Anda di halaman 1dari 17

Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat:

1. Dr.Muhammad Tamar,M.Psi
2. Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi.,Psikolog
3. Hillman Wirawan S.Psi.,MA

TUGAS KELOMPOK
FILSAFAT ORIENTAL

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Krisstoff Jacky Sawolson Sarman (C021191002)
Siti Nirmala Kusuma (C021191025)
Reski Ivana Putri (C021191033)
Puspa Akhlakul Karimah T. (C021191046)
Nur Isra Nopianti (C021191051)
Nadia Kusumah Wardani (C021191054)

Kelas Psikologi B 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2019
FILSAFAT CINA

A. PENDAHULUAN
Masa dinasti Zhou (1122-255 SM) dikenal sebagai zaman klasik kebudayaan Cina.
Dapat dibandingkan dengan zaman emas kebudayaan Yunani. Seperti halnya kebudayaan
klasik Yunani menjadi norma bagi kebudayaan Barat, demikian pula kebudayaan Zhou
menjadi model bagi kebudayaan Cina.
Di masa dinasti Zhou ini, khususnya periode abad 6 hingga abad 3 SM
berkembanglah filsafat Cina kuno, yang melahirkan apa yang dinamakan Seratus Mazhab
filsafat. Masa dinasti Zhou merupakan puncak kegiatan intelektual, sosial, dan politik di
Cina. Di masa itu segala pranata dan konvensi yang mapan digugat dan dikritik. Dari
gugatan dan kritik-kritik itulah lahirlah filsafat. Orang memang berfilsafat kalau dia merasa
bahwa dunia tidak seperti yang diidamkannya.
Semua filsuf besar dari dinasti Zhou berusahan memecahkan kekalutan sosial dan
politik yang terjadi waktu itu. Cara pemecahan yang dianjurkan oleh para filsuf itu tidak
sama. Maka muncullah aneka aliran pemikiran dan sistem filsafat di Cina. (Sastrapratedja:
27)

B. CIRI-CIRI FILSAFAT CINA


Filsafat Cina mempunyai beberapa ciri sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan sastra. Kesusastraan dan tulisan filsafat Cina lahir pada waktu
bersamaan, yakni abad 9 hingga abad 8 SM. Di Cina, menjadi orang berbudaya berarti
menjadi orang terpelajar dengan filsafat sebagai bagian utamanya.\
Kebanyakan penulis prosa sering menganggap diri sebagai filsuf dan berusaha
menyumbang sesuatu untuk pengetahuannya. Sebaliknya, para filsuf Cina juga
menjadi sastrawan. Mereka menuliskan hasil pemikiran dalam karya sastra.
Karena filsafat terkait erat dengan sastra, orang yang ingin belajar filsafat Cina pasti
memperlajari sastra Cina. Begitu pula sebaliknya. Ciri ini sebetulnya juga
memperlihatkan perbedaan filsafat Barat dan filsafat Timur. Filsafat Barat, kecuali
beberapa filsuf eksistensialis, selalu ditulis dalam bentuk uraian diskursif.
(Sastrapratedja: 10)
2. Lebih antroposentris dibanding filsafat Barat dan filsafat India.
3. Lebih pragmatis. Selalu mengajarkan bagaimana orang harus bertindak demi
keseimbangan antara dunia dan sorga.

