Anda di halaman 1dari 5

Melani Budianta (lahir di Malang, Jawa Timur, 16 Mei 1954; umur 62 tahun)adalah

seorang akademikus, intelektual publik, dan aktivis berkebangsaan Indonesia. Ia merupakan guru
besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan kepakaran di bidang
kajian gender dan poskolonialisme, sastra bandingan, dan kajian budaya. Melani merupakan istri
darisastrawan Eka Budianta.

Daftar isi
[sembunyikan]

1Pendidikan

2Gerakan perempuan

3Dunia akademis dan jaringan internasional

4Demokrasi dan pluralisme

5Sastra

6Kajian budaya

7Karya ilmiah

o 7.1Beberapa tulisan akademis Melani Budianta dalam jurnal dan antologi (berbahasa
Inggris)

o 7.2Buku dan artikel ilmiah dalam bahasa Indonesia

8Tulisan di media massa Indonesia

9Referensi

10Pranala luar

Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Melani Budianta meraih gelar sarjana dari jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya (dulu Fakultas Sastra) Universitas Indonesia pada tahun 1979. Ia kemudian meraih
gelas Master dalam bidang Kajian Amerika dari University of Southern California (1981)
dan Ph.D. dalam bidang Sastra Inggris dari Cornell University (1992).

Gerakan perempuan[sunting | sunting sumber]


Di Indonesia, Melani Budianta dikenal sebagai intelektual publik yang aktif dalam gerakan
perempuan. Ia turut mendirikan Suara Ibu Peduli,[1] kelompok perempuan yang sangat berperan
dalam Reformasi 1998 lewat Politik Susu yang menggugat dampak kebijakan ekonomi pemerintah
terhadap anak-anak dan perempuan. Suara Ibu Peduli turut menyokong aksi mahasiswa 1998
dengan menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan, dan tenaga mereka. Dengan menggunakan
istilah Ibu sebagai payung besar, Suara Ibu Peduli melakukan redefinisi atas konstruksi Ibu Orde
Baru yang apolitis dan terbatas di wilayah domestik.

Segera setelah kerusuhan Mei 1998, Melani Budianta memprotes Menteri Urusan Peranan Wanita
lewat sebuah surat terbuka berjudul yang terbit di Media Indonesia. Melani menggugat sikap diam
Menteri UPW ketika masalah perkosaan terhadap perempuan merebak di media massa dan di
kalangan tokoh-tokoh masyarakat.[2]

Melani menggarisbawahi pentingnya gerakan perempuan yang bermunculan di akhir 1990-an


sekaligus bersikap kritis atasnya. Ini tercermin lewat tulisannya, "The Blessed Tragedy: The Making
of Women's Activism during the Reformasi Years (1998-1999)," sebuah tulisan dalam
buku Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Malaysia and Indonesia (2003).
Minatnya pada isu perempuan mendorongnya untuk turut mendirikan Women's Research Institute,
sebuah institusi penelitian berperspektif feminis, pada tahun 2002.

Dunia akademis dan jaringan internasional[sunting | sunting


sumber]
Sebagai akademisi, ruang gerak Melani tidak hanya terbatas di Indonesia, sebagaimana yang
terlihat lewat publikasi sekaligus keterlibatan aktifnya di jaringan akademi internasional. Melani telah
menerbitkan tulisan tentang gender, sastra, dan identitas budaya di sejumlah jurnal
seperti Signs, Review of Indonesian and Malaysian Affairs,Nivedini: Journal of Gender Studies,
Asian Exchange, maupun antologi seperti Self and Subject in Motion-Southeast Asian and Pacific
Cosmopolitans (ed. Katherine Robinson),Challenging Authoritarianism in Southeast Asia:
Comparing Malaysia and Indonesia (eds. Ariel Heryanto & Sumit Mandal), Clearing a Space:
Postcoloniality and Indonesian Literature (eds. Keith Foulcher & Tony Day).

