Anda di halaman 1dari 40

1.

Konsep ketuhanan agama buddha


Konsep Ketuhanan Dalam Agama Buddha
Dalam agama Buddha, Tuhan tidak dapat dipandang sebagai suatu pribadi
(personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan cirri-ciri yang berasal dari
wujud manusia) dan antropopatisme ( pengenaan pengertian yang berasal dari
perasaan manusia). Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan
berbagai upacara persembahan, mulai dari sesajian yang sederhana seperti makanan
hingga kurban binatang. Persembahan itu bermasud untuk memuaskan makluk yang
dipandang mempunyai perasaan, senang atau marah misalnya dan memiliki
kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacra kurban,
timbul satu kelas Brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan
dewa.
Kebuddhaan dan Nibbana, Pencerahan Agung dan hasilnya, tidak diawali
oleh siapapun. Tidak disebabkan oleh siapapun. Tidak memiliki awal, dengan
demikian tidak memiliki akhir. Yang ada tanpa sebab. Yang bukannya ‘Ada
dengan sendirinya’. Yang tidak akan lenyap. Yang tidak berkehendak. Yang non-
reaksional. Namun berada dan dituju oleh semua mahluk dan dapat dicapai oleh
mereka yang mau mengusahakan atas daya upaya sendiri, bukannya yang dengan
menggantungkan diri pada faktor-faktor eksternal. Demikianlah doktrin Ketuhanan
ini dipahami dalam agama Buddha.

2. PEMBAWA RISALAH BUDDHA

Belajar Islam dengan Prabu Dewa Krisna menjadi salah satu metode untuk mengenal
Tuhan dengan ajarannya di luar konteks syariat Islam. Hal ini bukan bermaksud untuk
menegasikan Nabi Muhammad yang juga sebagai pembawa risalah Islam, tetapi lebih kepada
mempelajari ajaran-ajaran Prabu Dewa Krisna yang serupa dengan ajaran-ajaran Islam yang
dibawa Rasulullah Muhammad Saw.

Krishna atau dalam ejaan resmi bahasa Indonesia/Jawa adalah Kresna merupakan seorang
raja, prabu, ksatria, bahkan dewa dalam kisah Mahabharata yang menjadi penasehat dari para
Pandawa saat perang Bharatayuda berlangsung dengan para korawa. Kresna dianggap
sebagai perwujudan Tuhan yang Maha Kuasa.
Krisna juga dianggap sebagai wujud kebenaran mutlak. Secara genealogi, Prabu Dewa
Krishna adalah putra dari Dewaki dan Basudewa, serta memiliki dua saudara bernama
Baladewa dan Subadra (istri Arjuna). Sementara itu, Khrisna merupakan sepupu dari
pandawa, yaitu Yudistira, Bima dan Arjuna yang merupakan putra Pandu dan Kunti.

Saat perang Bharatayuda berlangsung sebagaimana ditulis dalam kitab Mahabharata, Arjuna
bimbang untuk berperang karena ia menyaksikan saudara, sepupu dan para kerabat sendiri
terlibat saling membunuh satu sama lain. Dari sini, Khrisna memberikan nasehat kepada
Arjuna dan pada puncak tertinggi, Krisna menampakkan diri dengan wujud para Dewa dan
menjadi manifestasi dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Dalam wejangan Kresna kepada Arjuna yang dirangkum secara lengkap dalam kitab
Bhagawadgita (kidung Ilahi), Arjuna diajarkan tentang ketuhanan (iswara), kewajiban
(dharma), alam semesta (prakerti), dan mengenai waktu (kala). Dalam suatu
perkataan, Krishna mengatakan: "Di mana suatu kebajikan itu merosot dan kejahatan
merajalela, pada saat itulah aku menjelma. Aku (lahir) untuk menyelamatkan orang saleh dan
memberikan hukuman kepada orang-orang yang jahat dengan menegakkan kebenaran. Aku
lahir dari zaman ke zaman." Kalimat ini termaktub dalam kitab Bhagawadgita 4: 7-8.

Lantas, kenapa redaksi Islamcendekia.com menerbitkan tulisan berjudul Belajar Islam


dengan Prabu Dewa Khrisna? Hal ini menjadi usul Lismanto, Chief Executive Officer (CEO)
Islamcendekia.com karena ia menilai ajaran-ajaran Krisna saat memberikan nasehat kepada
Arjuna menjelang perang Bharatayuda berlangsung dinilai sangat sesuai dengan Islam secara
substantif. Ini sangat menarik dan menjadi bagian dari pembahasan Dewa Khrisna dalam
Islam.

"Islam secara material adalah agama formal dari Baginda Muhammad Saw untuk
kemaslahatan manusia di bumi dengan segala ritual islaminya seperti sholat, zakat, puasa,
dan haji. Sementara itu, Islam secara substantif merupakan sebuah ajaran untuk menegakkan
keadilan, menyebar perdamaian, dan memerangi kebatilan atau kejahatan. Nah, jika kita urai
ke dalam bagian Islam secara substantif, maka apa yang diajarkan Khrisna kepada Arjuna
bisa menjadi pembelajaran bersama untuk kita dan sangat identik atau serupa dengan ajaran-
ajaran teologi Islam," ujar Lismanto saat dihubungi via telepon, Senin (27/10).

"Jadi, kalau kita resapi bersama, tayangan kolosal Mahabharata di ANTV yang menyuguhkan
nasehat-nasehat Kresna kepada Arjuna saat perang Bharatayuda berlangsung bisa menjadi
media pembelajaran yang baik untuk mengetahui lebih dalam hakikat kehidupan yang saya
kira sama dengan apa yang diajarkan dalam Islam," tuturnya.

Adapun ajaran-ajaran dewa Khrisna yang serupa dalam Islam, sebagaimana termaktub dalam
kitab Bhagawadgita, antara lain terangkum dalam kutipan sebagai berikut:

Dengan mengabdi kepada sang Maha Kuasa (baca: Tuhan), kita bisa menyatu dengan yang
Maha Kuasa.

Dalam tradisi mistis Islam, kalimat penyatuan hamba dengan Tuhannya dikenal dengan
istilah manunggal ing kawula lan gusti sebagaimana diajarkan oleh Syeh Siti Jenar. Cara ini,
menurut Prabu Dewa Krisna, bisa ditempuh dengan cara mengabdi kepada Tuhan atau Sang
Maha Kuasa.
3. Sejarah perkembangan diindonesia

Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia

Fa Shien, Pengelana China pada abad ke-5, berhasil mengunjungi Sriwijaya dalam
perjalanannya ke Asia Tenggara. Dari catatannya diketahui bahwa di Sriwijaya sudah
terdapat kaum Brahmawan yang mengajarkan Agama Buddha. Selanjutnya dari Sriwijaya,
agama Buddha berkembang ke daerah lain, diantaranya Pulau Jawa dan pulau pulau
sekitarnya.
Memasuki masa penjajahan selama 350 tahun seakan Agama Buddha menghilang dari bumi
nusantara. Sisa-sisa penduduk Majapahit yang beragama Buddha banyak yang tinggal di Bali
dan daerah Jawa Timur dan menjalankan tradisi Buddhis yang masih bertahan sampai
sekarang. Perkembangan Agama Buddha pada masa penjajahan ini diwarnai dengan corak
Agama Buddha dari China. Tridharma : Buddha, Kong Hu Cu dan Tao. Kebangkitan Agama
Buddha baru terasa nyata sejak didirikannya ‘Java Buddhist Association’ oleh Pandita
Belanda Josiast V. Dients tahun 1932, dan kedatangan Bhikkhu Narada pada tahun 1934.
Sejarah Agama Buddha secara garis besar terbagi dalam enam masa :
· Masa Jaman Kerajaan Sriwijaya
· Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
· Masa Jaman Kerajaan di Jawa Timur
· Masa Abad ke-20
· Masa Setelah kemerdekaan Indonesia
· Era Walubi
Masa Jaman Kerajaan Sriwijaya
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia adalah pada
kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari
etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata ‘Aji’
dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan
‘Saka’ ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian
mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci
Sakya, dalam hal ini ahli tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang
bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang
permulaanya dinyatakan sebagai ‘Nir Wuk Tanpa Jalu’ (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti
tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk
mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara.
Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan
dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti
yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi.
Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya
mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India,
seperti Mulawarman di Kutei dan Purnawarman di Jawa-barat. Tetapi hal itu tidak berarti
bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah
orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang dari India. Selanjutnya prasasti
tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu. tapi dari penemuan
patung-patung Buddha, dapat disimpulkan bahwa agama Buddha juga sudah ada, walaupun
jumlahnya masih sedikit.
Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari
pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun
414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang
tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa
Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti,
walaupun cuma sedikit.
Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh, Biksu China I-tsing
mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan
utamanya adalah pada ‘rumah agama Buddha’ India utara dimana I-tsing tinggal dan belajar
disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama
Buddha di India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan
perbedaan antara agama Buddha di China dan di India.
I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh
bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India
seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.
Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, dapat diambil
kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah dibangun dengan sangat
cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan diatas, ia juga menulis
buku tentang perjalanan seorang guru agama terkenal yang pergi ke negri disebelah barat
(Sriwijaya ?). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada intinya
hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu asli Jawa dan
Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang
merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu
China dan membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang digunakan
oleh biksu Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal
ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang berkembang disini adalah
Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya
Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi adalah
Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana
Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak
melulu berarti Mahayana.
Inilah bentuk agama Buddha yang mencapai kepulauan di laut selatan. I-tsing mengatakan di
kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal di adaptasi. I-tsing
tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana.
Dikatakannya :
Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut
Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan
ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan
dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan
penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini. membuat
keraguan yang malah akan membuat kebingungan.
Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam
masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang
diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar
vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing
menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang
menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah
datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal
abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti
lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan
bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra – yang tidak cuma memerintah di
selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu – memerintahkan
pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa
Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan
beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu
Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha
yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu
yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana,
di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar
disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Buddha Mahayana, yang
terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena
itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan
persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti
dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa
hyang – barangkali perdana menteri – berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna
meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan
yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara indonesia kuno
yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa
Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh
tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga
terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan
hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran
wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara
Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan jaman sebelumnya, sumber Agama Buddha di Jawa Tengah sedikit
lebih banyak. Pada jaman ini di Jawa Tengah sudah terdapat dua kerajaan besar : Kerajaan
dari dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha dan kerajaan dari dinasti Sanjaya yang
memeluk agama Siwa. Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali, sebab berita yang
ada menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong dalam pendirian
candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah agama Buddha Mahayana. Hal ini dapat
diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak
Buddha Mahayana. Walaupun kerajaan Syailendra banyak mendirikan candi namun masih
terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya.
Bahwa yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan
– yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini dipersembahkan untuk
Dewi Tara, rekan wanita Buddha. (Avalokitesvara ?).
Agaknya pada masa ini masih ada hubungan yang erat dengan India, sebab ada juga berita
bahwa seorang guru dari Gaudidwipa (Bengala) yang memimpin upacara pada waktu
peresmian patung Manyuri. Demikian juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari
Gujarat yang senantiasa melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita
di India. Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39
(antara tahun 856 dan 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan pemeliharan
sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja Suwarnadwipa (Sumatra), cucu
raja di Jawa.
Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan keadaan di Sriwijaya.
Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan itu sukar
dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya
berhubungan juga dengan peresmian patung Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri selain
disamakan dengan Triratna juga disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi
para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan
dewa dari hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Buddha di Jawa Tengah.
Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi
Borobudur.
Jika ingin mengerti arti Borobudur, bangunan itu harus dipandang sebagai satu kesatuan. Dari
susunan candi yaitu yang terdiri atas teras-teras yang bermacam-macam, agaknya Borobudur
mengungkapkan gambaran dunia menurut salah satu aliran Mahayana. Borobudur
menggambarkan seluruh alam semesta atau kosmos ini terbagi atas tiga bagian : Kamadhatu,
Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu adalah hawa nafsu dan ini digambarkan dengan jelas
pada bagian bawah. Disini hidup orang yang masih terikat oleh hawa nafsu dan segala hal
yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah dunia rupa, atau alam yang terbentuk, yang
digambarkan pada lima teras yang menggambarkan hidup Buddha Gautama. Arupadhatu
adalah alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pusat dari alam ini adalah stupa yang
dipuncak, yang kosong, yang menggambarkan sunyata atau Nirwana atau Adhi Buddha.
Mengingat susunan Borobudur yang demikian, agaknya dapat diambil kesimpulan bahwa
Borobudur ingin mengungkapkan ajaran Mahayana dalam hubungan kosmis. Borobudur
adalah tempat untuk ber meditasi, tempat untuk merenung.
Mengingat bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan Borobudur itu
dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang afanya tempat suci yang berbentuk teras,
yang biasanya dipakai untuk menyembah nenek moyang, dan terletak diatas bukit. Oleh
karena itu maka kiranya penyembahan kepada Bodhisatva sudah dipandang sebahai alat
untuk menyembah nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Jika demukian maka agama
Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi oleh cita-cita keagamaan indonesia asli.
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Timur
Di Jawa Timur, agaknya agama Buddha dan agama Siwa hidup berdampingan. Hal ini tertera
dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa)
sedangkan puntrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan
Buddhis). Juga ditemukan pengaruh tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Dari kesusastraan yang ada, didapat bahwa kesusastraan yang terkuno disusun sedemikian
rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskrit, yang diikuti oleh keterangan bebas
dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa ayat-ayat itu berasal dari India. Dalam
perkembangan selanjutnya adalah kitab tersebut terdiri dari ayat dalam bahasa Jawa kuno dan
diselingi bait-bait dari bahasa Sanskrit. Ini menunjukan hubungan dengan India sudah
longgar. Akhirnya terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari bahasa Jawa kuno, hanya
kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit.
Pada jaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu ‘Sanghyang
Kamahayan Mantrayana’ yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang
ditasbihkan, dan ‘Sanghyang Kamahayanikan’ yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana
orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah
menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya
adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk
mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya “Siwa-Buddha”, bukan lagi
Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke jaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini adalah jaman dimana
Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran Siwa, Wisnu dan Buddha dapat
hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu
kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan
sebagai ‘Harihara’ yaitu patung setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang
sama. Didalam kitab Arjunawijaya umpamanya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya
memasuki candi Buddha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang
digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Wairocana
sama dengan Sadasiwa yang menduduki tempat tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang
menduduki tempat timur. Ratna sambhawa sama dengan Brahma yang menduduki selatan,
Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan
Wisnu yang menduduki utara. Oleh karana itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada
perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa. Dalam kitan ‘Kunjarakarna’ disebutkan
bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan
jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu agama Buddha lebih berkembang dari agama
Siwa. Ini dilihat dari kitab Sutasoma yang mencaritakan tentang kemarahan Kalarudra yang
hendak membunuh Sutasoma, titisan Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra
dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Siwa tidak bisa dibedakan. Jinatwa
(hakekat Buddha) adalah sama dengan Siwatattwa (hakekat Siwa). Selanjutnya dianjurkan
agar orang merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, hakekat Siwa-Buddha.
Hal ini tampak juga dari cerita Bubuksah yang ceritanya juga dilukiskan di candi Panataran.
Dua saudara yang tua bernama Gagang Aking, pengikut Siwa dan Bubuksah pengikut
Buddha, sejak muda hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu
yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking memakan sayuran saja. Mereka berdebat
tentang dua pertapaan ini. Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud
harimau putih untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking,
dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih gemuk. Ketika harimau itu
tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia merelakan dirinya untuk disantap, supaya ia lepas
dari dunia fana ini. Dari sini jelaslah bahwa Bubuksah itu pengikut Buddha yang suci
sekalipun ia tidak keras dalam tapanya. Ia mendapat tempat di surga. Cerita ini
mengungkapkan suatu polemik, yang menunjukan keunggulan agama Buddha. Sekalipun
demikian carrita ini dilukiskan pada candi Prambanan.
Dari sini makin jelas bahwa unsur-unsur indonesia asli makin kedepan yang diuraikan dalam
bentuk agama Hindu dan Buddha.
Masa Abad ke-20
Gunung api akan meluapkan baranya Lima ratus tahun dari sekarang Ajaran Buddha akan
kembali Kemudian sang hulubalang menghilang dari depan seterunya, setelah memilih untuk
tetap mempertahankan apa yang diyakininya, dengan hanya meninggalkan beberapa baris
ramalan. Tahun 1478, kerajaan Majapahit berakhir. Kala itu ikut runtuh juga pilar-pilar
kejayaan agama Buddha di nusantara. Rakyat yang setia memeluk agama Siwa-Buddha
mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan pulau Bali.
Seratus lima puluh tahun berselang, bangsa Indonesia dijajah Belanda. Ikut datang bersama
kaum penjajah, evangelis-evangelis yang menyebarkan agama Kristen. Selain itu, terdapat
juga cendikiawan Belanda yang datang, untuk keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan
bangsa yang dijajah. Belanda mempelajari itu semua, tentu dengan tujuan untuk
melanggengkan penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah.
Ajaran spiritualisme yang menonjol dikalangan orang Belanda yang ikut datang ke Indonesia
adalah apa yang dikenal sebagai Perhimpunan Theosofi. Ajaran Theosofi memberikan
tekanan pada aspek persaudaraan antar manusia, tanpa membedakan ras, bangsa, maupun
agama. Sehingga ada juga orang Indonesia berpendidikan yang ikut menjadi anggota
Theosofi.
Disamping dua kelompok diatas – penganut theosofi dan penganut Siwa-Buddha – ritual
agama Buddha yang telah membaur dengan tradisi Tiongkok juga dipraktekan oleh kalangan
Tionghoa di Indonesia. Agama Tionghoa secara tradisional merupakan perbauran antara
agama Buddha, Konfusianisme dan Taoisme. Ajaran agama Buddhanya adalah ajaran dari
tradisi utara atau secara umum dikenal sebagai aliran Mahayana.
Tidak jarang, biksu-biksu dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-
kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-
bentuk upacara seperti bagaimana memasang hio dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin
dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan ini yang bernama Kwee Tek Hoay, seorang
pedagang , penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia pulalah yang mula-mula menerbitkan
majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama BUddha , dengan nama Moestika
Dharma.
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 diketahui bahwa telah ada
organisasi Buddhis yang bernama Java Buddhists Association, dibawah pimpinan Ernest Erle
Power (ketua) dan Josiast v. Dienst (sekretaris). Organisasi ini merupakan bagian dari The
International Buddhists Missionary yang berpusat di Thanton, Myanmar. Java Buddhists
Association berorientasi pada agama Buddha aliran Theravada.
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang
memperhatikan agama Buddha. Dikelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu,
banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka
keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng berkisar pada ajaran agama Buddha dan
perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Josiast v. Dients dan Bhiksu Lin Feng
Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (mangga besar), Jakarta. Dialog itu
menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya
digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan
pelajaran agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Josiast
memberikan ceramah agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian Kongkoan
(Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir kelenteng-kelenteng di Jakarta,
mengizinkan pula Josiast memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.
Pada tahun 1934, tanggal 4 Maret, Bhikkhu Narada Thera, seorang evangelis Buddhist yang
terkenal dari Srilangka, datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dalam lawatan ke Asia
Tenggara, atas undangan Ong Soe An, seorang tokoh Theosifi dari Bandung. Selama di Pulau
Jawa, Bhikkhu Narada mengunjungi Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, Yogya dan Solo.
Di lima kota ini Bhikkhu narada memberikan ceramah-ceramah tentang ajaran agama
Buddha.
Oleh aktivis Theosofi, kedatangan Bhikkhu Narada dimanfaatkan untuk memperluas
wawasan mengenai ajaran Buddha. Sewaktu mengunjungi Candi Borobudur, di Magelang,
pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu Narada memberkati penanaman Pohon Bodhi yang
dilakukan oleh pemuka Theosofi Yogya, Mr. E E. Power. Sepulangnya dari Borobudur, pada
malam harinya, Bhikkhu Narada Thera menahbiskan beberapa orang upasaka di Yogya.
Diantaranya terdapat seorang jawa bernama Mangunkawatja.
Pada tahun itu juga dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan
ketuanya J.W. de Witt dan sekretarisnya DR. R. Ng. poerbatjaraka. Disamping itu dibentuk
juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. van der
Velde (ketua) dan Oeij Oen Ho (sekretaris). Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java
Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists Association
pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association dibawah pimpinan Kwee
Tek Hoay (ketua) dan Ny. Tjoa Hin Hoey (sekretaris). Dalam majalah Moestika Dharma,
Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk
dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association ini condong menyebarkan ajaran
Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang Theravada.
Pada tahun 1934 itu juga dibentuk suatu organisasi pusat (semacam Walubi) yang bernama
Central Buddhistische Institut Voor Java dengan media cetak berbahasa Belanda yang
bernama De Dharma in Nederlandsche Indie.
Pada tahun 1935 oleh Kwee Tek Hoay telah banyak dibentuk Sam Kauw Hwee, yaitu
organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut agama Buddha,
Konghucu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo yang berbahasa
Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya adalah untuk mencegah orang Cina dan
keturunan Cina menjadi penganut ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua
kegiatan organisasi Buddhist terhenti. Baru kemudian pada tahun 1952, Sam Kauw Hwee –
Sam Kauw Hwee ini digiatkan kembali dengan menggabungkan diri menjadi Perkumpulan
Sam Kauw Hwee Indonesia.
Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah terdapat berbagai organisasi
Buddhis yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus melakukan
pengembangan kualitas umat dan kualitas kehidupan beragama umat Buddha. Diantaranya
adalah :
1. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan
penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia
bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw (yang
kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia
(GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan
Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di bawah pimpinan
The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An di tasbihkan menjadi
Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu Jinarakkhita, ketua GKSI
beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya). Pada tahun 1962, GKSI berganti
nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia (GTI).
2. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI)Beberapa tokoh umat Buddha dari suku
Jawa, diantaranya Sosro Utomo dari Buddha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa
untuk tetap bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan
membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya. Tahun
1967 dibentuk Persatuan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum pertamanya
Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya menjadi Perhimpunan
Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra Sudono, dan kemudian
berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri M.S. dan Brigjen. Suraji A.A.
Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan cepat berkembang dan menyebar ke luar
pulau Jawa. Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian antara Bhikkhu
Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya berakibat GTI melarang
anggotanya menjadi anggota Perbudhi.
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI)Dalam tubuh Perbudhi terdapat
kelompok Upasaka dan Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok
ini harus menjadi anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh
Bhikkhu Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada
Sangha Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari
Yogya dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda
organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini tidak
tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak lainnya
memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI menyatakan
keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia
(MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang terakhir
menjabat sebagai staf pada Lemhanas.
4. Buddhis IndonesiaTahun 1965 Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi
dan membentuk Buddhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang.
Buddhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Buddhis Indonesia. Awal perpecahan ini
adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh Busshid di Semarang dan
Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Buddha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari
Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam Konferensi World Buddhists of Fellowship
(WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia. Pada waktu itu Indonesia sedang
berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Buddhis yang ada untuk
membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini dilanjutkan lagi pada bulan
Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan mereka bulan Februari 1967 berhasil
dibentuk Federasi Umat Buddha Indonesia yang anggotanya adalah :
1. Buddhis Indonesia 2. Gabungan Tridharma Indonesia 3. Musyawarah Umat Buddha
Seluruh Indonesia 4. Agama Hindu-Buddha Tengger 5. Agama Buddha Wisnu Indonesia
Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Buddha Indonesia karena diantara
anggota Federasi Umat Buddha Indonesia ini ada yang telah mengeluarkan pernyataan
bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan Perbudhi. Dalam Maha Samaya II
(kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret 1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh
Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia, dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha
Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung
jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito
(ketua umum) dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).
Pada tahun 1959 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dibentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari
bhikkhu-bhikkhu dan samanera yang ditasbihkan menurut mazhab Theravada. Kemudian
Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Suci Indonesia dan pada tahun 1968 diubah lagi
menjadi Maha Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Theravada dan
Mahayana.
Perpecahan dan perselisihan diantara umat Buddha sampai tahun 1969 pada umumnya
didasarkan pada perselisihan pribadi. Perpecahan diantara para bhikkhu dalam Maha Sangha
Indonesia diwarnai dengan adanya perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dharma.
Beberapa bhikkhu Theravada menghendaki para bhikkhu tidak campur tangan mengenai
perpecahan ini dan berdiri sendiri sebagai panutan. Karena usaha ini tidak berhasil, maka
para bhikkhu tersebut keluar dari Maha Sangha Indonesia ada membentuk Sangha Indonesia
pada tanggal 12 Januari 1972.
Sangha Indonesia mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun dalam
Federasi Umat Buddha Indonesia dan dari organisasi lain seperti Perbudhi dan Persaudaraan
Umat BUddha Salatiga. Dukungan PErbudhi terhadap Sangha Indonesia dan menyatakan
sebagai Pengayom Perbudhi disamping Maha Sangha Indonesia telah menyebabkan PUUI,
yang namanya telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI)
menyatakan keluar dari Perbudhi.
Untuk mencegah perpecahan supaya tidak meluas, atas prakarsa Brigjen Saparjo, dilakukan
pertemuan untuk mengadakan musyawarah. Setelah beberapa kali pertemuan, pada tanggal
26 Mei 1972 dibuat ikrar di Candi Borobudur untuk membentuk wadah tunggal umat Buddha
Indonesia. Ikrar tersebut ditanda-tangani oleh:
1.Suryaputta Ks Suratin (Buddhis Indonesia) 2.Brigjen Sumantri MS (MUABI) 3.Brigjen
Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi) 4.Djoeri (MUSBI) 5.Drs. Sasana Surya (GTI)
6.Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Buddha Salatiga)
Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi Buddhis dan bernama Buddha
Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga dibentuk Majelis Buddha Dharma
Indonesia yang anggotanya terdiri dari para pemuka agama Buddha dan cendikiawan
Buddhis dari berbagai sekte. Majelis ini berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.
Pada tanggal 14 Januari 1974, atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu-Buddha, diadakan
pertemuan antara Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia. Dalam peretemua itu,
disepakati untuk melebur Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia menjadi Sangha
Agung Indonesia dan setiap bhikkhu akan melaksanakan Vinaya berdasarkan sekte masing-
masing. Terpilih sebagai ketua adalah MNS Jinarakkhita dan wakilnya Bhikkhu Jinapiya
Thera.
Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur dan fungsi
organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dpat dilaksanakan. Konsensus yang dibuat
pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat diwujudkan.
Sebegitu jauh kerukunan, persatuan dan kesatuan masih belum dapat diwujudkan, sedangkan
pertentangan antar organisasi makin meningkat, atas dasar Dirjen Bimas Hindu-Buddha
dilakukan pertemuan pimpinan organisasi Buddhis dan para pemuka agama Buddha pada
tahun 1976 di Jakarta. Dalam pertemuan itu disadari bahwa organisasi Buddhis mempunyai
dua bentuk kegiatan, yaitu : aspek sosial kemasyarakatan dan aspek pembinaan kehidupan
keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sekte yang bersangkutan. Dalam
keadaan yang demikian sukarlah untuk terbentuk satu wadah tunggal bagi umat Buddha
karena masing-masing sekte mempunyai tradisi dan upacara keagamaan yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Oleh karena itu kedua aspek kegiatan organisasi Buddhis yang ada
dipisahkan dan masing-masing dihimpun dalam wadah tunggal.
Aspek sosial kemasyarakatan dihimpun dalam wadah tunggal non sektarial yang dinamakan
Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko
Pratomo SH (ketua) dan Drs. Aggi Tjetje (sekjen). Aspek kerohanian menjadi Majelis Agama
yang mewakili sekte agama Buddha yang ada. Bidang kerohanian BUDHI tumbuh menjadi
Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia ( MAPANBUDHI). Dari kelompok Tridharma,
dinamakan Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia ( Martrisia). Kemudian dalam
pertemuan berikutnya, dibentuk Majelis Agung Agama Buddha Indonesia MABI yang
berbebtuk federasi.
MUABI kemudian mengundurkan diri dari MABI. MUABI pecahannya menjadi Lembaga
Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang akhirnya menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan
Tantrayana Indonesia, yang di pimpin oleh alm Giriputta Sumarsono dan kemudian Drs. Oka
Diputhera. MUABI kemudian diganti menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan
diri dan bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar
diluar negri, membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu
Mahayana yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian
membentuk Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga
Sangha : Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana
Indonesia.
Lebih lanjut, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara mengadakan pertemuan dengan
pimpinan semua majelis dan sangha yang ada di Indonesia. Dalam pertemuan ini semua
majelis ada sangha menyatakan semua sekte agama Buddha yang ada, berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda. Dalam pertemuan ini
dibentuk Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yang mewakili umat Buddha pada
tahun 1978. Nama Perwalian Umat Buddha Indonesia di berikan oleh Menteri Agama
Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Era Walubi
Masa selanjutnya adalah masa Walubi yang dibentuk pada tahun 1978. Walubi dalam rapat
anggotannya tanggal 21 desember 1978 mendukung pernyataan MABI yang menyatakan
bahwa seluruh aliran dan sekte-sekte agama Buddha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Walaupun demikian MUABI dan Sangha Agung Indonesia masih berada di
luar Walubi.
Disamping itu atas jasa baik seorang pejabat tinggi pemerintah, pada bulan Januari itu juga
diadakan pertemuan para pemuka agama dan organisasi Buddhis. Dalam pertemuan itu
dibahas apa yang menjadi persoalan diantara umat Buddha dan disepakati akan mengadakan
lokakarya sebelum bulan Pebruari 1979. Dalam pertemuan itu Niciren Syosyu Indonesia
(NSI) tidak diikut-sertakan karena salah seorang pemuka umat Buddha dari MUABI tidak
memandang NSI sebagai bagian dari rumpun umat Buddha. NSI yang mengakui sebagai
agama Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya dan menyetujui kesepakatan yang
telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut diatas diikut sertakan dalam lokakarya yang
diselenggarakan bulan Februari 1978.
Lokakarya yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1978 di Jakarta menghasilkan
dokumen “Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dalam kepribadian Nasional
Indonesia”. Hasil lokakarya ini merupakan dasar untuk mengadakan Kongres Umat Buddha
Indonesia.
Setelah diadakan prakongres, Kongres Umat Buddha Indoensia diselenggarakan pada tanggal
8 Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres itu antara lain Kode Etik, Kriteria agama Buddha,
Ikrar Umat Buddha Indoensia dan pengukuhan Hasil Keputusan Lokakarya Pemantapan
Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian Nasional Indonesia.
Ikrar Umat Buddha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh hati dan
sebaik- baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Buddha Indonesia,
dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara
dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan
ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Buddha, termasuk NSI yang pada
waktu itu mengakui sebagai agama Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.
Hasil Kongres Umat Buddha tersebut merupakan dasar dan besar artinya untuk mewujudkan
kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha di Indonesia. Oleh sebab itu, dikukuhkan
dalam Kongres I Walubi pada tahun 1986 di Jakarta.
Dengan adanya hasil Kongres yang merupakan dasar kerukunan, persatuan dan kesatuan
umat Buddha bukanlah berarti kerukunan itu akan segera tercipta. Tidaklah mudah untuk
melaksanakan program Walubi pada tahun-tahun pertama terbentuknya.
Pada tahun 1981 dengan dalih Anggaran Dasar Walubi tidak sah diadakan Kongres Luar
Biasa Walubi untuk membuat Anggaran Dasar baru. hasil Kongres Luar Biasa tersebut
ternyata adalah penggantian DPP Walubi. Ketua umum yang baru adalah Soemantri
Mohammad Saleh dan Sekjen Seno Sunoto dari NSI.
Penggantian pimpinan Walubi tidaklah membawa peningkatan pada kerukunan intern Umat
Buddha dan terlaksananya program Walubi, tetapi sebaliknya Sambutan Hari Raya Waisak
dari Seno Sutono selaku Sekjen Walubi yang dimuat dalam surat kabar ‘Sinar Harapan’ pada
tahun 1983 adalah bertentangan dengan kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran
agama Buddha. Dalam sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak sebagai
hari balas Budi bagi umat Buddha yang didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup orang
Jepang.
Protes-protes dalam surat kabar dapat dihentikan agar tidak menimbulkan keresahan dan
mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan umat Buddha. Masalah tersebut akan
diselesaikan oleh DP Walubi Pusat. Akan tetapi masalah tersebut tidak pernah diselesaikan.
Kemudian pada awal tahun 1985 timbul kembali kepermukaan keresahan dikalangan umat
Buddha di Jawa Tengah, terutama di Wonogiri tentang adanya Buddha lain disamping
Buddha Gautama. Dalam konsultasi pejabat Direktorat Jendral Bimas Hindu-Buddha dengan
pemuka agama Buddha, Seno mengakui bahwa NIciren Daisyonim adalah seorang Buddha.
Permasalahan tentang adanya dua Buddha yang bertentangan dengan kriteria agama Buddha,
kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama Buddha dan merusak kerukunan
intern umat Buddha, tidak diselesaikan oleh DPP Walubi sampai pada Kongres I Walubi
tahun 1986. Kongres I Walubi diselenggarakan tanggal 8 – 11 Juli 1986 mengukuhkan hasil-
hasil kongres umat Buddha Indonesia tentang kode etik, kriteria agama Buddha di Indonesia,
agama Buddha dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar umat Buddha Indonesia. Dalam
kongres I Walubi itu terpilih sebagai ketua umum adalah Bhikkhu Girirakkhita Maha Thera
dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje.
Berdasarkan fatwa Widyeka Sabha Walubi dan secara historis, faktual dan keimanan, Buddha
masa kini adalah tetap Buddha Gautama. Hal ini berakibat tidak diakuinya Niciren Syosyu
Indoensia sebagai bagian dari rumpun agama Buddha, Oleh karena itu NSI dikeluarkan dari
Walubi pada tanggal 10 Juli 1987.

