TERKEMBANG
11170130000042
Email: ahmad.rifaldi17@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrak
Kajian intertekstual adalah kajian yang mengkaji beberapa teks yang mempunyai
hubungan-hubungan tertentu. Pada tulisan ini akan mengakaji novel Layar
Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan novel Belenggu karya
Armijn Pane yang mempunyai tema yang sama. Feminisme sangatlah kental
dalam kedua novel ini, hanya saja kedua penulis memiliki gagasan yang berbeda.
Kata Kunci : kajian intertekstual,Layar Terkembang, Belenggu, Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane, feminisme
Acuan Teoritis
1. Kajian Intertekstual
Mikhail Bakhtin adalah orang yang pertama kali mengemukakan
konsep intelektualitas, ia mengatakan bahwa karya sastra dilahirkan di
antara teks yang satu dan teks yang lain. Ia juga mengatakan bahwa, dalam
setiap karya sastra selalu terjadi dialog antar teks dalaman, yakni unsur-
unsur yang membangun kemasyarakatam (sosial), atau unsur-unsur yang
ada kaitannya dengan kehidupan pengarang.1
Studi intertekstualitas mempelajari keseimbangan antara unsur
instrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di
masyarakat. Dalam ilmu sastra bandingan, khususnya dalam soal
pengaruh, kita dapat meminjam metode filologi, yakni metode stemma
1
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop, 2014), h.
200—201
yang dikembangkan oleh Paul Maas dalam buku Textual Criticism
(1976).2
2. Feminisme
Kata “Feminisme” berasal dari bahasa latin yaitu “femina” atau
perempuan. Gerakan ini mulai bergulir pada tahun 1880-an seiring dengan
keresahan yang dirasakan masyarakat. Gerakan ini mengacu pada teori
kesetaraan laki-laki dan perempuan dan pergerakan tersebut dimaksudkan
untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminisme seringkali dikaitkan
dengan emansipasi dan diartikan sebagai pembebasan atau dalam hal isu-
3
isu perempuan, hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu komponen dalam
bidang interdisipliner kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai
suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput (grass root).4 Kritikus
feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan, bagaimana
suatu teks membahas relasi jender dan perbedaan jenis kelamin. Dari
perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau
kebudayaan di mana sastra merupakan salah satu bagiannya.5
Biografi Penulis
2
Ibid., h.201
3
Kurniasih, Kajian dari Teori Feminis Sosialis-Marxis Terhadap Fenomena Hamil di Luar Nikah
di GKI Immanuel Boswezen Sorong, dalam Repository UKSW, 2015, hlm.27.
4
Tineke Hellwig, In The Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Bandingan
(pengantar: Melani Budianta), (Jakarta: Juli, 2003), h. 8.
5
Ibid., h.9
pindah ke Lahat, lalu ke Muara Enim. Setelah menamatkan pendidikan di
Kweekschool, ia melanjutkan sekolahnya ke Hogere Kweekschool (HKS)
Bandung tahun 1925--1928. Pendidikan yang dijalaninya di Bandung itu
adalah pendidikan guru. Tahun 1931 ia mengikuti pendidikan di
Hoofdacte Cursus Jakarta, sejenis pendidikan guru, dan tamat tahun 1933.
Tahun 1937 ia mengikuti kuliah di Rechtshcogeschool (Sekolah Hakim
Tinggi) Jakarta dan tamat tahun 1942. Di samping itu, tahun 1940 ia
mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universiteit van Indonesie, program
studi Ilmu Bahasa Umum, Filsafat Asia Timur dan tamat tahun 1942.
Tahun 1979 Sutan Takdir Alisjahbana mendapat gelar Doctor Honoris
Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia dan tahun 1987
mendapat gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti
Sains Malaysia.6
2. Armijn Pane
Armijn Pane adalah salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru
(Poedjangga Baroe) yang lahir di Muara Sipongi, Sumatra Utara, 18
Agustus 1908 dan meninggal 16 Februari 1970 di Jakarta karena
pendarahan di otak. Istrinya, Ny. Pudjiati Yong Brot, meninggal 6 Mei
1981 di Zurich, Jerman. Dia adalah adik kandung sastrawan Sanusi Pane.
Dia pernah mengenyam pendidikan di Holland Inlandsche (HIS) dan ELS
(Tanjung Balai, Sibolga, dan Bukittinggi). Tahun 1923 ia mengikuti
pendidikan di STOVIA Jakarta, kemudian tahun 1927 memasuki NIAS di
Surabaya. Karena minatnya tertumpu pada bahasa dan sastra, ia pindah ke
AMS A-1 (sastra Barat) di Solo dan tamat tahun 1931.
Dia pernah menjadi wartawan di Jakarta dan Surabaya tahun
1931—1932, menjadi guru Taman Siswa di Kediri, Malang, dan Jakarta
tahun 1932—1934, menjadi sekretaris dan redaktur majalah Poedjangga
Baroe tahun 1933—1938, menjadi wartawan free lance (1934—1936),
6
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia: Sutan Takdir Alisjahbana, dalam
http://ensiklopedia.kemendikbud.go.id, pada tanggal 27 November 2019 pukul 20.35 WIB.
menjadi redaktur Balai Pustaka tahun 1936, Ketua Bagian Kesusastraan,
Pusat Kebudayaan tahun 1942—1945, penganjur di Balai Bahasa
Indonesia dan Sekretaris Komisi Istilah, serta menjadi penganjur dan
sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia yang kemudian menjadi Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1950—1955, dan
redaktur majalah Indonesia tahun 1948—1955. Dia tercatat sebagai
sekretaris Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938. Sebelum terbit sebagai
buku, karyanya terbit dalam berbagai majalah. Dramanya yang berjudul
"Lukisan Masa" terbit dalam Poedjangga Baroe No. 11, Tahun 1937, Nyai
Lenggang Kencana" dalam Poedjangga Baroe No. 11, Tahun 1939, "Jinak-
Jinak Merpati" dalam Kebudajaan Timoer No. 3, Tahun 1945, dan "Antara
Bumi dan Langit" dalam Indonesia, No. 4, Tahun 1952. Novelnya yang
terkenal, Belenggu, terbit pertama kali tahun 1940 dalam majalah
Poedjangga Baroe. Novel ini mendapat reaksi yang hebat dari kalangan
peneliti dan pengamat sastra Indonesia.7
a. Tema
Tema menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung
oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan
ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna
khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema.8
Tema dalam novel Layar Terkembang ini ialah perjuangan
perempuan dalam mencari persamaan derajat antara perempuan dan
laki-laki. Tema dalam novel Belenggu adalah perselingkuhan yang
terjadi pada kehidupan rumah tangga.
7
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia: Armijn Pane dalam
http://ensiklopedia.kemendikbud.go.id, pada tanggal 27 November 2019 pukul 21.00 WIB.
8
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012), h. 67.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Abrams adalah orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.9
1. Tuti dan Yah
Tuti adalah seorang putri sulung dari Raden Wiriaatmaja. Dia
adalah sosok perempuan yang memiliki sifat emansifatif dan tegas,
kepandaiannya, dan cara bertindaknya yang cermat serta serius.10
Tokoh Yah juga tidak jauh dari karakteristik yang dimiliki oleh Tuti,
namun Yah tidak memiliki sifat emansifatif.
2. Maria dan Tini
Maria adalah putri kedua dari raden Wiriaatmaja. Perempuan yang
mudah kagum, periang, dan memiliki sikap reflektif. Tokoh Maria ini
sangat berbanding terbalik oleh tokoh Tini, ia merupakan wanita yang
teguh pendirian, pemarah, dan kasar.
3. Yusuf dan Tono
Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran yang aktif dalam
organisasi, baik budi pekertinya, pandai, berpikiran modern, dan tidak
sombong. Berbeda dengan tokoh Yusuf, Tono sudah menjadi seorang
dokter yang membuka praktik di rumahnya.
c. Latar
Menurut Abrams, latar atau setting yang disebut juga sebagai
landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.11
1. Latar Tempat
9
Ibid., h. 165.
10
Tineke Hellwig, op., cit., h. 34
11
Burhan Nurgiantoro, op.cit., h. 216.
Layar Terkembang berlatar tempat di Bandung, Pacet, dan
Martapura, Kalimantan Selatan. Sedangkan Belenggu berlatar tempat
di berbagai daerah di Jakarta, seperti di Tanjung Priok, Grogol, dan
Tanah Abang.
2. Latar Waktu
Waktu yang ada dalam novel Layar Terkembang dan Belenggu adalah
masa-masa sebelum perang. Layar Terkembang memiliki latar waktu
pada tahun 1937, sedangkan Belenggu tahun 1940.
d. Alur
Alur ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan
peristiwa yang secara logika dan kronologik saling berkaitan dan yang
diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.12
1. Pengenalan
“Dan tiada berapa jauh dari akuarium itu berjalanlah Yusuf dengan Tuti
dan Maria ke luar pekarangan menuju ke Pasar”13
2. Konflik
Konflik terjadi ketika adanya perseteruan antara Maria dan Tuti yang
disebabkan oleh hubungan Maria dan Yusuf.
“Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi,’ kata Tuti amarah pula,
mendengar jawab adiknya yang tidak mengindahkan nasihatnya.”14
12
Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT
Gramedia, 1989 ) , h. 149.
13
Sutan Takdir Alisjahbana, Layar Terkembang, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), h. 11.
3. Klimaks
Konflik memuncak pada saat Maria terjangkiti penyakit Malaria dan TBC
yang membuatnya menjadi semakin lemah. Hingga akhirnya Maria meninggal
dunia.
4. Penyelesaian
Tuti dan Yusuf menikah demi menuruti permintaan terakhir Maria. Dengan
demikian Tuti tak lagi merasakan perasaan kesepian yang menghantuinya selama
ini.
Alur Belenggu
1. Pengenalan
14
Ibid., h. 87.
15
Ibid., h. 155.
16
Ibid., h. 199.
dengan sengaja hendak mengalanginya benar. Bloc-note itu penting buat
dia, tapi Tini mengabaikannya juga.”17
2. Konflik
Konflik terjadi ketika Rohayah dan Sukartono bertemu di hotel yang di mana
hal itu meruapakan siasat dari Rohayah sendiri.
“Ketika tangannya hendak ditaruhnya keatas perut si sakit itu, tangan kiri
si sakit yang selama ini menutupkan kimononya, menyingkap kimono itu.
Tangan Sukartono terhenti di awang-awang, tersirap dadanya sebentar,
semata-mata karena terkejut, bukan karena hawa nafsu”18
3. Klimaks
4. Penyelesaian
Pada tahap ini yaitu terjadi ketika Sumartini memilih untuk bercerai dengan
Sukartono dan pergi ke Surabaya.
17
Armijn Pane, Belenggu, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h.17.
18
Ibid., h.21.
19
Armijn Pane, Ibid., h.135.
“Dalam hatiku sudah putus, itulah jalan yang sebaik-baiknya. Biasanya
yang menanggung ialah pihak perempuan. Sudah tetap putusanku. Aku
maklum kau suka memikulnya. Engkau laki-laki, tidak mengapa.”20
e. Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, view point, merupakan salah satu unsur
fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literary device.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang
menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) perisitiwa dan tindakan itu
dilihat.21 Dalam Layar Terkembang ini pengarang tidak berperan apa-apa.
Pelaku utamanya adalah orang lain. Sehingga sudut pandang dalam novel
ini adalah sudut pandang orang ketiga. Sama seperti Layar Terkembang
novel Belenggu juga menggunakan sudut pandang ketiga dengan
menggunakan nama orang lain sebagai pelaku.
f. Amanat
Amanat yang terdapat pada novel Layar Terkembang dan Belenggu
ialah manusia boleh berencana tapi tetapi kita tidak bisa melawan
takdir tuhan.
Menurut KBBI gagasan adalah hasil pemikiran atau ide. Setiap manusia
memang mempunyai gagasan tersendiri menyangkut suatu hal, seperti hal nya
yang terjadi pada Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane dua sahabat pendiri
majalah Pujangga Baru, mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda perihal
menilai sosok perempuan. Gagasan perihal perempuan mereka tuangkan pada
20
Ibid., h. 130.
21
Burhan Nugiyantoro, Op.cit., h. 248.
sebuah karya Layar Terkembang kepunyaan STA dan Belenggu kepunyaan
Armijn Pane. Layar Terkembang hadir terlebih dahulu pada tahun 1936 dengan
menceritakan sosok perempuan modern yang begitu aktif dalam kegiatan
organisasi dan juga berani menyuarakan pemikiran-pemikiran perempuan modern.
Dapat dikatakan bahwa STA berhasil mengeluarkan gagasanya terkait emansipasi
wanita lewat tokoh Tuti yang memang mencirikan perempuan berani dan juga
cerdas, bahkan bisa dikatakan bahwa sosok Tuti ini merupakan perempuan yang
ideal.
Perbedaan gagasan ini memang dapat kita lihat dari latar belakang kedua
penulis, STA lebih condong ke barat dan Armijn Pane yang memang memegang
teguh budaya timurnya. Armijn Pane mencoba menggiring opini pembaca bahwa
perempuan yang aktif dalam di luar rumah bukanlah sosok perempuan yang ideal,
hal itu bisa di lihat dari sosok Tini yang harus bercerai dengan Tono. Sosok
perempuan ideal adalah perempuan yang mampu memanjakan suaminya di rumah
begitulah sekiranya wanita ideal menurut Armijn Pane. Armijn Pane
menggambarkan perempuan itu pada seorang Rohayah yang mampu memberikan
rasa kenyamanan dan kasih saying lebih kepada Tono.
Jika melihat dari sisi feminis, STA memang lebih baik dalam
menggambarkan sosok perempuan. Feminis beranggapan bahwa perempuan harus
memiliki derajat yang sama dengan laki-laki hal ini sejalan dengan gagasan yang
di bangun STA dalam novel Layar Terkembang. Armijn Pane dengan budaya
timurnya seakan-akan membuat opini bahwa wanita harus di rumah saja melayani
suami. Ketika seorang perempuan tidak mampu melayani suami dengan baik
maka sang suami berhak untuk mencari perempuan lain.
Dari kedual novel ini kita dapat lihat dua gagasan yang berbeda walaupun
dengan tema yang sama. STA yang beranggapan bahwa perempauan modern yang
aktif di luar rumah merupakan perempuan ideal yang bisa mendapatkan segala
sesuatu yang diinginkanya dan mendapatkan kehidupan yang bahagia. Tetapi
gagasan STA tersebut dipatahkan oleh Armijn Pane yang menggambarkan sisi
lain dari perempuan yang aktif di luar rumah justru keaktifanya itu menjadi salah
satu alasan hancurnya rumah tangga.
Kesimpulan
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. Pengantar Ilmu
Sastra, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia, 1986.