Anda di halaman 1dari 271

SpiritHAK

BaruASASI
Hak MANUSIA
Asasi Manusia
dengan Spirit
Pertemuan La Ilaha
Barat dan Illallah
Islam?
Denny JA

Editor
Anick HT

Design & Layout


RHF.

First Edition, Februari 2018

Publisher

Inspirasi.co Book Project


(PT CERAH BUDAYA INDONESIA)
Menara Kuningan lt. 9G
Jalan HR. Rasuna Said Kav V Blok X-7, Jakarta Selatan
info@inspirasi.co | http://inspirasi.co

ii
iv
Hak Asasi Manusia dengan Spirit La
Spirit Baru Hak
Ilaha Asasi Manusia
Illallah
Pertemuan Barat dan Islam?
(Kumpulan
(Catatan Esai Denny
tentang Agama JA)
dan Demokrasi)

Prolog: Apa yang Sebenarnya Dirimu


Perjuangkan? | ix

Bab Satu: Sintesa Kultural Hak Asasi Manusia dan


Prinsip La Ilaha Illallah

1. Hak Asasi Manusia Sebagai Moral Bersama


(Renungan Akhir Tahun 2017) | 3
2. Bahagia dalam Peradaban Hak Asasi Manusia dan
Spirit La Ilaha Illallah | 13
3. Sintesa Kultural HAM dan La Ilaha Illallah | 19
4. Tafsir Agama yang Otoriter vs Pro Hak Asasi
Manusia | 27
5. Islam di Era Google (Akhirnya Wanita Arab Saudi
Menonton Bola di Stadion) | 39

v
Bab Dua: Demokrasi Rasa Indonesia
1. Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila
(Yang Diperbarui); Analisis Survei Nasional LSI, 19
Mei 2017 | 51
2. Apakah Kebhinnekaan Kita Terancam? (Paska
Pilkada Jakarta) | 59
3. Jangan Benturkan Keindonesiaan Versus
Keislaman (Paska Pilkada Jakarta) | 69
4. Haruskah HTI Dibubarkan? | 77
5. Pro Keberagaman Versus Pro Keberagaman di
Pilkada Jakarta (Renungan Paska Pilkada dan
Pengadilan Ahok) | 85
6. Bangkitnya Politik Identitas: Persepsi Terancam di
Balik Aksi Lilin pro Ahok vs Demo Anti Ahok | 95

Bab Tiga: Beragama di Zaman Now


1. Tren Dunia Menuju Keberagaman? | 111
2. Beragama di Zaman Now! Menyambut Tahlilan
Kelompok Pembaharu | 123
3. Islam Yang Sangat Modern dan Pro-Hak Asasi
Manusia (In Memoriam Djohan Effendi) | 129
4. Agama Cinta: Jalaluddin Rumi | 133
5. Palestina, Penyair dan Kita | 143
6. Saracen dan Pasar Gelap Politik | 149

vi
7. Benarkah Saudi Arabia Menghancurkan Islam? |
155
8. Mundurnya Peradaban Islam dengan Enam
Indikator | 163
9. Teror di Barcelona dan Kompleksnya Fenomena
Terorisme | 177

Bab Empat: Tapi Bukan Kami Punya


1. Jangan Sampai Indonesia Tumbuh, Tapi Bukan
Kami Punya: Renungan Kemerdekaan 2017 | 183
2. Prospek Politik REUNI 212 dan Perspektif
Demokrasi | 189
3. Konflik Palestina-Israel dan Nobel Perdamaian
untuk Jokowi? | 195
4. Maaf untuk Korban 65? (Catatan untuk
Goenawan Mohamad) | 201
5. Donald Trump dan Amerika yang Berubah? | 209
6. Berpolitik dengan Definisi Penyair | 221
7. Mengapa Kata Pribumi begitu Sensitif | 225
8. Menunggu Lahirnya Indonesia yang Keenam
(Renungan Indonesia Merdeka) | 233
9. Jokowi Setelah Perppu Ormas | 241
10. Tiga Hal Mengapa Ambang Batas Calon Presiden
2019 Bermasalah | 247

Referensi | 253

vii
viii
PROLOG

APA YANG SEBENARNYA DIRIMU


PERJUANGKAN?

Pernyataan John Meynard Keynes banyak dikutip.


Ujarnya: para diktator yang nampak begitu berkuasa,
sebenarnya hanyalah budak dari gagasan seorang
pemikir. Disadari atau tidak, diktator bahkan negara
yang absolut seperti komunisme atau fasisme hanya-
lah eksekutor dari pemikir ideologi itu.

Gagasan adalah raja. Para aktivis, intelektual publik,


penulis, penyair, bahkan politisi, semua dapat ditanya
hal yang mendasar itu. Gagasan apa yang sebenarnya
dirimu perjuangkan? Di balik karya, apakah itu buku,
puisi, lagu, social movement atau gerakan politik, tetap
bisa dilacak lebih jauh. Gagasan apa yang sedang
dirimu dakwahkan?

Pertanyaan ini sudah mengganggu saya ketika per-


tama kali memutuskan menjadi aktivis mahasiswa
dan intelektual muda di tahun 80-an, tiga puluh tahun
lalu.

ix
Dunia modern menyediakan begitu banyak gagasan
dan cita-cita sosial. Gagasan mana yang lebih menum-
buhkan passion, yang membuat saya merasa berharga
bahkan mendedikasikan hidup seluruh?

Hampir setiap sepuluh tahun sekali saya pertanyakan


lagi hal yang sama. Bertambahnya wawasan dan jam
terbang, adakah pengaruh terhadap gagasan yang
saya pilih?

Dalam perenungan yang dalam, seringkali seolah saya


bercermin. Namun bukan cermin melihat penampilan
fisik. Tapi cermin melihat wajah batin yang menjadi
kawah bagi gagasan yang saya hayati.

Apa sebenarnya gagasan yang menjadi nafas saya?

-000-

Ini buku yang saya tulis ke 53 yang diterbitkan. Sejak


mahasiswa saya sangat rajin menulis, menjadi kolum-
nis tetap aneka media. Saya pernah pula menjadi host
TV nasional dan radio. Semua soal isu politik mutakhir.
Sudah lebih dari 1000 kolom pernah saya tulis di
semua media nasional saat itu.

Sayapun memiliki lembaga riset, LSI, yang sudah


melakukan mungkin total lebih dari 1000 kali riset.

x
Saya juga menulis puisi, pernah mencoba membuat
film layar lebar, membuat lukisan digital, mencipta
lagu.

Buku ini kumpulan tulisan saya tiga tahun terakhir.


Sama seperti di era ketika mahasiswa, saya tertarik
mendalami isu yang sangat luas, mulai dari politik,
sastra, agama, peradaban, hingga entrepreneurship.

Sungguhpun isunya luas, namun terasa gagasan


dasar yang sama. Aneka tulisan itu datang dari batin
campuran dunia timur dan barat.

Dari Barat, saya begitu terpesona oleh prinsip hak asasi


manusia. Saya menganggap itu kulminasi kolektif
peradaban puncak manusia. Namun pejuang hak
asasi bisa berakhir dengan keyakinan pribadi yang tak
meyakini apa yang disebut oleh agama dengan Allah
atau Tuhan.

Sedangkan saya sebaliknya. Di usia yang menua,


keyakinan saya pada prinsip Hak Asasi Manusia
justru menguat. Namun pada saat yang sama, ajar-
an Tauhid dan ucapan La Ilaha Illallah, semakin me-
nenggelamkan saya.

Begitu kerasnya saya bisa berdebat memperjuangkan


apa yang menjadi hak asasi seseorang. Namun di saat

xi
yang sama, ucapan dan zikir La Ilaha Illallah acap kali
membuat saya meneteskan air mata.

Balik ke pertanyaan awal. Apa yang dirimu tawarkan


dan perjuangkan melalui aneka tulisanmu? Jawab
singkatnya: prinsip hak asasi manusia dan kesadaran
La Ilaha Illallah. Hak asasi manusia diperlukan sebagai
syarat minimal ruang publik agar aneka keberagaman
warga terakomodasi. Namun untuk pencapaian pun-
cak kebahagiaan warga, kita butuh lebih dari sekedar
list hak asasi manusia.

Ketika kita mengikrarkan tak ada tuhan selain Allah,


itu adalah negasi radikal. Tak boleh ada yang kita
sembah dalam hidup ini. Tidak uang, tidak partai, tidak
pemimpin, bahkan tidak juga negara. Yang disembah
hanyalah yang tak terbayangkan: Allah.

Tapi apa itu Allah? Semua definisi tak berlaku. Sekali


ia bisa didefinisikan, ia bukan Allah lagi. Namun untuk
kepentingan praktis, Allah itu bisa dimengerti melalui
proksi. Allah adalah kesempurnaan dan kebenaran.

Berjuang untuk La Ilaha Illallah saya pahami sebagai


berjuang untuk membebaskan pikiran, jiwa dan
mindset manusia untuk tidak menyembah dunia, tapi
mengubahnya menuju kesempurnaan. Saya melihat
La Ilaha Illallah itu justru muara spiritual untuk me-
lahirkan prinsip hak asasi manusia.

xii
Total ada 30 esai di buku ini, ditulis dalam rentang
waktu 3 tahun. Sengaja dipilih hanya esai yang me-
miliki nilai perspektif demokrasi atau hak asasi saja.

Esai soal “Hak Asasi Manusia dan Spirit La Ilaha Illallah”


dalam Bab 1 menjadi judul buku. Itu yang memang
menjadi gagasan paling penting dari seluruh esai
yang disajikan.

Victor Hugo suatu ketika berkata: Tak ada yang lebih


kuat dibandingkan sebuah gagasan yang waktunya
telah tiba. Saya meyakini waktu bagi gagasan hak
asasi manusia telah tiba. Juga untuk Indonesia. []

5 Januari 2018

xiii
xiv
BAB 1:

SINTESA KULTURAL
HAK ASASI MANUSIA
DAN PRINSIP
LA ILAHA ILLALLAH

1
2
HAK ASASI MANUSIA
SEBAGAI MORAL BERSAMA
(Renungan Akhir Tahun 2017)

Madeline Albright, yang pernah menjabat sebagai


menteri luar negeri Amerika Serikat dan dikenal
kualitas negarawannya, suatu ketika berkata. “Tak
penting pesan apa yang akan kau bawa, apakah
kau sedang mencari sekutu, atau akan menegaskan
ketidaksetujuanmu. Dalam meja perundingan, mere-
ka yang duduk di seberangmu juga manusia. Karena
itu carilah common ground. Carilah persamaan untuk
hidup bersama.”

Apa yang dikatakan Albright itu sebuah prinsip. Di


dunia yang sangat beragam agama, filsafat hidup,
keyakinan, kepentingan, hanya bisa damai jika kita
bisa temukan kesepakatan sebuah moral untuk hidup
bersama.

Di ujung tahun 2017, di era peradaban milenial,


agaknya yang paling mungkin menjadi moral bersama

3
di ruang publik adalah prinsip Hak Asasi Manusia. Pe-
mimpin di Indonesia ataupun calon pemimpin harus
pula mulai membuka mata.

Statistik di bawah ini semakin pula mencengangkan


kita.

-000-

Ada tiga alasan, mengapa prinsip Hak Asasi Manusia


harus dipertimbangkan sebagai moral hidup bersama,
termasuk kita di Indonesia.

Pertama, setiap individu ingin dihormati filsafat hi-


dupnya, termasuk keyakinan agamanya dan inter-
pretasinya atas agama. Ada 4200 agama yang kini
terdaftar hidup di planet. Di antara 4200 agama itu, ada
sekitar 20 agama atau non agama yang penganutnya
puluhan juta.

Yang terbesar saat ini adalah Kristen (2,1 milyar pe-


nganut) dan Islam (1.3 milyar pemeluk). Yang ketiga
justru apa yang disebut non-religius (secular, agnostik,
atheis sebanyak 1,1 milyar). Keempat Hindu (900 juta),
Agama tradisional China (394 juta), Buddha (376 juta),
kepercayaan lokal (300 juta), dan seterusnya.

4
Bahkan agama terbesar juga terpilah dalam aneka
sekte yang bukan saja berbeda, tapi saling berten-
tangan. Kristen selaku agama yang paling banyak
pengikutnya terpilah menjadi lebih dari 30 ribu
denominasi yang otonom, berdiri sendiri-sendiri. Islam
juga terpilah ke dalam aneka kelompok yang juga
tak jarang bertentangan: Sunni, Syiah, Ahamadiyah,
Nation of Islam, Bahaisme, dan sebagainya.

Semua keyakinan itu tentu saja tak bisa dipaksa harus


tunduk pada keyakinan pemeluk lainnya.

Hak asasi manusia bisa menjadi common ground hidup


bersama di ruang publik. Dalam hak asasi manusia,
semua keyakinan dan interpretasi dibolehkan hidup.
Yang dilarang hanya melalukan pemaksaan dan
kekerasan.

Kedua, de facto, pengambil kebijakan negara modern


tak lagi dituntun oleh ortodoksi agama. Mereka lebih
digerakkan oleh perkembangan terbaru ilmu penge-
tahuan, akumulasi riset dalam membuat kebijakan.

Satu saja contohnya. Semakin banyak negara yang


melegalkan perkawinan sejenis. Ini sesuatu yang
dulu sangat ditentang oleh banyak ortodoksi agama.
Tapi de facto: mereka meyakini penemuan ilmu
pengetahuan mutakhir yang didukung oleh asosiasi

5
psikologi, psikiater, dan dokter tingkat dunia yang
berhasil meyakinkan bahwa homoseks itu sejak tahun
1970 diyakini bukan penyimpangan.

Pertama kali Belanda yang melegalkan seks sejenis di


tahun 2011. Kini sampai tahun 2017, sudah 20 negara
yang melegalkannya. Antara lain: argentina, Australia,
Brazil, Amerika Serikat, Afrika Selatan. Dalam waktu
dekat Taiwan akan mengikuti. Lengkap sudah di lima
benua, aneka negara mulai melegalkannya: Eropa,
Amerika, Australia, Afrika, dan sebentar lagi Asia.

Pemicunya justru penemuan yang dikemukakan oleh


mereka yang dianggap kompeten di dunia kejiwaan
dan kedokteran. Kini PBB secara resmi megakui hak
memiliki orientasi seksual yang berbeda adalah
bagian hak asasi.

Yang dimaksud dengan hak asasi, pihak lain tak harus


setuju dengan prinsip itu. Itu hak bukan kewa-jiban.
Namun pihak lain tak boleh memaksa dan meng-
halangi individu yang secara sadar memilih haknya.

De facto, dalam kebijakan mutakhir, elite politik dunia


lebih mendengar prinsip Hak Asasi Manusia ketim-
bang interpretasi agama. Dua puluh negara yang
melegalkan LGBT itu suka atau tidak, adalah negara
yang kini secara ekonomi paling kaya, secara militer

6
paling kuat, secara ilmu pengetahuan paling banyak
menghasilkan Nobel.

Dalam riset muthakhir indeks kebahagiaan warga


negara, 20 negara itu termasuk negara yang paling
top soal kebahagiaan individu warga negaranya.

Ketiga, prinsip hak asasi manusia juga membolehkan


dissenting opinion dan menjadi “open society.” Segala
hal bisa diubah sejauh berdasarkan argumen yang kuat
reasoningnya, dan diperjuangkan secara demokratis.
Individu tak boleh dihukum karena fantasinya.

Dalam prinsip moralitas Hak Asasi Manusia, siapapun


tetap dibolehkan memperjuangkan keyakinannya:
misalnya ia merindukan diterapkannya negara aga-
ma. Setiap individu boleh bermimpi dengan cita-cita
sosialnya.

Sangat mungkin fantasi yang aneh di satu masa


menjadi realitas di masa berikutnya. Sejarah peradab-
an adalah sejarah begitu banyak keanehan menjadi
realitas.

Di tahun 1900an, sangat aneh ada wanita yang ber-


fantasi seharusnya wanita dibolehkan memilih dan
dipilih dalam pemilu. Bahkan pejuang emansipasi
wanita itu banyak yang dipenjara. Kini kita tahu
betapa benar perjuangannya.

7
Di tahun 1930an, sangat aneh kulit hitam punya hak
yang sama dengan kulit putih. Mereka yang mem-
perjuangkan persamaan itu banyak masuk penjara.
Kini kulit hitam ada yang menjadi presiden di Amerika
Serikat.

Bahkan di tahun 1950, homoseks dianggap tabu di


Amerika Serikat. Sempat ada “executive order” dari
presiden yang melarang mereka yang homoseks
bekerja untuk aneka projek pemerintahan federal.
Kini presiden AS sendiri yang ikut memperjuangkan
pernikahan sejenis.

-000-

Akankah menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai moral


bersama membatasi individu menjalankan agama
dan keyakinannya? Tidak sama sekali. Justru hak asasi
dibuat untuk melindungi kebebasan individu memilih
gaya dan keyakinan hidupnya.

Yang dilarang hanyalah pemaksaan menyeragamkan


pihak lain dengan kekerasan. Dakwah tentang apapun
dibiarkan karena itu bagian dari hak asasi.

Namun tiga prinsip di bawah ini penting bagi setiap


warga untuk hidup nyaman di zaman baru.

8
Pertama, memisahkan pilihan moral pribadi dan moral
bersama. Memisahkan salah dan benar berdasarkan
keyakinan pribadi dengan salah dan benar ruang
publik.

Misalnya, umat Islam tahu bahwa makan babi itu salah


(dilarang) dalam moral pribadinya. Namun umat Islam
sepenuhnya menerima bahwa dalam moral bersama
(ruang publik), negara tak bisa melarang pihak yang
berbeda untuk tak makan babi.

Soal babi ini bisa diperluas ke soal lain. Apa yang ber-
dosa menurut paham agama tidak otomatis harus
juga menjadi kriminal berdasarkan hukum negara.
Walau tetap saja akan lebih banyak yang salah dalam
moral pribadi juga salah dalam moral bersama seperti:
pembunuhan dan tindak kriminal lainnya.

Pemisahan moral pribadi dan moral bersama akan


memudahkan individu memahami prilaku negara
yang seharusnya. Negara harus melindungi keber-
agaman itu tapi sangat keras kepada mereka yang
melakukan pemaksaan dan kekerasan.

Kedua, mengembangkan kultur “agree to disagree.”


Kitapun harus ikhlas menerima bahwa setiap orang
tak bisa dipaksa bersetuju dengan kita. Yang bisa
dikembangkan agar hidup damai adalah “sepakat

9
untuk tidak sepakat.” Sambil juga mengakui hak setiap
orang untuk berbeda.

Hak setiap orang untuk memperjuangkan gubernur


muslim, atau walikota wanita, atau bupati asal daerah-
nya. Sebaliknya, hak setiap orang pula jika ia ingin
menjadi liberal, dan menentang semua itu. Sejauh
ia warga negara, ia memiliki hak yang sama. Silakan
dipertarungkan di ruang publik secara demokratis,
tanpa paksaan, tanpa kekerasan.

Ketiga, prinsip perubahan gradual. Di Indonesia, go-


resan agama sangat dalam di batin warga. Itu adalah
berkah. Dengan sendirinya, resistensi atas prinsip hak
asasi manusia berdasarkan keyakinan agama perlu
selalu dipertimbangkan.

Namun dipertimbangkannya tidak dengan meng-


gugurkan prinsip hak asasi itu. Tapi menerapkannya
secara gradual berdasarkan kesiapan kesadaran ko-
lektif masyarakat.

Misalnya, jangan paksa pemerintah RI melegalkan


perkawinan sejenis dalam waktu dekat. Itu akan
merusak semua karena publik belum siap. Tapi mereka
yang LGBT tak boleh dianiaya dan dikurangi haknya
selaku warga, sesuai konstitusi UUD 45.

Kitapun harus menyadari bahwa Indonesia mustahil

10
pula dikembangkan menjadi sejenis Amerika Serikat
di Nusantara. Indonesia dapat secara bertahap me-
nerapkan hak asasi dengan campuran budaya dan
keyakinannya sendiri. Biarlah semua berjalan secara
bertahap.

Biarlah “lambat asal selamat.” Yang penting kita tahu


ke mana peradaban bergerak. Dan para intelektual,
pejuang, politisi harus juga punya kesabaran mem-
perjuangan apa yang dianggap baik, dengan prinsip:
“pada waktunya, semua akan indah.”

Saya pribadi memandang prinsip hak asasi manusia


sebagai syarat minimal yang dibutuhkan sebuah ne-
gara modern untuk mengakomodasi keberagaman
warga negara. Di atas syarat minimal itu, setiap
individu bisa mengembangkan filsafat hidupnya dan
pencarian spiritualnya masing masing yang berbeda.
Namun syarat minimal hak asasi manusia itu harus
dijamin dulu.

Bagi yang ingin memuliakan manusia, tak ingin hi-


dupnya didominasi oleh tuhan-tuhan kecil (harta,
kuasa, pemimpin, partai, negara, orang suci), bisa
melangkah lebih jauh dari sekadar syarat minimal. Ia
bisa menyatakan tidak kepada tuhan-tuhan kecil itu,
sesuai prinsip La Ilaha Illallah.

Akhir Desember 2017

11
12
BAHAGIA DALAM PERADABAN
HAK ASASI MANUSIA DAN SPIRIT LA
ILAHA ILLALLAH

Negara yang paling mampu membuat penduduknya


bahagia, juga adalah negara yang paling mengapresiasi
prinsip hak asasi manusia.

Itulah hasil riset dari begitu banyak lembaga interna-


sional dengan metodelogi yang terukur. Lembaga
SDSN dari PBB misalnya membuat list tahunan de-
ngan indeksnya untuk mengukur kebahagiaan
warga negara. Selalu yang menjadi rangking 12
besar umumnya negara seperti Swedia, Denmark,
Norwegia, Canada, Australia, dan sebagainya.

Riset dibuat pula untuk mengukur rangking negara


yang dianggap paling mengapresiasi hak asasi ma-
nusia. Lembaga yang melakukannya antara lain: BAV
Consulting dan Wharton School dari University of
Pensylvinia, Amerika Serikat. Top 12 rangkingnya juga
negara yang relatif sama.

13
Tak bisa kita berspekulasi yang mana sebab yang mana
akibat. Apakah hidup bahagia cenderung membuat
kita menghargai hak asasi manusia? Atau karena hak
asasi manusa dijamin penuh, warga negara lebih ba-
hagia?

Yang bisa kita simpulkan, negara yang paling meng-


hargai hak asasi manusia juga termasuk negara yang
paling mampu membuat warga negaranya bahagia.
Kebahagiaan dan apresiasi atas hak asasi manusia itu
hadir bersama, berkolerasi, dan bersinergi.

Peradaban digital era google sudah sampai di titik ini.


Tapi apakah ini puncak pencapaian manusia? Inikah
titik akhir peradaban? Sisa sejarah apakah hanya
tinggal universalisasi prinsip ini kepada negara dan
komunitas lain yang belum mencapainya? Inikah
“the End of History?”

-000-

Saya berpandangan, peradaban hak asasi manusia


hanyalah syarat minimal ruang publik untuk hidup
bersama. Itu syarat miminal agar warga negara meng-
alami kebahagian puncak.

Keberagaman warga negara hanya bisa dilayani mak-


simal dengan menciptakan ruang bersama yang
menghargai hak asasi warga negara.

14
Tapi sekali lagi, itu hanya syarat minimal. Di luar itu
adalah filsafat hidup masing masing individu warga
negara. Syarat minimal? Apakah ada yang maksimal?

Yang maksimal itu terpulang pada pilihan seni hidup


masing masing pribadi. Saya meyakini dunia spiritual
menyediakan samudra bagi kebahagian puncak.

Tentu pilihan pribadi saya tak bisa menjadi patokan


atau “general rule” untuk publik luas. Namun selalu
baik saja jika kita sharing pengalaman dan gagasan.

Bagi saya, peradaban hak asasi manusia itu hanya


beroperasi untuk mengapresiasi hak manusia. Se-
dangkan spirit La Ilaha Illallah filsafat hidup yang
memuliakan manusia. Untuk memuliakan manusia
diperlukan sarana lain di luar daftar hak asasi semata.

Yang dimaksud dengan peradaban hak asasi adalah


tumbuhnya kebijakan pemerintah dan kultur warga
negara untuk mengapresiasi hak asasi manusia,
seperti yang sudah diputuskan oleh UNO atau PBB
(Perserikatan Bangsa Bangsa). Daftar apa yang men-
jadi hak asasi manusia itu pertarungan dan kulminasi
puncak peradaban modern.

Sedangkan spirit La Ilaha Illallah adalah sikap hidup


yang menolak menyembah yang lain kecuali Allah.
Para pejuang hak asasipun bisa juga menyembah

15
uang, kuasa, pemimpin, guru suci, ideologi, negara,
partai politik. Menyembah hal itu juga merupakan
hak asasi manusia. Menyembah dalam hal ini bisa
diartikan hidupnya didedikasikan dan berorientasi
bahkan didominasi oleh yang mereka sembah itu.

Tapi spirit La Ilaha Illallah menolak menyembah semua


yang duniawi di atas. Uang, harta, partai, pemimpin,
negara, ideologi, bahkan guru suci, itu semua hanyalah
tuhan kecil. Jangan membuat mereka mendominasi
hidup pribadi. Spirit La Ilaha Illallah membebaskan
pikiran dan jiwa manusia dari semua sembahan itu
untuk berorientasi pada Allah semata.

Tapi apakah Allah itu? Tak pula kita mampu mende-


finisikannya. Jika ia bisa didefinisikan, ia bukan Allah
lagi. Namun untuk kepentingan praktis, Allah itu
dapat didekati dengan proksi saja. Ia adalah imajinasi
terjauh dari kesempurnaan dan kebenaran. Ia adalah
pusat dari sinar cinta dan kasih.

Dengan peradaban hak asasi manusia, kita sediakan


ruang publik bersama untuk mengapresiasi keunikan
dan pilihan individu. Mereka bebas memilih life style
hidupnya sejauh tidak melakukan kriminal, kekerasan
dan paksaan kepada pihak lain.

16
Namun spirit La Ilaha Illallah menjadi filsafat hidup
pribadi untuk terus membebaskan diri dari orientasi
menyembah tuhan kecil (harta, kuasa, pemimpin,
ideologi, negara, bahkan guru suci). Upaya pem-
bebasan diri itu sebuah perjalanan menuju kesem-
purnaan, kebenaran, dan hidup penuh cinta kasih.

Manusia sebagai mahluk sosial dapat ikut mencipta-


kan ruang publik bersama dengan ikut menciptakan
peradaban hak asasi manusia. Namun manusia se-
bagai individu punya perjalanan batin yang lebih
panjang hingga ajal menjemput. Itulah perjalanan
untuk terus mendekati prinsip La Ilaha Illallah.[]

6 Januari 2018

17
18
SINTESA KULTURAL HAK ASASI
MANUSIA DAN LA ILAHA ILLALLAH

Sebuah sintesa peradaban perlu diupayakan. Sinergi


kultur barat dan prinsip Islam berharga dieksplorasi.
Sekecil apapun, langkah akulturasi hak asasi manusia
dunia barat dan sikap hidup Tauhid dunia Islam perlu
diintensifkan.

Itu respon cepat saya di tahun 2015 ketika membaca


data. Tiga tahun kemudian, saya tergerak menulis esai
ini: Hak Asasi Manusia dengan Spirit La Ilaha Illallah.

Ini data dan fakta baru. Tahun 2070, Islam akan men-
jadi agama dengan penganut terbesar di dunia. Saat
itu penganut agama Islam bukan saja melampaui
penganut agama Kristen. Tapi juga melampaui peng-
anut yang agnostik, atheis dan yang tak beragama.

Kesimpulan ini bukan datang dari prediksi ulama


atau harapan ustad di mesjid. Ini hasil riset lembaga
terkenal berpusat di Amerika Serikat: Pew Research
Center, tahun 2015. Analisa demografi dilakukan
lembaga ini dengan melihat rata-rata kecepatan per-
tumbuhan penganut agama.

19
Pertumbuhan populasi penganut Islam sekitar 73
persen dari tahun 2010-2050. Dalam periode yang
sama, pertumbuhan populasi Kristen hanya 37 persen
saja. Pertumbuhan mereka yang atheis, agnostik
dan non-religius lebih rendah lagi. Di tahun 2050,
prosentase mereka yang atheis, agnostik dan non-
religius merosot dari 16.4 persen menjadi 13.2 persen.

Sebagai agama dengan penganut terbesar dunia


di tahun 2070, baik dan buruk yang terjadi pada
komunitas terbesar ini akan mempengaruhi kualitas
dunia.

-000-

Maka peradaban barat akan berhadapan lebih tegas


dengan peradaban Islam. Mereka akan berdiri lebih
sejajar. Barat dominan dari sisi pencapaian ilmu
pengetahuan, kekuatan militer dan bisnis. Peradaban
Islam menyimpan banyak potensialitas dan pada
saatnya punya populasi terbanyak dunia.

Jika dua peradaban besar berjumpa, apa yang terjadi?


Bisa lahir konfrontasi, clash dan kekerasan antar
komunitas. Ini mungkin karena berbedanya konsep
baik dan buruk, berjaraknya prinsip moralitas dan
kepentingan.

20
Mungkin pula tercipta separation, terpisahnya dua
dunia yang tak melebur. Walau mereka berada di
ruang yang sama, namun peradaban barat dan Islam
seperti minyak dan air.

Bisa pula terbentuk dominasi. Satu peradaban men-


dominasi peradaban lain dengan paksa. Akan lebih
rumit lagi jika ada kekuasaan yang memaksakan
sistem nilai tertentu. Ini terjadi tak hanya di negara
muslim konservatif yang menghukum LGBT, misalnya.
Namun bisa juga terjadi di negara maju yang publiknya
memusuhi imigran muslim.

Dapat juga terjadi adaptasi. Peradaban yang inferior


pelan-pelan terserap pada peradaban yang lebih
superior.

Namun kita dapat mengembangkan pola pertemuan


peradaban di luar itu. Perlu diikhtiarkan sinergi positif
unsur terbaik peradaban barat dan Islam. Untuk
dunia sosial, dari Barat bisa diambil prinsip Hak Asasi
Manusia sebagai common ground ruang publik.

Tapi apa yang dapat disumbangkan oleh doktrin dan


peradaban Islam untuk memperkaya prinsip hak asasi
manusia?

-000-

21
Problemnya, sejarah pernah mencatat “clash of mind”
sekumpulan negara Islam atas konsep hak asasi ma-
nusia PBB. Merespons deklarasi hak asasi manusia
PBB, lahirlah Deklarasi Kairo tahun 1990. Deklarasi ini
ditandatangani oleh 45 negara yang mayoritasnya
muslim.

Deklarasi Kairo mengakui Hak Asasi Manusia sejauh


tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Akibatnya,
banyak yang menjadi hak asasi dalam deklarasi PBB
juga menjadi hak asasi dalam Deklarasi Kairo. Namun
ada juga yang menjadi hak asasi dalam Deklarasi PBB
justru menjadi larangan dalam Deklarasi Kairo.

Clash of mind itu terjadi untuk isu, misalnya, pindah


agama, dan menikah dengan pasangan beda agama.
Dalam deklarasi PBB, itu menjadi hak asasi setiap in-
dividu untuk berpindah agama atau menikah dengan
penganut agama yang berbeda. Dalam deklarasi Ka-
iro, sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum
syariah, pindah agama itu dihukum sangat keras.

Clash of mind terjadi juga untuk isu LGBT. Berdasarkan


piagam hak asasi manusia PBB, sampai tahun 2017, 20
negara sudah membolehkan pernikahan sejenis. Ter-
masuk di dalamnya: Belanda, Amerika Serikat, Brazil,
Afrika Selatan, Australia. Namun di beberapa negara
Islam, LGBT itu bisa dihukum mati.

22
Dalam praktek, di negara Islam kini banyak terjadi
moderasi. Walau tak ada hukum resmi di negara mus-
lim yang membolehkan LGBT, tapi mereka yang LGBT
juga bebas tidak ditangkap hanya karena isu LGBT
semata.

Dubai menjadi contoh mutakhir. Secara resmi negara


ini tidak mencabut aturannya. Mereka yang LGBT
yang tertangkap dapat dihukum mulai dari 10 tahun
sampai hukuman mati.

Tapi dalam praktek, karena Dubai berkembang


menjadi pusat pariwisata internasional, dunia LGBT
lebih bebas di sana. Harley Richardson menulis di
The Sun, 28 November 2016. Tulisnya, kini bahkan
tumbuh banyak klub bagi kaum Gay di Dubai. Iapun
menampilkan foto kaum gay dalam klub malam di
Dubai itu. Wajah ceria lengkap dengan gemulainya
nampak di foto.

Apakah Islam di Dubai berubah membolehkan LGBT?


Hukum di Dubai tidak berubah sama sekali. Tapi dalam
praktek terjadi semacam penyesuaian. Ketika bisnis
pariwisata internasional dipentingkan, keberagaman
pelancong dan gaya hidupnya harus pula ditoleransi.

Di mata hukum internasional, menjadi LGBT bukanlah


tindakan kriminal seperti dagang narkoba. Bahkan

23
dalam Piagam PBB, LGBT sudah menjadi hak asasi ma-
nusia.

Dubai menjadi kasus kongket bagaimana tren mu-


takhir negara muslim yang membuka diri pada dunia
luar merespons LGBT. Sinerji peradaban barat dan
dunia Islam terus belangsung dengan aneka warna.

-000-

PBB sudah merumuskan doktrin dan daftar apa saja


yang termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Daya terima
komunitas Islam terhadap prinsip hak asasi manusa
itu juga sangat beragam. Komunitas Islam sendiri
ada yang sangat liberal seperti Progressive Muslim di
Amerika Serikat. Ada yang sangat konservatif seperti
Taliban di Afganistan.

Pew Research Center, misalnya, pernah membuat


survei bagaimana ragam kaum muslim menerima nilai
Hak Asasi Manusia. Progressive Muslim di Amerika
Serikat bahkan memiliki mesjid untuk ikut meni-
kahkan LGBT. Namun terjadi pula di Timur Tengah. Se-
orang LGBT dihukum dijatuhkan dari puncak gedung.

Dalam operasi prinsip Hak Asasi Manusia, Komunitas


Muslim tak perlu bersetuju menjadikan prinsip
Hak Asasi Manusia sebagai filsafat hidupnya. Yang

24
diperlukan hanya bertoleransi atas hak asasi orang
lain. Yaitu, sikap menghormati individu lain yang
memilih hidup berbeda.

Praktis komunitas muslim bisa bertoleransi soal per-


bedaan etnis, atau warna kulit misalnya. Namun ada
keberagaman dalam penerimaan schism agama
(Sunni, Syiah, Ahmadiah), hak warga pindah agama,
dan yang paling keras: hak kaum LGBT. Inilah daftar
minor Hak asasi yang tersisa yang masih problematis
di dunia Islam.

