Anda di halaman 1dari 33

FEMINISME DAN PANCASILA

Dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

Dosen: Alda Rifada Rizqi, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Dara Aulia Fitriani 18.4301.395

Andre Junaedi 19.4301.241

Restu PN 19.4301.245

Irgi Zaneta 19.4301.275

Nur Alfianti K 19.4301.280

Ratu Rizna Putri Nandika 19.4301.283

Kelas: D

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbincangan seputar Pancasila kembali mengemuka. Pemantiknya
adalah kembali maraknya berbagai organisasi dan kegiatan dari
masyarakat yang mengusung ideologi gerakan yang berbeda, atau bahkan
bertolak belakang dengan Pancasila. Kondisi ini merupakan peringatan
bagi eksistensi Pancasila di bumi Indonesia. Salah satunya adalah
Feminisme.
Feminisme menjadi sebuah gerakan yang berkembang pesat sejak
awal gerakan ini muncul pada pertengahan abad ke-18. Pengaruhnya
begitu terasa di mana-mana, baik dalam lingkup sosial, politik, maupun
budaya. Di abad ke-21 ini perempuan diperbolehkan berpendidikan tinggi,
memegang jabatan politik, berkarier, bahkan memilih sikap hidup untuk
memiliki anak ataupun tidak memiliki anak. Kondisi tersebut sangat
berbeda dengan kondisi perempuan sebelum adanya gerakan feminisme.
Pada saat itu perempuan jarang terlihat di depan publik, mereka hanya
ditugaskan untuk berdiam diri di rumah dan mengerjakan pekerjaan
domestik sebagai ibu rumah tangga.
Gerakan feminisme hadir dengan isu sentral kesetaraan gender
dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini telah menjadi persoalan
kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi, khususnya di Indonesia.
Hal ini terlihat ketika isu kesetaraan gender terus mengemuka bersamaan
dengan berbagai asumsi banyaknya masalah ketidakadilan yang dihadapi
oleh kaum wanita. Kaum feminis menganggap bahwa indikator
ketidakadilan tersebut dapat disaksikan dalam berbagai bentuk tindakan
diskriminatif yang dialami kaum wanita, dan indikator tersebut dijadikan
senjata untuk mengangkat isu tersebut di berbagai lini kehidupan dan
dijadikan program sosial yang didesain secara akademik serta
disosialisasikan secara politis.1
Ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan seperti yang
disebutkan sebelumnya merupakan tugas dari hadirnya feminisme untuk
mengatasinya. Namun tetap saja feminisme dipandang secara negatif oleh
masyarakat. Sikap skeptis masyarakat terhadap feminisme dapat terjadi
karena adanya sebuah anggapan yang menyebutkan bahwa feminisme
telah beranjak terlalu jauh dan kabur dari tujuan awal sebenarnya. Jika kita
lihat dari tujuan awal gerakan femininisme, sebenarnya tujuan awal
gerakan ini adalah sebagai perjuangan guna meningkatkan kesempatan
perempuan untuk mendapatkan persamaan hak dalam kebudayaan yang
didominasi oleh laki-laki.
Dalam konteks bernegara, ideologi dapat diartikan sebagai satu-
satunya arah, pedoman tunggal, pembimbing gerak kehidupan bangsa atau
negara dalam melaksanakan fungsi kenegaraan (Glosarium Sekitar
Pancasila, 1981). Indonesia memiliki ideologi sendiri yaitu Pancasila.
Pancasila adalah fondasi dasar NKRI yang di dalamnya terkandung cita-
cita, tujuan, dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia harus bertindak.
Perumusannya tidak mudah, di mana para pendiri bangsa mencurahkan
perasaan dan gagasannya dalam menyusun sila demi sila dalam Pancasila
agar sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia.2
Namun, seiring berjalannya waktu, Pancasila seolah-olah hanya
menjadi mimpi para pendiri bangsa Indonesia. Nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan sehai-hari mulai luntur. Bahkan tidak sedikit rakyat Indonesia
yang menginginkan jika ideologi NKRI diganti. Jelas hal ini merupakan
ancaman bagi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia.
Pancasila sudah menjadi hal yang paling tepat sebagai dasar,
pemersatu, dan nahkoda bagi Indonesia, sebab dalam Pancasila terkandung
jati diri bangsa Indonesia sejak sebelum kita merdeka. Pancasila telah
terbukti mampu bertahan di tengah derasnya arus ideologi dan globalosasi.

1
Hamid Fahmy Zarkasyi, Problema Kesetaraan Gender dalam Studi Islam, Islamia, Volume III,
No. 5, 2010, hlm. 3.
2
Asad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 8-9.
Ideologi yang mencoba masuk ke dalam Negara Republik Indonesia akan
bertahan dan diperkenankan bila hanya tidak bertentangan dengan
Pancasila. Termasuk Feminisme.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Feminisme?
2. Bagaimana Relevansi antara Feminsime dengan Pancasila?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Teori Feminisme


Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan.
Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori
kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh
hak-hak perempuan.3 Sekarang ini banyak yang mendefinisikannya
sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada
kesetaraan perempuan dan laki laki.
Feminisme merupakan faham untuk menyadarkan posisi
perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan memperbaiki
atau mengubah keadaan tersebut.4 Posisi perempuan selama ini di
masyarakat selalu berada di bawah atau di belakang laki-laki. Posisi yang
sangat tidak menguntungkan bagi perempuan untuk mengembangkan
dirinya. Feminisme menjadi bergerak bagi perubahan posisi perempuan di
masyarakat. Berikut ini ada beberapa pengertian feminisme menurut para
ahli yaitu:
1. Maggi Humin : sebuah ideologi pembebasan perempuan karena yang
melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa
perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin.
2. Mansour Fakih : Gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi
bahwa kaum Perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi,
serta usaha Untuk mengakhiri penindasan & eksploitasi tersebut.5
3. Kamus ideologi politik : Sekumpulan gagasan yang selalu berubah–
ubah, gagasan ini merupakan tanggapan yang digerakan oleh
ketidakadilan dalam diri perempuan yang tersinggung karena
memperioritaskan hak-hak tertentu untuk kaum laki–laki

3
Asmaeny Azis, Feminisme Profetik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 78.
4
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial, (Jakarta : PT
Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 47.
5
Mansoer Fakih, Menggeser Konsepsi Gender Dan Tranformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hlm. 230.
Sedangkan Teori feminisme adalah sistem ide yang
digeneralisasikan, meliputi banyak hal tentang kehidupan sosial dan
pengalaman pada wanita yang dikembangkan dari suatu perspektif yang
berpusat pada wanita di dalam dua cara.6 Pertama, titik tolak semua adalah
situasi dan pengalaman-pengalaman wanita dalam masyarakat. Kedua,
teori tersebut berusaha melukiskan dunia sosial dari posisi khas yang
menguntungkan wanita.