SUMBER: http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_058.shtml
Kedatangan Agama Buddha di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa pakar sejarah di tanah air, hingga
saat ini masih terdapat berbagai pendapat yang berbeda tentang kapan masiknya
agama Buddha di Indonesia. Namun satu hal yang dapat dicatat dalam sejarah,
berdasarkan pada catatan perjalanan Fa Hien, seorang misionaris Buddha asal China,
sekitar tahun 414 masehi, telah ada penganut agama Buddha di pulau Jawa, walaupun
masih dalam jumlah yang tidak banyak.
Kemudian, berdasarkan catatan sejarah, atas usaha Bhikshu Gunawarman, pada tahun
423 Masehi, agama Buddha mulai berekembang di pulau Jawa. Sedangkan
perkembangan agama Buddha di Sumatera tercatat pada catatan perjalanan I-Tsing,
seorang bhikshu dari China yang dalam perjalanan pulang nya ke China singgah dan
menetap beberapa waktu ke Sriwijaya di Palembang yang terletak di pulau Sumatera
Selatan (685-695M).
Perkembangan Mazhab Tantrayana di Indonesia
Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya dibumi persada Indonesia, terutama
pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Singasari dan Majapahit. Perkembangan
yang demikian pesatnya seiring dan sejalan dengan mazhab-mazhab lkainnya, bahkan
dengan agama Hindu yang juga banyak dianutnya pada masa-masa tersebut.
Bukti-bukti pesatnya perkembangan mazhab Tantrayana pada masa-masa tersebut,
antara lain :
1. Pada masa Kerajaan Kuno : Candi-candi Buddha :
1. Candi Kalasan, dekat Jogjakarta, didirikan tahun 778 M.
2. Candi Sari, dekat Candi Kalasan.
3. Candi Borobudur, dekat Magelang, didirikan tahun 826 M.
4. Candi Mendut, di sebelah Timur Candi Borobudur, didirikan tahun 809 M.
5. Candi Pawon, merupakan gerbang Candi Borobudur, didirikan tahun 826 M.
6. Gugusan Candi Ngawen, dekat Muntilan.
7. Gugusan Candi Sewu, dekat Prambanan.
8. Gugusan Candi Plaosan, disebelah Timur Candi Sewu.
Literatur-literatur : Kitab Sanghyang Kamahayanikan.
2. Pada Masa Kerajaan Singosari : Candi-candi :
1. Candi Singosari, dekat Malang, tempat pemujaan Raja Kertagama yang merupakan
perpaduan antara Tantrayana dan Siwa.
2. Candi Jawi, dekat Prigen, perpaduan Tantrayana dan Siwa.
3. Candi Jabung, dekat Krasaan.
Adanya gelar Dharmadhyaksa Ring Kasogatan (kepala agama Buddha).
3. Pada masa Kerajaan Majapahit : Literatur-literatur : Kitab Sutasoma dan Kitab
Kunjarakarna
4. Di pulau Sumatra terdapat juga peninggalan Candi, yakni :
1. Candi Muara Takus, dekat Bangkinang, Propinsi Riau.
2. Candi Portibi-Gunung Tua, dekat Padang sidempuan, propinsi Sumatra Utara.
Masa-masa keemasan mazhab Tantrayana terjadi terutama pada masa berkuasanya
raja-raja dari wangsa Syailendra di kerajaan Mataram Purba. Hal itu terbukti dengan
bangunan candi Borobudur dan candi-candi lainnya yang bernuansakan Buddha
Dharma Tantrayana. Namun sangat disayangkan bahwa perkembangan Tantrayana
mengalami masa surut setelah masa Raja Hayam Wuruk. Hal itu terjadi karena
terputusnya garis silsilah dan tidak terdapat lagi acharya maupun guru yang mampu
membimbing umat dengan baik. Seiring dengan itu, masuknya gama baruke tanah air,
yakni agama Islam, juga turut mempengaruhi kemunduran Tantrayana. Sehingga
menjelang akhir abad XV, daerah pesisir Utara di pulau Jawa semuanya telah
memeluk agama Islam.
Literatur-literatur Buddha Dharma di Indonesia
Berdasarkan pada peninggalan-peninggalandari zaman keemasan agama Buddha pada
masa kerajaan-kerajaan, baik di pulau Jawa maupun di pulau Sumatra, dapat kita
simpulkan bahwa pada masa-masa tersebut, perkembangan agama Buddha terutama
dari mazhab Tantrayana adalah pesat sekali. Apalagi bila kita adakan penelitan
terhadap candi Borobudur, yang kita akui sebagai salah satu keajaiban dunia yang
masih dapat dinikmati di muka bumi ini.
Pada masa-masa tersebut, literatur-literatur Buddha Dharma telah berkembang sangat
pesat. Banyak literatur yang merupakan hasil karya para cendikiawan Buddha
Dharma di zamannya. Diantara literature tersebut, antara lain : Sanghyang
Kamahayanikan, Sutasoma dan Kunjarakarna.
Kitab Sutasoma
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular. Adapun
ringkasan dari kitab Sutasoma ini adalah sebagai berikut :
Dikisahkan Sanghyang Buddha yang menitis pada putra Prabu Mahaketu, raja
Hastina, yang bernama Raden Sotasoma. Setelah dewasa dia sangat rajin beribadah
cinta akan agama Buddha (Mahayana). Dia tidak mau dikawinkan dan dinobatkan
menjadi raja. Pada suatu malam dia meloloskan diri dari kerajaan, pintu-pintu yang
sedang tertutup dengan sendirinya menjadi terbuka untuk memberi jalan keluar pada
prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma tiba pada sebuah candi yang
terletak di dalam hutan. Dia berhenti di candi tersebutdan mengadakan samadhi.
Kemudian meneruskan perjalanan dan mendaki pegunungan Himalaya dengan diantar
oleh beberapa orang pendeta. Mereka tiba si sebuah pertapaan. Diceritakan bahwa
para pertapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itu sering mendapat gangguan
dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia dan bernama
Purusada, akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan. Tenyata Purusada menderita
luka di kakinya dan tak kunjung sembuh.
Para pendeta meminta agar Sutasoma bersedia membunuh Purusada, akan tetapi
permintaan tersebut ditolaknya. Dalam melanjutkan perjalanannya, ia mendapart
serangan dari raksasa berkepala gajah dan seekor naga. Namun keduanya dapat dia
dikalahkan. Ketika sampai disebuah tebing, ia melihat seekor macan betina yang
sedang bersiap menyantap anaknya sendiri. Melihat kejadian tersebut, Sutasoma
menawarkan diri sebagai pengganti. Maka dihisaplah darahnya oleh macan, dan
meninggallah Sutasoma. Namun setelah melihat mayat Sutasoma. Kemudian
datanglah Batara Indra untuk menghidupkan kembali Sutasoma. Setelah kejadian
tersebut, Sutasoma bersamadhi di dalamsebuah goa. Para dewa mencoba keteguhan
tekad sang pertapa tersebut dengan pelbagai godaan. Namun dapat diatasi oleh
Sutasoma. Bahkan dalam melaksanakan samadhi, ia dapat menjelma menjadi Buddha
Vairocana. Setelah pulih, kembali menjadi Sutasoma dan dirinya berniat untuk pulang
ke negerinya. Di dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan bala tentara Purusada
yang sedang dikejar olehPrabu Dasabahu. Ternyata ratu ini masih saudara sepupunya
sendiri dan ia pun diminta untuk pulang kembali ke negerinya. Setelah
kepulangannya, Sutasoma dinikahkan dengan adik Prabu Dasabahu. Setelah selesai
perhelatan, ia pun menlanjutkan perjalanan ke Hastina, ia kemudian dinobatkan
sebagai raja dan bergelar Prabu Sutasoma.
Pada waktu itu, raksasa Purusada yang bernazar akan mempersembahkan seratus
manusia untuk menjadi santapan Batara Kala, bilamana luka di kakinya dapat
disembuhkan. Ketika itu, Purusada dapat menawan sembilan puluh sembilan orang
raja yang akan dipersembahkan pada Batara Kala. Untukmemperoleh raja ke seratus,
Purusada lalu menyamar sebagai seorang pendeta tua yang kemudia berhasil
menawan Raja Widarba. Kemudian jumlah ke seratus tawanan tersebut
dipersembahkan pada Batara Kala. Namun persembahan tersebut ditolak oleh Batara
Kala. Karena menginginkan daging Prabu Sutasoma. Setelah mengetahui duduk
persoalan, Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala, asalkan keseratus
tawanan lainnya dibebaskan. Kerelaan ini sangat berkenan di hati Batara Kala, bahkan
Purusada menjadi terharu. Purusada kemudian bertobat dan berjanji tidak akan makin
daging lagi.
Kitab Kunjarakarna
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Kunjarakarna terdiri dari dua redaksi, yakni dalam
bentuk Kakawin dan dalam bentuk Prosa. Kitab Kunjarakarna hingga saat ini belum
diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini isinya antara lain menggambar kan hukuman-
hukuman yang diberikan di dalam neraka, dan berisi pujian pada Buddha Vairocana
dengan menganggapnya sebagai lambang kebijaksanaan yang tertinggi serta sebagai
Guru yang termulia.
Ringkasan narasi dalam Kitab Kunjarakarna sebagaimana telah dikutip, adalah
sebagai berikut : Dalam keadaan hati yang bimbang, Kunjarakarna pergi menemui
Buddha Vairocana untuk menerima pelajaran Dharma dari beliau. Maka pergilah
Kunjara karna menuju Bodhicitta, tempat tinggal Vairocana. Namun sesudah
menerima Kunjarakarna,Vairocana menolak permintaannya. Dan pada Kunjarakarna,
Vairocana menyatakan agar pergi menghadap Yama, Dewa neraka, supaya dapat
mengetahui tentang keadaan neraka, setelah mengetahui keadaan di neraka, barulah
Vairocana akan memberikan pelajaran tentang Dharma. Kunjarakarna mengikuti
nasehat Vairocana, dan pergi menghadap Yama. Sesudahnya bertemu, kemudian
menguraikan maksud kedatangannya, Yama kemudian memberikan ilmu-ilmu yang
diperlukan.
Setelah mendengar uraian-uraian Yama, Kunjarakarna melihat sebuah ketel besar
yang sedang dipersiapkan untuk menghukum orang. Lalu ia menanyakan pada Yama,
untuk siapa ketel tersebut dipersiapkan Jawaban Yama sangat mengejutkan, karena
ketel tersebut dipersiapkan untuk Purnawijaya,seorang Widyadhara, yang tak lain
adalah temannya sendiri. Sesudah mendapatkan perintah dari Yama, lalu segera
kembali menjumpai Buddha Vairocana, setelah itu Kunjarakarna pun meninggalkan
dunia neraka.
Kunjarakarna tidak segera menghadap Vairocana, dan malah pergi menemui
temannya, Purnawijaya dengan maksud memberitahukan pada Purnawijaya tentang
kejadian apa yang telah dilihatnya di dunia neraka. Setelah memperoleh berita dari
Kunjarakarna, Purnawijaya sangat terkejut dan meminta nasehatnya. Lalu
Kunjarakarna menjawab, bahwa ia tidak dapat menolong Purnawijaya, karena diri
Purnawijayabelum dibersihkan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Ia kemudian
mengajak Purnawijaya untuk bersama-sama menemui Vairocana di Bodhicitta.
Sesampai di Bodhicitta, Kunjarakarna menyuruh Purnawijaya untuk bersembunyi
terlebih dahulu. Sedangkan dirinya menghadap Vairocana lebih dahulu. Setelah
memohon pada Vairocana, agar diberikan pelajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup
untuk dapat mencapai kebahagiaan, sambil menyinggung nyinggung tentang keadaan
Purnawijaya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, ia pun mohon diri dan
kembali ke tempat Purnawijaya menyembunyikan diri.
Kemudian tibalah giliran Purnawijaya untuk menghadap Vairocana untuk
mengajukan permohonan. Oleh Vairocana, Purnawijaya kemudian diberikan pelajaran
dan menerima pelajaran tersebut, segeralah lenyap semua nafsu yang melekat pada
dirinya yang menyebabkan ia berbuat dosa. Walupun demikian, Purnawijaya belum
dapat tertolong dari maut. Oleh karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, akhirnya
Purnawijaya masuk neraka, tetapi tak akan lama di dunia neraka, hanya sepuluh hari
saja. Hal itu perlu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, terhiburlah hati Purnawijaya. Kemudian
dengan semangatnya Purnawijaya berlatih keras dalam samadhi dan dhyana, sesuai
dengan pelajaran yang telah diterima dari Vairocana. Didampingi istrinya,
Gandhawati, Purnawijaya lalu berpesan, apabila ajalnya tiba, istrinya yang harus
mengurus dan menjaga mayatnya selama sepuluh hari, karena setelah sepuluh hari ia
akan bangun kembali.
Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Jiwa meninggalkan tubuh, diikuti oleh sebuah
bayangan yang merupakan akibat dosa yang telah diperbuatnya, pergi ke dunia neraka
dan menghadap pada Yama. Sesamp[ainya dineraka, oleh para pengawal neraka,
Purnawijaya segera dilemparkan dalam ketel panas itu. Namun sekonyong-konyong
ketel tersebut pecah dan hancur lebur. Dan ditempat tersebut muncul sebatang pohon
surga, dikelilingi kolam dan bunga teratai yang amat indah. Para pengawal neraka
sangat terkejut dan melaporkan kejadian tersebut pada Yama.
Kemudian bertanyalah Yama pada Purnawjaya tentang kejadian tersebut, setelah
mendapatkan penjelasan dari Purnawijaya, yama lalu mengijinkan Purnawijaya untuk
kembali ke asal(tubuh)nya. Setelah bangun kembali, Purnawijaya lalu memangggil
semua Widyadhara dan Widyadhari untuk menceritakan apa yang telah terjadi.
Kemudian ia mengajak mereka semua untuk menghadap Vairocana dan meyampaikan
puja dan puji untukNya.
Pada saat hampir bersamaan,semua dewa, seperti Indra, Waruna dan lain-lainnya
mendatangi Yama untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Setelah mendapatkan
penjelasan dari Yama, para dewa kemudian menghadap Vairocana untuk memohon
penjelasan. Dengan suka hati Vairocana lalu menceritakan kisah Kunjarakarna dan
Purnawijaya, mengingatkan para dewa pada ilmu kenyataan itu. Setelah mendapatkan
penjelasan dari Vairocana, mereka pun kembali ke alam sorga. Setelah mengalami
benyak peristiwa dan pelajaran, Kunjarakarna dan Purnawijaya akhirnya bersama-
sama melanjutkan samadhi di kaki gunung Mahameru. Setelah bersamadhi selama
dua belas tahun, mereka kemudian naik ke sorga Siddha.
Kitab Sanghyang Kamahayanikan
Sanghyang Kamahayanikan adalah merupakan sebuah literature agama Buddha yang
sangat erat hubungannya dengan agama Buddha mazhab Tantrayana di Indonesia.
Kitab Sanghyang Kamahayanikan ini seluruhnya berisi 129 ayat. Bagi sebagian besar
umat Buddha. Isi dari kitab tersebut masih merupakan suatu kendala untuk dimengerti
dan berada di luar kemampuan pikiran mereka.
Menurut penelitian yang pernah dilakukan, kitab Sanghyang Kamahayanikan tersusun
antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa
Timur, sebagai penerus dari kerajaan Mataram yang bergeser ke Jawa Timur. Naskah
tertua dari kitab Sanghyang Kamahayanikan ini diketemukan di pulau Lombok pada
tahun 1900 Masehi. Naskah ini oleh prof.Yunboll kemudian dibahas pada tahun
1908.dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda oleh, J.deKatt pada tahun 1940.
setelah itu,naskah tersebut diteliti lagi oleh Prof.Wuff. Selanjutnya, naskah tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.
Kemudian oleh Tim Penerjemah Kitab Suci Agama Buddha Ditura Buddha ~Ditjen
Bimas Hindu dan Buddha, Departemen Agama RI. Kitab Sanghyang Kamahayanikan
ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan merupakan hasil yang lebih baik
dari terjemahan-terjemahan sebelumnya.
Menurut dr.DK.Widya, isi kitab Sanghyang Kamahayanikan ini mengajarkan
bagaimana seseorang mencapai Kebuddhaan, di mana seorang siswa pertama -tama
melaksanakan Paramita-paramita, kemudian dijelaskan Paramaguhya dan
Mahaguhya. Selain itu dijelaskan juga falsafah Adwaya yang mengatasi
dualisme”ada” dan “tidak ada”.
Disamping itu, dapat diperoleh tambahan informasi berupa hasil wawancara dengan
dua orang tokoh Tantrayana, yakni YA. Rinpoche Zurmang Garwang dari Sikkim,
India dan YA.Rinpoche Losang Ngudup dari Mysore,India. YA.Rinpoche Zurmang
Garwang adalah seorang pemimpin dari Dharma Chakra Centre yang terletak di
Rumtek. East Sikkim, India. Menurut keterangan, beliau diyakini telah tumimbal lahir
sebanyak tiga belas kali dan penganut Tantra, baik di Sikkim dan di Tibet
mengkonsumsi jenis makanan nabati (vegetarian) dan hewani. Vinaya yang
berpantang makan dari bahan makanan hewani atau yang dikenal dengan ‘vegetarian’
hanya pada kelompok Sangha aliran Mahayana di daratan China saja.
Menurut YA. Rinpoche Zurmang garwanglebih lanjut, setiap rohaniwan Tantra
(sering disebut sebagai ‘Lhama’), mereka harus mendalami dahulu dasar-dasar
Buddha Dharma yang ada pada mazhab Theravada dan Mahayana, sebelum mereka
mendalami Tantrayana. Karena semua pada Buddha Dharma baik pada Theravada,
Mahayana dan Tantrayana adalah sama. Mereka hanya berbeda pada cara
pengalamannya saja.
YA. Rinpoche Losang Ngudup berasal dari kelompok Ge-lugpa (Yellow Hat Sect
/sekte jubah kuning) adalah Ex Abbot (mantan Rektor) pada sera Mahayana Sermey
Monastic University, yang terletak di Mysore, Distrik Karnanata-Southern India. Sera
Mahayana Sermey Monastic University adalah lembaga pendidikan tinggi yang
dikhususkan bagi para rohaniwan Tantrayana sebelum mereka di wisuda (inisiasi)
sebagai “Lhama”.
Menurut YA. Rinpoche Losang Ngudup, setiap calon “Rinpoche” harus terlebih
dahulu menjadi anggota Sangha, yang dalam Tantrayana disebut sebagai Lhama dan
harus mendalami terlebih dahulu Dharma yang ada pada mazhab Tantrayana. Ini
adalah informasi yang sama dengan YA. Rinpoche Zurmang Garwang. Menurut
beliau lebih lanjut, kunjungan beliau dan rombongan ke Indonesia adalah dalam
rangka mencari ‘benang merah’ dengan Tantrayana di Indonesia. Mereka
berkeyakinan bahwa Tantrayana pada masa kerajaan-kerajaan dahulu adalah memiliki
‘garis silsilah'(lineage) yang sama dengan mereka, yakni melalui YA. Atissa Srinyana
Dipankara. YA. Atissa adalah seorang Rinpoche yang pernah menetap di Sriwijaya
(P.Sumatera) dan berguru pada YA. Dharmakirti atau Dharmaphala. YA.Atissa tiba di
Sriwijaya pada usia 31 tahun dan beliau menetap di sana sekitar duabelas tahun
lamanya. Menurut YA. Rinpoche Losang Ngudup, YA. Rinpoche Atissa telah
menanamkan semangat bagi kekuatan spiritual Tantrayana di Tibet

4.KITAB SUCI AGAMA BUDDHA


Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis
dalam bahasa Pâli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal
sebagai 'pitaka' atau 'keranjang', yaitu :

1. Vinaya Pitaka
2. Sutta Pitaka, dan
3. Abhidhamma Pitaka

Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pâli) atau Tripitaka
(sansekerta).

Di antara kedua versi Pâli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci
Tipitaka (Pâli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pâli) ini pulalah
yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravâda (Pâli Canon).

VINAYA PITAKA

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para
bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka, dan
3. Parivâra.
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni.
Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di
antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang
bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai.

musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavâranâ), peraturan-peraturan


mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit,
peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma
(upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-


pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah
melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-
masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan
jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya,
mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru
(âcariyâ) dan calon bhikkhu (sâmanera), pengucilan dari upacara pembacaan
Pâtimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan
Agung Pertama di Râjagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali.
Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya,
yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan
ujian.

SUTTA PITAKA

Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :
1. Dîgha Nikâya,
merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan
terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahâvagga dan Pâtikavagga.
Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajâla Sutta (yang memuat
62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan
seorang petapa), Sigâlovâda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi
kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahâsatipatthâna Sutta (memuat
secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanâ),
Mahâparinibbâna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).

2. Majjhima Nikâya,
merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah.
Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannâsa); dua pannâsa pertama terdiri atas 50 sutta
dan pannâsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa
sutta di antaranya ialah : Ratthapâla Sutta, Vâsettha Sutta, Angulimâla Sutta,
Ânâpânasati Sutta, Kâyagatasati Sutta dan sebagainya.

3. Anguttara Nikâya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas
sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan
bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
4. Samyutta Nikâya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas
7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut
Samyutta.

5. Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas
kumpulan lima belas kitab, yaitu :
a. Khuddakapâtha, berisi empat teks : Saranattâya, Dasasikkhapâda, Dvattimsakâra,
Kumârapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta
Sutta.

b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga.
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

c. Udâna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan
vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai
kesempatan.

d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam
hetam bhagavâ (demikianlah sabda Sang Bhagavâ).

e. Sutta Nipâta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahâ, Atthaka dan Pârâyana
Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima
terdiri atas enam belas sutta.

f. Vimânavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang


diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.

g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam


Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.

h. Theragâthâ, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup
Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi
pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.

i. Therigâthâ, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari
ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

j. Jâtaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang


terdahulu.

k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-


Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pârâyana
Vagga dari Sutta Nipâta; sedang Mahâ-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang
terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipâta.

l. Patisambhidâmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai


pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahâvagga, Yuganaddhavagga
dan Paññâvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathâ).

m. Apadâna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40
bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.

n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh
lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.

o. Cariyâpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha


yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pâramî yang
dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita
disebut Cariyâ.

ABHIDHAMMA PITAKA

Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara
analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan
metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :

1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu


jiwa.

2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan


metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-
masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan
Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.

3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi


menjadi empat belas bagian.

4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang


dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan
sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.

5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-
percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang
dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi
dan metafisika.

6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha,
Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.

7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh


empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis,
berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang
bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.

Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke
dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha
Nikâya.
5.ibadah dalam agama budha
juga agama Buddha mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai puja.
Pelajaran ini merupakan ajaran dasar dari agama Buddha karena akan mengajarkan kepada
umat tentang tata cara melaksanakan ibadah.
Istilah ‘puja’ berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana
untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji
kita pada Tiratana – Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha. Ada pendapat yang
menganggap ‘puja’ adalah ‘suatu upacara ritual tak berarti’, berdasar pengertian bahwa dalam
agama Buddha, tidak diakui adanya makhluk-agung atau dewa-agung yang padanya kita
harus bermohon dan dengan demikian upacara adalah mubazir.
Pandangan diatas jelas salah.
Pertama, tidak ada upacara yang ‘tak punya arti’ bila kita berusaha mencari makna artinya.

kedua, keikutsertaan dalam upacara tidak perlu bertentangan dengan keberadaan kita sebagai
manusia yang kritis. Upacara ritual memang ganjil bila dikaitkan dengan ilmu gaib, tapi
upacara agama Buddha bukanlah hal yang demikian. Pelaksanaan ‘puja’ mempunyai nilai
yang tinggi karena mampu menguatkan keyakinan dan menanamkan pengertian yang khusus
dalam batin kita.
Pemujaan (pelaksana Puja) bukan keharusan dalam pelaksanaan keagamaan Buddha, tapi
karena sebagian besar orang dapat melihat dampak positif-nya, maka kita akan mempelajari
arti dan pelaksanaannya secara terinci. Ada bermacam-macam cara pemujaan tergantung
budaya dimana tata pemujaan itu berkembang, ada yang sederhana dan anggun, ada yang
rumit dan ramai. Mari kita teliti Nava Puja. Istilah ‘nava‘ berarti ‘baru’ dan juga berarti
‘sembilan’, karena Nava Puja adalah penyesuaian moderen dari Puja Buddha yang kuno di
Sri Lanka, dan karena Nava Puja terdiri atas sembilan bagian. Seperti ‘puja’ yang lain, maka
Nava Puja dapat dilaksanakan dalam bahasa sehari-hari kita ataupun dalam bahasa Pali.

