seorang akademikus, intelektual publik, dan aktivis berkebangsaan Indonesia. Ia merupakan guru
besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan kepakaran di bidang
kajian gender dan poskolonialisme, sastra bandingan, dan kajian budaya. Melani merupakan istri
darisastrawan Eka Budianta.
Daftar isi
[sembunyikan]
1Pendidikan
2Gerakan perempuan
5Sastra
6Kajian budaya
7Karya ilmiah
o 7.1Beberapa tulisan akademis Melani Budianta dalam jurnal dan antologi (berbahasa
Inggris)
9Referensi
10Pranala luar
Segera setelah kerusuhan Mei 1998, Melani Budianta memprotes Menteri Urusan Peranan Wanita
lewat sebuah surat terbuka berjudul yang terbit di Media Indonesia. Melani menggugat sikap diam
Menteri UPW ketika masalah perkosaan terhadap perempuan merebak di media massa dan di
kalangan tokoh-tokoh masyarakat.[2]
Melani terus aktif dalam mencari titik temu dan kolaborasi antar-peneliti di jaringan akademi
internasional. Ia merupakan editor Inter-Asia Cultural Studies, fellow di Asian Regional Exchange for
New Alternative (ARENA), dan anggota komite seleksi SEASREP (Southeast Asian Studies
Regional Exchange Program) dan API (Asian Public Intellectual). Ia juga pernah menjadi anggota
Badan Penasihat ASF (Asian Scholarship Foundation).
Dalam sebuah wawancara di The Jakarta Post, Melani mengatakan bahwa iklim demokrasi saat ini
di Indonesia telah melahirkan perayaan keberagaman di satu sisi, namun di sisi lain muncul pula
ekses politik identitas dalam bentuk kedaerahan dan eksklusivitas. Ia mengkritik perspektif sempit
dalam memandang nasionalisme; menurutnya: Nasionalisme adalah persoalan keseharian kita,
bagaimana kita mempertahankan kebersamaan bukan sebagai sesuatu yang romantis, tetapi
sebagai sesuatu yang diupayakan setiap hari. [4]
Beberapa buku yang ditulis maupun diterjemahkan oleh Melani, seperti Membaca Sastra:
Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi[10] dan Teori Kesusastraan[11]terus dipakai
dalam pengajaran sastra di tataran universitas.
Melani memberi perhatian besar dalam hal penerjemahan sastra. Ia menulis sebuah pengantar
sekaligus ulasan mendalam untuk novel Arundhati Roy, The God of Small Things edisi Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002). Artikelnya, Tiga Wajah Julius Caesar: Gender dan Politik
dalam Terjemahan, menelaah terjemahan Julius Caesar karya William Shakespeare oleh Muhamad
Yamin (1951), Asrul Sani (1976), dan Ikranegara (1985) dalam khasanah teater Indonesia.[12]
"Malang Mignon: Cultural Expresssions of the Chinese, 1940-1960." dalam Jennifer Lindsay
& Maya H.T. Liem, Heirs to World Culture : Being Indonesian 1950-1965(Leiden: KITLV Press,
2012): 255-281.
Beyond the Stained Glass Window: Indonesian Perceptions of the United States War on
Terror dalam David Farber (ed), The International Perceptions on The U.S. War on
Terror (Princeton University Press, 2007): 27-48.
"Diverse Voices: Indonesian Literature and Nation Building," dalam Hock G. Lee dan Leo
Suryadinata (eds.), Language, Nation and Development in Southeast Asia(Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2007): 51-73.
"The blessed tragedy: The making of women's activism during the Reformasi
years." Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and
Malaysia.Routledge Curzon (2003): 145-77.
"Plural Identities: Indonesian Women's Redefinition of Democracy in the Post-Reformasi
Era." Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 36.1 (2002): 35-50.
"Discourse of cultural identity in Indonesia during the 1997-1998 monetary crisis." Inter-Asia
cultural studies 1.1 (2000): 109-128.
Buku dan artikel ilmiah dalam bahasa Indonesia[sunting | sunting sumber]
Tiga Wajah Julius Caesar: Gender dan Politik dalam Terjemahan dalam Henri Chambert-
Loir (ed.), Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (KPG, EFEO, Forum Jakarta-
Paris, Pusat Bahasa, Univ. Pajajaran, 2009), hal. 1011-1024.
Melani Budianta, et.al, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan
Tinggi (Magelang: IndonesiaTera, 2002).
Saya Kapok jadi Wanita: Surat Terbuka untuk Menteri UPW, Media Indonesia, 1 Juli 1998.