Melani terus aktif dalam mencari titik temu dan kolaborasi antar-peneliti di jaringan akademi
internasional. Ia merupakan editor Inter-Asia Cultural Studies, fellow di Asian Regional Exchange for
New Alternative (ARENA), dan anggota komite seleksi SEASREP (Southeast Asian Studies
Regional Exchange Program) dan API (Asian Public Intellectual). Ia juga pernah menjadi anggota
Badan Penasihat ASF (Asian Scholarship Foundation).

Demokrasi dan pluralisme[sunting | sunting sumber]


Tulisan Melani kerap menelaah persoalan hubungan antara demokrasi, pluralisme dan politik
identitas dari sudut pandang budaya, sebagaimana yang dituangkannya dalam artikel "Plural
Identities: Indonesian Women's Redefinition of Democracy in the Post-Reformasi Era" (Review of
Indonesian and Malaysian Affairs, 2006). Perhatian Melani terhadap perubahan budaya, sosial, dan
politik di Indonesia tidak hanya terfokus pada isu perempuan, tetapi juga posisi orang Tionghoa di
Indonesia. Tulisannya tentang budaya Tionghoa di Indonesia antara lain adalah The Dragon Dance:
Shifting Meaning of Chineseness in Indonesia.[3]

Dalam sebuah wawancara di The Jakarta Post, Melani mengatakan bahwa iklim demokrasi saat ini
di Indonesia telah melahirkan perayaan keberagaman di satu sisi, namun di sisi lain muncul pula
ekses politik identitas dalam bentuk kedaerahan dan eksklusivitas. Ia mengkritik perspektif sempit
dalam memandang nasionalisme; menurutnya: Nasionalisme adalah persoalan keseharian kita,
bagaimana kita mempertahankan kebersamaan bukan sebagai sesuatu yang romantis, tetapi
sebagai sesuatu yang diupayakan setiap hari. [4]

Sastra[sunting | sunting sumber]


Latar belakang pendidikan Melani adalah Sastra Inggris; ia menulis skripsi sarjana tentang Harold
Pinter di Universitas Indonesia (1979 di bawah bimbingan Tuti Indra Malaon)[5] dan disertasi doktoral
tentang Stephen Crane di Cornell University (1992).[6] Namun kemudian Melani banyak memberi
sumbangan dalam dunia sastra Indonesia sebagai kritikus dan pengajar yang kerap diundang dalam
berbagai peristiwa sastra.[7] Ia juga turut memberikan kontribusi dalam sejumlah upaya
pendokumentasian karya-karya sastra Indonesia; beberapa di antaranya adalah Sandiwara Derma:
Antologi Drama (editor, bersama Sapardi Djoko Damono[8] dan Antologi Drama Indonesia, Jilid 1
(1895-1930) (Editorial Board).[9] Pada tahun 2010, bersama Riris K. Sarumpaet, Melani menyunting
kumpulan tulisan tentang penyair Sapardi Djoko Damono dalam tulisanMembaca Sapardi (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).

Beberapa buku yang ditulis maupun diterjemahkan oleh Melani, seperti Membaca Sastra:
Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi[10] dan Teori Kesusastraan[11]terus dipakai
dalam pengajaran sastra di tataran universitas.

Melani memberi perhatian besar dalam hal penerjemahan sastra. Ia menulis sebuah pengantar
sekaligus ulasan mendalam untuk novel Arundhati Roy, The God of Small Things edisi Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002). Artikelnya, Tiga Wajah Julius Caesar: Gender dan Politik
dalam Terjemahan, menelaah terjemahan Julius Caesar karya William Shakespeare oleh Muhamad
Yamin (1951), Asrul Sani (1976), dan Ikranegara (1985) dalam khasanah teater Indonesia.[12]

Kajian budaya[sunting | sunting sumber]