Pemujaan paling tepat dilakukan di depan meja-sembahyang (Inggris: shrine) di vihara


ataupun di rumah. Ada umat yang salah mengartikan dengan menyamakan serta menyebut
meja-sembahyang dirumahnya sebagai ‘altar’. Pada kenyataannya secara harfiah, altar berarti
tempat pelaksanaan korban, yang tentunya tidaklah tepat untuk menggambarkan meja-
sembahyang agama Buddha. Meja-sembahyang terdiri dari suatu meja atau panggung yang
agak ditinggikan, yang diatasnya diletakkan patung Buddha (Buddha rupa) dan obyek-
obyek lain yang digunakan pada pemujaan tersebut.
Meja-sembahyang secara estetis hendaknya terawat, menyenangkan dan senantiasa rapih.
Pada dasarnya, kita hendaknya merawat meja-sembahyang seperti hati kita – bersih, indah
dan rapih. Meja-sembahyang hendaknya dibersihkan setiap hari dari debu, abu dupa dan
guguran bunga. Meja-sembahyang hendaknya indah, ditempati peralatan sembahyang
terbaik, diletakkan simetris agar baik dipandang mata. Lebih jauh, meja-sembahyang
hendaknya tidak menjadi kacau karena adanya foto-foto para bhikkhu, guru kebatinan,
patung dewa-dewa Tao ataupun segala macam obyek yang tak ada hubungannya dengan puja
6.prinsip etika

PERANAN AGAMA BUDDHA UNTUK MEMELIHARA PERDAMAIAN

Pada dasarnya, menurut ajaran Budha, prinsip-prinsip etika dan moral diatur dengan
memeriksa apakah suatu tindakan tertentu, apakah terhubung ke tubuh atau pidato yang
mungkin membahayakan diri sendiri atau untuk orang lain dan dengan demikian menghindari
tindakan yang mungkin berbahaya. Dalam Buddhisme, ada banyak pembicaraan dari pikiran
yang terampil. Batin yang terampil menghindari tindakan yang mungkin menyebabkan
penderitaan atau penyesalan.

Perilaku moral bagi umat Buddha berbeda berdasarkan apakah itu berlaku untuk kaum awam
atau kepada Sangha atau ulama. Seorang Buddhis awam harus mengembangkan perilaku
yang baik dengan pelatihan dalam apa yang dikenal sebagai "Lima Sila". Ini tidak seperti,
katakanlah, sepuluh perintah, yang, jika rusak, memerlukan hukuman oleh Allah. Kelima sila
adalah pelatihan aturan, yang, jika satu orang untuk memecahkan salah satu dari mereka,
orang harus menyadari sungsang dan meneliti bagaimana suatu sungsang dapat dihindari di
masa depan. Resultan dari suatu tindakan (sering disebut sebagai Karma) tergantung pada
niat lebih dari tindakan itu sendiri. Hal ini menuntut perasaan kurang bersalah dari Yahudi-
Kristen pasangannya. Buddhisme menempatkan penekanan besar pada 'pikiran' dan itu adalah
penderitaan mental seperti penyesalan, dll kecemasan rasa bersalah yang harus dihindari
untuk menanam pikiran yang tenang dan damai. Kelima sila adalah:

1) Untuk melaksanakan pelatihan untuk menghindari mengambil kehidupan makhluk. Ajaran


ini berlaku untuk semua makhluk hidup bukan hanya manusia. Semua makhluk memiliki hak
untuk hidup mereka dan hak yang harus dihormati.

2) Untuk melaksanakan pelatihan untuk menghindari hal-hal yang tidak diberikan. Resep ini
berjalan lebih jauh dari sekadar mencuri. Orang harus menghindari mengambil apa-apa
kecuali satu hal yang pasti yang dimaksudkan bahwa itu adalah untuk Anda.

3)
Melakukan pelatihan untuk menghindari kesalahan sensual ajaran ini sering salah
menerjemahkan atau disalahartikan sebagai berkaitan hanya untuk perbuatan asusila tapi.
Mencakup setiap pemakaian yg berlebihan dalam kenikmatan sensual seperti kerakusan serta
pelanggaran yang bersifat seksual.

4) Untuk melaksanakan pelatihan untuk menahan diri dari ucapan salah. Selain menghindari
berbohong dan menipu, ajaran ini mencakup fitnah serta pidato yang tidak bermanfaat bagi
kesejahteraan orang lain.
5) Untuk melaksanakan melatih diri untuk tidak zat yang menyebabkan mabuk dan lemahnya
kesadaran. Ajaran ini dalam kategori khusus karena tidak menyimpulkan kejahatan apapun
intrinsik dalam, katakanlah, alkohol itu sendiri tapi mengumbar seperti zat bisa menjadi
penyebab melanggar lainnya empat ajaran.

Ini adalah ajaran dasar diharapkan sebagai hari untuk pelatihan hari dari setiap Buddha
awam. Pada hari-hari suci khusus, banyak umat Buddha, terutama yang mengikuti tradisi
Theravada, akan mengamati tiga sila tambahan dengan penguatan ajaran ketiga akan
mengamati selibat ketat. Ajaran tambahan adalah:

6) Untuk menjauhkan diri dari mengambil makanan pada waktu yang tidak tepat. Ini berarti
mengikuti tradisi bhikkhu Theravada dan tidak makan dari siang satu hari sampai matahari
terbit berikutnya.

7) Untuk menjauhkan diri dari menari, menyanyi musik, dan hiburan serta menahan diri dari
penggunaan parfum, ornamen dan barang-barang lain yang digunakan untuk menghiasi atau
memperindah orang tersebut. Sekali lagi, ini dan aturan berikutnya.

8) Melakukan pelatihan untuk menjauhkan diri dari menggunakan tempat tidur yang tinggi
atau mewah aturan teratur diadopsi oleh anggota Sangha dan diikuti oleh orang awam pada
acara-acara khusus.

Awam mengikuti tradisi Mahayana, yang telah mengambil sumpah Bodhisattva, juga akan
mengikuti diet vegetarian. Hal ini tidak begitu banyak ajaran tambahan tetapi penguatan
ajaran pertama; Untuk melakukan pelatihan untuk menghindari mengambil kehidupan
makhluk. Konsumsi daging akan dianggap kontribusi untuk mengakhiri kehidupan, tidak
langsung meskipun mungkin.

Para pendeta Budha, yang dikenal sebagai Sangha, diatur oleh 227-253 aturan tergantung
pada sekolah atau tradisi untuk pria atau bhikkhu dan antara 290 dan 354 aturan, tergantung
pada sekolah atau tradisi untuk wanita atau bhikkhuni. Aturan-aturan ini, yang terdapat dalam
Vinaya atau koleksi pertama dari kitab Buddha,, dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-
masing yang melibatkan penalti untuk sungsang mereka, tergantung pada keseriusan yang
sungsang. Pertama empat aturan untuk pria dan delapan pertama untuk perempuan, yang
dikenal sebagai parajika atau aturan kekalahan, memerlukan pengusiran dari Ordo segera
sungsang mereka. Keempat berlaku untuk kedua jenis kelamin adalah: Hubungan seksual,
membunuh seorang manusia, mencuri sejauh itu memerlukan hukuman penjara dan
mengklaim kekuatan ajaib atau supernormal. Aturan tambahan bhikkhuni 'berhubungan
dengan kontak fisik dengan berbagai laki-laki dengan satu berkaitan dengan
menyembunyikan dari pesanan kekalahan atau parajika lain. Sebelum kematiannya, Sang
Buddha menginstruksikan bahwa izin diberikan untuk ditinggalkan atau penyesuaian aturan
kecil kondisi yang berlaku harus menuntut perubahan tersebut. Aturan-aturan ini berlaku
untuk semua anggota Sangha terlepas dari tradisi Buddhis mereka.
Interpretasi dari aturan, namun berbeda antara Mahayana dan tradisi Theravada. Para
Theravada, terutama yang dari Thailand, mengaku mengamati aturan untuk surat hukum,
namun, dalam banyak kasus, berikut ini adalah lebih dalam teori daripada praktek yang
sebenarnya. Sangha Mahayana menafsirkan aturan untuk tidak mengambil makanan pada
waktu yang tepat tidak berarti puasa dari siang sampai matahari terbit tapi untuk menahan diri
dari makan antara waktu makan. Aturan puasa tidak pantas, dari sudut kesehatan, untuk yang
hidup Sangha di iklim dingin seperti Cina, Korea dan Jepang. Ketika seseorang menguji
alasan bahwa aturan ini dilembagakan awalnya, kesimpulannya bisa dihubungi bahwa saat ini
berlebihan. Itu adalah praktek di masa Sang Buddha untuk para bhikkhu untuk pergi ke desa
dengan mangkuk mereka untuk mengumpulkan makanan. Untuk menghindari keributan
dengan warga desa lebih dari yang diperlukan, Sang Buddha memerintahkan para bhikkhu
untuk membuat kunjungan ini sekali sehari, di pagi hari. Hal ini akan memungkinkan
penduduk desa untuk bebas untuk melakukan hari mereka untuk urusan hari tanpa terganggu
oleh para biarawan membutuhkan makanan. Hari ini, tentu saja, orang membawa makanan ke
biara-biara atau mempersiapkannya di tempat sehingga alasan asli tidak lagi berlaku. Seperti
banyak dari Anda akan menyadari, di beberapa negara Theravada, para biarawan masih terus
pagi bulat mereka sedekah, tapi ini lebih merupakan masalah mempertahankan tradisi dari
karena kebutuhan. Juga, aturan yang melarang penanganan emas dan perak, dengan kata lain
- uang, dianggap oleh Sangha Mahayana cacat seandainya untuk diamati ketat di dunia saat
ini. Mereka menafsirkan aturan ini sebagai menghindari akumulasi kekayaan yang mengarah
pada keserakahan. Bhikkhu Theravada cenderung untuk membagi rambut di aturan ini,
meskipun sebagian besar tidak akan menyentuh koin, kartu kredit dan banyak membawa
buku cek.

Sekarang saya membahas secara singkat sikap Buddhis terhadap kekerasan, perang dan
perdamaian. Sang Buddha berkata di Dhammapada:

* Kemenangan melahirkan kebencian. Yang kalah hidup dalam penderitaan. Untungnya


dengan damai hidup menyerah kemenangan dan kekalahan (Dp.15, 5) dan.

* Kebencian tidak pernah berhenti oleh kebencian di dunia ini, melalui cinta saja mereka
berhenti. Ini adalah hukum abadi. (Dp.1, 5)

Ajaran pertama mengacu pada melatih diri untuk tidak merugikan makhluk hidup. Meskipun
sejarah mencatat konflik yang melibatkan apa yang disebut negara Buddhis, perang-perang
telah berjuang karena alasan ekonomi atau mirip. Namun, sejarah tidak mencatat perang
dilancarkan atas nama menyebarkan Buddhisme. Buddhisme dan, mungkin, Jainisme yang
unik dalam hal ini. Paus, Dalai Lama tidak pernah menyarankan konflik bersenjata untuk
mengatasi penganiayaan dan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Komunis
China. Ia selalu menganjurkan solusi damai dan tanpa kekerasan. Mulia Maha Ghosananda,
Patriark Agung Kamboja telah mendesak Kamboja untuk mengesampingkan kemarahan
mereka untuk genosida Khmer Merah dan untuk menyatukan membangun kembali bangsa
mereka. Ia telah menulis:
Penderitaan Kamboja telah mendalam. Dari penderitaan ini datang kasih sayang yang besar.
Sifat welas asih membuat hati damai. Hati yang damai membuat orang damai. Seseorang
yang damai membuat keluarga damai. Sebuah keluarga yang damai membuat masyarakat
damai. Sebuah komunitas yang damai membuat bangsa yang damai. Sebuah bangsa yang
damai membuat dunia yang damai.

Kembali ke sejarah awal agama Buddha, Kaisar Asoka, yang setelah kampanye militer
berdarah tapi sukses, memerintah lebih dari dua pertiga dari anak benua India, menderita
penyesalan besar bagi penderitaan yang ia disebabkan, melarang pembunuhan hewan dan
mendesak rakyatnya untuk menjalani kehidupan yang baik dan toleran. Dia juga
mempromosikan toleransi terhadap semua agama yang didukung secara finansial. Agama-
agama lazim saat itu adalah sramanas atau mengembara pertapa, Brahmana, Ajivakas dan
Jain. Dia merekomendasikan bahwa semua agama berhenti dari pujian diri dan kecaman
orang lain. Pernyataan-Nya ditulis di atas batu di pinggiran kerajaan-Nya dan di pilar di
sepanjang jalan utama dan di mana peziarah berkumpul. Dia juga mendirikan banyak rumah
sakit untuk manusia dan hewan. Beberapa fatwa penting nya batu menyatakan:

1. Asoka memerintahkan pohon beringin dan kebun mangga ditanam, rumah peristirahatan
dibangun dan sumur gali setiap setengah mil di sepanjang jalan utama.

2. Ia memerintahkan akhir untuk membunuh binatang untuk digunakan di dapur kerajaan.


3. Ia memerintahkan penyediaan fasilitas medis untuk manusia dan binatang.
4. Dia memerintahkan ketaatan kepada orang tua, kemurahan hati para imam dan pertapa dan
berhemat dalam pengeluaran.
5. Semua petugas harus bekerja untuk kesejahteraan orang miskin dan lanjut usia.
6. Dia mencatat niatnya untuk mempromosikan kesejahteraan semua makhluk untuk
membayar utang kepada semua makhluk.
7. Ia menghormati orang-orang dari semua agama.

Tidak semua umat Buddha mengikuti jalan tanpa kekerasan, namun. Seorang rahib Buddha,
Phra Kittiwutthi dari Phra Chittipalwon College di Thailand, terkenal karena ekstrim sayap
kanan tampilan. Dia mengatakan bahwa itu bukan sungsang dari ajaran pertama untuk
membunuh komunis. Dia mengatakan bahwa jika Thailand berada dalam bahaya
pengambilalihan komunis, dia akan mengangkat senjata untuk melindungi Buddhisme. Sulak
Sivaraksa, seorang aktivis perdamaian Thailand, laporan dalam bukunya, "adalah untuk
membunuh komunisme atau ideologi komunis bukan dosa" "Benih Perdamaian" yang Phra
Kittiwutthi sejak pendiriannya dimodifikasi dengan menyatakan. Sulak menambahkan bahwa
biarawan itu mengaku bahwa perasaan nasionalis itu lebih penting daripada praktek Buddhis
dan bahwa ia akan bersedia untuk meninggalkan jubah kuning untuk mengangkat senjata
melawan penjajah komunis dari Laos, Kamboja atau Vietnam. Dengan demikian, katanya, ia
akan mempertahankan monarki, bangsa dan agama Buddha. Berbeda dengan pandangan Phra
Kittiwutthi, Sulak Sivaraksa melaporkan bahwa biksu Vietnam, Thich Nhat Hanh
berpendapat bahwa 'melestarikan Buddhisme tidak berarti bahwa kita harus mengorbankan
kehidupan manusia untuk menjaga hirarki Buddha, biara atau ritual. Bahkan jika agama
Buddha seperti itu sudah dipadamkan, ketika kehidupan manusia yang diawetkan dan ketika
martabat manusia dan kebebasan dibudidayakan menuju perdamaian dan cinta kasih, Buddha
dapat terlahir kembali di hati manusia.

Kesimpulannya, saya akan secara singkat menyebutkan beberapa masalah lain yang
disebutkan dalam Silabus tersebut.

Ajaran ketiga pada pelatihan yang mengekang indera termasuk seksualitas. Umat Buddha
harus memperhatikan kemungkinan efek pada diri mereka sendiri dan pada orang lain dari
aktivitas seksual yang tidak tepat. Resep ini akan mencakup perzinahan karena ini juga celana
ajaran tidak mengambil apa yang tidak diberikan secara bebas. Sebuah hubungan dengan
seseorang yang berkomitmen untuk lain mencuri. Demikian pula dalam kasus-kasus
perkosaan dan pelecehan anak, seseorang mencuri menghormati martabat dan harga diri
orang lain. Salah satunya adalah juga penyebab sakit mental, belum lagi rasa sakit fisik
sehingga salah satu yang menyebabkan kerugian bagi makhluk hidup lain. Oleh karena itu,
perilaku seperti itu adalah melanggar sila beberapa.

Pernikahan bukanlah sakramen dalam agama Buddha seperti di agama lain. Perkawinan
diatur oleh hukum sipil dan seorang Buddhis diharapkan untuk mengamati hukum yang
berlaku di negara mana pun mereka tinggal. Dalam tradisi Theravada, para bhikkhu dilarang
oleh aturan mereka Vinaya untuk mendorong atau melakukan upacara pernikahan. Aturan
menyatakan:

Jika seorang bhikkhu terlibat untuk bertindak sebagai perantara untuk niat pria untuk wanita
atau niat wanita untuk seorang pria, apakah tentang pernikahan atau paramourage, bahkan
untuk pengaturan sementara, ini memerlukan pertemuan awal dan selanjutnya Sangha.

Di negara-negara Theravada banyak, pasangan akan, mengikuti pernikahan mereka dalam


sebuah upacara sipil, mengundang para bhikkhu ke rumah mereka untuk melakukan upacara
berkat. Mereka akan menawarkan makanan dan kebutuhan lain kepada para bhikkhu dan
mengundang keluarga dan teman-teman untuk berpartisipasi. Dalam tradisi Mahayana aturan
yang sama menyampaikan makna yang sama sekali berbeda. Bunyinya:

Haruskah Bhikkshu, berusaha untuk membangun situasi yang kondusif dengan cara yang
seorang pria dan seorang wanita terlibat dalam pelanggaran seksual, baik dengan dirinya
sendiri, atas perintah, atau dengan menggunakan pesan-pesan, dan sebagai akibat dari
kegiatannya pria dan wanita harus memenuhi , ia telah melakukan pelanggaran.

Aturan ini tidak menghalangi pernikahan, melainkan, berhubungan dengan biarawan itu
dengan asumsi peran seorang germo untuk tujuan amoral. Di negara-negara Barat, mengikuti
preseden Kristen, banyak bhikkhu Mahayana menjadi peraya pernikahan terdaftar sehingga,
jika dipanggil, upacara pernikahan dapat dilakukan di bait suci. Umumnya di negara-negara
dimana hukum memungkinkan, Buddha menerima de-facto hubungan. Pergaulan akan
disukai sebagai pelanggaran seksual tetapi hubungan yang berkelanjutan antara dua orang,
baik di dalam atau di luar nikah akan dianggap perilaku moral. Sebagai salah satu ajaran
Buddha yang penting adalah bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal dan dapat berubah,
dengan rincian yang tidak dapat dibatalkan hubungan antara pasangan akan dipahami dari
sudut ini, jadi perceraian tidak akan dianggap tidak tepat.

Sejauh pertanyaan bioetika yang bersangkutan, hal ini terutama masalah sikap tradisi yang
berbeda atau sekolah agama Buddha. Ini terkait dengan konsep kelahiran kembali dan ketika
itu terjadi. Menurut tradisi Theravada, kelahiran kembali terjadi segera setelah kematian.
Tubuh almarhum tidak lagi dianggap sebagai bagian dari makhluk mantan, sehingga hal-hal
seperti otopsi, transplantasi organ dan sebagainya yang diijinkan. Bahkan, Theravada,
terutama di Malaysia, mendorong sumbangan organ tubuh manusia sebagai bentuk tertinggi
dari memberi. Seringkali, terutama pada Waisak, perayaan pencerahan, lahir dan meninggal
Sang Buddha, donor darah dilakukan di halaman candi. Mahayana, di sisi lain, percaya
bahwa ada keadaan antara antara inkarnasi, yang dikenal sebagai Antarabhava. Kebanyakan
orang mengikuti tradisi ini mencoba untuk menghindari menyentuh atau menggerakkan tubuh
untuk, setidaknya delapan jam setelah kematian. Ini, tentu saja, berarti bahwa organ akan saat
itu tidak berguna untuk transfer ke manusia lain.

Pekerjaan Buddha etika dan bisnis dan etika profesi akan, idealnya akan terkait erat dengan
menghormati lingkungan. Hal ini juga dijelaskan dalam buku EFSchumacher itu "Kecil itu
Indah":

"Sementara materialis adalah terutama tertarik pada barang, Budha terutama tertarik pada
pembebasan. Tapi agama Buddha adalah Jalan Tengah dan karena itu sama sekali tidak
bertentangan dengan kesejahteraan fisik yang utama dari Buddha ekonomi adalah
kesederhanaan dan non-kekerasan.. Dari ekonom sudut pandang, keajaiban dari cara Buddha
hidup adalah rasionalitas mengucapkan polanya - sarana luar biasa kecil yang mengarah ke
hasil yang sangat memuaskan ".

Ken Jones dalam sebuah makalah yang disebut "Buddhisme dan Sosial Action" komentar:
"Schumacher menguraikan 'ekonomi Buddhis' di mana produksi akan didasarkan pada
berbagai tengah barang-barang materi (dan tidak lebih), dan pada harmoni lainnya dengan
alam lingkungan dan sumber dayanya.

Prinsip-prinsip di atas menunjukkan beberapa jenis masyarakat yang beragam dan politik
desentralisasi, dengan koperasi manajemen dan kepemilikan kekayaan produktif. Ini akan
dipahami pada skala manusia, baik dalam hal ukuran dan kompleksitas atau organisasi atau
perencanaan lingkungan, dan akan menggunakan teknologi modern selektif daripada yang
digunakan oleh itu dalam melayani kepentingan egois. Dengan kata Schumacher, "Ini adalah
masalah menemukan jalan yang benar pembangunan, Jalan Tengah, antara kelalaian
materialis dan imobilitas tradisionalis, singkatnya, untuk menemukan Penghidupan Benar '".

Meskipun teori sekitarnya praktek bisnis Buddha, keserakahan masih tampaknya menjadi
urutan hari di negara-negara Buddhis banyak. Di Thailand, seorang biarawan di utara, Acharn
Ponsektajadhammo, telah memimpin kampanye melawan vandalisme lingkungan dari
industri kayu. Penebangan pohon di Thailand Utara telah menyebabkan erosi, banjir dan
ekonomi telah menghancurkan petani kecil. Untuk upaya lingkungan nya, Acharn
Ponsektajadhammo telah memiliki ancaman mati dan baru-baru ditangkap. Di Jepang, negara
lain di mana mayoritas penduduk adalah Buddha, pembunuhan paus dan lumba-lumba masih
lazim. Hewan tampaknya menemukan tempat dalam budaya kelompok masyarakat Jepang.

Seperti dapat dilihat dari hal tersebut, prinsip-prinsip Buddhis etika sangat mulia dan di dunia
yang ideal praktek mereka akan mengarah pada perdamaian dan harmoni tetapi, sayangnya,
sebagai Buddha telah mengajarkan, orang yang didorong oleh kebencian ketamakan dan
kebodohan - bahkan umat Buddha.

6. Prinsip agama yang berhubungan dengan kesehatan

Pengertian Kesehatan
Kesehatan merupakan suatu keadaan yang sehat, kebaikan badan jasmani, keadaan
sehat jiwa, masyarakat kesehatan jasmani bagi rakyat (KBBI, 2001. 1011).Kesehatan
merupakan harta yang sangat berharga yang dimiliki manusia. Konsep kesehatan itu
sendiri adalah suatu keadaan dimana badan jasmani, mental lingkungan dan segala
sesuatu yang ada disekitarnya benar-benar terjadi suatu keharmonisan.
Dalam kehidupannya yang suka mengganggu kehidupan orang lain, suka adu domba,
fitnah, menyeleweng dan menipu. Gejala tersebut merupakan unsur dari pada kejiwaan
yang tidak sehat, jiwa yang sehat akan menimbulkan jasmani yang sehat pula. Berarti
sehat merupakan suatu konsep dasar yang mudah dirasakan dan diamati keadaannya.
Misalnya orang yang tidak memiliki keluh kesah fisik dipandang orang yang sehat secara
mental. Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan merupakan suatu bentuk
yang sangat luas dan keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak
hanya terbebas dari penyakit, kelemahan atau merupaka suatu keadaan ideal dari segi
biologis, psikologis dan sosial.
Seseorang dikatakan sehat tidak hanya terlepas dari penyakit dan kelemahan, tetapi
juga mampu menjalankan aktivitas kehidupan dan dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan. Untuk mencegah berbagai penyakit diperlukan dukungan masyarakat,
sumber alam dan fasilitas yang memadai. (Mariati Sukarni,1994;140).

B. Konsep Kesehatan Menurut Agama Buddha


Manusia mengenal dirinya pada mulanya dari dimensi biologisnya dan memanfaatkan
anggota tubuhnya untuk memenuhi kebutuhannya, makan minum, dan bekerja. Jadi
tidak langka bila tubuh mengalami gangguan kesehatangnya karena manusia belum
merasa puas bila kebutuhannya belum tercukupi dan tidak pernahmemperdulikan
kesehatannya (terlalu bekerja keras, tidak ingat waktu). Dalam agama Buddha dimensi
biologis (jasmani) terbagi menjadi empat unsur yaitu tanah, air, api dan gas.
Ketidakseimbangan dari keempat unsur ini menjadi salah satu sebab timbulnya
gangguan kesehatan.
Status kesehatan seseorang ataupun masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
sekalipun tidak tepat tetapi juga tidak salah, kesehatan lingkungan sering diartikan
sebagai kebersihan lingkungan. Kesehatan lingkungan seharusnya, mencakup pula
kebersihan perorangan, kebiasaan hidup dan semua dampak hubungan timbal balik
antara manusia dan lingkungan pertalian dengan peningkatan derajat kesehatan atau
pencegahan penyakit. Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yang sehat, jadi ini
tergantung dari manusia dan masyarakat dimana menjaga lingkungan yang bersih.
Setiap individu memiliki peranan dalam kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat dan
sekolah. Seseorang yang mempunyai jasmani dan mental yang sehat akan meras puas
dengan perannya dalam lingkungannya tersebut, tetapi sebaliknya seseorang tidak
memiliki sehat jasmani dan mental yang sehat tidak merasa terpuaskan dalam peranan-
peranan tersebut, dan memang bila seseorang tidak memiliki badan jasmani dan mental
yang kuat tidak bisa beraktifitas dengan baik.
Manusia merupakan satu kesatuan dari unsure jasmani dan rohani, mengenai
pemahaman yang benar terhadap tubuh yang rapuh yang merupakan sarang suatu
penyakit yang justru akan mendorong agar manusia memperhatikan perawatan tbuhnya
dengan baik. “Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh penyakit, terdiri dari tulang
blulang, lemah dan perlu banyak perawatan, keadaan tidak kekal serta tidak tetap”
(Dhp. XI. 147). Perilaku yang bersih dan sehat akan menghasilkan lingkungan yang bersih
dan sehat pula, begitu pula sebaliknya lingkungan yang bersih dan sehatakan
mendorong perilaku yang bersih dan sehat pula, walaupun diri sendiri merupakan factor
utama dalam menciptakan keadaan yang sehat.
Salah satu hal yang sangat penting dalam pribadi seseorang adalah ksehatan mental,
yaitu kondisi mental yang tidak sakit. Buddha Dhamma berperan besar dalam
memecahkan kesulitan para ahli tentang kesehatan mental, Buddha menunjukkan
bahwa setiap orang secara terus-menerus mendengarkan suatu suara dalam dirinya dan
menafsirkan apa yang sedang dirasakannya. Tindakan ini merupakan tindakan untuk
menenangkan diriterhadap prasangka, kegelisahan dan ketakutan. “melenyapkan
kegelisahan, dan kekawatiran maka akan terbebas dari perasaan tegang, dengan pikiran
tenang, mensucikan batinnya dari kegelisahan dan kekawatiran. Ia melenyapkan keragu-
raguan, ia hidup bagaikan orang yang telah terbebas dari kekacauan batin dan batinnya
berada dalam kebaikan, ia mensucikan batinnya dari keragu-raguan” (D.III.XIV.25).
“Sehat adalah anugerah tertinggi, nibbana adalah kebahagiaan tertinggi” (M.II.VII.65).
nibbana adalah tujuan tertinggi umat Buddha, sedangkan sakit, usia tua, kematian
sebagai cirri dari penderitaan merupakan prosestak terelakkan yang penuh makna dan
hikmah dalam perjalanan mencapai tujuan tertinggi. “Sungguh bahagia hidup tanpa
penyakit diantara orang-orang yang berpenyakit, diantara orang-orang yang berpenyakit
hidup tanpa penyakit” (Dhp. XV.198).jadi dalam hal ini tidak bisa dikatakan bahwa tujuan
agam adalah sebuah keadaan kesehatan mental yang sempurna dan kebahagiaan sejati,
tetpi selama manusia belum melenyapkan dukkha dalam dirinya maka kesakitan mental
akan berada dalam dirinya bahkan dapat berkembang dengan cepat dan kedamaian
nibbana belum dapat dirasakan. Perlu diketahui bahwa tujuan dari Buddha mengajarkan
dhamma adalahuntuk kebahagiaan umat manusia dan memperoleh mental yang benar-
benar bebas dari penyakit apapun. Bhagava mengajarkan dhamma agar dhamma dapat
melenyapkan dukkha dari orang yang melaksanakannya (D.III.XIV.24).dukkha merupakan
kekacauan-kekacauan dan nibbana adalah keadaan yang teratur dan sehat, tetapi umat
Buddha adalah pengurangan serta pelenyapan dukkha dan mencapai nibbana yaitu
dengan pelaksanaan delapan jalan utama secara sempurna.
Kesehatan terapi buddhis menjadi suatu pedoman yang disebut dengan jalan utama
beruas delapan, yang merupakan terapi penolong dan terapi yang sebenarnya, trapi ini
mencangkup perilaku setiap hari dari disiplin mental serta pengenalan terhadap teori
filsafat Buddha Dhamma, terapi yang sebenarnya adalah meditasi (Dhyana ) dalam
terapi buddhis dalam melenyapkan kekacauan mentalmemiliki beberapa kesamaan
seperti teks wawancara dan diskusi, meditasi mirip dengan tehnik terapi perilaku karena
bagaimanapun terdapat beberapa aspek meditasi yang merupakan keunggulan dalam
terapi buddhis, hal yang penting dalam meditasi adalah perhatian, sempurna dalam
perilaku, suci dalam cara hidup, sempurna dalam sila, terjaga dalam pintu indriya,
memiliki perhatian murni dan pengertian yang jelas. Terapi buddhis mengatakan bahwa
penyebab tubuh ini menjadi sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan
jasmani (rasa sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya. Dengan
begitu apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya menyadari segala bentuk-bentuk
pikiran emosi-emosi yang timbul dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk piiran yang
menyebabkan penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu: (1). Keserakahan, (2).
Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5). Kekuatiran (Ruth walshe, alih
bahasa upi. Ksantidewi, terapi secara buddhis).

C. Pengaruh Perkembangan Ilmu Kedokteran Terhadap Pola Hidup Manusia


Kehidupan manusia yang semakin maju baik dalam ilmu tekhnologi maupun kedokteran
mempunyai pengaruh yang dapat mengembangkan pola hidup manusuia yaitu :
- untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dibidang kesehatan,
meningkatkan mutu pemeriksaan yang terjamin terhadap penyakit-penyakit yang
diderita, sehingga terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan hasil pemeriksaannya.
- Dengan banyaknya peralatan dan fasilitas yang digunakan maka akan meningkatkan
pula mutu dari tenaga medis (Fahrul rasyid, tempo tahun 1990:76, murniyati,
rangkuman agama buddha dan disiplin ilmu I dan II 2003 )
- Semakin banyaknya penilitian-penelitian media yang dilakukan secara intensif maka
akan mendorong didirikannya labolatorium kesehatan dengan peralatan dan fasilitas
yang lebih lengkap.
- Perkembangan ilmu kedokteran dapat meningkatkan mutu manusia secara fisik (ilmu
bedah dapat membantu manusia menutupi cacat fisik yang ada pada dirinya) (medika,
1992: 59, murniyati, Rangkuman Agama buddha dan disiplin ilmu I dan II 2003)

D. Penyalahgunaan Narkoba dan Psikotropika


1. Pengertian Narkotika dan Psikoterapi
Narkotika adalah suatu zat atau bahan yang mempunyai efek kerja tertentu serta
menimbulkan gejala-gejala fisik dan psikis bagi pemakai dan lama- kelamaan akan
menimbulkan ketergantungan bagi pemakai kepada bahan narkotika tersebut sehingga
pemakai akan selalu membutuhkannya. Menurut UU No. 22 Tahun 1997 Pasal 1,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis ataupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Menurut UU No. 5 Tahun 1997 Pasal1, Psikoterapi adalah zat atau obat, baik alamaiah
atau sintesis bukan narkotika, yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku.
2. Penggolongan Narkotika dan Psikoterapi
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, ada tiga golongan berdasarkan
tinggi rendahnya potensi yang dapat menimbulkan ketergantungan, yaitu:
a. Narkotika golongan 1 yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
perkembangan ilmu pengetahuan, bukan untuk digunakan dalam terapi karena
potensinya sangat tinggi dan mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Opium
mentah, Opium masak, tanaman koka (Geneus Erythroxloncoca) dan ganja.
b. Narkotika golongan II yaitu narkotika yang digunakan untuk pengobatan, namun
merupakan pemilihan terakhir, bisa digunakan untuk terapi atau bertujuan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Diantaranya: Morfin (berasal dari tanaman papaversomiferum L,
morfin berupa serbuk putih yang bisa digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri
sepewri pada penderita kanker atau pada operasi), fentanil, egonina, petinida dan
berikut garam-garamnya.
c. Narkotika golongan III yaitu narkotika yang digunakan untuk pengobatan atau
terapidan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Kodein (sintesa dari morfin, namun
bersifat lebih ringan) Etil morfin, Dihidrokodlin dan berikut garam-garamnya.
Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1997 tentang psikoterapika, ada empat penggolongan
psikoterapika, yaitu:
a. Psikoterapi golongan I yaitu psiloterapi yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengatuhuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat kuat
mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Brolamfetamina, etisiklinida, etriptamina
dan katinona.
b. Psikoterapika golongan II yaitu Psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatakan ketergantungan. Diantaranya: Amfetamina, fenetilina,
rasemat, metamfetamina dan zipepprol.
c. Psikoterapika golongan III yaitu psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi sedang mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Amobarbital,
buprenorfina, butalbital dan katina.
d. Psikoterapi golongan IV yaitu psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Alprazolam, amfepramona,
aminorex, barbital dan etinamat.
Selain psikoterapika golongan I, II, III dan IV masih terdapat psikoterapika lainnya yang
tidak mempunyai potensi ketergantungan tetapi digolongankan sebagai obat keras. Oleh
karena itu pengaturan, pembinaan dan pengawasannya tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras.
3. Sebab terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika
Penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika yang terjadi sangat relative dan bermacam
alas an. Hal ini lebih banyak terjadi pada kalangan generasi muda. Saat ini banyak
pemakai dan pengedar narkotika dan psikoterapika yang mulai masuk kalangan pelajar
dan mahasiswa, bahkan dikalangan dasar. Padahal penggunaan narkotika dan
psikoterapika secara berlebihan dapat menyebabkan kemerosotan pada diri pemakai.
Generasi muda (remaja) yang masih dalam pertumbuhan dan perkembangan akan
merasa harmonis, gembira, produktif apabila semua kebutuhan tidak terpenuhi dengan
cukup maka generasi muda akan mengalami kekecewaan, tidak puas dan akan frustasi
yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan
demikian setiap tingkah laku remaja selalu berkaitan dengan tujuan yang hendak
dicapai.
Pemakai pengedar narkotika dan psikoterapika mempunyai beberapa alasan dalam
menggunakan atau mengedarkan narkotika dan psikoterapika. Kalangan pengedar
melakukannya dengan alasan adanya desakan perekonomian yang kurang baik dalam
keluarga, sehingga mereka menggunakan jalan mengendarkan narkotika dan
psikoterapika untuk memperoleh keuntungan yang lebih untuk menutupi kebutuhan
keluarga. Pegedar narkotika dan psikotropika termasuk mata pencaharian yang salah,
artinya pekerjaan mengedarkan narkotika dan psikotropika menyebabkan orang
mengkonsumsi barang yang dapat meracuni atau menyebabkan kerusakan jasmani dan
mental.
Buddha mengajarkan kepada para siswanya tentang adanya enam saluran untuk
penghamburan kekayaan yaitu: ketagihan akan minum-minuman keras, sering keluyuran
di jalan pada waktu yang tidak pantas, mengejar tempat-tempat hiburan, gemar berjudi,
mempunyai pergaulan yang tidak baik atau salah dalam memilih teman dan mempunyai
kebiasaan menganggur (D.III.180-193).
Dalam Pancasila Buddhis sila ke-tiga telah jelas disebutkan bahwa minum dan atau
makan minuman dan atau makanan yang dapat melemahkan kesadaran merupakan
tindakan yang harus dihindari.

4. Gejala-gejala pada korban narkotika dan psikoterapika


Gejala-gejala dini korban ketergantungan narkotika dan psikoterapika antara lain:
a. Adanya perubahan kebiasaan dan tingkah laku sehari-hari seperti kehilangan minat
bergaul, olah raga, mengendornya disiplin pribadi, suka menyendiri, mudah tersinggung
dan marah, suka berbuat curang dan tidak jujur sering menghindari dari perhatian,
orang banyak, selalu berhubungan dengan orang-orang itu saja.
b. Menurunnya prestasi di sekolah atau kantor
c. Disiplin kerja mulai luntur
d. Ditemukannya barang-barang atau alat-alat obat tertentu, seperti alat penghisap,
skuit injeksi, ipetetes, pipet plastic, alumunium foil, amplop-amplop atau bungkusan
yang berisi serbuk (DEPKES, 1996:6)

5. Akibat Dari Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika


Beberapa akibat dari penyalahgunaan narkotika dan psikotrapikadapat dilihat dari
beberapa aspek yaitu:
a. aspek jasmani dan mental meliputi kelainan pada otak, rasa panic, merubah pola
hidup individu dan menimbulkan ketidakstabilan emosi.
b. Aspek psikologis meliputi timbulnya halusinasi visual, denyut jantung yang bertambah
cepat, berbicara dan tertawa yang tidak terkontrol, hilangnya persepsi waktu, kesadaran
merubah seakan-akan mimpi, menurunnya fungsi paru-paru dan akan menyebabkan
kematian.
c. Aspek ketahanan dan keamanaqn meliputi banyaknya tindakan tindakan pencurian,
perampokan, kenakalan remaja, kebrutalan serta semua yang berkenaan dengan adanya
tindakan criminal.
d. Aspek sekolah dan keluarga meliputi banyaknya pergaulan yang kurang baik,
perkelahian atau tawuran pelajar, timbulnya pencurian dan kekerasan, kurangnya
keharmonisan dalam keluarga, putusnya hubungan dalam keluarga.
Berkenaan dengan akibat dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, sang Buddha
telash mengajarkan kepada siswanya tentang adanya enam akibat buruk darikegemaran
akan minum minuman keras yaitu: kehilangan harta dengan cepat, menambah adanya
pertengkaran, mudah terkena penyakit, memperoleh nama buruk, menunjukkan rasa
tidak kenal malu dan dapat melemahkan daya kecerdasan (D.iii.180-193)

6. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika


a. Pihak orang tua
1) Orang tua dan anggota keluarga sangat berperan dalam penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Peran orang tua atau keluarga dalam
memberikan pendidikan serta membimbing anggota keluarganya dengan, menciptakan
suasana nyaman dalam keluarga, komunikasi yang baik, penjelasan secara terinci
mengenai narkotika dan psikotropika. (DEKDIKNAS,1999:39-40)
b. Pihak instansi pendidikan
instansi pendidikan dapat menggunakan beberapa cara dalam menangani
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Upaya ini dapat dilakukan dengan
melakukan kerjasama dengan instansi terkait dengan narkotika dan psikotropika atau
penegak hukum. Membentuk atau memfungsikan kembali badan fundsional yang
menangani permasalahan kenakalan siswa. (DEPDIKNAS,2002:32-33).
c. Pihak kepolisian
Pihak kepolisian dalam menaggulangi penyalahgunaan obat obat terlarang
menggunakan berbagai cara antara lain:
1) Banyaknya kegiatan operasi atau razia dijalan-jalan, instansi pemerintah dan tempat
tempat pendidikan.
2) Mengadakan penyauluhan tentang bahaya dari penyalahgunaan narkotika dan
psikotrapika.
3) Mengadakan operasi pada hotel hotel, tempat tempat hiburan, seperti bar, club
malam, tempat tempat panti pijat dan tempat remang remang.
d. Pihak pemerintah
Berkenaan dengan penggunaan, pengedaran dan penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika maka pemerintah telah berupaya untuk mengatur dan menaggulangi
nasalah ini dengan mengeluarkan Undang Undang. Yaitu UU no.22 tahun 1997 tentang
narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Didalam UU ini terdapat
berbagai macamcara penyaluran, pemakaian, dan hukuman hukuman yang akan
diberikan baik pidana atau denda bagi mereka yang melanggar ketentuan yang ada.
Selain larangan larangan serta peraturan peratuaran pemerintah dan UU yang telah
ditetapkan ada beberapa cara penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika, seperti adanya tindakan preventif dan reprentif ( pencegahan dan
tindakan)
a. Tindakan preventif
merupakan upaya pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika, psikotropika, obat
keras dan minum minuman keras. Pencegahan ini melalui beberapajalur seperti jalur
pendidikan baik secara formal maupun non formal, jalur social.
b. Tindakan reprensif
tindakan yang dilakukan antara lain tindakan pemberantasan penyelundupan dan
mengkonsumsi serta perawatan dan rehabilitasi terhadap korban narkotika dan
psikotropika, mengadakan kerja sama dengan Negara Negara lain dalam pelaksanaan
pemberantasan narkotika dan psikotropika, mengadakan operasi operasi yang rutin.

7. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika Menurut Pandangan


Agama Buddha.
Penggunaan dan peredaran obat obatan terlarang memang sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup manusia. Sang Buddha menggolongkan obat obatan terlarang
kedalam bagian makanan atau minuman yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran
dan ketagihan. Didalam pancasila buddhis sudah dijelaskan bahwa umat Buddha
bertekad untuk menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan mabuk dan
ketagihan. Selain itu dalam sigalovada sutta sang buddhamenjelaskan bahwa kekerasan
tidak berdiri sendiri namun berkaitan dengan tindakan kejahatan lainnya.sang Buddha
menganjurkan siswanya untuk mematuhi lima sila, mengingat pelanggaran terhadap
satu sila juga akan menyebabkan pelanggaran sila lainnya, dan tindakan kekerasan
biasanya menyertai tindakan pelanggaran sila, pancasila buddhis yang harus dihindari
adalah tidak: “membunuh, mencuri, berzina, berdusta, makan minum yang
memabukkan” (D.iii.180-193).
Sang Buddha juga menyarankan siswa siswanya agar tidak bergaul dengan orang orang
dungu. Seperti yang dijelaskan sang Buddha dalam sutta nipata;
“tidak bergaul dengan si dungu, bergaul dengan orang yang bijaksana dan menghormati
itulah berkah termulia”. “menjauhi dan tidakmelakukan kejahatan, menghindari minum
minuman keras yang memabukkan dan mengakibatkan ketagihan, tekun mengamalkan
dharma itulah berkah yang mulia” (Sn.4)
sehubungan dengan moralitas atau perbuatan yang sesuai dengan sila, sang Buddha
memberikan nasihat kepada rahula yang juga merupakan nasihat sang Buddha bagi
umat Buddha dimanapun dan kapanpun berada:
“jika ada suatu perbuatan, rahula, yang ingin kamu lakukan, bayangkanlah demikian:
apakah perbuastan ini mengakibatkankerugian saya, maupun orang lain, atau keduanya?
Lalu adakah perbuatan buruk ini membawapenderitaan. Perbuatan semacam ini harus
kamu hindari”.
“ jika ada suatub perbuatan, rahula, yang hendak kamu lakukan, bayangkanlah
demikian: apakah perbuatan ini mengakibatkan kerugian saya maupun orang lain atau
keduanya? Lalu adakah perbuatan ini membawa kebahagiaan. Perbuatan semacam ini
harus kamu lakukan berulang ulang” (Sn.ii.11).
orang tua wajib memberi tahu anak terhadap perbuatan perbuatan tercela yang mesti
dihindari yang mungkin saja sering dilihatnya seperti pembunuhan, pencurian,
perzinaan, berdusta, dan makan minum yang menyebabkan memabukkan (D.iii.180-
193). Atau juga sesuatu yang tidak dibenarkan seperti merangsang hawa nafsu yang
menambah belenggu penderitaan, yang memupuk kekotoran batin, yang menimbulkan
ketidak puasan, yang membuat atau bersifat malas dan bermewahan (A.vi.23). orang tua
juga berkewajiban menanamkan nilai nilai buddhis kepada anak. Misalnya tahu tentang
tujuh hal yang membawa kemajuan dan kemuliaan yaitu memiliki keyakinan, malu
berbuat salah, takut hasil perbuatan salah, banyak mendengar dan belajar,
bersemangat, memiliki kesadaran dan memiliki kebijaksanaan (jo priastana, 2000:119-
121).
Dalam sigalovada sutta sang Buddha mengingatkan akan adanya enam jalan yang dapat
menghabiskan harta benda yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan
berkepanjangan. Keenam jalan tersebut adalah: Ketagihan minuman keras, sering
berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas, gemar berjudi, pergaulan yang tidak
dan kebiasaan bermalas-malasan (D.III.180-193) Buddha menjelaskan tentang adanya
enam akibat buruk dari kegemaran akan inum-minuman keras, yaitu: Kehilangan harta
dengan cepat, bertambah pertengkaran, mudah terkena penyakit, memperoleh nama
buruk, menunjukkan rasa tidak kenal malu dan dapat melemahkan daya kesadaran
(D.III.180-193)I

E. Rekayasa Genetika (cloning)


Kloning berasal dari bahasa Inggris Clone yang berarti proses pengembangbiakan
sekelompok mahkluk hidup yang berasal dari satu induk tanpa hubungan seksual.
Teknologi cloning juga berhubungan dengan teknologi trasgenitik yaitu penyisipan Gen
dari makluk yang sama sekali berbeda. Kelihatannya gagasan cloning bukan barang baru
dalam agama Buddha. Kloning yang dimaksud adalah produk tenaga batin (abbinna).
Kemampuan tenaga batin lain misalnya membuat diri tidak terlihat, menyalin rupa,
menciptakan harimau jadi-jadian, menembus tanah, berjalan diatas air, membaca
pikiran orang lain dan mengingat tumimbal lahir yang terdahulu (D. III. 281).
Kloning yang menjadi isu sekarang adalah suatu teknik membiakkan mahkluk baru
secara seksual atau tanpa pembuahan dengan memakai sel dewasa. Hasilnya berupa
sekelompok organisme yang satu sama lain secara genetic identik. Segi teori tumimbal
lahir, reproduksi semacam ini dimungkinkan terjadi. Apa yang disebut nyawa dalam
bahasa konvensional atau dalam terminology Buddhis adalah Patisandhi Gandhabba
dijagat raya ini tidak terhitung jumlahnya dan akan muncul menjadi mahkluk baru
dengan mendapatkan unsure jasmani yang tepat untuknya. Agama Buddha tidak
mengenal kekuatan luar yang menentukan nasib dan kelahiran seseorang., tetapi karma
masing-masing yang menentukan. Tentu saja ada karma perorangan dan ada karma
bersama. Unsur jasmani yang diperlukan oleh suatu makhluk baru berasal dari orang tua
atau induknya (dengan daya tarik dan pertalian karma yang sama). Kemampuan
membelah atau memperbanyak sel dan tumbuh berkembang tidak hanya dimiliki oleh
unsure seks, tetapi juga ditemukan pada unsure jasmani lainnya. Karena itu cara
kelahirannya tidak selalu harus melalui pembuahan.
Bila cloning manusia berhasil dilakukan, maka carapembuahan adalah tidak sesuai
dengan ajaran agama Buddha. Dimana dalam pelaksanaan prosesnya banyak terjadi
pembunuhan embrio yang sudah merupakan makhluk hidup baru dalam
Mahatanhasankaya Sutta; Embrio terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu:
1. Adanya pertemuan ayah dan ibu
2. Ibu dalam masa subur
3. Adanya makhluk yang siap lahir (M. I. 259)
Adanya manusia itu merupakan keturunan atau hasil perkawinan dari ayah dan ibu.
Kloning manusia dapat merusak tatanan lembaga perkawinan, karena tidak memerlukan
ayah dan ibu. Tanpa adanya perkawinan seseorang dapat memiliki anak, tidak peduli
orang itu pria atau wanita. Cinta kasih atau kasih saying ibu dan ayah akan tidak ada lagi
atau tatanan keluarga akan menjadi hilang. Disamping itu pasangan homo maupun
lesbian akan mendapat kebebasan sebab mereka dapat memiliki anak dari mereka
sendiri.
Ketika masih embrio bila dideteksi cacat maka mereka mudah diganti oleh embrio yang
baru, maka pembunuhan telah terjadi. Hal ini menunjukkan penyimpangan, merugikan
dan membahayakan manusia. Dengan demikian cloning manusia bertentangan dengan
ajaran agama Buddha, karena dalam proses pelaksanaanya memungkinkan terjadinya
suatu pembunuhan terhadap embrio (makhluk baru) dan hal ini akan bertentangan
dengan pancasila Buddhis yakni sila pertama.

F. Eutanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahas Yunani “EU” artinya normal atau baik dan
“thanatos” yang artinya mati secara baik dan mudah tanpa penderitaan. Jadi Euthanasia
adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang pasien yang tidak mempunyai harapan
hidup atau pasien yang mengalami penderitaan luar biasa dan tidak tertahan lagi.
Latar belakang timbulnya euthanasia yang bervariasi jenis usahanya yang biasa
bermacam-macam mengakibatkan euthanasia dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1. Voluntary Euthanasia (Euthanasia Sukarela)
Terjadi atas permintaansendiri pasien meminta kepada dokter untuk menghentikan
perawatan yang memperpanjang hidupnya tanpa adanya kemungkinan sembuh. Pada
kondisi itu pasien hanya bisa hidup dengan pertolongan alat-alat kehidupan muktahkir.
Jadi ketergantungan pasien pada alat tersebut, dengan kata lain jika alat tersebut
dilepaskan pasien akan meninggal.
2. Non Voluntary Euthanasia (Euthanasia diandaikan)
Merupakan kematianyang diusulkan, karena pasien tidak sadar. Disini individu
diandaikan akan memilih meninggal, jika ia dapat menyatakan keinginan.
3. Ivoluntary Euthanasia (Euthanasia dipaksakan)
Merupakan pembunuhan pada pasien sadar tidak diminta persetujuan terjadi atas
inisiatif sendiri yang memberikan suntikan dengan dosis mematikan tanpa permintaan
pasien.
Euthanasia yang diandaikan maupun dipaksakan tidak dapat dibenarkan dengan alas an-
alasan otonomi. Karena pada kondisi demikian pasien tidak dapat sama sekali
menggunakan otonominya sehingga harus diambil orang lain. Euthanasia versi pertama
ini terjadi apabila pasien masih sadar dan mengerti penjelasan dokter tentang keadaan
penyakitnya. Dokter menjelaskan dengan sejujurnya tentang keadaan penyakit pasien
serta keterbatasan dokter untuk menolongnya. Dokter harus mengaku dengan jujur
bahwa dia tidak mampu menyembuhkan penyakit sang pasien sehingga memperlama
perawatan. Sama saja meperpanjang penderitaan dan membengkaknya biaya
perawatan pasien.
Euthanasia versi kedua dan ketiga merupakan inisiatif dokter mungkin murni tetapi
kemungkinan juga inisiatif dari keluarga pasien. Umumnya dokter belum berani
mengambil inisiatif sendiri tanpa persetujuan keluarga pasien. Latar belakang dari
inisiatif dari keluarga pasien ini juga bisabermacam-macam, mungkin juga bisa karena
tidak tahan melihat pasien yang terlalu menderita sedangkan untuk kemungkinan
sembuhmenurut dokter sangat sulit dan juga menghindari membengkaknya biaya
perawatan.
Penjelasan di atas dikatakan bahwa euthanasia merupakan tindakan bunuh diri dengan
bantuan dokter untuk mengurangi penderitaan. Euthanasia biasa dibedakan menjadi
dua jenis yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif apabila dokter
memberikan pengobatan kepada seorang pasien tanpa persetujuan pasien maupun
keluarganya. Sedangkan euthanasia pasif adalah menhentikan perawatan yang tidak
beguna lagi untuk memperpanjang kehidupan pasien. Sahepaty (1989) mengemukakan
euthanasia pasif adalah tindakan dokter melepas pasien atau angkat tangan sehubungan
dengan ketidakmampuannya menyembuhkan jenis penyakit yang di derita pasien, dalam
keadaan demikian biasanya pasien di bawa pulang ke rumah dan meninggal dunia di
rumah.
1. Pelaksanaan Euthanasia
Tindakan euthanasia tidak selalu atas inisiatif dokter, tetapi juga oleh pasien dan
keluarga dekat, karena keadaan penyakit pasien yang benar-benar tidak bisssa
disembuhkan lagi serta hal itu hanya dapat diputuskan oleh dokter ahli penyakit yang
diderita pasien.
Boleh tidaknya seorang dokter tergantung pada melakukan atau membiarkan terjadinya
euthanasia tergantung pada hukum di Negara yang bersangkutan ddan tidak melihat
assal usul munculnya tindakan euthanasia tersebut. Contoh kasus euthanasia yang
dilakukan oleh seorang dokter wanita dari negeri Belanda pada tahun 1973. Dokter
wanita telah mengakhiri hidup ibunya yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut dokter itu di ajukan di pengadilan
dengan tuduhan melakukan pembunuhan. Di pengadilan tingkat renddah, dinyatakan
terbukti melakukan tindakan pembunuhan, akan tetapi ssang dokter tidak mau
menerima bahwa ia bersalah, karena tindakan tersebut semata-mata dilakukan karena
belas kasihan terhadap ibunya. Di pengadilan banding, wanita itu akhirnya dibebaskan.
Sejak adanya kasus dokter tersebut, berkembanglah pendapat pro dan kontra
euthanasia di Belanda. Akhirnya belakangan ini euthanasia bisa di terima di Belanda
dengan persyaratan yang cukup ketat, yaitu:
a. Pasien tidak bisa disembuhkan secara medis
b. Penderitaan fisik dan psikis tidak tertahankan lagi oleh pasien
c. Pasien harus membuat pernyataan tertulis bahwa ia lebih menyukai kematian
d. Saat kematian pasien memuat ketentuan medis sebenarnya sudah dalam proses
berlangsung (dibuktikan oleh dokter ahli).
Hukum pasif di saat ini yang berlaku di Indonesia pelaku euthanasia dapat terkenal
passal 338, 340 dan 359 KUHP yang menyatakan bahwa:
a. Mengakhiri kehidupan orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh-sungguh.
b. Membantu orang lain mengakhiri kehidupannya atau menyediakan sarananya.
c. Mendorong orang lain mengakhiri kehidupannya.

2. Euthanasia Dalam Pandangan Agama Buddha


Secara umum dan etika, euthanasia tidak diperbolehkan, begitu pula menurut ajaran
sang Buddha. Bagaimanapun penderitaan yang di alami pasien karena penyakitnya,
menginginkan euthanasia dan apapun alasannya tindakan seorang dokter untuk
melakukan euthanasia demi pasiennya tetap melanggar sila pertama pancasila Buddhis,
yaitu tekad untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup “manusia seharudnya tidak
menghancurkan kehidupan” (Sn. II. 400)
Agama Buddha ssangat menghargai kehidupan hal ini menyatakan dalam Karaniyametta
sutta “yang telah lahir ataupun yang dilahirkan harus kita kasihi dan kita bertekad untuk
menghindari segala bentuk pembunuhan”.
Tindakan untuk menghentikan rasa sakit dengan cara mempercepat datangnya kematian
itu adalah pembunuhan, maka tindakan mempercepat proses kematian dari seorang
pasien juga dapat dikatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan. Meletakkan segala
kekerasan, berhenti membunuh makhluk hidup apapun, berhenti menyebabkan orang
lain membunuh makhluk apapun, inilah arti dBrahmana (Sn. II. 9629). Buddha
mengatakan kematian tidaklah mengakhiri penderitaan, kematian justru merupakan
salah satu bentuk penderitaan, karena kematian akan berlanjut dengan kelahiran
kembali, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan apabila apabila
memenuhi lima syarat, yaitu:
b. Adanya makhluk hidup
c. Mengetahui bahwa makhluk itu hidup
d. Ada kehendak untuk melakukan pembunuhan
Pada dasarnya setiap orang yang akan meninggal selalu menginginkan suatu yang damai
dalam hatinya, oleh karena itu da beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seseorang
agar tidak menghadapi kematian dengan tenang, yaitu:
1. Melakukan perenungan terhadap kematian
2. Melepaskan kemelekatan
3. Meyakini hukum karma
4. Memiliki bekal karma baik (Mettadewi. 2001: 19-23)
Buddha mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih yang hendaknya kita pancarkan
kepada semua makhluk hidup demikian juga dengan pasien yang selalu menderita
karena penyakit yang di deritanya. Hendaknya juga harus dirawat dengan tindakan cinta
kasih dan diberikan suatu dorongan semangat sehingga dalam hatinya tidak akan
muncul suatu ketakutan “Perbuatan jasmani yang sesuai dhamma yaitu seseorang
meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, dengan membuang tongkat dan senapan,
lemah lembut dan penyayang ia hidup dengan cinta kasih terhadap semua makhluk” (M.
I. 41)
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
“Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh penyakit, terdiri dari tulang belulang, lemah
dan perlu banyak perawatan, keadaan tidak kekal serta tidak tetap” (Dhp. XI. 147).
Dalam agama Buddha tidak dianjurkan melekati badan jasmani karena pada hakekatnya
adalah tidak kekal, tidak menyenangkan dan tanpa inti yang kekal. Tetapi tubuh perlu
mendapatkan perawatan agar tidak mudah terserang penyakit. Ada enam penyebab
penyakit mudak muncul yaitu: 1) suatu ketidak seimbangan dari empat unsur-unsur (
tanah, air, api, dan gas), 2) kebiasaan yang berkenaan dengan aturan makan tidak
beraturan, 3) metoda meditasi yang salah, 4) minuman keras, 5) pemilikan setan, dan 6)
kekuatan dari karma yang tidak baik.
Kersehatan meliputi kesehatan jasmani dan mental. Jasmani memerlukan makanan
materi untuk menjaga kesehatan batin memerlukan makanan batin untuk menjaga
kesehatan mental atau jiwa.

B. Saran
Makalah Agama Buddha dan Ilmu Kesehatan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan
pada makalah selanjurtnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai