Anda di halaman 1dari 7

RELEVANSI PIDATO SOEKARNO PADA 1 JUNI 1945 BAGI KONFLIK

ANTARAGAMA DI INDONESIA

Oleh:
Maria Lourdesia
Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

ABSTRACT

Pidato Soekarno amat penting bagi kehidupan di Indonesia. Karena Pidato Soekarno
mengandung sila-sila dalam Pancasila & berfungsi supaya Indonesia merdeka.
Sebagai Warga Negara Indonesia harus menghargai isi dalam Pidato Soekarno.
Karena tanpa Pidato Soekarno, Indonesia tidak merdeka. Konflik antaragama saat
Indonesia masih belum mereka sangat bergejolak. Setiap agama memilki cara berdoa
yang berbeda-beda. Menyebabkan konflik karena perbedaan cara berdoa. Karena
sebelumnya sila Pancasila ke 1 adalah Ketuhanan dengan kewajiban men-jalankan
syariat Islam bagi peme-luk-pemeluknya. Karena agama tidak hanya Islam, jadi sila
Pancasila ke 1 tidak cocok diterapkan di Indonesia. Kemudian sila pertama diganti
Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena di Indonesia ada 6 agama. Supaya agama 1
dengan yang lainnya sama-sama adil.

Keywords: Pidato Soekarno, 1 Juni 1945, konflik antaragama

I. RIWAYAT SINGKAT SOEKARNO

Soekarno adalah proklamator kemerdekaan & presiden pertama RI. Jabatan presiden
dipegang sejak tahun 1945 sampai 1967. Mahir pidato diakui hampir semua tokoh di
seluruh dunia. Keahlian itu didukung oleh kemampuan kuasai 6 bahasa asing. Soekarno
menyandang 26 gelar doktor kehormatan dari beberapa universitas di belahan dunia.
Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya bernama Raden Sukemi
Sosrodiharjo, ibunya bernama Ida Nyoman Rai. Nama asli Soekarno adalah Kusno.
Nama itu dianggap sial. Masa kecil Soekarno sering sakit. Karena itu usia 5 tahun nama
diganti Soekarno.
II. SEKILAS MENGENAI HERMENEUTIKA

Kata “hermeneutik” dari bahasa Yunani “hermeneuen” berarti “menafsirkan.” Istilah


ini berasal dari tokoh mitologis Yunani bernama Hermes. Ia seorang perantara tugas
untuk sampaikan pesan Dewa Jupiter pada manusia. Jupiter berdiam di Gunung Olympus
& minta Hermes (makhluk kaki bersayap) untuk terjemahkan pesan dalam hubungan
dengan manusia. Kesalahan Hermes dalam sampaikan pesan berarti buruk bagi hidup
manusia.
Richard Palmer definisi hermeneutika sebagai proses ubah sesuatu / situasi
tidaktahuan jadi kemengertian. Di tempat lain Rudestam & Newton definisikan
hermeneutika sebagai interpretasi teks / makna tulis. Secara umum hermeneutika
dimengerti sebagai proses menarik makna dari suatu hal (teks) sehingga pesan asli dapat
ditangkap dan dikontekstualkan pada situasi dewasa.

