Anda di halaman 1dari 3

Revolusi Agama di Asia Tenggara: Animisme berhadapan dengan Agama Kitab Suci?

Dipublikasikan: 11/01/2005

Sebenarnya judul ini merupakan perluasan dari tulisan Anthony Reid, Dari Ekspansi
hingga Krisis (1999). Ada beberapa hal yang menurut pandangan saya perlu menjadi
perhatian disini. Asia Tenggara sekarang banyak disorot oleh Internasional karena
memiliki akar histois mengenai aliran fundamentalis agama-agama kitab suci, terutama
Islam. Sehingga yang menjadi perhatian disini adalah bagaimana konversi agama
sebelumnya bisa sangat mempengaruhi kondisi ini setelah banyak terjadi kejadiankejadian yang mengarah pada Islam garis keras ini, meskipun agama-agama kitab suci
seperti Kristen banyak berkembang di Asia Tenggara.

Perubahan yang mendasar pada masa kurun niaga pada karangan Antony Reid adalah
bidang agama dan budaya masyarakat (mentalitas). Orang Islam dan Kristen seperti
halnya orang Yahudi dan pengikut agama Cina, pada mulanya berada dalam keadaan
yang di Afrika dinamakan status karantina, diterima sebagai minoritas pedagang tetapi
tidak diharapkan akan mengubah agama penduduk setempat atau menerima mereka.
Keberhasilan utama Islam di wilayah bawah angin terjadi antara tahun 1400 dan 1650.
periode islamisasi dan kristenisasi yang paling kuat bertepatan dengan puncak kurun
niaga, yaitu masa membanjirnya perak tahun 1570-1630.
Perubahan-perubahan dalam loyalias keagamaan sedikit banyak bersifat permanen.
Masyarakat Islam, Kristen, Budha, Theravada, Konfusius, tetap tidak berubah dan pada
satu pihak identitas-identitas itu memisahkan Asia Tenggara dan dipihak lain menyatukan
dengan umat agama yang sama di belahan bumi lain. Namun jika diperhatikan ciri-ciri
kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut kepercayaan masyarakat, tampak bahwa dalam
kurun niaga muncul sikap menolak pada dunia nyata (material), jarak yang makin besar
antara manusia dan yang suci dan bangkitnya ukuran-ukuran lahiriah mengenai moralitas

personal, di samping persekutuan yang makin jelas antara Negara-negara yang makin
besar dan norma-norma lahiriah dari agama.
Menurut orang-orang Muslim yang saleh, Islam adalah ketundukan manusia kepada
Allah dan kewajiban untuk menyembah Dia sesuai dengan garis-garis yang telah
ditentukan. Untuk jangka waktu yang lama mereka telah terusik oleh praktek-praktek
upacara yang dilakukan oleh orang Jawa, tak diindahkannya aturan-aturan agama, bidah
mistisme, dan sebagainya, yang dilakukan oleh orang-orang yang sewarga dengan
mereka, yang kadang-kadang minum bir atau makan babi. Para aktivis keagamaan
mencoba untuk menciptakan kesadaran akan praktek-praktek yang ortodok atau bahkan
fundamentalisme, kesadaran akan kitab suci dan perintah-perintah, sebagai sesuatu yang
dipertentangkan dengan tambal sulam yang bersifat magis dan takhayul, atau pendek kata
sinkretisme.
Bahkan Niels Mulder (1999) dalam Agama, Hidup sehari-hari dan Perubahan Budaya
menulis, dengan demikian kita menemukan fundamenalisme, reformasi, berbagai sekte
dan tafsiran yang baru, dan segala macam renungan keagmaan, tetapi juga kebangkitan
klenik, praktek-praktek perantaraan dan perdukunan, mapun esoterisme. Semuanya itu
berkembang biak dan saling bersaing untuk menarik pengikut di Asia Tenggara pada saat
ini. Persaingan keagamaan yang amat hidup ini tidak dapat dipahami sebagai sesuatu
pertentangan sederhana antara paham murni (purisme) melawan sinkretisme. Kendati
demikian, sungguh demikian halnya, bahwa, khususnya di antara orang-orang yang
berpendidikan, pengetahuan mengenai agama formal, dan sering juga praktek yang
diabdikan terhadapnya, terus meningkat. Mengikuti kitab suci, entah itu Quran, Sharia,
Tripitaka, atau Injil, bahkan bisa dianggap sebagai tanda modernitas, bertentangan
dengan inti agama Asia Tenggara yang menganggap sah pengalaman pribadi, yang
menentang dogma, yang menekankan pentingnya lingkup mimpi, lingkup segala sesuatu
yang mungkin, dan yang diorientasikan ke masa dan hidup kini.
Mungkin saja pendapan Niels itu ada benarnya. Dia sendiri bisa menjelaskan mengenai
kondisi yang melaterbelakangi mengenai kejadian fundamentalisme yang belakangan

terjadi di Asia Tenggara. Dua hal yang tadi diungkapkan oleh Niels, yaitu fundamentalis
dan sinkretisme adalah dua hal yang seiring. Sehingga pertumbuhan kedua paham itu
akan selalu bersaing dalam upayanya untuk melakukan perkembangan pemahaman
mereka.
Sehingga adalah sangat naf jika kita melihat perkembangan fundamentalisme di Asia
Tenggara hanya diakitkan dengan isu Terorisme Internasional saja. Hal tiu seharusnya
bisa dilihat dari dua sisi. Bahwa fundamentalisme akan menjadi hal yang terus
berkembang. Sebagai penutup saya mengutip tulisan Goenawan Mumahad dalam majalah
Tempo sangat jelas menggambarkan perkembangan de-sekularisasi agama. Goenawan
menulis, kini abad ke-21, dan kita tahu bahwa teori agama candu, dan berger dan lainlain salah. Agama tak mati-mati. Teori sekularisasi secara telak telah terbantah. Dan pada
tahun 1997 Peter Berger sendiri mengakui kekeliruannya: ternyata dunia tak berubah jadi
sekuler, ternyata agama tampil lebih lantang.

Daftar Pustaka
Majalah Tempo Edisi 15-21 Maret 2004
Mulder, Niels,
1999 Agama, Hidup sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Reid, Anthony
1999 Dari Ekspansi hingga Krisis, Jilid II. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Bramastyo Bontas P
Ketua Badan Permusyawaratan KAMMI Daerah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai