Anda di halaman 1dari 8

PERKEMBANGAN AGAMA TAO DI INDONESIA

 06 July, 2014
 Written by Ardian Zhang

PERKEMBANGAN AGAMA TAO

DI INDONESIA

Oleh : Ardian Cangianto[1]

ABSTRAK

Taoisme adalah agama yang lahir di Tiongkok dan memiliki perjalanan panjang dalam peradaban
serta kebudayaan Tionghoa. Pengaruh Taoisme merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Tionghoa
baik dari segi sebagai agama maupun filsafat kehidupannya. Taoisme sebagai lembaga keagamaan
terbentuk pada masa Zhang Daoling di masa dinasti Han Timur dan ini berarti Taoisme sebagai agama
sudah berumur 2000 tahun dan umur itu tidaklah pendek untuk memberikan pengaruh pada etnis
Tionghoa dan budayanya. .

Hampir tidak ada tulisan yang membahas perkembangan Taoisme di Indonesia padahal penyebaran
orang Tionghoa ke Nusantara tentunya membawa kepercayaan dan tradisi mereka. Jejak Taoisme
sebenarnya terasa, sebagai contoh adalah talisman atau yang disebut sebagai kertas “hu” 符 adalah
bentuk nyata yang sering kita lihat dalam kehidupan keseharian orang Tionghoa, perhitungan mengenai
“ciong” ( 冲 ) dan sembahyang kepada Taisui 太歲 adalah hal yang bisa dilihat dalam upacara yang
terkait pada tahun baru Imlek. Dewa-dewi yang ada di kelenteng juga banyak yang memiliki keterkaitan
dengan Taoisme, seperti misalnya Xuantian Shangdi, Taisui.

Berdasarkan pengamatan lapangan, terasa nuansa Taoisme di banyak kelenteng, ini menandakan
adanya kehadiran Taoisme yang seiring sejalan dengan kehadiran Tionghoa di Nusantara. Pada 17
Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan diri dan mengusung semangat keagamaan dalam dasar
negaranya kemudian dibentuklah departemen agama yang mendapat wewenang dalam pengurusan
kepercayaan masyarakat Indonesia dan adanya agama-agama yang diakui oleh negara. Akibat dari hal
itu, adanya pembatasan-pembatasan terhadap agama dan perlunya pengakuan negara agar keberadaannya
menjadi sah secara hukum legal formal.

Keywords : Taoism, kepercayaan, kelenteng, Tionghoa, tridharma, dewa.

Pendahuluan

Manusia memerlukan satu sisi yang “tidak terlihat” yang menjadi idea untuk menjadi landasan dalam
kehidupan mereka sehingga unsur kepercayaan pasti terbawa dalam cara mereka menapaki hidup di
tempat baru. Disanalah mereka menggenggam “idea” itu untuk menjadi cara bertahan dan menyesuaikan
dengan kondisi tempatnya yang baru. Sehingga ada perbedaan-perbedaan dengan tempat asalnya.
Perbedaan itu bisa disebabkan karena adanya interaksi dengan penduduk setempat di berbagai bidang,
adanya perlengkapan atau bahan-bahan yang tidak didapat di tempat mereka tinggal. Hal ini
menyebabkan adanya penyesuaian yang harus dimaklumi dan dihargai. Begitu pula kedatangan Tionghoa
di Nusanatara sudah berjalan sejak ribuan tahun lamanya memerlukan unsure yang tidak “terlihat” baik
budaya maupun kehidupan religiusitas mereka. Catatan terawal ada di “Buku Han Kemudian (後漢書 )
”[2] . Karena itu orang Tionghoa ke Nusantara membawa juga budaya, kepercayaan serta pengetahuan
mereka. Seperti pengetahuan pertukangan, pertanian bahkan yang menjadi unik adalah permainan
“jaelangkung” ( 菜籃神/ 菜籃公 ) dan kata “jaelangkung” menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia.
Permainan ini meluas di banyak kalangan, bahkan menjadi judul fim Indonesia. Dalam hal ini,
permainan “jelangkung” adalah permainan rakyat yang berasal dari kepercayaan purba orang Tionghoa
dalam melakukan komunikasi dengan para mahluk adikodrati. Fuji 扶乩 sebagai cikal bakal lahirnya
“jelangkung” adalah istilah yang dikenal dalam Taoisme, baik mainstream maupun Taoisme rakyat.
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa yang terkait dengan “spritualisme” juga ada interaksinya.

Seringkali para peneliti tentang keTionghoaan itu luput meneliti masalah kepercayaan Taoisme yang
menjadi salah satu pilar utama dalam kepercayaan Tionghoa, hal ini juga menyulitkan saya dalam
membuat tulisan sejarah Taoisme di Indonesia. Untuk memahami itu perlu mengkaji latar belakang
kepercayaan sub etnis orang Tionghoa yang datang ke Nusantara ini dan memilah-milah aliran-aliran
Taoisme yang mengikuti gelombang kedatangannya. Dan dari sisi lainnya, dengan melihat ragam ritual
yang dilakukan, penamaan tempat ibadah dan klasifikasinya serta dewata-dewatanya yang menjadi pusat
di tempat ibadah orang Tionghoa. Dengan cara seperti itu, memungkinkan merangkai sejarah Taoisme di
Indonesia dan perkembangannya sejak jaman Nusantara hingga Republik Indonesia. Gelombang-
gelombang yang dialami oleh orang Tionghoa juga tidak luput dari pasang surut tentunya memiliki
pengaruh juga pada kepercayaan mereka.

Semoga paper yang jauh dari sempurna ini bisa menjadi pemicu para peneliti untuk menggali Taoisme di
Indonesia dan memperkaya khazanah pengetahuan bagi masyarakat Indonesia khususnya.

Jalan Langit tiada perasaan

Abadi bersama manusia yang berkebajikan

天道無情常與善人

Daode Jing bab 79

KEPERCAYAAN SUKU TIONGHOA DI INDONESIA

Kepercayaan orang Tionghoa di Indonesia itu pada umumnya bersifat tiga agama 三教 yang melebur
ditambah dengan kepercayaan Wu 巫教, dibeberapa tempat bisa dilihat adanya interaksi atau peleburan
dengan kepercayaan setempat. Hal ini wajar karena dasar kepercayaan Tionghoa itu adalah :
polytheisme, penghormatan pada leluhur dan bersifat pragmatis[3]. Polytheismenya orang Tionghoa
bersifat terbuka dan tidak sempit hanya pada kesukuan saja atau terikat pada dogma-dogma agama. Jadi
tidak perlu aneh melihat adanya penghormatan pada Eyang Suryakencana di beberapa kota Jawa Barat
seperti : Bogor, Sukabumi, Cibinong. Datuk yang dihormati juga fenomena umum di Sumatra. Bahkan
ada beberapa orang Tionghoa mengangkat dewa yang non Tionghoa, misalnya Baron Skeder seorang
Spanyol yang ada di kelenteng Weleri, Jawa Tengah. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan orang
Tionghoa juga sudah lintas etnis.

Umumnya orang Tionghoa Indonesia berasal dari provinsi Fujian 福建 dan menjadi mayoritas diantara
orang Tionghoa itu sendiri, kemudian diikuti oleh sub suku lainnya seperti Hakka 客家, Tiociu 潮州,
Konghu 廣夫/粵, Hubei 湖北, Shandong 山東, Hainan 海南[4]. Mereka pada umumnya membawa
kepercayaan yang berasal dari kampung halaman mereka yang bersifat cult dan memiliki konsep
“membagi abu “ fenxiang 分香[5] dengan membawa abu dari kelenteng kampung halaman
mereka. Menurut Jean deBenardi, pendupaan selain merepresentasikan sebuah kontak dengan dewata
juga sebagai sebuah identitas kolektif[6]. Ini menjadi suatu bentuk “cult” pada dewata-dewata tertentu
juga adanya konsep kedaerahan dan marga sehingga ada beberapa kelenteng yang mengusung semangat
primodialisme dan clan[7]. Ini yang tampak dipermukaan, tapi jauh di dalamnya terasa nuansa Taoisme
yang amat kental selain pengaruh Buddhisme dan juga Ruisme dalam kepercayaan orang Tionghoa.

Orang Minnan sebagai mayoritas subetnis diantara orang Tionghoa memiliki keterkaitan sejarah yang
panjang dengan Taoisme. Pada masa periode tiga negara ( 三國時期 ) banyak daoshi yang ke daerah
Fujian untuk menghindari bencana, antara lain yang terkenal adalah Zuo Ci 左慈, Ge Xuan 葛玄, Jie Yan
介琰 dan lain-lain[8]. Aliran Taoisme yang memberikan pengaruh pada rakyat Minnan adalah :
Tianshidao 天師道, Waidan sect 外丹派, Maoshan sect 茅山宗, Neidan sect 內丹派, Shenxiao sect 神霄
派, Qingwei sect 清微派, Lingbao sect 靈寶派, Lvshan sect 閭山派, Wudang Xuanwu sect武當玄武派
[9]. Selain orang Minnan, juga orang Hakka yang banyak dipengaruhi oleh Taoisme terutama dalam
pengamatan saya beberapa kali berinteraksi adalah Taoisme sekte Maoshan. Penghormatan Yuhuang
Shangdi yang menjadi dewata utama di Taoisme juga ternyata menyebar di kalangan orang Minnan
dengan merayakan hari lahir Yuhuang Shangdi dengan sebutan Tian Gong / Thi Kong ( 天公 ) yang
dikaitkan dengan bencana peperangan yang mereka alami[10]. ZhengYong 鄭鏞 mengistilah dewata
Taoisme yang merakyat[11], walau Yuhuang Shangdi tidak dimasukkan kategori itu oleh Zheng Yong,
tapi dengan melihat betapa meluasnya penghormatan dan perayaan Yuhuang Shangdi di kalangan orang
Tionghoa terutama mereka yang ke kelenteng, maka saya bisa mengatakan bahwa Yuhuang Shangdi
yang asal muasalnya adalah dewata utama Taoisme sudah merakyat dalam artian penyebarannya sudah
melampaui batasan-batasan Taoisme itu sendiri.

Sering berjalannya dengan waktu dan tekanan politik pada masa Orba, agama-agama orang Tionghoa
menghadapi masalah besar terutama pada kepercayaan yang tidak diakui oleh negara[12]. Inpres
14/1967[13] merupakan pukulan keras terhadap kepercayaan dan tradisi Tionghoa sehingga selama 30
tahun lebih menghadapi hambatan dan represi. Taoisme juga tidak luput dari hal itu dan menghambat
perkembangannya di Indonesia.

Yang perlu ditekankan di sini, orang Tionghoa pada umumnya tidak menggunakan agama sebagai
identitas utama, karena itu mereka bisa terlihat lebih secular dan toleran terhadap agama lain. Yang
menyolok di Indonesia adalah mayoritas tempat ibadah agama Tionghoa merangkul ke semua unsur
agama yang pada umumnya selama ribuan tahun dianut oleh mereka, yaitu tridharma 三教[14]. Sehingga
sudah selayaknya dan sewajibnya kaum agamawan dari tiga agama itu mengajarkan secara berimbang
dan menjadikan tiga agama itu sebagai landasan kehidupan orang Tionghoa. Dan yang perlu dingat lagi
selain hal di atas adalah agama-agama rakyat 民間信仰 yang tidak terikat pada organisasi keagamaan
apapun secara institusional. Mayoritas kepercayaan orang Tionghoa bersifat kerakyatan dan cult, ini yang
perlu juga dihargai dan dilindungi.

JEJAK TAOISME DI INDONESIA

Tidak ada catatan resmi kapan Taoisme masuk ke Nusantara, selain hanya diperkirakan masuk seiring
dengan kedatangan orang Tionghoa. Bangunan-bangunan kelenteng dan dewa-dewa utama bisa
menunjukkan pengaruh Taoisme, seperti penggunaan istilah ‘gong/ kiong 宮’, dewata utamanya seperti
Xuantian Shangdi 玄天上帝, Tianshang Shengmu 天上聖母 dan lain-lain.

Jejak-jejak keberadaannya terasa terutama dari aliran Zhengyi sekte Maoshan 茅山 dan Lvshan 閭山,
Liuren 六壬. Penyebarannya di berbagai penjuru Nusantara[15], dan juga dikunjungi oleh daoshi dari
luar negri, antara lain :

- Jakarta, di Jakarta istilah saikong ( sigong 司公) melenyap seiring dengan berjalannya dengan
waktu, tapi kemudian bangkit lagi dengan kedatangan para pendatang dari luar pulau Jawa. Umumnya
mereka beraliran Maoshan atau Lvshan. Kelenteng Jiulidong 九鯉洞memiliki perlengkapan untuk fuji 扶
乩 dan pernah mengundang para daoshi aliran Quanzhen dari Singapore untuk melakukan upacara
ritual[16]. Dalam suatu kesempatan di satu kelenteng Jakarta, penulis menemukan satu tablet ( 神位 )
yang diperuntukkan Wang Chongyang 王重陽 tapi sayangnya dicat ulang dengan tulisan lain, walau
demikian jika diperhatikan, masih tetap terbaca tulisan guru sesepuh Wang Chongyang.

- Kota Bogor, di jalan Mantarena, ada aula Sanqing 三清殿yang didirikan oleh almarhum Huang
Nanxing 黃南星 seorang taoist dari aliran Maoshan[17] dan setiap tahunnya merayakan hari kebesaran
Taishang Laojun pada tanggal 15 bulan 2 penanggalan Imlek.

- Kota Bandung, ada kelompok aliran Liuren 六壬派, selain itu aliran Maoshan 茅山 ada
kelentengnya di jalan Lengkong. Menurut bapak Andreas Santoso, dulu di Bandung ada saikong ( sigong
司公 )

- Tegal, sekarang ini Chen Liwei daozhang 陳理為道長, daoshi dari aliran Quanzhen yang
melayani umat dan berafiliasi dengan kelenteng Tekhai Kiong 澤海宮. Obyek penghormatannya adalah
Zehai zhenren 澤海真人 dan menurut kepercayaan masyarakat, gelar zhenren diberikan oleh kaisar
Qianlong ( 1711-1799 ).
- Medan, nuansa Taoisme aliran Zhengyi terasa amat kental di Medan terutama adanya saikong dan
banyak orang Tionghoa di Medan meminta tolong pada mereka. Bahkan para daoshi aliran Zhengyi di
Singapore, antara lain Li Luoming daozhang 李羅明道長 sering ke Medan, Batam , Jakarta. Khusus
Sumatra, seperti kota Palembang yang pernah dikunjungi, banyak yang beraliran Maoshan(茅山) dan
Lvshan( 閭山) di sana.

- Sulawesi, terutama Gorontalo dan Menado, mayoritas dari mereka beraliran Lvshan dan ada
beberapa dari aliran Maoshan. Salah satu yang terkenal dari Menado adalah para medium (乩童) yang
melakukan upacara pengobatan dan pelayanan umat di kelenteng Nezha miao 哪吒廟, Jakarta. Salah satu
tokohnya adalah bapak Eddy Loho.

- Surabaya ada kelenteng dengan nama yang agak unik yaitu Beiji miao / Pakik Bio ( 北極廟
) dewa utamanya adalah Xuantian Shangdi 玄天上帝. Kelenteng itu dibangun pada tahun
1951[18]. Yang menarik dari kelenteng itu adalah perlengkapan untuk inspeksi, ada tulisan Wudang
jinxiang 武當進香[19]. Sayangnya tidak memiliki waktu untuk bertanya dan tidak sempat memfotonya.
Disini menunjukkan adanya kemungkinan kelenteng tersebut memiliki kaitan dengan gunung Wudang 武
當, memiliki nuansa Taoisme yang amat kental. Selain itu ada daoshi ( 道士 ) dari aliran Quanzhen (全
真)dengan nama Taoist Wu Maofu 吳懋福 道長yang melayani umat Tao.

- Solo, kelenteng Baoan gong ( 保安宮 ) memiliki jejak adanya medium dengan karakteristik aliran
Lvshan, dengan adanya cambuk dharma 法索, jarum lima tangsi 五營針[20].

- Cirebon, kelenteng Chaojue si ( 朝覺寺 ) awal muasalnya adalah dari satu kelenteng kecil yang
berada di belakang aula utama sekarang ini. Fokus penghormatan pada aula kecil yang berada di
belakang sekarang ini adalah Xuantian Shangdi ( 玄天上帝) dan ada pedang pusaka (寶劍 ) yang
digunakan oleh medium beserta tambur dan simbal.

- Kalimantan, selain terkenal dengan tatung ( medium ) juga dikenal para saikong yang beraliran
Maoshan. Dari pengalaman mengunjungi Singkawang, ada foto yang sangat tua, dalam foto itu ada
seorang daoshi yang sedang duduk.

- Kelenteng Gi Hap bio Palembang ada altar untuk jendral 5 tangsi lengkap dengan jarumnya.

- Semarang, pada tahun 2006, Li Zhiwang daozhang 李至旺道長 dari Singapore datang ke
Semarang untuk berbagi pengetahuan tentang Taoisme yang berkesinambungan hingga sekarang. Tan
Enghing, seorang daoshi dari sekte Qingwei, tahun 2012 datang ke Semarang untuk berdiskusi tentang
medium.

Masih banyak lagi jejak keberadaan Taoisme di Indonesia jika mau diteliti lebih mendalam semua tempat
ibadah agama Tionghoa. Misalnya tokoh yang terkenal di pulau Jawa adalah Tan Tiksiu 陳德修 ( 1884-
1929 ) yang kemudian oleh banyak orang digelari xian 仙. Banyak orang yang memasang foto beliau
yang mengenakan jubah Dao 道袍 yang berwarna gelap dengan gambar bagua 八卦圖. Selain yang
bersifat fisik yang ada di kelenteng, pada tahun 1937 Daodejing 道德經 dalam bahasa Melayu
diterbitkan oleh Bockhandel Tan Khoen Swie, Kediri. Selain itu penulis pernah melihat penjabaran kitab
Taishanglaojun changjingjing 太上老君常說清靜經 dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan ingatan,
buku itu terbit di tahun 1960an. Buku “Ilmoe Gaib” yang diterbitkan oleh N.V Handel Mij & Drukkerij
tahun 1924[21]. Taoisme yang diluar dari kelompok orthodox atau mainstream juga ada di Indonesia,
seperti misalnya Yiguan Dao ( 一貫道 ), De Jiao (德教), Sanyi jiao (三一教), Taishang men (太
上門),Xinsheng Fojiao (新生佛教)[22].

Banyak kelenteng juga yang tanpa disadari melakukan upacara Taoisme, selain upacara ulang tahun
Yuhuang Shangdi, upacara lainnya adalah upacara kepada Taisui 太歲, baik dalam bentuk perlindungan
maupun ucapan terimakasih, entah karena factor chiong / ciong 冲 . Ada beberapa vihara-vihara terutama
yang berafiliasi pada Buddhisme Mahayana Tiongkok, sebagai contoh adalah vihara Vajrabodhi, Bogor
yang melakukan upacara Lidou 禮斗[23] maupun agama-agama rakyat seperti zhai an 齋庵 yang
umumnya adalah para caici 齋姐[24]. Hal ini tidak perlu dipertentangkan tapi harus dilihat sebagai
pengaruh Taoisme dan adanya interaksi yang harmonis dalam kepercayaan yang dianut oleh orang
Tionghoa.

TAOISME PASCA ORDE BARU

Selain perlunya pengakuan negara terhadap agama, kita perlu melihat bahwa Taoisme sendiri dapat
dibagi dua golongan besar, yaitu Taoisme rakyat 民間道教[25] dan Taoisme Orthodox 正統道教. Jean
deBenardi menggunakan istilah “Chinese popular religion” dalam sub judul buku “The Way That Living
in Harmony”, bisa saja demikian karena yang disebut Taoisme rakyat juga pada intinya sudah terjadi
peleburan diffused religion (混合宗教). Dengan melihat penggolongan ini, kita bisa membagi dua
bagian besar dahulu Taoisme di Indonesia. Secara umum, kepercayaan orang Tionghoa itu bersifat
pragmatis dan sarat symbol-simbol pemenuhan kehidupan mereka. Misalnya benda-benda yang
digunakan untuk persembahan itu sering dikaitkan dengan pengharapan mereka. Yang umum bersifat
homophone , contohnya adalah buah apel yang dilambangkan sebagai pengharapan akan keselamatan 平
安, buah srikaya agar menjadi kaya raya, buah pepaya tidak boleh untuk persembahan karena
mengandung kata “paya” yang berarti payah. Ini juga menjadi masalah bagi Taoisme dan umat Taoisme
itu, selain masalah pengakuan negara.

Permasalahan hidup yang diisi dengan pragmatism spiritual juga akan mempengaruhi pola pikir yang
akan selalu pragmatis, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kebajikan, kebijakan, pengertian-
pengertian akan hidup itu akhirnya diisi oleh Buddhisme dan Ruisme. Kitab penuntun moralitas Taoisme
seperti Taishang Ganying pian 太上感應篇 jarang terlihat apalagi kitab-kitab lainnya. Jika ada juga
banyak yang lebih membahas masalah ilmu-ilmu yang terkait dengan Taoisme atau cenderung membawa
kearah kesaktian dan pola pikir seperti ini menurut saya mendegradasi nilai-nilai Taoisme. Kelenteng-
kelenteng yang mengusung kata Tridharma juga jarang membahas Taoisme terutama ajaran-ajaran
Taoisme dari sudut kitab-kitab Taoisme. Pada umumnya agama Taoisme yang ada di Indonesia ini
adalah agama Taoisme rakyat, sehingga dasar konsep pengajarannya juga berdasarkan konsep
keagamaan rakyat yang lebih ke arah pragmatism baik untuk kebutuhan fisik maupun spiritual. Yang
menarik adalah buku karya bhiksu Jingkong 淨空法師 yang menjabarkan Taishang ganying pian 太上感
應篇 pernah dilihat oleh penulis, dengan cara begitu bhiksu Jingkong secara tidak langsung juga
menyebarkan ajaran Taoisme.