Komunitas Islam juga tak sekadar menjadi penerima


pasif ekspansi sistem nilai dunia barat. Peradaban
dan doktrin Islam menyimpan begitu banyak mutiara,
yang sangat bisa memperkaya peradaban barat.

Satu yang terpenting adalah sikap hidup Tauhid, yang


sudah dieksplor dalam artikel sebelumnya. Prinsip La
Ilaha Illallah: tiada tuhan selain Allah adalah konsep
pembebasan manusia yang sangat mendasar.

Manusia dibebaskan dari penyembahan, orientasi


atau dominasi tuhan-tuhan kecil (harta, kuasa,
pemimpin, guru suci, negara, ideologi, dll). Konsep ini
membuat manusia tegak berdiri sejajar secara kodrati
dengan sesama manusia lain. Manusia secara hakikat
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, terlepas dari

25
background status sosial ekonominya. Itulah sumber
spiritual hak asasi manusia yang asli.

David Boeis seorang pengacara. Ia terbiasa mencari


kesepakatan pihak yang bertikai. Ujarnya, dalam 10
isu, bisa jadi kita berbeda banyak sekali. Namun jika
bisa ketemu satu saja pandangan yang sama di satu
isu, itu berita baik. Untuk bersepakat, menurut Boeis,
mulailah mencari common ground.

Situasi meminta kita tak henti mencari common


ground peradaban barat dan prinsip hidup Islam.

Itu akan terjadi ketika semakin diterimanya prinsip


hak asasi manusia PBB di kalangan komunitas muslim.
Di sisi lain, prinsip hidup La Ilaha Illallah mengalami
universalisasi, diyakini juga oleh mereka yang tidak
beragama Islam secara resmi.[]

7 Januari 2018

26
TAFSIR AGAMA YANG OTORITER VS
PRO HAK ASASI

(La Ilaha Illallah di Era Google dan Hak Asasi Manusia)

Di era Google dan Hak Asasi Manusia, untuk hidup


yang harmoni serta mendalam, pertanyaannya bukan
lagi “apa agamamu?” juga bukan lagi “apakah kau
tidak beragama?” tapi “bagaimana kamu menafsirkan
agama atau paham (ideologi) yang kamu yakini?”

Ini era di semua agama tersedia spektrum. Ada tafsir


yang pro hak asasi yang membangun peradaban. Dan
ada tafsir yang otoritarian, yang membajak agama itu
menuju kekerasan. Itulah sebabnya di semua peng-
anut agama tercatat konflik berdarah, perang bahkan
terorisme.

Itu respons cepat saya melihat riset mengenai agama


di zaman now. Kini terdaftar lebih dari 4200 agama.
Satu agama bahkan terpecah pula kepada banyak
aliran (Schism).

27
Namun siapapun tak bisa menolak fenomena yang
dahsyat dari agama besar. Agama seperti Kristen,
Islam, Buddha, Hindu sudah hadir lebih dari 1500
tahun. Agama itu juga diyakini ratusan juta manusia
hingga di atas satu milyar populasi.

Bahkan ideologi modern seperti komunisme, fasisme,


dan lain lain, hanya bertahan kurang dari seratus
tahun saja. Setelah itu ideologi itu layu.

Hanya dengan melihat fenomena itu, bahkan bagi


mereka yang semata mata ingin memahami agama
secara ilmiah, dan membuang sisi wahyu ilahiah, tetap
terpesona. Ada sesuatu dalam agama besar itu yang
membuatnya survive ribuan tahun. Ada yang sentral
dalam agama besar itu yang menyentuh kedalaman
manusia, yang membuatnya selalu disegarkan kem-
bali.

Riset yang dibuat lembaga terkemuka berpusat di


Amerika Serikat: Pew Research Center (PRC), 2015,
bahkan menyebutkan angka. Di masa depan agama
ini tidak menghilang, namun justru bertambah. Bah-
kan penganut paham yang atheis, agnostik dan non-
religius akan berkurang. Pendukung paham non-
agama ini, akan menurun dari 16,4 persen di 2010
menjadi hanya 13, 2 persen saja di tahun 2050.

28
Ini yang juga penting! Di tahun 2070, menurut PRC,
Islam akan menjadi agama yang penganutnya
terbesar di dunia. Jumlah penganut Islam akan me-
lampaui jumlah penganut Agama Kristen dan juga
pendukung paham yang atheis, agnostik, dan non-
religius.

Di usia 55 tahun, prinsip hidup dan zikir La Ilaha


Illallah begitu menggetarkan saya. Mendalam saya
merenung. Apa arti dan signifikansi La Ilaha Illallah
di ruang publik, dalam era Google dan Hak Asasi
Manusia?

-000-

Pertama kali yang saya ingat adalah Eric Fromm. Ia


seorang ahli psikologi dalam tradisi psiko analisis.
Pandangannya banyak dipengaruhi oleh Sigmun
Freud. Namun Fromm tumbuh berbeda karena ia
juga menjadi filsuf dan sosiolog. Fromm hidup di
tahun 1900-1980.

Ujar Fromm, psikologi manusia tak bisa menghindari


dari Tuhan dan agama. Apapun manusia akan me-
yakini Tuhan dan memeluk agama. Manusia bisa saja
menolak konsep Tuhan dan agama versi lama. Tapi
kebutuhan psikologinya membuat manusia men-
ciptakan konsep Tuhan dan konsep agama baru.

29
From mengartikan Tuhan sebagai pusat orientasi
hidup. Secara psikologis, manusia memerlukan pusat
orientasi. Ia jadikan pusat orientasi itu hal utama.

Agama besar mengajarkan bahwa pusat orientasi itu


adalah Yahwe, atau Allah, atau Tuhan, atau Budha, atau
dewa. Ideologi modern mungkin saja meruntuhkan
pusat orientasi itu. Namun pasti akan ada pusat
orientasi baru entah itu negara, kapital, partai, atau
tokoh. Itulah aneka “Tuhan” yang baru.

Hal yang sama dengan agama. Fromm mengartikan


agama sebagi sistem nilai yang memberikan panduan
pada manusia menuju pusat orientasi itu. Lahirkah
sistem nilai Hindu, Buddha, Judaisme, Kristen, Islam
dan sebagainya.

Sekali lagi, pemikir modern bisa saja meruntuhkan


sistem nilai bahkan agama itu. Namun pasti, psikologi
manusia membutuhkan sistem nilai pengganti. Itulah
“agama” baru baik bernama ideologi, paham ataupun
filsafat hidup.

Pentingnya La Ilaha Illallah, prinsip tauhid dalam Islam,


justru terasa dalam kerangka Eric Fromm. Prinsip
tauhid: tiada tuhan selain Allah, justru menegasi
tuhan-tuhan kecil atau palsu.

30
La Ilaha Illallah menjadi konsep pembebasan jiwa
manusia yang sangat mendasar. Konsep itu me-
nolak menjadikan manusia berorientasi pada tuhan
kecil (harta, negara, partai, tokoh, guru suci, dan
sebagainya). Kodrat manusia lebih tinggi untuk se-
kedar menjadi budak dan penghamba tuhan kecil itu.

Dengan La Ilaha Illallah, prinsip ini menjadikan Allah


semata sebagai pusat orientasi. Tapi apakah Allah
itu? Itu adalah kesempurnaan paling jauh yang bisa
diimajinasikan manusia. Yang terbatas (manusia) mus-
tahil bisa memahami seluruhnya yang tak terbatas
(Allah). Tapi untuk kepentingan praktis, Allah dapat
didekati dengan proksi atau permisalan saja.

Dengan menjadikan Allah semata sebagai pusat


orientasi, maka manusia diletakkan dalam makom
paling tinggi, dibebaskan dari orientasi hidup yang
mendangkalkan. Apalagi Allah itu dipahami secara
proksi sebagi segala yang maha baik (maha mampu,
maha adil, maha kasih, maha tahu, dll)

Dengan berorientasi pada Allah (yang maha adil,


maha tahu, maha kasih, maha suci, dll), manusiapun
memulai perjalanan hidup menuju pencapaian itu
hingga ajal menjemput. Manusia terus dibuat men-
cari, belajar dan melatih diri untuk tahu (karena Allah
maha tahu), untuk adil (karena Allah maha adil),

31
untuk mampu (karena Allah maha mampu), untuk
kasih dan penuh cinta (karena Allah maha kasih). Dan
sebagainya.

Inilah implikasi psikologis dari La Ilaha Illallah. Sebuah


implikasi sikap hidup yang sangat mendasar, penting
dan mendalam.

-000-

Namun apa arti La Ilaha Illallah itu di era Hak Asasi


Manusia dan Google? Dalam sejarah konsep itu bisa
ditafsir secara otoriter yang justru membawa pada
kekerasan. Namun bisa juga ia ditafsir secara berbeda
yang membawa pada kedamaian, harmoni, dan hidup
positif.

Untuk itu, penting membedakan tafsir agama yang


otoriter dan tafsir agama yang pro Hak Asasi. Saya
membedakan lima prinsip dasar yang membedakan
tafsir itu.

PERTAMA: Kepatuhan versus Diskusi dan Pencarian.

Tafsir otoriter mementingkan kepatuhan. Dosa ter-


besar ada pada ketidak patuhan. Bahkan kepatuhan
inipun dilegitimasi, dipaksa dan dikawal oleh ke-
kuasaan. Mereka yang tak patuh bukan saja dianggap

32
layak terkena dosa di akhirat, tapi dikenakan hukum
duniawi oleh sang pemegang kekuasaan.

Tafsir pro Hak Asasi punya prinsip sebaliknya: diskusi


dan pencarian. Tafsir ini menyadari bahwa manusia
tak bisa dipaksa meyakini apa yang belum masuk akal
dan menyentuh hati. Tafsir ini juga menyadari bahwa
kesadaran individu terus berkembang sejalan dengan
pengalaman dan pengetahuannya.

Yang dipentingkan oleh tafsir pro hak asasi adalah


diskusi dan pencarian. Setiap individu dibiarkan terus
mencari dan berdiskusi mengenai apa yang ingin
diyakininya. Pihak lain boleh memberikan input atau
dakwah. Namun setiap individu dibiarkan memilih
sendiri apa yang ia yakini sesuai dengan tahapan
kesadaran.

KEDUA: Keseragaman versus Keberagaman.

Tafsir otoriter memaksakan keseragaman pemahaman


dan pengertian. Mereka meyakini arti konsep besar
dari agama selalu tunggal, di manapun, kapanpun,
untuk siapapun.

Lebih jauh tafsir otoriter ini merasa berhak meng-


gunakan kekuasaan untuk mengawal keseragaman
itu. Mereka yang berbeda dianggap tak hanya dosa.

33
Bahkan mereka layak mendapatkan hukuman dari
pemegang kekuasaan.

Sebaliknya tafsir hak asasi memahami dunia dan per-


adaban terus berubah. Bahkan satu individu di masa
ia kanak-kanak, remaja, muda, tua juga berevolusi
kesadarannya.

Keberagaman tak terhindari. Listrik yang sama


berguna bagi penduduk di tempat panas, musim
summer, jika menjelma mesin pendingin (AC). Tapi
bagi penduduk di tempat sangat dingin, musim winter
bersalju, walau sama listriknya tapi justru berguna jika
menjelma mesin penghangat (heater).

Memaksakan mesin pendingin atau mesin pengha-


ngat untuk semua populasi dan musim adalah keke-
rasan.

Keberagaman penafasiran dianggap realitas tak


terhindari karena berubahnya zaman, dan berkem-
bangnya kesadaran individu.

KETIGA: Pemaksaan versus Kesukarelaan.

Bagi tafsir otoriter, tafsir agama adalah sesuatu yang


harus dipaksakan. Lebih mengerikan lagi pemaksaan
itu bahkan dinilai untuk menyelamatkan jiwa mereka

34
yang dipaksa. Tak jarang kekerasan, konflik, dan
perang dikobarkan sebagai instrumen pemaksaan
dengan dalih penyelamatan jiwa dan kebaikan.

Bagi tafsir pro Hak Asasi, kesadaran dan pandangan


hidup yang sangat sentral itu hanya mungkin tumbuh
dalam kesukarelaan. Sebuah keyakinan dipeluk
bukan karena ia dipaksakan dari luar, tapi buah dari
perenungan mendalam dan suka rela.

Pemerintah dan negara hanya boleh memaksakan


hukum kriminal saja seperti pembunuhan, pencurian,
penipuan. Tapi filsafat hidup, seni, gaya dan orientasi
hidup ia tumbuh secara individual dan suka rela.
Bahkan satu individu dapat dengan bebas mengubah
apa yang ia yakini karena bertambahnya pengalaman
dan berubahnya pengetahuan.

KEEMPAT: Kelompok versus Universal.

Tafsir otoriter mengutamakan kepentingan kelom-


pok. Dunia dibagi menjadi kita versus mereka.
Memang mereka bisa menjadi bagian dari kita jika
menyeragamkan diri dengan tafsir yang kita yakini.

Di luar kelompok kita adalah inferior. Lebih me-


ngerikan lagi jika tafsirnya: di luar kelompok kita
boleh dimusnahkan dengan kekerasan.

35
Tafsir Pro Hak Asasi justru mementingkan keseluruhan.
Setiap prinsip dicari cara untuk diuniversalkan agar
juga bisa dinikmati oleh mereka di luar kelompok.

Disadari kita dan mereka tak perlu dan tak bisa


diseragamkan. Yang dipentingkan kemudian men-
cari common ground agar sesama warga bisa hidup
bersama. Seseorang tak boleh disingkirkan atau di-
diskriminasi hanya karena kesadaran yang dipilihnya
secara suka rela.

KELIMA: Pemurnian versus Kebajikan dan Compassion.

Tafsir otoriter mengutamakan pemurnian sebuah


ajaran atau tafsir. Selalu diupayakan aneka pema-
haman harus sesuai dengan teks. Lebih celaka lagi
jika pemurnian ini dikawal dengan kekuasaan dan
kekerasan.

Ini berangkat dari pemahaman apa itu yang abadi


dalam ajaran agama. Yang abadi itu yang tertulis
dalam teks.

Tafsir pro Hak Asasi mengutamakan kebajikan dan


compassion. Yang abadi dalam agama bagi tafsir ini
sesuatu yang lebih jauh di luar teks. Itu adalah prinsip
kebajikan dan compassion.

36
Bagaimana operasionalisasi dari kebajikan dan
compassion itu, biarlah dirumuskan dari waktu ke
waktu. Yang penting adalah prinsip dasar seperti La
Ilaha Illallah: jangan mendangkalkan hidup men-
subordinasi manusia kepada tuhan kecil (harta, kuasa,
partai, negara, pemimpin, guru suci).

Di luar itu, bisa disesuaikan dengan perkembangan


peradaban dan ilmu pengetahuan.

-000-

Sintesa kultural peradaban barat dan agama berharga


diupayakan. Agama tak kunjung mati, bahkan terus
berpengaruh.

Dari peradaban, yang paling berharga untuk ruang


publik adalah menerapkan puncak pencapain kolektif
yang sudah dirumuskan dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia PBB.

Namun prinsip hak asasi manusia itu terus tumbuh.


Fakta sejarah menunjukkan daftar apa yang disebut
Hak Asasi Manusia juga terus berubah dan bertambah.

Dari kaca mata La Ilaha Illallah, prinsip hak asasi


manusia hanya syarat minimal saja bagi sikap hi-
dup tauhid. Prinsip hidup La Ilaha Illallah tetap

37
mengutamakan tauhid. Prinsip hak asasi hanya
menjamin keberagaman. Tapi pemuliaan manusia di-
berikan oleh filafat hidup yang jauh lebih mendasar.

Namun sekali lagi dan sekali lagi, prinsip tauhid itu di


era google dan hak asasi manusia, perlu dioperasikan
tidak dengan paradigma tafsir otoriter. Prinsip Tauhid
itu dijalankan dengan lima prinsip paradigma tafsir
Pro Hak Asasi.

Dengan tafsir otoritarian, prinsip La Ilaha Illallah akan


berujung pada kekerasan. Sedangkan dengan tafsir
pro hak asasi, prinsip La Ilaha Illallah tumbuh secara
sukarela, natural, seperti tumbuhnya mawar di taman
bunga.

Ketika peradaban barat kini superior, ketika penganut


Muslim akan menjadi populasi terbesar dunia, sintesa
kultural prinsip hak asasi manusia dan sikap hidup La
Ilaha Illallah menjadi penting. []

9 Januari 2018

38
ISLAM DI ERA GOOGLE

(Akhirnya Wanita Arab Saudi Menonton Bola di


Stadion)

Sebuah peristiwa yang seolah biasa, sebenarnya


jendela melihat dunia. Itulah yang terjadi soal wanita
Arab Saudi menonton bola di stadium.

Di dunia barat, bahkan di Indonesia itu hal yang biasa.


Tapi di Arab Saudi, wanita menonton bola di stadion
itu berita besar. Itu sebuah sejarah.

Dunia memberitakannya. Okaz, koran Arab Saudi


mempublikasi foto para wanita pertama kali duduk
di stadiun, langsung menonton pertandingan sepak-
bola. Dinyatakan di aneka berita: pertama kali dalam
sejarah!

Itu terjadi hari Jumat 12 Januari 2018 di Stadion


King Abdullah. Dua team sepakbola bertanding: Al
Ahli versus Al Batin. Sekitar 300 wanita Arab Saudi
merasakan pengalaman pertama. Areej Al Ghamdi
wanita penggemar sepakbola mengekspresikan rasa

39
riang. “Ternyata jauh lebih seru menonton langsung
di stadion. Selama ini seumur hidup saya menonton
team sepakbola favorit hanya dari televisi di rumah.

Kisah berubahnya aturan di Arab Saudi adalah se-


suatu yang besar. Ini negara tempat bermukimnya
Kabah, Mekkah dan Medinah. Ini tempat lahirnya
Nabi Muhammad.

Apa yang abadi dan apa yang bisa berubah dari aturan
agama? Ketika aturan itu melarang wanita menonton
bola di Stadion, lalu kini membolehkannya, ini aturan
agamakah?

Ataukah ini hanya interpretasi saja dari agama? Atau


ini hanya kultur lokal saja? Atau ini hanya aturan pe-
merintah yang tak ada hubungan dengan agama?
Atau ini hanya cabang kecil dari aturan agama yang
boleh berubah? Lalu apa inti dari agama yang tak
boleh berubah?

-000-

Melihat “Islam in action” di era Google atau yang lebih


umum lagi, “agama in action,” kita segera menyadari
dua hal paling pokok.

Pertama, tak bisa terhindari masalah agama adalah ma-


salah interpretasi. Dua ahli yang sama-sama mengerti

40
kitab suci, yang sama-sama meyakini satu agama,
yang sama-sama berniat tulus menjalankan agama
karena tanggung jawab individu pada Tuhan, bisa
berakhir dengan interpretasi yang berseberangan.

Kedua, bagaimana pula memisahkan agama dengan


kultur lokal setempat ketika sudah bercampur dalam
praktek budaya yang panjang? Itu agamakah? Itu
kulturkah? Itu gabungan keduanyakah? Itu bolehkah
dari kaca mata doktrin agama?

Ambil saja soal peran soal wanita yang bercampur


dengan lelaki di tempat umum (gender segregation).
Dua ahli Islam, yang hidup di era yang relatif sama bisa
tak hanya beda pendapat. Tapi pandangan mereka
bertentangan dan mengklaim merujuk pada kitab
suci yang sama.

Said Ahmad Kutty, dianggap satu dari 500 muslim


dunia paling berpengaruh. Ia tamat rangking pertama
dan berijazahkan pendidikan Islam (tradisional Islamic
Science). Ia selesaikan pendidikannya di University
of Madinah, Saudi Arabia dengan predikat terbaik
di tahun 1972. Menurutnya, pemisahan lelaki dan
perempuan di tempat umum (gender segregation)
tak diatur sama sekali dalam agama Islam. Lelaki
dan perempuan bercampur di tempat umum tanpa
pemisahan, bahkan di era Nabi Muhammad.

41
Lain lagi pandangan Abdul Rahman Al Barak. Ia juga
seorang ulama di Arab Saudi yang dihormati ka-
langannya. Ia bahkan mengeluarkan pandangan
(fatwa) hukuman mati bagi siapapun yang mem-
bolehkan bercampurnya lelaki dan perempuan di
tempat umum (gender segregation).

Nabi Muhammad memang hanya satu. Kitab suci


Quran memang hanya satu. Islam memang hanya
satu. Namun ketika ia masuk dalam peradaban dan
pikiran manusia, tak terhindari tercipta spektrum.
Semua agama bahkan semua paham dan ideologi
terkena hukum besi itu. Selalu ada perbedaan inter-
pretasi (bahkan schism) dengan spektrum ultra
moderat sampai ultra konservatif.

Yang mana yang benar benar mewakili kitab suci, nabi


dan agama? Mengapa dua spektrum itu tak hanya
beda bahkan bertentangan?

Arab Saudi menjadi contoh nyata. Ia dulu melarang


bercampurnya lelaki dan perempuan (bagian dari
gender segregation). Begitu ketatnya aturan itu
hingga wanitapun dilarang menonton sepak bola
di stadion. Kini negara yang sama, secara bertahap
membolehkan wanita bercampur dengan pria di
stadion menonton bola.

42
Masalah kedua adalah bercampurnya doktrin aga-
ma dan kultur lokal. Bolehkah? Bagaimana pula me-
misahkannya?

Kembali kita lihat “agama in action.” Dalam praktek


salat bersama di banyak negara, wanita duduk terpisah
dengan lelaki. Dalam ritual agama yang dihadiri lelaki
dan perempuan untuk umum, tidak diperkenankan
pula wanita menjadi Imam bagi salat dan pemberi
khotbah jumat.

Namun situasi berbeda pada komunitas Progressive


Moslem di Amerika Serikat. Dalam ritual agamanya,
kaum lelaki dan wanita bercampur. Imam salat dan
pemberi khotbahnya seorang wanita.

Tahun 2005, bulan Maret, di New York. Dr. Amina


Wadud memimpin salat bersama. Awalnya, kegiatan
ini mengundang kontroversi pemeluk agama Islam
lainnya. Namun kini sudah menjadi ritual rutin ko-
munitas Muslim Progresif.

Dalam dekade ini, wanita menjadi Imam sholat


meluas pula ke Eropa. Di Inggris, tahun 2010, se-
orang muslimah wanita Raheel Razza pertama kali
memimpin sholat bersama dan memberi khotbah
pula. Jemaahnya lelaki dan perempuan hikmat me-
ngikuti.

43
Di Denmark, Agustus 2016, Sherin Kankan menjadi
wanita pertama memimpin salat di sana. Di masjid
Kopenhagen, Mariam Mosque, ia juga memberikan
khotbah.

Bahkan berdiri banyak masjid di Amerika dan juga


Eropa, yang juga friendly dengan kaum LGBT (Lesbian,
Gender, Bisexual, Transgender). Dengan resminya 20
negara melegalkan LGBT, itu akan pula mempengaruhi
praktek agama di sana.

Apakah ini bagian dari praktek agama? Apakah itu


agama yang bercampur dengan kultur lokal? Boleh-
kah? Ketika wanita muslim dilarang menyetir mobil
tanpa muhrim di Arab Saudi, itu agamakah? Atau
kulturkah? Ketika wanita menjadi imam salat di
Amerika, itu agamakah? Atau kultur liberalkah?

-000-

Pertanyaan berikutnya, bagaimana sebaiknya peme-


rintah di era Google ini merespons beragamnya
tafsir dan praktek agama? Haruskah pemerintah
menyeragamkannya? Haruskah pemerintah memihak
satu interpretasi dan melarang interpretasi lainnya?

Siapa pula yang merasa punya hak mengklaim tafsirnya


paling benar? Bersediakah kita jika tafsir agama kita

44
dilarang karena pemerintah harus memihak tafsir
yang benar? Dari mana pula pemerintah tahu itu tafsir
yang benar ketika para ulamapun tak satu suara?

Demokrasi dan prinsip hak asasi manusia di era google


sudah sampai ke tahap itu. Pemerintah hanya boleh
melarang kejahatan kriminal, semacam penipuan
dan kekerasan. Tapi hak asasi manusia sebagaimana
yang sudah digariskan oleh PBB (Perserikatan Bangsa
Bangsa), itu bukan kriminal. Negara modern harus
bertoleransi dua hal itu.

Yaitu bertoleransi atas hak hidup beragam tafsir


agama dari spektrum moderat hingga konservatif.
Bertoleransi pula atas bercampurnya praktek agama
dan kultur lokal setempat.

Biarlah masing masing individu mempertanggung-


jawabkan pilihan interpretasi atas agama langsung
pada Tuhan. Itu bukan urusan pemerintah. Tapi tentu
semua pihak dibolehkan mendakwahkan yang mana
yang benar, sesuai tafsir masing-masing. Yang tak
boleh hanya kekerasan, pemaksaan, termasuk hate
speech.

Biarlah evolusi kesadaran pribadi setiap warga me-


milihnya secara bebas dan sukarela apa yang ingin
diyakininya sepenuh hati. Biarlah waktu yang bicara

45
agar setiap individu sampai pada keyakinan, sesuai
dengan tahap kesadaran dan evolusi personalitasnya.

Riset sudah menunjukkan. Kesadaran suka rela atas


dasar ikatan batin agama adalah samudra kebahagia-
an yang tak tergantikan oleh pencapaian sekuler
lain. Namun tafsir agama yang dipaksakan kepada
individu, apalagi dengan kekerasan, hanya melahirkan
ketidakbahagian dan hipokrisi.

Apakah dengan cara ini lalu agama menjadi sub-


ordinasi prinsip hak asasi manusia? Tidak sama sekali.
Prinsip hak asasi manusia hanyalah ruang publik ber-
sama agar keberagaman dapat berjalan.

Karena Anda tak ingin cara berpikir Anda disera-


gamkan, orang lain juga punya hak yang sama dilin-
dungi. Hak asasi manusia hanya syarat minimal yang
harus ada hidup bernegara di era Google.

Jika hak asasi manusia adalah syarat minimal, apakah


yang maksimal bagi individu? Jika aturan yang di-
pengaruhi agama boleh berubah, apakah yang abadi
dalam agama?

Pertanyaan ini pun bebas dijawab dan dipilih oleh


setiap individu. Saya pribadi menyadari dan memilih:

46
La Ilaha Illallah adalah prinsip hidup paling dahsyat
untuk membebaskan batin manusia.

Dengan menyatakan “tak ada tuhan selain Allah,” kita


berhenti mempertuhankan tuhan-tuhan palsu. Uang,
kuasa, harta, pemimpin, itu sesuatu yang perlu diraih
tapi tidak dipertuhankan. Kita menolak mengalahkan
harkat manusia dikorbankan untuk tuhan kecil itu.

Itu pula yang abadi dalam agama (Islam). Saya me-


yakini sikap hidup La Ilaha Illallah itu yang layak
diabadikan, bersifat universal, bisa dipraktekkan ma-
nusia di semua zaman, usia, ragam agama, dan ragam
etnik.

Demikianlah memang sebuah peristiwa bisa menjadi


jendela dunia. Dimulai dengan membaca berita “un-
tuk pertama kali wanita di Arab Saudi menonton
bola di stadion,” kitapun sampai pada renungan soal
agama di era Google. []

Januari 2018

47
48
BAB II

DEMOKRASI RASA
INDONESIA

49
50
MEWACANAKAN KEMBALI
DEMOKRASI PANCASILA (YANG
DIPERBARUI)

(Analisis Survei Nasional LSI, 19 Mei 2017)

Woodrow Wilson tipe pemimpin yang sangat jarang.


Awalnya ia seorang akademisi ilmu politik yang di-
hormati dan kemudian menjadi presiden dari John
Hopkins University (1902-1910). Namun situasi politik
pelan-pelan menuntunnya terpilih menjadi presiden
Amerika Serikat dua periode (1913-1921).

Ia menjadi pemimpin politik dan akademik sekaligus.


Ketika ditanya apa yang membuatnya sukses sebagai
pemimpin, dan berhasil memimpin universitas dan
negara, Wilson menjawab: Telinga seorang pemimpin
harus terbuka dalam gelombang yang sama dengan
suara komunitasnya dan suara rakyatnya.

Dengarkan suara mereka yang kau pimpin. Dengarkan


dengan telinga yang benar. Itu kiat sederhana Wilson.

Saatnya kitapun membuka telinga, mendengar suara


rakyat. Saatnya kita mendengar bagaimana pandang-

51
an rakyat seluruh Indonesia soal situasi mutakhir?
Bagaimana mereka melihat polarisasi masyarakat ter-
utama setelah pilkada Jakarta.

Selama ini yang kita dengar hanya suara elite saja.


Atau suara rakyat Jakarta saja. Bagaimana dengan
suara rakyat Indonesia di 34 propinsi?

-000-

Mayoritas publik Indonesia, sebanyak 72.5 persen,


tak nyaman dengan berlanjutnya polarisasi masyara-
kat pro dan kontra Ahok. Polarisasi itu dinilai sudah
melampaui persoalan pilkada dan potensial melong-
garkan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Sebesar 75 persen rakyat menginginkan pemerintah


beserta penentu kecenderungan masyarakat mene-
gaskan kembali komitmen menjadikan demokrasi
pancasila sebagai perekat. Namun demokrasi pan-
casila yang dimaksud bukan pola kenegaraan era
Orde Baru dan bukan sistem sebelum amandemen
UUD 45.

Demikianlah salah satu temuan survei nasional LSI


Denny JA. Survei nasional ini dibuat khusus untuk
membaca situasi nasional paska pilkada Jakarta.
Responden sebanyak 1200 dipilih berdasarkan multi

52
stage random sampling. Wawancara tatap muka de-
ngan responden dilakukan serentak di 34 propinsi
dari tanggal 5-10 Mei 2017.

Survei ini dibiayai sendiri sebagai bagian layanan pub-


lik LSI Denny JA. Margin of error plus minus 2.9 persen.
Survei dilengkapi dengan riset kualitatif seperti FGD,
media analisis, dan depth interview nara sumber.

-000-

Pilkada Jakarta menarik perhatian nasional. Sebanyak


75.8 persen penduduk Indonesia mengetahui dan
mengikuti kontroversi yang muncul dalam pikada.
Hanya 9. 5 persen yang menyatakan tak mengikuti
dan tak tahu soal pilkada Jakarta. Sisanya, 14.3 persen
menjawab rahasia atau tak menjawab.

Berlarutnya kontroversi pilkada Jakarta hingga


lahirnya gerakan lilin dan pro kontra membuat
kekhawatiran. Sebesar 72.5 persen merasa tak
nyaman. Mayoritas itu berpandangan polarisasi itu
tak lagi sehat. Hanya sebesar 8.7 persen menyatakan
polarisasi yang ada tidak mengkhawatirkan. Sisanya
18.8 rahasia dan tak jawab.

53
Mayoritas publik ingin pemerintah dan penentu ke-
cenderungan untuk lebih membuat upaya ekstra
merekatkan masyarakat. Tapi sistem kenegaraan
apa yang dipilh yang bisa merekatkan kembali ma-
syarakat?

Hanya 2.3 persen publik Indonesia menginginkan


demokrasi liberal seperti yang dipraktekkan di Barat.
Kecilnya prosentase ini sangat mengagetkan. Kata
liberal dan kata Barat di belakang kata demokrasi
mungkin punya konotasi negatif dalam kesadaran
publik.

Hanya 8.7 persen yang menginginkan Indonesia


mengadopsi negara Islam seperti di Timur Tengah.
Sungguhpun 85 persen penduduk Indonesia muslim
namun hanya sedikit sekali menginginkan agama
menjadi bentuk negara.

Mayoritas publik 74 persen menginginkan demokrasi


Pancasila sebagai sistem negara dan perekat. Kata
Pancasila di belakang demokrasi itu sudah sedemikian
mengakar dalam benak publik. Sebanyak 15 persen
rahasia dan tak menjawab.

-000-

54
Besarnya rakyat Indonesia yang menginginkan
demokrasi pancasila bervariasi di aneka segmen
masyarakat. Namun di semua segmen itu, mayoritas
menginginkan Demokrasi Pancasila.

Tapi apakah demokrasi pancasila yang dimaksud oleh


responden? Yang pasti 68, 7 persen menyatakan itu
bukan demokrasi pancasila era Orde Baru. Itu bukan
demokrasi pancasila sebelum amanden UUD 45.

Elemen penting demokrasi pancasila Orde Baru


sudah ditinggalkan sejak era reformasi dan turunnya
Suharto. Dwi fungsi militer, utusan golongan yang tak
dipilih di MPR, presiden sebagai mandataris MPR, dan
terbatasnya kebebasan berserikat serta beropini, itu
elemen Orde Baru yang tidak disukai rakyat masa kini.

Namun demokrasi pancasila yang lebih detail, yang


disetujui publik luas, memang sulit dieksplorasi
melalui kuesioner survei opini publik.

Saya (Denny JA) mencoba menyusun konsep demo-


krasi pancasila yang diperbaharui. Data survei dan
instrumen riset lain menjadi fondasinya.

Ini lima elemen demokrasi pancasila yang diper-


baharui. Tambahan kata “yang diperbarui” di belakang

55
demokrasi pancasila sebagai pembeda dengan demo-
krasi pancasila era pak Harto.

Bisa pula digunakan bahasa dunia digital. Jika demo-


krasi pancasila masa Pak Harto disebut demokrasi
pancasila 1.0, maka demokrasi pancasila yang diper-
baharui, disebut demokrasi pancasila 2.0.

Pertama, demokrasi pancasila mengadopsi mekanis-


me politik umumnya demokrasi seperti di negara
maju. Demokrasi pancasila juga mengadopsi aneka
hak asasi manusia yang dirumuskan PBB.

Itu persyaratan minimal sebuah sistem kenegaraan


untuk sah disebut demokrasi modern. Termasuk di
dalam prinsip itu kesamaan hak sosial politik ekonomi
semua warga negara, apapun identitas sosialnya.
Hak persamaan kaum minoritaspun sentral untuk
dilindungi.

Kedua, namun berbeda dengan demokrasi di dunia


Barat, agama memainkan peran sentral dalam mayo-
ritas perilaku warga. Hadirnya kementerian agama
menjadi modifikasi demokrasi pancasila. Di negara
demokrasi lain, tak mengenal kementerian agama.

Ketiga, hadirnya UU yang melindungi kebebasan aga-

56
ma dan kepercayaan masyarakat. Justru karena peran
agama yang lebih besar dalam perilaku masyarakat,
perlu ada UU yang melindunginya.

Aneka aturan soal agama saat ini berserak-serak dalam


aneka peraturan lain. Saatnya itu semua disatukan,
namun dalam kerangka UU yang lebih melindungi
kebebasan agama. UU itu belum ada dan sedang di-
matangkan di kementerian agama.

Keempat, Pancasila menjadi perekat bangsa. Keber-


agaman agama dan kepercayaan di Indonesia men-
jadikan Pancasila sebagai simbol kebersamaan. Ma-
sing-masing tokoh berpengaruh agama melihat
Pancasila sebagai “common ground,” titik tengah yang
bisa disepakati.

Dan akan jauh lebih mengakar jika Pancasila dilegi-


timasi sebagai mutiara yang terdapat dalam ajaran
agama dan kepercayaannya sendiri.

Kelima, pemerintah di bawah presiden dimandatkan


konstitusi dan undang-undang menjaga dan melin-
dungi keberagaman itu. Gagalnya pemerintah men-
jaga keberagaman dan persatuan dapat menjadi ba-
han untuk memecat presiden.

-000-

57
Presiden Jokowi baru saja menyerukan masyarakat
untuk menghentikan semua aksi yang memperuncing
polarisasi. Ujar presiden, hentikan saling hujat, saling
fitnah, saling demo, karena kita bersaudara.

Seruan presiden itu sejalan dengan temuan survei


LSI Denny JA yang ingin semua kita merekatkan
kembali kebersamaan. Tanggal 20 Mei 2017 menjadi
momentum yang baik untuk kembali menegaskan
demokrasi pancasila yang diperbaharui untuk dijadi-
kan aturan main bersama.

Jangan terlalu lama kita berkubang dalam peristiwa


yang sudah lewat. Segetir apapun peristiwa itu. Satu-
kan energi mencari titik temu aturan main bersama
di ruang publik agar harmoni, bersatu, dan damai
menaungi aneka keragaman dan kepentingan.

Kita jadikan “Demokrasi Pancasila yang diperbarui”


(apapun namanya sejauh dengan substansi yang
sama) sebagai “the only game in town.”

[]

58
APAKAH KEBHINEKAAN KITA
TERANCAM?

(Paska Pilkada Jakarta)

Keberagaman, ujar Robert Casey, harga yang harus


kita bayar jika ingin hidup dalam dunia modern
yang kompleks. Apa yang dikatakan Robert Casey
sudah menjadi “common wisdom,” diaminkan oleh
mayoritas.

Merawat keberagaman, hidup damai dalam per-


bedaan, saling menghormati berbagai persepsi di
ruang publik, menjadi fondasi utama bangunan
demokrasi modern.

Namun benarkah keberagaman di Indonesia kini


terancam? Benarkah fondasi Pancasila goyah paska
kalahnya Ahok dan menangnya Anies?

Selesai pilkada Jakarta, saya membaca banyak ke-


gelisahan. Aneka isu negatif meluas terutama di social
media: di facebook, twitter dan berbagai kelompok
WA.

59
Misalnya isu itu seperti ini. Setelah pilkada Jakarta, kini
pilkada Jabar diserbu isu agama serupa. Bersiaplah.
Isu agama akan meluas dan digunakan untuk me-
ngalahkan tokoh moderat di aneka pilkada lain. Men-
dung untuk keberagaman Indonesia.

Atau, selamat merayakan kemenangan pilkada Ja-


karta. Bersenang-senanglah di atas runtuhnya fondasi
keberagaman bangsa. Tanpa sadar mereka tak hanya
merayakan kemenangan pilkada. Tapi sebenarnya
mereka merayakan kalahnya fondasi keberagaman
Indonesia.

Atau, mereka yang memberi peluang politisasi agama,


harap catat. Pada waktunya, mereka sendiri akan di-
telan oleh gelombang itu. Mereka mengira politisasi
agama hanya alat sesaat saja untuk pilkada. Mereka
lupa, politisasi agama itu akan menjadi monster yang
melahap mereka dan keberagaman kita.

Dari nada dan aura aneka berita tersebut ada ke-


khawatiran yang meluas. Seolah kalahnya Ahok di
Jakarta menjadi penanda kalahnya komunitas pro
keberagaman. Atau menangnya Anies-Sandi di Jakarta
akan membawa gerbong semakin dominannya sya-
riah Islam di dunia publik.

60
Benarkah kekhawatiran itu? Sedang terancamkah ke-
bhinekaan kita?

Saya mengapresiasi kekhawatiran itu, dan positif atas


upaya menjaga keberagaman. Namun saya mem-
bantah kekhawatiran itu dengan tiga hal. Pertama,
data. Kedua, data. Ketiga, data!

-000-

Saya memegang data sebelas kali survei Jakarta se-


jak Maret 2016 sampai April 2017. LSI melakukan
survei paling banyak dibanding lembaga survei lain.
Dinamika opini publik dan persepsi aneka segmentasi
pemilih terbaca jelas dalam sebelas kali survei itu.

Tak benar kalahnya Ahok berarti kalahnya semangat


keberagaman. Yang mengalahkan Ahok di Jakarta
adalah melting pot, kumpulan aneka kepentingan.
Mereka disatukan oleh persepsi yang sama: Ahok
harus dikalahan. Titik!

Memang ada alasan tak ingin memilih Ahok semata


karena Ahok berbeda agama. Namun jauh lebih ba-
nyak di segmen itu menolak Ahok bukan karena
agama Ahok, tapi persepsi mereka atas arogansi
Ahok. Bukan karena agama Ahok tapi karena Ahok
dianggap menista agama mereka.

61
Apakah benar Ahok menista agama? Pengadilan yang
akan memutuskan. Namun mayoritas pemilih punya
persepsi Ahok menista agama, seperti yang terekam
dalam survei berkali-kali.

Mereka dengan sentimen agama adalah the angry


voters, pemilih yang marah. Yang dominan di kalangan
segmen ini bukanlah pemilih yang begitu taat dan
saleh dengan agamanya. Umumnya mereka bukanlah
pendukung syariat Islam di dunia publik.

Banyak pula segmen anti Ahok yang justru aktivis


keberagaman, HAM, dan demokrasi. Bagi mereka
Ahok buruk untuk keberagaman. Demokrasi Indo-
nesia masih labil. Di tangan pemimpin yang tak
sensitif dengan pernyataan publik soal agama, akan
membuat fondasi keberagaman yang labil itu semakin
goyah.

Bagi mereka, justru untuk meneguhkan keberagaman,


Ahok harus dikalahkan. Tentu saja mereka pro Pan-
casila.

Jika ditanya, ibu bapak sekalian, apakah ibu bapak


inginkan demokrasi modern seperti barat, negara
Islam seperti di Timur Tengah, atau negara Pancasila?

62
Yang inginkan negara Islam, syariah Islam di ruang
publik, di bawah 10 persen. Di atas 70 persen pemilih
Jakarta, termasuk yang memilih Anies-Sandi meng-
inginkan Pancasila.

Data membantah kekhawatiran itu. Yang mengalahkan


Ahok bukan minoritas pendukung negara Islam, tapi
justru mayoritas pendukung negara Pancasila!

Itu adalah data, bukan teori, bukan harapan!

-000-

Sering ditanyakan, mengapa pendukung Anies Sandi


yang pro keberagaman bersedia bekerja sama dengan
aneka kelompok intoleran? Bukankah ini berarti
memberi panggung bagi membesarnya kelompok
yang anti keberagaman?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah visi dan fakta


sejarah, bukan lagi data. Demokrasi membolehkan
semua warga negara yang sah untuk berkumpul,
mendukung atau melawan siapapun.

Begitulah mozaik isu publik yang terjadi dalam


praktek demokrasi modern. Untuk satu isu, aneka
kelompok yang berbeda bisa menyatu dalam satu
posisi yang sama. Namun menghadapi isu lain yang

63
berbeda, mereka yang bersatu itu bisa bahkan saling
berhadapan. Bersatu atau berhadapan, itu tergantung
dengan isu sosial yang datang.

Tak usah heran dan itu biasa saja jika dalam kubu yang
anti Ahok itu berkumpul kelompok yang sebenarnya
bertentangan. Ada FPI, HTI yang dianggap garis keras.
Namun ada juga aktivis keberagaman dan HAM di
sana. Ada NU. Ada Muhammadiyah.

Visi demokrasi membolehkan mereka berkumpul


dan bersatu. Tak ada prinsip demokrasi yang di-
langgar. Namun bersatunya mereka hanya untuk isu
pilkada saja. Mereka diikat kepentingan yang sama
mengalahkan Ahok. Mengapa Ahok harus dikalahkan?
Mereka punya alasan berbeda bahkan bertentangan.

Survei LSI sudah mengujinya. Ketika ditanya apakah


sebaiknya Indonesia menerapkan sistem negara
Islam? Pendukung anti Ahok itu terpolarisasi pro dan
kontra saling berhadapan.

Di kalangan anti Ahok dan pendukung Anies, lebih


banyak yang kontra negara Islam ketimbang yang
pro. Ini juga data.

-000-

64
Mengapa kelompok yang pro keberagaman di kubu
Anies Sandi membiarkan garis keras mendapat pang-
gung dan semakin eksis di ruang publik?

Begitulah visi demokrasi modern. Di Amerika Serikat,


ada KKK yang rasialis kulit putih. Ada pula kelompok
Elijah Mohammad yang rasialis kulit hitam. Mereka
dibolehkan hidup di ruang publik. Merekapun dibo-
lehkan ikut pemilu, ikut berkampanye. Mereka dibe-
baskan memilih siapa yang harus didukung dan
dilawan.

Yang dilarang kemudian, bukan gagasannya yang


dianggap rasialis. Yang dilarang hanya jika mereka
melakukan tindakan kriminal.

Ujar John Raws, jika kelompok toleran ternyata tidak


toleran kepada kelompok intoleran, maka kelompok
toleran itu berubah karakternya menjadi kelompok
intoleran.

Kelompok yang toleranpun harus ikhlas bahwa ruang


publik itu milik bersama. Demokrasi dan HAM baik
teori ataupun praktek, membolehkan kelompok into-
leran di ruang publik.

Sejauh masih dalam dunia gagasan, gagasan


yang toleran dan intoleran sama-sama dibolehkan

65
hidup. Dalam pasar bebas dunia gagasan, mereka
dipersilahkan bersaing meyakin publik.

Yang dilarang adalah tindakan kriminal, kekerasan


dan hate speech. Namun larangan itu berlaku bukan
hanya untuk pelaku gagasan yang intoleran. Ia juga
diterapkan untuk pelaku gagasan yang toleran.

Mengapa demokrasi modern tidak takut dengan


gagasan intoleran yang mungkin akan mematikan
demokrasi itu sendiri?

Dalam kurva pasar bebas dunia ide, gagasan intoleran


umumnya hanya minoritas saja, di ekstrem kiri atau
kanan. Mayoritas publik tetaplah pelaku gagasan
toleran.

-000-

Kemenangan Anies Sandi justru kemenangan isu ke-


bhinnekaan yang lebih kokoh. Kebhinnekaan justru
labil jika diwarnai ketimpangan sosial. Kebhinnekaan
justru negatif jika tidak disertai kuatnya rasa persatuan.

Menang telaknya Anies-Sandi di putaran kedua justru


karena gagasan itu: kebhinnekaan yang berkeadilan
sosial dan diwarnai rasa persatuan yang kuat.

66
Dengan isu di atas, Anies-Sandipun menang dalam
segmen pemilih kelas menengah. Tanpa isu kebhine-
kaan, semata isu agama, Anies-Sandi hanya menang
di pemilih menengah bawah saja. Anies akan menang
tipis atau bahkan kalah tipis.

Justru isu kebhinnekaan yang membuat Anies-Sandi


tak hanya menang, tapi menang telak. Ini juga data.

Saya senang ikut merumuskan tema itu bersama


Anies Baswedan. Digitroops di bawah Fahd Pahdepie
membuatkan videonya. Digitroops memainkan isu itu
secara massif di media sosial.

Saya juga senang ikut membantu Prabowo tampil


tegas sekali soal isu keberagaman itu. Digitroops juga
membuat video Prabowo dengan pernyataan sangat
tegas. Ujar Prabowo, saya menjadi orang pertama
yang akan menurunkan Anies-Sandi jika tak setia
pada kebhinekaan, Pancasila dan NKRI.

Kebhinnekaan kita tidak terancam dengan kalahnya


Ahok dan menangnya Anies. Kebhinnekaan kita justru
sedang dalam proses diperkokoh dgn isu keadilan
sosial dan persatuan.

Pilkada sudah selesai. Mari kita move on, melangkah


ke depan. Yang menang didukung dan dibantu. Yang
kalah dihormati dan dirangkul.

67
Keberagaman akan terus tumbuh di Indonesia. Bah-
kan jika Batman, Superman, Ironman dan tokoh
superhero lain bersatu sekalipun untuk menghapus
keberagaman, mereka tak akan berhasil. []

68
JANGAN BENTURKAN
KEINDONESIAAN VERSUS KEISLAMAN

(Paska Pilkada Jakarta)

Marcus Garvey tokoh kontroversial. Namun tetap


ada kutipan darinya yang layak dikenang. Ujarnya:
membangun sistem pada sebuah bangsa, tapi tidak
mengambil elemen terbaik kultur dominan bangsa
itu, sama dengan menegakkan pohon tanpa akar.

Dengan kata lain, itu bukan saja pekerjaan yang


sia-sia. Namun itu kebodohan paling elementer. Sis-
tem apapun yang akan ditegakkan di sana justru
akan dilawan oleh mayoritas masyarakatnya sendiri.
Perlawanan itu akan sangat kokoh karena didukung
oleh kultur yang sudah mengakar.

Berangkat dari kutipan itu, kitapun melihat Indonesia


paska pilkada Jakarta. Membangun Indonesia modern,
membangun keberagaman, tanpa menegaskan kesa-
maannya dengan interpretasi terbaik dari kultur do-
minan di Jakarta (Indonesia), itu sebuah blunder yang
fatal!

69
Mayoritas masyarakat justru harus diyakinkan, bahwa
sistem politik yang ingin kita bangun itu sejalan
belaka dengan pemahaman terbaik keyakinannya.
Platform nasional yang ingin ditegakkan hanyalah
ekspresi berbeda dari interpretasi terbaik kulturnya
sendiri.

Namun apakah kultur dominan di Indonesia yang tak


boleh diabaikan?

-000-

LSI Denny JA sudah melakukan survei nasional ber-


kali-kali sejak tahun 2005 hingga tahun ini, 2017. Dua
fakta kultural ini harus selalu dijadikan referensi.

Pertama, agama dalam batin publik Indonesia sangat


mendalam. Pemahaman mereka atas ajaran agama
akan mewarnai orientasi, pilihan dan pedoman peri-
laku. Hanya di bawah 20 persen dari rakyat Indonesia
yang menyatakan (self-claim) agama tidak menjadi
bagian penting aktivitas pribadi dan publiknya.

Kedua, Demokrasi Pancasila, apapun definisinya, di-


anggap lebih dari 70 persen rakyat Indonesia sebagai
platform nasional Indonesia yang paling mereka pilih.

70
Walaupun mayoritas rakyat itu muslim, hanya dibawah
10 persen populasi Indonesia yang menginginkan ne-
gara Islam. Dan ternyata hanya di bawah 10 persen
populasi Indonesia yang menginginkan demokrasi
liberal seperti di dunia Barat.

Dari survei itu: Agama dan Demokrasi Pancasila men-


jadi kunci. Sistem apapun yang ingin kita jadikan plat-
form nasional, harus dikemas sedemikian rupa bahwa
sistem itu mengakar para interpretasi terbaik dari
agama dan Demokrasi Pancasila.

Sebanyak 85 persen dari populasi Indonesia beragama


Islam. Mayoritas rakyat harus justru diyakinkan plat-
form nasional yang akan ditegakkan berangkat dari
nilai terbaik Islam sendiri.

Karena itu, ini juga warning untuk pemimpin, poli-


tisi, aktivis, ulama, opinion makers, dan penentu kec-
enderungan. Jangan pernah menghadap-hadapkan
antara keindonesiaan vesus keislaman, kebhinnekaan
versus Islam, Pancasila versus Islam, demokrasi versus
Islam.

Jangan pernah membuat publik luas seolah harus


memilih antara Keindonesiaan atau Keislaman, Pan-
casila atau Islam, Kebhinnekaan atau Islam, Demokrasi
atau Islam.

71
Ini akan membuat dua hal. Platform nasional yang
akan kita terapkan tak akan pernah mengakar dan
ditolak. Lebih jauh, Indonesia akan mengalami kereta-
kan kultural yang parah.

-000-

Pancasila adalah platform yang simbolik. Ia bukan


sistem politik ekonomi yang operasional seperti ka-
pitalisme atau komunisme. Justru itu sekaligus juga
kekuatannya. Pancasila lebih bisa diinterpretasi sesuai
kemajuan peradaban.

Dibandingkan semua platform lain, Pancasila menjadi


ikon keindonesiaan yang sudah mengakar. Langkah
berikutnya meyakinkan mayoritas Muslim bahwa
Pancasila itu mutiara yang digali dari ajaran terbaik
Islam sendiri.

Di bawah ini, ikhtiar yang kuat secara konsep dan efek


praktisnya. Aneka sila Pancasila disandingkan dengan
ayat ajaran Al Quran sendiri.

Sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.


Ayat Al-Quran: Dialah Allah, yang Maha Esa (QS: Al
Ikhlas- 1)

72
Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ayat
Al-Quran: Hendaklah kamu menjadi manusia yang
adil (QS: An Nisa: 135)

Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Ayat Al-Quran: Dan


kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya saling kenal- mengenal (QS: Al Hujurat:
13)

Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah


kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Ayat Al-Quran: Sedangkan keputusan mereka (di-
putuskan) dengan musyawarah antara mereka (QS:
Asy Syuro: 38)

Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indo-


nesia. Ayat Al Quran: Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu berbuat adil dan melakukan kebaikan (QS: An
Nahl: 90)

Penting untuk disebarkan seluasnya. Pancasila itu


digali dari akar spiritual bangsa Indonesia sendiri.
Dengan sendirinya, ia ikut digali dari ajaran Islam. Ke-
indonesiaan menjadi mutiara dari Keislaman sendiri.

-000-

73
Bagaimana dengan hak dan perlindungan hukum
kaum minoritas?

Dalam Pancasila, warga negara minoritas juga di-


lindungi dan diperlakukan sama. Melindungi dan
memberikan hak-hak kewarganegaraan yang sedera-
jat itu bagian dari prinsip negara modern yang tak
bisa dihindari dan harus terus dilindungi.

Dalam Demokrasi Pancasila, semua warga negara


apapun agamanya bisa menjadi pemimpin. Ini juga
harga mati untuk membangun sistem demokrasi mo-
dern.

Namun tentu saja setiap individu bebas memilih


pemimpinnya, baik seagama ataupun tidak. Itu sepe-
nuhnya hak individu, tergantung persepsi individu itu
sendiri.

Warga Kristen yang memilih pemimpin beragama


Kristen, warga muslim yang memilih pemimpin mus-
lim, wanita yang ingin memilih pemimpin wanita,
kulit hitam yang ingin memilih pemimpin kulit hitam,
itu semua sah saja. Itu bagian dari hak asasi manusia
yang juga dilindungi. Bahkan mereka dibolehkan
berkampanye atas pilihannya sebagai bagian dari
kebebasan beropini dan berasosiasi.

74
Seorang aktivis feminis boleh berkampanye untuk
memilih pemimpin wanita yang dianggap akan lebih
peka dengan perjuangan wanita. Pendeta boleh
berkhotbah di gereja menyerukan umat memilih
domba Allah yang kini berjuang dalam pemilu.
Hal yang sama untuk ulama yang juga dibolehkan
berkampanye memilih pemimpin satu agama.

Apakah dengan demikian mustahil terpilih pemimpin


minoritas? Jawabnya semua serba mungkin. John
F. Kennedy yang Katolik terpilih di Amerika yang
mayoritasnya Protestan. Obama yang kulit hitam ter-
pilih dalam pemilu yang mayoritas pemilihnya kulit
putih.

Dan Teras Narang yang beragama minoritas di


Propinsi Kalimantan Tengah terpilih di sana yang
mayoritas pemilihnya muslim. Teras Narang terpilih
dua kali pula untuk dua periode jabatan gubernur.
Itu semua tergantung dari craftmanship tokoh yang
bersangkutan

-000-

Kapankah demokrasi modern di Indonesia stabil?


Dengan mengacu pada uraian di atas, demokrasi mo-
dern akan stabil di Indonesia, ketika mayoritas publik
Indonesia, yang minoritas ataupun muslim, meyakini

75
bahwa demokrasi dan Pancasila itu adalah mutiara
dari ajaran agamanya sendiri. Dan bagi yang muslim,
itu semua adalah mutiara dari ajaran Islam sendiri.

Ke sanalah para pemimpin, aktivis, intelektual, ulama,


politisi harus berjuang. []

76
HARUSKAH HTI DIBUBARKAN?

“Jika kita tak bisa menyamakan perbedaan, kita tetap


bisa membuat dunia lebih aman agar perbedaan kita
bisa tumbuh berdampingan dengan damai.”

Itu kutipan John F. Kennedy yang layak menjadi


pedoman bagi siapapun yang ingin membangun
negara modern dan peradaban. Suka atau tak suka,
evolusi peradaban menuju pada semakin beragamnya
gagasan dan gaya hidup. Semakin modern sebuah
masyarakat, semakin ia mengalami diversity.

Seruan paling bijak menghadapi hukum alam evolusi


peradaban: Hiduplah damai dalam keberagaman itu.
Musuh bersama bukan perbedaan gagasan. Apapun
gagasan itu. Musuh bersama adalah kekerasan dan
pemaksaan kehendak yang membuat keberagaman
itu tak bisa berdampingan secara damai.

Dengan prinsip di atas, saya menyarankan pemerintah


untuk lebih berhati-hati mengambil langkah hukum
membubarkan sebuah organisasi. Harus direnungkan
dengan keras, langkah itu justru akan lebih mampu

77
merawat keberagaman Indonesia? Atau justru akan
mencabik-cabik keberagaman Indonesia lebih jauh?

Adakah peluang HTI mengubah haluan negara Indo-


nesia? Adakah peluang HTI mengubah NKRI menjadi
khilafah? Adakah kekerasan sistematis yang dilakukan
HTI yang membahayakan ruang publik kita?

Dua alasan di bawah ini membuat saya menyarankan


pemerintah lebih berhati-hati membubarkan sebuah
organisasi.

-000-

Pertama, adakah peluang HTI mengubah haluan ne-


gara?

Mengubah haluan negara hanya bisa lewat parlemen


dan pemerintahan. Membuat UU saja membutuhkan
proses ketat lobi partai politik di DPR dan pemerintahan
eksekutif. Bolak balik berbulan-bulan belum tentu
DPR dan pemerintah selesai merumuskan sebuah UU.

Apalagi untuk mengubah konstitusi negara. Selama


era reformasi sejak 1998, hampir 20 tahun lalu, aman-
demen konstitusi hanya terjadi satu kali.

78
Tentu saja perangkat politik yang bisa mengubah
haluan negara hanya partai politik. Tanpa partai poli-
tik, tak ada pintunya mengubah haluan negara.

Sementara empat partai politik terbesar partai sangat


kuat elemen nasionalisnya. PDIP, Golkar, Gerin-
dra, Demokrat, selaku empat partai terbesar harus
ditaklukkan dulu untuk mengubah haluan negara.
Mungkinkah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat men-
dukung Khilafah HTI misalnya? Itu hal yang mustahil.
Atau dalam bahasa gaul, di balik itu “hal yang mus-
tahal!

Di luar DPR, opini publik Indonesia punya nada yang


sama. Silahkan dilakukan survei nasional. Di atas 70
persen populasi Indonesia mengidealkan Demokrasi
Pancasila. Hanya di bawah 10 persen yang mengingin-
kan negara Islam.

Dari 10 persen itu, jauh lebih sedikit lagi yang meng-


inginkan sistem khilafah meleburkan NKRI dalam pan
nasionalisme yang menjadi gagasan HTI tersebut.
Bagaimana bisa mengubah batin Indonesia yang su-
dah terbentuk mengakar ratusan tahun?

Baik dari sisi politik formal, ataupun opini publik, tak


ada celah mengubah haluan negara.

79
Satu-satunya cara mengubah haluan negara dengan
angkat senjata memimpin pemberontakan. Maukah
dan mampukah HTI melakukannya?

Yang akan dilawan oleh siapapun yang melakukan


pemberontakan senjata tak hanya TNI. Mereka juga
perlu melawan para pengusaha, media, civil society
dan mayoritas penduduk Indonesia.

Dengan melihat realitas praktis di atas, tak ada yang


ditakutkan dengan gagasan ataupun eksistensi HTI.
Ibarat taman bunga, kembang HTI hanya tumbuh
kecil saja di pojok sana. Ia tak akan bisa memakan
dan menyeragamkan ribuan bunga yang berbeda di
taman itu.

-000-

Kedua: Bukankah keberagaman itu tak terhindarkan?

“Saya tak setuju pandangan tuan. Tapi hak tuan me-


nyampaikan pandangan itu akan saya bela sampai
mati.” Itu pernyataan terkenal dari Voltaire. Sikap
Voltaire menjadi spirit demokrasi.

Bahkan dalam khazanah yang lebih tua, Islampun


punya prinsip yang sama: tak ada paksaan dalam
agama. Jika agama saja tak perlu dan tak bisa dipaksa,

80
apalagi gagasan yang lebih rendah dari sakralitas
agama.

Keberagaman adalah ongkos yang tak terhindari


untuk hidup di dunia modern. Apa daya begitu
banyak gagasan dan gaya hidup, termasuk ideologi,
pemikiran yang berbeda dan saling bertentangan.

Hak Asasi Manusia dan Demokrasi lahir justru untuk


mengatur keberagaman itu agar bisa hidup ber-
dampingan dengan damai.

Pastilah yang fanatik Sunni tak suka dengan fanatik


Syiah. Begitu pula sebaliknya. Yang fanatik percaya
Tuhan tak suka yang fanatik anti Tuhan. Begitu pula
sebaliknya.

Yang fanatik hetroseksual tak suka LGBT. Yang fana-


tik pro keberagaman tak suka gagasan yang anti
keberagaman dan yang intoleran.

Tapi apa daya? Itu semua evolusi kesadaran masing-


masing individu. HAM lahir untuk melindungi hak
individu meyakini semua gagasan di atas. Di dunia
modern, yang unik, lucu, norak, ekstrem lahir tak ter-
hindari. Suka atau tak suka, silahkan telan!

Demokrasi lahir untuk memberikan semua gagasan


itu kesempatan yang sama hidup dan bertarung di

81
ruang publik secara damai. Yang ekstrem A punya hak
hidup. Yang ekstrem anti A diberikan hak hidup yang
sama. Silakan bersinergi dengan cerdas dan non-
kekerasan.

Justru dari sinergi ribuan gagasan yang berbeda, bah-


kan bertentangan, bisa saling kupas, saling isi, saling
tambah, saling kurang, menjadi sintesa kultural yang
lebih tinggi.

Yang dilarang hanyalah pemaksaan dengan kekerasan


dan tindakan kriminal. Itu sebabnya mengapa KKK
yang sangat rasis dan memuja supremasi kulit putih
tetap boleh hidup di Amerika Serikat. Hak hidup yang
sama diberikan kepada Nation of Islam yang memuja
supremasi kulit hitam.

Pasar bebas demokrasi memiliki hukumnya sendiri.


Mereka yang ekstrem selalu minoritas. Gagasan me-
reka akan dilawan bukan saja oleh ekstrem di ujung
lainnya. Mereka juga akan dilawan oleh mayoritas
yang ada di tengah.

Namun pertukaran gagasan antar mereka yang ber-


agaman itu memajukan peradaban. Gerakan supremasi
kulit hitam misalnya bisa tetap memberikan inspirasi
pentingnya keadilan ekonomi bagi kulit hitam. Selalu
mungkin ada akar ketimpangan ekonomi di balik

82
gagasan ekstrem itu. Hadirnya kelompok ekstrem itu
bisa menjadi simulasi perbaikan sistem makro.

Satu-satunya yang diharamkan dalam keberagaman


adalah kekerasan, pemaksaan kehendak dan kriminal.
Pelaku kekerasan dari KKK yang membunuh dan
menyalip kulit hitam dikejar aparat dan dihukum
keras. Film Holywood Mississipi Burning sangat epik
menggambarkan itu.

Tapi organisasi KKK dan gagasan supremasi kulit putih


dibiarkan hidup. Individu tak boleh dipenjara hanya
karena gagasannya.

HTI, seaneh apapun gagasannya dapat diperlakukan


serupa. Namun, sekali ada pimpinan dan pengikut HTI
melakukan kekerasan, ia harus ditindak.

Prinsip ini berlaku juga untuk organisasi lain. Bahkan


pembela Pancasilapun jika melakukan kekerasan ha-
rus pula ditindak.

Kekerasan, bukan gagasan, yang menjadi musuh ber-


sama.

-000-

Kita menghargai upaya pemerintah untuk merawat


keberagaman. Justru karena kita cinta keberagaman.

83
Justru karena kita membela Pancasila. Justru karena
kita rindukan demokrasi. Kita memberi saran peme-
rintah untuk lebih berhati-hati membubarkan organ-
isasi. Pikirkan presedennya. Pikirkan apa yang disebut
“unintended consequence,” efek tak terduga.

Organisasi dapat dibubarkan. Tapi gagasan di dalam-


nya selalu bisa tumbuh justru dalam bentuk yang lebih
berbahaya jika bergerak di bawah tanah. Gagasan
apapun lebih baik resmi dan terpantau, ketimbang
tak resmi dan gerilya diam-diam.

Kita tidak hidup 24 jam melakukan kebaikan dan


keburukan. Lebih baik individunya yang dihukum jika
ia terbukti melakukan kejahatan. Itupun harus lewat
pengadilan.[]

9 Mei 2017

84
PRO KEBERAGAMAN VERSUS
PRO KEBERAGAMAN DI PILKADA
JAKARTA

(Renungan Paska Pilkada dan Pengadilan Ahok)

Huston Smith seorang scholar terpandang ahli per-


bandingan agama. Bukunya The World’s Religion
terjual lebih dari 2 juta kopi. Ia mendalami aneka aga-
ma dan keberagaman pandangan di dalamnya.

Kutipan yang terkenal dari Huston Smith: “All Isms


end up in schism.” Semua paham yang ada, agama
ataupun ideologi sekuler, ketika berevolusi dan mem-
besar akan berakhir dalam spektrum penafsiran
yang bertentangan. Selalu terjadi schism, polarisasi
pandangan dalam batin internal agama atau ideologi
itu.

Dalam Islam, misalnya, lahir Sunni versus Syiah. Da-


lam Kristen, lahir Katolik versus Protestan. Dalam
Marxisme, lahir komunisme versus Marxis yang anti
komunisme.

85
Kadang pertengkaran Sunni versus Syiah, lebih
keras ketimbang Islam vs Kristen. Hal yang sama
terjadi dalam pertengkaran internal Protestan vs
Katolik. Atau antar penganut paham Marxisme A
versus Marxisme B, Kapitalisme A versus Kapitalisme
B, Demokrasi A versus Demokrasi B, Nasionalisme A
versus Nasionalisme B, dan aneka isme lainnya.

Dalam pilkada Jakarta, kita juga menyaksikan per-


tengkaran dua jenis aktivis, intelektual yang keduanya
mengklaim pro keberagaman. Pertengkaran dua ku-
bu ini tak kalah sengitnya.

Yang satu pro Ahok, yang satu anti Ahok. Yang satu
mengharamkan digunakannya UU penistaan agama
untuk Ahok, yang satu membolehkan bahkan meng-
anjurkan. Yang satu menolak bekerja sama dengan
kelompok yang dianggap intoleran, yang satu tidak
mempermasalahkannya.

-000-

Data sudah berbicara. Yang memenangkan Anies-


Sandi bukanlah semata Islam radikal, sebagaimana
banyak diulas media Barat.

86
AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik) adalah asosiasi
lembaga survei pertama di Indonesia. Di tahun 2009,
AROPI berhasil mematahkan dua UU di MK yang
melarang diumumkannya quick count di hari pemilu.
Berkat perjuangan AROPI, kini kita menikmati quick
count. Kita tahu siapa yang menang pemilu sebelum
KPU memutuskan seminggu atau sebulan kemudian.

AROPI baru saja mengumumkan temuannya. Penganut


Islam Radikal, jika didefisinikan menginginkan Indo-
nesia menjadi negara Islam, hanyalah di bawah 10
persen dari populasi Jakarta. Mustahil komunitas 10
persen semata bisa memenangkan Anies-Sandi yang
memperoleh 58 persen dukungan.

Terdapat lebih dari 90 persen pemilih Jakarta yang


tidak mengidealkan negara Islam. Mereka pro kebe-
ragaman. Mereka pro demokrasi. Justru di segmen ini-
lah kontribusi paling besar kemenangan Anies Sandi.

Dalam komunitas 90 persen populasi Jakarta, ter-


dapatlah dua kubu pro keberagaman itu. 42 persen di
kubu Ahok. 48 persen di kubu Anies.

Pro keberagaman versus pro keberagaman. Ternyata


populasi pro keberagaman yang memilih Anies-Sandi
lebih banyak dibandingkan pro keberagaman yang
memilih Ahok.

87
Mengapa? Apa perbedaan sesungguhnya dari konsep
pro keberagaman pro Ahok vesus pro keberagaman
kontra Ahok?

-000-

Dua kubu pro keberagaman itu terpolarisasi dalam


perbedaan atas tiga isu penting. Memang belum ada
konsep utuh menyeluruh masing-masing kubu untuk
menggambarkan konsep mereka. Saya mencoba
mengkonstruksikannya dari serpihan argumen yang
berserakan.

Untuk memudahkan analisa, saya sebut saja pro ke-


beragaman yang memilih Ahok dengan Kelompok A.
Yang satunya kelompok kontra A.

Isu satu: Ahok baik atau buruk untuk keberagaman?

Kelompok A: Ahok baik untuk keberagaman. Jika


ia terpilih apalagi di ibu kota akan menjadi contoh
revolusioner. Bahwa mayoritas dan minoritas kini tak
menjadi masalah di ruang publik.

Ahok yang triple minority (agama, etnis, pendatang),


dipilih oleh mayoritas populasi DKI dalam pemilu
bebas dan langung. Ini lompatan signifikan bagi per-
juangan tanpa diskriminasi.

88
Virus ini segera menjadi pesan ke suluruh air. Indo-
nesia sudah berada dalam kultur demokrasi dan ke-
bhinnekaan yang matang. Sangat sangat matang.

Kelompok kontra A: Ahok buruk untuk keberagaman.


Justru untuk kepentingan keberagaman, Ahok harus
dikalahkan.

Ia tidak peka dengan emosi massa, apalagi yang sensitif


soal agama. Kehadiran Ahok justru memberikan
panggung kepada Islam garis keras untuk tampil dan
membesar.

Kita memang butuh tokoh minoritas untuk menang


dalam teritori mayoritas sebagai contoh. Tapi tokoh-
nya harus yang friendly, yang bersahabat, yang tidak
dianggap mengancam. Ahok bukan tipe itu. Ia bahkan
berkasus “menista” agama mayoritas.

Ahok harus dikalahkan bukan karena ia minoritas. Ia


harus dikalahkan karena dapat lebih merusak kebe-
ragaman yang masih labil. Jika yang dicap menista
agama menang, polarisasi akan semakin merusak ke-
beragaman yang masih labil.

Kita harus menunggu tokoh minoritas lain yang lebih


sesuai. Spirit mengalahkan Ahok justru untuk kebe-
ragaman jangka panjang yang lebih stabil.

89
Isu dua: Perlu atau Dilarang menerapkan UU Pe-
nistaan Agama?

Kelompok A: Jangan pernah menggunakan UU penis-


taan agama. UU itu bertentangan dengan sistem de-
mokrasi. Kali ini Ahok korbannya. Besok lusa pihak lain
atau Anda sendiri.

Menggunakan UU penistaan agama merupakan


pengkhianatan atas prinsip demokrasi, HAM dan ke-
bhinnekaan. Siapapun yang mendukung penerapan
UU penista agama pengkhianat keberagaman!

Kelompok kontra A: Bahkan di negara demokrasi


seperti Denmark, Kanada dan Jerman, UU Penistaan
agama juga diterapkan. Itu hal yg sah saja. Sejarah
masing-masing negara menghasilkan nuansa demo-
krasi yang berbeda.

Toh UU itu pernah diuji melalui proses lembaga


demokratis di MK. Dalam proses ini UU itu diperkuat.
UU itu hadir dalam hukum nasional. Law enforcement
atas UU yang ada justru bagian demokrasi.

Silakan UU itu dibawa kembali untuk direview ke MK.


Atau dihapus oleh UU Perlindungan Umat Beragama
yang baru. Tapi sekali UU itu masih ada, masih berlaku,
pastilah ia sah, halal, dan sesuai dengan prinsip demo-
krasi untuk dieksekusi.

90
Isu Ketiga: Boleh atau dilarang bekerja sama de-
ngan kelompok toleran dalam pilkada/pemilu?

Kelompok A: Jangan pernah bekerja sama dengan


kelompok intoleran, seperti FPI, HTI, dll. Mereka anti
keberagaman. Bekerja sama dengan mereka itu se-
perti memelihara anak macan. Ketika membesar,
dirimu pun akan dilahapnya. Keberagaman dalam
bahaya.

Mereka yang bekerja sama dengan kelompok into-


leran mengkhianati keberagaman. Itu sama dengan
memelihara perusak di rumah sendiri.

Kelompok kontra A: Demokrasi itu untuk semua, apa-


lagi ormas yang berbadan hukum yang sah. Bekerja
sama dengan siapapun yang dibolehkan hukum
nasional adalah pilihan taktis yang valid belaka. Me-
reka yang dianggap intoleran punya hak sosial yang
sama, yang dilindungi konstitusi.

Apakah kerja sama dalam pilkada Jakarta akan mem-


buat kelompok intoleran membesar? Pasar bebas du-
nia gagasan akan membuat kelompok apapun yang
ekstrem tetap minoritas.

Dunia modern selalu multi isu. Hal yang biasa di satu


isu, aneka kelompok bersatu untuk sebuah kepen-

91
tingan. Untuk isu lain, kelompok yang bersatu itu
bahkan bertentangan. Itulah demokrasi. Take it easy!

Tak ada masalah membuat koalisi politik yang taktis


untuk satu kepentingan. Itu hal yang lazim belaka.

-000-

Para pendukung pro keberagaman harus mulai mem-


buka mata. Bahwa ada schism, ada banyak mazhab
dalam paham keberagaman sendiri.

Mereka harus menyadari hukum gagasan seperti yang


disebut Huston Smith: “Every ism end up in schism.”

Jangan merasa gagasan kubu mereka sebagai satu-


satunya pewaris yang sah pejuang keberagaman. Di
luar mereka seolah murtad belaka.

Pada titik inilah kita mengaminkan John Rawls ketika


ia mengatakan: Kelompok toleran yang tidak toleran
kepada hak hidup gagasan yang berbeda dengan
mereka (yang mereka anggap gagasan intoleran),
sesungguhnya sudah mengubah watak mereka sen-
diri menjadi bagian dari kelompok intoleran.

92
Apakah ini berarti kita harus mendukung gagasan
intoleran? NO! Kita lawan gagasan mereka di ruang
publik. Namun kita hormati hak hidup mereka selama
mereka memang ormas yang sah berdasarkan hukum
Indonesia.

Tapi pemerintah harus menjadi wasit yang tegas


menghukum siapapun yang melakukan kekerasan,
pemaksaan dan kriminal.

Jika ruang publik seperti ini bisa terbentuk di Indo-


nesia, saya menyebutnya sistem Demokrasi Pancasila
yang diperbaharui.[]

Mei 2017

93
94
BANGKITNYA POLITIK IDENTITAS:

PERSEPSI TERANCAM DI BALIK AKSI


LILIN PRO AHOK VS DEMO ANTI
AHOK

George S. Patton oleh sejarahwan dianggap satu


dari panglima perang paling sukses dalam sejarah.
Ia memimpin tentara Amerika Serikat sukses meme-
nangkan perang dunia kedua.

Ia membagi pengalamannya dalam perang. Ujarnya


suatu ketika: rasa takut yang mengendap cukup
dalam di hati seorang individu jusru bisa menjelma
menjadi kekuatan ekstra untuk berjuang. Rasa takut
yang dialami bersama oleh sebuah kelompok, karena
merasa survival kelompoknya terancam, justru men-
jadi energi luar biasa untuk melawan.

Saya menggunakan kutipan Geoge S. Patton untuk


memahami gerakan anti Ahok ataupun pro Ahok.
Lama saya merenung, energi apakah gerangan yang
membuat pilkada Jakarta sedemikian semarak, baik
sebelum kampanye dimulai, dan setelah pilkada sele-
sai.

95
Tak pernah terjadi sebelumnya, gerakan pro kontra
seorang kandidat sepanas, seheboh, dan se “wow”
kasus Ahok di Pilkada Jakarta 2017. Tak pernah terjadi
sebelumnya di aneka pilkada, begitu banyak massa
terlibat bahkan dari luar teritori yang mempunyai hak
memilih untuk pilkada.

Melalui renungan jenderal Patton di atas, saya me-


nangkap adanya rasa takut, dan persepsi terancam
baik di kubu pro Ahok ataupun Anti Ahok. Rasa takut
dan terancam? Ya! Itu yang membuat gerakan pro dan
kontra menjadi super heboh, melampaui rata-rata.

Aksi 411, 212 yang kontra Ahok, begitu emosional


dan melibatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan
massa. Hal yang sama, aksi lilin pro Ahok paska Ahok
dipenjara juga emosional dan terjadi di banyak kota.

Ini fenomena bangkitnya politik identitas paska


reformasi. Sentimen politik berdasarkan agama dan
etnik kembali mengemuka. Apakah sebabnya? Bagai-
mana menciptakan sistem kelembagaan makro agar
sentimen politik identitas itu justru akhirnya ber-
sinergi positif?

-000-

96
Rasa takut dan persepsi terancam dialami oleh mereka
yang pro Ahok ataupun anti Ahok. Memang belum
ada abstraksi komprehensif menggambarkan jenis
rasa takut di dua kubu yang bertentangan itu.

Saya cukup beruntung karena mendengar batin ke-


lompok ini. Sejak maret 2016 hingga tulisan ini dibuat,
Mei 2017, saya (LSI Denny JA) melakukan sebelas kali
survei opini publik Jakarta, dan satu survei nasional.
Saya aktif membaca puluhan berita setiap hari sebagai
peneliti ataupun konsultan politik soal pilkada Jakarta.

Saya ikuti aneka media sosial: facebook, twitter dan


WA grup dua kelompok yang berseberangan pro
dan kontra Ahok. Dari aktivitas saya menyelami ba-
tin pilkada Jakarta, tergambar jenis ketakutan dan
persepsi terancam itu.

Pertama, Rasa Takut dan Persepsi Terancam di Kubu


Pro Ahok

Empat jenis rasa takut dan terancam ini berkombinasi.


Setelah Ahok divonis penjara, di bulan Mei pula,
membangkitkan sebagian akan memori Tragedi Mei
1998. Itu situasi ketika kekerasan menimpa etnis
Tionghoa. Itu kondisi ketika etnis Tionghoa menjadi
sasaran amuk massa.

97
Masih gelap hingga kini seberapa banyak korban yang
sebenarnya, baik korban nyawa, dan terutama korban
kekerasan seksual. Banyak warga etnis Tionghoa yang
migrasi ke luar negeri untuk sementara ataupun per-
manen.

Memori tersebut menjadi penambah energi kekuatan


pro Ahok. Harus dilakukan reaksi yang agak ekstra
agar kasus Ahok tidak menimpa etnis minoritas pada
umumnya. Demikian yang terbaca.

Tersingkirnya Ahok dalam pilkada Jakarta juga di-


khawatirkan menjadi preseden yang akan diulang
di tempat lain. Kesempatan minoritas untuk ikut
menjadi pemimpin dalam sebuah teritori akan ter-
tutup. Isu minoritas agama dan etnis ternyata ampuh
dimobilisasi terlepas sebagus apapun kinerja kandidat
minoritas itu.

Di balik itu, dikhawatirkan pula berkuasanya aksi


massa melampaui instrumen politik yang lebih tertata.
Ada bayangan aksi massa ini yang berhasil menekan
para hakim menjatuhkan vonis penjara buat Ahok
melampaui tuntutan Jaksa. Ada kekhawatiran aksi
massa ini menuntun pada mobokrasi, berkuasanya
tokoh yang semata populer di mata aksi massa walau
tidak kompeten.

98
Yang paling dikhawatirkan tentu bangkitnya Islam
Politik. Kekalahan Ahok dianggap buah karya sig-
nifikan dari politisasi isu agama. Pelan-pelan Indonesia
dikhawatirkan menjelama menjadi NKRI bersyariah.

Karena itu, sebelum terlambat, hanya ada satu kata:


Lawan! Jika perlu gunakan lobi internasional untuk
menekan. Mereka juga khawatir pemerintahan
Jokowi akhirnya tunduk pada sentimen massa dalam
rangka pilpres 2019.

Isu kebangsaan, keberagaman, kebebasan sipil, ke-


setaraan warga negara terlepas apapun identitas
sosialnya, dikhawatirkan mengendur.

Kombinasi rasa takut dan persepsi terancam di atas


menjadi kekuatan luar biasa. Karena persepsi itu ge-
rakan lilin, solidaritas Ahok, pawai kebhinnekaan
meluas ke banyak kota.

Kedua, Rasa Takut dan Persepsi Terancam Kubu Kontra


Ahok.

Kubu kontra Ahok juga memiliki rasa ketakutan dan


persepsinya sendiri. Ahok dianggap hanya fenomena
dari ekonomi politik yang lebih besar.

99
Ada kekhawatiran munculnya dominant minority.
Ahok jika terpilih sebagai gubernur akan menjadi pin-
tu masuk paling signifikan bagi dominant minority.

Istilah itu mengacu pada lahirnya kelompok etnis


minoritas tapi sangat dominan. Mereka tak hanya me-
nguasai dan dominan atas ekonomi sebuah negara.
Namun mereka juga mulai mengarah berkuasa untuk
jabatan politik dan budaya.

Sudah menjadi pengetahuan umum. Dari katakanlah


50 orang terkaya Indonesia, sangat dan sangat
mayoritas datang dari warga etnis Tionghoa. Ada ke-
khawatiran etnis Tionghoa tak hanya puas dengan
dominasi bisnis, namun segera pula menguasai po-
litik.

Bangunan sebuah bangsa akan rentan jika yang do-


minan justru yang minoritas. Ini akan menjadi rumput
kering yang mudah disulut menjadi keresahan emo-
sional.

Persepsi di atas bercampur pula dengan rasa khawatir


mayoritas warga menjadi powerless majority. Mereka
hanya banyak dalam jumlah, namun tak berdaya da-
lam ekonomi dan politik.

100
Kekhawatiran ini menghinggapi tak hanya massa, na-
mun juga elite. Tak hanya mereka yang kuat dan keras
sentimen Islamnya. Tapi juga itu menghantui mereka
yang menyebut dengan bangga kaum pribumi.

Ketakutan ini semakin disulut oleh apa yang diper-


sepsikan dengan arogansi minoritas. Di sinilah titik
paling lemah dari Ahok. Bukan hanya ia minoritas
secara etnik dan agama. Tapi ia tercatat dan diper-
sepsikan sebagai minoritas yang arogan.

Ia memaki seorang ibu dengan sebutan maling.


Ia menyatakan bersedia membunuh 2000 orang
demi 10 juta penduduk. Ibu yang menangis digusur
dikatakannya bermain sinetron. Di TV enteng saja ia
berulang menyebut taik taik.

Persepsi minoritas yang arogan itu menemui pun-


caknya ketika Ahok bicara soal Al Maidah. Akumulasi
kemarahan sebelumnya menjadikan kasus Al Maidah
sebagai titik temu.

Di balik besarnya gelombang Al Maidah, itu tak hanya


sentimen agama yang bekerja. Namun ia juga menjadi
kanalisasi kemarahan publik luas atas “minoritas
arogan” yang dipersepsikan ke Ahok.

101
Kasus minoritas yang arogan menjadi lebih tersulut
oleh kisah yang menimpa gubernur NTB Tuan Guru
Bajang. Ia dimaki juga oleh seseorang dengan sebutan
“dasar pribumi, tiko!” Kebetulan Steven yang memaki
itu seorang minoritas pula.

Ada yang mengartikan tiko sebagai tikus kotor. Ada


yang mengartikan babi dan anjing. Di era media
sosial, segera kisah itu menyulut sensitivitas banyak
orang muslim dan pribumi. Mereka semakin khawatir
minoritas tak hanya berkuasa tapi juga arogan, dan
enteng saja menghina. Mentang-mentang!

Bisa jadi kekhawatiran itu berlebihan. Namun dalam


emosi massa, persepsi itu menyebar efektif. Kasus ini
ikut pula menyumbangkan kekalahan telak Ahok.

Hal di atas sempat terekam dalam batin komunitas


pro dan kontra Ahok. Sebagian faktual. Mungkin
juga sebagian ilusi. Sebagian nyata. Mungkin pula
sebagian hanya imajinasi. Sebagian murni. Sebagian
mungkin rekayasa.

Namun semua itu bersinergi membentuk persepsi.


Dan politik adalah persepsi.

-000-

102
Rasa takut dan persepsi di atas sangat nyata. Emosi
itu ikut membangkitkan kembali dan menyulut po-
litik identitas. Sistem politik ekonomi bagaimana
yang harus kita kembangkan untuk mengakomodasi
sentimen di atas? Lalu bagaimana kita bisa meng-
olahnya menjadi sinergi yang positif?

Politik identitas adalah pengelompokan politik ber-


dasarkan sentimen identitas sosial (agama, etnis,
ras, gender, orientasi seksual). Ini identitas paling tua
dalam politik praktis. Kekuatan sentimen ini meng-
endur atau menguat sepanjang sejarah. Yang pasti ia
tak pernah memudar hingga ke era digital dan post-
modern.

Kalangan Marxis pernah mengecam munculnya politik


identitas. Ia dianggap mengaburkan pengelompokan
politik yang seharusnya bersandar pada kelas saja:
buruh verus pemodal.

Kalangan liberalis juga banyak mengecam tampil-


nya politik identitas. Bagi mereka sebaiknya penge-
lompokan politik sudah bergeser hanya pada ideologi
modern, partai politik, atau program kerja (public
policy).

Namun politik identitas menunjukkan sumbangan


yang positif bagi munculnya kesetaraan warga negara.

103
Politik kulit hitam bergerak menuntut persamaan hak.
Kaum feminis bersuara soal emansipasi. Agamawan
berseru dihapusnya diskriminasi. Kini kaum gay
lesbian meminta perlindungan hukum bagi hak so-
sialnya.

Rasa tak adil yang dialami sebuah grup identitas acap-


kali memicu lahirnya politik identitas. Kesetaraan
warga negara apapun identitas sosialnya menjadi
buah paling manis gerakan politik identitas. Suka
atau tidak, kultur modern kesetaraan warga negara,
apapun identitasnya, sumbangan gerakan ini, kini
menjadi fondasi negara modern.

Umumnya politik identitas ini tumbuh di kalangan


minoritas yang memang powerless. Lebih ironi lagi,
sentimen itu kadang juga tumbuh di kalangan mayo-
ritas yang powerless.

Jika minoritas yang powerless, itu jamak belaka.


Tapi jika mayoritas yang powerless itu kasus khusus
dan berbahaya. Contohnya kulit hitam di Afrika Se-
latan, melawan dominant minority kulit putih. Atau
Kelompok Syiah di Irak melawan dominan minority
Sunni. Atau suku Hutus melawan dominan minority
suku Tutsi di Rwanda.

104
Namun jika politik identitas dimainkan berlebihan,
disertai kekerasan, ia justru berpotensi merusak ruang
publik sebuah negara yang beragam. Tantangan ne-
gara dan bangsa yang beragam membuat politik
identitas itu tetap berada dalam porsi yang normal.

Tapi apakah ukuran porsi normal itu? Bisakah politik


identitas itu diakomodasi tapi tetap memberikan
sinergi yang postif?

Banyak yang bisa kita kerjakan bersama untuk Indo-


nesia, termasuk proposal ini. Saya menyebutnya
Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.

Empat komponen di bawah ini saling melengkapi.


Satu tak terpisahkan dari yang lain. Ada yang bersifat
kelembagaan. Ada yang bersifat craftmanship peran
aktor. Dan ada yang bersifat kultural.

Ini empat unsur Demokrasi Pancasila yang diper-


baharui. Pertama, menegaskan persamaan hak warga
negara dan mengakui semua jenis hak asasi yang
sudah disetujui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Di era demokrasi, semua warga, apapun identitas


sosialnya, memiliki hak yang sama, bahkan untuk
memimpin. Mengadopsi aneka hak asasi yang diakui
PBB membuat Indonesia mengakomodasi puncak
peradaban.

105
Kedua, toleransi hadirnya peran agama di ruang pub-
lik. Berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi
pancasila memiliki kementerian agama. Pemerintah
ikut berperan menjaga harmoni agama warga.

Ada satu hal yang perlu ditambahkan: UU Perlindungan


Umat Beragama. Justru karena dosis agama di negeri
Pancasila itu lebih dibandingkan negara demokrasi
liberal, perlu ada aturan hukum tingkat tinggi. Namun
UU itu lebih diarahkan untuk menjamin keberagaman
agama serta kepercayaan.

Ketiga, pemerintah diamanatkan bertindak tegas dan


keras menjaga keberagaman itu. Seseorang tak boleh
dipenjara hanya karena punya mimpi atau punya cita-
cita sosial, atau memiliki gagasan senorak atau selucu
apapun. Bahkan tak ada paksaan dalam agama. Apa-
lagi untuk paham yang sekuler, tiada paksaan pula.

Namun sekali individu atau kelompok melakukan


kekerasan dan kriminal, mereka harus cepat ditindak
negara. Bukan gagasan, tapi kekerasan yang membuat
seseorang harus ditindak secara hukum.

Keempat, kultur politik yang sabar untuk mema-


tangkan demokrasi. Walau secara hukum, minoritas
memiliki hak untuk memimpin, namun dibutuhkan
kematangan kultural agak lama untuk membuat

106
minoritas bisa memimpin mayoritas secara damai dan
diterima.

Amerika Serikat merdeka tahun 1776. Baru di tahun


1953, lebih 170 tahun kemudian bisa terpilih seorang
presiden yang bukan Protestan: John F. Kennedy yang
Katolik. Baru di tahun 2008, lebih 230 tahun kemudian
bisa terpilih yang bukan kulit putih: Obama yang kulit
hitam. Dan kini 240 tahun kemudian, capres wanita di
AS selalu kalah.

Semua diterima sebagai evolusi kultural yang lumrah


belaka. Hukum sudah mengatur persamaan hak sosial
mayoritas dan minoritas. Namun kematangan kultur
menerima minoritas menjadi pemimpin itu sebuah
proses yang lebih panjang. Itu juga membutuhkan
jenis pemimpin minoritas yang tidak dianggap anca-
mam oleh mayoritas.

-000-

Demokrasi itu seperti bunga Lisianthus. Ia cantik dan


sangat berharga. Namun butuh kesabaran merawat-
nya.

Merawat bunga Lisianthus memerlukan suhu yang


pas, air yang cukup, dan tahapan perkembangan yang
natural. Keinginan mempercepat mekarnya bunga
Lisianthus justru bisa membuat bunga itu mati.

107
Hal yang sama dengan demokrasi. Tak bisa kita me-
nyatakan “bim salabim” lalu demokrasi yang ideal
langsung tumbuh di Indonesia.

Kasus pro dan kontra Ahok menjadi proses belajar


yang berharga. Seperti yang dikatakan Jendral
George S. Patton, marilah kita mengenali rasa takut
dan persepsi terancam di masing-masing kubu. Mari-
lah kita berdiri menggunakan sepatu pihak sana.

Demokrasi Pancasila yang diperbaharui bisa menjadi


titik awal kita mencari solusi kelembagaan bersama
untuk ruang publik Indonesia ke depan. []

108
BAB III

BERAGAMA
DI ZAMAN NOW

109
110
TREN DUNIA MENUJU KEBERAGAMAN?

Apa yang terjadi di Arab Saudi, Amerika Serikat dan


Indonesia belakangan ini di tahun 2017

Untuk pertama kali Arab Saudi membolehkan wanita


datang ke stadion menonton event olah raga. Untuk
pertama kalinya Arab Saudi membolehkan wanita
mengendarai mobil tanpa didampingi pelindung
lelaki.

Untuk pertama kali, kaum Transgender (individu


yang mengubah kelamin) terpilih dan menang dalam
pemilu di Amerika Serikat. Untuk pertama kali, kolom
agama KTP di Indonesia bisa diisi dengan aliran ke-
percayaan.

Apakah tren dunia kini semakin Pro-Keberagaman?


Kita teringat John F. Kennedy. Suatu ketika ia berkata:
“Kita tak bisa menghentikan hadirnya perbedaan
di antara kita. Namun kita bisa bekerja sama untuk
hidup bagi dunia yang lebih nyaman bagi perbedaan
dan keberagaman kita.”

111
Kutipan pendek Kennedy cukup menggambarkan
jalannya evolusi peradaban. Suka atau tak suka,
evolusi membawa kita pada keberagaman yang
semakin kompleks. Merespons itu lahir para aktivis,
pemikir, dan pemimpin yang berjuang agar tercipta
lingkungan yang nyaman buat semua.

Secara biologis, satu jenis ikan ribuan tahun lalu kini


berevolusi menjadi ribuan jenis ikan. Secara budaya,
satu jenis life style 300.000 tahun lalu ketika homo
sapiens pertama hadir, kini menjadi ratusan jenis life
style di era digital.

Semua laju yang semakin lama semakin berbeda dan


beragam itu tak bisa dihentikan walau oleh bom nuklir
atau negara adi kuasa manapun. Evolusi hukum alam
lebih kuat dibandingkan segala resistensi manusia.

Kini keberagaman dalam life style memerlukan ling-


kungan yang nyaman bagi semua. Mereka menuntut
hak politik yang sama, dan perlindungan hukum yang
sederajat.

Dua bulan ini, kita menyaksikan peristiwa peradaban


pro keberagaman menang di pusat dunia: Arab
(Dunia Islam), Amerika (Dunia Modern), Indonesia
(Dunia Pancasila).

-000-

112
Hak wanita untuk boleh mengendarai mobil sendiri
akhirnya disahkan oleh kerajaan Arab Saudi. Aktivis
wanita di sana dan dibantu gerakan hak asasi dunia
sudah memperjuangkannya sejak tahun 1990an,
lebih dari 20 tahun lalu.

Arab dikenal sebagai negara yang sangat konservatif,


dan selalui membuat kebijakan yang tak boleh
bertentangan dengan persepsi penguasa plus ulama
soal Hukum Islam.

Sejak 2011, kita menyaksikan perubahan signifikan


pemeritahan Arab Saudi atas wanita di ruang publik.
Di tahun itu, King Abdullah membolehkan wanita
untuk memilih, bahkan menjadi kandidat dalam pe-
milu. Wanitapun dibolehkan kampanye walau ketika
kampanye, audience lelaki dan wanita tetap dipisah.

Di tahun 2015, untuk pertama kalinya 15 wanita ter-


pilih mengisi public office. Politisi wanita yang terpilih
termasuk Salma al-Oteibi dari wilayah Mekkah dan
Lama Al-Suleiman dari wilayah Jeddah.

Efek keputusan King Abdullah itu membuka hal


baru di Arab Saudi. Di tahun 2015, sudah tampil 979
kandidat politisi wanita. Dan sudah resmi terdaftar
130, 637 wanita yang ingin aktif menggunakan hak
pilihnya. Kini jumlah wanita yang mendafar untuk hak
pilih melonjak ke angka di atas 1,3 juta.

113
Tak hanya di politik, bahkan di dunia ekonomi, peran
wanita di Arab Saudi semakin terbuka. Di tahun 2004,
hanya 23 ribu wanita yang bekerja di luar rumah. Sejak
tahun 2015, jumlah itu meningkat menjadi di atas 400
ribu wanita.

September 2017 secara resmi sudah pula diumumkan


untuk pertama kali wanita dibolehkan mengendarai
mobil tanpa perlu didampingi pelindung lelakinya
(Ayah, Suami, atau Anak Lelaki). Walau diumumkan
sekarang, tapi hukum ini akan dilaksanakan baru di
bulan Juni 2018.

Ini sudah sesuatu yang luar biasa, komentar Fawziah


Al-Bakr. Ia seorang profesor yang tercatat bersama
47 aktivis wanita lain termasuk yang pertama protes
terhadap larangan mengemudi itu di tahun 1990an.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Arab Saudi?


Persepsi pemimpin dan ulama tentang penerapan
syariah Islam bisa cukup fleksibel. Hukum syariahnya
tetap sama. Tapi persepsi atas hukum syariah itu yang
bisa menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah.

Ketika mereka melarang wanita berpolitik, dan me-


ngemudi, larangan itu dinilai tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Kini mereka menghapuskan
larangan itu. Persepsi wanita berpolitik dan menge-

114
mudi tanpa dampingan lelaki juga ternyata bisa tak
dianggap bertentangan dengan syariah Islam.

Hukum syariah yang sama, di satu masa bisa ditafsir


sesuai dengan larangan wanita bepolitik dan menge-
mudi. Di lain masa, ia bisa juga ditafsir sesuai dengan
bolehnya wanita berpolitik dan mengemudi. Persepsi
atas kesiapan masyarakat dan pilihan penguasa
(elite’s choice) menentukan tafsir syariah yang mana
yang ingin diterapkan.

Hak wanita yang kini dibolehkan di Arab Saudi


terlambat sekitar 100 tahun dibandingkan apa yang
terjadi di belahan dunia lain. Arab Saudi membolehkan
wanita untuk memilih di tahun 2005.

Inggris pertama kali membolehkan wanita memilih


100 tahun lalu di tahun 1911. Amerika membolehkan
wanita umtuk memilih juga 100 tahun lalu di 1920.

Dua hal lesson to learn dari Arab Saudi. Pertama,


Pro kebergaman bisa menang, jika diperjuangkan
sedemikian gigih, dan bisa tanpa dianggap melanggar
hukum Shariah. Kedua, pada akhirnya isu yang pro-
keberagaman bisa menang bahkan di Arab Saudi
(soal wanita di ruang publik), walau telat 100 tahun.

Bagi aktivis dan pemikir Islam progresif, Arab Saudi


memang bukan perwakilannya. Aisyah istri Nabi

115
Muhammad sendiri adalah contoh nyata wanita
yang sudah aktif terlibat dalam ruang publik. Mereka
menyebut Aisyah feminis pertama dunia Islam.

Perkembangan baru di Arab Saudi atas wanita tentu


juga menyenangkan kelompok Islam progresif walau
dianggap telat seratus tahun.

-000-

Di Amerika Serikat, Danica Roem terduduk tersentak.


Ia baru saja menerima ucapan selamat dari Joe Biden,
mantan wakil presiden Amerika Serikat era Obama.
Tak ia duga. Ia membuat sejarah sebagai transgender
pertama yang menang pemilu dalam sejarah Amerika
Serikat, juga dunia.

Diingatnya. Ia terlahir sebagai lelaki. Ketika usia


29 tahun, di tahun 2013, ia tampil terbuka sebagai
wanita. Iapun mengganti nama. Secara terbuka ia
mengakui sebagai transgender dan menyatakan
niatnya bertarung dalam pemilu.

Terpilihnya Donal Trump sebagai Presiden Amerika


Serikat dianggapnya ancaman untuk keberagaman
di Amerika Serikat. Bersama komunitas LGBT dan
aneka lembaga hak asasi, Danic Roem merancang
perlawanan.

116
November 2017 tercatat sebagai sejarah. Setidaknya
lima kandidat Transgender memenangkan pemilu,
sejenis DPRD di Indonesia. Di samping Danica Roem
untuk wilayah Virginia, juga Andrea Jenkins untuk
Minneapolis City, Lisa Middleton untuk Palm Spring
California, sebagai contoh. Kaum Transgender ber-
sorak.

Dibandingkan peradaban lain, Amerika dan Eropa ter-


masuk selalu yang paling awal memulai sukses pro
keberagaman.

Ketika bagi peradaban lain membolehkan wanita


untuk berpolitik itu hal yang tabu, Inggris dan
Amerika membolehkannya. Ketika bagi peradaban
lain, homoseks itu tabu, Amerika Serikat juga mem-
bolehkan pernikahannya. Ketika transgender bagi
peradaban lain tabu, rakyat Amerika memilih justru
memilih Transgender sebagi wakil rakyat.

Benarkah Amerika soal transgender? Ataukah Amerika


sudah tersesat? Penentang Transgender di Amerika
Serikat sendiri tak kalah banyak. Namun sejarah
mencatat, kaum transgender itu berhasil terpilih.

Amerika memang paling cepat sampai pada level


kesadaran pro keberagaman ketika di belahan per-
adaban lain hal itu masih dianggap tabu.

117
-000-

Indonesia tak ketinggalan. Untuk pertama kali, MK


melalui judicial review membolehkan kolom agama di
KTP diisi aliran kepercayaan.

Selama ini kolom itu menjadi dilema bagi para


penganut kepercayaan di Indonesia. Sebagian mereka
merasa sudah hadir lebih dulu di bumi Nusantara
dibandingkan lima agama besar: Islam, Kristen/
Katolik, Hindu, Buddha. Tapi mengapa hak mereka
untuk mencantumkan apa yang mereka yakini di KTP
dihalangi?

Tanpa mengisi kolom agama di KTP membuat


susahnya mereka di ruang publik. Ketika melamar
pekerjaan, dan menikah, soal agama ditanya.

Apalagi untuk Indonesia, sejak lahir sampai wafat


selalu berurusan dengan agama. Ketika lahir, untuk
sertifikat kelahiran harus dicantumkan agama. ketika
wafat, letak kuburan juga dikelompokkan berdasarkan
agama.

Sudah puluhan tahun mereka memperjuangkan hak


konstitusi untuk diakui. Puncaknya mereka meng-
gugat UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, juncto UU No 24 tahun 2013.

118
Yang mereka uji materikan pasal 61 ayat 1 dan 2,
serta pasal 64 ayat (1) dan (5). MK mengabulkan
permohonan mereka.

MK akhirnya mengabulkan. Mencatumkan aliran ke-


percayaan dalam kolom KTP itu sesuai dengan prinsip
konstitusi.

Tak hanya di Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Di Indo-


nesia, pro Keberagaman juga menang, untuk isu yang
berbeda.

-000-

Dari perspektif puncak gunung melihat 5000


tahun sejarah peradaban, kita melihat kalah dan
menang perjuangan pro keberagaman. Puncak dari
evolusi peradaban itu adalah naskah terakhir Hak
Asasi Manusia. Naskah itu disahkan PBB, dengan
memberikan perlindungan hukum dan kesempatan
politik yang sama kepada aneka keberagaman.

Apapun agama, etnik, gender, paham, bahkan


orientasi seksual, mereka adalah manusia yang sama.
Mereka punya rasa sepi yang sama, ingin mencintai,
dan ingin dicintai. Mereka ingin nyaman hidup di
lingkungan sosial yang kondusif.

119
Kecepatan setiap negara untuk sampai pada
kesadaran pro keberagaman itu memang berbeda.
Ada yang sudah siap menerima kebergaman suku,
tapi tidak keberagaman agama. Ada yang sudah siap
menerima keberagaman gender, agama, dan suku,
tapi tidak untuk orientasi seksual.

Inilah rahasia dan mukjizat Tuhan atau alam (bagi yang


tak percaya Tuhan). Ketika kita lahir, kita tak ditanya
dulu apakah ingin lahir atau tidak. Tak pula kita ditanya
ingin lahir di mana, kapan, dari orang tua bergama
apa, suku apa? Juga kita tak memilih jika ternyata ada
situasi gen yang membuat kita mengarah pada LGBT.

Peradaban Pro Keberagaman menjawab “Rahasia


Tuhan” (bagi yang percaya Tuhan) atau The Acts of
Randomness (bagi yang tak percaya Tuhan) dengan
membuat Hak Asasi Manusia.

Siapapun kamu, selama kamu manusia, kamu berhak


hidup nyaman sampai kematian menjemputmu.
Politik pro Keberagaman bergerak dengan filosofi di
atas.

Kini mereka yang pro keberagaman tengah menikmati


sukses di Arab Saudi (wanita boleh menyetir mobil), di
Amerika Serikat (Transgender terpilih) dan Indonesia
(Kolom KTP boleh diisi aliran kepercayaan).

120
Tentu tak semua senang dengan kemenangan pro
keberagaman itu. Tapi gerak sejarah berada di belakang
mereka. Gerak sejarah itu akan melampui apa saja dan
siapa saja yang menghalangi pertumbuhannya.

Di masa tertentu dan bagian dunia tertentu, pro


keberagaman bisa dikalahkan. Tapi menganalisa tren
jangka panjang dengan perspektif per-ratusan tahun,
gerakan pro keberagaman akan terus semakin dan
semakin kokoh. []

November 2017

121
122
BERAGAMA DI ZAMAN NOW!
MENYAMBUT TAHILAN KELOMPOK
PEMBAHARU

(Menyambut Tahlilan Kelompok Pembaharu)

Beragama di Zaman Now, di era Google, hanya bisa


damai jika kita ikhlas hidup bersama secara rukum
dengan aneka keanehan. Ini hukum besinya. Zaman
terus berubah. Apa yang dulu dianggap aneh bahkan
dilarang hukum, kini menjadi biasa dan dibolehkan
oleh hukum.

Ini zaman ketika transgender, mereka yang berganti


kelamin, terpilih oleh rakyat menjadi pemimpin di
Amerika Serikat. Ini zaman ketika anggota parlemen
melamar kekasihnya satu jenis kelamin sesama homo-
seks di ruang parlemen di Australia.

Dulu transgender dan homoseks itu bahkan di negara


barat aneh dan dilarang secara hukum. Tapi zaman
berubah. Keanehan itu dianggap bagian dari hak
asasi. Bahkan kemenangan mereka dirayakan meluas.
Ketika anggota parlemen itu melamar kekasih homo-
seksnya, ruangan parlemen gegap gempita tepuk
tangan.

123
Di zaman sebelum perang dunia kedua, bahkan di
Barat, menikah antara kulit hitam dan kulit putih
dianggap aneh dan dihukum. Kisah ini secara apik
direkam dalam film Loving (2017). Di Australia, bahkan
anak anak blasteran hasil kisah cinta kulit putih dan
aborigin juga sebuah keanehan dan dilarang hukum. 

Toh keanehan itu kini dianggap biasa.

Bahkan di Arab Saudi, sebelum tahun 2000, wanita


menyetir mobil tanpa muhrimnya itu keanehan dan
dilarang hukum. Juga wanita menonton sepak bola di
stadion. Juga wanita menjadi politisi.

Tapi apa yang dulu dianggap aneh, kini bahkan di


Arab Saudi sudah dibolehkan. Aneka argumen dan
dalil agama yang dulu digunakan sebagai pembenar
larangannya, kini dalil lain dari agama yang sama
digunakan untuk berpandangan sebaliknya.

Kitapun harus harus pula ikhlas hidup dengan mereka


yang berpandangan sebaliknya: tak setuju kulit
hitam boleh menikah dengan kulit putih, tak setuju
transgender, tak setuju homoseks, merasa kulit putih
paling super, kulit hitam paling hebat, surga hanya
untuk kelompok agamanya, tak setuju demokrasi,
percaya bumi itu datar, dan sebagainya.

124
Beragama di Zaman Now jika ingin damai harus
terbiasa dengan keanehan itu, sejauh keanehan itu
dilindungi oleh Piagam hak asasi manusia PBB, tak
termasuk kriminal, dan tanpa paksaan.

Inilah refleksi paling jauh yang hinggap di kepala


saya merespons tokoh, pemikir, aktivis yang disebut
pembaharu. 

Besok Sabtu 16 Agustus 2017, akan diselenggarakan


tahlilan mengenang mereka yang sudah wafat:
Djohan Effendi, Gus Dur, Cak Nur, Bang Imanuddin,
Utomo, Ismed Natsir, Harun Nasution, dan sebagainya.

-000-

Yang disebut tokoh pembaharu itu sederetan pe-


mikir/aktivis yang jika hidup, semua mereka sudah
berusia di atas 60an, bahkan 70an, bahkan 80an
ke atas. Mereka hidup dalam generasi yang sama,
tahun 1970an. Mereka diromantisasi isu yang sama
membawa interpretasi Islam yang sesuai dengan
dunia modern.

Mereka peletak dasar, walau semua pemikiran mereka


belum dirumuskan dalam platform yang operasional,
yang siap menjawab policy konkret. Misalnya tentu
para murid dan penerus kelompok pembaharu akan

125
tak sepakat jika ditanya: apakah sebaiknya homoseks
dan transgender dibolehkan? 

Atau apakah wanita boleh menjadi imam salat bagi


lelaki lain, seperti yang dipraktekkan Progressive Mos-
lem di Amerika Serikat?

Sungguhpun belum pernah dirumuskan secara tegas


platform politik kaum pembaharu itu, namun ada
benang merah bersama. Semua sepakat menghormati
prinsip kewarganegaraan. Siapapun warga negara,
apapun agama, etnis, gender, mereka memiliki hak
dan perlidungan hukum yang sama.

Pertanyaan kepada komunitas pembaharu itu adalah


what next? Pejuang NKRI Bersyariat kini memiliki
forum bersama “reuni 212”. Mereka bahkan memiliki
Imam Besar bersama. 

Siapakah Imam Besar kelompok pembaharu itu kini,


ketika aneka tokoh peletaknya sudah wafat? Cukup
terorganisirkah pewarisnya? Akankah ada kaderisasi
gagasan dari kelompok ini kepada generasi yang
lebih muda?

Di ruang publik tetap berlaku hukum besi: gagasan


yang kurang terorganisir akan dikalahkan oleh lawan-
nya yang jauh lebih terorganisir.

126
Itulah pekerjaan rumah buat pewaris kaum pem-
baharu itu: merumuskan platform gagasan itu lebih
komprehensif, lebih siap menjawab public policy yang
konkret. Jangan pula lupa: sisi marketing gagasan![]

Desember 2017

127
128
ISLAM YANG SANGAT MODERN
DAN PRO- HAK ASASI MANUSIA.

(In Memoriam Djohan Effendi)

Jika saja sudah ada hadiah nobel di abad ke 11,


sangatlah mungkin setiap tahun hadiah itu jatuh
kepada ilmuwan dari dunia Islam. Pada abad 11,
Islam menjadi pusat peradaban, yang melahirkan
ilmu pengetahuan baru.Inilah dunia Islam yang se-
harusnya.

Kisah di atas sering diulang-ulang pak Djohan Effendi.


Saat itu di tahun 1983-1986, saya masih mahasiswa
usia sekitar 20-23 tahun. Bersama teman teman
yang senang diskusi, setiap hari minggu sore kami
berkumpul di rumahnya. Kelompok inipun kami beri
nama Kelompok Studi Proklamasi (KSP). Di tahun
1980-an, KSP cukup mewarnai gerakan mahasiswa
era itu.

Kisah ini kembali terkenang ketika mendengar berita


wafatnya pak Djohan hari ini, Jumat 17 November
2017. Satu persatu pemikir Islam Indonesia terkemuka
generasi pembaharuan Islam wafat, menyusul Nur-
cholish Madjid, dan Abdurahman Wahid.

129
-000-

Pak Djohan Effendi sudah saya anggap sebagai ayah


saya yang kedua. Sejak 1982 sampai 1990, sebelum
saya pergi sekolah ke Amerika Serikat, hubungan saya
dengannya sangatlah intens.

Pak Djohan lalu menjadi menteri Sekneg di bawah


Presiden Gus Dur. Setelah itu ia banyak tinggal di
Australia. Sejak kepergiannya ke Australia, saya sudah
jarang berkomunikasi dengannya.

Tahun 2015-2016 pak Djohan datang kembali ke


Indonesia, menetap di Jakarta.Tapi kondisinya sudah
sakit. 

Kepada pak Djohan sempat saya tanya apa yang


sangat ingin ia peroleh di usia senja? Saya dan
teman-teman sangat ingin membuatnya senang.
Ketika mahasiswa, kami sangatlah kere. Tapi di
usia 50an, lumayan sudah ada perkembangan.
Pak Djohan hanya ingin dibuatkan diskusi mingguan
saja.Ia tak ingin pemberian lain. Ia hanya ingin forum
diskusi. Ia rindu dengan suasana diskusi dan tukar
menukar ilmu pengetahuan. 

Kamipun terkejut dengan permintaan pak Djohan.


Tapi karena memang itu yang diinginkan dari lubuk

130
hatinya, kami membuatkan pertemuan rabuan, dis-
kusi setiap Rabu. 

Teman-teman mahasiswa di tahun 80an yang dulu


berkumpul setiap minggu di rumahnya, kumpul
kembali. Namun saat itu usia kami sudah lima puluhan. 

Pak Djohan memaksakan hadir dalam diskusi


mingguan itu.Ia sangat semangat berbicara walau
bicaranya sudah terbata-bata, dan banyak yang tak
lagi jelas bunyinya.

Namun itu justru mengharukan. Dalam kondisi


fisik yang tak lagi prima, spiritnya pada diskusi dan
bertukar gagasan masih menyala.

Tradisi diskusi Reboan ini terhenti ketika justru istri


pak Djohan sakit keras dan akhirnya wafat. Sungguh
senang hati saya sempat menyediakan makam untuk
istri pak Djohan di San Diego, dekat dengan makam
ayah saya. 

Kepada teman dan keluarga pak Djohan juga saya


sampaikan pesan.Tanah di sebelah makam ibu pak
Djohan di San Diego, juga sudah siapkan jika saja pak
Djohan berpulang dan ingin dimakamkan di sebelah
istrinya.

131
Namun setelah istrinya wafat, pak Djohan dan
keluarga memilih tinggal di Australia. Ada dokter dan
terapi di sana yang lebih sesuai untuk pengobatan
pak Djohan. Jumat 17 November 2017 pak Djohan
wafat dan dimakamkam di Australia.

-000-

Lama saya terdiam mendengar wafatnya pak Djohan.


Suasana yang sama saya rasakan ketika mendengar
wafatnya ayah kandung saya sendiri di tahun 1997.

Ia yang wafat tetap hidup dalam memori kolektif


mereka yang masih hidup. Tak lama lagi, jasad pak
Djohan dimakamkan.Tapi spiritnya yang merindukan
Islam yang sangat modern, yang pro hak asasi manusia,
dan Indonesia yang memelihara keberagaman terus
hidup.

Selamat jalan pak Djohan. Selamat jalan jiwa yang


berjuang.[]

17 November 2017

132
AGAMA CINTA: JALALUDDIN RUMI
DALAM LUKISAN DIGITAL

Mengapa Jalaluddin Rumi menjadi penyair paling


populer di Amerika Serikat (AS) saat ini? Padahal Ia
sudah wafat lebih dari 800 tahun lalu. Ia juga berasal
dari komunitas muslim. Sementara Islam kini menjadi
agama paling tidak populer di AS, dibandingkan
agama besar lain.

BBC Culture Oktober 2014 mencoba mengulasnya,


walau hanya sepintas. Buku puisi Rumi terjual jutaan
kopi di AS, melampaui penyair kontemporer paling
hebat dunia Barat sekalipun. Puisinya dibacakan
bukan saja di masjid, tapi juga di gereja, sinagog dan
universitas.

Yang membaca puisi Rumi bukan hanya komunitas


sastra serius. Para selebriti dunia ikut membacanya,
seperti Madona, Demi Moore, Depak Chopra.

Ada apa dengan Rumi? Namun yang lebih penting


lagi, ada apa dengan kita yang tetap menyukai penyair
dari abad pertengahan itu?

-000-

133
Andrew Harvey seorang akademisi agama banyak
menulis soal Jalaluddin Rumi. Ujarnya, Rumi
mengkombinasikan tiga hal sekaligus. Ia mempunyai
visi spiritual yang mendalam sekelas Budha atau
Jesus. Ia juga memiliki renungan intelektual yang luas
seperti Plato. Dan Ia juga mahir dalam menemukan
kata-kata indah seperti Shakespeare.

Gabungan ketiganya membuat Rumi bukan saja


relevan bagi dunia modern. Namun kedalaman visi
spiritualnya, keluasan daya jangkau intelektualnya,
dan keindahan puisinya tetap sulit terlampaui oleh
penyair lain.

Rumi lahir di tahun 1207, di kota Balkh, yang sekarang


ini menjadi wilayah Afganistan. Di usia 37 tahun, ia
berjumpa dengan Shams Tabrizi, seorang mistikus.
Selama tiga tahun mereka intens sekali berhubungan.
Setelah itu, Shams menghilang tanpa jejak dan berita.

Aneka analisa dibuat untuk menjelaskan hubungan


Rumi dan Shams Tabrizi. Sebagian menyatakan Shams
adalah guru spiritual yang sangat dikasihi Rumi.
Kepadanya Rumi banyak sekali belajar. Perjumpaan
keduanya sering dikisahkan dengan aneka hal gaib.

Satu versi menyatakan Shams datang ketika Rumi


sedang membaca buku. Shams bertanya apa yang

134
Anda baca. Dengan tak peduli Rumi menjawab, “Anda
tak akan mengerti.”

Lalu oleh Shams buku itu ia buang ke Sungai. Terburu


Rumi menyelamatkan buku itu yang terendam di
sungai. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata buku itu
sama sekali tidak basah.

Rumi balik bertanya kepada Shams: mengapa buku


ini tidak basah? Padahal buku ini kau ceburkan ke
sungai? Shams menjawab seperti jawaban Rumi
sebelumnya: Anda tak akan mengerti.

Hubungan Rumi dan Shams begitu intens dan


mesra. Sebagian menyatakan Shams adalah kekasih
homoseksnya. Hilangnya Shams bahkan digosipkan
karena ia dibunuh oleh orang dekatnya Rumi akibat
kisah cinta homoseksual itu. Tapi tak pernah ada
kepastian kebenaran soal homoseks tersebut.

Perjumpaan dengan Sham dan hilangnya sang guru


secara misterius menjadi api dan bara dua buku
penting Rumi: Divan-e Shams dan Masnavi. Dua buku
puisi ini buah perjalanan batin Rumi hampir 30 tahun,
dari saat ia berusia 37 tahun, saat pertama berjumpa
dengan Shams, sampai kematiannya di usia 66 tahun.

135
Divan-e Shams buku cinta Rumi kepada Sang Guru.
Kadang Sang Guru di sini berbentuk Shams Tabrizi.
Kadang Sang Guru itu kiasan dari Tuhan. Buku
ini terdiri dari 3,229 puisi dengan jumlah kalimat
sebanyak lebih dari 40 ribu.

Sementara Masnavi puncak dari karya Rumi tentang


perjalanan spiritual yang lebih umum. Masnavi
dikerjakan Rumi lebih dari 15 tahun. Ia terdiri dari
enam buku. Buku keenam tak kunjung selesai ketika
Rumi wafat. Total buku Masnavi terdiri lebih dari 50
ribu baris.

-000-

Tapi mengapa Rumi penyair yang wafat 800 tahun


lalu tetap menjadi penyair paling populer di masa
digital kini?

Tentu analisa bisa beragam. Salah satunya manusia


modern era digital semakin menjadi desa global.
Mereka membutuhkan landasan spiritual dan moral
universal bersama untuk semua. Ilmu pengetahuan
sudah memberikan banyak. Namun kebutuhan
meaning of life bagi sebagian tak bisa dipenuhi semata
oleh ilmu pengetahuan.

Dunia modern tetap menyediakan agama dan


aneka kepercayaan. Tapi ketika agama yang ada

136
semakin menjadi formal dan melahirkan sekat-sekat
primordial, sebagian membutuhkan spiritualitas yang
mengatasi sekat itu.

Rumi menjadi suara spirtualitas universal yang


melampaui sekat. Walau datang dari tradisi Islam,
Rumi mampu membuatnya universal, tanpa
batas   primordial. Dalam bahasa Rumi, ia menyelam
jauh ke akar dari akar dari akar agama sehingga
sampai pada hati yang menyatukan semua manusia.

Puisinya tidak memihak satu agama, seperti, “Agamaku


adalah cinta. Setiap hati rumah ibadahku.” Atau ketika
Rumi menulis, “Kucari Tuhan di Candi, Gereja dan
Mesjid. Namun kutemukan Tuhan justru di dalam
hatiku.” Bahasa cinta Rumi gunakan. Itu membuatnya
universal melampaui formalitas agama.

Banyak pula penyair dan pemikir lain menyatakan hal


yang sama dengan Rumi. Namun Rumi tetap yang
paling mampu merumuskannya dengan sederhana,
dalam dan indah.

-000-

Persoalannya, di mana mencari buku Divan dan


Masnavi itu? Seandainyapun ia mudah ditemukan
di era internet, siapakah yang cukup menyediakan
waktu membaca total sekitar 100 ribu baris puisi?

137
Padahal banyak sekali renungan indah dalam dua
buku besar itu. Selama ini dua buku besar itu hanya
dibaca oleh akademisi yang berminat atau penikmat
sastra yang serius saja.

Bagaimana dengan jutaan orang awam yang tak


punya minat sebesar itu? Mereka tak punya waktu
sebanyak itu? Namun mereka tetap memerlukan
pencerahan yang sama?

Tiada yang mengatur atau merekayasanya. Setiap


kebutuhan akan melahirkan responnya. Kini berte-
baran di internet aneka kutipan dan potongan puisi
Rumi. Bahkan sebagian sudah divideokan.

Sayapun ikut ikhtiar ini. Awalnya ia menjadi hobi


belaka dan pengisi waktu luang saja. Namun semakin
saya intens bersentuhan dengan Rumi, semakin saya
ingin mengerjakan sesuatu di sana secara lebih serius.

-000-

Saya bukan pelukis, tak berniat dan tak pula berbakat


menjadi pelukis. Saya hanya membutuhkan medium
yang pas, sebagai ekspresi batin saja.

Sayapun tak bermasalah jika keseluruhan karya yang


disajikan dalam buku kecil  ini disebut coretan digital

138
belaka, yang belum bernilai seni. Atau ada yang
mengkategorikannya sebagai lukisan digital, atau
seni editing foto, atau puisi bergambar, atau gambar
berpuisi. Namun saya lebih senang menyebutnya
Lukisan Digital Berpuisi.

Semua karya yang saya buat tak pula dimaksudkan


untuk aneka target besar: mencerahkan dunia, dan
sebagainya, dan sebagainya.

Karya ini dibuat hanya sebagai ekspresi batin saja.


Setelah melalui aneka tahap, bentuk seperti sekarang
itu yang paling sesuai dengan kebutuhan ekspresi
saya.

Di dalam 44 karya itu, selalu ada kutipan puisi dari


Jalaluddin Rumi. Kutipan puisi posisinya paling sentral
sebagai pesan karya.

Walau sebagi teks kutipan saja, isi puisi sudah sangat


kuat. Namun tambahan visualisasi akan semakin
memperkaya. Apalagi gambar dapat menceritakan
seribu kata, ujar peribahasa.

Saya tak melatih diri dengan keterampilan melukis,


memakai kuas, pensil, atau apapun. Namun software
komputer sudah memudahkan siapapun untuk ber-
kreasi dengan foto, warna, bentuk, dengan begitu
cepatnya.

139
Toots komputer bisa menggantikan sapuan kuas dan
arsir pensil. Layar handphone bisa menggantikan
kanvas. Cak minyak, teknik arsir atau tinta air bisa
digantikan oleh ikon warna di software.

Obyek foto juga tersedia dengan aneka topik dan


aneka ragam di internet. Saya menggunakan semua
obyek yang ada di internet selaku perpustakaan
terlengkap yang pernah ada. Semua foto yang
digunakan dalam 44 karya ini juga bukan karya saya.
Mereka dari internet dan saya olah, gabungkan, edit,
untuk mendapatkan imaji baru, agar sesuai dengan
pesan puisi.

-000-

Siapakah yang disasar oleh karya ini? Saya bahkan tak


memikirkan kepada siapa karya ini diperuntukkan.
Ibarat burung, saya berkicau saja menikmati pagi dan
sore. Saya hanya mengekspresikan suasana batin saja
setelah membaca puisi Rumi.

Namun setelah karya selesai, tergambar segmen


publik bagaimana yang sesuai dengan karya ini. Tentu
pastilah  pasar yang sesuai bukan komunitas seni yang
serius. Bukan pula para kritikus yang sudah matang
dengan tekak tekuk teori dan sejarah lukisan. Itu

140
semua jatahnya para seniman sejati, yang hidupnya
memang total untuk seni.

Yang mungkin paling bisa menikmati karya saya


adalah publik awam biasa. Mereka tak tak punya
waktu panjang untuk membaca utuh Karya Rumi.
Namun renungan Rumi harta tak ternilai untuk
santapan rohani.

Mereka memang tak bisa hidup hanya dengan roti


belaka. Mereka butuh renungan, sentuhan hati,
inspirasi dan meaning of life.

Namun mereka hanya punya waktu 3-10 menit untuk


menikmati sebuah karya. Mereka tak bisa dan tak
bersedia misalnya menghabiskan 5 jam untuk intens
membaca sebuah buku puisi atau novel.

Segmen ini asyik didekati dengan kutipan renungan


yg diperkaya oleh photo art, atau visual art.

Tapi apakah karya yang saya buat ini ada gunanya?


Adakah manfaatnya? Ada guna atau tidak itu biarlah
menjadi “kesunyian masing-masing.” Seperti kata
Rumi: “Berkicaulah seperti burung. Tak usah peduli
apakah ada yang mendengar. Tak usah peduli apa
yang mereka pikirkan.”

141
Karya ini awalnya memang hanya hobi saja. Namun
alhamdulillah jika bisa menyentuh hati satu orang
sekalipun.[]

Agustus 2016

142
PALESTINA, PENYAIR DAN KITA

Selesai menghadiri acara pembacaan puisi Doa


untuk Palestina semalam (24 Agustus 2017), lama
saya merenung di beranda rumah. Betapa penyair
memberikan pengaruh politik lebih besar dari yang
banyak orang duga.

Deklarasi kemerdekaan Palestina yang dibacakan


Yasser Arafat 15 November 1988 ditulis oleh seorang
penyair bernama Mahmoud Darwish. Deklarasi itu
adalah sebuah puisi. Dari puisi itu, api untuk Palestina
merdeka semakin menyala.

Untuk Indonesia, terjadi hal yang sama. Indonesia lahir


sebagai satu bangsa dideklarasikan pada Sumpah
Pemuda 1928. Yang menulis naskah Sumpah Pemuda
itu juga seorang penyair: Mohamad Yamin. Naskah
Sumpah Pemuda pada dasarnya juga sebuah puisi.
Dari puisi itu, api satu bangsa, satu bahasa, satu tanah
air terus berkobar.

Batin sebuah bangsa memang kadang lebih tergambar


dalam puisi yang merekam spirit zamannya. Penyair

143
lebih peka merumuskan batin bangsa itu dalam kata.
Apalagi jika ia penyair yang berpolitik, atau politisi
yang berhati penyair.

-000-

Sepulang dari acara malam puisi Doa untuk Palestina,


masih terngiang potongan puisi itu. Disebutkan
pengarang puisi itu anonim.

Kucing punya kandang


Burung punya sarang
Semua punya rumah
Tapi Palestina tak punya rumah.

Bagaimana bisa? Palestina salah satu bangsa yang


paling tua di dunia di era masa kini masih belum
punya negara merdeka yang diakui penuh oleh PBB.
Hubungan negara di dunia tak bisa dikatakan maju
sebelum mereka berhasil membantu Palestina dan
Israel berdiri sama sama menjadi negara merdeka dan
hidup berdampingan dalam harmoni.

Kota Jerusalem di jantung geografi Palestina adalah


ibu dari tiga agama besar. Di kota itu, masih berdiri
tembok (west wall) yang diyakini peninggalan sangat
penting bagi sejarah Yahudi (Israel). Umat Yahudi
didukumg arkeolog menyatakan King David dan King
Solomon punya jejak dalam tembok itu. 

144
Bagi Israel, David dan Solomon adalah raja nenek
moyang mereka. Bagi muslim, David (Daud) dan
Solomon (Sulaiman) adalah nabi yang dihormati.

Di kota itu juga berdiri Garden Tomb dan The Church


of the Holy Sepulchre. Bagi penganut Kristen dan
Katolik, itu situs sangat penting karena disalibnya
Yesus Kristus dan makam jasadnya sebelum bangkit
ada di sana.

Di kota itu juga berdiri Mesjid Aqsa. Ini kota suci


terpenting ketiga bagi muslim setelah Mekah dan
Madina. Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
diyakini ke masjid itu. Area itu pula menjadi kiblat
ritual salat Islam di masa awal, sebelum dipindahkan
ke Kabah Mekah.

Apa yang terjadi ketika situs sangat penting tiga


agama berada dalam satu kota? Apa yang terjadi
ketika peristiwa besar dan suci bagi agama Yahudi,
Kristen, dan Islam, terjadi di satu kota yang sama?

Sejarah mencatat: yang terjadi adalah penaklukan,


peperangan, pembunuhan. Namun sejarah juga
mencatat lahir banyak puisi di sana.

-000-

145
Selesai menghadiri acara baca puisi Doa Palestina,
saya menghirup kopi di beranda rumah. Apa pula
urusan Palestina dengan kita? Mengapa pula kita ikut
mengurus Palestina sementara masalah dalam negeri
juga menumpuk?

Isu kemanusiaan melampaui batas negara. Televisi dan


social media semakin pula membuat dunia menjadi
desa global. Saya lebih sering berkomunikasi dengan
teman di luar kota lewat social media, ketimbang
bercakap-cakap dengan tetangga. Saya juga lebih
sering membaca kisah dunia melalui social media
ketimbang urusan di RT dan RW saya.

Isu Palestina tak lagi hanya menjadi isu politik tapi


sudah menjadi kisah tragedi kemanusiaan. Jika sudah
soal kemanusiaan, semua ikut ambil bagian.

Sayapun membaca kembali puisi yang saya buat


untuk Palestina.

-000-

146
Jangan Menangis Palestina

Denny JA

Aku warga Palestina


Aku tak lahir untuk membenci
Tapi kamu membunuh ibuku
kamu perkosa kakak perempuanku
Maka aku makan dagingmu
Aku warga Palestina
Aku tak lahir untuk marah
Tapi kamu larang aku merdeka
Kamu tindas aku
Kamu miskinkan aku
Tak ada yang bisa kumakan
Maka aku kunyah tulangmu

Demikianlah bait puisi dinyalakan


penyair itu membakar massa
Rosa melihatnya di TV
Ada apa dengan Palestina?
Rosa mencari tahu
Dibukanya peta dunia
Di sisi selatan Lebanon
Di sisi barat Jordania
Di situlah Palestina
Di peta itu, di wilayah Palestina

147
Air mata menetes
Ada apa Palestina?
Tanya Rosa lagi
Dibukanya data sejarah
Ribuan tahun sudah
Anak manusia saling membunuh di sana
Astaga!

Tahulah Rosa
Palestina bukan hanya wilayah geograpi
Palestina bukan hanya isu kekuasaan
Palestina adalah tragedi kemanusiaan
Disekanya air mata di peta itu
Kini air mata itu pindah
Menjadi Air Matanya

Agustus 2017

148
SARACEN DAN PASAR GELAP POLITIK

Pertarungan politik pada tingkat tinggi acapkali terjadi


dalam “pasar gelap.” Segala permainan bisa terjadi
dalam pasar gelap itu, sampai waktu membukanya ke
publik.

Dalam pasar gelap, bisa saja A menggunakan jasa B


untuk menyerang C. Tapi hal yang biasa pula jika C
menggunakan jasa B untuk menyerang dirinya sendiri
(C) dalam rangka simpati publik. Itu namanya Victim
Playing.

Dalam pasar gelap, bisa saja A mendirikan B untuk


menyerang C. Perkembangan kemudian B tumbuh
dan berbalik menyerang A. Publik menduga B adalah
musuh A sejak awal pendiriannya. Padahal B itu ikut
dibesarkan oleh A.

Sebelum segala hal terang benderang, Kasus Saracen


yang mengkomersialkan isu SARA, masih berada
dalam wilayah pasar gelap. Polisi perlu dipuji karena
mengangkat dan menemukan kasus penting itu.
Namun polisi harus tuntas hingga menemukan siapa
pemakai jasa Saracen agar jelas duduk perkara.

149
Jika tidak, kasus Saracen menjadi bensin baru yang
bisa membakar kembali luka baik dalam pilkada DKI
2017 ataupun Pilpres 2014.

Cukup ketik di google search, sudah muncul pernya-


taan yang bertentangan. Satu pihak menyatakan
Saracen digunakan oleh pihak yang menang pilkada
DKI 2017. Muncul pula kesaksian, Saracen digunakan
pihak yang kalah dalam pilkada DKI 2017 untuk
membangkitkan simpati. 

Mana yang benar? Itu investigasi polisi yang harus


mengusutnya. 

Saya selaku doktor ilmu politik, sedikit memberi


contoh apa yang terjadi dengan pasar gelap politik
untuk kasus besar lain di dunia sana, yang kini sudah
dibuka oleh pemainnya sendiri.

-000-

Tanggal 11 Sept 2001, Pesawat merontokkan World


Trade Center di New York. Tewas 2996 warga dan luka
lebih dari 6000 orang. Kerugian ditaksir sebesar USD
10 billon atau setara dengan 130 trilyun rupiah karena
hancurnya gedung dan infrastuktur.

Hingga hari ini, terjadi kesepakatan bahwa Al Qaerah


berada di belakang aksi teroris yang mungkin paling

150
spektakuler sepanjang sejarah. Segera muncul citra di
publik luas, Al Qaedah musuh besar Amerika Serikat.

Publik tak tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam


pasar gelap politik. Kini pelan pelan kita terbuka mata.
Tak kurang dari Hillary Clinton sendiri yang berpidato
resmi dan disiarkan luas di CNN. Kitapun tetap bisa
menonton cuplikan pidato Hillary itu di Youtube.

Ujar Hillary, “Kita (Amerika) yang 20 tahun lalu ikut


melahirkan Al Qaedah. Kita rekrut, latih, dan berikan
logistik untuk kepentingan geopolitik Amerika di
Timur Tengah melawan Uni Sovyet.”

Yang terjadi kemudian Al Qaedah membesar dan


karena satu hal (tak kita tahu semuanya), berbalik
melawan tuan yang ikut melahirkannya (Amerika
Serikat).

Wow!!! Ternyata dalam politik bisa seperti itu. Apa yang


terjadi di panggung terbuka bisa berbeda dengan
apa yang sebenarnya terjadi, yg terselenggara dalam
pasar gelap politik.

Kita bisa tengok kasus lain lagi. Sebuah true story yang
sudah difilmkan: American Made (2017), dibintangi
Tom Cruise yang memerankan seorang pilot bernama
Barry Seal

151
Betapa senangnya raja obat terlarang Pablo Escobar
di tahun 80an dengan Barry Seal. Pilot ini bisa dengan
cerdas membantunya membawa ratusan kilo obat
terlarang ke Amerika Serikat. Obat itu dari pesawat
kecil dijatuhkan ke satu wilayah. Kolega bisnis Escobar
sudah menanti kirim rejeki yang jatuh dari pesawat. 

Bisnis lancar. Begitu banyak dana didapatkan.

Dari Barry Seal, Escobar dan kelompoknya bahkan


bisa mendapatkan banyak senjata untuk gerilya. 

Dalam pasar gelap politik, bahkan itu tak disadari


pemain sekaliber Pablo Escobar sekalipun. Ternyata
Barry Seal adalah agen CIA yang disusupkan untuk
memperoleh bukti dokumen, foto dan sebagainya
yang ujungnya menjerat Pablo sendiri.

Wow!!!! Ternyata dalam politik tingkat tinggi bisa


seperti itu! Apa yang nampak di permukaan berbeda
dengan yang sesungguhnya terjadi dalam pasar
gelap politik. Ia yang seolah partner terjadi agen yang
menjeratnya.

-000-

152
Karena itulah kita memuji dan mendorong polisi harus
mengungkap hingga detail siapa saja yang pernah
memesan jasa the so called “Saracen” ini. 

Mereka yang menggunakan politik identitas dengan


melanggar hukum (hate speech, kriminal) haruslah
dihukum yang setimpal. Itu tak hanya melanggar hu-
kum tapi merusak kesatuan bangsa.

Namun harus juga disadari berpolitik atas dasar


keyakian agama itu dibolehkan oleh konstitusi UUD
45, prinsip HAM dan praktek demokrasi modern.

Pemerintah dan warga harus pintar-pintar membe-


dakan mana isu politik identitas yang boleh dan yang
dilarang. Perbedaannya kadang membingungkan
bagi yang tak terlatih dalam discourse pemikiran yang
detail.

Semoga terbongkarnya kasus Saracen tak hanya


meneguhkan kita sebagai satu negara. Dan juga
semakin membuat kita paham bahwa ternyata dalam
politik tingkat tinggi ada pula pasar gelap.[]

Agustus 2017

153
154
BENARKAH SAUDI ARABIA
MENGHANCURKAN ISLAM?

“Saudi Arabia menghancurkan Islam,” keluh Zuhdi


Hajzeri. Ia seorang Imam, pemimpin muslim di Kosovo,
negara kecil dengan penduduk sekitar 2.3 juta saja.
Populasi muslim di negara itu sekitar 95 persen.

Sebagai negara baru di tahun 2008, Kosovo negara


yang damai, dan sangat toleran. Di negara ini ada
patung Bill Clinton. Ada pula toko pakaian wanita
dengan nama Hillary. Banyak bayi yang baru lahir
di tahun 2000-an bernama Tony Blair. Tiga tokoh ini
sangat populer berhubung dengan peran mereka
membela Kosovo atas pembunuhan massal Serbia di
tahun 1999.

Kini apa yang terjadi? Saudi Arabia datang dengan


uang dan paham wahabismenya mengubah mood
masyarakat. Begitu banyak uang yang dikirim ke
sini. Di balik uang itu ada paham yang mengajarkan
intoleransi. Aneka ajaran itu disebarkan melalui begitu
banyak publikasi, termasuk video, yang beredar di
masyarakat.

155
Kini 300 orang Kosovo pergi ke Syria berperang untuk
ISIS. Muslim di Kosovo menjadi salah satu sumber
rekrutmen Islam ekstrem global yang semakin sering
melakukan kekerasan di aneka wilayah.

Demikianlah info dari kolom provokatif yang ditulis


oleh Nicholas Kristof, di New York Times 2 Juli 2016.
Kristof lebih jauh menyatakan tak hanya Kosovo,
negara mayoritas muslim lain yang sebelumnya
sangat damai, seperti Mali, Burkina Faso, dan Nigeria,
kini berubah menjadi keras karena ekspor Wahabisme.

Benarkah Wahabisme yang diekspor Saudi Arabia


ke manca negara justru telah merusak Islam karena
potensi kekerasan di dalam paham itu?

-000-

Dr. Yousaf Buff bukan ahli agama. Ia seorang penasehat


bagi lembaga keamaan Inggris-Amerika (British
American Security Information Council). Ia melihat
apa yang ada di lapangan. Kekerasan terorisme global
dua puluh tahun terakhir umumnya datang dari tiga
organisasi: ISIS, Al-Qaedah dan Taliban.

Ini tiga organisasi yang merupakan pendukung


fanatik paham Wahabisme. Ia juga menjadi saksi be-
tapa begitu banyak dana pemerintah Saudi Arabia

156
mengalir kepada tiga organisasi ini. Tak hanya dana
tapi juga supply aneka senjata dan alat kekerasan lain.

