Anda di halaman 1dari 6

AGAMA SEBAGAI MOTIF TINDAKAN SOSIAL DAN SUMBER

KETERASINGAN/LEGITIMASI SOSIAL

Disusun oleh:

Muhammad Yusuf Umar – 11160340000069

Fiqi Musyfiq – 11160340000034

Rhino – 11160340000145

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019
BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama menjadi motif sosial individu dalam berinteraksi

Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang
berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan
dalam masyarakat. Interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan
dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi
masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita
harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan
antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok
lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto di
dalam pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial. Dengan
tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antara satu dengan yang lainnya, maka tidak mungkin
ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara satu sama lain, maka
tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Jadi,
dapat disebutkan bahwa interaksimerupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial.

Interaksi sosial dikategorikan menjadi dua macam:


1.    Interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi
(hubungan atau gabungan), seperti : kerjasama, akomodasi, akulturasi, dan asimilasi
2.    Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk-bentuk
pertentangan atau konflik, seperti : persaingan, kontravensi, dan konflik.

Kebutuhan manusia terhadap agama dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk bergantung
kepada kekuasaan yang absolut disebabkan karena lemahnya manusia tatkala berhadapan dengan
alam. Pada dasarnya manusia itu sendiri tidak yakin terhadap kemampuan dirinya karena dalam
fakta sosial banyak sekali kejadian atau peristiwa yang di luar perkiraan manusia itu sendiri.
Perlu diingat bahwa agama dalam pandangan sosiologis terbatas hanya membicarakan pada
realitas agama sebagai fenomena sosial tanpa tertarik untuk membicarakan nilai kesucian yang
melandasi agama tertentu.

Asosiatif Agama

Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Teori
solidaritas Durkheim mengatakan bahwa mekanisme kepaduan sosial membuat masyarakat
bersatu. Dalam masyarakat tradisional direkatkan oleh nilai-nilai, kepercayaan atau agama yang
sama. Integrasi sosial seperti itu dikatakan sebagai solidaritas mekanik (mecanical solidarity).
[2]
  Mempersatukan, dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem
kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama
menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan
nilai-nilai sosial.

Disosiatif Agama

Meskipun peran agama dalam membentuk tatanan sosial yang rapi tak bisa tergantikan,
sejarah di sisi lain telah membuktikan bahwa agama-agama telah memicu perang yang memakan
korban cukup besar. Apa yang disebut dengan Perang Salib pada abad pertengahan di Eropa
adalah bukti bahwa agama tidaklah bebas dari naluri kebinatangan yang cenderung memaksa
terhadap antara satu dengan yang lain (homo homini lupus). Kenyataan ini pun masih tetap
terlihat di zaman modern ini, di Bosnia dan Jerusalem misalnya, meskipun tidak secara murni
merupakan perang agama, namun emosi-emosi keagamaan telah ikut memicu konflik-konflik itu.
Apa yang dikatakan Aloysius Pieris mengenai ambiguitas agama, yaitu bahwa agama dapat
bersifat membebaskan dan sekaligus meperbudak, di sini terlihat dalam wajahnya yang
memperbudak. Fanatisme agama adalah salah satu wujud dari sifat memperbudak agama itu.
Edward Schillebeeckx, seorang teolog belgia, berbicara tentang situasi kontras yang lazim
dialami umat manusia, yaitu kontras antara yang diidealkan dan yang dialami.

Konflik, kebencian, permusuhan, dan perang yang ditimbulkan atau yang disertai oleh
faktor agama itu tidak terjadi hanya antaragama saja, tetapi juga intraagama. Sebagai muslim kita
tidak dapat menyangkal peristiwa-peristiwa historis yang bmenyedihkan, menyakitkan dan
memalukan. Salah satu contohnya adalah kaum Khawarij ekstrim yang mengkafirkan orang-
orang muslim yang tidak sealiran dengan mereka. Atas nama agama, mereka menghalalkan
darah orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim  (arbitrase) sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan tentang kjilafah antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi
Sufyan.

Konflik intraagama ini tentu juga terjadi di agama lainnya, seperti Kristen misalnya.
Wajah bengis yang menakutkan secara terang-terangan pernah diperlihatkan oleh para pemimpin
Kristen yang fanatik, bengis, dan kaku. Reformis, gerakan keagamaan Kristen abad ke-16 yang
berhasil mendirikan gereja Protestan, mengundang perlawanan yang kerasa dari Gereja Katolik
Roma. Akibatnya, serangkaian perang telah menyeret Eropa dalam kekacauan selama 40 tahun.

B. Agama dan Kapitalisme Menurut Max Weber

Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama
adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek
pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran
agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan
mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian
menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) yang memiliki
pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun
tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah,
menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi,
sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut
Weber hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan
dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang
sangat penting dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die
Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-
doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan
industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi
perilaku individu.

Doktrin Calvin(ism) dan Semangat Kapitalisme

Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan


baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di
Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang
menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk
mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di
dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia
ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.

Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi
serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung
dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran
sukses dunia juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu
semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi
individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya.
Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat,
artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan
“jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan
keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.1

Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta
benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga

1
https://www.kompasiana.com diakses pada tanggal 14 Mei
sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja
yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam
perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi perkembangan lebih
lanjutkapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan
berpengaruh sangat kuat disana.

Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat


mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah
menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan
pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang
dikehendaki oleh Kar Marx.

Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-
ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real
ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi
sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat
dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi
keseluruhan kelompok manusia.

C. Agama: Sumber keterasingan masyarakat dari dunia sosialnya (Karl Max)

Kritik agama Feuerbach ternyata membuka cakrawala bagi Marx. Berdasar pemikirannya
Feuerbach, Marx menambahkan bahwa orang kristiani mempercayai bahwa Allah itu
menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Padahal yang menjadi kebenaran bagi Marx adalah
bahwa manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citranya. Kekuatan dan kemampuan manusia
lalu diproyeksikan ke dalam Tuhan yang dimunculkan sebagai yang Mahakuasa dan
Mahasempurna. Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan
sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan
yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu
penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan
solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata
dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang
dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material.
Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi
yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan.  Agama mengajak orang hanya
berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat  memperbaiki
kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk
memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan
untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya
berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material
yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa
kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah
membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia
terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang
untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai
keutamaan.

Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan
dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama
merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang
real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki
hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa.”

Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat
orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat
semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah
untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi
atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah
justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama
berarti menyingkirkan ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi
tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap
kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti  dari segala bentuk
ketertindasannya. Mereka (kelas bawah)  tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup
yang bahagia kelak sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini
dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama menjadi
pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki
kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.

Anda mungkin juga menyukai