjalanan sistemnya dapat dengan mudah dijalankan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kreatifitas seorang seniman terikat dalam

satu wadah ideologi politik dan karyanya dipaksa mengandung nilai-nilai


43

loyalitas pada partai tertentu. Oleh sebab itu wajar ketika seniman yang terlahir

pada masa itu tidak dapat bersikap netral dan pada akhirnya mereka pun mau

tidak mau tenggelam dalam arus politik yang sedang berkembang. Kekritisan

mereka secara tidak langsung dibentuk dalam pola ideologi partai yang mereka

dukung, sampai pada keberpihakan mereka pada perdamaian dan kemanusiaan

tetap saja terikat pada sebuah wacana ideologi politik dari partai yang ia bela.46

Kondisi seperti ini terus berkembang, tak ada alasan untuk bisa menolak kondisi

ini berjalan subur disela-sela kehidupan berkesenian bangsa Indonesia.

Eratnya cengkraman politik dalam kehidupan berkesenian Indonesia pada

era itu menyebabkan lemahnya nilai dan makna yang terkandung dalam sebuah

karya seni. Perjalanannya tanpa di sadari terukur dalam batasan ruang politik,

kapan, dimana dan sejauh mana sebuah seni dapat eksis, semuanya terkontrol

dalam kuasa politik. Sebuah sistem politik dapat dengan mudah merubah

fungsikan kedudukannya bahkan juga dapat dengan mudah mendisfungsikan

sebuah karya seni. Dalam hal ini kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer diakui

oleh sebagian kalangan disebabkan oleh karena kondisi tersebut. Lemahnya

kedudukan lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah karya seni memudahkan PKI

untuk dapat mengubah fungsikan lagu ini menjadi lagu propaganda politiknya.

Begitu pula dengan Orde Baru, kekuatan politik yang mereka miliki dijadikan

payung legitimasinya untuk dapat mencekal dan mendisfungsikan lagu Genjer-

Genjer sebagai lagu rakyat. Lagu Genjer-Genjer terindikasi oleh goresan-goresan

46
D.S Moeljanto dan Taufik Ismail dkk., 1995, Prahara Budaya: Kilas
Balik Ofensif LEKRA/PKI dkk, Mizan dari Republika, Bandung, hal: 205-207
44

ideologi politik dan berujung pada nilai konsekuensi yakni pencekalannya dari

panggung hiburan Indonesia.

Lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut pada era ini dianggap wajar,

kuatnya makna kuasa politik menjadi ukuran tersendiri atas lahirnya kebijakan-

kebijakan tersebut. Bukti nyata dari kuatnya cengkraman kuasa politik bagi

kehidupan berkesenian Indonesia terlihat jelas pada sikap politiknya Sukarno

dalam memperjuangkan ideologi politiknya dalam kehidupan kesenian. Jauh

sebelum kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer terjadi, Sukarno sebagai pimpinan

tertinggi bangsa Indonesia pernah memaksakan ideologinya untuk dapat menjadi

dasar atau landasan pola pemikiran bangsa Indonesia dalam menilai sebuah karya

seni. Bersama jargon politiknya yang anti Imperialisme,47 Sukarno mencoba

mengikat kreatifitas seniman yang ada pada masa itu.48 Karya seni bahkan

seniman yang dianggap melahirkan karya yang bernuansa imperialisme dicekal,

dipenjarakan bahkan mungkin dibuang karena dianggap dapat merusak nilai cita-

cita revolusi kemerdekaan dan juga memberi kesempatan bagi kekuasaan

47
Jargon Soekarno yang paling terkenal guna memberangus antek-antek
Imperialisme adalah “ Go To Hell With Your Aids “/persetan dengan bantuan-
bantuanmu. (Iqbal Thawakal., Atjungkan Tindju Kita , Lagu dan Sikap Politik
Jaman Soekarno, Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3, 1993)
48
Sama halnya dengan kebijakan yang dilancarkan Soeharto pada era Orde
Baru bagi lagu Genjer-Genjer. Namun dalam hal ini Soeharto mencekal lagu
Genjer-Genjer bukan beralaskan pada nilai Imperialisme. Terlebih pada rasa
takutnya terhadap kekuasaan PKI dan Komunis yang diangap berbahaya bagi
kekuasaanya. Kesamaan kebijakan yang diambil oleh Sukarno dan Soeharto
dalam mempertahankan ideologi politiknya meletakan penilaian tersendiri bahwa
kuatnya kuasa politik dapat dengan mudah mempermainkan sebuah nilai
idealisme seni. (Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer,
Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM, Jogyakarta, hal: 80)
45

kebudayaan barat untuk dapat masuk ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.

Dalam hal ini, Sukarno di satu sisi mencoba mempertahankan kekuatan negara ini

dari serangan bangsa asing lewat nilai-nilai kekuatan lokalitas yang dimiliki

bangsa Indonesia. Namun disisi lain absolutisme dari pola kekuasaannya coba

dipaksakan berkembang lewat perpanjangan tangan dari kesenian sebagai

simbolnya.

Salah satu seniman atau musisi yang terkena dampak kuasa politiknya

Sukarno adalah band ternama Koes Plus. Koes Plus pada era ini dianggap

mengusung gaya dan nuansa Imperialisme, dan bisa menghancurkan nilai-nilai

revolusi kemerdekaan. Tanpa sebab yang lebih jelas lagi band ini dianggap

sebagai anteknya orang-orang Amerika dan sedang memperjuangkan nilai-nilai

Imperialisme agar dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia Dari sebab itu,

Sukarno merasa perlu untuk mencekal dan menyeburkan band pop ternama ini

kedalam bui karena ketika Koes Plus dibiarkan hidup bebas dalam kehidupan

kesenian bangsa Indonesia, maka kekuasaan Imperialisme pun dapat dengan

mudah masuk ke dalam kehidupan bangsa Indonesia. Anti Imperialisme Amerika

yang diusung Sukarno bukan berarti anti kapitalisme, jika dilihat dari program-

program perekonomian yang diambil pemerintahan waktu itu, namun lebih pada

kecenderungan untuk dapat menemukan pendukung dari bidang kesenian dalam

hal politiknya yang anti Imperialisme Amerika.49

49
Iqbal Thawakal., 1993., op.cit., No.1, Jilid 3,
46

Sikap politik yang ditampilkan dari sistem ideologi politik yang sedang

dan terus berkembang pada era ini semakin menggoreskan kisah bahwa kuatnya

makna kuasa politik mempunyai pengaruh dan dampak yang significant bagi

perjalanan kesenian pada masa itu. Dengan semakin maraknya kehidupan

perpolitikan Indonesia pada masa itu semakin memposisikan nilai seni pada titik

ambiguitas makna dan nilai. Idealisme seni tidak hanya di obok-obok dari segi

bentuknya saja namun juga sampai pada pola pemikirannya. Isu-isu hangat yang

terjadi pada kehidupan politik seakan-akan tidak pernah bisa lepas dari kehidupan

kesenian. Seni dituntut dan dipaksa untuk dapat mencari solusi permasalahan

tersebut lewat kacamata seni dalam ruang politik. Pada akhirnya seni hanya

sebatas simbol guna menyamaratakan massa dalam ruas-ruas kehidupan ideologi

politik. Jargon-jargon politik melebur menjadi satu dalam tubuh karya seni pada

yang menyebabkan karya seni terbentuk atas nama sebuah ideologi. Dan ideologi

ini patut untuk diperjuangkan dan disuarakan sebagai salah satu ideologi yang

tepat bagi nilai cita-cita revolusi kemerdekaan.

Seperti halnya yang terjadi dalam Manikebu50, sebuah konsep terhangat

yang berhasil diangkat kaum seniman dan cendikiawan golongan kanan guna

50
Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan nasional yang
dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi
ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan
ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh
seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Manifesto Kebudayaan juga dijuluki oleh pihak kiri sebagai Manikebu. Pencetus
manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito, dan ditandatangani antara lain oleh Arief
Budiman, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad. Diilhami oleh semangat
humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat Kepercayaan
Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya keterlibatan
setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto itu sendiri
47

menekan pergerakan golongan kiri. Kehadiran menikebu pada tahun 1963

memecahkan dua pola pemikiran tentang arti sebuah seni dan masing-masing

kubu mengusung konsep ideologi dari sistem komunitas politik yang sedang

diperjuangkan. Menurut golongan kanan manikebu merupakan sebuah titik

kebangkitan dari seni guna menyingkirkan konsep gologan kiri yang di anggap

dapat mengancam supremasi dan menghancurkan nilai-nilai seni. Namun menurut

golongan kiri yang pada era ini mengangkat konsep “ Seni Untuk Rakyat” dan

realisme-sosialis menganggap manikebu dapat melemahkan jiwa revolusi.51 Dari

sebab itulah mereka merasa perlu untuk dapat teus memperjuangkan konsep

tersebut.

Lukisan-lukisan di atas menggoreskan kisah bahwa kuatnya cengkraman

nilai-nilai ideologi politik pada masa ini menyebabkan lemahnya posisi karya seni

dalam kehidupan budaya manusia. Meskipun seni berjalan pada kerangka baru,

namun kerangka tersebut juga tidak menjamin sebuah seni dapat berjalan dengan

tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk
memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah
masyarakat bangsa-bangsa". Sehingga bisa dikatakan butir-butir yang
disampaikan sebenarnya sama sekali tidak berlawanan dengan semangat yang
hidup pada zaman itu: keinginan "menyempurnakan kondisi hidup manusia".
Mungkin satu-satunya prinsip yang membedakan adalah penolakan mereka
terhadap hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan - posisi Sutan Takdir
Alisjahbana dalam "Polemik Kebudayaan" 1930an. Dengan demikian, posisi
Lekra yang mendahulukan pemajuan kebudayaan rakyat demi pembebasan kaum
tertindas: buruh dan tani, dilihat sebagai upaya politisasi gerak kebudayaan. Ini
dianggap mengancam supremasi prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan
karya seni pada alat propaganda politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal
belaka.(www. Wikipedia.com. // Manifestasi Kebudayaan)
51
Keputusan-Keputusan KSSR, Harian Rakyat, 7 September 1964
48

sempurna sesuai idealisme seninya.52 Dan perjalanannya tetap saja tidak pernah

bisa lepas dari pergolakan kehidupan perpolitikan pada masa itu. Seni pada masa

itu bagaikan gerhana disiang hari, sinarnya terang namun saja tertutupi oleh

kuatnya pancaran gerhana.53 Bertumpu pada kondisi yang terjadi pada era 1960-

1966, sangat wajar ketika lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya mengalami

perubahan fungsi bahkan juga ketika harus dibenturkan pada sebuah kasus

pencekalan dan tergoresnya stigma komunis pada tubuhnya. Hal ini semata-mata

disebabkan oleh karena lemahnya posisi lagu Genjer-Genjer untuk dapat menolak

rangkulan ideologi politik dalam setiap ruas-ruas perjalanannya.

B. Jejak Langkah Lagu Genjer-Genjer 1960-1965

Pergolakan kondisi sosial dan politik Indonesia pada periode tahun 1960-

1965 berhasil menyusun pola baru bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Tapak

demi tapak coba dilaluinya, bersama dengan kesederhanaan dari setiap nada dan

syairnya lagu Genjer-Genjer mencoba masuk dan menyuguhkan nilai yang

dikandungnya ke setiap ruas-ruas kehidupan bangsa Indonesia. Upaya tersebut

membuahkan hasil yang cukup menggembirakan, hampir setiap kalangan dari

berbagai golongan tertarik oleh kesederhanaan dan keunikan lagu Genjer-Genjer.

52
Tergambar kembali pada kasus lagu Genjer-Genjer yang dilancarkan
pada Orde Baru. Dimana seni, yang dalam hal ini lagu, tetap saja tidak dapat
hidup subur sebagaimana mestinya. Bukan hanya itu, terhitung tak sedikit karya-
karya seni yang dicekal pada era itu hanya karena dianggap mengganggu dan
membahayakan jalannya pemerintahan.
53
Hasil wawancara dengan Sri Moelyadi pada tanggal 23 juni 2009
49

Pada babakan ini, lagu Genjer-Genjer mulai menapaki kehidupan barunya dan

semakin memposisikannya pada ruang kejayaannya.

Pada era itu kehadiran lagu ini dianggap lagu yang unik, kesederhanaan

dari syairnya yang menggambarkan perjuangan sang ibu untuk memunuhi

kebutuhan sehari-hari-kaitannya dengan makanan sehari-hari yang harus

dimakan, dan iramanya yang melakolisetnis menarik keunikan tersendiri bagi

lagu ini. Oleh sebab itulah tak heran apabila penggemar lagu ini tidak tertutup

pada satu kalangan saja, hampir setiap kalangan yang ada menggemari lagu ini.

Meskipun mungkin mereka sendiri pun tidak mengetahui arti dari syair lagu ini,

khususnya bagi mereka yang notabenenya bukan orang Jawa namun mereka

masih bisa menikmatinya lewat nada-nada dan irama yang disuguhkannya.

Namun seperti yang telah di ulas diatas, bahwa pada periode ini semua

karya seni tidak pernah bisa berjalan bebas sesuai dengan idealisme seninya,

begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer. Warna dan gaya baru yang terbentuk

pada lagu Genjer-Genjer semata-mata karena sebuah tuntutan untuk harus

memihak pada sebuah nilai ideologi politik dari kelompok politik tertentu.

Berawal dari keinginan Muhhamad Arief, sang pengarang lagu, untuk dapat

bergabung dengan Lekra, lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI. Lagu

Genjer-Genjer coba di usung olehnya sebagai salah satu bukti dari karyanya yang

bermuara pada konsep ” Seni Untuk Rakyat ” ke khalayak ramai dan juga ke

kalangan politikus. Mulai sejak saat itu kehadiran lagu Genjer-Genjer tidak lagi

tertutup pada ruang-ruang publik dalam sekat budaya dan seni saja namun juga

hadir pada ruang-ruang panggung politik Indonesia.


50

Upaya dari M. Arief untuk dapat mengangkat eksistensi lagu Genjer-

Genjer ke permukaan yang lebih luas mulai memancarkan titik cerah. Hal

tersebut terbukti nyata, ketika para petinggi PKI sedang mengadakan perjalanan

ke Denpasar guna berkampanye dan sempat singgah di Banyuwangi. Selanjutnya,

dalam persinggahannya oleh para seniman Lekra Banyuwangi mereka

disuguhkan lagu Genjer-Genjer. Dalam sekejap mata para petinggi PKI pun

tertarik oleh kesederhanaan dan keunikan lagu ini, salah satunya adalah Nyoto.

Nyoto, yang juga seorang musisi dan sahabat dekatnya M.Arief saat di RRI,

memprediksi bahwa lagu ini akan segera terkenal di kancah panggung hiburan

Indonesia dari sebab itu ia merasa perlu untuk dapat mengangkat lebih tinggi lagi

eksistensi lagu ini ke permukaan. Selain prediksi tersebut, bersama dengan jiwa

musikalitasnya, Nyoto mencoba mengkritisi warna roman sejarah yang terlukis

dalam lagu Genjer-Genjer sebagai salah satu bukti nyata dari seni tradisi positif

rakyat yang sedang diperjuangkan oleh PKI dan Lekra.

Berawal dari peristiwa tersebut lambat laun eksistensi lagu Genjer-Genjer

mulai berubah dan semakin dikenal oleh khalayak ramai. Warnanya yang unik

dan masihlah minim untuk dapat dijumpai oleh kebanyakan lagu yang ada pada

masa itu, semakin memposisikan lagu Genjer-genjer pada titik popularitas. Dan

secara tidak langsung memperkaya kancahnya panggung hiburan Indonesia.

Selain itu lewat kehadirannya pula, lagu Banyuwangi yang tadinya hanya dilirik

sebelah mata mulai bisa diterima oleh kalangan umum dan eksistensi mulai

terangkat ke perrmukaan. Tidak hanya itu, fakta menjelaskan bahwa pada periode

ini kejayaan lagu Genjer-Genjer mulai menapaki ruang teratas panggung hiburan
51

Indonesia. Hal ini terbukti dengan masuknya lagu Genjer-Genjer sebagai

nominasi lagu hits pada tahun 1963. Dan menambah semakin kerapnya lagu ini di

putar dan ditayangkan di RRI dan TVRI54.

