A. Pendahuluan
Filsafat manusia merupakan bagian integral dari sistem filsafat, yang fokus
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Ditinjau dari sudut pandang ontologis,
filsafat manusia memiliki kedudukan yang relatif lebih penting karena semua
cabang filsafat, yakni etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika,
bermuara pada persoalan asasi berkenaan dengan esensi manusia. Adapun salah
satu pembahasan dalam filsafat manusia yang cukup mendapat perhatian dewasa
ini adalah fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala
sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.
Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang
ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta
membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti.
Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi
yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, a way of looking
at things.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu
kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
Filsafat Manusia
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
Jelasnya,
fenomenologi
mencoba
menepis
semua
asumsi
yang
Filsafat Manusia
Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan
sebagainya.
Dua,
karya
atau
pemikiran
utamanya.
Untuk
mengetahui
pikiran-pikiran
pokok.
Tulisan
ini
difokuskan
pada
pemikiran
fenomenologi menurut Edmund Husserl. Hal itu karena, ia tokoh pertama selaku
pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai
pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan
sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal.
Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa
yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu
yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap
penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja,
sudah merupakan fenomenologi.
Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu
sebagai
pembuka
cakrawala
pengetahuan
filsafat
pada
umumnya
dan
B. Riwayat Hidup
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk
seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav
Aibercht Husserl. Sebenarnya istilah fenomenologi pertama kali digunakan
oleh J. H. Lambert (1728 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh
Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan
istilah fenomenologi secara berbeda. Kemudian Edmund Husserl yang memakai
istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara
tepat. Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul Phenomenolgy of
Spirit. Pemaknaan Hegel terhadap teori fenomena dalam buku ini berbeda
dengan fenomena menurut Husserl. Menurut Hegel, fenomena yang kita
3
Filsafat Manusia
alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan
runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan
sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena
budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel
serta
menjadikannya
prinsip
dasar
untuk
perkembangan
semua
tipe
C. Tulisan-Tulisan Terpenting
1). Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan
logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran,
karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana
diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi
Filsafat Manusia
D. Pikiran-Pikiran Pokok
1. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan
logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi
Filsafat Manusia
pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena
berasal dari kata kerja Yunani phainesthai yang berarti menampak, dan
terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya.
Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam
bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau
sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.
Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas
di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada
dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi
ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran.2 Pertanyaannya, bagaimana
esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan
naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche
(penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa
penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada
dikotomi.3 (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain).
Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang
menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas,
saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan
menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang
dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang
kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari
pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep
filsafat sebagai ilmu yang rigoris4 (sikap pikiran di mana dalam pertentangan
2 Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. 2005. hlm. 151.
3 (Dalam KBBI (Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru),
Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam
dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang berpasangan; pembagian dua konsep yang
bertentangan satu sama lain)
Filsafat Manusia
Gramedia, 2005, hlm.957. Rigoris merupakan suatu sikap pikiran di mana dalam
pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan, bersikeras
mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat.
7
Filsafat Manusia
Filsafat Manusia
dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin
atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap
sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya
ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang
terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi
selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak
boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek dalam
kardus.
Pengalaman bukan sebuah celah yang mana dunia, hadir terpisah
darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya,
sosok yang mengalami, wujud yang dialami ada di sana dan di sana
sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana
pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya.6
gejala
sendiri
dapat
memperlihatkan
(memperlihatkan diri).
6 Adian, Donny Gahral. Op.cit. hal. 141.
7 Hamersma, Harry. Op.cit. hlm. 117.
9
diri,
menjadi
fenomin
Filsafat Manusia
E. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik
secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena
yang masih panas dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa; salah satunya tentang global warming. Adapun fenomena yang
baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat
melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta
ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya
terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan
gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah
keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini,
ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena
alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk
diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya
sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering
mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu
ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya
janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata
kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu
pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan
orang kaya.
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini;
supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam
hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu
kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah
membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan
demikian kita akan menjadi pewaris pemikiran Husserl dan juga kita akan
dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama
10
Filsafat Manusia
F. Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun
masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat Nach den sachen selbst (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu
menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada bendabenda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia
tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut
fenomena.
Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya,
atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran
11
Filsafat Manusia
Daftar Pustaka
Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar
Komprehensif). Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.
Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad XX. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988.
Hamersma, Herry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia. 1983.
Hamersma, Herry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
Team Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru). Jakarta:
Pustaka Phoenix. 2007.
12