Melani Budianta dikenal sebagai salah seorang pelopor perkembangan Kajian Budaya (Cultural
Studies) [13] di Indonesia. Ia telah mengajar mata kuliah Kajian Budaya sejak pertengahan 1990-an
sebelum akhirnya Universitas Indonesia membuka program Magister Kajian Budaya di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Melani mendorong penggunaan perspektif Kajian Budaya di bidang-bidang
yang sebelumnya lebih banyak disoroti dari sudut pandang lain, seperti misalnya kasus buruh
migran. Ia pernah, bersama-sama dengan tim peneliti Universitas Indonesia, melakukan penelitian
tentang identitas budaya pekerja migrasi domestik asal Indonesia. Tanpa menihilkan kasus
kekerasan nyata yang menimpa TKI di Indonesia, penelitian ini mencoba melihat akumulasi modal
budaya yang diperoleh buruh migran selama di luar negeri. Pada tahun 2013 penelitian ini diolah
oleh B Verry Handayani dan Teater Garasi dalam bentuk pertunjukan teater dokumenter
berjudul Sangkar Madu.[14]

Karya ilmiah[sunting | sunting sumber]


Beberapa tulisan akademis Melani Budianta dalam jurnal dan
antologi (berbahasa Inggris)[sunting | sunting sumber]

"Malang Mignon: Cultural Expresssions of the Chinese, 1940-1960." dalam Jennifer Lindsay
& Maya H.T. Liem, Heirs to World Culture : Being Indonesian 1950-1965(Leiden: KITLV Press,
2012): 255-281.

"Negotiating Boundaries and Alterity: The Making of a Humanities scholar in indonesia, a


Personal Reflection." dalam Beng-Lan Goh (ed.), Decentring & Diversifying Southeast Asian
Studies: Perspectives from the Region (Institute of Southeast Asian Studies, 2011): 187.

Beyond the Stained Glass Window: Indonesian Perceptions of the United States War on
Terror dalam David Farber (ed), The International Perceptions on The U.S. War on
Terror (Princeton University Press, 2007): 27-48.

"The Dragon Dance: Shifting Meanings of Chineseness in Indonesia." dalam Katherine


Robinson, ed, Asian and Pacific Cosmopolitans : Self and Subject in Motion(Palgrave
Macmillan, 2007): 169-189.

"Diverse Voices: Indonesian Literature and Nation Building," dalam Hock G. Lee dan Leo
Suryadinata (eds.), Language, Nation and Development in Southeast Asia(Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2007): 51-73.

Decentralizing Engagements: Women and the Democratization Processes in


Indonesia, Signs, Summer 2006, vol 31.

"The blessed tragedy: The making of women's activism during the Reformasi
years." Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and
Malaysia.Routledge Curzon (2003): 145-77.
"Plural Identities: Indonesian Women's Redefinition of Democracy in the Post-Reformasi
Era." Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 36.1 (2002): 35-50.

"Indonesian women's responses to violence: towards an alternative concepts of human


security." Inter-Asia Cultural Studies 1.2 (2000): 361-363.

"Discourse of cultural identity in Indonesia during the 1997-1998 monetary crisis." Inter-Asia
cultural studies 1.1 (2000): 109-128.
Buku dan artikel ilmiah dalam bahasa Indonesia[sunting | sunting sumber]

Tiga Wajah Julius Caesar: Gender dan Politik dalam Terjemahan dalam Henri Chambert-
Loir (ed.), Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG, EFEO, Forum Jakarta-
Paris, Pusat Bahasa, Univ. Pajajaran, 2009), hal. 1011-1024.

Melani Budianta, et.al, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan
Tinggi (Magelang: IndonesiaTera, 2002).

"Sastra dan Ideologi Gender." Horison XXXII/4, 1998.

Tulisan di media massa Indonesia[sunting | sunting sumber]


Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia, Kompas, 20 Desember, 2000.

Saya Kapok jadi Wanita: Surat Terbuka untuk Menteri UPW, Media Indonesia, 1 Juli 1998.

Anda mungkin juga menyukai