Dengan semakin akrabnya lagu ini di telinga masyarakat Indonesia yang

menggugah tali jiwa musikalitas para musisi pada masa tersebut untuk dapat

menggarragement lagu ini ke ragam gaya dan warna baru. M. Arief sendiri

mengarragement ulang lagu ini dalam bentuk band bersama dendangan suara dari

penyanyi terkenal pada masa itu, Bing Slamet55, dan mengabadikannya ke dalam

piringan hitam. Bersama Bing Slamet lagu ini didendangkan dalam bentuk band

dan berbahasa Jawa, Banyuwangi yang lebih sederhana. Hal ini dilakukan guna

memudahkan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa dan-mungkin

juga- masyarakat luar Jawa pada umumnya, untuk dapat memahami makna yang

terkandung dalam lagu Genjer-Genjer. Selain itu pada awal tahun 1965, lagu ini

berhasil diarragement ulang kedalam bentuk paduan suara oleh Moh. Sutiyoso

dan kerap dipentaskan pada acara-acara music di RRI dan TVRI. arragement

ulang oleh Moh. Sutiyoso ini kemudian di perbanyak dalam bentuk piringan

hitam dan diorbitkan kembali oleh bagian kebudayaan Central Comite PKI ( CC-

PKI) bersama lagu daerah lainnya seperti : Glatik NgukNguk, Kr. Kemayoran,

dan Jali-Jali (lagu asli Betawi) dengan menggantikan syairnya untuk menjabarkan

54
Jurnal Shrintil., 2003, Vol. 3
55
Bing Slamet adalah penyanyi terkenal dan juga musisi handal pada masa
itu. Selain itu, Bing Slamet juga sahabat dari M. Arief dan Nyoto. Mereka bertiga
kerap di undang di RRI untuk dapat mengisi musik dalam acara harian sore di
RRI. (www.wikipedia.com)
52

isi Manipol56-USDEK.57 Bukan hanya itu, Lilies Suryani salah satu penyanyi

terkenal pada era itu pun merasa tertarik untuk meliris lagu Genjer-Genjer

tersebut dalam albumnya. Lagu Genjer-Genjer diliris olehnya bersama satu lagu

popular pada era itu yakni Oentok PJM (Paduka Jang Moelia) Presiden Sukarno.

Perjalananan kejayaan lagu Genjer-Genjer pada era ini memang tidak

dapat lepas dari kedekatannya dengan PKI. Eratnya hubungan antara lagu Genjer-

Genjer dengan PKI tanpa di sadari menggoreskan nilai konsekuensi bagi

perjalananan lagu Genjer-Genjer. Oleh sebagian lapisan, khususnya para seniman

dan cendikiawan golongan kanan dan juga lawan politiknya PKI, lagu ini di nilai

memiliki unsur yang mensyaratkan propaganda politiknya PKI. Syairnya yang

mencoba menceritakan suara jeritan hati rakyat kecil yang tertindas pada masa

penjajahan Jepang dimaknai sebagai sebuah bukti dari ideologi komunis atau

PKI.58 Terlebih pada tahun 1964 tanpa sungkan-sungkan D.N. Aidit, salah satu

petinggi PKI, mengkampanyekan bahwa lagu Genjer-Genjer sebagai perwakilan

dari apa yang dinamakan Seni Untuk Rakyat dan mengklaim bahwa lagu Genjer-

56
Manipol adalah Manifesto Politik RI. Perumusan dan sistematisasinya
dilakukan oleh DPA- sementara atas pidatonya Presiden Sukarno pada HUT
Kemerdekaan RI yang ke-14, tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan
Kembali Revolusi Kita “. Manipol diusulkan menjadi GBHN yang penetapannya
dilakukan melalui Penpres No. 1 Tahun 1960, yang kemudian dikukuhkan oleh
MPRS pada tanggal 19 November 1960 dengan ketetapan No 1/MPRS/1960.
(Kamus Gestok., 2003, hal: 179-180)
57
Utan Parlindungan., op.cit., Hal: 63
58
Perjuangan kaum komunis pada masa itu lebih pada memperjuangkan
kaum tertindas dan mengatasnamakan rakyat kecil, sperti petani, buruh dan juga
guru-guru. Ideologi seperti ini yang sedang diperjuangkan oleh PKI.
(www.wikipedia.co.id//Komunis/diIndonesia)
53

59
Genjer sebagai lagu ”Mars”-nya PKI . Maka makna PKI dan juga ideologi

komunis semakin tak dapat terelakan oleh lagu Genjer-Genjer dan semakin kental

melekat dalam tubuh lagu Genjer-Genjer.

Pada titik ini tanpa di sadari lagu Genjer-Genjer terindikasi ambiuitas

makna, fungsi awal yang terkandung dalam tubuh lagu ini tahap demi tahap

terlepas dan berubah fungsinya. Cengkraman ideologi PKI di satu sisi

menawarkan keindahan namun di satu rangkulannya menyuguhkan kepahitan

bagi perjalananannya. Dengan semakin dalam lagu ini tenggelam dalam cumbuan

PKI, maka semakin kental pula aroma propaganda politik PKI tertanam pada lagu

ini. Hal ini terbukti benar, pada periode ini hampir sebagaian khalayak ramai

mengenal lagu ini sebagai lagunya PKI yang berasal dari Bayuwangi. Dalam arti

lain, lagu Genjer-Genjer berasal dari besutan orang-orang PKI yang bercabang di

Banyuwangi. Makna dan fungsi ini terus berkembang di khalayak ramai pada

masa itu, maka tak heran ketika tahun 1966 tanpa pikir panjang Orde Baru

memilih jalan untuk mencekal lagu ini.

C. Pandangan PKI dan Lekra terhadap Lagu Genjer-Genjer

” Musik adalah sendjata, sendjata jang menggembleng barisan


sendiri, memperkuat front dengan sekutu maupun mengobrak-abrik

59
Terbukti dengan kerapnya dinyanyikan lagu Genjer-Genjer sebagai lagu
pembukaan di setiap pertemuan-pertemuannya PKI. (Utan Parlindungan., op.cit.,
hal: 99)
54

lawan, sendjata dalam”djor-djoran” dengan kawan maupun dalam


”dor-doran” dengan lawan ”60

Lagu bagi Lekra dan PKI bukan hanya sebagai hiburan semata namun juga

sebagai instrumen politik, terlebih ketika syair-syair yang terukir dalam tubuh

lagu dianggap dapat menjadi perpanjangan tangan atau perwakilan dari ideologi

politiknya. Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer, ketertarikannya dengan lagu

Genjer-Genjer tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini jelas terlihat dari sikapnya yang

memposisikan lagu ini sebagai lagu kebanggaannya. Nuansa kerakyatan yang

dimiliki oleh lagu Genjer-Genjer dijadikan sebuah perwakilan politiknya. Dan

mulai dari sejak itu, kehadiran lagu ini coba di angkat tinggi sebagai sebuah wakil

dari wujud seni yang positif dan mewakili suara-suara revolusi kemerdekaan.

Bahkan bukan hanya itu eksisitensinya dalam ruang kancah panggung popular

patut untuk diperjuangkan.

Kehadiran lagu Genjer-Genjer di sela-sela kehidupan politik PKI dan

Lekra memang sangat diharapkan. Tradisi rakyat yang terkandung di setiap kata-

kata yang terlukis dalam syair lagu Genjer-Genjer di jadikan sebagai alat

perpanjangan politiknya. Dalam arti lain, lagu Genjer-Genjer coba difungsikan

bukan hanya sebagai media hiburan semata namun juga sebagai media

propaganda politiknya. Dengan semakin popularnya lagu Genjer-Genjer

dikalangan masyarakat maka cita-cita politiknya dapat dengan mudah berbaur

bahkan masuk kedalam jiwa masyarakat Indonesia. Menurut PKI dan Lekra lagu

60
Pidato Nyoto di depan rombongan paduan suara “ Tak Seorang Berniat
Pulang”, yang telah selesai berlomba dalam ulang tahun KSSR. (Harian Rakjat,
November 1964)
55

Genjer-Genjer adalah lagu yang lahir dari romantisme Revolusi yang ditemukan

dari sebuah lawatan turun ke bawah.61 Hal ini terbukti dari syair-syairnya yang

secara tidak langsung bersemayam sebuah nilai tradisi rakyat dari respons emosi

atas kondisi sosial terbawah. Maka eksistensinya patut untuk untuk

diperjuangkan.

Fungsi yang diberikan oleh PKI dan Lekra secara disadari atau tidak

membawa lagu Genjer-Genjer pada sebuah nilai lagu yang bernuanasa politis.

Pada saat ini kehadirannya sebagai lagu rakyat mulai luntur, sebagian kalangan

memandang lagu Genjer-Genjer sebagai lagu besutannya PKI. Bukan sebagai lagu

yang tercipta murni dari seni dan tradisi Banyuwangi. Lonjakan-lonjakan

popularitasnya menjadi perhatian tersendiri dari berbagai kalangan termasuk Orde

Baru yang nota benenya musuh terbesarnya PKI. Dan tak pernah bisa lepas dari

indentitas PKI dan Komunis. Namun menurut PKI dan Lekra sendiri, popularitas

yang dialami oleh lagu Genjer-Genjer secara tidak langsung berasal dari semangat

lagu itu sendiri. Dan PKI atau Lekra hanya sebatas kawan dalam perjalanan lagu

ini.

Menurutnya lagi bahwa lagu Genjer-Genjer bukan sekadar nyanyian saja,

tapi membangkitkan semangat serta menjadikan seni untuk rakyat. Ia

mengabadikan politik romantik padi dan menyingkirkan politik romantik lilin


62
yang meleleh. Dan inilah lagu yang dianggap dapat mencerdaskan masyarakat

Indonesia, di sela-sela lagu bernuansa barat. Oleh sebab itu jika ada yang

61
Rhoma Dwi Aria.,op.cit, hal: 414
62
Ibid., hal: 415
56

menjustifikasi lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang memilki simbol tentang

komunis menjadi sangat wajar pada era itu. Hal ini disebabkan karena fungsinya

tidak lagi sebatas media hiburan semata namun juga sebagai propaganda

politiknya PKI. Dan kebanyakan kalangan pada era itu mengenal lagu ini bukan

lagi lagu rakyat Banyuwangi namun lagu PKI yang bernuansa lagu rakyat

Banyuwangi.
BAB IV
JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER

A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer

1965-1966

Pada tanggal 30 September 1965, malam hari, tiba-tiba situasi di dalam

negeri menjadi sangat mencekam. Sekelompok militan terlatih berseragam

militer, mendatangi dan menculik secara paksa tujuh jendral besar TNI pada era

itu. Satu jendral berhasil lolos pada malam penculikan itu, namun ajudan setianya

tak luput diboyong secara paksa. Banyak versi yang mencoba menjelaskan apa

alasan dan tujuan di balik penculikan itu, yang jelas nasib dari tujuh Jendral dan

satu letnan itu pada akhirnya nanti harus menemui nasib yang mengenaskan.

Pasca peristiwa tersebut keadaan Indonesia semakin memanas dan mencekam.

Gencarnya kabar atau berita yang merujuk pada hilangnya ketujuh Jendral dan

satu letnan itu mulai menjadi “top news” pada era itu. Tindakan subversive yang

dilakukan oleh pemerintah mulai dilancarkan, guna kejelasan dari nasib para

petinggi TNI tersebut dan mencari tahu apa, siapa dan bagaimana tragedi itu bisa

terjadi.

Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil, pada akhirnya ketujuh Jendral

dan satu Letnan ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. Korban

ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok

Gede, yang pada awalnya ditutupi tumpukan sampah guna menghilangkan jejak.

57
58

Berkat usaha dan laporan dari Sukitman, anggota kepolisian yang tak luput

terculik oleh kawanan militan tersebut pada saat patrol di kawasan rumah Brigjen

TNI D.I.Pandjaitan. Menurutnya, ia berhasil melarikan diri sesaat ia menyaksikan

perbuatan keji para penculik dalam mengeksekusi para Jendral besar TNI

tersebut. Atas perintah Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan juga dengan

bantuan Sukitman, pada tanggal 3 Oktober 1965 para perwira TNI tersebut

berhasil ditemukan walaupun dalam kondisi yang mengenaskan.63 Para perwira

ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok

Gede, dalam kondisi yang mengenaskan.

Peristiwa tragis tersebut secara tidak langsung menyulut amarah besar dari

seluruh bangsa Indonesia. Anggapan adanya pengkhianatan revolusi

kemerdekaan dan isu dari cita-cita sebuah kudeta bagi pemerintahan Indonesia

mulai berkembang di sela-sela kehidupan masyarakat Indonesia. Langkah-

langkah subversif guna menemukan dalang di balik peristiwa ini terus

dilancarkan. Sampai pada akhirnya tersangka tertuju pada satu nama yang tidak

asing lagi pada era itu, partai komunis terbesar yang dimiliki bangsa ini (PKI) di

vonis bertanggung jawab atas semua terjadinya peristiwa G30S. Serentak amarah

dan kekecewaan bangsa Indonesia tertuju pada partai berlambangkan palu arit itu.

Bersama dengan legitimasi hukum yang dikeluarkan oleh MPRS melalui

ketetapan MPRS No: IX/MPRS/1966, tentang surat kuasa yang diberikan presiden

kepada Suharto untuk dapat mengkondusifkan kembali situasi dari ancaman-

63
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September:
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, Dan
Penumpasannya, Jakarta, hal : 127
59

ancaman tersebut. Dalam waktu sekejap Indonesia menjadi merah dan berdarah,

dari penangkapan dan eksekusi warga PKI dan underbouwnya sampai pada

pemusnahan segala atribut yang bernuansa PKI mulai mewarnai perjalanan

bangsa Indonesia. Ironisnya, eksekusi yang dilancarkan cenderung radikal dan

ekstrem, hal ini terbukti dari penangkapan dan pembunuhan massal dari anggota,

simpatisan, dan juga orang yang hanya di tuduh sebagai PKI. Maka tak heran

apabila pada era tersebut banyak orang yang mati sia-sia, hanya karena dituduh

sebagai PKI dan underbouwnya. Orang-orang tersebut dipaksa untuk bertanggung

jawab dan mengahadapi ajalnya dengan keji. Banyak kalangan yang

berpandangan bahwa peristiwa tragedi 30 September termasuk salah satu

peristiwa sejarah kelam dan terkeji yang pernah dilalui bangsa Indonesia. Tercatat

dalam sejarah bahwa pasca tragedi tersebut ribuan nasib anak bangsa harus rela

berakhir pada cara dibunuh secara keji dan masal yang ironisnya dilakukan oleh

saudaranya sendiri.

Gencarnya TNI dan Orde Baru membumihanguskan PKI, underbouw dan

segala atribut yang bernuansa PKI dan komunis, menarik lagu Genjer-Genjer

pada nasib serupa. Pencekalan yang dilakukan Orde Baru pada lagu rakyat ini

sekilalas di dasari dalam dua hal pokok yakni pertama, sejak awal

perkembangnya dalam kancah hiburan Indonesia lagu ini diperjuangkan oleh

kaum komunis dan terus dieksiskan oleh kaum komunis, Point ini lebih pada

eratnya hubungan antara lagu Genjer-Genjer dengan PKI dan underbouwnya.

Kedua adalah tersebarnya isu tentang di temukannya penggalan syair lagu

Genjer-Genjer di seputaran TKP G30S yang selanjutnya, oleh beberapa kalangan


60

seperti KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan TNI mencoba

membangun opini baru tentang nilai yang tersirat dalam syair lagu tersebut

sebagai lagu yang mengandung isyarat tentang konsep terjadinya G30S. Dalam

harian KAMI, syair lagu Genjer-Genjer diplesetkan menjadi Genjot Jendral -

Jendral, Hasan Singodimayan, salah satu seniman HSBI64 dan juga teman

akrabnya M. Arief, mengiksahkan dalam catatan pribadinya bahwa lagu Genjer-

Genjer telah diplesetkan menjadi

“Jendral-Jendral Nyang Ibukota pating keleler, Emake Gerwani,


teko-teko nyuliki jendral, Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-
toleh, Jendral-Jendral saiki wes dicekeli. Jendral-Jendral isuk-isuk
pada disiksa, Dijejer ditaleni dan dipelosoro, Emake Gerwani, teko
kabeh milu ngersoyo, Jendral-Jendral maju terus dipateni”.65

Aksi yang dilakukan Harian KAMI ini yang menambah semakin

tereliminasinya lagu Genjer-Genjer dalam kancah panggung hiburan Indonesia

dan semakin menyakinkan Orde Baru dan rejimnya untuk mencekal lagu Genjer-

Genjer dari kancah panggung hiburan rakyat. Bermuara pada bangunan opini

tersebut yang menyakinkan masyarakat Indonesia bahwa lagu Genjer-Genjer

benar-benar lagu yang menisyaratkan konsep G30S dan berstigma komunis.

Tafsiran-tafsiran dari syair lagu Genjer-Genjer yang beredar di lingkungan

kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia semakin menghempas eksistensi lagu

64
Himpunan Seniman Banyuwangi Indonesia
65
“Jendral-Jendral di Ibukota berhamburan, Ibunya Gerwani, datang-
datang menculik Jendral, dapat satu truk, dapat yang kecil-kecil lalu bergegas
pergi, Jendral-Jendral saiki sudah ditangkapi, Jendral-Jendral pagi-pagi pada
disiksa, dibariskan berjejer dan dianiyaya, Ibunya Gerwani, datang semua ikut
menganiyaya, Jendral-Jendral maju lalu di bunuh” (Jurnal Paring Waluyo Utomo,
2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi Komunis, Direktur Pusat Studi dan
Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang)
61

ini pada titik keterpurukan. Dan keinginan untuk dapat mengeliminasi lagu ini

dari kancah hiburan nasional. Antipatinya masyarakat Indonesia untuk dapat

menyanyikan bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer semakin terlihat jelas.

kuat. Pada akhirnya lambat laun lagu Genjer-Genjer dipaksa untuk terkubur

hidup-hidup, tanpa batas waktu yang jelas.

Pada ruang ini jelas tampak bahwa kehadiran lagu Genjer-Genjer secara

tidak langsung membawa indikasi, implikasi dan konsekuensi yang dapat

dikatakan tidak ringan. Phobia masyarakat Indonesia untuk mendendangkan

bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer mulailah merangkul erat setiap jiwa

msayarakat Indonesia. Mereka takut akan konsekuensi yang akan mereka terima

ketika mereka tetap menyanyikan, mendengarkan, bahkan mempertahankan

eksistensi lagu ini. Sebab telah banyak korban yang jatuh hanya karena

menyanyikan lagu ini dan dianggap sebagai PKI dan Komunis. Seperti halnya

yang tersirat pada kisahnya Sumilah, gadis kecil yang berasal dari Prambanan.

Satu hal yang ia ingat ketika ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara

Wirogunan Yogyakarta karena dituduh sebagai simpatisan PKI adalah hanya

kegemarannya menyanyikan lagu Genjer-Genjer selepas pulang sekolah bersama

teman-temannya.66 Kisah Sumilah ternyata memberi peringatan tersendiri bagi

masyarakat Indonesia bahwa konsekuensi yang ditanamkan oleh pemerintah

tentang bahayanya lagu Genjer-Genjer membawa dampak yang tidak mudah.

66
Fransisca Ria Susanti, 2006, Kembang-Kembang Genjer, Lembaga
Sastra Pembebasan, Jakarta, hal: 6
62

Dari sejak itu, rasa paranoid untuk dapat merangkul lagu Genjer-Genjer mulai

menghantui setiap benak masyarakat Indonesia.

Nasib kelam yang dialami lagu Genjer-Genjer tenyata tidak saja terhenti

pada ruang kehidupannya saja, akan tetapi juga menyentuh ruang lokalitas

kehidupan keseniannya. Akibat pelarang dan pencekalan lagu Genjer-Genjer

menyeret beberapa seniman Banyuwangi dalam himbauan serius dari pemerintah,

terlebih kaitannya guna mengeksiskan kembali lagu Genjer-Genjer dengan cara

apapun. Termasuk juga pelarang untuk memainkan beberapa gendhing yang

dianggap dapat memompa kesadaran politk massa rakyat. Bersama pelarang ini

pula nasib seniman-seniman rakyat Banyuwangi menjadi tidak jelas dan karya-

karyanya menjadi titik pusat pehatian tersendiri dari pemerintah.

Kematian langkah lagu Genjer-Genjer mencapai titik klimaks ketika pada

tahun 1966 MPRS mengesahkan ketetapan MPRS No. XXV tanggal 6 Juli 1966,

tentang pengharaman dan pelarangan PKI, Komunis dan Leninisme, maka

perjalanannya secara tiba-tiba terhenti. Tidak lagi terdengar alunan lagu Genjer-

Genjer mengiringi anak-anak kecil bermain di pagi hari. Ketetapan ini dijadikan

payung legalisasi hukum bagi rejim Orde Baru untuk dapat mematikan langkah

PKI, underbouwnya dikancah perpolitikan Indonesia. Begitu pula dengan lagu

Genjer-Genjer, kehadirannya dimanfaatkan dan dijadikan sebagai sebuah senjata

ampuh dapat semakin mematikan PKI. Bangunan mitologi-mitologi komunis

dirancang sedemikian rupa ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer seakan-akan

bahwa lagu Genjer-Genjer memang lagunya PKI dan bernuasa komunis.

Keberhasilan rejim Orde Baru dalam merancang bangunan stigma komunis pada
63

lagu Genjer-Genjer semakin memposisikan lagu Genjer-Genjer dalam ruang

eliminasi.

B. Lagu Genjer-Genjer Di Antara Banyuwangi, PKI, LEKRA

Dan Orde Baru

Pasca peristiwa G30S, enggan rasanya bagi sebagian besar masyarakat

Indonesia untuk dapat menyanyikan bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer.

Mereka takut akan konsekuensi yang bakal mereka hadapinya ketika harus

menyanyikan bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer kembali. Terlebih ketika

nilai konsekuensi tersebut melebur menjadi satu dalam ranah supremasi hukum

yang dilegalkan oleh pemerintah maka rasa paranoid pun semakin menjangkiti

setiap relung jiwa bangsa Indonesia. Namun bertolak dari itu semua, kasus yang

dialami lagu Genjer-Genjer ternyata melahirkan beragam persepsi sendiri untuk

dapat dinilai secara bijak. Di mata masyarakat Banyuwangi, lagu Genjer-Genjer

tetap mengandung fungsi sebagai media kritikan terhadap penjajah Jepang dan

menjadi alat perjuangan mereka. Lukisan-lukisan roman sejarah tentang

perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupan di sela-sela

kolonialisasi Jepang tetap terukir dalam benak masyarakat Banyuwangi. Memori

yang terabadikan pada lagu Genjer-Genjer dapat menjadi wahana pemersatu rasa

solidaritas masyarakat Banyuwangi dalam menyikapi segala tantangan hidup.

Nuansa dan stigma komunis yang disematkan oleh Orde Baru dalam tubuh lagu

Genjer-Genjer sama sekali tidak menghilangkan rasa kecintaan mereka pada lagu
64

ini. Genjer-Genjer tetap menjadi salah satu icon dari lagu rakyat Banyuwangi,

meski citra komunis yang dibangun oleh Orde Baru semakin pekat melekat dalam

tubuh lagu Genjer-Genjer.67

Kedekatan hubungan antara PKI dengan lagu Genjer-Genjer memang tak

dapat di pungkiri, kejayaannya pada periode 1960-an sudah barang tentu

berhubungan dengan kebesaran PKI. Ketertarikan PKI dengan keunikan dan

kesederhanaan lagu ini yang melahirkan sebuah semangat untuk dapat

memperjuangkan eksistensi lagu ini pada era tersebut. Namun tanpa di sadari

rangkulan yang diberikan PKI ternyata menggoreskan nilai-nilai baru bagi lagu

Genjer-Genjer dan akhirnya fungsi yang ada berubah oleh karena rangkulan PKI

tersebut. Bertumpu pada pola ini ternyata hubungan yang terjalin meninggalkan

kesan tersendiri bagi PKI untuk lagu Genjer-Genjer. Kehadiran lagu Genjer-

Genjer mengandung fungsi dan peran yang cukup significant bagi perjalanan

perpolitikannya. Bagi kebanyakan kalangan yang hidup dalam ruang-ruang PKI,

memandang lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah wahana propaganda politik

mereka. Nuansa kerakyatan yang dimiliki lagu Genjer-Genjer, menjadi

perwakilan suara dari ideologi politik PKI. Hal tersebut ternyata terbukti benar,

dengan semakin popularnya lagu Genjer-Genjer di kalangan masyarakat luas

memberi arti bahwa semakin mudah pula ideologi politiknya masuk dan berbaur

ke dalam ruas-ruas kehidupan masyrakat Indonesia. Dan akhirnya simpati massa

bagi perjuangan ideologi PKI dapat degan mudah mereka dapati. Fungsi

67
Hasil wawancara dengan bapak Joko S pada tanggal 23 juni 2009
65

propaganda politik yang disematkan oleh PKI ini yang secara tidak langsung

menggoreskan nilai konsekuensi bagi perjalanan selanjutnya lagu Genjer-Genjer.

Dugaan tersebut ternyata benar, pasca peristiwa G30S, kehadiran lagu ini

berubah total. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kehadirannya selalu saja

terkait dengan nama PKI dan komunis. Keberhasilan Orde Baru dalam

membangun opini publik tentang makna dan nilai lagu ini menyebabkan semakin

jauhnya kerangka yang terbentuk pada tubuh lagu Genjer-Genjer.