B. Sejarah Feminisme
Lahirnya gerakan Feminisme dipelopori oleh kaum perempuan
yang terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing-masing gelombang
memiliki perkembangan yang sangat pesat.7 Pada gelombang pertama,
perkenalkan istilah feminism, menurut Ritzer, Kata feminisme sendiri
pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier
pada tahun 1837.30 Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini
pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku
yang berjudul the subjection of women (1869) karya John Stuart Mill, dan
perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang
pertama.
Gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu abad 18 karena banyak
terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak perempuan.8 Selain
itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara universal perempuan
atau feminine merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan
oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam masyarakat patriaki.
Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik,
hak-hak kaum perempuan biasanya lebih inferior ketimbang apa yang
dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi
Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah
dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan

6
Jackson, Stevi dan Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2009), hlm. 335.
7
Aida Fitalaya, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Dadang S. Anshori (ed)
Membincangkan Feminisme, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 115
8
Ritzer, Geoge, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 523.
ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis
di abad ke-18 dimana perempuan sudah mulai berani menempatkan diri
mereka seperti laki-laki yang sering berada di luar rumah.
Sedangkan pada gelombang kedua, Setelah berakhirnya perang
dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang
terbebas dari penjajahan negara-negara Eropa maka lahirlah gerakan
feminisme gelombang kedua pada tahun 1960, dimana fenomena ini
mencapai puncaknya dengan diikutsertakannya kaum perempuan dan hak
suara perempuan dalam hak suara parlemen.9 Pada tahun ini merupakan
awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut
mendiami ranah politik kenegaraan.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia
pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-
perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua
perempuan adalah sama.
Dalam kajian ini khususnya mengenai wanita, menurut Fredrick
Engels sendiri yaitu merupakan sahabat Marx, menurutnya bahwa wanita
telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kapitalis dan para lelaki
dengan budaya patriakinya.10 Hal ini terjadi karena para wanita khususnya
dari kalangan menengah kebawah harus menanggung beban ganda dengan
bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga
tidak bisa meninggalkan sektor domestik yang dibebankan oleh wanita
karena budaya patriarki yang tumbuh subur.
Selain itu wanita yang hanya bergelut pada urusan domestik saja
juga mengalami tindak kekerasaan, karena disebabkan sang suami yang
bekerja di sektor publik yang mencrai nafkah cenderung merasa lebih
superior karena bisa mencarinafkah untuk keluarga, sementara istri akan
diposisikan inferior karena menurut kaum laki laki sektor domestik
tidaklah lebih penting dari sektor publik. Kapitalisme dan juga budaya
patriaki telah bergandengan tangan.

9
Ibid, hlm. 519.
10
Ollenburger, Jane C., Moore, Helen A, Sosiologi Wanita, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm.
56.
C. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Pancasila
Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana
India), Pancasila berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima,
sila atau syila yang berarti batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga
berasal dari kata susila, yang berarti tingkah laku yang baik. Jadi secara
kebahasaan dapat disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti lima batu
sendi atau dasar. Atau dapat juga berarti lima tingka laku yang baik.
Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak
sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip
dasar negara.11 Eksistensi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi
menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Setelah mengalami pergulatan pemikiran, para pendiri bangsa ini akhirnya
sepakat dengan lima pasal yang kemudian dijadikan sebagai landasan
hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para perumusnya di masa
lalu dan sempat mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu
hingga mencapai rumusan yang sah secara konstitusional dan dipakai
hingga dewasa ini.
Menurut Mr. Mohammad. Yamin sebagaimana yang disampaikan
dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, isinya sebagai berikut: (1)
Prikebangsaan (2) Prikemanusiaan (3) Priketuhanan (4) Prikerakyatan (5)
Kesejahteraan rakyat.
Sedangkan menurut Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945
di depan sidang BPUPKI, Pancasila memuat hal sebagai berikut: (1)
Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau
prikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan sosial dan
(5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Pancasila dalam piagam Jakarta yang
disahkan pada 22 Juni 1945 adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya, (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4)
11
Kumawi Basyir, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press 2013), hlm.
10.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Rumusan piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan,
dan perubahan ini yang kemudian dianggap sah secara konstitusional
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: (1)
Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3)
Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.12
Berbeda dengan latar belakang sejarah perkembangan negara
modern di Inggris, Amerika, Prancis dan Rusia, Negara Indonesia
perjuangan untuk terwujudnya negara modern diwarnai dengan penjajahan
bangsa asing selama 3,5 abad serta akar budaya yang dimilikinya, yang
merupakan local wisdom bangsa Indonesia sendiri. Pengalaman sejarah ini
memberikan warna sendiri terhadap Indonesia dalam merumuskan negara
modern yang demokratis yang berbeda dengan negara-negara lain.
Indonesia resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya
sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Sebuah ikrar perjanjian luhur pemuda-
pemudi Indonesia yang bertekad untuk satu bangsa, satu tanah air dan
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indoensia. Peristiwa tersebut
merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk bersama-sama merebut
kemerdekaan dari cengkraman penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil
diwujudkan beberapa tahun kemudian.
Perjanjian luhur yang diikrarkan perjanjian luhur yang diiklarkan
bangsa Indonesia, tidak semata di bangun atas kesamaan perangai,
melainkan lebih pada kesadaran geo-politik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur
hidup dan mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Bung
Karno, bangsa Indonesia melewati perjuangan panjang dengan
mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa
Indonesia lahir menurut cara, dan jalan yang ditempuhnya sendiri, yang

12
Ibid, hlm. 10-11.
merupakan hasil antara proses sejarah, tantangan perjuangan, dan citacita
masa depan, yang secara keseluruhan membentuk karakter
kepribadiannya. Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah yang
selanjutnya ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara yakni
pancasila. Karena itu, pancasila tidak lahir secara tiba-tiba pada 1 juni
1945.
Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah
filsafat dan pandangan hidup yang digali melalui pemikiran sedalam-
dalamnya dari budaya, sifat dan cita-cita bangsa yang di yakini sebagai
kenyataan norma-norma dan nilai-nilai yang paling benar, paling adil,
paling baik, dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila merupak
titik temu dari pluralitas bagi bangsa Indonesia NKRI yang menjadi
perjanjian luhur bangsa, dan pancasila menjadi payung kebinekaannya.13