Sebagai sebuah paham dan interpretasi atas Islam,


sebenarnya Wahabisme tidaklah otomatis pro ke-
kerasan dan tidaklah pro terorisme. Paham ini
didirikan oleh Mohammed Ibn Abd al Wahhab
(1703-92). Awalnya ini ajaran yang sangat puritan
mengutamakan tauhid, keesaan Tuhan. Semua
kegiatan agama ataupun non-agama yang bisa mem-
buat umat menyembah hal lain di luar Tuhan dengan
keras harus dihancurkan.

Memang ada elemen absolutisme dalam paham ini.


Namun awalnya absolutisme itu dalam bentuk iman
pribadi, bukan absolutisme dalam sistem kemasyara-
katan.

Wahabisme sangat dalam dipengaruhi oleh pemikiran


Ibn Taimyyah (1263-1328) yang melihat negara bagian
dari agama. Ibn Taimyyah juga menolak berkembang-
nya aneka spekulasi teologi serta filsafat dalam agama.

Sebagaimana paham besar lain, dalam wahabismepun


kemudian berkembang spektrum pemahaman. Ajar-
an yang menolak kekerasan dan terrorisme dalam
Wahabisme justru adalah mainstream, yang diwakili,
antara lain, oleh grand mufti Imam masjid Mekkah.

157
Ia secara jelas menyatakan: Semua kekerasan dan
terorisme itu bukan bagian dari Islam! Ini pernyataan
yang jujur dan tegas atas pemahamannya terhadap
Islam melalui paham Wahabisme.

Namun di ujung lainnya, Wahabisme juga melahirkan


ekstremis yang diwakili Taliban, Al-Qaedah, ISiS. Ini
tiga organisasi yang tumbuh juga dipenuhi oleh
jargon keislaman. Setiap kali aksi kekerasan, termasuk
bom bunuh diri, tak jarang didahului oleh teriakan
Allahu Akbar.

Lebih problem lagi, baik Al-Qaedah ataupun ISIS juga


digunakan oleh negara Barat dalam pertarungan
geopolitiknya. Video Hillary Clinton beredar luas
ketika ia mengatakan kita (Amerika) ikut menciptakan
Al Qaedah dan ISIS. Kita ikut melatih mereka, me-
ngirimkan dana untuk mereka, dan men-supply aneka
senjata.

-000-

Dengan data di atas, tidak sepenuhnya benar klaim


Arab Saudi merusak Islam. Dalam mayoritas tin-
dakannya, Arab Saudi justru menjaga dan memelihara
perkembangan Islam. Mekkah dan Madinah tetap
bertahan sebagai pusat ritual Islam dunia karena
peran besar Arab Saudi.

158
Namun benar pula terjadi ekstrimisasi dalam
ajaran Wahabisme. Pandangan absolutisme dalam
Wahabisme sangat mudah “digelincirkan” oleh mereka
yang pro “kekerasan” untuk menafikan keberagaman
yang merupakan inti dari peradaban modern.
Pemerintah Arab Saudi harus pula menyadari bahwa
mereka tak bisa lepas tangan atas ekstremisasi itu.

Oleh kepentingan geopolitik, bahkan oleh negara


barat sekalipun, ajaran ini mudah diterjemahkan ke
dalam aneka kegiatan militer. Awalnya hanya untuk
pertarungan geopolitik. Namun tak lagi bisa dikontrol,
kini ISIS, Al-Qaedah berjalan secara otodidak, inde-
penden dan memiliki agendanya sendiri.

Kini sudah lebih dari 10 tahun sang anak (Al-Qaedah


dan ISIS) melukai para ibu yang ikut melahirkan
mereka. Amerika terkena bom teror 11 september oleh
Al-Qaeda. Bom meledak pula di Madina oleh ISIS. Para
ibu mulai menghardik anak yang ikut dilahirkannya.

Arab Saudi tak bisa pula mencuci tangan soal kon-


tribusinya bagi pertumbuhan Al-Qaedah dan ISIS. Ia
tercatat ikut membantu pertarungan geopolitik yang
melahirkan Al-Qaedah dan ISIS.

-000-

159
Saatnya pemerintah Arab Saudi merubah haluan.
Hanya menggelontorkan dana dalam jumlah besar
dalam rangka ekspor wahabisme ke manca negara,
ternyata membawa ekses lahirnya ekstrimisme Islam.
Walau tak harus berujung pada terorisme, ekstrimisme
juga melahirkan kekerasan kultural yang tak toleran
kepada perbedaan pandangan.

Arab Saudi harus membuka mata bahwa aneka


negara yang mayoritas penduduknya muslim sangat
beragam. Hanya mensuplai wahabisme bagi keber-
agaman itu tak lagi produktif.

Indonesia contoh yang baik. Di negara ini sudah ada


NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini tum-
buh mewarnai dan diwarnai oleh keberagaman
Indonesia selama 105 tahun (muhammadiyah)
dan 100 tahun (NU). Islam yang dikembangkan NU
dan Muhammadiyah lebih pas dan sudah menyatu
dengan kultur Indonesia.

Daripada Pemerintah Saudi Arabia mengekspor uang


dalam jumlah besar untuk menyebarkan Wahabisme,
jauh lebih produktif jika dana itu dikerja samakan
dengan NU dan Muhammadiyah. Dua lembaga ini
diberikan otoritas untuk mengembangkan Islam
sesuai dengan tradisi seratus tahun lebih, yang sudah
teruji.

160
Hal yang sama bisa diterapkan oleh Saudi Arabia
kepada negara muslim yang lain.

Kebijakan baru ini niscaya akan mengubah wajah


Islam dunia. Ini niscaya sebuah revolusi kebijakan
yang akan berdampak sangat besar.

Pertanyaannya: apakah pemerintah Saudi Arabia


punya reformer, punya raksasa untuk mengubah
haluan kebijakan Wahabismenya? Ataukah Saudi
Arabia hanya bisa melakukan “politics as usual,” yang
pada gilirannya revolusi akan dipaksakan dari luar
kepada pemerintah Arab Saudi sendiri?

Semoga kita tak menyaksikan lebih banyak bom lagi


yang meledak di Madinah atau Mekkah yang bisa
memaksa Arab Saudi melakukan revolusi kebijakan.[]

161
162
MUNDURNYA PERADABAN ISLAM
DENGAN ENAM INDIKATOR

“Tak ada yang lebih powerful,” ujar Victor Hugo,


“dibandingkan dengan sebuah gagasan yang waktu-
nya sudah datang. “ All the forces in the world are not
so powerful as an idea whose time has come.”

Apakah waktu bagi gagasan Islam Nusantara sudah


datang? Sehingga gagasan Islam Nusantara tak
hanya berhenti sebagai wacana? Namun ia menjadi
sebuah movement yang ikut mengubah wajah Islam,
seberapapun kecilnya? Namun ia juga ikut mengubah
peradaban, seberapapunnu kecilnya?

Di tahun 2015, lembaga riset terkemuka berpusat di


Amerika Serikat: Pew Reseach Center mempublikasi
temuannya.

Diproyeksikan di tahun 2070, agama Islam akan


menjadi agama dengan pemeluk terbesar di dunia.
Saat itu pemeluk agama Islam melampaui tak hanya
agama Kristen namun juga melebihi populasi mereka
yang tak percaya agama.

163
Karena muslim akan menjadi mayoritas di dunia, de-
ngan sendirinya baik dan buruk peradaban Islam akan
semakin mempengaruhi peradaban dunia.

Akankah warga dunia, termasuk anak dan cucu kita,


mewarisi sebuah peradaban yang semakin cemerlang
dan damai? Atau sebaliknya? Ini juga akan semakin
dipengaruhi oleh bagaimana peradaban Islam tum-
buh dan berkembang.

Buku soal Islam Nusantara ini bisa dilihat sebagai


ikhtiar ikut membangun peradaban Islam. Buku ini
ditulis oleh Mohamad Guntur Romli dan Tim Ciputat
School yang terbiasa berwacana soal Islam, demokrasi,
hak asasi manusia, dan Indonesia tanpa diskriminasi.
Tentu banyak variabel dan kekuatan yang bekerja
membentuk sejarah dan peradaban.

Namun gagasan sekecil apapun, seperti yang ditam-


pilkan buku ini adalah sebuah langkah. Ia memberikan
tawaran menampilkan nilai dasar Islam yang lebih
sesuai dengan peradaban di era Google.

Enam Indikator

Bagaimanakah wajah peradaban Islam masa kini? Ber-


dasarkan enam indikator yang terukur, kultur Islam

164
bukan lagi peradaban yang unggul. Enam indikator
ini diukur oleh berbagai lembara riset terkemuka.

Data ini juga memberikan informasi mengenai wajah


komunitas muslim jika dibandingkan dengan sisa
dunia.

Dalam tulisan ini, indikator kekuatan ekonomi diukur


oleh International Monetary Fund (IMF) berdasarkan
GDP nominal, di tahun 2014.

Indikator politik dengan indeks demokrasi diukur


oleh Economist Inteligence Unit, 2014.

Indikator kultural berupa sumbangan pada ilmu


pengetahuan diukur oleh banyak lembaga dan di-
rumuskan dalam sebuah laporan di the New Atlantis,
2011.

Indikator kondisi mental populasinya dengan indeks


happiness diukur oleh United Nations Sustainable
Development (UNSD), 2013.

Indikator penerimaan atas keberagaman dan toleransi


diukur oleh Pew Research Center, 2009. Indikator
Islamicity diukur oleh George Washington University,
2011.

165
Pertama, dari sisi kekuatan ekonomi (GDP nominal
sebuah negara), negara yang mayoritas populasinya
muslim bukan kekuatan utama dunia.Negara yang
populasi mayoritas Muslim paling tinggi ada di urutan
ke 16 (Indonesia), 18 (Turki), dan 19 (Saudi Arabia).

Negara terbesar di dunia dari sisi kekuatan ekonomi


dari rangking 1 sampai 15 datang dari aneka benua
dan kultur. Di antaranya termasuk negara Amerika
Serikat, China, Jepang, German, Brazil dan Australia.
Negara yang mayoritasnya muslim tak ada satupun
yang bertengger di 15 besar dunia.

Kedua, dari sisi politik, diukur dari indeks demokrasi,


negara yang mayoritasnya muslim juga ada di urutan
papan tengah dan belakang. Urutan 1-48 adalah
negara Barat, seperti Norwegia, Swedia, Amerika
Serikat. Juga termasuk dalam list itu aneka negara
di Asia: Jepang, Korea Selatan. Ada juga negara dari
Amerika Latin: Brazil, Chili, Portugal. Bahkan ada juga
negara di Asia Tenggara: Timor Leste.

Negara yang mayoritas populasinya muslim yang ada


di urutan tertingi untuk kualitas demokrasi adalah
Indonesia (rangking 49), Malaysia (65) dan Mali (83).
Tak hanya ekonomi, tapi juga diukur secara politik dari
indeks demokrasi, negara yang mayoritas populasinya
muslim jauh tertinggal.

166
Ketiga, dari sisi sumbangan kepada ilmu pengetahuan,
peradaban Muslim juga jauh di belakang. Rata-rata di
negara muslim hanya memiliki sembilan scientists,
engineers dan technicians per-seribu populasi. Semen-
tara rata-rata dunia memiliki 41 orang. Dari sisi jumlah
profesional yang bergerak di dunia ilmu pengetahuan
dan teknologi, rata-rata dunia memiliki hampir lima
kali lipat dibandingkan rata-rata negara muslim.

Dari total 1,6 milyar penganutnya, komunitas muslim


hanya menyumbangkan dua penerima hadiah
nobel. Dari 46 negara muslim hanya menyumbang 1
persen saja kepada literatur dunia.Total keseluruhan
46 negara muslim itu bahkan kalah dibandingkan
sumbangan negara India sendiri.

Bahkan total 46 negara muslim itu kalah juga dengan


negara Spanyol sendiri. Dari tahun 1980-2000, 9
negara Arab hanya mendaftarkan 370 hak paten
penemuannya. Sementara hanya Korea Selatan sen-
diri, dalam periode yang sama mendaftarkan hak
paten sebanyak 16.328, hampir 50 kali lebih banyak
dibandingkan 9 negara Arab.

Keempat, diukur dari sisi kebahagian populasi yang


hidup di sebuah negara, negara mayoritas populasinya
muslim juga tidak unggul. Rangking tertinggi 1-19
negara yang populasinya paling bahagia di dunia

167
berasal dari aneka benua dan aneka kultur. Namun
negara itu tidak dari peradaban Islam.

Negara dengan rangking kebahagiaan populasi ter-


tinggi umumnya di Eropa, terutama di aneka negara
skandinavia seperti Swiss, Denmark. Terdapat juga
negara Amerika Latin: Brazil, dan Australia.

Negara yang mayoritas populasinya muslim, yang


memiliki tingkat indeks kebahagiaan tertinggi adalah
Emirat Arab (rangking 20), Oman (22), dan Qatar (28).
Indonesia terperosok jauh ke rangking 76.

Kelima, diukur dari praktek kebebasan agama,


gabungan indeks pembatasan pemerintah dan per-
musuhan masyarakat satu sama lain, hasilnya tak jauh
berbeda. Negara yang paling bebas dan menerima
keberagama datang dari aneka benua dan kultur,
seperti Brazil, Afrika Selatan, Filipina, Jepang, Amerika
Serikat, dan Inggris.

Negara yang mayoritasnya muslim berada di papan


tengah bahkan bawah. Termasuk negara yang dinilai
terburuk kebebasan beragama dan toleransinya
adalah Pakistan, Iran, Mesir dan Indonesia sendiri.

168
Keenam, diukur dari nilai keislaman sendiri, negara
mayoritas muslim juga tidak utama. George Washing-
ton University mengembangkan Islamicity indeks
berdasarkan 113 variabel mengenai nilai yang
dianjurkan AL-QURAN. Aneka variabel ini sudah
merangkum nilai ekonomi, hukum, politik ataupun
kebaikan secara umum.

Hasilnya, negara yang paling islami, yang paling


mempraktekkan anjuran nilai Islam, rangking 1- 32
justru bukan negara yang mayoritasnya Islam.

Daftar negara dengan islamicity Indeks terbaik justru


negara Eropa seperti Ireland, Denmark, Kanada, Por-
tugal. Masuk juga dalam list terbaik itu negara dari
benua dan kultur lain seperti Israel dan Singapura.

Negara mayoritas muslim yang tertinggi islamicity


indeksnya adalah Malaysia (rangking 33), Kuwait (42),
dan Saudi Arabia (91). Negara Indonesia terpuruk ke
rangking 140.

Dari enam indikator yang terukur itu, peradaban


Islam bukan saja tak unggul. Namun untuk kasus
penerimaan kepada demokrasi dan hak asasi manusia
seperti kebebasan agama, komunitas Islam sangat
tertinggal.

169
Bahkan di beberapa wilayah, komunitas Islam justru
unggul dari sisi buruknya seperti kekerasan dan
konflik yang tinggi.

Dengan kualitas peradaban seperti itu, kawasan


muslim tidak menjadi bagian dari solusi, tapi bagian
dari problem. Bertambah banyaknya penganut Islam
berarti semakin tak nyamannya peradaban.Apalagi
jika muslim menjadi komunitas agama terbesar di
dunia di tahun 2070.

Apa yang salah? What went wrong?

Ikhtiar

Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah menjadi


penerang dan puncak peradaban dunia.Itu terjadi di
abad 9-13, justru ketika dunia Barat masih dalam era
kegelapan dan jahiliyah.Pusat ilmu dan riset justru
berpusat di wilayah yang mayoritas populasinya
muslim.Itu adalah era ketika peradaban Islam justru
bersinergi dengan peradaban terbaik era itu dari
Yunani.

Fakta sejarah di abad itu membuktikan bahwa agama


Islam juga bisa terdepan, menjadi sumbu utama
kemajuan peradaban.Yaitu ketika Islam dipraktekkan
dengan interpretasi tertentu.

170
Jika ada masalah dengan Islam berarti itu problem
dengan interpretasi Islam, bukan dengan agama
Islam itu an sich. Solusi terhadap ketertinggalan Islam
dengan sendirinya adalah reinterpretasi Islam.

Walau Islam itu satu, sebagaimana agama besar lain,


namun Islam dalam sejarah sudah dipraktekkan
dengan aneka pemahaman, yang sangat liberal sam-
pai yang sangat konservatif.

Sejarah agama pada dasarnya adalah sejarah inter-


pretasi agama. Islam yang tumbuh di Arab Saudi
misalnya sangat berbeda dengan Islam yang tumbuh
di Amerika Serikat walau penganutnya mengklaim
bersumber pada Al-Quran yang sama.

Cukup dilihat satu isu saja soal paham atas peran


wanita di dunia wilayah itu. Di Arab Saudi, ada aturan
wanita dilarang mengemudikan mobil sendirian.
Larangan ini didukung oleh kesepakatan ulama. Ini
kebijakan pemerintah Arab Saudi yang mendasarkan
segala hal kepada Quran dan Hadits melalui penafsiran
ulamanya.

Sebaliknya di Amerika, peran wanita begitu liberalnya


bahkan melampaui apa yang dibayangkan feminis
modern. Muslim Progresive Values misalnya mem-
praktekkan persamaan hak wanita untuk juga menjadi

171
Iman salat bagi seluruh jamaah, termasuk laki-laki.
Di Amerika Serikat sudah berkali-kali dipraktekkan
wanita memimpin sholat di masjid yang juga dihadiri
jemaah lelaki.

Di era yang sama, di era digital seperti sekarang, di


kalangan penganut Islam yang sama, kita melihat dua
komunitas mempraktekkan Islam dengan nilai yang
sangat berbeda.

Di Arab Saudi, wanita dilarang mengemudi mobil


sendirian. Di Amerika Serikat, wanita menjadi iman
salat untuk jemaah yang juga ada lelaki di dalamnya.

Islam adalah satu jika mengacu pada sumber ruju-


kannya: Al-Quran. Namun ketika Islam masuk ke
dalam sejarah konkret, dengan aneka keberagaman
kultur, dengan aneka level kesadaran, dengan aneka
kepentingan, maka ada banyak Islam.

Lebih tepatnya ada banyak tafsir dan interpretasi


Islam, mulai dari yang paling kaku dan konservatif
hingga kepada yang paling liberal dan progresif.

Buku yang disusun Mohamad Guntur Romli dan


Ciputat School adalah bagian dari interpretasi Islam
yang progresif itu.Ia menampilkan kembali essesial
teaching atau nilai dasar Islam yang lebih modern.

172
Di abad keemasannya, Islam bersinerji dengan
peradaban Yunani. Kini dalam konsep Islam Nusantara,
yang dimajukan Guntur Romli beserta team Ciputat
School, adalah Islam ingin disinerjikan dengan prinsip
ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, demokrasi dan
pancasila.

Di bagian awal, Mohamad Guntur cukup panjang dan


detail menguraikan bagaimana Islam dipraktekkan
dengan aneka kekayaan kultur lokal di aneka daerah.
Di bagian selanjutnya yang menjadi gagasan besarnya
adalah bagaimana Islam Nusantara harus dirumuskan.

Jika Islam Nusantara hanyalah kristalisasi Islam yang


sudah dipraktekkan di Nusantara, maka tetap akan
kita dapati konsep Islam yang sudah terbukti tidak
membawa Indonesia pada puncak peradaban dunia.
Islam Nusantara yang berangkat dari apa yang sudah
dijalankan di Indonesia tetaplah konsep Islam yang
usang.

Islam Nusantara yang dirindukan adalah sejenis


pemahaman baru yang lebih sejiwa dengan puncak
peradaban dunia baru, yang kini masuk ke era digital,
dengan keberagaman yang kompleks.

Sudah banyak wacana Islam Nusantara yang dipub-


likasi sejak istilah ini populer di seputar Muktamar

173
NU 2015. Namun belum ada buku yang utuh
yang membahas lebih kongkret isi dari nilai dasar
Islam Nusantara.Apa yang in dan out dalam Islam
Nusantara? Apa yang membedakan Islam Nusantara
dengan yang bukan Islam Nusantara.

Dari perdebatan gagasan, jelas buku ini sebuah


langkah maju yang berani untuk menawarkan bagai-
mana sebaiknya nilai dasar Islam Nusantara itu
diformulasikan.

Dilihat dari karaktek buku, jelas ini buku yang tak


hanya mempunyai pretensi akademik.Ini buku putih
yang juga dipersiapkan untuk memandu sebuah
gerakan pemahaman agama.

Terlebih lagi dalam proses penulisannya, buku ini tak


hanya dirumuskan di belakang meja. Gagasan utama
buku ini adalah kristalisasi dari brainstorming yang
sudah diuji dan diperkaya oleh aneka komunitas
diskusi.

Sebagai sebuah konsep, buku ini sudah cukup utuh.


Namun sebagai sebuah gerakan, buku ini adalah
langkah pertama. Sukses atas tidak gagasan Islam
Nusantara mempengaruhi masyarakat luas memang
akan ditentukan oleh hal lain di luar sebuah buku.

174
Tapi pada mulanya adalah kata. Pada mulanya adalah
gagasan.

Kembali kepada kutipan Victor Hugo: serangan dari


bala tentara dapat ditahan. Namun serangan dari
sebuah gagasan yang waktunya sudah datang, tiada
yang dapat menahannya.

Pertanyaannya memang apakah waktu bagi Islam


Nusantara sudah datang? Lebih umum lagi, apakah
waktu bagi reformasi interpretasi Islam sudah tiba? []

(Pengantar Buku Islam Kami Islam Nusantara : Lima


Nilai Dasar, karya Guntur Romli dan Ciputat School)

175
176
TEROR DI BARCELONA DAN
KOMPLEKSNYA FENOMENA
TERORISME

Tahun 2013, Hillary Clinton menonjol sebagai calon


presiden Amerika Serikat. Saat itu ia berkata yang
membuka mata publik luas. CNN menyiarkannya.
Duniapun tetap bisa menontonnya melalui Youtube.

“Jangan lupa,” ujar Hillary, “terorisme yang kini kita


perangi, kita ikut membiayainya 20 tahun lalu. Kita
rekrut mujahidin, kita biarkan mereka datang dari Arab
Saudi dan negara lainnya untuk mengimpor paham
wahabi. Kita gunakan mereka untuk mengalahkan
Uni Sovyet.”

Setiap kali mendengar terjadi bom meledak, apalagi


jika pelakunya dilabel dari Islam garis keras, kita
menyadari. Realitas sesungguhnya dari terorisme itu
tak lagi sederhana. Betapa kejadian sebuah serangan
teroris itu acapkali hanya serpihan dari jejak yang
lebih kompleks.

Terorisme tak hanya masalah paham radikal. Tapi ia


juga warisan pertarungan geopolitik negara besar,
bisnis senjata, persaingan di kubu teroris sendiri,

177
tumbuhnya para amatir yang punya akses membuat
bom, serta psikologi individu pelaku dengan halus-
inasi yang berbahaya.

-000-

Kamis 17 Agustus 2017 (juga jumat) sebuah  mobil Van


menabrak banyak orang   di Las Ramblas Barcelona.
Ketika esai ini ditulis, dilaporkan 13 orang mati, dan
lebih dari 100 orang luka. Kejadian itu   di wilayah
turisme. Yang menjadi korban, termasuk wanita dan
anak-anak, dari 30 negara. 

Saya terhentak membacanya. Baru 2 minggu lalu, saya


dan keluarga di Barcelona selama 5 hari. Hotel saya, El
Palace hanya berjarak 8 menit ke area itu.

Las Ramblas memang pedestrian yang asyik bagi


turis. Di kanan kirinya banyak kafe dan toko menjual
souvenir. Di ujung jalan, berdiri patung Christoper
Columbus setinggi 60 meter. Walau Columbus
kelahiran Italia, namun waktu ia menemukan Amerika,
ia bekerja untuk kerajaan Spanyol.

Setiap hari ketika di Barcelona saya melewati wilayah


itu. Turis manca negara yang datang ke Barcelona
menjadikan Las Ramblas satu kunjungan favorit.

178
Itu pula yang rupanya ada di benak teroris. Mereka
memilih target yang mudah. Jika menyerang area
militer, sulit bagi mereka untuk sukses.

Tapi di area sipil, di ruang publik terbuka, mudah


sekali membuat serangan yang berhasil. Cukup di-
kerjakan oleh amatir, sejauh bisa membuat bom,
atau menabrakkan mobil pada kerumunan massa,
serangan sudah mematikan dan mendapatkan berita
dunia. Semakin banyak warga negara dunia menjadi
korban, semakin berita itu mendunia.

Independent melaporkan betapa eksekusi ledakan


Barcelona terasa amatiran. Dalam rencana, para pela-
ku ingin membuat efek lebih besar dengan serangan
berkali-kali.

Fenomena terorisme kini semakin beragam dan kom-


pleks. Tak semua serangan teror bagian dari konspirasi
besar yang terlatih. Bahkan kini semakin banyak
teror yang dikerjakan amatiran oleh pribadi yang
sakit secara kejiwaan. Tak semua terorisme dilakukan
dengan tujuan politik. Banyak pula yang dilakukan
hanya sebagai ekspresi grup individu dengan aneka
halusinasi.

-000-

179
Perang melawan terorisme bergerak maju. Kita
sambut baik inisiatif konggres Amerika yang akan
melahirkan sebuah aturan yang disebut SATA (the
Stop Arming Terorists Act). Aturan ini dimajukan oleh
anggota konggres Partai Demokrat: Tulsi Galbart.

Galbart menyatakan: “kita sudah menghabiskan


milyaran dolar untuk membiayai perubahan politik di
Timur Tengah. Sementara di Hawai (Amerika Serikat),
warga kekurangan rumah, dan infrastruktur yang
tak lagi layak. Kita butuh dana untuk pendidikan,
kesehatan, dan lainnya.”

Aturan ini akan melarang (membuat ilegal), praktek


politik amerika serikat sebelumnya. CIA atau lembaga
amerika manapun akan dianggap melanggar hukum
jika menggunakan dana Amerika Serikat (Tax Payer’s
money) untuk membiayai aneka gerakan yang bisa
diklasifikasikan sebagai terorisme.

Terorisme kini kehilangan sponsor utamanya yang


paling powerful. Layak diduga jika dulu pemerintah
Amerika Serikat ikut membiayai terorisme, pemerintah
negara lain potensial melakukan hal yang sama.

Jika Amerika Serikat berubah, akan melarang mem-


biayai terorisme, kita belum mendengar kebijakan
negara sponsor lainnya.

180
-000-

Al-Qaedah dan ISIS awalnya juga sebuah proyek


politik. Negara besar seperti Amerika Serikat ikut
menumbuhkannya, walau kini berbalik ingin meng-
hancurkannya.

Yang kini rumit, baik Al Qaedah ataupun ISIS sudah


terlanjur mengkader begitu banyak teroris. Me-
reka terlatih membuat senjata. Mereka terlatih ber-
kerja dengan jaringan. Mereka sudah terdoktrin
mendapatkan makna hidup dengan membunuh.

Mereka kini seperti anak ayam kehilangan induk.


Sebagian dari mereka menyebar pergi ke aneka wi-
layah dunia, dengan kreativitasnya sendiri. Bahkan
antar mereka juga bersaing berebut pengaruh di
sebuah teritori.

Sementara ideologi kekerasan dengan membajak


ajaran Islam sudah pula tersebarkan. Bahkan sudah
tumbuh pula individu yang tak terkait langsung
dengan ISIS atau Al-Qaedah tapi diromantisasi oleh
ideologi kekerasan itu.

Tak heran, kini semakin banyak aksi teror yang ama-


tiran. Namun karena yang mereka gunakan adalah

181
bom atau senapan, walau amatiran, tetap saja sera-
ngannya membuat banyak orang mati.

Fenomena terorisme kini memang lebih kompleks.[]

182
JANGAN SAMPAI INDONESIA
TUMBUH, TAPI BUKAN KAMI PUNYA

Sepenuhnya kita mendukung program Jokowi


memasuki era kepemimpinannya di tahun ketiga.
Berdasarkan info yang disebarluaskan oleh kantor
berita resmi ANTARA, Jokowi ingin fokus pada pe-
merataan ekonomi yang berkeadilan. 

Tertulis dalam info itu kutipan langsung Jokowi: “Kita


ingin rakyat Indonesia yang berada di pinggiran,
di kawasan perbatasan, di pulau-pulau terdepan,
di kawasan terisolir merasakan hadirnya negara,
merasakan buah pembangunan, dan merasa bangga
menjadi warga Negara Kesatuan Indonesia.”

Sebagai peneliti, dukungan kita diawali dengan


menampilkan data dunia. Bagaimanakah wajah ke-
timpangan di dunia itu? Dan Indonesia ada di posisi
mana? Sistem politik ekonomi yang bagaimana yang
bisa teruji mengatasi ketimpangan itu?

-000-

183
Banyak cara mengukur ketimpangan ekonomi. Na-
mun yang lazim digunakan walau ada kelemahan
adalah Gini Ratio Indeks, atau Gini Coefficient.

Ini metode pengukuran distribusi kekayaan sebuah


negara yang dikembangkan oleh seorang sosiolog
sekaligus ahli statistik warga Italia, bernama Corrado
Gini. Ia publikasikan temuannya itu dalam paper
Variability and Mutability (1912). Nama sang pencetus
ini akhirnya dilabelkan sebagai istilah akademik peng-
ukuran kesenjangan.

Ia kembangkan spektrum angka 0 sampai 1. Angka


0 untuk kesetaraan ekonomi yang sempurna dimana
semua warga sangat merata secara ekonomi, tanpa
beda sedikitpun. Sementara angka 1 untuk kondisi
dimana hanya 1 orang yang punya semua asset eko-
nomi, yang lainnya sama sekali nihil.

Tentu saja angka 0 atau 1 sama mustahilnya dalam


realitas. Namun untuk kepentingan teoritik, angka
ini harus dimungkinkan. Dalam kenyataannya yang
terjadi, kesenjangan ekonomi negara di seluruh dunia
bervariasi antara 0, 2 sampai 0,6. Angka 0,2 sudah
dahsyat sekali bagi pemerataan ekonomi. Angka 0,6
sudah super sekali untuk ketimpangan.

184
Negara mana yang paling merata soal ekonomi warga
negara? Negara mana yang paling tidak merata?
Bagaimana posisi Indonesia?

Banyak negara miskin yang diktatorial di Afrika seperti


Boswana dan Central African Republik memiliki
ketimpangan ekstrem di angka 0,6. Negara yang relatif
merata secara ekonomi justru negara kapitalisme
eropa seperti Denmark, Belgia dan Swedia. Negara ini
memiliki Gini Coefficient di angka 0,25- 0,27.

Bahkan negara China yang dulu mengkampanyekan


komunisme: pemerataan ekonomi, ternyata hasilnya
lebih buruk dari sisi Gini Coefficient. Negara itu di
angka 0,42. Negara Islam juga tak sebaik negara Eropa
barat Skandinavia. Negara seperti Iran atau Mesir di
angka 0,4 dan 0,3.

Indonesia yang diukur dengan kriteria yang sama


di tahun 2015, ada di angka 0,41. Namun BPS
mengeluarkan versi di tahun 2017 dengan angka 0,39.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia tentu tak seburuk
dibanding negara Afrika: Boswana. Tapi kesenjangan
ekonomi Indonesia jauh lebih buruk dibanding justru
negara kapitalisme eropa seperti Denmark atau
Belgia.

185
Angka 0,39-0,42 bisa dianggap lampu kuning kesen-
jangan ekonomi, jika angka 0,6 adalah lampu merah,
dan angka 0,2 adalah lampu hijaunya.

-000-

Dari survei global di atas, yang paling berhasil meng-


atasi kesenjangan ekonomi justru bukan negara ko-
munis, bukan negara Islam, tapi justru kapitalisme
eropa seperti Denmark dan Belgia.

Kita sebagai negara Pancasila sedang mencari bentuk


sistem ekonomi dan politik. Agaknya sistem yang
lebih bisa mengantarkan sila kelima: Keadilan Sosial
Bagi Rakyat Indonesia adalah model ekonomi negara
Skandinavia di Eropa itu.

Kita merindukan sila kelima Pancasila terwujud. Ka-


rena itu sepenuhnya kita mendukung program yang
diluncurkan Jokowi untuk tahun ketiga hingga selesai:
pemerataan ekonomi yang berkeadilan.

Tentu saja jika sekadar merata tapi ekonomi menurun


tidak pula ideal. Kita tak ingin kemiskinan yang di-
ratakan, tapi kemakmuran. Ketimpangan diatasi
dengan asumsi ekonomi harus terus tumbuh.

186
Namun kita tak ingin pula ekonomi tumbuh, namun
hanya terlalu didominasi oleh 10 elite terkaya. Kita
tak ingin Indonesia tumbuh, namum semakin banyak
rakyat yang merasa “Tapi Bukan Kami Punya.”[]

187
188
PROSPEK POLITIK REUNI 212 DAN
PERSPEKTIF DEMOKRASI

Jika perspektif demokrasi yang digunakan, bagai-


mana kita menilai gerakan sosial REUNI 212 dan
prospek politiknya di Indonesia masa kini? Bahayakah
gerakan ini? Akankah ia membesar dan menggulung
yang menentangnya? Akankah Indonesia kembali ke
Piagam Jakarta?

Untuk menilai secara adil, kita pisahkan dulu REUNI


212 sebagai sebuah gerakan sosial atau forum civil
society. Dan REUNI 211 sebagai perjuangan ideologis
atau cita-cita sosial.

Sebagai sebuah gerakan sosial dan forum civil society,


REUNI 212 dan gerakan 212 setahun sebelumnya,
bisa disebut sebagai puncak pencapaian civil society
di indonesia. Tentu penilaian ini belum mengevaluasi
ideologi yang diperjuangkannya.

Sebagai gerakan sosial, sebagai forum civil society,


sejak reformasi 1998 bahkan sejak 1945, Indonesia tak
pernah mengalami sebuah event sekualitas itu. Begitu
besar jumlah massanya. Mungkin terbesar dalam
sejarah Indonesia.

189
Begitu tinggi voluntarisme, kegotongroyongan yang
terjadi. Sangat terasa passion dan gairah mereka yang
hadir. Sangat tertib pula event itu. Dalam jumlah massa
sedemikian besar, Monas dan jalan raya seputarnya,
rumput di taman, tetap tertata rapih dan bersih ketika
acara selesai.

Efek psikologis mereka yang hadir juga luar biasa.


Tak jarang dalam pertemuan raksasa itu, banyak
yang meneteskan air mata merasakan kebersamaan
yang hadir. Sangat sulit membuat event sebesar itu,
sekualitas itu, dan setertib itu.

Hanya dari sisi forum civil society, REUNI 212 dan


gerakan 212 setahun sebelumnya akan dicatat sejarah
dengan tinta emas.

-000-

Kedua dari sisi ideologisnya. Organisasi dan forum


juga dinilai dari gagasan yang diperjuangkannya,
cita-cita sosial yang merekatkan mereka. Mulai
terdengar REUNI 212 memperjuangkan sebuah
gagasan bersama. Platform besarnya ternyata
memperjuangankan NKRI bersyariat.

190
Bagaimana perspektif demokrasi menilai cita cita
sosial NKRI bersyariat? Bagaimana prospek politik
NKRI bersyariat? Mungkinkah ideologi ini membesar
dan menjadi mainstream? Apa efek gagasan ini bagi
politik Indonesia makro?

Demokrasi di zaman now sudah sampai pada ke-


sadaran itu. Adalah hak asasi setiap manusia untuk
memiliki cita-cita sosial. Seseorang tak boleh dipenjara
hanya karena keyakinannya, mimpinya, gagasannya,
sejauh tidak diperjuangkan dengan kekerasan.

Peradaban sudah cukup panjang yang akhirnya me-


lahirkan kesadaran hak asasi itu. Pernah terjadi suatu
era ketika manusia bermimpi kulit hitam menikah
dengan kulit putih, dan melaksanakannya, lalu masuk
penjara. Ternyata mimpi ini sekarang terwujud. Kisah
ini secara bagus direkam dalam film berdasarkan true
story: Loving (2017).

Sejarah sudah menunjukkan salahnya negara yang


melarang sebuah mimpi, fantasi, cita-cita sosial, walau
di era it terasa tak masuk akal.

Demokrasi modern bersandar pada prinsip yang


dikatakan Voltaire: saya tak setuju dengan pendapat
tuan. Namun hak tuan menyatakan pendapat itu akan
saya bela sampai mati.

191
Tentu saja semua pihak bebas tak setuju atau me-
nentang gagasan NKRI bersyariat itu. Namun hak
warga untuk meyakini cita-cita sosialnya, dijamin
konstitusi UUD 45, dan Piagam Hak Asasi Dunia.

Dalam prinsip demokrasi, tak ada masalah jika


ada sekelompok masyarakat merindukan atau
meyakini perlunya NKRI bersyariat. Sebagaimana
tak ada masalah jika ada komunitas yang sangat
menentangnya.

Pertanyaan selanjutnya, akankah Indonesia berubah


menjadi NKRI bersyariat? Kitapun berbicara sosial
realitas politik. Seberapa kuat daya tarik gagasan
itu di publik luas? Mungkinkah gagasan itu mampu
mengamandemen UUD 45?

Survei lembaga yang kredibel menjadi standar untuk


menilai opini publik seluruh populasi Indonesia.
Hasilnya, 75 persen lebih rakyat, termasuk mayoritas
umat Islam Indonesia sudah puas dengan Pancasila
yang melindungi keberagaman. Daya tarik NKRI
bersyariat hanya di kalangan kurang dari 10 persen
populasi saja.

Mengapa demikian? Itulah perilaku politik muslim


Indonesia hasil pergulatan sejarah sejak era per-
juangan sebelum kemerdekaan. Pemilu bebas sejak

192
reformasi cukup menjadi ukuran. Mayoritas muslim
Indonesia senang dengan kesalehan agama. Tapi soal
politik praktis mereka lebih senang Pancasila dan
partai terbuka/nasional.

Suka tak suka, itu fakta sejarah.

Partai yang jelas-jelas memperjuangkan syariat Islam


selalu menjadi partai kecil atau gurem. Juara pemilu
selalu partai nasional atau yang berazaskan Pancasila.

Apalagi hasil pemilu 2014. Bahkan 4 partai terbesar:


PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat bukanlah partai
yang memperjuangkan NKRI bersyariat. Empat partai
itu bahkan menentangnya.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang terbesar be-


rikutnya, yang banyak komunitas NU, juga tidak mem-
perjuangkan NKRI Bersyariat.

Apa arti data di atas? Artinya gagasan NKRI Bersyariat


itu memang hidup, tapi hanya dalam komunitas kecil
saja. Ia bisa nyaring sebagai wacana publik, namun
sangat jauh untuk bisa menjadi mainstream, apalagi
mengubah arah UUD 45.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan gagasan


NKRI bersyariat karena dari daya tarik publiknya
terbatas saja.

193
-000-

Jika NKRI Bersyariat tak akan membesar, apa fungsi


REUNI 212 dan gagasan yang diembannya? Fungsi
positif REUNI 212, ia bisa menghidupkan isu keadilan
sosial ekonomi terutama yang dialami mayoritas
umat Islam.

Kehadiran gerakan ini akan membuat pengambil


kebijakan waspada isu keadilan sosial ekonomi -
politik. Penguasa terdesak membuat kebijakan yang
semakin peduli pada kelompok besar warga yang
tertinggal.

Yang penting para elite dan pendukung REUNI 212


selalu juga menjaga stamina untuk tidak melakukan
kekerasan dan pelanggaran hukum.

Dari perspektif demokrasi, REUNI 212 bisa kita


pahami dan dudukkan secara proporsional dan
rileks saja. Mencermati gerakan REUNI 212, dapat
dilakukan seperti lirik lagu Bobby McFerrin: “Don’t
Worry, Be Happy.” []

Desember 2017

194
KONFLIK PALESTINA-ISRAEL DAN
NOBEL PERDAMAIAN UNTUK
JOKOWI?

Mungkinkah suatu ketika Jokowi mendapatkan No-


bel Perdamaian atas upayanya ikut mendamaikan
Palestina-Israel?

Inilah pertanyaan paling jauh setelah Presiden Ame-


rika Donald Trump membuat “Slap of The Century.”
Ia mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Ini
sekaligus mengabaikan perjuangan sangat panjang
dan melelahkan Palestina. Sejak lama Palestina
menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota
Palestina dalam solusi damai dua negara merdeka.

Mungkinkah Nobel Perdamaian untuk Jokowi?


Jawaban singkat: Why Not? Jawaban positif: Ayo
kita perjuangkan! Indonesia negara terbesar negara
berpenduduk Islam di seluruh dunia. Jokowi berada
dalam momen sejarah yang tak datang dua kali.

Nobel perdamaian bukan pula hal yang asing.


Presiden SBY di tahun 2006 hampir mendapatkannya.
Itu sebagai anugerah peran SBY (dan Jusuf Kalla)
dalam perdamaian Aceh. Di era itu, Gerakan Aceh

195
Merdeka yang puluhan tahun melakukan perlawanan
bersenjata, akhirnya sepakat damai.

Tak tanggung- tanggung, saat itu SBY bahkan


dinominasikan oleh Robert Wexler, anggota konggres
AS. Peluang SBY bahkan dibahas positif oleh banyak
negara. Namun akhirnya hadiah itu jatuh ke tangan
Mohammad Yunus atas peran historiknya pada rakyat
miskin di India.

Mungkinkah rintisan SBY kini dilanjutkan oleh Jokowi?

-000-

Langkah pertama menuju Nobel perdamaian adalah


gagasan. Solusi apa yang perlu Jokowi perjuangkan?
Langkah kedua ialah upaya ekstra yang Jokowi laku-
kan mencapainya.

Solusinya sudah ada dalam sejarah: lahirnya dua


negara merdeka saling menghormati, bertetangga
dengan damai. Kota Jerusalem dibagi. Bagian Timur
untuk Palestina. Sisanya untuk Israel.

Mengapa solusi di atas yang paling baik untuk


semua? Solusi itu didukung oleh mayoritas penduduk
Israel dan Palestina sendiri. Bahkan sejak tahun 2002,
survei yang dilakukan oleh PIPA mencatat sebanyak
72 persen warga Palestina dan Israel menyetujuinya.

196
Survei Gallup Poll di tahun 2013 mengulangi per-
tanyaan yang sama. Sebanyak 70% warga Palestina
dan 52% warga Israel tetap mendukung gagasan
dua negara merdeka yang saling menghormati,
bertetangga. 

Solusi dua negara merdeka sudah sangat panjang.


Solusi itu pertama kali diperkenalkan tahun 1937
dalam Peel Commision Report. Solusi yang sama terus
ditolak dan diperkenalkan kembali berkali kali hingga
tahun ini.

Itulah solusi yang paling adil dan realistik. Tak


ada dinding cukup tinggi. Tak ada senjata cukup
mematikan yang dapat mendamaikan dua komunitas
bertetangga itu tanpa solusi yang dirasakan adil bagi
semua.

-000-

Dengan gagasan itu, Jokowi maju ke OKI, menggalang


pertemuan negara Islam internasional, dengan me-
nyerang terlebih dahulu. Negosiasi terbaik adalah
serangan di awal. Serangan yang paling strategis:
OKI bersepakat mengakui Jerusalem Timur ibu kota
Palestina merdeka.

Ini menjadi antitesis pernyataan sepihak Donald


Trump yang menjadikan keseluruhan Jerusalem ibu-

197
kota Israel. Tak tanggung-tanggung, Trump bahkan
memberikan tawaran memindahkan warga Palestina
di Jerusalem ke Puerto Rico. Ia mengira manusia itu
seperti kotak kardus yang mudah saja dipindah-
pindahkan.

OKI organisasi kerjasama negara yang mayoritas


penduduknya Islam. Ia didirikan tahun 1969, terdiri
dari 57 negara. Resolusi yang dihasilkan OKI akan
bergaung internasional.

Agar gagasan di atas mendapatkan persetujuan


menyeluruh, Jokowi dapat menggalangkan inisiatif
bersama Erdogan dari Turki dan salah satu penguasa
mewakili Timur Tengah. Bertiga mereka menggalang
inisiatif.

Setelah tesis dari Donald Trump, dan anti tesis dari


OKI yang ikut dipelopori Jokowi, datangkan proses
perdamaian sebagai sintesisnya. Dalam tahap itu,
Jokowi dapat berperan signifikan pula.

-000-

Tentu kita tak bermimpi konflik Israel- Palestina tiba


tiba selesai. Ini konflik sudah berakar ribuan tahun ke
belakang.

198
Namun langkah strategis Jokowi atas Palestina-Israel
di momen saat ini akan membuatnya menjadi profil
yang terpandang di dunia. 

Lebih jauh lagi efek langkah ini akan positif bagi


muslim dalam negeri pada Jokowi. Komunitas muslim
tanah air yang selama ini berjarak dengannya semakin
dekat. Ibaratnya, sekali Jokowi mendayung, dua pulau
terlampaui. 

Bisakah langkah ini berujung hadiah Nobel


Perdamaian untuk Jokowi? Why Not? Mengapa tak
dicoba?[]

Desember 2017

199
200
MAAF UNTUK KORBAN 65?

(Catatan Untuk Goenawan Mohamad)

Perlukah Presiden Jokowi atas nama negara Indonesia


meminta maaf atas korban tragedi 1965? Isu ini se-
makin hangat setelah berlangsung Pengadilan Rakyat
Internasional (IPT) di Den Haag, November 2015 dan
diliput media internasional.Banyak aktivis, pengacara
Indonesia dan korban 1965 ikut aktif dalam Pengadilan
Rakyat Internasional itu.

Apalagi bulan April 2016 ini Presiden Jokowi me-


merintahkan Menko Polkam Luhut Pandjaitan untuk
mencari kuburan massal 1965.

Terlepas dari setuju atau tak setuju, tulisan GM


(Goenawan Mohamad) soal isu itu layak diapresiasi
untuk memulai perdebatan publik kembali.Tulisan
GM dimuat di Qureta 27 April 2016.

Sikap GM, ia memahami jika Jokowi tak perlu meminta


maaf atas korban 1965 itu, namun melakukan hal yang
lebih konkret: menemukan kuburan massal korban.
Juga Jokowi sebaiknya memerintahkan pelaku ke-
kerasan jika mereka masih hidup untuk ditangkap dan

201
dihukum. Lebih jauh lagi Jokowi disarankan membuat
pernyataan publik bahwa keluarga yang dulu dilabel
PKI adalah bagian dari bangsa kita yang sah.

Singkat kata, pandangan GM: Presiden Jokowi me-


mang tak perlu meminta maaf secara resmi yang di-
umumkan ke publik.

GM juga menambahkan fakta untuk memperkuat


argumennya.Bahwa Pemerintah Jerman Timur setelah
patah arang dengan Hitler, juga tidak meminta maaf
atas kekejaman pemerintah Nazi itu.

Tulisan ini memberikan tiga catatan kritis atas argu-


men, data dan analisis GM. Kritik ini harus dilihat lebih
sebagai membuka aneka nuansa dan memperkaya
dimensi persoalan.

Pertama adalah catatan data dan analisis. Berbeda


dengan GM, saya justru menemukan data bahwa
bahkan Pemerintah Jerman Timur, yg patah arang
dengan Hitler, secara publik justru meminta maaf
atas kekejaman Hitler.Mereka bahkan menyatakan
bersedia ikut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita korban kekejaman Hitler itu.

New York Time 13 April 1990 memuat berita dgn judul


besar: Upheavel in the East: East German Issues An

202
Apology for Nazi’s Crime. Atau berita LA Times sehari
sebelumnya: 12 April 1990: East German Apologize.

Berita itu menyatakan setelah empat dekade menutupi


masa silam yang gelap, akhirnya Parlemen Jerman
Timur yang terpilih meminta maaf kepada Israel
dan semua Yahudi yang menjadi korban keganasan
pemerintahan sebelumnya. Link bisa dibaca di http://
articles.latimes.com/1990-04-12/news/mn-1752_1_
east-germany

Dalam kasus Jerman Timur, dan Jerman Barat,


sangat jelas pemerintah yang meminta maaf saat itu
adalah musuh dari rezim Nazi Hitler yang melakukan
kekerasan politik. Toh, mereka menganggap keke-
rasan Hitler tetap menjadi beban dan tanggung jawab
pemerintahan selanjutnya untuk dituntaskan.

Sudah menjadi fakta sejarah dan preseden politik


bahwa kebijakan yang diambil oleh sebuah pe-
merintahan, tak bisa begitu saja dilepaskan oleh
pemerintah setelahnya. Tak terkecuali jika pemerin-
tahan baru itu adalah perlawanan dan musuh besar
dari pemerintah sebelumnya.

Hutang negara yang dilakukan oleh pemerintahan


Suharto misalnya, tetap harus dibayar oleh pemerin-
tah pengganti Suharto, walau pemerintah baru itu

203
menjatuhkan Suharto dan tak setuju dengan ke-
bijakan hutang luar negeri Suharto.

Sejarah banyak sekali memberikan fakta historis ten-


tang aneka rezim yang meminta maaf atas kelakuan
rezim sebelumnya.

Catatan pertama untuk GM bukan hanya koreksi


data, namun memindahkan titik analisa. Kasus maaf
dan negara tidak terlalu ditekankan dalam wacana
filsafat Hegel atau Marx, namun cukup dilihat sebagai
fakta sejarah dan public policy semata. Bahwa sudah
menjadi preseden sebuah pemerintahan meminta
maaf atas kebijakan pemerintahan sebelumnya jika
memang ada kejadian besar yang dianggap sangat
melanggar hak asasi manusia.

Caatan kedua, GM menerima sikap Jokowi yang “tidak


minta maaf untuk korban 1965 namun melakukan
koreksi konkret” sebagai sebuah pilihan etis (dalam
bahasa saya sendiri) yang sudah seharusnya demikian.
Mungkin itu adalah pilihan yang ideal bagi GM (dalam
bahasa saya sendiri).

Namun saya melihat sikap Jokowi itu semata akibat


kompromi politik belaka. Dan itu bukan pilihan yang
secara etis ideal.

204
Di satu sisi, Jokowi dituntut oleh banyak aktivis,
termasuk Komnas HAM dan AJI (Aliansi Jurnalis
Independepen) untuk memenuhi janji kampanye. Ke-
tika Pilpres 2014, Jokowi berjanji menuntaskan kasus
HAM masa silam, termasuk korban dan tragedi 1965.
Bagi politisi yang baik, janji kampanye adalah hutang
yang harus dibayar.

Namun di sisi lain, Jokowi mungkin kaget menghadapi


perlawanan politik nyata. Begitu banyak tokoh
yang berpengaruh di militer, termasuk yang ada di
kabinetnya, tak setuju secara militan jika pemerintah
RI secara resmi meminta maaf atas tragedi 1965.

Bahkan aneka ormas Islam yang berpengaruh seperti


NU juga tak setuju. Tak terhitung aneka ormas Islam
yang keras lain yang bukan hanya tak setuju, namun
secara militan akan meneriakkan semangat agama
melawan Jokowi jika ia meminta maaf kepada korban
1965. Apalagi diasosiasikan minta maaf itu seolah
meminta maaf kepada PKI, yang memberontak, me-
mulai kekerasan terlebih dahulu, dan kumpulan para
ateis!

Tarik menarik kekuatan politik itu yang membuat


Jokowi bimbang. Di sebelah kiri ada janji kampanye
dan tuntutan aneka civil society. Di sebelah kanan,

205
ada gerakan perlawanan yang powerful karena ada
petinggi militer dan ormas Islam yang melawannya.

Jika Jokowi lebih powerful secara politik dibanding


posisinya sekarang, mungkin Jokowi bisa
mengabaikan perlawanan tokoh militer dan ormas
Islam demi hutang janji kampanyenya.Namun per-
hari ini, Jokowi tidak sekuat itu.

Berbeda dgn GM, saya tak melihat sikap Presiden


Jokowi saat ini sebagai pilihan etisnya yang ideal.
Namun ini semata kompromi politik belaka.Jika
Jokowi lebih kuat dari posis politiknya saat ini, sangat
mungkin Jokowi melangkah lebih jauh.

Catatan ketiga, sikap GM yang menerima Jokowi tak


harus minta maaf namun melakukan koreksi yang
lebih konkret, adalah sikap yang perlu diapresiasi
pada tahap minimal.

Jika kebijakan Jokowi, sesuai yg disarankan GM, bisa


dikerjakan, itu sudah sebuah kemajuan.

Namun ada pilihan kebijakan yang lebih optimal,


yang bisa diambil Jokowi. Sikap ini mungkin tak akan
mendapatkan perlawanan politik yang terlalu keras
pula, baik dari tokoh militer ataupun ormas Islam.
Secara etis, ini justru pilihan kebijakan ini lebih ideal.

206
Jokowi bisa mengikuti tradisi yang biasa saja dalam
negara modern. Sebagai presiden secara resmi Jokowi
meminta maaf atas peristiwa 1965.

Namun permintaan maafnya bukan kepada PKI, tapi


kepada semua korban (baik tentara, anggota ormas
Islam, korban yang dituduh PKI padahal bukan, juga
kepada siapapun yang sebenarnya tak layak dibunuh
tanpa pengadilan).

Ini permintaan maaf yang sangat umum. Di tahun 1965,


begitu banyak yang menjadi korban, bukan hanya PKI
saja. Dan semua korban berhak mendapatkan maaf
yang sama.

Maaf yang disampaikan oleh pemerintah resmi juga


akan menjadi penanda politik penting, bahwa kita
sebagai bangsa menerima tragedi 1965 sebagai
tragedi bersama, dan bersama pula memaafkannya
untuk memulai sesuatu yang baru.

Kadang diperlukan langkah yang heroik untuk


memulai tahapan yang lebih tinggi.[]

April 2016

207
208
DONALD TRUMP DAN AMERIKA
YANG BERUBAH?

Apa yang terjadi dengan publik Amerika saat ini?


Mengapa Donald Trump, tokoh dengan visi gelap bisa
memenangkan konvensi Partai Republik? Mengapa
tokoh yang menggaungkan the politics of fear and
hatred, bisa mengalahkan 16 calon presiden Republik
lainnya, dan menang di 37 negara bagian?

Pertanyaan ini mengganggu pikiran saya saat me-


nonton pidato penerimaan (acceptance speech)
Donald Trump dalam Konvensi Partai Republik, 21
Juli 2016. Selama sekitar 1 jam 15 menit, pidato yang
termasuk terpanjang untuk sebuah konvensi partai,
Trump acapkali mendapatkan standing applause dari
ribuan delegasi.

Ketika Trump mencalonkan diri dan mengangkat


politics of fear and hatred, politik yang mengekspresikan
aneka ketakutan, kekhawatiran, kebencian bahkan
rasialisme, itu persoalan Trump pribadi. Namun ketika
dengan isu itu Trump memenangkan nominasi Partai
Republik, itu sudah menjadi soal publik di Amerika.

209
Terjadi perubahan mendasar dalam batin politik
Amerika masa kini karena tokoh seperti Donald Trump
bisa menang dan dipilih.

-000-

Politics of fear and hatred mewarnai seluruh pidato


Trump. Dalam konvensi partai Republik malam itu,
pidato tersebut menjadi kulminasi isu dan agenda
yang ia gaungkan di masa kampanye. Sudah sejak 16
juni 2015 tahun lalu, Trump konsiten dengan platform
itu.

Struktur argumennya cukup standar. Namun dalam


pidato malam itu, visi gelap ini dilengkapi dengan
data dan fakta sehingga nampak canggih dan sahih.

Trump selalu memulai dengan paparan Amerika kini


sedang dalam krisis ekonomi dan kekerasan. Ruang
publik dan komunitas tak lagi aman. Peredaran nar-
koba, pemerkosan, penembakan membabi buta,
hingga terorisme mengancam keluarga Amerika.

Penyebab kondisi ini selalu dtumpahkan kepada


empat target: dibiarkannya imigran gelap membanjiri
Amerika, dibiarkannya muslim yang tak toleran di
ruang publik Amerika, lemah dan buruknya peme-
rintahan Obama dan calon demokrat Hillary Clinton
yang tidak fit memimpin Amerika saat ini.

210
Ujar Trump: “Serangan kepada para polisi kita,
terorisme di kota kita sudah mengancam kenyamanan
hidup warga negara. Kita melihat kekerasan terjadi di
jalan dan ruang publik. Kita melihat suasana chaos
dalam komunitas kita. Bahkan banyak orang yang kita
kenal secara pribadi menjadi korban. Pemimpin yang
tak sadar hal ini tidak fit, tidak cocok untuk memimpin
Amerika.”

Hadirin riuh tepuk tangan. Mereka meneriakkan


slogan Law and Order, Law and Order atau USA, USA.

Datapun dihidangkan. Pembunuhan tahun lalu me-


ningkat 17 persen di 50 kota terbesar Amerika. Ini
adalah kenaikan kekerasan terbesar selama 25 tahun
terakhir.

Di ibu kota negara, pembunuhan naik sekitar 50 per-


sen. Bahkan mencapai 60 persen ujtuk wilayah dekat
Baltimore. Di kampung halaman Presiden Obama
sendiri, Chicago, pembunuhan (korban tembakan)
menimpa 2000 korban di tahun ini saja. Dan 4000
orang sudah mati dibunuh sejak Obama menjadi
presiden.

Polisi yang terbunuh dalam tugas kini meningkat 50


persen, dibandingkan tahun lalu. Lebih dari 180 ribu
imigran ilegal terlibat kasus kriminal. Kini mereka

211
melenggang bebas dan siap mengganggu kedamaian
lingkungan kita.

Trump pun bercerita tentang Sarah Root, gadis 21


tahun. Ia baru saja tamat dengan GPA sempurna,
rata-rata nilai A (4). Sarah dibunuh oleh seorang
mantan kriminal. Kini mantan kriminal itu kabur dan
menggelisahkam banyak keluarga Amerika yang bisa
saja menjadi korban berikutnya.

Sarah Root itulah tipikal keluarga Amerika, bukan


para imigran gelap. Tapi Sarah Root sudah melayang
nyawanya. Dan akan muncul banyak kasus serupa jika
leadership Obama dilanjutkan Hillary Clinton.

Trump juga mengkritik semakin banyaknya imigran


dari Syria. Tahun ini saja mereka masuk ke Amerika
meningkat 550 persen. Trump mengkhawatirkan me-
reka membawa apa yang disebutnya dengan Islamic
Terrorism.

Lebih dari 4 dari 10 warga Afrika Amerika hidup dalam


garis kemiskinan. Dan 58 persen dari mereka kini
menjadi pengangguran.

Dua juta populasi Latino hidup dalam kesengsaraan.


14 juta populasinya sudah sama sekali menjadi peng-
angguran.

212
Imigran yang miskin, apalagi yang datang secara
ilegal, dan tidak menghayati sistem nilai Amerika, me-
reka menjadi sumber kriminal bagi keluarga Amerika
saat ini.

Di bawah leadershipnya nanti, ujar Trump, Amerika


akan aman kembali. Amerika akan jaya kembali.
America will be great again. Ia adalah kandidat untuk
menegakkan law and order. Namun satu hal yang
pasti dan selalu menjadi prioritasnya: utamakan
rakyat Amerika, bukan imigran!

Hadirin kembali riuh tepuk tangan. Mereka berdiri.


Yel-yel itu diteriakkan; Law and Order, USA, Put America
First!

-000-

Reaksi pakar dan media utama umumnya negatif


terhadap sosok Trump. Washington Post, misalnya
menganggap justru Trump yang menjadi ancaman
buat demokrasi Amerika, bukan imigran atau muslim.

Dua hal yang dikritik pada Trump: tone politiknya yang


kurang positif: bernada mengancam kepada saingan
politik, dan menyampaikan data dan fakta yang salah.

Delapan tahun lalu, misalnya, ketika Jhon McCain


menjadi calon Partai Republik, the politics and fear and

213
hatred model Donald Trump tak akan laku dan tidak
dipilih oleh calon presiden.

John McCain memperlakukan saingannya dengan


elegan. Ketika pendukungnya memainkan isu rasial
kepada Obama, dan menyebut Obama keturunan
Arab dengan agenda tersembunyi, McCain justu
menenangkan. Menurut McCain, Obama warga
negara Amerika yang bertanggung jawab. Ia hanya
memiliki perbedaan mendasar dalam isu sosial saja.

McCain menjaga adab politik agar serangan ditujukan


kepada gagasan saja. Jangan ada hujatan kepada
pribadi. Itulah standar kompetisi politik tingkat tinggi
di Amerika saat itu.

Trump mengubah mood kompetisi politik dengan


nada mengancam memenjarakan saingannya jika ia
menang. Ini model kompetisi yang mungkin hanya
terjadi di Banana Republik, dunia ketiga.

Bahkan dalam serial kampanyenya, Trump beberapa


kali menyatakan, jika ia menjadi presiden kelak, Jaksa
Agung akan melacak Hillary. Sangat mungkin Hillary
masuk penjara.

Dalam pidato malam itu di Konvensi Partai Republik,


serangannya pada Hilary menjadi agenda utama.

214
Tuduh Trump, ketika Hillary menjadi pejabat negara,
the secretary of state, secara ilegal Ia memindahkan
emailnya ke private server, dan menghapus 33 ribu
email. Akibatnya banyak data milik publik hilang dan
membawa negara dalam bahaya. Ini sebuah tindakan
kriminal yang tak ada preseden sebelumnya. Hillary
harus didiskualifikasi sebagai pemimpin negara.

Mood negatif yang dibawa Trump, persoalannya tidak


didukung oleh data yang sahih. Bahkan data yang
nampak banyak disajikan dalam pidato malam itu,
sudah diverifikasi oleh aneka pihak, termasuk oleh
Presiden Obama sendiri, sebagai data yang salah, bias
atau misleading.

Secara faktual Trump keliru jika menyalahkan imigran


gelap sebagai penyebab utama kriminal Amerika. Hasil
riset berulang-ulang menunjukkan kekerasan yang
dilakukan oleh mereka yang sejak lahir menjadi warga
negara Amerika jauh lebih banyak dibandingkan yang
dilakukan imigran, yang gelap sekalipun.

Secara faktual, Trump juga keliru jika menyalahkan


dan ingin mengisolasi muslim dari komunitas
Amerika. Kaum muslim di banyak negara, termasuk
Amerika, juga menjadi korban terorisme. Bahkan
muslim menjadi korban dari labelling Islam ke dalam
gerakan terorisme hanya karena segelintir pelaku
yang mengatasnamakan Islam.

215
Yang kurang diangkat oleh banyak pakar dan media
justru mood rakyat Amerika sendiri. Apa yang terjadi
dengan publik Amerika? Mengapa demagog dengan
visi yang gelap bisa menjadi calon sebuah partai
besar? Bahkan polling di akhir Juli 2016, Trump versus
Hillary bersaing ketat sekali. Gagasan hitam yang
dibawa Trump artinya disetujui banyak pemilih.

Visi gelap seperti Trump memang selalu ada di sepan-


jang sejarah, dan di manapun. Namun selama ini
di Amerika, mereka hanya kelompok yang sangat
minoritas.

Di dalam partai Republik, mereka sering disebut


segmen pemilih “Jacksonian.” Ini tipe pemilih Partai
Republik yang tak banyak menganalisa informasi.
Umumnya mereka dari kalangan pendidikan rendah.

Jacksonian Republik selalu menyukai tokoh yang


bisa menyederhanakan persoalan, berani, bertindak
seperti jagoan koboi, dan pahlawan yang melindungi
rakyat. Mereka menyukai Ronald Reagan yang acap
menyebut negara komunis sebagai negara setan.
Mereka menyukai film Rambo, serdadu Amerika yang
sangat perkasa dan hebat menembak mati begitu
banyak musuh. Mereka menyukai McCartney yang
ingin melindungi kemurnian ideologi Amerika dari
infiltrasi ideologi asing komunisme.

216
Tentu mereka sangat menyukai dan pendukung
fanatik tokoh Donald Trump. Mereka paling mudah
termakan oleh jargon “Make America Great Again,”
tanpa terlalu menganalisa apakah plarform yang
ditawarkan itu berangkat dari data dan kesimpulan
yang benar dan sahih. Mereka mudah dirayu oleh
pemimpin yang terkesan agresif bahkan ekstrem
sejauh bisa dipercaya punya kapasitas untuk
melindungi.

Problemnya: Donald Trump memang masuk akal


didukung minoritas. Tapi yang kini ada, Donald Trump
didukung mayoritas pemilih partai Republik. Apa
yang terjadi? Mengapa minoritas berubah menjadi
mayoritas?

-000-

Cinta kepada figur yang terkesan kuat, agresif, bahkan


ekstrem, yang dinilai cakap melindungi rasa aman
memang produk Amerika di era dekade 2010.

Ini era populasi Amerika disuguhkan berita TV


mengenai begitu seringnya kekerasan di dalam
negeri ataupun di luar negeri. Pelakunya seringkali
diidentifikasi sebagai Islam, imigran atau imigran
muslim.

217
Di akhir Juni bulan lalu; 49 orang mati dan 53 luka
parah ditembak dalam sebuah klub malam Orlando.
Penembaknya digambarkan dengan sosok muslim,
imigran dan tidak menghayati way of life Amerika.
Ia anti LGBT membunuh dalam rangka keyakinan
agama.

Berita ini diulang-ulang, diperkaya, masuk ke ruang


keluarga di rumah, atau di kamar tidur melalui TV.
Ketika bangun tidur, membuka internet di handphone,
berita itu pula yang m menjadi hit populasi Amerika,
berhari-hari.

Sebelumnya berita kekerasan yang sama oleh imigran


muslim di Paris. Sebuah negara Eropa, pusat fashion
dunia, berkali-kali kini diguncangkan oleh terorisme.
Pelakunya selalu dihubungkan dengan esktremis
Islam, atau imigran muslim.

Dalam dekade 2010 telah terjadi sekitar 20 serangan


terorisme yang diatas namakan “teroris Islam.” Ke-
kerasan itu tak hanya terjadi di negara seperti Pakistan,
Irak, Indonesia, tapi juga Swedia, Jerman, Paris, dan
Amerika sendiri.

Korbannya tak hanya aparat keamanan, tapi rakyat


sipil biasa yang berada di kafe, stadion, kantor dan
Mall. Pelakunya tak hanya warga asing, tapi warga

218
negara sendiri: imigran yang sudah pula menjadi
warga negara.

Inilah dekade ketika kekerasan atas nama agama, dan


dilakukan imigran, menjadi hit. Walau sebenarnya
jauh lebih banyak kekerasan yang terjadi bukan
karena alasan agama dan bukan karena imigran.

Kondisi ini yang membuat tokoh dengan visi gelap


seperti Donald Trump kini bisa populer bahkan di
Amerika Serikat sekalipun.

Amerika kini berada di simpang jalan. Akankah ia


tetap menjadi kiblat demokrasi dunia dengan tidak
memilih Trump sebagai presidennya? Ataukah Trump
terpilih sebagai presiden AS yang ke 45, dan berhenti
pula Amerika menjadi kiblat keberagaman dunia
yang diidealkan?[]

219
220
BERPOLITIK DENGAN DEFINISI
PENYAIR

Kuliah pertama ketika saya mengambil kelas Political


Philosophy di Ohio State University, AS, dosennya
mengajak diskusi. Apa itu politik? Dikutiplah aneka
definisi yang sangat banyak dari para pakar dan tokoh
ternama. Kamipun di kelas menyampaikan argumen
masing-masing dengan definisi yang kami yakini.

Namun definisi itu begitu banyaknya, berbeda satu


sama lain. Dosen lalu menyampaikan pesan utama:
setiap definisi dari aneka konsep, termasuk kata
“politik” itu juga bersifat politis. Setiap pemikir sampai
ahli bahasa bisa sangat berbeda mendefinisikannya.
Beda definisi, beda implikasi. Definisi punya implikasi
di ruang publik.

Saya langsung teringat kelas itu ketika menerima


buku yg nampak luarnya sangat berwibawa. Dari
seorang teman, saya mendapatkan buku tebal itu
berjudul: Apa dan Siapa Penyair Indonesia.

Buku tersebut tersusun lebih dari 670 halaman. Editor


dan kuratornya sastrawan dan kritikus sastra ternama,

221
antara lain: Maman S Mahayana, Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi WM.

Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indone-


sia, Sept 2017. Ia juga turut dilaunching ketika mem-
peringati hari puisi.

Saya melihat ada nama saya yang juga dianggap


penyair. Wah, ujar saya, ternyata sayapun kini di-
anggap penyair.

Tapi saya cari tak ada nama Agus R. Sarjono, yang


puisinya berjudul Sajak Palsu dibaca di banyak tem-
pat. Saya lihat juga tak ada nama Fatin Hamama yg
sudah menulis buku puisi Papyrus, dan sudah pula
launching tunggal buku puisinya di TIM. Dua nama ini
hanya untuk contoh saja.

Saya lihat ratusan nama yang disebut penyair, yg tak


pernah saya dengar. Mungkin total list itu ada lebih
dari 1000 nama.

Langsung muncul pertanyaan: mengapa tokoh se-


kelas Agus R. Sarjono dan Fatin Hamama tak dianggap
penyair Indonesia, dari list 1000 nama itu?

-000-

222
Saya baca pengantar buku itu: Menolak Konon:
Sebuah Pertanggungjawaban. Namun dari penjelasan
itu masih tak terjelaskan mengapa misalnya Agus
R. Sarjono dan Fatin Hamama tak masuk dalam list
penyair Indonesia?

Jika kita melihat semata arti kata penyair atau poet


dalam bahasa Inggris, definisinya sangat sederhana.
Penyair adalah siapa saja yang menulis puisi. Mereka
yg sudah menulis puisi, apalagi sudah menerbitkan
buku, tak bisa tidak dianggap penyair jika definisi
kamus bahasa standar yang digunakan.

Dengan definisi itu, jelaslah Agus R. Sarjono dan Fatin


Hamama masuk kategori.

Sayapun teringat pula perdebatan 33 tokoh sastra


paling berpengaruh. Juga perdebatan mengenai
10 penyair terbesar dunia sepanjang massa. Juga
perdebatan mengapa politisi Winston Churchill  dan
penulis lagu Bob Dylan mendapatkan nobel sastra?

Rencana saya ingin menulis catatan kritis panjang


lebar saya batalkan. Apa mau dikata? Dalam dunia
bebas setiap orang boleh beropini. Dan awal semua
opini adalah definisi. Selanjutnya terserah publik dan
pembaca untuk mengamininya atau membantahnya.

223
Politik yang paling purba memang soal mendefinisikan
kata, termasuk politik mendefinisikan siapa penyair
Indonesia.[]

November 2017

224
MENGAPA KATA “PRIBUMI”
MENJADI BEGITU SENSITIF?

Jika hanya sebagai sebuah kata atau terminologi,


tak ada yang salah dengan kata “pribumi” ataupun
kegiatan kaum pribumi. Ia menjadi sensitif jika kata
“pribumi” itu berubah menjadi sebuah kesadaran
kolektif mayoritas menyusun perjuangan ekonomi
dan politik.

Itulah respons cepat saya terhadap hingar bingar dan


hiruk pikuk di ruang publik akibat digunakannya kata
pribumi dalam pidato pertama Gubernur DKI terpilih
setelah dilantik: Anies Baswedan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pribumi


sebagai penghuni asli, yang berasal dari tempat yang
bersangkutan. Dalam bahasa Inggris ia diterjemahkan
sebagai indigenous people.

PBB sendiri selaku lembaga tertinggi dunia, sejak


tahun 1994, menetapkan hari internasional bagi rakyat
pribumi di seluruh dunia. Hari itu jatuh pada tanggal
9 Agustus. Itu momen kaum pribumi di seluruh dunia
merayakannya, sekaligus mendiskusikan kondisinya.

225
Bahkan PBB sudah pula menetapkan hak asasi bagi
kaum pribumi di seluruh dunia: United Nations
Declaration of the Rights of Indigenous People. Dalam
artikel 3, hak itu berbunyi: hak kaum pribumi untuk
mengejar kepentingan ekonomi, sosial, dan kultural.

Kata pribumi juga bahkan menjadi nama sebuah


organisasi resmi di Indonesia: Himpunan Pengusaha
Pribumi Indonesia (HIPPI). Di tahun 2015, bahkan
pemerintahan Jokowi yang diwakili wakil presiden
Jusuf Kalla juga menghadiri acara pengusaha pribumi
itu.

Pertanyaannya mengapa hak kaum pribumi yang


justru dirayakan oleh dunia, dan di Indonesia sendiri
ada organisasi resmi menggunakan kata pribumi
seperti HIPPI, kini menjadi begitu sensitif di Jakarta
atau Indonesia, ketika Anies Baswedan mengutipnya
dalam pidato?

-000-

Dua hal penyebabnya. Pertama longgarnya definisi


pribumi itu. Kedua, ada problem ekonomi dan politik
dengan the so called “kaum pribumi,” itu.

Jika pribumi didefinsikan sebagai melayu muslim,


mereka mayoritas dalam jumlah tapi merasa minoritas

226
dalam penguasaan ekonomi. Dan kini mereka mulai
khawatir pula dominasinya dalam politik terancam.
Kesadaran kolektif ekonomi politik kaum pribumi ini
yang memang sensitif karena konteks ekonomi politik
Indonesia.

Publik Indonesia harus berani membongkar lebih jauh


dan mempercakapkan soal ekonomi politik pribumi
itu secara dingin, rasional, dan ilmiah. Itu lebih baik
ketimbang masalah ini disembunyikan di bawah
karpet merah, seolah indah dan tenang di permukaan,
namun justru membara membakar secara diam-diam.

Jika pribumi semata diartikan sebagai penduduk adat


asli nusantara yang sangat minoritas jumlahnya, itu
akan adem saja. Problemnya adalah melalui evolusi
kata, pribumi itu di sebagian komunitas berarti
melayu muslim yang mayoritas. Kini mereka ingin
bangkit perkasa secara politik dan ekonomi.

Evolusi pengertian pribumi sebagai melayu itu


terlacak sejak abad ke tujuh. Termasuk pertama kali
kata melayu digunakan, itu oleh seorang pendeta
Budha I Ching (634-713). Ia melaporkan perjalanannya
dari China ke India.

Ia menuliskan dua buku, yang bercerita pengalaman.


Tulisnya, setelah berlayar 20 hari, kami sampai di tanah

227
Sriwijaya. Raja di sana sangat ramah. Ia membantu
kami tinggal 2 bulan di tanah Melayu.

Pada mulanya, kata Melayu hanya didefinisikan


untuk wilayah sekitar kerajaan Sriwijaya. Tahun 1795,
pengertian Melayu diluaskan oleh Blumenbach untuk
semua ras bewarna coklat. Termasuk di dalamnya
antara lain suku yang berada di Maluku dan Sunda.

Tahun 1854, pemerintah kolonial Belanda menge-


luarkan undang-undang mengatur pemisahan tiga
ras dengan tiga tingkat status sosial. Golongan per-
tama, disebut kaum Eropa. Golongan kedua kaum
Timur Asing, terdiri dari China, India, Arab dan asing
lainnya di luar Eropa. Golongan ketiga adalah kasta
paling rendah: inlander.

Eropa adalah penguasa. Inlander itu rakyat yang


dikuasai. Golongan Timur Asing berada di tengah.
Inilah kali pertama, kosa kata “inlander” menjadi
politis. Bersama kosa kata itu melekat status ekonomi
politik paling rendah.

Inlander itu kemudian pengertiannnya menjadi


pribumi. Berbaur pula ia dengan pengertian etnik
Melayu.

228
Kosa kata pribumi dan melayupun berevolusi men-
jadi Melayu muslim. Awalnya itu terjadi untuk ala-
san praktis dan mudah bagi penguasa kolonial
mengidentifikasi kaum inlander.

Dalam perkembangannya, mereka yang sudah


lama tinggal di bumi nusantara termasuk yang Arab
sekalipun sejauh muslim masuk pula dalam kategori
Melayu atau pribumi.

Kata pribumi dengan salah ataupun benar hidup di


banyak benak masyarakat sebagai Melayu beragama
Islam. Berkembanglah rakyat Indonesia menjadi pri-
bumi dan non pribumi. Kemudian ia menjadi Melayu
muslim versus etnik Tionghoa (Cina).

Dari sebuah kosa kata, kaum pribumi atau Melayu


muslim, menjelma menjadi kesadaran identitas. Kaum
pribumi merasa mayoritas, namun tertinggal secara
ekonomi. Sejarah kecemburuan ekonomi pribumi
terutama kepada etnik China acapkali berbuah keke-
rasan.

Sejak merdeka, Bung Karno hingga Gus Dur mencoba


membangun kesadaran warga negara. Apapun
etniknya, agamanya, ia Indonesia. Namun sejarah
juga mencatat. Kecemburuan ekonomi acapkali pula
membuat warga Indonesia etnik China menjadi amuk
massa.

229
Peristiwa besar terakhir huru hara 1998. Etnik China
(non pri) termasuk yang menjadi korban kekerasan.
Presiden Habibie melalui Inpres, no 26 tahun 1998,
melarang penggunaan kata pribumi dan non pribumi
dalam semua perumusan dan penyelenggaraan ke-
bijakan.

Reformasipun mengubah landscape politik. Tapi yang


belajar sejarah juga paham, perubahan cepat hanya
mungkin terjadi pada aturan. Mindset kolektif, apalagi
realitas adalah raksasa yang hanya mampu berubah
pelan-pelan saja.

Di tingkat aturan, apalagi hanya sebuah inpres, bukan


Undang-Undang atau konstitusi, tak akan mampu
meredam penggunaan kata pribumi. Yang lebih
sensitif justru kenyataan itu: kesadaran ekonomi dan
politik pribumi tak akan bisa diredam hanya oleh
sebuah inpres, selama akar masalahnya masih kokoh
di sana.

-000-

Apa yang harus dilakukan? Inilah pertanyaan penting.


Memilih tidak membicarakan soal ekonomi politik
“kaum pribumi,” demi sopan santun politik, sementara
ada kegelisahan yang real di bawah permukaan, itu
bukan pilihan cerdas.

230
Percakapan publik yang hangat dan ilmiah atas hal itu
boleh dibiarkan bergulir dengan tiga prinsip dasar.

Pertama, tak boleh ada diskriminasi atas warga ne-


gara. Apapun etnik dan agamanya, semua warga
negara memiliki hak dan perlindungan hukum yang
sama.

Kedua, tak boleh ada kekerasan di ruang publik. Aparat


hukum harus berani dan tegas untuk menindak aneka
kekerasan fisik ataupun ujaran kebencian.

Ketiga, ketimpangan ekonomi yang tajam, apalagi jika


bertumpang tindih dengan identitas etnik atau aga-
ma, di seluruh dunia, akan menjadi bara api sebuah
negara.

Hikmah kontroversi soal pidato Gubernur DKI, Anies


Baswedan, mungkin menjadi picu untuk percakapan
di ruang publik secara dingin mencari solusi bersama.
Saatnya ruang publik kita diisi oleh percakapan visio-
ner, dengan riset, data, argumen, dan studi komparatif.

Ruang publik kita kini hanya ramai untuk isu korupsi


dan sensasi politik. Kita rindu percakapan yang
mencerahkan soal tema besar kondisi ekonomi, ke-
timpangan, keadilan, kebebasan, kemakmuran.

231
Persoalannya, bisakah mempercakapkan isu yang
panas, seperti pribumi itu, dengan kepala dingin?[]

Oktober 2017

232
MENUNGGU LAHIRNYA INDONESIA
YANG KEENAM

(Renungan Indonesia Merdeka)

Membuka data sejarah, Indonesia ternyata telah lahir


lima kali. Kita menunggu lahirnya Indonesia yang ke-
enam.

Pertama kali Indonesia lahir di tahun 1850. Itulah era


pertama kali kata Indonesia ditemukan. Bukan politisi
yang menemukannya tapi ilmuwan. Bukan orang
Indonesia yang menciptakan kata Indonesia pertama
kalinya, tapi orang Eropa.

Adalah ilmuwan Inggris Geoge Samuel Windsor


Earl. Ia ahli ethnopogi. Bangsa yang hidup di pulau
berserakan di wilayah geograpi nusantara itu perlu
ia beri nama dalam rangka tulisan ilmiah. Iapun
memberi dua nama. Itu bangsa Indu-nesians, atau
Melayunesians.

Di tahun 1850, ilmuwan Inggris lainnya, memberikan


nama yang sama. Ia bernama James Richardson. Di
tahun itu ia menulis di jurnal yang sama, “Journal of
the Indian Archipelago and Eastern.” Ia menyebut
wilayah itu dengan sebutan Indonesia.

233
Ilmuwan lain, juga seorang ahli ethnologi, ikut
mempopulerkan kata Indonesia adalah Adolf Bastian
dari Jerman. Tak boleh dilupakan juga ilmuwan
Belanda C. Van Volenhoven, ahli hukum adat. Mereka
berulang ulang menyebut Indonesia dalam karya
ilmiahnya.

Dalam sejarah, itulah pertama kali kata Indonesia di-


lahirkan. Kita senang karena kata Indonesia diciptakan
dalam keperluan percakapan ilmu pengetahuan.

-000-

Kedua kali Indonesia lahir di era pergerakan, 1913-


1928. Untuk pertama kalinya kata Indonesia juga di-
gunakan elit pribumi. Tercatat yang termasuk pertama
menggunakannya adalah Ki Hajar Dewantara di
tahun 1913. Ia menyebut Indonesia sebagai nama
Biro Pers Indonesia (terjemahan dari bahasa Belanda:
Indonesische Pers-bureau)

Moh Hatta di tahun 1922 mulai pula menggunakan


kata Indonesia dalam organisasi Perhimpunan Indo-
nesia. Dr Soetomo di tahun 1925 memakainya untuk
Kelompok Studi Indonesia.

Puncak digunakannya kata Indonesia oleh elit pri-


bumi Indonesia adalah Sumpah Pemuda 1928. Itulah

234
momen dibangunnya sebuah bangsa bernama Indo-
nesia sebagai sebuah entitas politik. Berbahasa satu,
tanah air satu, berbangsa satu: Indonesia.

Kitapun senang, Indonesia lahir kedua kalinya oleh


kaum pelajar pribumi dalam rangka pergerakan.

-000-

Ketiga kalinya, Indonesia lahir dalam momen kemer-


dekaan. Indonesia tak hanya identitas geografi (kela-
hiran pertama), tak hanya identitas politik (kelahiran
kedua), tapi bersiap menjadi nama sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat.

Serial pertama momen ini Pidato Pancasila 1 Juni


1945 oleh Bung Karno. Dilanjutkan oleh proklamasi
kemerdekaan 17 agustus. Dilanjutkan kembali tanggal
18 Agustus 1945 ketika disahkannya konstitusi UUD
45. 

Dari sisi syarat lahirnya sebuah negara berdasarkan


kehendak rakyat negara itu, sah sudah Indonesia ber-
diri di tahun 1945.

Namun ketidak relaan asing melepas Indonesia terus


terjadi. Belanda masih terus mengklaim Indonesia
sebagai wilayahnya. Setelah merdeka, di tahun 1945

235
belum ada negara lain yang mengakui kemerdekaan
Indonesia.

Keempat kalinya, Indonesia lahir sebagai negara yang


diakui dunia international. Momen untuk itu dimulai
tanggal 22 Maret 1946. Itulah momen pertama negara
luar secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia.

Yang pertama kali mengakui Indonesia adalah Mesir.


Setelah itu menyusul Syiria, Irak, Lebanon, Yaman,
Saudi Arabia, Afganistan. Kumpulan negara Islam
Timur Tengah adalah rombongan internasional per-
tama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Belanda selaku penjajah Indonesia awalnya mengakui


kemerdekaan Indonesia bukan di tanggal 17 Agustus
1945. Menurut Belanda saat itu Indonesia masih
wilayahnya. Indonesia diakui Belanda merdeka tanggal
27 Desember 1949, ketika penyerahan kedaulatan
ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

Baru tahun 2005 tempo hari, Belanda mengubah si-


kap mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945. Pengakuan itu pertama kali diberikan
Belanda melalui menlunya Bernard Rudolf Bold.

Puncak pengakuan kemerdekaan Indonesia adalah


diterimanya Indonesia menjadi anggota PBB ke 60.
Momen itu tanggal 28 September 1950.

236
Kelima kalinya, Indonesia lahir kembali mengubah
sistem politik ekonominya. Serial perubahan ini di-
mulai tahun 1966 ketika Suharto menggantikan
Sukarno. Yang diganti tak hanya presiden, namun
haluan ekonomi. 

Di bawah Sukarno, haluan ekonomi cenderung me-


makai jargon sosialisme ala Indonesia. Namun di
era Suharto, untuk pertama kalinya haluan ekonomi
mengikuti textbook pembangunan ekonomi dunia
barat, yang lebih kapitalistik. 

Puncak perubahan sistem ekonomi politik adalah


reformasi 1998. Suhartopun diganti oleh BJ Habibie.
Di bawah Habibie dimulai sistem politik diubah dari
politik otoriter menjadi politik demokrasi. Kebebasan
pers, partai, civil society dibuka.

-000-

Kini kita menunggu lahirnya Indonesia keenam


kalinya. Belum kita tahu kapan momennya. Tapi kita
bisa bersepakat menetapkan kriterianya.

Indonesia akan lahir kembali kelima kalinya adalah


Indonesia yang jauh lebih baik. Tiga saja ukurannya. 

Kriteria pertama, saat itu Indonesia sudah dimasukkan


dalam negara demokrasi yang matang. Freedom

237
House mengukurnya dengan kriteria negara yang
“Free.” Kini demokrasi di Indonesia masih “Partly Free.” 

Demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya diakui


dan dijalankan secara kultural oleh elite pentingnya
sebagai “the only game in town.” Masih banyak elite
berpengaruh yang menginginkan sistem politik lain.

Kriteria kedua, saat itu, GDP per kapita Indonesia juga


sudah mencapai di atas rata rata dunia. Untuk tahun
2016, GDP per kapita (PPP) rata rata dunia sebesar
USD 15,800. 

Itu kondisi rata rata dari semua negara. Yang tertinggi


di Qatar dan Luxemburgh di atas USD 100.000.
Yang terendah di negara Afrika seperti Burundi dan
Somalia. Kondisi mereka di bawah USD 1000.

Indonesia juga termasuk berada di bawah rata rata


dunia. GDP per kapita (PPP) kita hanya USD 11,700.

Kriteria ketiga, saat itu kesenjangan ekonomi di


Indonesia juga sudah membaik. Gini Coefficient yang
baik sebagai gambaran pemerataan ekonomi di angka
0,2-0,3. Saat ini ketimpangan ekonomi Indonesia ada
di lampu kuning di Gini Koeffisien mendekati 0,4.

Bisakah ketiga ukuran di atas tercapai? Kapankah itu?


Di bawah presiden siapa? Saat itu partai mana yang

238
dominan di parlemen? Semua menjadi pertanyaan
terbuka.

Tak kita tahu jawabannya. Yang kita tahu, jika ini


tercapai, merdeka sebagai jembatan emas yang di-
impikan the founding fathers sudah dekat, teramat
dekat.

Setiap kali kita merayakan kemerdekaan, setiap kali


pula kita dambakan Indonesia dilahirkan kembali
keenam kalinya. Kita impikan Indonesia yang demo-
kratis, makmur dan adil sebagaimana diukur oleh tiga
kriteria ilmiah di atas.[]

17 Agustus 2017

239
240
JOKOWI SETELAH PERPPU ORMAS

Bagaimanakah kelak sejarah akan mengenang Jokowi


setelah terbitnya Perppu Ormas (Perppu No 2 tahun
2017)? Seandainya karena kemampuan politiknya
Perpu Ormas ini lolos dari judicial review MK dan
disahkan pula oleh DPR, akankah Jokowi dikenang
sebagai strong leader yang tegas mengambil sikap di
era kegentingan?

Ataukah Jokowi akan dikenang sebagai tokoh yang


membalikkan Indonesia ke era “demokrasi seolah
olah,” atau sebagai bapak anti hak asasi manusia?

Washington Post, 12 Juli 2017, koran kelas dunia,


mengutip respon organisasi ternama Human Right
Watch yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut
organisasi ini Perppu Ormas itu pelanggaran serius
terhadap kebebasan hak asasi manusia.

Tempo.co menurunkan tulisan potensi bahaya Perppu


ini karena memberi kekuasaan terlalu besar kepada
pemerintah membubarkan Ormas tanpa perlu lewat
pengadilan? Dengan demikian, ormas tersebut tak
diberikan hak membela diri, adu bukti atas tuduhan,
sebelum ormas itu dibubarkan.

241
Namun tak kurang pula pendukung Jokowi soal Perppu
Ormas itu. Mereka menganggap “ada kegentingan
memaksa.” UU ormas lama tak lagi bisa digunakan.
Perlu jalan pintas Perppu agar ideologi yang anti
Pancasila cepat dibubarkan sebelum membesar dan
menelan Pancasila, NKRI, dan sejenisnya.

-000-

Para pengambil keputusan, juga tokoh berpengaruh


yang peduli, selayaknya memang merenung lebih
dalam. Sebenarnya Indonesia ini akan diarahkan ke
mana? Benarkah kita inginkan demokrasi modern
dengan segala getahnya?

Dalam prinsip demokrasi, memang banyak hal seolah


olah tidak efisien. Untuk membubarkan ormas sebagai
misal harus bertele-tele lewat sidang pengadilan. Tapi
demokrasi memang dibangun untuk itu. Tak boleh
ada kekuasaan yang merasa paling benar lalu secara
sepihak bisa membungkam hak berserikat warga.
Pengadilan ditemukan sistem demokrasi sebagai
wadah untuk menguji siapa yang benar. kedua belah
pihak diberi kesempatan dulu untuk adu data.

Dalam demokrasi, memang banyak hal seolah me-


ngancam kelangsungan negara. Aneka paham di-
bolehkan hidup dan menyebar. Tapi demokrasi me-

242
mang dibangun untuk itu. Soal keyakinan agama saja
tak ada paksaan, apalagi soal pilihan ideologi.

Warga negara bebas memiliki keyakinan ideologinya.


Demokrasi menyediakan ruang publik agar aneka
paham itu bertarung secara damai. Biarkan rakyat
yang kemudian memilih dalam pemilu. Satu-
satunya yang dilarang: tak boleh ada pemaksaan dan
kekerasan.

Jika disederhanakan prinsip demokrasi itu seperti


yang dinyatakan Voltaire: Saya tak setuju pendapat
tuan. Tapi hak tuan menyatakan pendapat itu akan
saya bela sampai mati.

Kita tak bisa membangun negara modern sambil me-


maksakan semua warga negara harus setuju pada satu
paham saja. Walaupun paham yang kita maksudkan
adalah ideologi negara. Kesadaran individu itu ber-
evolusi dan tak bisa diseragamkan.

Namun negara harus tertib. Kebebasan dan ke-


beragaman warga harus dilindungi. Karena tak
semua individu itu buruk, dan tak semua pejabat
negara itu malaikat, harus diciptakan sistem check
and balance. Tak ada lagi prinsip “the king can do no
wrong.” Superman itu tak ada di dunia nyata. Raja dan
presiden bisa salah.

243
Pengadilan adalah buah paling ranum peradaban
modern untuk menguji siapa yang salah. Kebebasan
berpendapat dan kebebasan berserikat terlalu pen-
ting untuk diberangus tanpa lewat pengadilan.

-000-

Kita memahami ada kekhawatiran di sekelompok


masyarakat akan meluasnya radikalisasi Islam.
Sebelum terlambat, sebelum Indonesia menjadi
Suriah, dianggap harus ada “the act of statemanship.”
Presiden dianggap lembaga paling berwibawa
mengambil jalan pintas, menerbitkan Perppu, karena
kegentingan yang memaksa.

Persoalannya, benarkah ada kegentingan memaksa


saat ini sehingga diperlukan sebuah Perppu untuk
membubarkan ormas? Apa ukuran kegentingan me-
maksa itu?

Apa benar Pancasila terancam dan akan digantikan


negara Islam, atau khalifah internasional? Mari kita uji
dengan data, data dan data.

Mustahil pancasila bisa diganti tanpa lewat persetujuan


DPR/MPR. Sementara empat partai terbesar di DPR/
MPR adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat. Total 4
partai ini saja sudah di atas 50 persen. Mustahil 4 partai
ini bersetuju dengan manuver mengganti Pancasila.

244
Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa persetujuan
opini publik. Silahkan cek hasil survei lembaga yang
kredibel. Publik indonesia yang setuju negara Islam
di bawah 10 persen. Di atas 70 persen menginginkan
Pancasila.

Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa mengalahkan


TNI dan kepolisian. Mungkinkah TNI dan kepolisian
menggunakan senjata untuk mengganti Pancasila?

Cukup dengan common sense itu saja, dapat kita


pahami apa benar ada kegentingan yang memaksa
sehingga diperlukan Perppu untuk membubarkan
ormas (kebebasan berserikat) tanpa lewat pengadilan.

Jokowi bisa jadi sukses menggoalkan Perppu ini.


Dengan team yang kuat, Jokowi mungkin sukses
mengalahkan penggugatnya di Mahkamah Konstitusi.
Jokowi mungkin sukses pula menggoalkan Perppu itu
di sidang DPR.

Namun Jokowi akan susah melawan palu godam


sejarah. Justru semakin sukses Jokowi menggoalkan
Perppu itu semakin pula Jokowi akan dikenang
sebagai “problem” dalam sejarah evolusi demokrasi
modern dan hak asasi manusia di Indonesia.

Kecenderungan meluasnya prinsip hak asasi manusia


dan demokrasi modern terlalu kuat untuk dilawan

245
oleh siapapun. Kutipan opini Human Right Watch
yang dipublikasi Washington Post seharusnya cukup
menjadi warning bagi Jokowi. ia tidak sedang me-
lawan HTI. Tapi Jokowi sedang melawan prinsip hak
asasi manusia dan demokrasi modern.

Justru karena kita cinta Jokowi, ia harus disapa. Cinta


sejati seorang pendukung adalah mendukungnya
ketika benar, dan mengkritiknya ketika salah arah.[]

Juli 2017

246
TIGA HAL MENGAPA AMBANG
BATAS CALON PRESIDEN 2019
BERMASALAH

Jika menggunakan perspektif demokrasi, UU Pemilu


yang baru saja disahkan DPR 2017 memiliki cacat
fundamental. UU ini mengesahkan pemilu serentak
bagi presiden dan DPR. UU ini juga menggunakan
perolehan suara partai di pemilu 2014 sebagai basis
untuk ambang batas capres 2019.

Memang dalam praktek sistem Demokrasi ada banyak


nuansa, seperti sistem parlementer atau presidensial.
Kedua nuansa itu sama sahnya. Namun semua nuansa
itu tetap tidak melanggar nilai utama yang justru
membuat sistem demokrasi itu berharga.

UU Pemilu yang baru disahkan DPR 2017 cacat untuk


tiga nilai utama demokrasi. Pangkal utama cacat dari
undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu
2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon
presiden pada pemilu berikutnya di 2017.

Tiga hal ini mengapa UU Pemilu 2017 itu cacat.

247
Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan
posisi hukum partai politik. UU yang sama memberikan
ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama
kali akan ikut pemilu di tahun 2019. Namun partai
baru itu tak diberikan hak yang sama kepada partai
baru itu untuk menentukan calon presiden. Basis
dukungan yang dihitung untuk presidential threshold
pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu
di tahun 2014 saja.

UU itu melahirkan dua kasta partai politik. Partai lama


yang punya basis untuk menentukan capres. Dan
partai baru yang hanya menjadi penonton saja, tak
punya basis penentu, karena tak ada suaranya pada
pemilu 2014.

Sistem demokrasi tak bisa dibangun tanpa didasari


hak yang sama peserta pemilu. Bahkan kemudian
hasil akhir hak yang sama itu tetap menghasilkan per-
bedaan besar dan kecil dukungan, itu adalah pilihan
warga negara. 

Sistem demokrasi memang hanya memberikan


equal opportunity, bukan equal result. UU 2017 itu
bermasalah karena melanggar prinsip dasar equal
opportunity bagi partai baru.

248
Dalam praktek politik, kita bahkan menyaksikan
betapa partai baru sekalipun bisa menjadi partai
terbesar hasil pemilu Partai Kadima di Israel misalnya,
baru didirikan di tahun 2005. Tapi pada pemilu 2006,
ia langsung menjadi partai terbesar.

Kedua, UU itu meniadakan hak warga untuk tak setuju


pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk
basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya.
Situasi politik dan ekonomi, serta kesadaran warga
sudah sangat mungkin berbeda. 

Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai


tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun
pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa
pula berubah justru menjadi musuh utamanya.

Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah


pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999
mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi
pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir
separuhnya saja: di bawah 19 persen.

UU pemilu ini mengambil oper begitu saia pilihan


warga pada pemilu 2014, untuk dijadikan basis
menentukan siapa yang bisa lolos menjadi capres
pada pemilu 2019. Padahal kondisi sudah sama sekali
berubah.

249
Katakanlah si budi memilih partai A karena ia
mendukung capres partai A, yaitu C di tahun 2014.
Tapi 5 tahun kemudian, Budi kecewa pada C dan
menjadikan C musuh politiknya. Sedangkan Partai A
di tahun 2019 tetap mencalonkan capres C. Dukungan
Budi pada partai A di 2014 dipakai partai A secara
otomatis saja di 2019 untuk mendukung C. Padahal di
2019, Budi justru menggugat C.

Inilah kekacauan mekanisme yang mengambil oper


hasil pemilu 2014 untuk digunakan pada pemilu
2019. Realitas sikap politik warga yang berubah itu
diabaikan. Pengabaian sikap warga itu cacat mendasar
untuk demokrasi.

Ketiga, ambang batas 20-25 persen syarat pengajuan


capres 2019 mengacaukan pula desain kelembagaan
demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Tetap
dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu
serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat
sistem presidentialisme.

Kenyataannya, ambang batas capres itu justru


memperlemah sistem presidential murni. Ia justru
mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat
capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis
pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini
bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di
parlemen.

250
Tentu hibrida sistem dan desain kelembagaan de-
mokrasi selalu dimungkinkan. Tapi harus disadari
oleh pembuat UU bahwa presidential threshold
itu memperlemah, bukan memperkuat sistem
presidensialisme. 

Koalisi pengusung caprespun tak akan sama dengan


koalisi pendukung pemerintahan. Partai bisa meng-
ubah posisi politiknya mendukung atau beroposisi
atas pemerintahan setiap saat.

Realitas terbalik ini (bukan memperkuat tapi mem-


perlemah presidensialisme) agaknya justru tak di-
sadari oleh pembuat UU dalam wacana publiknya.

-000-

Dari kaca mata konsolidasi demokrasi dan evolusi


kualitas demokrasi, UU pemilu 2017 itu justru menjadi
kemunduran. Terasa tak kuatnya arah politik pembuat
UU itu soal institutional design yang dituju. 

Itu tergambar dari pilihan desainnya. Di satu sisi


ingin pemilu serentak presiden dan DPR. Di sisi lain,
menggunakan hasil pemilu sebelumnya sebagai basis
perhitungan. Ia bukan saja kontradiktif tapi melanggar
beberapa prinsip utama demokrasi.

251
Namun tentu saja kata akhir ada pada Judicial Review
MK nanti atas UU ini. Apapun keputusan MK, kita
tunduk sebagai konsekwensi prosedur yang sudah
disepakati bersama. 

Sebut saja ini toleransi yang harus dikembangkan


warga yang baik. Kita harus tunduk pada aturan
hukum. Namun harus tetap disuarakan. Jika memang
demokrasi yang dituju, UU Pemilu 2017 ini banyak
melanggar prinsip demokrasi.[]

252
194
Referensi
Reference
Alston, Philip (2005). "Ships Passing in the Night: The Current State of the
Human Rights and Development Debate seen through the Lens of the Millenni-
um Development Goals". Human Rights Quarterly. Vol. 27 (No. 3) p. 807

Brems, E (2001). "Islamic Declarations of Human Rights". Human rights:


universality and diversity: Volume 66 of International studies in human rights.
Martinus Nijhoff Publishers. pp. 241–84. ISBN 90-411-1618

Donnelly, Jack. (2003). Universal Human Rights in Theory & Practice. 2nd ed.
Ithaca & London: Cornell University Press. ISBN 0-8014-8776-5

Esposito, John L. (2004). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University


Press. ISBN 0-19-512559-2

Esposito, John L. (2005). Islam: The Staight Path. Oxford University Press.
ISBN 0-19-518266-9

Forsythe, David P. (2000). Human Rights in International Relations. Cam-


bridge: Cambridge University Press. International Progress Organization. ISBN
3-900704-08-2

Ignatieff, Michael (2001). Human Rights as Politics and Idolatry. Princeton &
Oxford: Princeton University Press. ISBN 0-691-08893-4

Jahn, Beate (2005). "Barbarian thoughts: imperialism in the philosophy of John


Stuart Mill". Review of International Studies 13 June 2005 31: 599–618 Cam-
bridge University Press

Köchler, Hans. (1990). "Democracy and Human Rights". Studies in Internation-


al Relations, XV. Vienna: International Progress Organization.

National Review Online, Human Rights and Human Wrongs, David G. Litt-
man, January 19, 2003, retrieved 30 May, 2012

Anver M. Emon, Mark Ellis, Benjamin Glahn: Islamic Law and International
Human Rights Law p. 113. Oxford University Press, 2012.

253 |
tentang DENNY JA
Denny J.A. adalah entrepreneur intelektual atau in-
telektual entrepreneur. Ia banyak membuat terobosan
di dunia akademik, politik, media sosial, sastra, dan
budaya di Indonesia. Ia dilahirkan di Palembang 4
Januari 1963.

Pada tahun 2015, Denny J.A. dinobatkan TIME Ma-


gazine sebagai salah satu dari 30 orang paling ber-
pengaruh di Internet. Ia bersanding dengan Presiden
Amerika Serikat Barack Obama, Perdana Menteri India
Narendra Modi, dan sejumlah selebriti dunia seperti
Shakira, Justin Bieber dan Kim Kardashian. Dalam Vote
yang dibuat TIME Magazine, Denny J.A. berada di po-
sisi nomor satu.

Pada tahun 2014 Denny J.A. memperoleh penghar-


gaan dari Twitter Inc. Tweetnya dinobatkan sebagai

253
Golden Tweet 2014 peringkat kedua di dunia. Ia ha-
nya dikalahkan oleh foto selfie Elen DeGeneres bersa-
ma para artis Holywood dan premier Oscar.

Di tahun yang sama, ia juga dianugrahkan rekor MURI


sebagai konsultan politik pertama di dunia yang
ikut memenangkan tiga kali Pemilu presiden ber-
turut-turut dalam pilpres 2004, 2009, dan 2014.

Di tahun 2014, Denny J.A. ikut dipilih sebagai satu


dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indone-
sia oleh Tim 8. Ia dipilih bersama dengan Chairil An-
war, Pramudya Ananta Toer, Takdir Alisjahbana, dan
Rendra. Pemilihan itu dituliskan dalam buku terbitan
Gramedia setebal 777 halaman untuk PDS HB Jassin.

Pada bulan Juli 2015, bukunya dalam bahasa Inggris


dan Jerman, terjemahan “Sapu Tangan Fang Yin” ter-
catat sebagai buku terlaris di toko online terbesar
dunia: amazon.com untuk kategori buku puisi.

Ia kini aktif mengkampanyekan Gerakan Indonesia


Tanpa Diskriminasi melalui aneka media budaya: pu-
isi, foto, lukisan, lagu, hingga film layar lebar. Ia mem-
biayai sendiri semua kegiatan sosialnya setelah ia suk-
ses sebagai pengusaha.

255
254 | 255

Anda mungkin juga menyukai