C. PERIODISASI FILSAFAT CINA


Filsafat Cina dapat dibagi dalam empat periode besar, yakni:
1. Zaman Klasik (600 – 200 SM)
Di masa ini lahirlah Seratus Madzab Filsafat, yang mengajarkan ajaran yang
berbeda satu sama lain. Seratus madzab itu biasanya dikelompokkan dalam enam aliran
besar, yakni :
a. Konfusianisme
Aliran ini didirikan oleh Kong Fu Tse, artinya guru dari suku Kung (551-
497 SM). Konfusianisme mendominasi alam pemikiran Cina selama 25 abad.
Pemikiran Kong Fu Tse mementingkan ritual dan harus menguasai aspek
keagamaan dan sosial. Ia mengatakan, bahwa hendaknya raja tetap raja, hamba
tetap hamba, ayah tetap ayah, anak tetap anak. Apabila sikap setiap orang sesuai
dengan statusnya, maka akan lahir kesadaraan akan “hak, dan kewajiban”. Sistem
kekerabatan harus didasarkan pad syian, yaitu suatu perasaan keterikatan terhadap
orang-orang yang menurunkannya.
b. Taoisme
Pendiri Taoisme adalah Lao Tze, lahir tahun 604 SM. Dalam arti yang luas,
Tao berarti jalan yang dilalui kejadian-kejadian alam dengan daya cita yang timbul
dengan sendirinya ditambah selingan-selingan yang teratur. Misalnya, siang dan
malam. Semua orang yang mengikuti Tao harus melepaskan semua usaha. Tujuan
tertinggi adalah meloloskan diri dari khyalan keinginan dengan renungan secara
gaib.
Pemikirannya, orang hendaknya memberikan kasih sayangnya tidak hanya
terbatas pada para anggota keluarganya saja, tetapi harus kepada seluruh anggota
keluarga yang lain. Peperangan dan upacara ritual dengan pengeluaran biaya yang
tinggi yang akan merugikan rakyat merupakan suatu yang bertentangan dengan
dasar kecintaan manusia sehingga harus dicela. Kalau kita sayang kepada orang
lain, orang lain juga akan sayang kepada kita, dan kita tidak perlu takut akan
kejahatan orang lain. Taoisme menjunjung tinggi Tao dan alam. Itulah sebabnya
jalan pemikiran Taoisme disebut naturalistik.
c. Mohisme
Mohisme didirikan oleh Mo Tse atau Mo Zi (470-391). Aliran ini bersifat
utilitaristis dan pragmatis. Artinya, baik-buruknya sesuatu tindakan bergantung dari
pertimbangan untung-ruginya. Yang memberi keuntungan itu baik, yang merugikan
itu jahat. Mohisme dimaksudkan untuk kalangan rakyat kebanyakan. Jadi,
bertentangan dengan Taoisme dan Konfusianisme yang aristokratik.
Inti ajaran: “Untung adalah apa yang orang ingin miliki; rugi adalah apa
yang orang tak ingin memiliki”, kata Mo Zi. Untung artinya apa yang menghasilkan
lebih banyak kebaikan daripada kejahatan. Sedangkan kejahatan adalah
menghasilkan lebih banyak kejahatan daripada kebaikan. Itulah sebabnya,
dikatakan, bahwa manusia harus sering-sering membatalkan keuntungan jika pada
akhirnya keuntungan itu membawa kerugian. Begitu pula, orang harus siap
mengalami kerugian jika kerugian itu pada akhirnya membawa kepada kebaikan.
Mohisme mengajarkan cinta universal. Rakyat Cina harus percaya kepada
Sang Langit sebagai daya aktif yang menampilkan cinta kepada semua orang,
karena Sang Langit, baginya adalah yang paling “berguna” bagi keuntungan negara
dan rakyat.
Mo Zi sendiri menentang kemewahan, upacara pemakaman yang boros,
masa kabung yang berkepanjangan, dan upacara-upacara feodal yang
menghamburkan kekayaan.
d. Legalisme
Aliran Fa atau legalisme dikaitkan dengan nama Guan Zhong, seorang
menteri keamanan dari negeri Qi pada abad 7 SM. Legalisme menekankan sopan
santun, keadilan, kejujuran, dan penguasaan diri.
Legalisme berasal dari ajaran Shi (Otoritas) menurut Shen Dao, ajaran shu
menurut Shen Buhai, dan fa (Hukum) menurut Shang Yang. Kaum legalis
mendukung pemerintahan yang kuat, otokratis, dan menggunakan hukum yang kuat
dan otokratis.
Aliran ini mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus dimulai dengan
contoh yang baik oleh kaisar atau para pembesar lain, tetapi dari suatu sistem
undang-undang yang sangat ketat.
e. Aliran Yin-Yang
Aliran ini sebetulnya merupakan cabang dari Taoisme. Aliran ini
mengajarkan tentang adanya prinsip yin (betina) dan yang (jantan) sebagai dua
prinsip dalam alam. Interaksi anatara Yin dan Yang itulah yang menimbulkan
perubahan di alam semesta.
Yin adalah prinsip pasif, prinip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan,
simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang adalah prinsip aktif, prinsip
gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, simbol untuk hidup.
f. Aliran Nama-nama: Sofisme
Aliran Nama-nama disebut juga Ming Chia. Mereka ini menyibukkan diri
dengan analisa istilah-istilah dan kata-kata. Disebut juga sekolah dialektik. Aliran
ini dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka
digunakan untuk menganalisa dan mengkritik dalam kaitan dengan masalah
kebahasaan.

2. Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M)


Pada abad 3 SM hingga tahun 1000 Masehi, Cina disusupi oleh unsur-unsur
kebudayaan asing. Buddhisme dari India, setelah bercampur dengan Taoisme Cina,
berkembang subur dan mebayang-bayangi Konfusianisme.
Patut diperhatikan perbedaan antara ungkapan Buddhisme Cina dan
Buddhisme di Cina. Ungkapan yang kedua menunjukkan Buddhisme yang terkait pada
tradisi India dan tidak berperan besar dalam perkembangan filsafat Cina. Ia diwakili
Aliran Idealisme Subyektif atau Xiang Zong (atau Weishi Zong alias Aliran
Vijnavada).
Sedangkan ungkapan yang pertama adalah bentuk Buddhisme yang dekat
dengan pemikiran Cina. Aliran ini diwakili oleh Aliran Jalan Tengah, atau Sanlong
Zong (alias Aliran Madhyamika). Buddhisme Aliran Jalan Tengah ini mirip dengan
Taoisme Cina. Pertemuan antara Aliran Jalan Tengah dan Taoisme Cina melahirkan
Aliran Chan (di Jepang dikenal sebagai Zen atau Dhyana).
Jadi, Channisme adalah sinstesa antara unsur-unsur Buddhisme India dengan
Taoisme, dan sebab itu dinamakan Neo-Taoisme. Di sini, Tao dibandingkan dengan
Nirwana dari ajaran Buddhisme. Para pengikutnya berusaha untuk, melalui meditasim
mengidentifikasi budi individu dengan Budi Semesta. Jadi, lewat kegiatan meditasi
atau diam diri dicapai kesatuan antara budi individu dan Budi Semesta.

3. Zaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)


Neo-Konfusianisme merupakan ringkasan atau revisi dari etika, moral, dan
kepercayaan dari kepercayaan masa lampau dan tetap berpegang pada semangat
zaman itu. Neo-Konfusianisme memuat prinsip-prinsip Konfusianisme dalam bentuk
baru, dicampur unsur Buddhisme. Sebagaimana halnya sintesa Buddhisme dan
Taoisme menghasilkan Channisme, maka Konfusianisme berinteraksi dengan
Buddhisme dan menghasilkan Neo-Konfusianisme (atau Li-isme).
Buddhisme menggambarkan nirvana sebagai keadaan budi yang tenang,
Konfusianisme sebaliknya menggambarkan keadaan esensial alam semesta dan budi
manusia berada dalam aktivitas terus-menerus. Neo-Konfusianisme mengembangkan
konsep tentang “tenang yang ada dalam kegiatan konstan, dan kegiatan dalam
ketenangan konstan”. Neo-Konfusianisme melukiskan budi dengan berbagai cara,
misalnya: Budi itu bagaikan cermin. Aneka gambar yang jatuh di permukaannya giat
tiada hentinya,tapi cermin itu tetap tenang dan tidak rusuh. Budi itu bagaikan matahari.
Awan-awan lewat dan musnah di bawahnya, tetapi matahari itu sendiri tetap konstan
dan tidak terpengaruh. Budi itu bagaikan permukaan laut yang cukup luas. Ombak
naik dan turun, tapi permukaannya tetap tenang dan tak mengganggu. Budi itu aktif,
tetapi sementara ia aktif, ia tetap tenang. Keadaan budi yang paling tinggi dan terbaik
adalah tenang sekaligus aktif.
Buddhisme menganggap kehidupan ini adalah laut kepahitan. Hidup itu
bagaikan mimpi, tidak nyata. Buddhisme mengembangkan filsafat tentang Dunisini.
Mereka menyibukkan diri dengan hubungan antarmanusia dan kebajikan manusia, tak
peduli dengan persoalan rumit tentang ontologi dan adikodrati.
Neo-Konfusianisme menggabungkan kedua pandangan itu, mengakui ke-sana-
an sekaligus ke-sini-an dunia. Neo-Konfusianisme berusaha membuat yang ilahi
menjadi manusiawi, dan yang manusiawi menjadi ilahi. Sibuk dengan urusan dunia,
tapi juga menggunakan hal-hal adikodrati.
Pusat filsafat Neo-Konfusianisme adalah Li (atau pikir), yang dinamakan Tao
dalam Taoisme (Sastrapratedja: 7-8; Hamersma 34).

4. Zaman Modern (1900 – sekarang )


Dalam sejarah Cina, periode Dinasti Manzhu (1644 – 1911) dan pemerintahan
Republik (1911) ditandai skeptisisme. Semua pranata yang sudah mapan, perkawinan,
keluarga, masyarakat, negara, hukum, dipertanyakan. Masa ini sering dibandingkan
dengan zaman Renaissance di Eropa. Pada periode ini, ada tiga tendensi dalam filsafat
Cina, yakni :
a. Pengaruh Filsafat Barat: filsafat Barat mulai memasuki Cina, khususnya
pragmatisme dari John Dewey, dan sesudahnya Karl Marx. Hal ini disebabkan
oleh diterjemahkannya karya-karya para pemikir Barat ke dalam bahasa Cina.
Filsafat bergandengan tangan dengan perkembangan politik, sosial,
religius, dan artistik. Muncul para pemikir yang menekuni studi linguistik dan
kritik teks. Kuatnya pengaruh filsafat Barat itu ditopang oleh munculnya Gerakan
Kebudayaan Baru, dengan tokoh-tokohnya antara lain Hu Shi dan Chen Duxiu.
Mereka amat mengagumi Barat, menggunakan positivisme sebagai sumber
inspirasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah membuang Konfusianisme karena
dianggap sama dengan konservatisme masa lampau yang menghalangi gagasan-
gagasan baru.
b. Kecenderungan untuk kembali kepada filsafat pribumi.
c. Dominasi filsafat dan pemikiran Karl Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung sejak tahun
1950.