D. Rumusan Pancasila
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dimuat dalam Berita
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1946. Undang-Undang Dasar tersebut
terdiri dari tiga bagian, yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, memuat cita-cita kenegaraan (staatsidee) dan cita-cita hukum
(rechtsidee), yang selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-
Undang Dasar. Lima dasar negara terdapat di dalam Pembukaan alinea
keempat, akan tetapi nama Pancasila tidak terdapat secara eksplisit. Secara
ideologis, dasar negara yang lima itu adalah Pancasila.
Rumusan lima nilai dasar sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah:14

13
Tim Forza Pesantren, Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih Siyasah Melalui
Pendekatan Maqasid Syariah, (Kediri: Lirboyo Press, 2015), hlm. 205.
14
Badan Sosialisasi MPR RI, Empat Pilar MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017),
hlm. 44.
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat


Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia. Dasar tersebut kukuh
karena digali dan dirumuskan dari nilai kehidupan rakyat Indonesia yang
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita. Karena itulah
Pancasila disepakati secara nasional, Pancasila merupakan suatu perjanjian
luhur yang harus dijadikan pedoman bagi bangsa, Pemerintah dan seluruh
rakyat Indonesia. Itu pulalah bentuk dan corak masyarakat yang hendak
kita capai atau wujudkan, yaitu masyarakat Indonesia modern, adil, dan
sejahtera. Sejarah ketatanegaraan membuktikan bahwa Pancasila mampu
mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk.15

E. Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara


Istilah ideologi berasal dari kata idea, yang artinya gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita; dan logos yang berarti ilmu. Ideologi
secara etimologis, artinya ilmu tentang ide-ide (the science of ideas), atau
ajaran tentang pengertian dasar. Ideologi dapat diartikan paham, teori, dan
tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari
ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan
perilaku kehidupan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat
umum.
Bentuk negara, sistem pemerintahan, dan tujuan negara seperti apa
yang ingin diwujudkan, serta bagaimana jalan/cara mewujudkan tujuan
Negara tersebut, akan ditentukan oleh dasar negara yang dianut oleh
negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, dasar negara akan

15
Ibid, hlm. 45.
menentukan bentuk negara, bentuk dan sistem pemerintahan, dan tujuan
negara yang ingin dicapai, serta jalan apa yang ditempuh untuk
mewujudkan tujuan suatu negara.
Pancasila sebagai dasar negara yang autentik termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945. Inti esensi nilai-nilai Pancasila tersebut, yaitu
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial.
Konsekuensi Pancasila sebagai Dasar Negara bagi Negara
Republik Indonesia, antara lain: Negara Indonesia merupakan negara
kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 UUD Negara Republik
Indonesia 1945). Pasal tersebut menjelaskan hubungan Pancasila tepatnya
sila ketiga dengan bentuk negara yang dianut oleh Indonesia, yaitu sebagai
negara kesatuan. Lebih lanjut, pasal tersebut menegaskan bahwa Indonesia
menganut bentuk Negara Republik. Konsep Negara Republik sejalan
dengan sila kedua dan keempat Pancasila, yaitu negara hukum yang
demokratis. Demikian pula dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia 1945, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Hal tersebut menegaskan bahwa negara
Republik Indonesia menganut demokrasi konstitusional.16

16
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2018), hlm. 65.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Feminisme
Feminisme pada mulanya merupakan sebuah gerakan perempuan
yang memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia, seperti halnya lelaki.
Feminisme merupakan reaksi dari ketidakadilan gender yang mengikat
perempuan secara kultural dengan sistem yang patriarki. Perbincangan
tentang feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang
bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta
bagaimana hak, status dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan
publik.
Menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis
dari Asia Selatan, “tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme
yang dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua feminis di semua
tempat dan waktu. Karena definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan
perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi kelahirannya serta
perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan para
feminis itu sendiri”.17
Meskipun demikian, feminisme harus didefinisikan secara jelas
dan luas supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Untuk itulah mereka
mengajukan definisi yang memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu suatu
kesadaran akan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk
menganalisis masyarakat adalah gender. Pemakaian kata gender dalam
feminisme mula pertama dicetuskan oleh Anne Oakley. Menurutnya, ada
dua istilah yang serupa, tetapi tidak sama, yaitu seks dan gender. Seks
berarti jenis kelamin yang menunjukkan pembagian dua jenis kelamin
manusia secara biologis. Gender adalah konsep tentang klasifikasi sifat

