Disusun Oleh :
Ruddy Eppata Cahyono
014314019
¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya
ke dalam hati dan pikiran ku.
¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang
telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya
hingga skripsi ini selesai.
¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan
Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan
penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.
¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam
susah maupun senang.
iv
MOTTO
(W.S.Rendra)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli
kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah.
Penulis
This research studies how the political upheaval that was happening in the life
of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the
Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change
image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became
a political song. This case study is divided into four main issues: the history of
creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 1942-
1966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia?
and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer
song?
The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the
travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru
regime, through the point of view function and its role as one of the products of
human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the
development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research.
To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study
uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection
of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of
sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several
steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to
analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as
Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the
theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of
the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of
this historiography.
From the overall results of this study it appears that, at the beginning of
creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi
community. Together with the values contained in the functions of this song tries to
enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in
the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song,
become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies
scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and
communist stigma.
vi
ABSTRAK
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN.,
Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer
Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah,
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Dibuat di Yogyakarta
Yang menyatakan
rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas
dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang sebanyak-
banyaknya kepada:
1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata
Dharma.
Sanata Dharma.
3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan
dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah
diberikan
5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H.
Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G..
Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih,
M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan
6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna besar dan kecil,
Ajeng, Riska, Erna, Lina, Bertha, Eko, Hendri, Adit, Fenny, Agus, Mbelek,
viii
Sempal, Upi, Badu, Hananto, Bondan, Bondo, Qser, dan semua kawan-kawan
ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma atas dorongan dan motivasinya kepada
7. Songket Band: Gembes, Yoyon, Khonteng, Catag, Pletot, Melky, dan Tejo, yang
8. Saudaraku Febby, Novi, Melly dan Gery atas bimbingannya selama ini.
14. Bapak, Ibu, kakak-kakak, keponakan dan my soul of spirit Henny, aku bahagia
15. Dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis mengucapkan
Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan
dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga
skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.
Yogyakarta, 2010
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1
x
BAB III LAGU GENJER-GENJER DALAM CENGKRAMAN POLITIK ..... .. 41
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
LAMPIRAN IV
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Musik atau lagu, sebagai salah satu ungkapan ekspresi seni manusia,
Musik atau lagu merupakan sebuah pernyataan seni yang paling universal dalam
bentuk dan merupakan suatu getar keindahan yang diantar langsung ketali rasa
manusia.1 Bersama dengan keindahan dan harmonisasi dari nada, irama, dan
kehidupan manusia. Hampir setiap lapisan dari berbagai golongan terbius oleh
kenikmatan yang disuguhkan oleh musik atau lagu, dan kehadirannya tidak dapat
Sebagai sebuah struktur seni, layaknya semua seni, lagu hadir dengan
beragam fungsi dan peran. Selain berfungsi sebagai media hiburan, fungsi-fungsi
lain seperti alat ritual, alat pengikat komunitas, alat perjuangan, media kritik,
sampai pada alat propaganda politis, juga turut mewarnai. Selanjutnya, bersama
penikmat lagu.
1
M. Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu
Populer, Majalah Gelora, Jakarta, hal: 15
1
2
menyebabkan pola yang terbentuk pada lagu tidak jauh berbeda dengan pola yang
tampil dalam kehidupan kebudayaan manusia (sosial, ekonomi dan politik) secara
merubah fungsi nilai dan makna yang terkandung dalam lagu menjadi sebuah
nilai dan makna yang baru, dan terkadang memaksa lagu untuk berjalan jauh
terlepas dari ruang idealismenya, terkait dengan fungsi dasar terciptanya sebuah
lagu. Pada titik ini tanpa di sadari lagu berjalan pada titik ambiguitas makna dan
fungsi.
dibenturkan pada sebuah kepentingan dari sistem politik yang sedang berkembang
Kuatnya makna kuasa dan kontrol dari sebuah sistem politik yang sedang
berkembang, memposisikan lagu untuk pada titik yang lemah. Keinginan untuk
dapat berjalan netral dalam ruang idealisme seninya dirasakan sulit untuk dapat
dicapai, terlebih ketika lagu dipaksa mempunyai nilai loyalitas terhadap sebuah
sistem politik tertentu. Dampak yang lebih luas lagi dari perubahan fungsi lagu
serta menguasai manusia dan akhirnya sebuah lagu hanya menjadi perpanjangan
3
tangan dari sebuah sistem politik,2 bahkan bisa dikatakan hanya sebatas
dimanfaatkan. Pada dasarnya hakikat seni, dalam hal ini lagu, adalah ekspresi
manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni pada zaman sekarang hanya
Seperti halnya yang terjadi dalam kasus pencekalan dan stigma komunis
pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Dalam kasus ini, lagu Genjer-Genjer
pada perjalanannya dipaksa berubah fungsi demi sebuah kepentingan dari sistem
politik yang sedang berkembang dalam tubuh rezim politik yang sedang berkuasa
pada era 1960-an (PKI dan Orde Baru). Kuatnya cengkraman dari sistem politik,
baik dari PKI maupun Orde Baru, berhasil membentuk fungsi baru dalam tubuh
pada titik ambiguitas fungsi dan nilai. Berawal dari titik ambiguitas tersebutlah
pada lagu Genjer-Genjer. Pada ruang ini jelas terlihat bagaimana kehadiran lagu
Ideologi politik yang terbentuk dalam tubuh partai atau kelompoknya dipaksa
makna dan nilai baru bagi lagu. Ironisnya makna dan nilai tersebut dijadikan
2
Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan
Cinta, Pustaka LP3ES, Jakarta, lihat kata pengantar Dieter Mack, Musik di antara
Seni dan Politik : Sebuah Dilema Abadi, hal: xvii
3
Ibid., hal: xx
4
tertentu.
Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat (folksong) yang berasal dari
inspirasi dari sang pengarang lagu, M. Arief, untuk dapat menciptakan lagu
sehingga harus makan daun genjer.4 Berawal dari lukisan-lukisan inilah yang
media kritik terhadap bentuk penjajahan Jepang5 dan media perjuangan bagi
Jepang dan menyebabkan semakin dikenalnya lagu ini oleh kalayak ramai. Pada
periode tahun 1960 sampai pada pertengahan tahun 1965, perjalanan lagu Genjer-
Genjer menapaki masa kejayaannya. Lagu ini semakin populer dan hampir setiap
4
Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi
Komunis, Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang
5
Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan
Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,
Jogjakarta, hal: 11
5
kalangan dari berbagai golongan mengenal dan menyenangi lagu ini. Akan tetapi
Tahap demi tahap cengkraman tersebut melahirkan sebuah fungsi baru bagi lagu
rakyat Banyuwangi ini menjadi sebuah lagu propaganda politiknya PKI. Lagu
menarik simpati dari massa. Mulai saat itu lagu Genjer-Genjer di kenal bukan
lagi sebatas lagu rakyat yang berasal dari Banyuwangi namun juga di kenal
dan indikasi tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Secara tidak langsung,
aroma ideologi komunis PKI melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang
Sejak saat itu kehadirannya tidak penah bisa terlepas begitu saja dari PKI, dan
lagu Genjer-Genjer menenggak pil pahit, serupa dengan nasib yang dialami PKI.
Pasca meletusnya tragedi G30S 1965 dan menyeret PKI sebagai dalang dibalik
dengan PKI menuntut lagu ini turut memanggul nilai tanggung jawab atas
dasar pemikiran Orde Baru guna untuk dapat mencekal lagu Genjer-Genjer. Orde
Baru memanfaatkan lagu Genjer-Genjer dan mendesaign lagu ini sebagai senjata
ampuh guna mematikan langkah PKI. Terlebih ketika pemerintah pada era itu
memberikan kuasa penuh bagi Suharto, salah satu petinggi dari Orde Baru, lewat
pemberatasan PKI dan segala atributnya. Lagu Genjer-Genjer pun tidak luput
terlahap, lagu ini di cekal dan didisfungsikan sebagai lagu rakyat Banyuwangi.
mendoktrin pola pikir sebagian besar Bangsa Indonesia sampai saat ini dan
kehidupan sehari-harinya.
atau perkembangan sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini lagu Genjer-
Genjer. Semakin besar sebuah bangsa semakin kompleks pula permasalahan yang
akan dihadapinya dan tidak jarang menuntut korban yang tidak sedikit dari segala
aspek. Benturan-benturan kepentingan politis antara PKI dan Orde Baru memaksa
lagu Genjer-Genjer untuk menelan pil pahit dan, dapat dikatakan, menjadi
‘Korban’ dari pertempuran politik mereka. Pada dasarnya hakikat seni tidak
7
pernah bisa dikaitkan dengan sebuah bangsa, kecuali bila dipaksakan oleh sistem
dilancarkan oleh Orde Baru membawa keunikan tersendiri untuk dikaji secara
dalamnya. Dibalik nuansa PKI dan pekatnya aroma komunis pada lagu Genjer-
ideologi politik PKI. Dari sebab itu keistimewaan-keistimewaan fungsi dan peran
yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dirasa perlu untuk di ungkap.
lagu Genjer-Genjer juga menjadi salah satu topik permasalahan dalam pengkajian
ini untuk dapat menjadi dasar pengertian kenapa fungsi dan peran itu bisa
Rejim Orde Baru yang pada era 1965 diberi mandat oleh pemerintah
6
Teguh Esha, dkk., op.cit , hal: xvii
7
Dalam penelitian ini kata “Stigma” berujuk pada sebuah identitas negatif
yang dipaksakan melekat dalam tubuh lagu Genjer-Genjer. Stigma itu sendiri
berasal dari doktrinasi Orde Baru tentang opininya bagi lagu Genjer-Genjer
sebagai lagu yang berwarna komunis. Dan memiliki sifat terus-menerus dan
menyerupai abadi. Istilah stigma itu sendiri digunakan dalam penelitian guna
menerangkan bahwa komunis yang melekat berasal dari sebuah ideologi politik
yang dipaksakan untuk dapat melekat dan bukan sebuah identitas yang berasal
dari sebuah nilai estetika seni atau idealisme seninya.
8
peristiwa G30S, mengambil salah satu kebijakan yang cukup unik, yakni
tersebut sudah barang tentu tidak berjalan begitu saja tanpa dasar-dasar penilaian
dirasa tepat untuk dapat dikaji lebih dalam lagu dalam penelitian ini. Selain itu,
keistimewaan apa yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer dan apakah lagu
Genjer-Genjer mengandung fungsi atau hanya dimanfaatkan oleh Orde Baru guna
mematikan langkah PKI juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu
dijawab dalam penelitian ini. Lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya bukan saja
dicekal namun pekatnya stigma komunis dalam lagu ini juga turut mewarnai dan
komunis itu sendiri terlahir sekilas dari sebuah konsekuensi kedekatannya dengan
PKI namun dibalik itu semua apakah ada nilai-nilai lain yang mendasari Orde
kaitannya dengan unsur atau nilai keindahan suatu seni atau lagu.
untaian peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu dan tersusun oleh runtutan
periode dari tahun ke tahun. Oleh sebab itulah guna tercapainya sebuah
historiografi kebudayaan maka urutan dari tahun ke tahun secara sistematis perlu
dihadirkan disini. Pengkajian ini terangkai dari tahun 1942 sampai 1966, tersusun
dari awal terciptanya lagu Genjer-Genjer 1942 sampai pada pencekalannya pada
tahun 1966. Kurun waktu 24 tahun merupakan putaran waktu yang tepat guna
waktu ini dapat terlihat jelas bagaimana sebuah proses perjalanan lagu Genjer-
pencekalannya dan perubahan nilai dan maknanya menjadi sebuah lagu yang
Batasan waktu dalam pengkajian ini terhenti pada tahun 1966, pada tahun
ini dapat dengan jelas terlihat dasar-dasar penilaian apa saja yang diambil oleh
Orde Baru guna mencekal lagu Genjer-Genjer. Selain itu, bagaimanakah proses
sebuah stigma komunis bisa dengan mudah melekat dalam tubuh lagu Genjer-
C. Rumusan Masalah
dikaji lebih dalam. Adapun rumusan masalah tersebut terbagi dalam beberapa
butir yakni :
1960-1966?
dapat menguak keistimewaan fungsi dan peran yang terkandung dalam lagu
Genjer-Genjer dan juga dapat mengungkap nilai-nilai dasar dari perubahan fungsi
menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini dari segala ruang
D. Tujuan Penelitian
a. Akademis
akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi peneliti
yang menaruh titik fokusnya pada penulisan sejarah kebudayaan khususnya seni
musik.
11
b. Praktis
akademis bisa dengan jelas memahami latarbelakang dari kasus pencekalan dan
sebuah upaya untuk dapat merehabilitasi sebuah kultur dapat secara bijak dipilih.
E. Manfaat Penelitian
a Teoretis
permasalahan yang terjadi. Dari sebab itulah maka diharapkan dengan lahirnya
khususnya seni musik. Sehingga pada nantinya dapat bermanfaat bagi mereka
b. Praktis
segala peristiwa yang terjadi dalam masa lalu secara bijak. Begitu pula dengan
sebenarnya terjadi dalam pergolakan kehidupan seni dan politik dalam ruang
kebudayaan.
F. Tinjauan Pustaka
dalam sebuah penelitian, yang telah ada atau telah beredar sebelumnya
dilapangan, merupakan salah satu alat penting guna tercapainya keberhasilan dari
panduan atau acuan bagi kelangsungan sebuah penelitian namun juga dijadikan
sebagai sebuah tolak ukur dasar dari keaslian sebuah penelitian. Sehingga
keaslian dari hasil penelitian yang dikaji dapat teruji valid secara akademis
Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan, baik yang ada dalam
bidangnya maupun tidak, untuk dapat menempatkan seni musik sebagai titik
fokus pengkajian dan penulisannya dan dapat menjadi acuan dan data-data.
komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru masihlah minim untuk dapat
Fragmentasi Seni Modern Yang Terasing, karya Suka Hardjana. Dalam buku ini,
13
Hardjana mencoba menjelaskan tentang semua persoalan yang akan dan terus
melempar seni musik kedalam lorong keterasingan. Meski dalam buku ini kasus
Genjer-Genjer tidak masuk dalam pemahasan namun setidaknya lewat buku ini
mempunyai kedekatan dengan PKI dan ideologi komunis harus dihadapkan pada
nasib yang ironis dan kenangan tersebut sulit untuk dapat terhapus oleh waktu.
Keunikan dalam buku ini adalah ketika bahasan bermuara pada korban 65, tidak
tidak menjadi titik fokus pembicaraan, hanya sebatas nilai konsekuensi dan
coba diuraikan secara cerdas dan kritis dalam buku Musik Dan Politik: Genjer-
Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, karya Utan Parlindungan S. Dalam buku
ini, coba dijabarkan secara gamblang bagaimana makna kuasa politik yang
berkembang dalam tubuh PKI dan Orde Baru, telah berhasil memperkosa
idealisme seni yang ada dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan merubah fungsikan
14
lagu Genjer-Genjer jauh terlepas dari fungsi awal terciptanya lagu Genjer-
Genjer. Meskipun dalam buku ini kasus lagu Genjer-Genjer secara gamblang
diulas namun dasar pendekatan penulisan buku lebih terfokus pada kacamata
politik. Kajian historis dari sudut pandang fungsi dan peran belumlah secara
lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi penjelasan hanya sebatas rangkuman dan dirasa
kurang jelas menjawab latar belakang pencekalan dan stigmatisasi komunis pada
lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Penyampain masih terlihat sekilas dan belum
secara mendalam.
pada pencekalan dan stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer lewat sudut
pandang fungsi dan peran. Dari sebab itulah penelitian ini diyakini perlu untuk
stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru lewat sudut
G. Landasan Teori
kehidupan manusia yang dinamis, kehadiran sebuah metode yang tepat di rasa
bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu
kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai
dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, teori pendekatan yang
melukiskan proses perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan ini adalah
8
Bronislaw Malinowski., 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya (
Pengenalan Baru Phyllis M. Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat
Kementerian Pelajaran, hal: 95
9
Koentjaraningrat., 1985, Persepsi tentang Kebudayaan Nasional, Jakarta,
Gramedia, hal: 102
16
membutuhkan Audience atau penikmat seni guna menilai dan menikmati lagu
tersebut. Dengan demikian penilaian yang berkaitan dengan makna atau nilai
estetis yang lahir dari tiap individu atau kelompok dari penikmat seni dan penilai
berdasarkan kualitas dan tujuan karya seni sangatlah penting digunakan di dalam
tulisan ini.10 Selain itu, guna lebih mendalamnya penulisan ini dalam mengkaji
pergerak seni musik, maka pengertian tentang gejala yang sedang terjadi dan
kepentingan ritual dan hiburan maupun kepentingan lain yang menjadi bagian
integral dari kehidupan kelompok etnis tertentu, dia dapat memenuhi kebutuhan
kreatif, apresiatif, dan rohani. Jenis seni melalui tradisi oral semacam itu
Musik sendiri terlalu abstrak untuk dijadikan alat politis yang konkret.
Bila dampak politis dalam arti luas ingin diwujudkan secara massal, seorang
komponis harus melakukan sejumlah kompromi dalam mencipta yakni, (a) musik
program, atau (b) secara nyata membuat parodi musik fungsional yang terlanjur
10
Mudji Soestrisno, Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta, Kanisius, hal: 81-83
11
Doris Van De Bogart., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting,
Sculputure, music, And Literature), New York, Bames & Noble Inc, hal: 24
12
Karya Teguh Esha, dkk., op.cit, hal: xx
13
Ibid, hal: xxi
17
bangsa nasional yang niscaya tak berlaku sama sekali di bidang kesenian. Hakikat
kesenian adalah ekspresi manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni
pada zaman sekarang hanya akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.14
kebudayaan menilai masa lalunya. Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau
roman, sejarah adalah cara mengenal dunia. Sejarah harus kritis, dalam arti
bagi kebudayaan.
H. Metode Penelitian
Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam
menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang
14
Karya Teguh Esha, dkk., loc.cit hal: xx
18
sebagai kisah (history as written).15 Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
Langkah awal yang diyakini tepat adalah dengan pengumpulan data dan
sumber. Karena minimnya sumber tertulis yang mencoba mengkaji kasus ini
maka pencarian data lebih bersifat kualitatif yakni, pengumpulan data yang lebih
susunan dari wawancara yang terarah, yang dalam hal ini kaitannya dengan kasus
sumber-sumber tersebut berkisaran pada: buku, Koran atau majalah, jurnal, dan
internet. Setelah pengumpulan data telah berhasil dilakukan maka tahap kedua
yang dilakukan adalah kritik sumber. Dengan kritik sumber inilah kredibilitas
dalam penelitian karena lewat analisis sumber keberhasilan dari penelitian diuji.
fungsi dan nilai yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer bagi kelangsungan
15
Sartono Kartodirdjo., 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal : 55
19
Setelah semua tahap tersebut telah dilalui tugas akhir adalah penyampaian hasil
I. Sistematika Penulisan
tentang kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru dan lekatnya
stigmanisasi PKI dan komunis dalam lagu ini. Tersusun secara sistematis dengan
didasari oleh sistematika penulisan sejarah yang berlaku. Adapun penulisan ini
penulisan.