Konsekuensinya, semakin terhempasnya lagu Genjer-Genjer dalam ruang

kehidupan kesenian Indonesia dan rasa enggannya masyarakat Indonesia untuk

dapat merangkul kembali lagu ini. Bagi Orde Baru, kehadiran lagu Genjer-Genjer

semata-mata dipandang sebagai sebuah alat atau senjata untuk dapat mematikan

langkah PKI. Sekilas memang tidak memiliki fungsi apa bagi perkembangan

kehidupan politiknya namun ketika di selami ternyata keberadaan cukup

berpengaruh bagi perkembangan politiknya. Dengan dicekalnya lagu ini olehnya

dan berhasilnya bangunan mitologi tersebut terbangun setidak-tidaknya usaha

untuk dapat mematahkan langkah PKI dapat terwujud dengan mudah. Dapat

dikatakan di sini bahwa keberadaannya dimanfaatkan sebagai sebuah

perpanjangan tangan politiknya guna membantu Orde Baru dalam usahanya

mematikan langkah PKI.

Sampai saat ini, mungkin, citra komunis pada lagu ini tidak dapat lepas

dan terhapus oleh jaman. Namun satu hal yang dapat menjadi kenangan adalah

ketanguhan lagu ini dalam perjalanannya, yang tidak hanya terputus pada nilai

seni saja namun juga berhasil membuat nuansa dan peimikiran sendiri bagi
66

panggung politik pada era tersebut.68 Jika tidak demikian, sangatlah tidak masuk

diakal ketika Orde Baru dan rejimnya mencekal lagu Genjer-Genjer.

68
Hasil wawancara dengan Bapak Ujang Rachmat, Pada tanggal 30
juni 2009.
BAB V
KESIMPULAN

Genjer-Genjer ketika dikaji, murni terlahir sebagai produk kebudayaan

rakyat yang berasal dari daerah Banyuwangi. Fenomena kehadirannya dalam

kancah panggung hiburan Indonesia, menyuguhkan fungsi dan perannya bagi

perkembangan kehidupan kesenian Indonesia. Namun hanya karena lahirnya

perbedataan pendapat dan kepentingan dari sebuah ideologi dan sistem politik

yang berkembang, fungsi-fungsi yang terkandung berubah dan menyebabkan lagu

ini berjalan pada titik ambiguitas makna dan duolisme fungsi. Dan selanjutnya

perubahan fungsi tersebut melahirkan nilai indikasi, implikasi dan konsekuensi

tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer.

Menurut fakta sejarahnya, lagu Genjer-Genjer tercipta dari lukisan

perjuangan kehidupan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupannya di

sela-sela kolonialisme yang dilancarkan bangsa Jepang. Lewat besutan-besutan

kreatifitas dari seniman dan musisi handal Banyuwangi, lukisan-lukisan tersebut

coba dirangkum dalam satu bentuk lagu yang berjudul Genjer-Genjer. Lagu

Genjer-Genjer coba divisualisasikan dan disuguhkan ke ruang budaya masyarakat

Banyuwangi. Keunikan dan karakteristik yang bertumpu pada pola tradisi

masyarakat Banyuwangi, menobatkan lagu Genjer-Genjer sebagai salah satu

produk kesenian rakyat,lagu rakyat (folksong), Banyuwangi.

67
68

Masyarakat Banyuwangi menjadikan lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah

perwakilan suaranya guna mengritik bentuk-bentuk kolonialisme yang

dilancarkan bangsa Jepang. Selain itu masyarakat Banyuwangi juga menyakini

bahwa lirik-lirik yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer merupakan sebuah

lukisan dari sebuah perjuangan hidup yang sejati, yang selanjutnya memiliki

fungsi sebagai alat perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani

hidupnya. Kenangan-kenangan yang terlukis dalam lagu Genjer-Genjer

diharapkan selalu terpatri dalam relung jiwa masyarakat Banyuwangi dari

generasi ke generasi. Sehingga dapat menjadi sebuah pengikat tali rasa solidaritas

masyarakat Banyuwangi dari masa ke masa.

Namun tak dipungkiri bahwa pergolakan yang terjadi dalam kehidupan

perpolitikan Indonesia secara tidak langsung berpengaruh bagi perjalanan

kesenian yang ada. Pada tahun 1960, ketika pergolakan sosial-politik bangsa

Indonesia sedang menempatakan titik kekacauan, seni tak dapat hidup netral dan

bebas. Seni dipaksa berjalan pada garis-garis ideologi dari partai-partai yang ada.

Mau tidak mau seni harus berpihak pada salah satu ideologi partai yang ada.

Kondisi inilah yang menuntun lagu Genjer-Genjer untuk melangkah pada jalur

tersebut. Dengan bergabungnya sang pencipta dengan Lekra, sebuah lembaga

kebudayaan dan kesenian yang berafiliasi dengan PKI, maka secara tidak

langsung lagu Genjer-Genjer mengendong sebuah ideologi yang ada dalam tubuh

partai tersebut (PKI).

Cengkraman ideologi PKI mulai merangkul tubuh lagu Genjer-Genjer,

pada awalnya cengkaraman tersebut membawa titik cerah bagi eksistensi lagu ini.
69

Popularitas yang tadinya, mungkin, tidak terpikirkan oleh sang pengarang lagu

lambat laun terukir dalam tubuh lagu Genjer-Genjer. Tetapi tanpa di sadari

kedekatannya dengan PKI menyeburkan lagu Genjer-Genjer dalam political

campaignnya PKI. Lewat kesederhanaan lirik-liriknya yang mengkisahkan

kehidupan rakyat jelata (masyarakat Banyuwangi) pada masa kolonialisasi,

mengklaim lagu Genjer-Genjer sebagai salah satu contoh bentuk seni yang

mewakili ideologinya. Mulai detik itu nilai konsekuensi mulai menggores di

setiap jengkal tubuh lagu Genjer-Genjer dan tak mungkin dapat dihindarinya.

Sampai pada meletusnya peristiwa G30S dan menarik PKI sebagai dalang

utama dari tragedi tersebut, selanjutnya terjadi pembumihangusan terhadap PKI

dan semua yang bernuansa komunis. Menuntut lagu Genjer-Genjer menenggak

semua nilai konsekusensi, kedekatannya dengan PKI menyebabkan lagu Genjer-

Genjer pun tak luput menjadi sasaran dari pencekalan. Semua kisah indah pada

masa-masa sebelumnya sekejap berubah menjadi kisah kelam dan tragis.

Eksistensinya hilang dan dipaksa terkubur hidup-hidup. Bukan hanya itu, beredar

opini publik tentang isu-isu makna komunis yang tersirat pada lagu ini semakin

membawa lagu Genjer-Genjer pada titik keterpasungan diri.

Lahir beberapa alasan kenapa lagu Genjer-Genjer yang harus dipaksa men

semua menanggung nasib tragis tersebut. Pertama adalah jelas bertumpu pada

kedekatannya dengan PKI yang secara langsung menanamkan konsekuensi dalam

dirinya. Kedua, isu-isu yang beredar di kalangan umum, baik itu yang dibangun

pemerintahan pada waktu itu maupun penafsiran-penafsiran yang dibangun

masyarakat luas dan Orde Baru terhadap lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang
70

mengandung stigma komunis, semakin menguatkan jalan pemerintah dan

masyarakat umum untuk dapat mengeliminasi lagu Genjer-Genjer dari kancah

hiburan nasional. Dan terakhir yang ketiga lebih pada susunan yang ada pada lagu

ini, sebuah lagu dapat diperhitungkan kehadirannya ketika lirik yang terangkum

dianggap sebagai sebuah simbol atau bermakna ganda. Dalam arti lain bahwa,

lirik-lirik yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang semuannya

bernuansa kerakyatan dianggap sebagai simbol dan makna yang dapat membakar

semangat perjuangan rakyat kecil dan mengkampanyekan ideologinya PKI. Dari

sebab itulah maka pemerintah dan Orde Baru merasa perlu untuk mencekal

kehadiran lagu Genjer-Genjer di kancah panggung hiburan nasional guna menjadi

salah satu jalan dalam menutup langkah PKI dan underbouwnya.

Lepas dari itu semua, kasus ini melukiskan kisah tersendiri bahwa

kekuasaan politik atau pergolakan kehidupan budaya yang terjadi dalam

kehiudupan manusia, dapat dengan mudah mempengaruhi pola tingkah laku

sebuah produk kesenian bahkan merubah fungsikan kehadiran sebuah seni.

Lemahnya nilai sebuah seni menjadi alasan termudah bagi kekuatan-kekuatan

politik yang ada untuk bisa memfungsingkan bahkan memanfaatkan sebuah karya

seni. Pada akhirnya idelisme seni dikorbankan demi sebuah kepentingan, yang

mungkin, tidak ada hubungannya dengan urusan kesenian. Dengan mengkaji

kasus ini lebih dalam lagi diharapkan dapat secara bijak mengerti pentingnya arti

sebuah kehidupan kesenian di mata bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka

Buku
Aria Dwi Yulianti, Rhoma dan M. Muhidin Dahlan., 2008, LEKRA Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
1950-1965, Merkesumba, Yogyakarta

Bogart, Van De, Doris., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting,


Sculputure, music, And Literature), New York , Bames & Noble Inc,

Camus, Albert, dkk., 1998, Seni, Politik, Pemberontakan, Yayasan Bentang


Budaya, Yogyakarta

D.N Aidit., 1955, Lahirnya PKI Dan Perkembangannya 1920-1955, Jajasan


Pembaharuan, Djakarta

__________., 1955, Menuju Indonesia Baru, Jajasan Pembaruan, Djakarta

Dr Baskara T Wardaya., 2006, Bung Karno Menggugat : Dari Marhaen, CIA,


Pembantaian Massal’65 Hingga G30S, Penerbit Galangpress,
Yogyakarta

D.S Moeljanto, dan Taufik Ismail, dkk., 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif LEKRA/PKI dkk, Republika, Bandung

Fransisca Ria Susanti., 2006, Kembang-Kembang Genjer, Lembaga Sastra


Pembebasan, Jakarta

Goenawan Mohammad., 1995, Catatan Pinggir, Gramedia, Jakarta

Jakob Sumardjo., 2000, Filsafat Seni, ITB, Bandung

Joebar Ajoeb., 2004, Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia, Teplok PRESS,
Jakarta

Kuntowijoyo., 1987, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, Yogyakarta

Koentjaraningrat., 1985, Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional, Jakarta,


Gramedia

Lombart, Denys., 2005a, Nusa Jawa Silang Budaya (1): Batas-Batas


Pembarataan, Pustaka Gramedia Utama, Jakarta
Malinowski, Bronislaw, 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya ( Pengenalan
Baru Phyllis M. Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat
Kementerian Pelajaran

Machiavelli, Niccolo., 2003,., Diskursus, Bentang Budaya, Yogyakarta,


terjemahan, Santoso, Yudi dan Sovia, VP

Mack, Dieter., 2004, Musik Kontemporer Dan Persoalan Interkultural, ARTI,


Jakarta

Mudji Soestrisno Dan Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan,


Yogyakarta, Kanisius

Markas Besar ABRI., 1995, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid III:
Konsolidasi dan Inflitrasi PKI (1950-1959), Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI, Jakarta

Nugroho Notosusanto., 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan Sejarah,


Jakarta, Idayu

Prof. Dr Sumandiyo Hadi Y., 2005, Sosiologi Tari , Penerbit Pustaka, Yogyakarta

Prof Nakagawa, Shin., 2000, Musik Dan Kosmos: Sebuah Pengantar


Etnomusikologi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

R.M Soedarsono., 1999, Metodologi Penelitian Seni Pertujukan Dan Seni Rupa,
Bandung, Masyarkat Seni Pertujukan Indonesia

ST Sunardi., 2002, Semiotoka Negativa, Penerbit Buku Baik Yogyakarta,


Yogyakarta

Sujarno, dkk., 2003, Seni Pertunjukan Nilai, Fungsi, Dan Tantangannya, Balai
Kajian Sejarah Dan Nilai tradisional Yogyakarta, Yogyakarta

Sekretariat Negara Republik Indonesia., 1994, Gerakan 30 September:


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, Dan
Penumpasannya, Jakarta

Triyono Bramantyo., 2004, Disseminasi Musik Barat Di Timur, Yayasan Untuk


Indonesia, Yogyakarta

Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan Cinta,
Pustaka LP3ES, Jakarta

Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan


Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL
UGM, Jogyakarta
Jurnal, Artikel Dan Majalah
Ernawati Purwaningsih., 2007, Kebo-Keboan, Aset Budaya Di Kabupaten
Banyuwangi, JANTRA: Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol II No 4

Iqbal Thawakal., 1993, Atjungkan Tindju Kita, Lagu dan Sikap Politik Jaman
Soekarno, Majalah PROGRESS, Jilid 3, No.1

Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi Komunis,


Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang

Jurnal Srinthil., 2003, Vol 3

Jurnal Srinthil., Rabu, 3 Oktober 2007, Amuk Rakus Industri Dan Napas Sengal
Perempuan Seni Tradisi,

Kajian Perempuan Desantara., 2000, Banyuwangi dan Problem Seni Tradisi,


Vol1

Keputusan-Keputusan KSSR., 7 September 1964, Harian Rakyat

Majalah PROGRESS 1966, Edisi minggu ke 3 Oktober, Jakarta,

M Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu Populer,


Majalah Gelora, Jakarta

Siti Munawaroh., Desember, 2007, Gandrung Seni Pertunjukan Di


Banyuwangi, JANTRA, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4

Sudjadi., 1986, Asal-Usul dan Keadaan Kesenian Gandrung Banyuwangi


Dewasa Ini, Artikel Seminar Kebudayaan Jawa 23-26 Januari 1986,
Proyek Javanologi, Yogyakarta

Website
http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing

www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni dan budaya


Banyuwangi

www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi

http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopediabebasberbahasaindonesia/fenom
ena lagu Genjer-Genjer
www. Wikipedia Indonesia. com, Fenomena Lagu Genjer-Genjer

Communism and Stalinism in Indonesia', WorkersLiberty.org

www. Wikipedia.com. “Manifestasi Kebudayaan

Informan

No Nama Usia Pekerjaan Pekerjaan Tgl Wawancara


Dulu Sekarang

1. Bambang 40 Pekerja Seni Staff 21 Maret 2009


Adi tahun Komunitas
Teplok Solo

2. Deden. S 45 Pekerja Seni Anggota 31- Maret-2009


tahun Rumah
Bambu,
Komunitas
Seni dan
Budaya,
Jakarta

3. Sri 50 Karyawan Pembimbing 23-juni-2009


Mulyadi tahun Arsip Nasional Rumah
Indonesia Bambu,
Komunitas
Seni dan
Budaya,
Jakarta

4. Endang 72 Karyawan Karyawan 26 – Juni - 2009


Zakaria tahun RRI, jakarta RRI, Jakarta
5. Aris 80 Karyawan Pensiunan 23 – Juni - 2009
Munandar tahun RRI, Jakarta

6. Joko. S 55 Pegawai Dinas Staff 23 Juni 2009


tahun Kebudayaan Komunitas
Indonesia Utan Kayu,
Jakarta

7. Ujang 50 Staff 30 Juni 2009


Rachmat tahun Komunitas
Utan Kayu,
Jakarta
Lampiran I

“GENJER-GENJER”
Ciptaan M. Arief

Genjer-genjer nang kledhokan pating keleler


(Genjer-Genjer di pematang sawah berhamburan)
Genjer-genjer nang kledhokan pating keleler
(Genjer-Genjer di pematang sawah berhamburan)
Emake thole teka-teka mbubuti genjer
(Ibunya anak datang-datang mencabut genjer)
Emake thole teka-teka mbubuti genjer
(Ibunya anak datang-datang mencabut genjer)
Oleh sak tenong mungkur sedot sing tole-tole
(dapat satu bakul lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil)
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
(Genjer-Genjer sekarang sudah dibawa pulang)

Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar


(Genjer-genjer pagi-pagi di jual di pasar)
Genjer-genjer esuk-esku didol ning pasar
(Genjer-genjer pagi-pagi di jual di pasar)
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
(Dipasang berjejer ditali ditaruh dibawah)
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
(Dipasang berjejer ditali ditaruh dibawah)
Emake jebing pada tuku gawa walasan
(Ibunya jebing membeli membawa belasan)
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
(Genjer-genjer sekarang sudah siap diolah)

Genjer-genjer lebu kendhil walang gemulak


(Genjer-genjer masuk dalam kendil air mendidih)
Genjer-genjer lebu kendhil walang gemulak
(Genjer-genjer masuk dalam kendil air mendidih)
Setengah mateng dientas wong dienggo iwak
(Setengah matang diangkat ingin dijadikan lauk)
Setengah mateng dientas wong dienggo iwak
(Setengah matang diangkat ingin dijadikan lauk)
Sega rong piring sambel jeruk dipeloco
(Nasi dua piring sambal jeruk dicampur)
Genjer-genjer saiki wis arep dipangan
(Genjer-genjer sekarang sudah siap dimakan)