17
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan dalam Siti Muslikhati. Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan dalam timbangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 17-18.
kelaki-lakian (maskulin) dan keperempuanan (feminin) yang dibentuk
secara sosio kultural.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal
peran, posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada dataran ini, ada garis yang
bersifat culture, di mana ciri dan sifat-sifat yang dilekatkan pada laki-laki
dan perempuan bisa saja dipertukarkan, karena hal tersebut tidak bersifat
kodrati.
Secara umum dapat dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku
universal. Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu, memiliki
system kebudayaan tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan
waktu yang lain. Sistem kebudayaan ini mencakup elemen deskriptif dan
perskriptif, yaitu mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana
sebenarnya dan seharusnya laki-laki dan perempuan itu. Tetapi, dalam
penelitian William dan Best yang mencakup 30 negara menampilkan
semacam consensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil
penelitian tersebut membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak
universal, tetapi telah terjadi generalisasi kultural. Pada umumnya label
maskulin dilekatkan pada laki-laki yang dipandang sebagai lebih kuat,
lebih aktif dan ditandai oleh kebutuhan yang besar akan pencapaian
dominasi, atonomi dan agresi. Sebaliknya, label feminine dilekatkan pada
perempuan yang dipandang sebagai lebih lemah, kurang aktif dan lebih
menaruh perhatian kepada keinginan untuk mengasuh dan mengalah.
Meskipun, para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang
adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga maupun
masyarakat, tetapi pendapat mereka dalam menganalisis sebab-sebab
terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka.
Pada umumnya, teori-teori feminisme yang dikembangkan para
tokoh feminis memakai perspektif yang berbeda dan berangkat dari
epistemologi yang berbeda. Pemikir-pemikir perempuan memakai
perangkat teoritis filosofis epistemis sesuai dengan tradisi berpikirnya.
Termasuk kekaguman dan kecenderungan pemikiran yang
mempengaruhinya. Beberapa aliran feminisme berikut lahir dari pelbagai
perspektif yang berbeda-beda antara lain:
1. Feminisme liberal, feminisme liberal berusaha memperjuangkan agar
perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan
politik. Artinya aliran ini menolak segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.18 (Abad ke-18) menegaskan, jika nalar adalah kapasitas
yang membedakan manusia dari binatang, maka jika perempuan bukan
binatang liar, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai
kapasitas ini. Karena itu, masyarakat wajib memberikan pendidikan
kepada perempuan. Seperti juga kepada laki-laki, karena semua
manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk
mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat
menjadi menusia yang utuh.
Secara terus menerus Wollstonecraft merayakan nalar, biasanya
dengan mengorbankan emosi atau perasaan. Menurut Jane Roland
Martin “Dalam usahanya untuk menunjukkan hak perempuan,
Wollstonecraft menghadirkan kepada kita suatu gagasan ideal
mengenai pendidikan bagi perempuan, yang memberikan kebanggaan
atas sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan laki-laki, dengan
mengorbankan sifat-sifat lain yang secara tradisional dihubungkan
dengan perempuan”.19
2. Feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa
dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki
dan perempuan. Menurut aliran ini, kekuasaan laki-laki atas kaum
perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-
laki atas kapasitas reproduktif perempuan telah menyebabkan
penindasan pada perempuan. Feminisme radikal bertumpu pada
pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme
18
Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 97.
19
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) hlm. 20-21.
radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi,
seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan
dan laki-laki dan dikotomi privat publik.20
3. Feminisme marxis menganut teori konflik yang berlandaskan pada
pemikiran Karl Marx. Menurut Marx hubungan antara suami dan istri
serupa dengan hubungan borjuis dan proletar. Pada sistem kapitalisme,
penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh pelbagai cara dan
alasan yang menguntungkan. Buruh laki-laki yang bekerja di pabrik
dan dieksploitasi oleh kapitalis, selanjutnya pulang ke rumah dan
terlibat dalam suatu hubungan kerja dengan istrinya. Kaum perempuan
yang masuk sebagai buruh dianggap menguntungkan bagi kapitalis.
Buruh perempuan seringkali mendapat upah yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Dengan masuknya perempuan dalam system
ini, menciptakan buruh cadangan yang tak terbatas bagi sistem
kapitalis. Bagi penganut aliran ini, penindasan perempuan merupakan
kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Sehingga
kapitalismelah yang menjadi penyebabnya.
4. Feminisme sosialis, aliran ini merupakan perpaduan antara metode
historis materialis Marx dan Engels. Aliran ini menganggap konstruksi
sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di
dalamnya adalah stereotip-stereotip yang dilekatkan kepada
perempuan. Penindasan perempuan terjadi di semua kelas, bahkan
revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi
perempuan.21 Menurut Fakih, aliran ini berusaha mengawinkan
analisis patriarki dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik
terhadap eksploitasi kelas dari system kapitalisme harus dilakukan
pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang
mengakibtkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum
perempuan.
Teori yang dikemukakan oleh feminisme sosialis dikenal dengan teori
patriarki kapitalis, yang diungkapkan pertama kali oleh Zillah
20
Ibid, hlm. 68.
21
Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 98.
Eisenstein, yakni menyamakan dialektika antara struktur kelas
kapitalis dengan struktur hierarki seksual.22 Teori ini melihat
perempuan sebagai sebuah kelas dan menganggap bahwa penindasan
terhadap perempuan terjadi di semua kelas. Teori ini menganggap
bahwa ketidakadilan terhadap perempuan tidak semata-mata
disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi lebih disebabkan oleh
penilaian dan anggapan akibat konstruksi sosial terhadap perbedaan
tersebut.
5. Feminisme psikoanalisis percaya bahwa penjelasan fundamental atas
cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama
dalam cara pikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti
tahapan Oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengklaim bahwa
ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman dari masa
kanak-kanak yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki
memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang
dirinya sebagai feminine, melainkan juga cara masyarakat memandang
bahwa maskulinitas adalah lebih baik daripada feminitas.23
6. Feminisme eksistensialis, aliran ini dipelopori oleh Simone de
Beauvoir yang memakai teori eksistensialisme dalam memaknai relasi
laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa ini laki-laki dinamai “sang
Diri”, sedangkan perempuan dinamai “sang Liyan”. Pemikiran kritis
Beauvoir menjadi pembuka jalan bagi para feminisme postmodern.24
7. Feminisme posmodern seperti semua posmodernis yang berusaha
untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan
pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap gagasan yang
mengacu kepada kata (logos) yang style-nya “laki-laki”. Dengan
demikian, feminis postmodern memandang dengan curiga setiap
pemikiran feminis, yang berusaha memberikan suatu penjelasan
tertentu, mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau langkah-

22
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 90.
23
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 190.
24
Ibid, hlm. 262.
langkah tertentu yang harus diambil perempuan untuk mencapai
kebebasan. Beberapa feminis posmodern begitu curiga mengenai
pemikiran feminis tradisional, sehingga mereka menolak pemikiran
tersebut sama sekali. Misalnya Helene Cixous sama sekali tidak mau
menggunakan istilah feminis dan lesbian. Menurutnya, kata-kata
tersebut bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentris
karena kedua kata tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu
norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau
sebuah ruang untuk solidaritas perempuan.25
8. Feminisme multikultural dan global berbagi kesamaan dalam cara
pandang mereka terhadap Diri, yaitu Diri adalah terpecah. Meskipun
demikian, bagi feminis multikultural dan global, keterpecahan ini lebih
bersifat budaya, rasial dan etnik daripada seksual, psikologis dan
sastrawi. Ada banyak kesamaan antara feminisme multikultural dan
global. Keduanya menentang “esensialisme perempuan” yaitu
pandangan bahwa gagasan tentang “perempuan” ada sebagai bentuk
platonik, yang seolah-olah setiap perempuan dapat sesuai dengan
kategori itu. Kedua pandangan feminisme ini juga menafikkan
“chauvinisme perempuan” yaitu kecenderungan dari segelintir
perempuan, yang diuntungkan karena ras atau kelas mereka, misalnya,
untuk berbicara atas nama perempuan lain.26
9. Ekofeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua
bentuk opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia
untuk mendominasi dunia bukan manusia, alam. Karena perempuan
secara cultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada
hubungan konseptual, simbolik dan lingustik antara feminis dan isu
ekologi. Menurut Karen J. Warren, keyakinan, nilai, sikap dan asumsi
dasar dunia Barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk
oleh bingkai pikir konseptual patriarkal yang opresif, yang bertujuan
untuk menjelaskan, membenarkan dan menjaga hubungan antara