Banyuwangi yang ada pada masa itu coba di jadikan sebagai dasar untuk dapat
16
Nugroho, Notosusanto, 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan
Sejarah, Idayu, Jakarta, hal:17
20
memahami fungsi awal dari terciptanya lagu Genjer-Genjer. Kurun waktu yang
Bab III. Pada bab ini pembahasan berkisar pada perkembangan lebih
lanjut pada lagu Genjer-Genjer dan bagaimana kedekatannya dengan PKI. Dalam
bab ini bagaimana pergolakan yang terjadi secara tidak langsung merubah
pada masa itu coba diulas guna meninjau proses perubahan fungsi dan nilai dari
kehadiran lagu Genjer-Genjer. Adapun kurun waktu yang terpapar meliputi tahun
1960-1965.
Bab IV. Bab ini mencoba mengangkat bagaimana kentalnya makna kuasa
yang dilancarkan oleh rezim politik yang berkuasa pada era itu (Ordebaru) telah
dalam memberangus segala hal yang bernuansa PKI dan komunis, yang dalam hal
ini lagu Genjer-Genjer juga turut jadi korban, coba diulas secara gamblang.
Selain itu pada bab ini pandangan-pandangan masyarakat terhadap lagu Genjer-
Genjer juga coba dipaparkan. Kurun waktu yang dipilih seputaran tahun 1965-
1966.
Bab V. Bab ini merupakan bab penutup atau kesimpulan yang merupakan
sebuah jawaban dari segala uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya.
BAB II
RUANG SENI DAN TRADISI
LAGU GENJER-GENJER
Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna
dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu
daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari
Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap
jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan
beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan
tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,
21
22
suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang
ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang
Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh
adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk
seni dan tradisi masyarakat Banyuwangi yang hampir sama dengan corak seni dan
tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing 20.layaknya gaya bahasa
yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi
17
Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni
dan budaya Banyuwangi
18
Http://www.banyuwangikab.go.id
19
Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari
tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu,
arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali,
terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing
mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian
suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali.
Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam
kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula,
kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat
pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam
yang sebagian besar dipeluk oleh masyarakat Banyuwangi.
(http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)
20
Bahasa Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau
Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya
bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya
oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah
sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:
Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM, Jogyakarta, hal: 49)
23
mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu sub-
Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.
Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka
tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara
pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka
percayai.
Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah
seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat
dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara
21
Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa
suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri
berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai
merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa
keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit.
(Http://www.banyuwangikab.go.id)
22
Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah
subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan
penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti
Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal
Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)
23
Menurut mitosnya Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan
atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga
menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat
Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan
terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)
24
Tarian seblang pada masa lampau dipentaskan untuk upacara selamatan
sehabis musim panen atau selamatan bersih desa. Selamatan dimaksudkan untuk
menyampaikan rasa terima kasih para petani kepada Dewi Sri yang telah
memberikan kesuburan tanah pertaniannya, sehingga hasil tanaman padinya bisa
melimpah. (Ibid., hal: 258)
24
tertentu. Dalam perjalanannya tarian seblang mulai tergeser dan hampir dapat
dikatakan punah. Selanjutnya tarian ini dikenal dengan nama Gandrung oleh
sebagian masyarakat Banyuwangi. Tarian ini pada nanti yang menjadi salah satu
akan bentuk seni dan tradisinya. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan
urat nadi mereka, tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian
adalah nafas mereka dan dipandang sebagai sebuah ritual yang mengandung
makna spiritual-yang selalu dekat dengan kehidupan sosial mereka.25 Dari sebab
itu tak heran ketika seni dan tradisi yang lahir tidak jauh dari pelukisan atau
keselarasan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini penciptaan Lagu
Genjer-Genjer diyakini memiliki latar belakang yang hampir serupa. Hal ini dapat
ibu dalam mencari bahan makanan yang berasal dari sumber daya alam sekitar
seni musik atau lagu. Hampir semua bentuk seni dan tradisi yang berkembang
syarat dengan unsur-unsur musik ataupun lagu. Bagi masyarakat Osing kehadiran
25
Kajian Perempuan Desantara, 2007, Banyuwangi dan Problem Seni
Tradisi, Penggalan dari tulisan panjang Amuk Rakus Industri Dan Napas Sengal
Perempuan Seni Tradisi, Jurnal Srinthil, Rabu, 3 Oktober 2007
25
lagu merupakan syarat penting dalam mewarnai dan memaknai segala dinamika
hanya menjadi sebuah hiburan semata namun juga menjadi perwakilan dari nilai-
nilai seni yang coba disuguhkan. Seperti terlukiskan pada seni Gandrung, dalam
seni Gandrung kehadiran lagu menjadi syarat utama karena lewat adanya lagu
maka nilai-nilai spiritual yang terkandung diyakini dapat dengan mudah diterima
dan dimaknai oleh audience. Terlebih ketika sentilan-sentilan nakal dari syair-
syair yang tampil mencoba dan berhasil masuk keranah sensitifitas para penikmat
atau audience. Maka nilai-nilai yang ada semakin melebur ke setiap ruas jiwa si
dikatakan sangat variatif. Hal inilah yang menyebabkan lagu dapat berkambang
subur dalam raung kebudayaan Banyuwangi. Ayu Sutarto, salah satu budayawan
terkandung unsur-unsur seni musik atau lagu. Dari kesenian yang berhubungan
dengan siklus kehidupan (pitonan atau upacara hamil hari ke tujuh, colongan,
26
Hasil wawancara dengan Bapak Deden. S., pada tanggal 31-Maret-
2009, Di Jakarta
26
atau musim panen) hingga pada tarian dan nyayian pemujaan rakyat bagi dewa-
halnya dengan seni Banyuwangi yang ada, yang bermuara pada nilai-nilai sosial
lagu bagi sebagian masyarakat Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat atau
media ritual, semacam seblang atau alat perjuangan dan juga sebagai sebuah
pengerat tali solidaritas masyarakat Banyuwangi. Pada tempo dulu lagu-lagu yang
sosial dan juga hubungannya dengan permohonan dan rasa syukur kepada Sang
27
Bernada lembut dan memiliki tempo yang lambat dan mendayu-dayu
28
Lagu-lagu ini biasanya hadir sebagai pengiring tarian Gandrung
bersama dengan iringan gamelan. Namun saat ini iringan tidak tertutup pada
gamelan saja. Hadirnya musik-musik keroncongan dan band-band modern
membawa nuansa baru bagi musik dan lagu dalam tarian gandrung.
27
mulai berkembang kira-kira pada tahun 1950. Dalam hal ini lagu Genjer-Genjer
di yakini sebagai cikal bakal lagu yang berhasil di Arrangement menjadi lagu
popular.
juga nadanya yang sedikit berbeda dengan langgam Jawa pada umumnya.
Perbedaannya terletak pada nuansa iringan musik yang ada pada Gamelan yang
pada umumnya namun kehadiran beberapa alat musik seperti, biola,29 yang
menjadi pantus atau pemimpin dari irama lagu, suling, kluching (triangle), yakni
alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan
dengan alat pemukul dari bahan yang sama berfungsi sebagai penguat tempo
dalam lagu. 30
Lalu ada juga kethuk, terbuat dari besi berjumlah dua buah dan dibuat
berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. Kethuk estri (feminine) adalah yang
besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro, sedangkan kethuk jaler
29
Biola dijadikan sebagai pantus atau pemimpin (leader) dari lagu yang
ada. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan
pertunjukan Seblang atau Gandrung yang diiringi dengan suling. Kemudian orang
tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada
saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar
terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola
mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak
mungkin dikeluarkan oleh suling. (www.banyuwangikab.go.id/ musik khas
Banyuwangi)
30
Kajian Perempuan Desantara, op.cit
28
31
(maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini
bukan sekedar sebagai instrumen penguat atau penjaga irama seperti halnya pada
gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan
Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi
dengan saron bali dan angklung. Dan yang terakhir kendhang yang mirip dengan
keunikan tersendiri bagi lagu Banyuwangi diantara lagu-lagu rakyat yang ada di
Indonesia.
bangsa Jepang terlebih ketika isi lagu bernuansa isyarat bagi perjuangan
baru bagi kelahiran lagu di Banyuwangi. Angklung sendiri pada dasarnya tidak
31
www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi
32
Pada awalnya angklung yang beredar dikalangan masyarakat
Banyuwangi adalah angklung gubuk. Lalu dengan bergulirnya waktu angklung
tersebut di kembangkan kedalam beberapa jenis yakni, angklung caruk, angklung
gandrung dan angklung modern. Bagi angklung modern merupakan kembangan
dari M. Arief dan diyakini sebagai alat awal dalam mengiringi lagu Genjer-
Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dan Muhidin M Dahlan, 2008, LEKRA Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965,
Merakesumba, Yogyakarta, hal: 414)
29
angklung ditambah dengan beberapa alat seperti, saron, slentem, dan gong besar.
satu bentuk varian baru dalam musik. Selain itu dengan munculnya tembang-
tembang baru karya M.Arief,33 seperti Nandur Jagung dan Genjer-Genjer, yang
masyarakat Banyuwangi.
Pada era itu biasanya lagu-lagu yang tercipta lebih banyak bercerita
berisi bahasa isyarat dan simbol-simbol bagi perjuangan dan juga sebagai wahana
kritikan bagi penjajah. Oleh sebab itulah syair-syair yang ada tidak secara vulgar
sela alunannya yang melankolis, tersirat kritikan bagi para penjajah. Dalam hal ini
keaslian dari lagu yang tercipta pada era itu. Kuatnya kontrol kuasa dari
33
Muhhamad Arief adalah salah satu musisi Banyuwangi yang cukup
kondang pada masa itu. Dan salah satu musisi yang cukup vokal dalam
memperjuangkan eksistensi seni-seni Banyuwangi. Dengan kelihaiannya dalam
mengolah dan menciptakan lagu dan musik. M. Arief mencoba memodifikasi
beberapa lagu, musik dan instrument yang ada di Banyuwangi ke berbagai bentuk.