III. ANALISIS TEKS: SOEKARNOLAH PENGGAGAS AWALI PANCASILA

Nabi adalah insan firman Allah, dan wakil dari hati nurani setiap manusia. Sebagai
insan firman Allah, mereka menjadi “juru bicara Allah.” Rujukan utama yang mereka
pakai adalah sabda Allah sendiri (Yes 42:1-6), dan apa yang mereka serukan ternyata juga
diejawantahkan dalam tindakan. Tindakan ini adalah perbuatan simbolis yang
menandakan sesuatu, misalnya: Hosea yang mengawini perempuan sundal sebagai simbol
dari kesetiaan Allah terhadap umatnya yang selalu saja serong dan berselingkuh
menyembah yang lain.
Bagian ini akan urai hasil penelusuran teks historis pidato Soekarno tanggal 1 Juni
1945 dihimpun suatu risalah Sekretariat Negara. Penelitian teks akan urai dimensi
kesejarahan & keotentikan teks pidato Soekarno.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian dari transkrip asli risalah sidang BPUPKI
dihimpun oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, berasal dari 2 sumber, dari Koleksi
Pringgodigdo & Koleksi Muhammad Yamin.
Koleksi Pringgodigdo awal berada di Yogyakarta. Setelah kota itu diduduki Belanda
pada 19 Desember 1958, koleksi ini dibawa ke negeri Belanda, & diarsip pada
“Algemene Secretarie Nederlandsch Indie No. 5645-5647.” Setelah Indonesia merdeka
arsip ini diserahkan kembali kepada pemerintah Indonesia.
Koleksi Muhamad Yamin ditemukan petugas Arsip Nasional di perpustakaan Puri
Mangkunegaran. Hipotesa untuk jelaskan mengapa arsip ini ditemukan di sana adalah:
ada hubungan kekerabatan antara mereka. Putra Muhammad Yamin ternyata adalah
menantu Mangkunegara VIII. Atas hubungan ini bisa jadi arsip penting ini tersimpan di
perpustakaan keraton. Koleksi Yamin sebenarnya adalah tulisan berasal dari rangkuman
stenografis Mr. A.G. Pringgodigdo dipinjam oleh Muhammad Yamin.
Sampai tahun 1993, arsip Pringgodigdo & Koleksi M Yamin disimpan di Arsip
Nasional belum dibuka umum.

IV. POSISI FILOSOFIS PIDATO SOEKARNO TANGGAL 1 JUNI 1945

Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 ada dalam posisi filosofis tertentu. Artinya,
pidato ini ada dalam konteks pidato para tokoh lain (yang tentunya mempunyai posisi
filosofis dan ideologis yang berbeda).
Sidang pertama (31 Mei 1945), Soepomo urai 3 teori tentang berdirinya suatu negara.
Teori tersebut adalah: teori individualistis (dengan Thomas Hobbes, John Locke,
Rousseau, Herbert Spencer, dan Laski sebagai pijakan filosofisnya), teori golongan/kelas
(dengan Marx, Engels, dan Lenin sebagai filosof rujukannya), dan teori integralistik
(dengan Spinoza, Adam Muller., dan Hegel sebagai pijakan filosofisnya).
Menurut Soepomo, Indonesia harus negara integralistik. Karena negara integralistik
ada persatuan antara pemimpin dan rakyat. Negara ini cocok dengan aliran pikiran
ketimuran dan masyarakat Indonesia ada dalam adat. Soepomo hendak katakan negara
integralistik khas Indonesia punya pijakan filosofis jelas.
Ideologi yang ditolak bagi bangunan Indonesia merdeka, menurut Soepomo, adalah
federalisme (mencuatkan keterpecahan) dan individualisme-liberalisme (menekankan
kebebasan mutlak bagi individu), dan monarki.
Pidato berikutnya. M. Yamin katakan Indonesia baru nanti tolak paham federalisme,
feodalisme, monarki, liberalisme, autokrasi, birokrasi, dan demokrasi barat. Dari sini
tampak ada “perang ideologi” dalam konteks kemerdekaan Indonesia.
Dunia saat itu dilanda perang ideologi antara Barat junjung tinggi liberalisme dan
Timur yang promosi sosialisme. Para founding fathers amat mengerti hal itu dan cari
pijakan filosofis dan ideologis memadai bagi berdirinya Indonesia merdeka.
V. GAGASAN MENGENAI PANCASILA

Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Grondslag (dasar, filsafat, atau