25
Ibid, hlm. 283.
26
Ibid, hlm. 309.
dominasi dan subordinasi secara umum serta dominasi laki-laki
terhadap perempuan pada khususnya.27

B. Feminisme di Indonesia
Gerakan feminisme hadir dengan isu sentral kesetaraan gender
dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini telah menjadi persoalan
kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi, khususnya di Indonesia.
Hal ini terlihat ketika isu kesetaraan gender terus mengemuka bersamaan
dengan berbagai asumsi banyaknya masalah ketidakadilan yang dihadapi
oleh kaum wanita. Kaum feminis menganggap bahwa indikator
ketidakadilan tersebut dapat disaksikan dalam berbagai bentuk tindakan
diskriminatif yang dialami kaum wanita, dan indikator tersebut dijadikan
senjata untuk mengangkat isu tersebut di berbagai lini kehidupan dan
dijadikan program sosial yang didesain secara akademik serta
disosialisasikan secara politis.28
Benar sekali ketika dikatakan, bahwa tujuan yang hendak dicapai
adalah persamaan dan kebebasan status dan peran antara laki-laki dan
perempuan di segala hal kehidupan.29 L. M. Gandhi Lapian mengatakan
dalam bukunya “Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan
keadilan Gender”, mengatakan,“ Dewasa ini masyarakat mulai menyadari
bahwa ketidaksetaraan status dan kedudukan laki-laki dan perempuan,
serta ketidaksetaraan yang merugikan perempuan dalam kebanyakan
masyarakat hukum, merupakan kenyataan yang bukan hanya ditentukan
secara biologis atau kodrati, tetapi lebih banyak secara sosial. Selain itu
dia mengatakan bahwa ketidaksetaraan yang terkondisi secara sosial itu
harus dapat diubah baik dalam tingkat individual maupun dalam tingkat

27
Op. cit, hlm. 359.
28
Hamid Fahmy Zarkasyi, Problema Kesetaraan Gender dalam Studi Islam, Islamia, Volume III,
No. 5, 2010, hlm. 3.
29
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. 68.
sosial, kearah keadilan, kesebandingan atau kepatutan dan kesetaraan serta
kemitraan antara laki-laki dan perempuan.30
Sebenarnya di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik,
lihat saja Megawati, beliau seorang perempuan yang menjadi Presiden,
sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di negeri ini. Sangat
mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia tidak merasa terwakili oleh
prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita karir
di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam
pekerjaannya. Profil-profil tersebut sudah menggambarkan bahwa
perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan perekonomian
Negara Indonesia.
Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme atau yang lebih dikenal
dengan emansipasi wanita, muncul setelah R.A Kartini
mengumandangkannya. Kita ketahui juga bahwa R.A Kartini dijuluki
sebagai emansipator wanita di Indonesia. Tetapi, pada Kongres perempuan
pertama di Yogyakarta pada tahun 1928 menandakan bahwa partisipasi
dan adanya kesadaran politik dari perempuan Indonesia mulai tumbuh.
Lalu muncullah sejumlah organisasi perempuan seperti Perwari dan
Kowani. Partisipasi nyata dari perempuan di Indonesia sendiri terjadi saat
pemilu tahun 1955, di mana perempuan Indonesia memiliki hak untuk
memilih dan dipilih.
Menurut H. Mc Closky, partisipasi politik merupakan kegiatan
sukarela warga negara dimana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pembentukan kebijakan umum.31
Sejak tahun 1975, Tahun Wanita Internasional, masyarakat
internasional, atas prakarsa PBB, telah menempatkan wanita dalam agenda
politik tingkat dunia. Usaha ini sekaligus memperbesar peran wanita dan
perlunya wanita berpartisipasi lebih banyak dalam setiap keputusan.

30
L. M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan Dan Keadilan Gender,
(Jakarta: Pustaka Obor, 2012), hlm. 20.
31
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm.
74.
Walaupun berbagai undang-undang hukum telah melegitimasi mengenai
partisipasi politik bagi perempuan, tetapi sampai saat ini perempuan dan
dunia politik masih dianggap terlalu janggal dan tidak cocok. Kebanyakan
orang menganggap dunia politik terlalu keras dan kejam untuk dimasuki
oleh kaum perempuan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah perempuan yang
berada di lembaga politik formal masih sangat kecil dibandingkan laki-
laki. Dunia politik selalu seperti diasosiasikan dengan kehidupan laki-laki,
karena kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar sumbernya
mengingat bahwa masyarakat Indonesia sendiri masih banyak yang
menganut budaya ideologi patriarki.
Budaya patriarki disinilah yang memposisikan perempuan pada
peran ‘domestik’ seperti mengasuh dan mendidik, sementara peran laki-
laki sebagai pencari nafkah, kepala rumah tangga dan pembuat keputusan.
Tetapi, seiring perkembangan jaman, nilai dan norma sosial juga terus
berubah. Para perempuan di dunia juga mengalami perubahan, terutama di
Indonesia. Mereka mengalami peningkatan dari segi pendidikan, sosial
dan bidang tenaga kerja walaupun belum tampak terlalu jelas. Jika diteliti
lagi, sebenarnya peran perempuan di Indonesia dalam bidang politik, baik
itu legislatif, yudikatif dan eksekutif, masih jauh tertinggal dari lelaki.

C. Relevansi Feminisme dengan Pancasila


Fakta sejarah membuktikan bahwa Indonesia memiliki
Feminisme yang sejalan dengan Pancasila sebagai Ideologi Negara. R.A
Kartini bersama Soekarno justru merupakan penggagas ideologi feminis-
nasionalis yang saling memperkuat
Dalam buku Sarinah (1947) Soekarno menyebut Kartini sebagai
contoh pejuang (feminis) Indonesia. Tidak ada bantahan dari Soekarno
terhadap pemikiran-pemikiran R.A Kartini mengenai Feminisme. Bung
Karno (BK) juga menyoal dua hal penyebab ketertinggalan perempuan
Indonesia, yaitu feodalisme dan kapitalisme (disebut kolonialisme oleh
Kartini). Soekarno dan Kartini sama-sama memilih revolusi untuk
menjebol dua sistem yang eksploitatif (diskriminatif) terhadap
perempuan tersebut.
Oleh karenanya, Soekarno menganjurkan bentuk gerakan
perempuan ketiga, yaitu bersama-sama kaum laki-laki untuk
membongkar feodalisme sekaligus nekolim (neokolonialisme-
imperalisme) demi mewujudkan tata perekonomian dunia yang
berkeadilan sosial. Bung Karno tidak menganjurkan "balas dendam"
baik kepada laki-laki maupun kelompok utara, tetapi menganjurkan
gotong royong yang syaratnya adalah kesetaraan.
Feminisme tak jarang dinyatakan tidak cocok dengan Indonesia.
Ini disebabkan, karena Feminisme hanya dipahami sebagai Feminisme ala
kebarat-baratan yang sangat liar yang hanya menuntut hak dan
mengeyampingkan. Padahal segala hal yang ada di dalam kehidupan
bernegara yang berlandaskan Pancasila, bersifat feminis. Isi Pancasila
telah mewakili setiap kelompok dan golongan serta terdapat unsur-unsur
feminisme yang dapat diuraikan.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila pada prinsipnya
menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warga negara harus
mengakui adanya Tuhan. Oleh karena itu setiap orang dapat menyembah
Tuhan-nya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Segenap rakyat
Indonesia mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang
berkeadaban yaitu menghormati satu sama lain. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Negara
Indonesia adalah satu negara yang ber-Tuhan. Dengan demikian, segenap
agama yang ada di Indonesia mendapat tempat dan perlakuan yang sama
dari negara.32
Sila ini menekankan fundamen etis-religius dari Negara Indonesia
yang bersumber dari nilai ketuhanan yang diajarkan agama-agama dan
keyakinan yang ada, sekaligus juga merupakan pengakuan akan adanya
berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa di Tanah
32
Badan Sosialisasi MPR RI, Empat Pilar MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017),
hlm.45.
Air Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dengan rendah hati diakui “Atas
berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini,
pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu
kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus
dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di
hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi
semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Citra bahwa menjadi seorang feminis, maka otomatis tidak percaya
Tuhan merupakan hal yang kurang tepat. Ini disebabkan interpretasi yang
beredar adalah interpretasi yang misoginis, yang digunakan semata-mata
untuk melegitimasi kepentingan dan kekuasaan terhadap perempuan.
Memang betul bahwa beberapa agama memiliki perspektif-
perspektif patriarkal yang tinggi dan melanggengkan praktik-praktik
diskriminatif kuno terhadap perempuan, namun bukan berarti tidak ada
ruang untuk perbaikan. Ada banyak pihak yang telah memasukkan
interpretasi ramah perempuan ke dalam ajaran-ajaran agama. Indonesia
memiliki ulama feminis dan cendikiawan agama ini serta beberapa
lainnya. Mendepak agama untuk meyakini bahwa perempuan memiliki
hak-hak yang sama dengan laki-laki adalah hal yang tidak tepat.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila
menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari
kemanusiaan universal, yang dituntut mengembangkan persaudaraan
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkadilan dan berkeadaban. 33
Kemanusiaan berasal dari kata “manusia”, yaitu makhluk yang
berbudaya dengan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Karena
potensi seperti yang dimilikinya itu manusia tinggi martabatnya. Dengan
budi nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia
sesuai dengan martabatnya. Adil berarti patut, tidak memihak atau
berpegang pada kebenaran.

33
Ibid, hlm. 51.
Keputusan dan tindakan didasarkan pada suatu objektivitas, tidak
pada suatu subjektivitas. Di sinilah yang dimaksud dengan wajar/
sepadan. Beradab kata pokoknya “adab”, sinonim dengan sopan, berbudi
luhur, susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan dan bersusila
sekaligus menuju tingkat kemajuan lahir dan batin. Maksudnya sikap
hidup, keputusan dan tindakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai
keluhuran budi, kesopanan dan kesusilaan. Adab terutama mengandung
pengertian tata kesopanan, kesusilaan atau moral/ dengan demikian
beradab berarti berdasarkan nilai-nilai kesusilaan yang merupakan
bagian dari kebudayaan.
Feminisme mengedepankan kesetaraan yang menuntut
kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, kemanusiaan yang
merupakan kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan
pada potensi akal budi dan hati nurani manusia dalam hubungan dengan
norma-norma dan kesusilaan umum, baik terhadap diri pribadi, sesama
manusia maupun terhadap alam dan hewan. Kemanusiaan yang adil dan
beradab dicerminkan dalam sikap dan perbuatan yang dicerminkan
dalam sikap dan perbuatan yang sesuai dengan kodrat, hakikat dan
martabat manusia.
Ada kecenderungan para filsuf Barat mendefinisikan manusia
menggunakan kata ‘man’. Itu seolah mewakili seluruh manusia, sehingga
menomorduakan dan membuat perempuan bukan sebagai manusia yang
sepenuhnya, sehingga lebih banyak penafsiran yang terkesan misoginis
dan maskulinis. Itu tentu tidak sejalan dengan perempuan. Para Pendiri
Bangsa (The Founding Fathers) Indonesia menyadari bahwa demi
mewujudkan peradaban yang adil, maka perlu melibatkan seluruh
manusia. Mereka tidak memilih-milih bahwa keadilan hanya ditujukan
kepada laki-laki. Dengan demikian, perempuan yang juga manusia berhak
diperlakukan dan memperlakukan sesama manusia secara adil dan
beradab.
Pengejawantahan sila kedua dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga pada dasarnya
mendukung dan memfasilitasi apa-apa yang menjadi tuntutan dari
Feminisme, yaitu salah satunya adalah perlindungan terhadap
keberlangsungan kehidupan individu, perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan dan martabatnya.
Sila Persatuan Indonesia (Kebangsaan Indonesia) dalam Pancasila
pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia merupakan Negara
Kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu, memiliki
persatuan perangai karena persatuan nasib, bangsa yang terikat pada tanah
airnya. Golongan yang tidak merasa lebih tinggi dari golongan lainnya
(chauvinistis).34
Persatuan berasal dari kata satu. Yang berarti utuh tidak terpecah-
percah. Persatuan juga menyiratkan arti adanya keragaman, dalam
pengertian bersatunya beragam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Persatuan Indonesia dalam Sila Ketiga ini mencakup persatuan
dalam arti ideologi, politik, ekonomi sosial budaya, dan keamanan.
Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah
Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
Feminisme, dalam mencapai kesetaraan gender memang harus
melalui dekonstruksi maskulinitas, namun hal ini tidak sama dengan
mengebiri laki-laki. Dalam ratusan tahun sejarahnya (bahkan sebelum
istilah “feminisme” dilontarkan), gerakan ini telah memupuk tradisi
perenungan yang dalam dan pemikiran kembali konstruksi sosial atas
gender maupun dinamika gender. Feminisme memperbaiki relasi gender,
bukan memperkuat salah satu jenis kelamin dengan mengorbankan yang
lain.
Bangsa Indonesia adalah negara yang majemuk dan beragam.
Keragaman ini juga termasuk dalam pengalaman dan keseharian
perempuan. Negara merupakan komunitas yang terbayangkan, bahkan
ketika manusia yang ada di dalamnya tidak saling terhubung. Komunitas-
komunitas tersebut bisa saling terhubung karena menggunakan bahasa