Seperti alat musik angklung dan lagu Genjer-Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri,
dan Muhidin M Dahlan, op.cit hal : 20)
30
bahwa seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang
Sepenggal bait lagu diatas mungkin tak asing lagi untuk didengar,
pekatnya stigmatisasi komunis dan PKI pada penggalan bait lagu di atas masih
terus melekat dalam sanubari sebagian besar bangsa Indonesia. Terlebih ketika
34
“ genjer-genjer di pematang sawah berhamburan, ibunya anak-anak
datang datang mencabut genjer, dapat sebakul lalu bergegas pergi dapat yang
kecil-kecil, genjer-genjer sekarang sudah di bawa pulang…”
(http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa indonesia /
fenomena lagu Genjer-Genjer)
31
Orde Baru dengan sukses membangun sebuah mitologi tentang nilai dan makna
lagu ini, maka kehadirannya sampai sekarang terpasung pada sebuah ruang
ideologi komunis dan PKI. ”Genjer-Genjer”, bait diatas coba disusun dalam
bentuk lagu yang kemudian disuguhkan pada kalayak ramai. Fenomena kehadiran
lagu ini disela-sela kehidupan bangsa Indonesia menarik cerita tersendiri bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika diselami lebih dalam, maka yang
tersirat dari lagu ini adalah sebuah kemurnian lagu rakyat yang tercipta dari seni
rakyat (folksong) yang berasal dari Banyuwangi. Lewat kesederhanaan dari nada
bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari cengkraman pemerintah Belanda, yang
pada waktu itu berkuasa di Hindia Belanda,35 Jepang berhasil masuk dan
mulut buaya, setelah bangsa Belanda keluar dari tanah Nusantara kesengsaraan
yang dialami bangsa Indonesia pun tidak berubah malah semakin parah. Ekspansi
35
Pada masa pendudukan Belanda pemerintahan yang ada terkenal dengan
nama Hindia Belanda, belum Indonesia. Baru setelah kemerdekaannya diakui baik
secara de fakto maupun de yure, nama Indonesia terukir dalam sebagai sebuah
nama Negara.
32
Indonesia. Dan memaksa bangsa Indonesia hidup pada titik kesengsaraan yang
Bangsa Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,
wilayah Indonesia, hampir semua sumber daya, baik itu alam maupun manusia,
kehidupan bangsa Indonesia. Banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia guna
Seperti halnya di Banyuwangi, daerah yang terkenal kaya dan subur akan
hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hampir semua sumber daya alam
sehari-harinya. Mereka mencoba survive dengan segala sumber daya alam yang
tersisa dan kemudian coba diolah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.
36
http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa
indonesia/ fenomena lagu Genjer-Genjer
33
Salah satunya adalah dengan cara mengolah daun genjer yang hidup di seputaran
tanaman parasit yang hidup di ruas-ruas sungai dan biasanya diolah untuk
dijadikan bahan makanan hewan ternak seperti babi dan sapi. Selanjutnya, daun
genjer coba diolah menyerupai tumis dan oseng-oseng yang kemudian disajikan
mengetuk jiwa musikalitas dari Muhhamad Arief,38 salah satu seniman dan juga
37
Paring Waluyo Utomo, “Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis”,
Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang, 2003
38
Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Genjer-Genjer pernah dilakukan
oleh pelaku sejarah dan pelaku budaya diantaranya Ki Manteb Sudharsono (harian
Merdeka Semarang, 2000) yang merujuk pada nama Muhhamad Arief sebagai
pencipta. Sementara menurut Hesri Setiawan, salah satu eks-tapol Lekra dan juga
budayawan Banyuwangi, mencoba mengklarifikasikan bahwa ketika mengakitkan
Genjer-Genjer dengan Ki Narto Sabdho (seniman yang pada awalnya diyakini
sebagai pencipta lagu Genjer-Genjer) selain anakronis juga tidak mempunyai
dasar sejarah yang kuat. Sebab kebanyakan kesenian rakyat tercipta tanpa
diketahui siapa penciptanya. (Utan Parlindungan, op.cit., hal: 56)
34
irama dan nadanya lagu ini tampil sebagai media perwakalian komunikasi
Oleh karena kesederhanaan tersebut pulalah kehadiran lagu ini dengan mudah
cepat diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Selain sebagai salah satu media
terkandung di atas, lagu ini juga difungsikan sebagai salah satu isyarat perjuangan
Banyuwangi.
39
Walaupun ketika kita kaji lewat dasar-dasar musikalitasnya, lagu
Genjer-Genjer tidak dapat dikategorikan sebagai lagu perjuangan. Karena nada
dan iramanya yang cenderung melankolis dan tidak memiliki kriteria lagu
perjuangan yang memiliki nada dan irama mars dan juga liriknya yang harus
berbahasa Indonesia. Jadi lagu Genjer-Genjer lebih dapat dikatakan sebagai lagu
rakyat (folksong). (Iqbal Thawakal., 1993, Atjungkan Tindju Kita, Lagu dan Sikap
Politik Jaman Soekarno, Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3)
35
dalam hal ini kata ibu coba dimaknai secara universal sebagai masyarakat
secara bijak oleh masyarakat Banyuwangi. Semangat juang yang tertanam berkat
Banyuwangi. Oleh sebab itulah tak heran ketika M. Arief merasa perlu
mengangkat lagu ini ke kancah yang lebih popular, begitu pula dengan Nyoto.40
Sampai pada tahun 1945 ketika Jepang menyatakan tunduk pada Inggris41
mulai terlihat semakin lebar. Dengan cepat lagu ini berhasil merangkul jiwa
Banyuwangi), semakin dikenal oleh kalayak ramai. Walaupun masih sebatas pada
segala memori masyarakat pada masa penjajahan Jepang dan juga sebagai media
40
Nyoto salah satu dedengkot PKI baru dan juga pendiri Lekra. Tercatat
bahwa Nyotolah yang pada awalnya tertarik dengan lagu ini. Lewat prediksinya
yang menyatakan kalau lagu ini dapat menjadi lagu popular dan dapat mewakili
ideologi PKI dan Lekra, kehadiran lagu ini coba perjuangkan dan diangkat
keepermukaan. (Iqbal Thawakal., op.cit.)
41
Peristiwa pemboman Hirosima dan Nagasaki menandai awal kekalahan
Jepang dari Inggris. Hal tersebutlah yang menyebabkan Jepang terpaksa hengkang
dari bumi pertiwi. (www.wikipedia.com)
36
hiburan semakin memposisikan eksistensi lagu ini sebagai lagu rakyat yang
Terlebih ketika pada tahun 1950-an sang pencipta lagu, M. Arief, memilih
semakin dikenal oleh banyak kalangan baik masyarakat Banyuwangi dan juga
populernya lagu ini di berbagai kalangan dan lapisan dan golongan masyarakat.
Adapun M.Arief sendiri tertarik untuk dapat bergabung dengan Lekra didorong
menjadi isu terpenting yang dingkat kaum komunis ketika itu dan mereka menilai
kebudayaan rakyat.42
salah satu lagu rakyat Banyuwangi, semakin populer. Pada tahun 1960-an
kejayaan lagu mulai tampak dan semakin jelas. Dengan nuansa langgam jawa
yang berlaraskan pelog, lagu ini mencoba bersaing dengan lagu-lagu popular
yang ada pada masa itu. Fakta mengkisahkan kepada kita bahwa pada tahun 1960
42
Utan Parlindungan, op.cit., hal: 60
37
Lilies Suryani43 merilis lagu Genjer-Genjer bersama dengan lagu lainnya. Hal ini
salah satu titik awal kebangkitan dari lagu-lagu rakyat Banyuwangi. Hal ini di
mewakili kepentingan politis partai politis tertentu. Hal ini dikerenakan situasi
politis pada masa itu menuntut seniman dan juga musisi untuk dapat berjalan
Salah satunya adalah M.Arief sendiri, dalam hal ini M. Arief tidak bisa
menghindar dari situasi ini dan mau tidak mau harus bersikap memihak pada satu
ideologi yang ada dalam tubuh partai politik.44 Dari sini dapat terlihat bagaimana
43
Lilies Suryani adalah salah satu musisi terkenal pada era itu, namanya
sangat dikenal senagai penyanyi Indonesia. Banyak karya yang telah
didendangkannya, salah satunya lagu Genjer-Genjer. (www.wikipedia.co.id)
44
Selain M. Arief komponis yang mewakili kelompok sayap kiri, juga
bermunculan komponis-komponis lain dari kelompok lain. Seolah-olah
komponis-komponis ini mencoba menjadi pesaing meskipun warna dan nuansa
yang sama. Kontestasi ini terus mewarnai perkembangan berkesenian pada masa
itu.
38
panggung popular dan juga bagi kehidupan politik pada masa itu.
kalangan dan lapisan. Hampir setiap kalangan mempunyai kerinduan untuk dapat
media hiburan yang menyenangkan bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya itu
Genjer baik dalam bentuk langgam Jawa maupun versi Band. Pada periode tahun
ini disebut oleh sebagian kalangan, khususnya seniman dan musisi Banyuwangi,
Indonesia.
bukan tanpa sebab, harapan-harapan yang diinginkan dari seniman atau musisi
yang kemudian menjadi tolak ukur penilaian dari para pendukungnya untuk dapat
tanpa disadari secara tidak langsung fungsi-fungsi ini pula yang semakin
sebuah lagu rakyat, lagu Genjer-Genjer hidup dalam beragam dimensi fungsi di
Jepang pada era itu. Hal ini tampak jelas pada susunan syairnya yang semuanya
kolonialisasi bangsa Jepang. Kata Ibu sendiri diartikan sebagai perwakilan dari
ibu inilah yang coba divisualisasikan oleh si pengarang lagu guna mengkrtitk
tersisa seperti daun genjer untuk dapat dikonsumsi layaknya makanan sehari-hari.
bersatu dan tabah dalam menjalani setiap ruas kehidupan telah terwakili. Sehingga
fungsi ritual dan magis. Lewat bentuk nadanya yang berlanggam jawa dan syair-
syairnya yang bermakna doa seorang ibu. Lagu Genjer-Genjer dijadikan oleh
kekuatan untuk dapat menjalani hidupnya. Terlebih ketika tari gandrung yang
syarat akan nilai-nilai ritual dan magis, mencoba mengkolaborasikan lagu Genjer-
Dalam tarian gandrung sendiri lagu dijadikan sebagai sebuah doa atau alat
seblang guna memanjatkan rasa syukur dan permohonan bagi sang Maha Kuasa.
ritual dan seblang- semakin kental dan panjatan-panjatan doa yang mereka
panjatkan semakin terlihat dengan jelas. Pada kesempatan ini lagu Genjer-Genjer
dalam seni tari gandrung diyakini sebagai perwakilan dari permohonan mereka
akan sebuah rasa kekuatan dan ketegaran mereka dalam menjalani kehidupan
sehari-harinya.
BAB III
LAGU GENJER-GENJER
DALAM CENGKRAMAN POLITIK
1966)
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Labilnya kondisi yang terjadi, baik sosial
era tersebut. Maka tak dapat dipungkiri ketika pada periode ini, dan agaknya
mulai sejak saat itu, para penguasa hanya mempunyai satu cara guna
yang liar. Setiap perbedaan yang terjadi dianggap perlu diselesaikan dengan cepat
melalui penghalalan segala cara. Lawan berpendapat dianggap musuh dan juga
1
Goenawan Mohammad, 1995, Catatan Pinggir, Gramedia, Jakarta,
hal:50
41
42
dilancarkan. Pada akhirnya, tak sedikit korban yang berjatuhan hanya demi
berkesenian bangsa ini. Kehadirannya pada era ini menjadi salah satu titik fokus
perhatian bagi sebagian besar kalangan yang hidup dalam sekat-sekat politik
Maka tak heran ketika banyak karya-karya seni yang lahir pada era ini bernuansa
ketika semangat juang tersebut mewakilkan salah satu ideologi politik dari
kelompok politik yang ada, sangat dibutuhkan guna kelancaran ideologi politik
Kehidupan kesenian pada era ini tidak dapat berjalan bebas sesuai dengan
idealisme seninya. Sebagian besar seniman yang lahir pada era itu di paksa untuk
dapat memihak pada salah satu ideologi politik atau kelompok politik tertentu.
Keberpihakan ini yang diharapkan oleh para politikus unutk dapat menjadi
apa yang mereka perjuangkan dapat dengan mudah diterima dan pada akhirnya
loyalitas pada partai tertentu. Oleh sebab itu wajar ketika seniman yang terlahir
pada masa itu tidak dapat bersikap netral dan pada akhirnya mereka pun mau
tidak mau tenggelam dalam arus politik yang sedang berkembang. Kekritisan
mereka secara tidak langsung dibentuk dalam pola ideologi partai yang mereka
tetap saja terikat pada sebuah wacana ideologi politik dari partai yang ia bela.46
Kondisi seperti ini terus berkembang, tak ada alasan untuk bisa menolak kondisi
era itu menyebabkan lemahnya nilai dan makna yang terkandung dalam sebuah
karya seni. Perjalanannya tanpa di sadari terukur dalam batasan ruang politik,
kapan, dimana dan sejauh mana sebuah seni dapat eksis, semuanya terkontrol
dalam kuasa politik. Sebuah sistem politik dapat dengan mudah merubah
sebuah karya seni. Dalam hal ini kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer diakui
untuk dapat mengubah fungsikan lagu ini menjadi lagu propaganda politiknya.
Begitu pula dengan Orde Baru, kekuatan politik yang mereka miliki dijadikan
46
D.S Moeljanto dan Taufik Ismail dkk., 1995, Prahara Budaya: Kilas
Balik Ofensif LEKRA/PKI dkk, Mizan dari Republika, Bandung, hal: 205-207
44
ideologi politik dan berujung pada nilai konsekuensi yakni pencekalannya dari
kuatnya makna kuasa politik menjadi ukuran tersendiri atas lahirnya kebijakan-
kebijakan tersebut. Bukti nyata dari kuatnya cengkraman kuasa politik bagi
dasar atau landasan pola pemikiran bangsa Indonesia dalam menilai sebuah karya
mengikat kreatifitas seniman yang ada pada masa itu.48 Karya seni bahkan
dipenjarakan bahkan mungkin dibuang karena dianggap dapat merusak nilai cita-
47
Jargon Soekarno yang paling terkenal guna memberangus antek-antek
Imperialisme adalah “ Go To Hell With Your Aids “/persetan dengan bantuan-
bantuanmu. (Iqbal Thawakal., Atjungkan Tindju Kita , Lagu dan Sikap Politik
Jaman Soekarno, Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3, 1993)
48
Sama halnya dengan kebijakan yang dilancarkan Soeharto pada era Orde
Baru bagi lagu Genjer-Genjer. Namun dalam hal ini Soeharto mencekal lagu
Genjer-Genjer bukan beralaskan pada nilai Imperialisme. Terlebih pada rasa
takutnya terhadap kekuasaan PKI dan Komunis yang diangap berbahaya bagi
kekuasaanya. Kesamaan kebijakan yang diambil oleh Sukarno dan Soeharto
dalam mempertahankan ideologi politiknya meletakan penilaian tersendiri bahwa
kuatnya kuasa politik dapat dengan mudah mempermainkan sebuah nilai
idealisme seni. (Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer,
Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM, Jogyakarta, hal: 80)
45
Dalam hal ini, Sukarno di satu sisi mencoba mempertahankan kekuatan negara ini
dari serangan bangsa asing lewat nilai-nilai kekuatan lokalitas yang dimiliki
bangsa Indonesia. Namun disisi lain absolutisme dari pola kekuasaannya coba
simbolnya.
Salah satu seniman atau musisi yang terkena dampak kuasa politiknya
Sukarno adalah band ternama Koes Plus. Koes Plus pada era ini dianggap
revolusi kemerdekaan. Tanpa sebab yang lebih jelas lagi band ini dianggap
Imperialisme agar dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia Dari sebab itu,
Sukarno merasa perlu untuk mencekal dan menyeburkan band pop ternama ini
kedalam bui karena ketika Koes Plus dibiarkan hidup bebas dalam kehidupan
yang diusung Sukarno bukan berarti anti kapitalisme, jika dilihat dari program-
program perekonomian yang diambil pemerintahan waktu itu, namun lebih pada
49
Iqbal Thawakal., 1993., op.cit., No.1, Jilid 3,
46
Sikap politik yang ditampilkan dari sistem ideologi politik yang sedang
dan terus berkembang pada era ini semakin menggoreskan kisah bahwa kuatnya
makna kuasa politik mempunyai pengaruh dan dampak yang significant bagi
perpolitikan Indonesia pada masa itu semakin memposisikan nilai seni pada titik
ambiguitas makna dan nilai. Idealisme seni tidak hanya di obok-obok dari segi
bentuknya saja namun juga sampai pada pola pemikirannya. Isu-isu hangat yang
terjadi pada kehidupan politik seakan-akan tidak pernah bisa lepas dari kehidupan
kesenian. Seni dituntut dan dipaksa untuk dapat mencari solusi permasalahan
tersebut lewat kacamata seni dalam ruang politik. Pada akhirnya seni hanya
politik. Jargon-jargon politik melebur menjadi satu dalam tubuh karya seni pada
yang menyebabkan karya seni terbentuk atas nama sebuah ideologi. Dan ideologi
ini patut untuk diperjuangkan dan disuarakan sebagai salah satu ideologi yang
yang berhasil diangkat kaum seniman dan cendikiawan golongan kanan guna
50
Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan nasional yang
dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi
ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan
ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh
seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Manifesto Kebudayaan juga dijuluki oleh pihak kiri sebagai Manikebu. Pencetus
manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito, dan ditandatangani antara lain oleh Arief
Budiman, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad. Diilhami oleh semangat
humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat Kepercayaan
Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya keterlibatan
setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto itu sendiri
47
memecahkan dua pola pemikiran tentang arti sebuah seni dan masing-masing
kubu mengusung konsep ideologi dari sistem komunitas politik yang sedang
kebangkitan dari seni guna menyingkirkan konsep gologan kiri yang di anggap
golongan kiri yang pada era ini mengangkat konsep “ Seni Untuk Rakyat” dan
sebab itulah mereka merasa perlu untuk dapat teus memperjuangkan konsep
tersebut.
nilai-nilai ideologi politik pada masa ini menyebabkan lemahnya posisi karya seni
dalam kehidupan budaya manusia. Meskipun seni berjalan pada kerangka baru,
namun kerangka tersebut juga tidak menjamin sebuah seni dapat berjalan dengan
tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk
memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah
masyarakat bangsa-bangsa". Sehingga bisa dikatakan butir-butir yang
disampaikan sebenarnya sama sekali tidak berlawanan dengan semangat yang
hidup pada zaman itu: keinginan "menyempurnakan kondisi hidup manusia".