jiwa) Indonesia merdeka. Setelah selama tiga hari beberapa anggota BPUPKI berpidato
dan menawarkan aneka gagasan mengenai dasar apa yang dipakai bagi Indonesia
merdeka nanti, tibalah saatnya bagi Soekarno untuk menyampaikan hal yang sama.
Sebelum utarakan gagasan dasar negara, Soekarno perlu yakinkan peserta sidang
mereka tidak perlu terlalu pusing perkara kecil daripada kemauan merdeka.
Kemauan dan hasrat merdeka, menurut Soekarno, harus dahului debat dasar negara.
Karena buat apa bicara dasar negara jika kemerdekaan tidak ada? Dari sini dimengerti
logika pikir Soekarno yang lebih dahulu gelorakan semangat untuk merdeka, bahkan
ketika rakyat masih miskin, belum bisa baca tulis, belum bisa mengendarai mobil, dst.
Soekarno analogikan kemauan merdeka dengan kemauan menikah. Apakah menikah
harus menunggu semua mapan? Demikian pula kemerdekaan.
M. Yamin katakan bahwa Soekarno lakukan penggalian sosiologis atas masyarakat
Indonesia sejak zaman pra-Hindu sampai sekarang. Penggalian ini punya maksud agar
perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan nanti memiliki alat pemersatu.
Sampai akhir rapat pertama, belum ditemukan kesepakatan perumusan dasar negara,
sehingga akhirnya dibentuk panitia kecil untuk “menggodok” berbagai masukan. Panitia
kecil beranggota 9 orang dan dikenal sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sbb:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
4. Mr. Muhammad Yamin (anggota)
5. KH. Wachid Hasyim (anggota)
6. Abdul Kahar Muzakir (anggota)
7. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
8. H. Agus Salim (anggota)
9. Mr. A.A. Maramis (anggota).
Setelah lakukan kompromi antara empat orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan
empat orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu
dan hasilkan rumusan dasar negara dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
berisi:
a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Persatuan Indonesia;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perjalanan sejarah catat Piagam Jakarta ini alami koreksi. Akhirnya tujuh kata sila
pertama dicoret jadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi akomodasi semua pihak yang
nanti hidup bersama dalam alam Indonesia merdeka.

VI. MENIKMATI RETORIKA DAN SIMBOLISME PIDATO SOEKARNO


TENTANG PANCASILA

Pidato Soekarno penuh retorika & makna kiasan, hingga analisis sintaksis & semantik
saja tidak cukup. Di sini analisis simbolis main peran untuk gali retorika yang digunakan
Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu dikenal sebagai orator ulung yang dapat
pengaruhi orang lain.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang undang kagum
banyak orang. Mahir gunakan bahasa dengan segala macam gaya berhubungan dengan
pribadi. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan & buku sejarah yang memuat
sepak terjangnya.

VII. KONTEKS SIDANG WAKTU ITU: PERDEBATAN ANTARA KAUM


ISLAM DAN NASIONALIS

Pembahasan ini berisi hal yang jadi konteks pidato Soekarno. Bagian ini antara lain
cakup: konteks sejarah waktu itu (pendudukan Jepang) dan suasana sidang BPUPKI.
Pada September 1944 Perdana Menteri Kyoso umumkan secara resmi bahwa Jepang
berniat untuk berikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu
Pemerintah Jepang segera adakan langkah yang dianggap perlu untuk persiapkan
kemerdekaan Indonesia. Tindaklanjut hal itu, Jepang bentuk Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 29
April 1945, dan dilantik pada 28 Mei 1945. BPUPKI ini diketuai Dr. K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat. Badan ini adakan dua kali sidang, yaitu tanggal 29 Mei sampai 1 Juni
1945, serta pada 10 sampai 17 Juli 1945. Dalam sidang pertama ini mulai dikemukakan
usul dan pendapat dasar negara yang akan dipakai sebagai fondasi Indonesia merdeka.
Seluruh anggota BPUPKI dibagi habis dalam beberapa “bunkakai” (kelompok kerja)
dan satu Panitia Hukum Dasar.
Konteks mengemuka (yang ditangkap Soekarno) dalam sidang, dan nampak dalam
logika pidato Soekarno, dirinci dalam poin-poin berikut:
a. Masalah waktu kemerdekaan: sekarang atau nanti?
b. Masalah philosofische Grondslag: kaum Islam menawarkan syariat Islam, golongan
nasionalis mengusulkan nasionalisme tanpa didasarkan atas agama tertentu.
c. Masalah bentuk pemerintahan negara: demokrasi, republik, dan menurut catatan M.
Yamin ada yang mengusulkan berbentuk kerajaan.
Kesimpulan diambil dari analisa konteks adalah: Soekarno berpidato di depan Sidang
BPUPKI bertugas selidiki apa yang perlu bagi kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam
Kacamata Soekarno).
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Anda mungkin juga menyukai