Sejak kejatuhan Orde Baru dan dicabutnya Inpres 14/1967 oleh almarhum Abdulrahman Wahid saat
menjabat sebagai presiden membawa angin segar bagi budaya Tionghoa dan juga Taoisme. Sejak itu
banyak sekali daoshi dari luar negri yang datang ke Indonesia untuk mengembangkan Taoisme di
Indonesia. Sayangnya buku-buku Taoisme sebagai agama tidak banyak beredar di masyarakat, hal ini
karena disebabkan pada umumnya buku-buku tersebut beraksara Tionghoa. Momentum ini sebaiknya
dimanfaatkan karena Taoisme baik sebagai agama maupun filsafat mengandung unsur-unsur kebajikan
dan memiliki nilai-nilai positif bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia. Sekarang
ini semakin banyak buku-buku “Daode Jing” dalam bahasa Indonesia, selain itu adalah buku karya
Zhuang Zi, Lie Zi. Minat masyarakat Indonesia terhadap filsafat Taoisme juga semakin tinggi.
Perkumpulan Theosofi Bandung adalah salah satu kelompok yang mempelajari filsafat Taoisme.

Yang patut disayangkan adalah adanya gesekan-gesekan di antara masyarakat penganut kepercayaan
Tionghoa. Dalam jangka panjang akan merugikan semua umat termasuk umat Taoisme sendiri dan
berujung mengganggu keharmonisan dalam hidup di masyarakat. Taoisme sendiri mengajarkan
“harmonis”和諧, “sifat menerima” 包容, “kebajikan” 德 , “ non intensi “ 無為, sehingga selayaknya
sebagai umat Taoisme menjunjung ajaran-ajaran Taoisme dengan menjaga keharmonisan dan sikap
menghormati yang lain. Dengan demikian kemungkinan gesekan itu semakin kecil dan menuju
keharmonisan sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

KESIMPULAN

Perkembangan Taoisme di Indonesia melalui proses jalan yang panjang hanya saja karena adanya
keterputusan pengajaran, baik karena factor politik, geografis sehingga terasa melambat. Walau demikian
pengaruh Taoisme tetap memasuki sendi-sendi kepercayaan di komunitas Tionghoa maupun non
Tionghoa. Taoisme sebagai agama yang mengutamakan De 德 ( kebajikan yang berkekuatan ) pastinya
bisa memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dunia. Tapi perlu diingat bahwa Indonesia juga
memiliki kekhasan tersendiri yang mana kekhasan itu mempengaruhi juga orang Tionghoa di Indonesia.
Sehingga perlu kearifan para daoshi di dunia untuk memahami kekhasan itu dan mengembangkan
Taoisme yang juga memiliki sendi kekhasan Indonesia itu.

Dengan adanya percepatan informasi dan transportasi, sekarang ini untuk mempelajari Taoisme
menjadi lebih mudah. Untuk mengisi kekosongan pengetahuan, perlu dihadirkan para daoshi yang
berpengetahuan luas, baik dari sekte Zhengyi maupun Quanzhen untuk membabarkan ajaran Taoisme
kepada masyarakat Indonesia. Selama ratusan tahun, orang Tionghoa di Indonesia tidak
mempertentangkan agama-agama yang dianut oleh mayoritas orang Tionghoa, yang dikenal dengan
sebutan tridharma, sehingga sikap ini perlu dihargai sebagai landasan keharmonisan dalam
bermasyarakat. Jika di Indonesia, kearifan luhurnya dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”, maka orang Tionghoa juga memiliki kearifan yang luhur dan sejiwa dengan “Bhinneka Tunggal
Ika”, yaitu “harmonis walau tidak sama” ( 和而不同 ).
Daftar pustaka :

Chen Zhiping 陳支平, Agama Minnan (閩南宗教 ),2007, Fuzhou 福州: Fujian People’s Publisher 福建
人民出版社

deBenardi, Jean, The way that lives in the heart : Chinese popular religion and spirit medium in Penang,
2006, Stanford : Stanford University Press

Zheng Yong鄭鏞 , Mencari Dewata Rakyat Minan ( 閩南民間諸神探尋), 2009, Zhengzhou 鄭州 :


Hunan People’s Publisher 湖南人民出版社.

Anda mungkin juga menyukai