Mungkin satu-satunya prinsip yang membedakan adalah penolakan mereka
terhadap hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan - posisi Sutan Takdir
Alisjahbana dalam "Polemik Kebudayaan" 1930an. Dengan demikian, posisi
Lekra yang mendahulukan pemajuan kebudayaan rakyat demi pembebasan kaum
tertindas: buruh dan tani, dilihat sebagai upaya politisasi gerak kebudayaan. Ini
dianggap mengancam supremasi prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan
karya seni pada alat propaganda politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal
belaka.(www. Wikipedia.com. // Manifestasi Kebudayaan)
51
Keputusan-Keputusan KSSR, Harian Rakyat, 7 September 1964
48
sempurna sesuai idealisme seninya.52 Dan perjalanannya tetap saja tidak pernah
bisa lepas dari pergolakan kehidupan perpolitikan pada masa itu. Seni pada masa
itu bagaikan gerhana disiang hari, sinarnya terang namun saja tertutupi oleh
kuatnya pancaran gerhana.53 Bertumpu pada kondisi yang terjadi pada era 1960-
perubahan fungsi bahkan juga ketika harus dibenturkan pada sebuah kasus
pencekalan dan tergoresnya stigma komunis pada tubuhnya. Hal ini semata-mata
disebabkan oleh karena lemahnya posisi lagu Genjer-Genjer untuk dapat menolak
Pergolakan kondisi sosial dan politik Indonesia pada periode tahun 1960-
1965 berhasil menyusun pola baru bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Tapak
demi tapak coba dilaluinya, bersama dengan kesederhanaan dari setiap nada dan
52
Tergambar kembali pada kasus lagu Genjer-Genjer yang dilancarkan
pada Orde Baru. Dimana seni, yang dalam hal ini lagu, tetap saja tidak dapat
hidup subur sebagaimana mestinya. Bukan hanya itu, terhitung tak sedikit karya-
karya seni yang dicekal pada era itu hanya karena dianggap mengganggu dan
membahayakan jalannya pemerintahan.
53
Hasil wawancara dengan Sri Moelyadi pada tanggal 23 juni 2009
49
Pada babakan ini, lagu Genjer-Genjer mulai menapaki kehidupan barunya dan
Pada era itu kehadiran lagu ini dianggap lagu yang unik, kesederhanaan
lagu ini. Oleh sebab itulah tak heran apabila penggemar lagu ini tidak tertutup
pada satu kalangan saja, hampir setiap kalangan yang ada menggemari lagu ini.
Meskipun mungkin mereka sendiri pun tidak mengetahui arti dari syair lagu ini,
khususnya bagi mereka yang notabenenya bukan orang Jawa namun mereka
Namun seperti yang telah di ulas diatas, bahwa pada periode ini semua
karya seni tidak pernah bisa berjalan bebas sesuai dengan idealisme seninya,
begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer. Warna dan gaya baru yang terbentuk
memihak pada sebuah nilai ideologi politik dari kelompok politik tertentu.
Berawal dari keinginan Muhhamad Arief, sang pengarang lagu, untuk dapat
bergabung dengan Lekra, lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI. Lagu
Genjer-Genjer coba di usung olehnya sebagai salah satu bukti dari karyanya yang
bermuara pada konsep ” Seni Untuk Rakyat ” ke khalayak ramai dan juga ke
kalangan politikus. Mulai sejak saat itu kehadiran lagu Genjer-Genjer tidak lagi
tertutup pada ruang-ruang publik dalam sekat budaya dan seni saja namun juga
Genjer ke permukaan yang lebih luas mulai memancarkan titik cerah. Hal
tersebut terbukti nyata, ketika para petinggi PKI sedang mengadakan perjalanan
disuguhkan lagu Genjer-Genjer. Dalam sekejap mata para petinggi PKI pun
tertarik oleh kesederhanaan dan keunikan lagu ini, salah satunya adalah Nyoto.
Nyoto, yang juga seorang musisi dan sahabat dekatnya M.Arief saat di RRI,
memprediksi bahwa lagu ini akan segera terkenal di kancah panggung hiburan
Indonesia dari sebab itu ia merasa perlu untuk dapat mengangkat lebih tinggi lagi
eksistensi lagu ini ke permukaan. Selain prediksi tersebut, bersama dengan jiwa
dalam lagu Genjer-Genjer sebagai salah satu bukti nyata dari seni tradisi positif
mulai berubah dan semakin dikenal oleh khalayak ramai. Warnanya yang unik
dan masihlah minim untuk dapat dijumpai oleh kebanyakan lagu yang ada pada
masa itu, semakin memposisikan lagu Genjer-genjer pada titik popularitas. Dan
Selain itu lewat kehadirannya pula, lagu Banyuwangi yang tadinya hanya dilirik
sebelah mata mulai bisa diterima oleh kalangan umum dan eksistensi mulai
terangkat ke perrmukaan. Tidak hanya itu, fakta menjelaskan bahwa pada periode
ini kejayaan lagu Genjer-Genjer mulai menapaki ruang teratas panggung hiburan
51
nominasi lagu hits pada tahun 1963. Dan menambah semakin kerapnya lagu ini di
menggugah tali jiwa musikalitas para musisi pada masa tersebut untuk dapat
menggarragement lagu ini ke ragam gaya dan warna baru. M. Arief sendiri
mengarragement ulang lagu ini dalam bentuk band bersama dendangan suara dari
penyanyi terkenal pada masa itu, Bing Slamet55, dan mengabadikannya ke dalam
piringan hitam. Bersama Bing Slamet lagu ini didendangkan dalam bentuk band
dan berbahasa Jawa, Banyuwangi yang lebih sederhana. Hal ini dilakukan guna
juga- masyarakat luar Jawa pada umumnya, untuk dapat memahami makna yang
terkandung dalam lagu Genjer-Genjer. Selain itu pada awal tahun 1965, lagu ini
berhasil diarragement ulang kedalam bentuk paduan suara oleh Moh. Sutiyoso
dan kerap dipentaskan pada acara-acara music di RRI dan TVRI. arragement
ulang oleh Moh. Sutiyoso ini kemudian di perbanyak dalam bentuk piringan
hitam dan diorbitkan kembali oleh bagian kebudayaan Central Comite PKI ( CC-
PKI) bersama lagu daerah lainnya seperti : Glatik NgukNguk, Kr. Kemayoran,
dan Jali-Jali (lagu asli Betawi) dengan menggantikan syairnya untuk menjabarkan
54
Jurnal Shrintil., 2003, Vol. 3
55
Bing Slamet adalah penyanyi terkenal dan juga musisi handal pada masa
itu. Selain itu, Bing Slamet juga sahabat dari M. Arief dan Nyoto. Mereka bertiga
kerap di undang di RRI untuk dapat mengisi musik dalam acara harian sore di
RRI. (www.wikipedia.com)
52
isi Manipol56-USDEK.57 Bukan hanya itu, Lilies Suryani salah satu penyanyi
terkenal pada era itu pun merasa tertarik untuk meliris lagu Genjer-Genjer
tersebut dalam albumnya. Lagu Genjer-Genjer diliris olehnya bersama satu lagu
popular pada era itu yakni Oentok PJM (Paduka Jang Moelia) Presiden Sukarno.
dapat lepas dari kedekatannya dengan PKI. Eratnya hubungan antara lagu Genjer-
dan cendikiawan golongan kanan dan juga lawan politiknya PKI, lagu ini di nilai
mencoba menceritakan suara jeritan hati rakyat kecil yang tertindas pada masa
penjajahan Jepang dimaknai sebagai sebuah bukti dari ideologi komunis atau
PKI.58 Terlebih pada tahun 1964 tanpa sungkan-sungkan D.N. Aidit, salah satu
dari apa yang dinamakan Seni Untuk Rakyat dan mengklaim bahwa lagu Genjer-
56
Manipol adalah Manifesto Politik RI. Perumusan dan sistematisasinya
dilakukan oleh DPA- sementara atas pidatonya Presiden Sukarno pada HUT
Kemerdekaan RI yang ke-14, tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan
Kembali Revolusi Kita “. Manipol diusulkan menjadi GBHN yang penetapannya
dilakukan melalui Penpres No. 1 Tahun 1960, yang kemudian dikukuhkan oleh
MPRS pada tanggal 19 November 1960 dengan ketetapan No 1/MPRS/1960.
(Kamus Gestok., 2003, hal: 179-180)
57
Utan Parlindungan., op.cit., Hal: 63
58
Perjuangan kaum komunis pada masa itu lebih pada memperjuangkan
kaum tertindas dan mengatasnamakan rakyat kecil, sperti petani, buruh dan juga
guru-guru. Ideologi seperti ini yang sedang diperjuangkan oleh PKI.
(www.wikipedia.co.id//Komunis/diIndonesia)
53
59
Genjer sebagai lagu ”Mars”-nya PKI . Maka makna PKI dan juga ideologi
komunis semakin tak dapat terelakan oleh lagu Genjer-Genjer dan semakin kental
makna, fungsi awal yang terkandung dalam tubuh lagu ini tahap demi tahap
bagi perjalananannya. Dengan semakin dalam lagu ini tenggelam dalam cumbuan
PKI, maka semakin kental pula aroma propaganda politik PKI tertanam pada lagu
ini. Hal ini terbukti benar, pada periode ini hampir sebagaian khalayak ramai
mengenal lagu ini sebagai lagunya PKI yang berasal dari Bayuwangi. Dalam arti
lain, lagu Genjer-Genjer berasal dari besutan orang-orang PKI yang bercabang di
Banyuwangi. Makna dan fungsi ini terus berkembang di khalayak ramai pada
masa itu, maka tak heran ketika tahun 1966 tanpa pikir panjang Orde Baru
59
Terbukti dengan kerapnya dinyanyikan lagu Genjer-Genjer sebagai lagu
pembukaan di setiap pertemuan-pertemuannya PKI. (Utan Parlindungan., op.cit.,
hal: 99)
54
Lagu bagi Lekra dan PKI bukan hanya sebagai hiburan semata namun juga
sebagai instrumen politik, terlebih ketika syair-syair yang terukir dalam tubuh
lagu dianggap dapat menjadi perpanjangan tangan atau perwakilan dari ideologi
Genjer-Genjer tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini jelas terlihat dari sikapnya yang
mulai dari sejak itu, kehadiran lagu ini coba di angkat tinggi sebagai sebuah wakil
dari wujud seni yang positif dan mewakili suara-suara revolusi kemerdekaan.