D. KESIMPULAN
Dalam membicarakan tentang filsafat Cina, ada tiga tema utama yang terdapat dalam
filsafat Cina, yakni:
1. Harmoni: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia
dan surga. Dihindari ekstrim, dan dicari jalan tengah.
2. Toleransi: nampak pada keterbukaan sikap terhadap pendapat yang berbeda. Ini
memungkinkan hidupnya pluriformitas budaya, termasuk agama.
3. Kemanusiaan: manusia merupakan pusat pemikiran filsafat Cina. Manusia
mengejar kebahagiaan di dunia dengan mengembangkan diri dalam interaksi
dengan alam dan sesama.

FILSAFAT KOREA

A. PENDAHULUAN

Korea Selatan merupakan salah satu Negara di Asia Timur yang pada saat ini
menjadi salah satu macan Asia karena pertumbuhan negaranya yang pesat. Hallyu Wave
merupakan kebudayaan korea yang telah banyak mempengaruhi masyarakat, tidak hanya di
Asia tapi juga di Amerika dan Eropa. Dibalik kemajuan Korea Selatan yang sangat hebat ini,
terdapat peristiwa yang membuat Negara korea selatan menjadi salah satu Negara termiskin
di dunia pada awal tahun 1950. Kemiskinan di Korea ini disebabkan oleh adanya perang
saudara antara Korea Selatan dan Korea Utara. Setelah gencatan senjata yang dilakukan
antara kedua Negara tersebut berhasil tercapai, rakyat Korea Selatan melakukan berbagai
upaya untuk memperbaiki kehancuran total yang dialami negaranya.

Pertumbuhan ekonomi Korea sejak kemerdekaan dan setelah kerusakan hebat akibat
perang Korea merupakan sebuah contoh keberhasilan pembangunan ekonomi nasional
yang paling luar biasa di dunia. Sejak Korea memulai pembangunan ekonomi pada
tahun 1962, ekonominya telah tumbuh menjadi salah satu yang tercepat di dunia.
Transformasi ekonomi di Korea sungguh spektakuler. Dalam waktu kurang dari 30
tahun Korea Selatan maju pesat dari sebuah negara pertanian menjadi negara industri
dan perdagangan. Pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan yang sangat menakjubkan ini
tidak lepas dari peran masyarakatnya yang terus bekerjasama dalam membangun kembali
Korea Selatan. Faktor lain yang juga sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan adalah faktor budaya yang sampai sekarang masih mengakar kuat di dalam
masyarakat Korea Selatan, budaya itu disebut Konfusianisme.

Konfusianisme sendiri sudah masuk ke daratan Korea sejak beribu tahun


sebelumnya, Konfusianisme di Korea berkembang dari masa ke masa. Konfusianisme
berkembang pertama kali dari zaman Tiga Kerajaan dan semakin berkembang di masa
Dinasti Koryo, Dinasti Choson, setelah kemerdekaan dan pada masa budaya kontemporer
Korea, bahkan pada masa Dinasti Koryo dan Dinasti Choson, Konfusianisme dijadikan
sebagai ideologi negara. Pada masa Dinasti Choson, dibangun sekolah-sekolah untuk
mempelajari mengenai Konfusianisme dan pada masa ini pun berkembang doktrin Neo-
Konfusianisme yang ajarannya cukup berbeda dengan Konfusianisme, hal ini pun
mendapatkan protes keras dari para konfusiuskonfusius klasik.

Pokok- pokok ajaran Konfusius terletak pada Li, Ren, dan I. Jika manusia atau
masyarakat telah memegang teguh Li, Ren, dan, I, maka dunia akan damai. Li adalah adat
istiadat, menurut Kung Fu Tzu, ajaran ini harus dipegang teguh lebih dulu supaya
masyarakat tenang, Ren adalah peri kemanusiaan, dan I adalah perikeadilan, menurut Kung
Fu Tzu kalau masyarakat memegangn teguh Ren dan I, maka masyarakat akan hidup
tenteram dan sejahtera.

A. KARAKTERISTIK FILSAFAT KOREA


Di Korea Selatan, ajaran moral Konfusius disebut dengan Samgangoryun, yang
artinya adalah tiga prinsip utama dan lima norma etika (Oryun) yaitu hubungan antara
penguasa dengan yang dikuasai, hubungan antara orang tua dengan anak, hubungan antara
suami dengan istri, hubungan antara saudara tua dengan saudara muda, hubungan antara
teman dengan teman.. Samgangoryun sendiri merupakan ajaran- ajaran yang mengatur
mengenai struktur sosial dan interaksi sosial antar masyarakat yang tidak jauh berbeda
dengan ajaran Li yang dikembangkan oleh kung Fu Tzu.

Konfusianisme di Korea Selatan bukanlah sebuah agama, akan tetapi Konfusianisme


yang ada di Korea Selatan merupakan sebuah filosofi hidup, seperti yang dikemukakan oleh
Eckert : “First, despite the recent focus on Confusianism, it is important to keep in mind that
it is only one of several great religious or philosophical traditions in Korea” (Eckert, C. J,
1990: 409). Filosofi filosofi Konfusius lah yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat Korea Selatan sampai saat ini, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan
budaya yang ada pada masyarakat Korea Selatan, seperti yang dikemukakan di dalam jurnal
yang ditulis oleh Dosen Universitas Mokpo, Kim Hye On dan Dosen Universitas Leipzig,
Jerman, Siegfried Hoppe-Graff

B. KESIMPULAN

Menurut pendapat di atas, Konfusianisme sangat berpengaruh terhadap struktur


sosial yang ada di dalam masyarakat Korea Selatan sejak abad ke-14. Prinsip Konfusianisme
dalam struktur sosial akan membedakan tugas dan peranan dari laki-laki dan perempuan.
Prinsip Konfusianisme biasanya akan meninggikan laki-laki, contohnya dalam lingkungan
keluarga, laki-laki tertua di dalam suatu keluarga akan mempunya otoritas tertinggi, semua
anggota keluarga akan melakukan segala yang diperintahkan oleh anak laki-laki tertua tanpa
protes. Hal ini berkaitan dengan prinsip Konfusianisme yang ada di Korea Selatan (Ministry
Of Culture and Information, 1998: 442).

Nilai-nilai Konfusianisme mempengaruhi lingkungan sosial yang ada di Korea


Selatan yang sangat menguntungkan program ekonomi pemerintah di Korea Selatan. Jadi,
antara struktur sosial yang berdasarkan ajaran Konfusius dan pertumbuhan ekonomi di
Korea mempunyai suatu hubungan antara satu sama lainnya. Elemen-elemen Konfusianisme
masih berpengaruh kuat dalam sistem hirarki, organisasi, dan administrasi hingga saat ini di
Korea. Tradisi konfusianisme yang ketat mempengaruhi hubungan sosial antar individu di
Korea sehingga formalisasi sangat diperlukan bagi interaksi individu yang umurnya berbeda
jauh.

FILSAFAT JEPANG

Kitetsugaku (disingkat dari kikyūtetsuchi, "ilmu mencari hikmat") merupakan istilah


filsafat di negara Jepang yang berarti ilmu mencari kebenaran/kebijaksanaan. Istilah ini
diperkenalkan oleh Nishi Amane (1829-1897) pada tahun 1862 ketika ia sedang mempersiapkan
kuliah-kuliahnya di Yunani dan Eropa. Dua belas tahun kemudian ia menyingkat istilah tersebut
menjadi tetsugaku di mana istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang
dirasakan menguntungkan jepang, sebagai suatu kondisi yang diperlukan untuk membangun
masyarakat modern. Tetsugaku adalah kata dalam bahasa Jepang untuk filsafat.

Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak cukup untuk membuktikan bahwa filosofi
Jepang ada, karena bisa dikatakan (sebagai bahkan beberapa filsuf Jepang berpendapat) bahwa
filsafat adalah sesuatu yang diimpor ke Jepang dari China (dan kemudian dari Barat) dan bahwa
Jepang benar-benar ada di dalamnya.

Alam pikiran bangsa Jepang paling tidak dibentuk dari tiga ‘ajaran’ yang bersinkretisme
sejak berabad-abad lamanya. Ketiga ajaran tersebut dikenal dengan sebutan Shintoisme sebagai
ajaran asli bangsa Jepang, kemudian Konfusanisme dan Budhisme yang diadopsinya dari bangsa
Cina dan Korea. Kristalisasi dari sinkretisme ini telah mempengaruhi bangsa Jepang di dalam
melakukan kehidupan sehari-hari yang diperlihatkan di dalam catatan sejarahnya.

A. SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT JEPANG


Buddhisme
Buddhisme merupakan salah satu sumber-sumber utama filsafat Jepang. Buddhisme
yang tersebar dan disesuaikan dengan budaya yang berbeda sehingga pada penyebaran ini
mengakibatkan Buddhisme Cina yang paling langsung mempengaruhi pemikiran Jepang.
Tokoh utama penyebaran agama buddha di Jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-
621 M) yang naik tahta pada 593 M, yang peranannya dalam agama Buddha. Ia juga
menetapkan agama Buddha sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci
Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga sekarang. Pada waktu itu diperkenalkan ke
Jepang, Cina Buddhisme, sangat dipengaruhi oleh idealisme Yogacara realitas empiris
dipahami sebagai sesuatu yang kosong (sunyata), tipuan pikiran yang harus diatasi. Tujuan
akhir adalah untuk membuktikan kekosongan (sunyata) dari semua mode akar intelektual
yang disajikan alam semesta-dengan fokus mengenai pengalaman nyata , yang transenden
(atīndriya).
Ajaran Budha di Jepang mencapai masa keemasannya pada masa Feodal yang
dikenal sebagai yang Era Tokugawa. Hal ini bisa dilihat dari jejak-jejak historis yang di
antaranya berupa seni patung, seni pahat, dan lukis pada kuil-kuil dan bentuk-bentuk
arsitektur pada jaman ini.

Konfusianisme

Kon Fu Tse memasuki Jepang dengan gelombang besar pertama pengaruh Cina
antara abad ke-6 dan ke-9, tapi agama Kon Fu Tse tampaknya dikalahkan oleh agama
Budha, sampai timbulnya sistem Tokugawa yang terpusat dalam abad ke-17.
Konfusianisme adalah sebuah agama disamping sebuah filsafat moral. Melalui
Konfusianisme, dikenal konsep pemerintahan sebagai sebuah keluarga besar, moral
Konfusianisme yang demokratis, kesetiaan antar pribadi dan pentingnya kerja keras
Namun setelah masuk ke Jepang, unsur-unsur keagamaannya menjadi semakin lemah, dan
yang dapat hidup terus hanya aspek sekulernya seperti filsafat etikanya yang berhubungan
dengan hubungan antarmanusia dan pemerintah dari suatu negara.

Kogaku
Kokugaku (bahasa Jepang, arti: studi nasional) adalah gerakan Kebangkitan Nasional
Jepang, atau suatu aliran filologi dan filsafat Jepang yang bermula pada masa pemerintahan
Tokugawa. Para sarjana kokugaku berusaha untuk mengubah fokus pembahasan keilmuan
Jepang agar menjauh dari studi-studi budaya Cina, Konfusianisme, dan teks agama Buddha
yang dominan pada saat itu, dan mendorong penelitian ke arah naskah-naskah klasik awal
Jepang. Tradisi yang kemudian dikenal dengan kokugaku ini dimulai pada abad 17 dan 18
sebagai Kogaku ("studi kuno") dan wagaku ("studi Jepang/Japanologi") atau inishie
manabi. Aliran tersebut banyak mengambil dari Shinto dan literatur kuno Jepang, yaitu
kembali ke zaman yang dianggap keemasan bagi budaya dan masyarakat Jepang.
Para sarjana kokugaku mengkritik moralitas represif para pemikir Konfusianisme,
dan berusaha untuk mengembalikan kebudayaan Jepang ke bentuknya semula sebelum
masuknya cara berpikir dan perilaku asing. Kokugaku berpendapat bahwa karakter
nasional Jepang secara alami adalah murni, dan kemegahannya akan terungkap setelah
pengaruh asing (Cina) dihapuskan. "Hati bangsa Cina" berbeda dengan "hati yang tulus"
atau "hati bangsa Jepang". Semangat Jepang yang sebenarnya ini perlu diungkapkan
dengan cara menghapuskan seribu tahun pembelajaran negatif dari bangsa Cina.
Shintoisme

Shinto (神道Shintō, secara harfiah bermakna "jalan/jalur dewa") adalah sebuah

agama yang berasal dari Jepang. Dari masa Restorasi Meiji hingga akhir Perang Dunia II,
Shinto adalah agama resmi di Jepang. Shinto ini sendiri baru dipergunakan untuk pertama
kalinya dalam menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama
konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad ke-6 M.
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa
Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional
sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak
hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya
juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini. Tujuan aliran agama ini
tentu berbeda dengan buddhisme. Tujuan Buddhisme adalah untuk 'melampaui alam, untuk
pindah dari keadaan alami yang mentah menjadi sebuah satu "pencerahan",
'sedangkan Shintois menyembah Kami (dewa) yang hadir di dunia sehari-hari. Namun
setelah Perang Dunia II, Shinto kehilangan statusnya sebagai agama resmi. Sebagian ajaran
dan kegiatan Shinto yang sebelumnya dianggap penting pada masa perang ditinggalkan
dan tidak lagi diajarkan. Sebagian lagi tetap bertahan, namun telah kehilangan konotasi
keagamaannya, misalnya omikuji (semacam undian untuk menebak keberuntungan).
Dewasa ini, generasi muda jepang memandang bahwa Shinto hanya merupakan
kepercayaan untuk para orang tua. Ketika panen berlimpah,mereka melakukan upacara
untuk mengucapkan terimakasih pada dewa inori (Dewa Pertanian). Aktifitas ini dipandang
generasi muda Jepang sebagai sesuatu yang kuno dan akan tergusur oleh jaman. Fenomena
ini sebagai salah satu contoh terjadinya degradasi terhadap keberadaan dan penghormatan
terhadap Tenno (Kaisar), terutama yang melanda kelompok generasi muda jepang. Kondisi
ini melahirkan aliran kanan (Uyoku), yaitu sekelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan nama dan kekuasaan Kaisar sebagai upaya untuk mengkonter degradasi
tersebut. Uyoku pada umumnya didukung oleh generasi tua (60 tahun ke atas), dan dikenal
sebagai kelompok yang keras (radikal). Kelompok ini percaya bahwa dari pengalaman
sejarah dan kebudayaan Jepang, Tenno akan memberikan rasa aman, dan bukan Jepang
lagi kalau tanpa Tenno. Mereka merasakan bahwa walaupun penguasa pemerintahan
berganti-ganti, pada akhirnya Tennolah yang akan menjadi penentu keselamatan Negara,
seperti yang dibuktikan oleh sejarah bangsa ini.
Berbicara tentang cara berpikir atau ‘way of life’ tentunya tidak dapat dilepaskan
dari ajaran-ajaran yang kemudian dijadikan falsafah hidup oleh kelompok bangsa ini.
Kendati bagi sebagian besar generasi muda Jepang, sinkretisme ini menuju ke arah
sekularisme, tetapi nilai-nilai spiritualnya masih akan sangat kuat berada dalam ‘mind set’
mereka. Alam pikiran bangsa Jepang sangat dipengaruhi oleh paling tidak tiga “ajaran”
yang telah dijelaskan di atas yang bersinkretisme sejak beberapa abad yang lalu. Ketiga
ajaran tersebut terdiri dari Shintoisme sebagai ajaran asli, kemudian Konfusanisme dan
Budhisme yang diadopsinya dari bangsa China dan Korea. Oleh karena itu, akan dijelaskan
mengenai hubungannya pembentukan ethos kerja bangsa ini yang dikenal ulet, disiplin dan
kecenderungan ‘workholic’ dengan peran-peran berbagai aliran filsafat yang muncul dan
mempengaruhi karakter dan perilaku bangsa Jepang.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y., di Cina, Konfusianisme menekankan pentingnya
faktor efisiensi, harmoni dan sekaligus integrasi dari berbagai bagian yang berbeda dari
masyarakat dalam usaha produksi. Di Jepang, Konfusanisme lebih menekankan akan
pentingnya subordinasi tanpa pamrih dan total dari seluruh bagian masyarakat untuk
kepentingan satu kolektivitas secara keseluruhan. Prinsip subordinasi yang menyeluruh
tersebut terlihat jelas dalam etika kelas samurai Jepang. Mereka memiliki kewajiban, tugas
dan tanggung jawab tanpa batas kepada sang kaisar, tanpa memperhitungkan kepentingan
diri sendiri. Etika kerja samurai ini menyebar ke seluruh masyarakat Jepang pada masa
Tokugawa. Melalui panggilan dan tanggung jawab tanpa batas ini, masyarakat Jepang
mampu bergerak menuju satu arah yang jelas dalam memenuhi kewajibannya tersebut
kepada sang penguasa (kaisar). Kondisi ini membuat para kelas samurai sigap dan siap
ketika jepang memasuki Era Meiji yang kemudian dikenal dengan istilah Restorasi Meiji.

Pada saat ini, warisan kelas samurai yang telah berubah menjadi kelompok
usahawan secara nyata menjelma dalam kelompok Zaibatsu. Kegigihan mereka dalam
mengumpulkan kekayaan tidak hanya ditujukkan bagi dirinya dan kelompoknya, tetapi
merupakan bentuk pengabdian kepada Negara melalui pembangunan di bidang ekonomi,
Bellah menunjuk bagaimana aturan-aturan diberlakukan oleh Iwasaki, samurai pendiri
Mitsubishi yang menggambarkan tentang etika samurai beradaptasi dalam wiraswastawan
modern.

Aturan yang dimaksud, antara lain menyebutkan tentang etika menjalankan semua
bentuk usaha dengan memegang teguh janji demi kepentingan Negara,dan berdasar kepada
spirit yang kuat untuk melayani kepentingan umum. Di samping itu, etika mensyaratkan
agar menjadi pekerja keras yang tangguh dengan tetap memperhatikan kepentingan dan
perasan orang lain, serta perlakuan yang egaliter terhadap pekerja. Hal yang patut dicatat
adalah aturan yang mengajarkan etika untuk bersikap keras kepala ketika akan mendirikan
perusahaan baru dan berhati-hati dalam pengelolaannya.
Aturan-aturan yang berkenaan dengan etika tersebut merembes dengan pasti pada
keluarga-keluarga pedagang yang membentuk seperangkat nilai etika tentang kejujuran,
kualitas, nama baik yang selalu dijunjung tinggi yang pada gilirannya merupakan
dukungan terhadap nilai-nilai universal dalam dunia perdagangan dan telah memberikan
dorongan terhadap lahir dan tumbuh kembangnya embrio ekonomi rasional pada Jepang
modern.

B. KARAKTERISTIK FILSAFAT JEPANG


Filsafat jepang dipengaruhi oleh ketiga ajaran yang terdiri dari Shintoisme sebagai
ajaran asli, kemudian Konfusanisme dan Buddhisme yang diadopsinya dari bangsa China
dan Korea. Sementara, masyarakat jepang mudah untuk mengkristalisasikan sinkretisme
aliran-aliran tersebut.
Alasan mengapa sinkretisme tiga “agama” di Jepang begitu relatif mudah terwujud,
karena Shinto tidak mempertanyakan masalah akhirat, dan Mahayana (Budha) bukanlah
agama yang ekslusif dan mudah menyesuaikan diri dengan keyakinan setempat, agama
Budha dan Shinto mudah rukun bersama-sama, dan kuil-kuil Shinto sering secara
administrative berhubungan dengan biara-biara Budha. Orang Jepang pra-modern biasanya
menganut agama Budha dan Shinto sekaligus, dan sering pula banyak yang menjadi
penganut Kong Fu Tse di mana karna lebih menekankan akan pentingnya subordinasi
tanpa pamrih dan total dari seluruh bagian masyarakat untuk kepentingan satu kolektivitas
secara keseluruhan.
C. KESIMPULAN
Dewasa ini, sekalipun generasi muda Jepang cenderung mulai menanggalkan baju-
baju religi seperti halnya generasi sebelumnya, tetapi dalam kehidupan kesehariannya di
dunia kerja tidak bisa melepaskan diri dari tradisi yang berupa ritual-ritual yang berada di
lingkungan kerjanya. Kendati faktanya bangsa Jepang dalam hal ‘beragama’ cenderung
sekuler, tetapi kita dapat melihat bahwa etika dan moral bangsa Jepang ternyata telah
dibentuk sekian lamanya oleh ajaran-ajaran yang menjadikan mereka tetap sebagai bangsa
yang homogen, solid dan humanis, Sehingga, apabila semata-mata dilihat dari sosiologi
agama (religi sebagai agama), apa yang dinyatakan Elizabeth K. Nothingham (1997 : 42)
bahwa melalui ‘agama’ peranan sosial akan terwujud dalam bentuk-bentuk ikatan social,
baik berbentuk ritual, nilai-nilai, sistem-sistem kewajiban sosial dan lain-lain, telah dicapai
oleh bangsa Jepang dengan kesempurnaan perjalanan historisnya. Hal ini seperti yang
dapat kita lihat dari bagaimana keseharian bangsa Jepang dalam menjalani kehidupannya
yang tidak terlepas dari unsur harmonisasi antara nilai-nilai tradisi dan modernasi.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2016. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers

Blikololong, J.B. 1997. Pengantar Filsafat. Jakarta: Gunadarma. (E-book) diunduh dari :
http://elearning.gunadarma.ac.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=36

Putri, A.L. 2014. Konfusianisme Di Korea Selatan Kajian Mengenai Pengaruh Budaya
Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi, Dan Politik Masyarakat Korea. Bandung: Repositori
Universitas Pendidikan Indonesia.
http://repository.upi.edu/13384/4/S_SEJ_1006042_Chapter1.pdf (diunduh pada 29 Oktober
2019)

Lasiyo. 1997. Pemikiran Filsafat Timur dan Barat (Studi Komparatif). Yogyakarta:
Jurnal Online Universitas Gadjah Mada.
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/31643/19177 ( diunduh pada 29 Oktober 2019)

Yulifar, Leli. 2012. Bangsa Jepang : Sinkretisme, Sekulerisme dan Ethos Kerja.
Bandung: Direktori Universitas Pendidkan Indonesia.
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196412041990012-
LELI_YULIFAR/tulisan_unt_jurnal/Makalah_Unt_Aspensi.pdf (diunduh pada 30 Oktober
2019)

Anda mungkin juga menyukai