1. Dr.Muhammad Tamar,M.Psi
2. Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi.,Psikolog
3. Hillman Wirawan S.Psi.,MA
TUGAS KELOMPOK
FILSAFAT ORIENTAL
A. PENDAHULUAN
Masa dinasti Zhou (1122-255 SM) dikenal sebagai zaman klasik kebudayaan Cina.
Dapat dibandingkan dengan zaman emas kebudayaan Yunani. Seperti halnya kebudayaan
klasik Yunani menjadi norma bagi kebudayaan Barat, demikian pula kebudayaan Zhou
menjadi model bagi kebudayaan Cina.
Di masa dinasti Zhou ini, khususnya periode abad 6 hingga abad 3 SM
berkembanglah filsafat Cina kuno, yang melahirkan apa yang dinamakan Seratus Mazhab
filsafat. Masa dinasti Zhou merupakan puncak kegiatan intelektual, sosial, dan politik di
Cina. Di masa itu segala pranata dan konvensi yang mapan digugat dan dikritik. Dari
gugatan dan kritik-kritik itulah lahirlah filsafat. Orang memang berfilsafat kalau dia merasa
bahwa dunia tidak seperti yang diidamkannya.
Semua filsuf besar dari dinasti Zhou berusahan memecahkan kekalutan sosial dan
politik yang terjadi waktu itu. Cara pemecahan yang dianjurkan oleh para filsuf itu tidak
sama. Maka muncullah aneka aliran pemikiran dan sistem filsafat di Cina. (Sastrapratedja:
27)
D. KESIMPULAN
Dalam membicarakan tentang filsafat Cina, ada tiga tema utama yang terdapat dalam
filsafat Cina, yakni:
1. Harmoni: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia
dan surga. Dihindari ekstrim, dan dicari jalan tengah.
2. Toleransi: nampak pada keterbukaan sikap terhadap pendapat yang berbeda. Ini
memungkinkan hidupnya pluriformitas budaya, termasuk agama.
3. Kemanusiaan: manusia merupakan pusat pemikiran filsafat Cina. Manusia
mengejar kebahagiaan di dunia dengan mengembangkan diri dalam interaksi
dengan alam dan sesama.
FILSAFAT KOREA
A. PENDAHULUAN
Korea Selatan merupakan salah satu Negara di Asia Timur yang pada saat ini
menjadi salah satu macan Asia karena pertumbuhan negaranya yang pesat. Hallyu Wave
merupakan kebudayaan korea yang telah banyak mempengaruhi masyarakat, tidak hanya di
Asia tapi juga di Amerika dan Eropa. Dibalik kemajuan Korea Selatan yang sangat hebat ini,
terdapat peristiwa yang membuat Negara korea selatan menjadi salah satu Negara termiskin
di dunia pada awal tahun 1950. Kemiskinan di Korea ini disebabkan oleh adanya perang
saudara antara Korea Selatan dan Korea Utara. Setelah gencatan senjata yang dilakukan
antara kedua Negara tersebut berhasil tercapai, rakyat Korea Selatan melakukan berbagai
upaya untuk memperbaiki kehancuran total yang dialami negaranya.
Pertumbuhan ekonomi Korea sejak kemerdekaan dan setelah kerusakan hebat akibat
perang Korea merupakan sebuah contoh keberhasilan pembangunan ekonomi nasional
yang paling luar biasa di dunia. Sejak Korea memulai pembangunan ekonomi pada
tahun 1962, ekonominya telah tumbuh menjadi salah satu yang tercepat di dunia.
Transformasi ekonomi di Korea sungguh spektakuler. Dalam waktu kurang dari 30
tahun Korea Selatan maju pesat dari sebuah negara pertanian menjadi negara industri
dan perdagangan. Pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan yang sangat menakjubkan ini
tidak lepas dari peran masyarakatnya yang terus bekerjasama dalam membangun kembali
Korea Selatan. Faktor lain yang juga sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan adalah faktor budaya yang sampai sekarang masih mengakar kuat di dalam
masyarakat Korea Selatan, budaya itu disebut Konfusianisme.
Pokok- pokok ajaran Konfusius terletak pada Li, Ren, dan I. Jika manusia atau
masyarakat telah memegang teguh Li, Ren, dan, I, maka dunia akan damai. Li adalah adat
istiadat, menurut Kung Fu Tzu, ajaran ini harus dipegang teguh lebih dulu supaya
masyarakat tenang, Ren adalah peri kemanusiaan, dan I adalah perikeadilan, menurut Kung
Fu Tzu kalau masyarakat memegangn teguh Ren dan I, maka masyarakat akan hidup
tenteram dan sejahtera.
B. KESIMPULAN
FILSAFAT JEPANG
Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak cukup untuk membuktikan bahwa filosofi
Jepang ada, karena bisa dikatakan (sebagai bahkan beberapa filsuf Jepang berpendapat) bahwa
filsafat adalah sesuatu yang diimpor ke Jepang dari China (dan kemudian dari Barat) dan bahwa
Jepang benar-benar ada di dalamnya.
Alam pikiran bangsa Jepang paling tidak dibentuk dari tiga ‘ajaran’ yang bersinkretisme
sejak berabad-abad lamanya. Ketiga ajaran tersebut dikenal dengan sebutan Shintoisme sebagai
ajaran asli bangsa Jepang, kemudian Konfusanisme dan Budhisme yang diadopsinya dari bangsa
Cina dan Korea. Kristalisasi dari sinkretisme ini telah mempengaruhi bangsa Jepang di dalam
melakukan kehidupan sehari-hari yang diperlihatkan di dalam catatan sejarahnya.
Konfusianisme
Kon Fu Tse memasuki Jepang dengan gelombang besar pertama pengaruh Cina
antara abad ke-6 dan ke-9, tapi agama Kon Fu Tse tampaknya dikalahkan oleh agama
Budha, sampai timbulnya sistem Tokugawa yang terpusat dalam abad ke-17.
Konfusianisme adalah sebuah agama disamping sebuah filsafat moral. Melalui
Konfusianisme, dikenal konsep pemerintahan sebagai sebuah keluarga besar, moral
Konfusianisme yang demokratis, kesetiaan antar pribadi dan pentingnya kerja keras
Namun setelah masuk ke Jepang, unsur-unsur keagamaannya menjadi semakin lemah, dan
yang dapat hidup terus hanya aspek sekulernya seperti filsafat etikanya yang berhubungan
dengan hubungan antarmanusia dan pemerintah dari suatu negara.
Kogaku
Kokugaku (bahasa Jepang, arti: studi nasional) adalah gerakan Kebangkitan Nasional
Jepang, atau suatu aliran filologi dan filsafat Jepang yang bermula pada masa pemerintahan
Tokugawa. Para sarjana kokugaku berusaha untuk mengubah fokus pembahasan keilmuan
Jepang agar menjauh dari studi-studi budaya Cina, Konfusianisme, dan teks agama Buddha
yang dominan pada saat itu, dan mendorong penelitian ke arah naskah-naskah klasik awal
Jepang. Tradisi yang kemudian dikenal dengan kokugaku ini dimulai pada abad 17 dan 18
sebagai Kogaku ("studi kuno") dan wagaku ("studi Jepang/Japanologi") atau inishie
manabi. Aliran tersebut banyak mengambil dari Shinto dan literatur kuno Jepang, yaitu
kembali ke zaman yang dianggap keemasan bagi budaya dan masyarakat Jepang.
Para sarjana kokugaku mengkritik moralitas represif para pemikir Konfusianisme,
dan berusaha untuk mengembalikan kebudayaan Jepang ke bentuknya semula sebelum
masuknya cara berpikir dan perilaku asing. Kokugaku berpendapat bahwa karakter
nasional Jepang secara alami adalah murni, dan kemegahannya akan terungkap setelah
pengaruh asing (Cina) dihapuskan. "Hati bangsa Cina" berbeda dengan "hati yang tulus"
atau "hati bangsa Jepang". Semangat Jepang yang sebenarnya ini perlu diungkapkan
dengan cara menghapuskan seribu tahun pembelajaran negatif dari bangsa Cina.
Shintoisme
agama yang berasal dari Jepang. Dari masa Restorasi Meiji hingga akhir Perang Dunia II,
Shinto adalah agama resmi di Jepang. Shinto ini sendiri baru dipergunakan untuk pertama
kalinya dalam menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama
konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad ke-6 M.
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa
Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional
sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak
hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya
juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini. Tujuan aliran agama ini
tentu berbeda dengan buddhisme. Tujuan Buddhisme adalah untuk 'melampaui alam, untuk
pindah dari keadaan alami yang mentah menjadi sebuah satu "pencerahan",
'sedangkan Shintois menyembah Kami (dewa) yang hadir di dunia sehari-hari. Namun
setelah Perang Dunia II, Shinto kehilangan statusnya sebagai agama resmi. Sebagian ajaran
dan kegiatan Shinto yang sebelumnya dianggap penting pada masa perang ditinggalkan
dan tidak lagi diajarkan. Sebagian lagi tetap bertahan, namun telah kehilangan konotasi
keagamaannya, misalnya omikuji (semacam undian untuk menebak keberuntungan).
Dewasa ini, generasi muda jepang memandang bahwa Shinto hanya merupakan
kepercayaan untuk para orang tua. Ketika panen berlimpah,mereka melakukan upacara
untuk mengucapkan terimakasih pada dewa inori (Dewa Pertanian). Aktifitas ini dipandang
generasi muda Jepang sebagai sesuatu yang kuno dan akan tergusur oleh jaman. Fenomena
ini sebagai salah satu contoh terjadinya degradasi terhadap keberadaan dan penghormatan
terhadap Tenno (Kaisar), terutama yang melanda kelompok generasi muda jepang. Kondisi
ini melahirkan aliran kanan (Uyoku), yaitu sekelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan nama dan kekuasaan Kaisar sebagai upaya untuk mengkonter degradasi
tersebut. Uyoku pada umumnya didukung oleh generasi tua (60 tahun ke atas), dan dikenal
sebagai kelompok yang keras (radikal). Kelompok ini percaya bahwa dari pengalaman
sejarah dan kebudayaan Jepang, Tenno akan memberikan rasa aman, dan bukan Jepang
lagi kalau tanpa Tenno. Mereka merasakan bahwa walaupun penguasa pemerintahan
berganti-ganti, pada akhirnya Tennolah yang akan menjadi penentu keselamatan Negara,
seperti yang dibuktikan oleh sejarah bangsa ini.
Berbicara tentang cara berpikir atau ‘way of life’ tentunya tidak dapat dilepaskan
dari ajaran-ajaran yang kemudian dijadikan falsafah hidup oleh kelompok bangsa ini.
Kendati bagi sebagian besar generasi muda Jepang, sinkretisme ini menuju ke arah
sekularisme, tetapi nilai-nilai spiritualnya masih akan sangat kuat berada dalam ‘mind set’
mereka. Alam pikiran bangsa Jepang sangat dipengaruhi oleh paling tidak tiga “ajaran”
yang telah dijelaskan di atas yang bersinkretisme sejak beberapa abad yang lalu. Ketiga
ajaran tersebut terdiri dari Shintoisme sebagai ajaran asli, kemudian Konfusanisme dan
Budhisme yang diadopsinya dari bangsa China dan Korea. Oleh karena itu, akan dijelaskan
mengenai hubungannya pembentukan ethos kerja bangsa ini yang dikenal ulet, disiplin dan
kecenderungan ‘workholic’ dengan peran-peran berbagai aliran filsafat yang muncul dan
mempengaruhi karakter dan perilaku bangsa Jepang.