Bahkan bukan hanya itu eksisitensinya dalam ruang kancah panggung popular
Lekra memang sangat diharapkan. Tradisi rakyat yang terkandung di setiap kata-
kata yang terlukis dalam syair lagu Genjer-Genjer di jadikan sebagai alat
bukan hanya sebagai media hiburan semata namun juga sebagai media
bahkan masuk kedalam jiwa masyarakat Indonesia. Menurut PKI dan Lekra lagu
60
Pidato Nyoto di depan rombongan paduan suara “ Tak Seorang Berniat
Pulang”, yang telah selesai berlomba dalam ulang tahun KSSR. (Harian Rakjat,
November 1964)
55
Genjer-Genjer adalah lagu yang lahir dari romantisme Revolusi yang ditemukan
dari sebuah lawatan turun ke bawah.61 Hal ini terbukti dari syair-syairnya yang
secara tidak langsung bersemayam sebuah nilai tradisi rakyat dari respons emosi
diperjuangkan.
Fungsi yang diberikan oleh PKI dan Lekra secara disadari atau tidak
membawa lagu Genjer-Genjer pada sebuah nilai lagu yang bernuanasa politis.
Pada saat ini kehadirannya sebagai lagu rakyat mulai luntur, sebagian kalangan
memandang lagu Genjer-Genjer sebagai lagu besutannya PKI. Bukan sebagai lagu
Baru yang nota benenya musuh terbesarnya PKI. Dan tak pernah bisa lepas dari
indentitas PKI dan Komunis. Namun menurut PKI dan Lekra sendiri, popularitas
yang dialami oleh lagu Genjer-Genjer secara tidak langsung berasal dari semangat
lagu itu sendiri. Dan PKI atau Lekra hanya sebatas kawan dalam perjalanan lagu
ini.
Indonesia, di sela-sela lagu bernuansa barat. Oleh sebab itu jika ada yang
61
Rhoma Dwi Aria.,op.cit, hal: 414
62
Ibid., hal: 415
56
komunis menjadi sangat wajar pada era itu. Hal ini disebabkan karena fungsinya
tidak lagi sebatas media hiburan semata namun juga sebagai propaganda
politiknya PKI. Dan kebanyakan kalangan pada era itu mengenal lagu ini bukan
lagi lagu rakyat Banyuwangi namun lagu PKI yang bernuansa lagu rakyat
Banyuwangi.
BAB IV
JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER
1965-1966
militer, mendatangi dan menculik secara paksa tujuh jendral besar TNI pada era
itu. Satu jendral berhasil lolos pada malam penculikan itu, namun ajudan setianya
tak luput diboyong secara paksa. Banyak versi yang mencoba menjelaskan apa
alasan dan tujuan di balik penculikan itu, yang jelas nasib dari tujuh Jendral dan
satu letnan itu pada akhirnya nanti harus menemui nasib yang mengenaskan.
Gencarnya kabar atau berita yang merujuk pada hilangnya ketujuh Jendral dan
satu letnan itu mulai menjadi “top news” pada era itu. Tindakan subversive yang
dilakukan oleh pemerintah mulai dilancarkan, guna kejelasan dari nasib para
petinggi TNI tersebut dan mencari tahu apa, siapa dan bagaimana tragedi itu bisa
terjadi.
ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok
Gede, yang pada awalnya ditutupi tumpukan sampah guna menghilangkan jejak.
57
58
Berkat usaha dan laporan dari Sukitman, anggota kepolisian yang tak luput
terculik oleh kawanan militan tersebut pada saat patrol di kawasan rumah Brigjen
perbuatan keji para penculik dalam mengeksekusi para Jendral besar TNI
tersebut. Atas perintah Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan juga dengan
bantuan Sukitman, pada tanggal 3 Oktober 1965 para perwira TNI tersebut
ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok
Peristiwa tragis tersebut secara tidak langsung menyulut amarah besar dari
kemerdekaan dan isu dari cita-cita sebuah kudeta bagi pemerintahan Indonesia
dilancarkan. Sampai pada akhirnya tersangka tertuju pada satu nama yang tidak
asing lagi pada era itu, partai komunis terbesar yang dimiliki bangsa ini (PKI) di
vonis bertanggung jawab atas semua terjadinya peristiwa G30S. Serentak amarah
dan kekecewaan bangsa Indonesia tertuju pada partai berlambangkan palu arit itu.
ketetapan MPRS No: IX/MPRS/1966, tentang surat kuasa yang diberikan presiden
63
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September:
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, Dan
Penumpasannya, Jakarta, hal : 127
59
ancaman tersebut. Dalam waktu sekejap Indonesia menjadi merah dan berdarah,
dari penangkapan dan eksekusi warga PKI dan underbouwnya sampai pada
ekstrem, hal ini terbukti dari penangkapan dan pembunuhan massal dari anggota,
simpatisan, dan juga orang yang hanya di tuduh sebagai PKI. Maka tak heran
apabila pada era tersebut banyak orang yang mati sia-sia, hanya karena dituduh
peristiwa sejarah kelam dan terkeji yang pernah dilalui bangsa Indonesia. Tercatat
dalam sejarah bahwa pasca tragedi tersebut ribuan nasib anak bangsa harus rela
berakhir pada cara dibunuh secara keji dan masal yang ironisnya dilakukan oleh
saudaranya sendiri.
segala atribut yang bernuansa PKI dan komunis, menarik lagu Genjer-Genjer
pada nasib serupa. Pencekalan yang dilakukan Orde Baru pada lagu rakyat ini
sekilalas di dasari dalam dua hal pokok yakni pertama, sejak awal
kaum komunis dan terus dieksiskan oleh kaum komunis, Point ini lebih pada
membangun opini baru tentang nilai yang tersirat dalam syair lagu tersebut
sebagai lagu yang mengandung isyarat tentang konsep terjadinya G30S. Dalam
Jendral, Hasan Singodimayan, salah satu seniman HSBI64 dan juga teman
dan semakin menyakinkan Orde Baru dan rejimnya untuk mencekal lagu Genjer-
Genjer dari kancah panggung hiburan rakyat. Bermuara pada bangunan opini
64
Himpunan Seniman Banyuwangi Indonesia
65
“Jendral-Jendral di Ibukota berhamburan, Ibunya Gerwani, datang-
datang menculik Jendral, dapat satu truk, dapat yang kecil-kecil lalu bergegas
pergi, Jendral-Jendral saiki sudah ditangkapi, Jendral-Jendral pagi-pagi pada
disiksa, dibariskan berjejer dan dianiyaya, Ibunya Gerwani, datang semua ikut
menganiyaya, Jendral-Jendral maju lalu di bunuh” (Jurnal Paring Waluyo Utomo,
2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi Komunis, Direktur Pusat Studi dan
Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang)
61
ini pada titik keterpurukan. Dan keinginan untuk dapat mengeliminasi lagu ini
kuat. Pada akhirnya lambat laun lagu Genjer-Genjer dipaksa untuk terkubur
Pada ruang ini jelas tampak bahwa kehadiran lagu Genjer-Genjer secara
msayarakat Indonesia. Mereka takut akan konsekuensi yang akan mereka terima
eksistensi lagu ini. Sebab telah banyak korban yang jatuh hanya karena
menyanyikan lagu ini dan dianggap sebagai PKI dan Komunis. Seperti halnya
yang tersirat pada kisahnya Sumilah, gadis kecil yang berasal dari Prambanan.
Satu hal yang ia ingat ketika ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
66
Fransisca Ria Susanti, 2006, Kembang-Kembang Genjer, Lembaga
Sastra Pembebasan, Jakarta, hal: 6
62
Dari sejak itu, rasa paranoid untuk dapat merangkul lagu Genjer-Genjer mulai
Nasib kelam yang dialami lagu Genjer-Genjer tenyata tidak saja terhenti
pada ruang kehidupannya saja, akan tetapi juga menyentuh ruang lokalitas
dianggap dapat memompa kesadaran politk massa rakyat. Bersama pelarang ini
pula nasib seniman-seniman rakyat Banyuwangi menjadi tidak jelas dan karya-
tahun 1966 MPRS mengesahkan ketetapan MPRS No. XXV tanggal 6 Juli 1966,
perjalanannya secara tiba-tiba terhenti. Tidak lagi terdengar alunan lagu Genjer-
Genjer mengiringi anak-anak kecil bermain di pagi hari. Ketetapan ini dijadikan
payung legalisasi hukum bagi rejim Orde Baru untuk dapat mematikan langkah
Keberhasilan rejim Orde Baru dalam merancang bangunan stigma komunis pada
63
eliminasi.
Mereka takut akan konsekuensi yang bakal mereka hadapinya ketika harus
nilai konsekuensi tersebut melebur menjadi satu dalam ranah supremasi hukum
yang dilegalkan oleh pemerintah maka rasa paranoid pun semakin menjangkiti
setiap relung jiwa bangsa Indonesia. Namun bertolak dari itu semua, kasus yang
tetap mengandung fungsi sebagai media kritikan terhadap penjajah Jepang dan
yang terabadikan pada lagu Genjer-Genjer dapat menjadi wahana pemersatu rasa
Nuansa dan stigma komunis yang disematkan oleh Orde Baru dalam tubuh lagu
Genjer-Genjer sama sekali tidak menghilangkan rasa kecintaan mereka pada lagu
64
ini. Genjer-Genjer tetap menjadi salah satu icon dari lagu rakyat Banyuwangi,
meski citra komunis yang dibangun oleh Orde Baru semakin pekat melekat dalam
memperjuangkan eksistensi lagu ini pada era tersebut. Namun tanpa di sadari
rangkulan yang diberikan PKI ternyata menggoreskan nilai-nilai baru bagi lagu
Genjer-Genjer dan akhirnya fungsi yang ada berubah oleh karena rangkulan PKI
tersebut. Bertumpu pada pola ini ternyata hubungan yang terjalin meninggalkan
kesan tersendiri bagi PKI untuk lagu Genjer-Genjer. Kehadiran lagu Genjer-
Genjer mengandung fungsi dan peran yang cukup significant bagi perjalanan
perwakilan suara dari ideologi politik PKI. Hal tersebut ternyata terbukti benar,
memberi arti bahwa semakin mudah pula ideologi politiknya masuk dan berbaur
bagi perjuangan ideologi PKI dapat degan mudah mereka dapati. Fungsi
67
Hasil wawancara dengan bapak Joko S pada tanggal 23 juni 2009
65
propaganda politik yang disematkan oleh PKI ini yang secara tidak langsung
Dugaan tersebut ternyata benar, pasca peristiwa G30S, kehadiran lagu ini
berubah total. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kehadirannya selalu saja
terkait dengan nama PKI dan komunis. Keberhasilan Orde Baru dalam
membangun opini publik tentang makna dan nilai lagu ini menyebabkan semakin
dapat merangkul kembali lagu ini. Bagi Orde Baru, kehadiran lagu Genjer-Genjer
semata-mata dipandang sebagai sebuah alat atau senjata untuk dapat mematikan
langkah PKI. Sekilas memang tidak memiliki fungsi apa bagi perkembangan
untuk dapat mematahkan langkah PKI dapat terwujud dengan mudah. Dapat
Sampai saat ini, mungkin, citra komunis pada lagu ini tidak dapat lepas
dan terhapus oleh jaman. Namun satu hal yang dapat menjadi kenangan adalah
ketanguhan lagu ini dalam perjalanannya, yang tidak hanya terputus pada nilai
seni saja namun juga berhasil membuat nuansa dan peimikiran sendiri bagi
66
panggung politik pada era tersebut.68 Jika tidak demikian, sangatlah tidak masuk
68
Hasil wawancara dengan Bapak Ujang Rachmat, Pada tanggal 30
juni 2009.
BAB V
KESIMPULAN
perbedataan pendapat dan kepentingan dari sebuah ideologi dan sistem politik
ini berjalan pada titik ambiguitas makna dan duolisme fungsi. Dan selanjutnya
coba dirangkum dalam satu bentuk lagu yang berjudul Genjer-Genjer. Lagu
67
68
lukisan dari sebuah perjuangan hidup yang sejati, yang selanjutnya memiliki
generasi ke generasi. Sehingga dapat menjadi sebuah pengikat tali rasa solidaritas
kesenian yang ada. Pada tahun 1960, ketika pergolakan sosial-politik bangsa
Indonesia sedang menempatakan titik kekacauan, seni tak dapat hidup netral dan
bebas. Seni dipaksa berjalan pada garis-garis ideologi dari partai-partai yang ada.
Mau tidak mau seni harus berpihak pada salah satu ideologi partai yang ada.
Kondisi inilah yang menuntun lagu Genjer-Genjer untuk melangkah pada jalur
kebudayaan dan kesenian yang berafiliasi dengan PKI, maka secara tidak
langsung lagu Genjer-Genjer mengendong sebuah ideologi yang ada dalam tubuh
pada awalnya cengkaraman tersebut membawa titik cerah bagi eksistensi lagu ini.
69
Popularitas yang tadinya, mungkin, tidak terpikirkan oleh sang pengarang lagu
lambat laun terukir dalam tubuh lagu Genjer-Genjer. Tetapi tanpa di sadari
mengklaim lagu Genjer-Genjer sebagai salah satu contoh bentuk seni yang
setiap jengkal tubuh lagu Genjer-Genjer dan tak mungkin dapat dihindarinya.
Sampai pada meletusnya peristiwa G30S dan menarik PKI sebagai dalang
Genjer pun tak luput menjadi sasaran dari pencekalan. Semua kisah indah pada
Eksistensinya hilang dan dipaksa terkubur hidup-hidup. Bukan hanya itu, beredar
opini publik tentang isu-isu makna komunis yang tersirat pada lagu ini semakin
Lahir beberapa alasan kenapa lagu Genjer-Genjer yang harus dipaksa men
semua menanggung nasib tragis tersebut. Pertama adalah jelas bertumpu pada
dirinya. Kedua, isu-isu yang beredar di kalangan umum, baik itu yang dibangun
masyarakat luas dan Orde Baru terhadap lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang
70
hiburan nasional. Dan terakhir yang ketiga lebih pada susunan yang ada pada lagu
ini, sebuah lagu dapat diperhitungkan kehadirannya ketika lirik yang terangkum
dianggap sebagai sebuah simbol atau bermakna ganda. Dalam arti lain bahwa,
bernuansa kerakyatan dianggap sebagai simbol dan makna yang dapat membakar
sebab itulah maka pemerintah dan Orde Baru merasa perlu untuk mencekal
Lepas dari itu semua, kasus ini melukiskan kisah tersendiri bahwa
politik yang ada untuk bisa memfungsingkan bahkan memanfaatkan sebuah karya
seni. Pada akhirnya idelisme seni dikorbankan demi sebuah kepentingan, yang
kasus ini lebih dalam lagi diharapkan dapat secara bijak mengerti pentingnya arti
Buku
Aria Dwi Yulianti, Rhoma dan M. Muhidin Dahlan., 2008, LEKRA Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
1950-1965, Merkesumba, Yogyakarta
D.S Moeljanto, dan Taufik Ismail, dkk., 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif LEKRA/PKI dkk, Republika, Bandung
Joebar Ajoeb., 2004, Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia, Teplok PRESS,
Jakarta
Markas Besar ABRI., 1995, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid III:
Konsolidasi dan Inflitrasi PKI (1950-1959), Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI, Jakarta
Prof. Dr Sumandiyo Hadi Y., 2005, Sosiologi Tari , Penerbit Pustaka, Yogyakarta
R.M Soedarsono., 1999, Metodologi Penelitian Seni Pertujukan Dan Seni Rupa,
Bandung, Masyarkat Seni Pertujukan Indonesia
Sujarno, dkk., 2003, Seni Pertunjukan Nilai, Fungsi, Dan Tantangannya, Balai
Kajian Sejarah Dan Nilai tradisional Yogyakarta, Yogyakarta
Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan Cinta,
Pustaka LP3ES, Jakarta
Iqbal Thawakal., 1993, Atjungkan Tindju Kita, Lagu dan Sikap Politik Jaman
Soekarno, Majalah PROGRESS, Jilid 3, No.1
Jurnal Srinthil., Rabu, 3 Oktober 2007, Amuk Rakus Industri Dan Napas Sengal
Perempuan Seni Tradisi,
Website
http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing
http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopediabebasberbahasaindonesia/fenom
ena lagu Genjer-Genjer
www. Wikipedia Indonesia. com, Fenomena Lagu Genjer-Genjer
Informan
“GENJER-GENJER”
Ciptaan M. Arief
KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO : IX/MPRS/1966
TENTANG
Menimbang :
Mengingat : pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KEDUA : ketetapan tersebut pada sub PERTAMA mempunjai daja laku sampai
terbentuknja Madjelis Permusjawaratn Rakjat Sementara;
Ditetapkan di : Djakarta
Pada tanggal : 21 Djuni 1966
KETETAPAN
MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
NO : XXV/MPRS/1966
TENTANG
Menimbang :
c. Bahwa berhubung dengan itu, paerlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai
Komunis Indonesia dan terhadap kegiatn-kegiatan jang menjebarkan atau
mengembangkan paham atau adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;
Mengingat : Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ajat (2) dan Pasal 2 ajat (3).
Mendengar : Permusjawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Djuni sampai
5 Djuli 1966.
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan kebidjaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara, berupa pembubaran partai Komunis Indonesia, termasuk
semua bagian organisasinja dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi jang
seasas/berlindung/bernaung dibawahnja dan pernjataan sebagai organisasi terlarang diseluruh
wilajah kekuasaan negara republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, jang dituangkan
dalam Keputusannja tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebidjaksanaan
tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menjebarkan atau mengembangkan paham atau
adjaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan
penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau pengembangan paham
atau adjaran tersebut, dilarang.
Pasal 3
Chususnja mengenai kegiatan mempeladjari setjara ilmiah, seperti pada Universitas-
universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pantjasila,
dapat dilakukan setjara terpimpin, dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR
diharuskan perundang-perundangan untuk pengamanan.
Pasal 4
Ketentuan-ketentuan diatas tidak memepengaruhi landasan dan sifat bebas aktif
politik luar negeri Republik Indonesia.
Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 5 Djuli 1966
MADJELIS PERMUSWARATAN RAKJAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
Ketua
ttd
(Dr. A.H. Nasution)
Djenderal TNI.
Wakil Ketua Wakil Ketua
ttd ttd
(Osa Maliki) (H.M. subchan Z.E)
ttd ttd
(M. Siregar) (Mashudi)
Brig. Djen TNI
2. Paham atau adjaran Marx jang terkait pada dasar-dasar dan taktik
perdjuangan jang diadjarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain
mengandung benih-benih dan unsur-unsur jang bertentangan dengan falsafah
Pantjasila.