Anda di halaman 1dari 27

PERANAN PENGEMBARA ASING DAN PERANANNYA DALAM

HISTORIOGRAFI ISLAM NUSANTARA

MAKALAH
DISKUSI KELOMPOK
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Diskusi Kelompok
Mata Kuliah: Sejarah Islam di Indonesia
Pembimbing: - Dr. Suparman, M.Ag.
- Roni E. Nurkiman, M.Ag.

Disusun Oleh : Kelompok 02


1. Ferry Achmad Hidayat ( 1195010046 )
2. Irfan Izzatur Rahman ( 1195010064 )
3. Isfa Siti Rohimah ( 1195010066 )
4. Luqman Malik Ibrahim ( 1195010079 )
5. Melan Herlina ( 1195010082 )

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas Peranan Pengembara Asing dan Peranannya
Dalam Histiografi Islam Nusantara. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun
banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari
berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Peranan
Pengembara Asing dan Peranannya Dalam Histiografi Islam Nusantara. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Oktober 2020

Tim Kelompok 02

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB 1......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah.......................................................................................1

BAB 2......................................................................................................................2

2.1 Historiografi Islam Indonesia.................................................................2

2.1.1 Corak Histiografi Nasional Indonesia............................................3

2.1.2 Corak Awal Histiografi Islam di Indonesia...................................7

2.2 Peranan Pengembara Asing dalam Historiografi Islam Indonesia. .12

2.2.1 Kedatangan Cheng Ho di Jawa....................................................14

2.2.2 Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong di Semarang................15

2.2.3 Kedatngan Cheng Ho di Semarang..............................................16

2.2.4 Perkembangan Islam Hanafi di Pulau Jawa...............................17

2.2.5 Sino-Javanese Muslim Culture.....................................................19

BAB 3....................................................................................................................21

3.1 Simpulan.................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penulisan historiografi Islam di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami perkembangan yang pesat. Bermunculan para pakar keilmuan
yang ahli dalm bidang sejarah sebut saja, Mukti Ali, Nourrouzaman Sidqi,
Badri Yatim, Syafi’i Ma’arif, Azumardi Azra, Oman Fathurrahman, dan
sebagainya.
Meneliti kajian penulisan sejarah Islam dalam literatur Historiografi
berarti membaca samudera pemikiran para pakar sejarah. Usaha seperti ini
akan menghadapi kemungkinan terjadinya bias pemahaman (biased
Understanding) apabila pendekatan yang digunakan kurang tepat. Dalam
karya ini, penulis menggunakan pendekatan biografis yang berusaha meneliti
pandangan dan gaya penulisan para pakar sejarah sehingga dapat diungkap
pemikiran serta pandangannya terhadap historiografi Islam Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini, adalah :

1) Bagaimana Corak Historiografi Islam Indonesia ?


2) Bagaimana Peranan Pengembara Asing dalam Historigrafi Islam
Indonesia?
1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah :

1) Mahasiswa dapat mengetahui Corak Historiografi Islam Indonesia


2) 2) Mahasiswa dapat mengetahui Peranan Pengembara Asing dalam
Historiografi Islam Indonesia

1
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Historiografi Islam Indonesia

Historiografi Islam adalah penulisan sejarah Islam yang sebagian


ditulis dalam bahasa Arab. Dengan tujuan untuk menunjukkan perkembangan
konsep sejarah baik dalam pemikiran maupun dalam pendekatan ilmiah yang
dilakukan disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan dan
kemunduran bentuk-bentuk sikap yang dipergunakan dalam pengujian bahan-
bahan sejarah.

Tinjaun lain dari historiografi adalah mengetahui ciri-ciri, identitas


serta kekhasan dari penulisan sejarah dalam setiap periodenya. Hal tersebut
bertujuan mengetahui sejauh mana latar sosial menyokong kelahiran dari
suatu penulisan sejarah. Masa ketika Nusantara dikuasai kerajaan besar
misalnya, maka penulisan sejarah akan lebih banyak menyoroti keagungan
raja yang sepintas membentuk persepsi bahwa raja-raja selalu mendapatkan
kejayaan dalam setiap kepemimpinannya, dan menyedikitkan informasi
mengenai kelemahan dan kegagalan raja. Uraian tersebut lazim disebut
dengan istilah istana sentris. Ini merupakan salah satu ciri khas yang
mencolok dari historiografi tradisional.