34
Ibid, hlm. 62.
yang sama untuk memudahkan komunikasi. Maka dengan keragaman di
Indonesia, lahirlah kesepakatan untuk menggunakan medium bahasa
sebagai pemersatu.
Selain itu, adanya kesamaan sejarah menjadi alasan untuk bersatu
melawan penjajahan secara bersama-sama. Hal-hal seperti bahasa, sejarah,
wilayah, hingga pengalaman hidup membuat sesama perempuan bergerak
bersama dan bersatu menuju peradaban untuk kehidupan perempuan yang
lebih baik.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan (Mufakat atau Demokrasi) dalam Pancasila
pada prinsipnya menegaskan bahwa Bangsa Indonesia akan terus
memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk
mencapai mufakat dalam perwakilan (representasi). Bangsa Indonesia
akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi.
Bangsa Indonesia akan memelihara serta mengembangkan kearifan dan
kebijaksanaan dalam bermusyawarah.35
Dalam berbagai teori feminisme, representasi yang adil adalah
mewakili setiap golongan dan kelompok masyarakat, mulai dari kelompok
adat, agama, gender, hingga ras. Representasi yang mewakili setiap
kelompok penting untuk menentukan kebaikan bersama, termasuk soal
perempuan.
Perwakilan yang merupakan representasi terpilih seharusnya bukan
berdasarkan siapa yang mayoritas atau minoritas, namun berdasarkan
kapabilitas. Dengan begitu, ketika memilih siapa yang pantas, kita harus
bijaksana memilih perwakilan yang sanggup menyuarakan berbagai
macam suara dari berbagai kelompok, bukan hanya satu kelompok.
Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (kesejahteraan)
dalam Pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa seyogyanya tidak
akan ada kemiskinan dalam Indonesia Merdeka. Bangsa Indonesia bukan
hanya memiliki demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Indonesia harus memiliki keadilan politik dan keadilan ekonomi sekaligus.

35
Ibid, hlm. 67.
Indonesia harus memiliki kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh
rakyat Indonesia.36
Secara khusus, keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila ini
menekankan prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi, atau apa yang
disebut Soekarno sebagai prinsip sociale rechtvaardigheid. Yakni, bahwa
persamaan, emansipasi dan partisipasi yang dikehendaki bangsa ini bukan
hanya di bidang politik, melainkan juga di bidang perekonomian. Prinsip
keadilan dan kesejahteraan sosial menurut sila kelima Pancasila tidaklah
sama dengan prinsip komunisme dan liberalism. Sila kelima bertolak dari
pengertian bahwa antara pribadi dan masyarakat satu sama lain tidak dapat
dipisahkan.
Sila ini cukup menjelaskan segala aspek keadilan, yaitu keadilan
untuk mendapatkan kepastian hukum, pendidikan, dan lain-lain. Adil
dalam artian harus adil kepada segala macam kelompok, termasuk
kelompok minoritas. Feminisme juga berjuang untuk keadilan, yang
selama ini tidak didapatkan oleh perempuan.Tak hanya itu, feminisme
juga memperjuangkan kelompok minoritas lain, seperti masyarakat adat,
kelompok yang berbeda orientasi seksual, bahkan kepada mereka yang
tidak mengaku sebagai orang Indonesia pun harus diberlakukan secara
berperikemanusiaan.
Intimidasi terhadap kelompok-kelompok tersebut dengan
menggunakan simbol-simbol keagamaan atau bahkan militerisme bukan
hal yang manusiawi. Sebab, tindakan itu dapat menimbulkan kesenjangan
sosial yang dapat memecah belah. Dalam suara yang beragam itu pula, ada
identitas yang suaranya harus kita dengarkan dan diberikan ruang dalam
kehidupan berpolitik dan bernegara. Hal-hal ini sesuai dengan feminisme
yang berjuang untuk kehidupan yang setara dalam berbagai aspek.
Dari pemikiran tersebut di atas, Pancasila lebih dari cukup
dijadikan ideologi bagi Feminisme, yaitu memberikan kebebasan
perempuan memajukan diri, tetapi dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional. Pancasila merupakan bintang penuntun untuk Feminisme.

36
Ibid, hlm. 78.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Feminisme merupakan faham untuk menyadarkan posisi
perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan memperbaiki
atau mengubah keadaan tersebut. Posisi perempuan selama ini di
masyarakat selalu berada di bawah atau di belakang laki-laki. Posisi yang
sangat tidak menguntungkan bagi perempuan untuk mengembangkan
dirinya. Feminisme menjadi bergerak bagi perubahan posisi perempuan di
masyarakat. Menurut, Mansour Fakih Feminisme adalah gerakan dan
kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum Perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha Untuk mengakhiri
penindasan & eksploitasi tersebut.
Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk
menganalisis masyarakat adalah gender. Pemakaian kata gender dalam
feminisme mula pertama dicetuskan oleh Anne Oakley. Menurutnya, ada
dua istilah yang serupa, tetapi tidak sama, yaitu seks dan gender. Seks
berarti jenis kelamin yang menunjukkan pembagian dua jenis kelamin
manusia secara biologis. Gender adalah konsep tentang klasifikasi sifat
kelaki-lakian (maskulin) dan keperempuanan (feminin) yang dibentuk
secara sosio kultural.
Gerakan feminisme hadir dengan isu sentral kesetaraan gender
dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini telah menjadi persoalan
kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi, khususnya di Indonesia.
Hal ini terlihat ketika isu kesetaraan gender terus mengemuka bersamaan
dengan berbagai asumsi banyaknya masalah ketidakadilan yang dihadapi
oleh kaum wanita. Kaum feminis menganggap bahwa indikator
ketidakadilan tersebut dapat disaksikan dalam berbagai bentuk tindakan
diskriminatif yang dialami kaum wanita, dan indikator tersebut dijadikan
senjata untuk mengangkat isu tersebut di berbagai lini kehidupan dan
dijadikan program sosial yang didesain secara akademik serta
disosialisasikan secara politis.
Fakta sejarah membuktikan bahwa Indonesia memiliki
Feminisme yang sejalan dengan Pancasila sebagai Ideologi Negara. R.A
Kartini bersama Soekarno justru merupakan penggagas ideologi feminis-
nasionalis yang saling memperkuat.
Dalam buku Sarinah (1947) Soekarno menyebut Kartini sebagai
contoh pejuang (feminis) Indonesia. Tidak ada bantahan dari Soekarno
terhadap pemikiran-pemikiran R.A Kartini mengenai Feminisme. Bung
Karno (BK) juga menyoal dua hal penyebab ketertinggalan perempuan
Indonesia, yaitu feodalisme dan kapitalisme (disebut kolonialisme oleh
Kartini). Soekarno dan Kartini sama-sama memilih revolusi untuk
menjebol dua sistem yang eksploitatif (diskriminatif) terhadap
perempuan tersebut.
Feminisme tak jarang dinyatakan tidak cocok dengan Indonesia.
Ini disebabkan, karena Feminisme hanya dipahami sebagai Feminisme ala
kebarat-baratan yang sangat liar yang hanya menuntut hak dan
mengeyampingkan. Padahal segala hal yang ada di dalam kehidupan
bernegara yang berlandaskan Pancasila, bersifat feminis. Isi Pancasila
telah mewakili setiap kelompok dan golongan serta terdapat unsur-unsur
feminism yang dapat diuraikan.
Pancasila lebih dari cukup dijadikan ideologi bagi Feminisme,
yaitu memberikan kebebasan perempuan memajukan diri, tetapi dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional. Pancasila merupakan bintang
penuntun untuk Feminisme.

B. Saran
Di tengah pertarungan antar-ideologi yang berkecamuk di
Indonesia itu, baru ada upaya bagaimana memposisikan Pancasila dalam
konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sejatinya, keprihatinan
terhadap Pancasila dan realitas kebangsaan saat ini sudah banyak
didiskusikan. Beberapa di antaranya menganggap bahwa problem
Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan, dan
inilah yang menimbulkan keraguan banyak orang akan kesaktian nilai-
nilai Pancasila dalam kenyataan sehari-hari. Oleh karena dirundung
keraguan inilah, maka terdapat problem bagaimana memperdalam
pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai
yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu
sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.37
Kuntowijoyo mengusulkan adanya proses “Radikalisasi Pancasila”.
Radikalisasi dalam arti ini adalah revolusi gagasan, demi membuat
Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata-
kelola dengan benar. Radikalisasi yang dimaksudkan adalah (1)
mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan
Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3)
mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produkproduk
perundangan, koherensi antarsial, dan korespondensi dengan realitas
sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal
(negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan (5)
menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.38
As’ad Said Ali merangkum setidaknya terdapat empat gagasan
dalam memosisikan Pancasila. Pertama, wacana Pancasila sebagai kontrak
sosial dan bukan sebagai ideologi. Dengan diletakkan sebagai kontrak
sosial, Pancasila tidak mungkin berbenturan dengan ideologi-ideologi atau
pandangan dunia, baik yang bersifat sekuler maupun keagamaan. Gagasan
ini diusung oleh Onghokham dan Andi Achdian.
Kedua,wacana Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Sebagai
ideologi bangsa, Pancasila dimiliki bersama oleh beragam suku bangsa di
Indonesia. Pancasila dapat berfungsi secara efektif sebagai perekat
keberagaman masyarakat Indonesia. Fungsi itu hilang tatkala Pancasila
diubah menjadi ideologi negara. Mochtar Pabottinggi adalah salah seorang

37
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 47.
38
Ibid, hlm. 48.
penggagas Pancasila sebagai ideologi bangsa ini. Hampir mirip dengan
Mochtar adalah Azyumardi Azra yang mengusulkan Pancasila sebagai
common platform dan identitas nasional negara-bangsa Indonesia. Dengan
cara seperti ini, Pancasila tetap efektif sebagai alat pemersatu bangsa.
Ketiga, wacana Pancasila sebagai visi bangsa dan negara. Pancasila
adalah cita-cita atau harapan yang hendak diraih, bukan kondisi faktual
sekarang. Pandangan ini didasarkan pada argumen bahwa terlalu banyak
kondisi faktual yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Sebagai visi bangsa
dan negara, Pancasila ibarat kompas yang membantu meluruskan langkah
ke mana bangsa dan negara meluruskan langkah dan perjuangan.
Penggagas Pancasila sebagai visi bangsa dan negara ini adalah Herry
Priyono dan Achmad Fedyani Saifudin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Asad Said.2000. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3ES
Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Badan Sosialisasi MPR RI. 2017.Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Basyir, Kumawi. 2013. Pancasila Dan Kewarganegaraan. Surabaya: Sunan
Ampel Press.
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Djamali, Abdoel. 2018. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Fakih, Mansoer. 1995. Menggeser Konsepsi Gender Dan Tranformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fitalaya, Aida. 1997. “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam
Dadang S. Anshori (ed) Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah.
Jackson, Stevi dan Jackie Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Feminis
Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Lapian, L. M. Gandhi. 2012. Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan Dan
Keadilan Gender. Jakarta: Pustaka Obor.
Latif, Yudi. 2012. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Ollenburger, Jane C., Moore dan Helen A. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Ritzer, Geoge. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan
Sosial. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Sugihastuti. 2010. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tim Forza Pesantren. 2015.Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih
Siyasah Melalui Pendekatan Maqasid Syariah. Kediri: Lirboyo Press.
Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran.
Jakarta: Paramadina.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Jurnal Ilmiah
Hamid Fahmy Zarkasyi, Problema Kesetaraan Gender dalam Studi Islam,
Islamia, Volume III, No. 5, 2010.

Anda mungkin juga menyukai