Fransisca Ria Susanti., 2006, Kembang-Kembang Genjer, Lembaga Sastra


Pembebasan, Jakarta, hal: i
Lampiran II
“GENJER-GENJER”
Versi KAMI

Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler


(Jendral-Jendral di Ibukota berhamburan)

Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral


(Ibunya Gerwani, datang-datang menculik Jendral)

Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh


(Dapat satu truk, lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil)

Jendral Jendral saiki wes dicekeli


(Jendral-Jendral saiki sudah ditangkapi)

Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa


(Jendral-Jendral pagi-pagi pada disiksa)

Dijejer ditaleni dan dipelosoro


(dibariskan berjejer dan dianiyaya)

Emake Germwani, teko kabeh milu ngersoyo


(Ibunya Gerwani, datang semua ikut menganiyaya)

Jendral Jendral maju terus dipateni


(Jendral-Jendral maju lalu dibunuh)

Paring Waluyo Utomo, Genjer-Genjer dan Stigmatisasi Komunis, Direktur


Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang. Diposkan
oleh uplot pada 6:54 PM
Lampiran III

MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA


REPUBLIK INDONESIA

KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO : IX/MPRS/1966

TENTANG

“ SURAT PERINTAH PRESIDEN PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN


BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA / PEMIMPIN BESAR REVOLUSI /
MANDATARIS MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA “

MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA REPUBLIK


INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi Republik Indonesia/Pemimpin


Besar Revolusi/Mandataris Madjelis Permusjawaratn Rakjat Sementara tanggal 11
Maret 1966 kepada Letnan Djendral SOEHARTO, Menteri/Panglima Angkatan
Darat, merupakan suatu upaja chusus untuk mengatasi antjaman bahaja terhadapa
keselamatan djalannja pemerintahan dan djalannja revoulsi, kewibawaan revolusi
serta terhadap keutuhan Bangsa dan Negara;
b. bahwa upaja chusus tersebut deterima secara positif oleh rakjat, karena
mentjerminkan rasaa keadilan menurut hati nuraninja dan telah terbukti bermanfaat
dalam rangka memenuhi Tri Tuntutan Rakjat;
c. bahwa upaja chusus itu, jang telah diterima pula oleh Dewan Perwakilan Rakjat
Gotong Rojong setjara bulat, adalah sesuai hukum dasar yang dimaksudkan oleh
Undang Undang Dasar 1945 den kegunaannja untuk pengamanan kebidjaksanaan
pengembalian kepada pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 setjara murni;
d. bahwa untuk kepentingan usaha penjempurnaan lembaga-lembaga/aparatur negara
sesuai dengan Undang-Undang Dasaer 1945, Surat perintah tersebut masih perlu
diperlakukan.

Mengingat : pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN
Menetapkan :

PERTAMA : menerima baik dan memperkuat kebidjaksanaan Presiden/Panglima


Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar
Revolusi///Mandataris Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara
Republik Indonesia jang dituangkan dalam Surat Perintah tanggal 11
Maret 1966 kepada Letnan Djendral T.N.I Soeharto/Menteri Panglima
Angkatan Darat dan meningkatkannja mendjadi Ketetapan Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara;

KEDUA : ketetapan tersebut pada sub PERTAMA mempunjai daja laku sampai
terbentuknja Madjelis Permusjawaratn Rakjat Sementara;

KETIGA : mempertjajakan kepada Letnan Djendral T.N.I Soeharto/Menteri


Panglima Angkatan Darat, pemegang ketetapan tersebut, untuk
memikul tanggungdjawab wewenang jang terkandung di dalamnja
dengan penuh kebidjaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha
mentjapai tudjuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan bangsa
dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakjat, berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945.

Ditetapkan di : Djakarta
Pada tanggal : 21 Djuni 1966

MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA


REPUBLIK INDONESIA

Caretaker/Ketua Pelaksana Pimpinan Harian


ttd
(Maj.Djen. Wilujo Puspo Judo)
Wakil Ketua, Wakil Ketua,
ttd ttd
(Osa Maliki) (H.M. Subchan Z.E.)
Sesuai dengan aslinja
Administrator Sidang Umum ke-IV MPRS
ttd
(Walujo Puspo Judo)
Maj. Djen. T.N.I
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA

KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO : XXV/MPRS/1966

TENTANG

“ PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNJATAAN SEBAGAI


ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAJAH NEGARA REPUBLIK
INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN
SETIAP KEGIATAN UNTUK MENJEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN
PAHAM ATAU ADJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME “

DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHA ESA


MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. Bahwa paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada intihakikatnja


bertentangan dengan Pantjasila;

b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia jang menganut paham atau


adjaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, chususnja Partai Komunis indonesia,
dalam sedjarah Kemerdekaan reublik Indonesia telah njata-njata terbukti beberapa
kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah republik Indonesia jang sah dengan
djalan kekerasan;

c. Bahwa berhubung dengan itu, paerlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai
Komunis Indonesia dan terhadap kegiatn-kegiatan jang menjebarkan atau
mengembangkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;

Mengingat : Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3).
Mendengar : Permusjawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Djuni sampai
5 Djuli 1966.
MEMUTUSKAN

Menetapkan : KETETAPAN TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS


INDONESIA, PERNJATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG
DISELURUH WILAJAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN
LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENJEBARKAN ATAU
MENGEMBANGKAN PAHAM ATAU ADJARAN KOMUNISME /
MARXISME-LENINISME

Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan kebidjaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara, berupa pembubaran partai Komunis Indonesia, termasuk
semua bagian organisasinja dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi jang
seasas/berlindung/bernaung dibawahnja dan pernjataan sebagai organisasi terlarang diseluruh
wilajah kekuasaan negara republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, jang dituangkan
dalam Keputusannja tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebidjaksanaan
tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menjebarkan atau mengembangkan paham atau
adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan
penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau pengembangan paham
atau adjaran tersebut, dilarang.
Pasal 3
Chususnja mengenai kegiatan mempeladjari setjara ilmiah, seperti pada Universitas-
universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pantjasila,
dapat dilakukan setjara terpimpin, dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR
diharuskan perundang-perundangan untuk pengamanan.
Pasal 4
Ketentuan-ketentuan diatas tidak memepengaruhi landasan dan sifat bebas aktif
politik luar negeri Republik Indonesia.
Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 5 Djuli 1966
MADJELIS PERMUSWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
Ketua

ttd
(Dr. A.H. Nasution)
Djenderal TNI.
Wakil Ketua Wakil Ketua

ttd ttd
(Osa Maliki) (H.M. subchan Z.E)

Wakil Ketua Wakil Ketua

ttd ttd
(M. Siregar) (Mashudi)
Brig. Djen TNI

Sesuai dengan aslinja


Administrator Sidang Umum ke-IV MPRS
ttd.
(Wilujo Puspo Judo)
Maj. Djen. TNI.
PENDJELASAN
KETETAPAN MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT
SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
NO : XXV/MPRS/1966

1. Paham atau adjaran Komunisme dalam praktek kehidupan polotik dan


kenegaraan mendjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan jang bertentangan
dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia jang berTuhan
dan beragama jang berlandaskan paham gotong-rojong dan musjawarah untuk
mufakat.

2. Paham atau adjaran Marx jang terkait pada dasar-dasar dan taktik
perdjuangan jang diadjarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain
mengandung benih-benih dan unsur-unsur jang bertentangan dengan falsafah
Pantjasila.

3. Paham Komunisme/Marzizme-Leninisme jang dianut oleh PKI dalam


kehidupan politik di Indonesia telah terbukti mentjiptakan iklim dan situasi
jang membahajakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia jang berfalsafah
Pantjasila.

4. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka adalah wadjar bahwa tidak


diberikan hak hidup bagi Partai Komunis Indonesia Indonesia dan bagi
kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menjebarkan paham atau
adjaran Komunisme Marxisme-Leninisme.

Sekretariat Negara Republik Indonesia., 1994, Gerakan 30 September


Pemberotakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi Dan Penumpasan,
Jakarta, hal: 41-50
Lampiran IV

“FOTO SYAIR ASLI LAGU GENJER-GENJER”

www. http://idnugroho.blogspot.com//30 September 2007: Berbekal Genjer-


Genjer Lirik Negara Baru//TEKS KECIL//2BASLI//GENJER-GENJER

Anda mungkin juga menyukai