Menurut Suwarsono dan Alvin Y., di Cina, Konfusianisme menekankan pentingnya
faktor efisiensi, harmoni dan sekaligus integrasi dari berbagai bagian yang berbeda dari
masyarakat dalam usaha produksi. Di Jepang, Konfusanisme lebih menekankan akan
pentingnya subordinasi tanpa pamrih dan total dari seluruh bagian masyarakat untuk
kepentingan satu kolektivitas secara keseluruhan. Prinsip subordinasi yang menyeluruh
tersebut terlihat jelas dalam etika kelas samurai Jepang. Mereka memiliki kewajiban, tugas
dan tanggung jawab tanpa batas kepada sang kaisar, tanpa memperhitungkan kepentingan
diri sendiri. Etika kerja samurai ini menyebar ke seluruh masyarakat Jepang pada masa
Tokugawa. Melalui panggilan dan tanggung jawab tanpa batas ini, masyarakat Jepang
mampu bergerak menuju satu arah yang jelas dalam memenuhi kewajibannya tersebut
kepada sang penguasa (kaisar). Kondisi ini membuat para kelas samurai sigap dan siap
ketika jepang memasuki Era Meiji yang kemudian dikenal dengan istilah Restorasi Meiji.
Pada saat ini, warisan kelas samurai yang telah berubah menjadi kelompok
usahawan secara nyata menjelma dalam kelompok Zaibatsu. Kegigihan mereka dalam
mengumpulkan kekayaan tidak hanya ditujukkan bagi dirinya dan kelompoknya, tetapi
merupakan bentuk pengabdian kepada Negara melalui pembangunan di bidang ekonomi,
Bellah menunjuk bagaimana aturan-aturan diberlakukan oleh Iwasaki, samurai pendiri
Mitsubishi yang menggambarkan tentang etika samurai beradaptasi dalam wiraswastawan
modern.
Aturan yang dimaksud, antara lain menyebutkan tentang etika menjalankan semua
bentuk usaha dengan memegang teguh janji demi kepentingan Negara,dan berdasar kepada
spirit yang kuat untuk melayani kepentingan umum. Di samping itu, etika mensyaratkan
agar menjadi pekerja keras yang tangguh dengan tetap memperhatikan kepentingan dan
perasan orang lain, serta perlakuan yang egaliter terhadap pekerja. Hal yang patut dicatat
adalah aturan yang mengajarkan etika untuk bersikap keras kepala ketika akan mendirikan
perusahaan baru dan berhati-hati dalam pengelolaannya.
Aturan-aturan yang berkenaan dengan etika tersebut merembes dengan pasti pada
keluarga-keluarga pedagang yang membentuk seperangkat nilai etika tentang kejujuran,
kualitas, nama baik yang selalu dijunjung tinggi yang pada gilirannya merupakan
dukungan terhadap nilai-nilai universal dalam dunia perdagangan dan telah memberikan
dorongan terhadap lahir dan tumbuh kembangnya embrio ekonomi rasional pada Jepang
modern.
Blikololong, J.B. 1997. Pengantar Filsafat. Jakarta: Gunadarma. (E-book) diunduh dari :
http://elearning.gunadarma.ac.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=36
Putri, A.L. 2014. Konfusianisme Di Korea Selatan Kajian Mengenai Pengaruh Budaya
Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi, Dan Politik Masyarakat Korea. Bandung: Repositori
Universitas Pendidikan Indonesia.
http://repository.upi.edu/13384/4/S_SEJ_1006042_Chapter1.pdf (diunduh pada 29 Oktober
2019)
Lasiyo. 1997. Pemikiran Filsafat Timur dan Barat (Studi Komparatif). Yogyakarta:
Jurnal Online Universitas Gadjah Mada.
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/31643/19177 ( diunduh pada 29 Oktober 2019)
Yulifar, Leli. 2012. Bangsa Jepang : Sinkretisme, Sekulerisme dan Ethos Kerja.
Bandung: Direktori Universitas Pendidkan Indonesia.
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196412041990012-
LELI_YULIFAR/tulisan_unt_jurnal/Makalah_Unt_Aspensi.pdf (diunduh pada 30 Oktober
2019)