Historiografi pada hakekeatnya merupakan tepresentasi dari kesadaran


sejarawan dalam zamanya dan lingkungan kebudayaan di tempat sejarawan
itu hidup. Pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah yang dituangkan
didalam tulisannya akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan
kebudayaan dimana sejarawam itu hidup. Dengan kata lain, pandangan
sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya.

2
2.1.1 Corak Histiografi Nasional Indonesia
Perkembangan historiografi Indonesia memiliki beberapa corak yang
mendominasi, di antaranya adalah historiografi tradisional, historiografi
kolonial, historiografi nasional dan historiografi modern atau kontemporer.
[ CITATION Har95 \p 104 \l 1057 ]
Historiografi tradisional mendominasi perkembangan penulisan
sejarah. Sebagai wujud dari kesadaran historis terhadap bangsanya, corak
historiografi tradisional muncul sebelum adanya kesadaran nasional. Corak ini
mendominasi pada penulisan babad, lontara, hikayat, tambo, silsilah dan yang
lainnya.
Historiografi tradisional mempunyai nilai sejarah yang berbeda-beda
karena tercampur unsur mite dalam sejarah dan mengandung banyak
anakronisme sehingga antara "Dichtung dan Whrheitnya" perlu dipilahkan.
[ CITATION Kun99 \p 128 \t \l 1057 ]
Di samping itu, historiografi tradisional memiliki orientasi yang
bersifat etnis kulturalsekaligus bersifat simbolik. Artinya, di belakang apa
yang dikatakan secara terbuka, terletak makna yang sesungguhnya ataupun
pesan kultural yang ingin disampaikan. Suatu peristiwa tertentu yang kadang-
kadang bersifat ajaib kemungkinannya mengatakan sesuatu yang bersifat
historis. Jadi, historiografi tradisional sering berfungsi sebagi aktualisasi
pandangan hidup. Historiografi tradisional sering cenderung mengaburkan
dua macam realitas sejarah, yakni realitas obyektif yang terjadi dan realitas
yang berupa penghayatan kultural kolektif. Sebagian besar historiografi ini
memuat tindakan yang dilakukan bukan oleh manusia melainkan oleh dewa-
dewa. Pada umumnya historiografi ini mencari keterangan tentang sesuatu
pada hal-hal yang di luar sejarah, sebab dan akibat tidak terletak pada
rangkaian peristiwa. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa atau kejadian yang

3
selalu berpusat pada kekuatan gaib atau mitos diluar diri manusia yang
digambarkan begitu menonjol. Dengan kata lain, peristiwa pada manusia
ditentukan oleh kekuatan gaib bukan ditentukan oleh aksi atau motivasi dari
manusia itu sendiri.
Hal lain yang menonjol dalam historiografi tradisional adalah bahwa
semua peristiwa berkisar sekitar kerajaan dengan raja sebagai pusatnya,
sedangkan apa yang terjadi diluar itu jarang disinggung, misalnya hikayat
Pasai dan hikayat Perang Sabil. Hikayat Aceh menarik karena terdapat
beberapa cerita yang terpengaruh Hindu namun mendapat sisipan Islam.
Seperti dikisahkan dalam Hikayat tersebut bahwa raja suatu malam
pernah bermimpi dengan Nabi Muhammad SAW yang mengajarinya
melafalkan kalimat Syahadat. Adapun dari segi isinya, dapat dibagi menjadi
dua bagian . Pertama, berisi anjuran untuk berperang sabil dengan
menunjukkan pahala, keuntungan, dan kebahagiaan yang akan diraih. Kedua,
berisi berita mengenai tokoh atau keadaan peperangan di suatu tempat yang
patut disampaikan kepada masyarakat untuk mendorong semangat orang-
orang musliminyang sedang berjihad. Sebagaimana yang pernah diungkapkan
oleh Taufik Abdullah, Hikayat Aceh dan sejarah Melayu termasuk
historiografi tradisional yang terkenal di dunia Islam Melayu, karena kisahnya
yang banyak mengandung unsur Islam.
Menurut Taufik Abdullah, bahwa historiografi yang dihasilkan
masyarakat merupakan ekspresi kultural masyarakat yang menghasilkan
sejarah. Pantulan tersebut terlihat dalam historiografi tradisional yang dapat
dipakai sebagai alat untuk memahami pola kesejarahan masyarakat
penganutnya.23 Walaupun kesadaran historisitas kita menunjukkan perbedaan
yang besar antara corak historiografi tradisional seperti babad, hikayat, tambo
dan lainnya dengan corak historiografi modern, namun tidak dapat begitu saja
dikatakan bahwa historiografi tradisional bertentangan dengan historiografi
modern. Beberapa hal penting yang memang membedakan kedua jenis

4
historiografi ini, misalnya pada corak penulisan dan metodologinya.
Kepastian historisitas adalah ukuran yang utama bagi penulisan sejarah
modern.
Dalam historiografi tradisional unsur mitos begitu mendominasi dalam
penulisan,karena dalam mitos tidak ada unsur waktu dan juga kronologi, tidak
ada awal maupun akhir, dengan penulisan kisah manusia yang religius magis.
Corak tradisional pada penulisan sejarah Wali Songo di Jawa yang
digambarkan mempunyai kekuatan gaib (kesaktian diluar diri manusia) tidak
menekankan pada fakta tentang penyebaran agama Islam ditanah Jawa. Dalam
sejarah Melayu juga terdapat kecenderungan penyusunan sejarah dengan
muatan mitos dan fakta yang disamarkan. Selain muatan mitologis,
historiografi tradisional mempunyai fungsi sosial psikologis, sehinggga
terdapat kohesi dalam masyarakat antara lain dengan memperkuat kedudukan
dinasti sebagai kekuatan pusat atau sering disebut rajasentrisme. Kronologi
dalam historiografi tradisional yang lebih muda usianya merupakan benih
sejarah yang terpusat pada tindakan manusia.
Dalam hal ini sudah mulai tampak hal-hal yang esensial bagi cerita
sejarah, yakni adanya batasan waktu dan urutan kejadian. Meskipun pada
masa-masa terakhir perkembangannya historiografi tradisional semakin jelas
menunjukkan historitas serta periodesasi, namun jenis historiografi ini tidak
dapatberkembang sebagaimana di dunia Barat. Historiografi ini juga memuat
campuran antara unsur mitologis, eskhatologis, dan kronologis. Dengan
demikian, kredebilitas atau kadar kepercayaan yang bisa diperoleh dari corak
historiografi tradisional lebih ditentukan oleh penghayatan kultural si
pembaca.
Pada awal abad ke enam belas, bangsa Barat mulai menguasai wilayah
Indonesia. Hal itu menyebabkan akulturasi antar budaya yang telah ada
dengan kebudayaan bangsa Barat. Akulturasi yang terjadi secara langsung
membawa dampak pada penulisan Sejarah Indonesia. Persoalanpersoalan

5
yang ditulis dalam historiografi tradisional yang sebagian besar berkisar pada
lingkungan kerajaan, maka pada abad tersebut mengalami pergeseran kearah
persoalan kekuasaan atau lebih pada persoalan hubungan, akibat hubungan,
atau tentang kekuasaan bangsa Barat itu sendiri.[ CITATION Sidta \p 64 \l
1057 ]
Penulisan sejarah pada abad ini sering disebut sebagai historiografi
kolonial. Fokus penulisan lebih ditekankan pada peranan bangsa Belanda di
tanah seberang. Peranan bangsa Belanda pada historiografi kolonial memberi
tekanan pada aspek politik, ekonomi, dan institusional. Aspek politik dapat
dilihat misalnya, pada penulisan para penjajah (Belanda) yang lebih
mengedepankan aspek politis dengan menjadikan para pejuang
Indonesiasebagai pemberontak atau aksi militer, bahkan perusuh. Corak
historiografi kolonial yang pengkisahannya tentang peristiwa politik dan
militer sekitar VOC dan pemerintahan kolonial yang sudah tidak lagi
menonjolkan peranan bangsa Indonesia.
Aspek politik lain dalam historiografi kolonial dapat dilihat pada
penulisan babad Giyanti yang menceritakan perebutan kekuasaan yang
menyebabkan tanah Jawa dibagi menjadi dua bagian, yakni masing-masing
dibawah kekuasaan Susuhunan dan Sultan. Selain aspek politis dapat kita
telusuri juga dalam cerita Babad Tanah Jawi yang lebih mengedepankan
dongeng atau akulturasi dan sinkretisme, Islam dan Hindu. Misalnya kisah
tentang pelayaran orang Belanda oleh orang Belanda sendiri. Ciri lain dari
historiografi kolonial adalah rakyat tidak mendapat peran yang layak;
rajasentris yang mengedepankan peran kerajaan dengan pendiri tokoh
Belanda; terlihat dramatis, tokoh Indonesia berperan sebagai figuran atau
pelengkap dari kisah-kisah yang ditulis dalam historiografi kolonial.
Lain halnya dengan penulisan sejarah yang bercorak tradisional, yang
banyak mengandung unsur mitos, namun pada corakhistoriografi kolonial
unsur mitos sudah mulai berkurang. Walaupun corak historiografi kolonial ini

6
sangat mendominasi selama masa penjajahan Belanda. Namun, menurut
Mohammad Ali, "bahwa penulisan sejarah Indonesia yang dihasilkan oleh
orang Belanda lebih tepat disebut sebagai sejarah bangsa Belanda di Indonesia
".
Historiografi kolonial menggugah kesadaran sejarah bangsa Indonesia
sebelum masa kemerdekaan. Hal ini memberi dampak pada corak penulisan
sejarah Indonsia yang sebelumnya lebih berpihak ke Barat (kolonialisme),
maka pada masa berikutnya menjadi lebih berwawasan nasional.
Pengingkaran-pengingkaran yang menjiwai historiografi kolonial
menimbulkan rangsangan untuk membangkitkan kesadaran sejarah sebagai
resonansi kesadaran kehidupan politik di satu pihak, dan pada pihak lain
sebagai ekspresi aspirasi nasional untuk menemukan kembali identitasnya.
[ CITATION Sar94 \p 217 \l 1057 ].
Konsep sejarah nasional berangkat dari kesadaran ideologis dan
keprihatinan intektual. Maka sejarah nasional adalah catatan peristiwa di masa
lalu yang secara nasional (berdasarkan kesadaran idelogis) dianggap penting
dan relevan. Sebagai pantulan kesadaran kultural, penulisan sejarah nasional
lebih kearah sejarah ideologis yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme,
heroisme dan patriotisme. Dengan demikian, historiografi nasional
memperlihatkan sikap perlawanan terhadap kolonialisme Barat.
Suatu fenomena yang menarik dalam historiografi Indonesia yakni
maraknya corak penulisan biografi pahlawan, tokoh politik, dan pemimpin-
pemimpin baik lokal maupun nasional. Seperti penulisan biografi pangeran
Diponegoro. Biografi tokoh tersebut bertujuan sebagai pewarisan nilai dan
perjuangannya, selain sebagai pemicu untuk mengusir imperialisme di
Indonesia.

7
2.1.2 Corak Awal Histiografi Islam di Indonesia
Franz Rosental, mengatakan bahwa “salah satu motivasi yang
mendorong perkembangan pesat historiografi Islam terdapat dalam konsep
Islam sebagai agama yang mengandung sejarah ".Historiografi Islam pada
dasa warsa terakhir telah menunjukkan perkembangan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Historiografi Islam sebagai unsur dari historiografi
Indonesia juga telah menunjukkan perkembangannya, dengan munculnya
sejarawan dengan berbagai karya-karyanya tentang umat Islam Indonesia.
Pada awal perkembangannya, kebanyakan historiografi Islam
Indonesia berisi mitos dari pada sejarah dalam pengertian Barat. Menurut De
Graaf, historiografi Islam Indonesia tentang sejarah awalIslam tidak terlalu
bisa dijadikan pegangan, walaupun begitu tidak dapat diabaikan sama sekali.
Hal ini disebabkan karena historiografi tersebut adalah hasil pribumi dan
merupakan produk tradisi kebudayaan yang sama dan bukan pada
historitasnya.
Penulisan Sejarah Islam Indonesia pada awal tidak seperti yang kita
lihat sekarang ini. Akan tetapi lebih pada peristiwa-peristiwa yang
mempunyai kekuatan-kekuatan gaib (sakti) dan tidak berlandaskan pada
aturan ilmu sejarah. Babad, hikayat, silsilah, tambo lebih bertumpuh pada
mitos dari pada mengedepankan fakta. Sehingga pada karya-karya yang
dihasilkan muatan sejarah sangat bervariasi.
Secara khusus penulisan sejarah Islam di Indonesia belum
mendapatkan tempat sendiri, maksudnya kajian tentang sejarah lebih banyak
pada historiografi Islam Indonesia secara umum, sedangkan historiografi
Islam secara khusus belum mendapatkan pemusatan kajian-kajian. Seperti
Hamka dan Uka Djandrasasmita. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hamka,
yang mengkaji Islam Indonesia dengan karya yang berjudul "Sejarah Umat
Islam Indonesia". Sumber yangdigunakan adalah buku-buku sejarah yang
dikarang oleh penulis muslim, seperti Sejarah Melayu oleh Tun Sri Lanang,

8
Hikayat Raja-raja Pasai oleh Syaikh Nuruddin Raniri, Sejarah Cirebon, buku
tulisan Inggris dan Belanda tentang Indonesia dan Tanah Melayu, dan tulisan
tangan yang tidak tercetak yang disimpan oleh para Sultan atau keluarganya.
Begitu juga pada karya Uka Djandrasasmita, Sejarah Nasional III, yang
membahas zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Djandrasasmita mendekati sejarah Islam di Indonesia sebagai
bagian dari sejarah nasional Indonesia yang menekankan pada sejarah sebagai
suatu proses yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen masyarakat.
Dengan demikian penulisan sejarah Islam Indonesia sudah dimulai sejak awal
Islam masuk walaupun dalam bentukbentuk yang sederhana. Adapun contoh
corak awal historiografi Islam Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Hikayat
Hikayat ini merupakan bentuk cerita yang selalu disampaikan
dalam bentuk puisi yang sering disebut sajak. Seperti halnya pada hikayat
yang berisi tentang raja dan kerajaan, maka setelah agama Islam masuk
penulisan sejarah menjadi berubah pada penulisan sekitar penyebaran
agama, tokoh agama, sebutan raja berubah menjadi Sultan. Dalam
perkembangannya penulisan sejarah sekitar tokoh agama menjadi
tokohsejarah didalam banyak hikayat, misalnya Hikayat Amir Hamzah,
dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiah. Walaupun tidak jarang dalam
hikayat tersebut kita temukan pemaparan tentang tokoh atau pahlawan
Islam yang bersifat mitos, misalnya tentang Iskandar Zulkarnain yang
hidup sebelum Islam, oleh penulis sejarah dimasukkan sebagai tokoh
pahlawan Islam. Hikayat Nabi yang merupakan penulisan asli Indonesia
adalah kitab al-Anbiya. Selain itu, terdapat Hikayat Sulalatus Salathin,
Sejarah Negeri Kedah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Hang Tuah
(pahlawan kerajaan), Hikayat Cirebon.
Menurut Sartono Kartodirdjo, penulisan hikayat mengandung unsur
raja sentrisme. Hikayat lebih bercerita tentang Raja dan kekuasaannya,

9
sejarah diluar kerajaan tidak disinggung secara universal tetapi
penulisannya bersifat parsial. Seperti yng diungkapkan oleh Azyumardi
Azra, penulisan hikayat semacam ini lebih concern terhadap para raja dan
keluarga istana atau petinggi negara; ia sangat tidak berminat membahas
berbagi hal pada tingkat rakyat jelata.[CITATION Azr02 \l 1057 ]
Akibatnya, sebagian besar penulisan hikayat ini hanya membicarakan
perincian konversi para penguasa,keluarga kerajaan, dan pembesar negara
lainnya.

2. Khabar
Mengenai istilah khabar ini Franz Rosental menyebutkan sebagai
salah satu bentuk dasar historis Islam. Bentuk historiografi Islam yang
paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita-cerita perang
dengan uraian yang baik dan sempurna yang biasanya mengenai sesuatu
kejadian yang kalau ditulis hanya menjadi beberapa halaman saja. Dalam
bahasa Aceh, khabar diistilahkan dengan haba yang berarti khabar. Haba
merupakan suatu karya narasi yang berbentuk puisi. Di dalam konteks
karya sejarah yang lebih luas perkataan khabar sering dipergunakan
sebagai "laporan, kejadian atau cerita". Di dalam penulisan sejarah ada
tiga hal yang merupakan ciri khas bentuk khabar:
a) Di dalam khabar tidak terdapat adanya hubungan sebab akibat di
antara dua atau lebih peristiwaperistiwa. Tiap-tiap khabar sudah
melengkapi dirinya sendiri dan membiarkan saja cerita itu tanpa
adanya dukungan dari referensi yang lain sebagai pendukungnya.
b) Bentuk khabar tetap dengan mempergunakan cerita pendek, memilih
situasi dan peristiwa yang disenangi. Peristiwa selalu disajikan dalam
bentuk dialog antarapelaku peristiwa, sehingga meringankan ahli
sejarah melakukan analisa terhadap peristiwa itu kepada pembaca.

10
c) Bentuk khabar dapat dikatakan lebih banyak merupakan gambaran
karunia yang beraneka ragam. Sebagai cerita-cerita pertempuran yang
terusmenerus, dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga
memerlukan penyajian secara puisi.
3. Tambo
Istilah tambo berasal dari bahasa Minangkabau, yakni cerita
historis tentang silsilah nenek moyang mereka. Tambo biasanya
kebanyakan berisi penuturan sastra lisan dalam bentuk pepatah dan syair-
syair yang panjang. Tambo menceritakan adat, sistem pemerintahan, dan
aturan kehidupan sehari-hari bagi orang Minangkabau. Tambo sering
disampaikan oleh para penutur cerita (tukang Kaba) di tempat-tempat
perhelatan yang sering diadakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi karya tambo adalah memperkokoh identitas
kelompok dan memperkuat solidaritas serta dimaksudkan sebagai
pelajaran yang dapat dipetik oleh masyarakat. Karya sejarah tradisional
ini (tambo) memuat banyak mitos, legenda, dan ceritatokoh. Tambo
tentang asal usul Negeri menceritakan anak Zulkarnain berlayar dan
berhenti di gunung Merapi, ketika masih sebesar telur ayam, selanjutnya
berubah menjadi daratan luas.
4. Kisah
Kisah biasa berisi tentang cerita pengembaraan seseorang dan
rentetan kejadian yang dialaminya. Makna cerita ini mengalami
perkembangan makna, karena kisah pengembaraan memiliki keterkaitan
dengan suatu kelompok. Dengan demikian, kisah tidak hanya sebuah
cerita tetapi juga sebagai pelestarian identitas kelompok dan contoh atau
pelajaran untuk generasi berikutnya.
5. Silsilah
Silsilah merupakan bentuk historiografi yang sejak awalnya
mengandung informasi sejarah. Silsilah berasal dari bahasa arab yaitu Al-

11
Ansab jamak dari nasab yang berarti silsilah (geneology), yang bertujuan
untuk menjaga kemurnian keturunan suatu kabilah. Penulisan silsilah di
Indonesia juga bertujuan untuk mempertahankan identitas kelompok dan
solidaritas dari keturunannya, namun sering terlihat sebagai pemujaan
terhadap tokoh (baca: mitos). Silsilah tokoh dalam historiografi Islam
tradisional sering dihubungkan dengan tokohtokoh terkenal sebelumnya
seperti Nabi, Wali, Ulama, dan Pahlawan Islam.

2.2 Peranan Pengembara Asing dalam Historiografi Islam Indonesia


Masuknya Agama Islam ke Indonesia merupakan suatu proses yang
sangat penting dalam sejarah Indonesia. Menurut beberapa ahli sejarah
pembawa agama Islam ke Indonesia adalah golongan pedagang. Pada umunya
proses islamisasi di Indonesia ada dua.
Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam dan
kemudian menganutnya. Kedua, orangorang Asia (Arab, India, Cina, dan
lainlain) yang telah memeluk Islam bertempat tinggal secara permanen di
suatu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti
gaya hidup lokal kemudian menjadi anggota kelompok masyarakat yang
ditinggali tersebut.
Pada awal abad ke-15 Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran
secara berangsur-angsur setelah raja Hayam Wuruk wafat. Hal ini
menyebabkan wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas
melepaskan diri. Keadaan politik Majapahit diwarnai dengan berbagai
pemberontakan dan perang saudara.
Pada bagian kedua dari abad ke15 daerah pesisir Jawa Tengah dan
Jawa Timur dikuasai oleh raja-raja kecil yang beragama Islam. Dalam catatan
sejarah Jawa, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada tahun 1400
Saka atau tahun 1478 Masehi. Kerajaan yang menggantikan peranan pada

12
waktu itu secara langsung bukan kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa,
tetapi kerajaan Hindu Daha-Kediri yang terlebih dahulu melepaskan diri dari
Kerajaan Majapahit.
Rombongan armada Cheng Ho kemudian berlabuh di daerah Tuban,
ternyata di Tuban telah terdapat orangorang Tionghoa yang merantau.
Setengah hari berlayar dari Tuban ke sebelah Timur, rombongan armada
Cheng Ho tiba di Gresik. Lurah di Gresik ketika Cheng Ho singgah di sana
adalah seorang perantau dari Tiongkok. Pelayaran rombongan armada Cheng
Ho dilanjutkan dari Gresik menuju sebelah selatan hingga sampailah mereka
di Surabaya. Dengan menumpang kapal kecil tiba di Cangkir. Setelah
mendarat dan berjalan ke sebelah barat sampailah mereka di Mojokerto yang
merupakan pusat Kerajaan Majapahit.
Sepeninggal Yung-lo dan Hsuan Tsung (1435), kegemilangan Dinasti
Ming sudah mulai pudar. Masyarakat Tionghoa yang dibentuk di rantau
menurut rencana Cheng Ho mengalami kemerosotan. Bagi Bong Swi Hoo,
tidak ada lagi harapan untuk membina apalagi mengembangkannya. Oleh
karena itu, ia segea berputar haluan. Ia mulai membentuk masyarakat Islam
baru Ia pindah dari Bangil ke Ngampel.
Ngampel menjadi pusat agama Islam aliran Hanafi di Pulau Jawa,
mempersipkan terbentuknya negara Islam Madzhab Hanafi di Demak.
Demikianlah pengislaman Pulau Jawa tidak dilakukan melalui pedagang dari
Malaka atau Pasai. Agama Islam aliran Hanafi di Jawa berasal dari Campa
atau Yunan, di bawa oleh orang-orang Tionghoa yang ditugaskan oleh kaisar
Yung-lo untuk mengadakan hubungan dagang dan politik di Asia Tenggara di
bawah pimpinan laksamana Cheng Ho [CITATION Sla05 \p 173 \l 1057 ]
Kedatangan Cheng Ho ke seluruh tempat ekspedisinya selalu
meninggalkan banyak hal. Seperti contoh di Ceylon ia mendirikan sebuah kuil
untuk pemujaan, pemberian lonceng Cakra Donya yang sampai sekarang
masih disimpan di Banda Aceh, lonceng tersebut diberikan sebagai tanda

13
persahabatan antara Kaisar Yung Le kepada Raja Samudra Pasai. Cheng Ho
datang ke Semarang pada bulan 6 tanggal 30 Imlek dan mendarat di
Pelabuhan Simongan[CITATION Set82 \p 12 \l 1057 ]
Dalam kunjungannya ke Semarang ini, Cheng Ho menempati sebuah
gua yang juga dipakai sebagai masjid, tapi lama kelamaan masjid ini berubah
menjadi sebuah klenteng. Namun gua tersebut hancur dikarenakan terkena
angin ribut, masyarakat pun membuat gua baru yang mirip dengan aslinya dan
mendatangkan patung Sam Poo untuk ditempatkan di gua itu. Kedatangan
Zheng Hou juga berpengaruh dalam penyebaran ceritacerita rakyat, misalnya
kisah Joko Tarub yang ternyata mirip sekali dengan cerita Peacock Maiden
dari rakyat suku bangsa Tai di Provinsi Yunnan.
Kedatangan Zheng Ho juga mengundang kerja sama perdagangan di
Semarang, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Semarang sehingga
kota Semarang menjadi pusat perdagangan dan berkembang dengan pesat.
Perkembangan ini membawa dampak dibangunnya pelabuhan dagang
Semarang pada tahun 1875.
Banyaknya pedagang Tionghoa yang datang ke Semarang
menyebabkan populasi orang Tionghoa di Semarang bertambah. Dampak
lainnya adalah terbentuknya kawasan Pecinan, pada tahun 1740 terjadi
pemberontakan orang Tionghoa terhadap Belanda namun Belanda berhasil
meredam pemberontakan ini dan memindahkan wilayah tinggal mereka dari
Gedung Batu ke utara di sisi timur sungai Semarang. Hal ini dimaksudkan
agar Belanda mudah melakukan pengawasan terhadap orang Tionghoa.
Walaupun telah diawasi dengan ketat, Belanda masih curiga akan
adanya pemberontakan dari orang-orang Tionghoa ini, maka dari itu Belanda
kemudian mengubah aliran sungai Semarang 200 meter ke timur dan
memindahkan permukiman Cina ke tanah kosong yang terletak di sebelah
barat sungai Semarang. Permukiman terakhir inilah yang kita kenal sebagai
Pecinan saat ini.[CITATION Pra10 \p 32 \l 1057 ]

14
2.2.1 Kedatangan Cheng Ho di Jawa
Cheng Ho mengunjungi sekitar 30 negara, di antaranya adalah Malaka,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Malaysia, Sri Lanka, Campa (Kamboja),
Kepulauan Maladewa, India, Teluk Parsi, Arab, Mesir, hingga Selat
Mozambique (Afrika).
Menurut Sumanto Al Qurtuby[CITATION Sum03 \p 43 \n \t \l
1057 ] ekpedisi yang dipimpin bahriawan besar Cheng Ho ini tidak sekedar
bermuatan politik dan ekonimi tetapi juga menyimpan “hidden agenda”
berupa islamisasi. Peryataan ini dapat dibuktikan dengan penempatan para
konsul dan duta keliling Muslim Cina di setiap daerah yang dikunjunginya.
Dapat dimungkinkan sebagian Cina Islam yang turut serta dalam rombongan
Cheng Ho ini tidak mau pulang kembali ke negerinya, baik karena alasan
pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjajikan atau factor
kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan
syi’ar Islam di “negeri kafir”.
Kedatangan Cheng Ho ke Jawa, bersamaan dengan awal proses
Islamisasi. Ketika itu banyak pedagang asal Cina bermukim di kawasan pantai
utara, dan sebagian mereka beragama Islam. Kedatangan Cheng Ho sekaligus
memberikan dukungan bagi para imigran Tionghoa ini agar menjalin
hubungan akrab dengan penduduk setempat..
2.2.2 Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong di Semarang
Pada pertengahan pertama abad ke-15, Kaisar Zhu Di Dinasti Ming
Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan
muhibah ke laut selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho
(Sam Po Kong) dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang
kedua. Jalur kedatangan armada Cheng Ho ketika menuju Semarang, yaitu
lebih dahulu singgah di Pelabuhan Mangkang. Setelah itu bersandar di
Pelabuhan Simongan Gedung Batu karena salah satu awak kapal Cheng Ho,

15
yaitu juru mudinya yang bernama Wang Jinghong mendadak sakit keras.
Setelah mendarat, Cheng Ho dan awak kapalnya menemukan sebuah gua dan
gua tersebut digunakan suatu tangsi untuk sementara. kemudian dibuatlah
sebuah pondok kecil di luar gua sebagai tempat peristirahatan dan pengobatan
bagi Wang Jinghong. Cheng Ho sendiri yang merebus obat tradisional untuk
Wang agar cepat membaik.
Kapal itu digunakan Wang untuk usaha perdagangan di sepanjang
pantai. Kemudian awak kapalnya berturut-turut menikah dengan wanita
setempat. Berkat jerih payah Wang dan anak buahnya, kawasan sekitar gua
tersebut berangsurangsur menjadi ramai dan makmur, sehingga semakin
banyak orang Tionghoa yang datang dan bertempat tinggal serta bercocok
tanam disana.
Sebagaimana Laksamana Cheng Ho, Wang Jinghong pun seorang
muslim yang saleh. Dia giat menyebarkan agama Islam di kalangan
masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat di samping diajarkan pula
bercocok tanam, dan sebagainya. Demi menghormati Laksamana Cheng Ho
yang berjasa, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di gua tadi untuk
disembah orang. Menurut cerita, Wang meninggal dunia dalam usia 87 tahun
dan jenazahnya dikuburkan secara Islam. Atas jasanya, Wang diberi julukan
sebagai Kiai Juru Mudi Dampo Awang. Makam Kiai Juru Mudi Dampo
Awang ini kemudian merupakan salah satu bahan tersendiri dalam kompleks
Kelenteng Sam Po Kong.
2.2.3 Kedatngan Cheng Ho di Semarang
Menurut Kong Yuanzhi [CITATION Kon07 \p 71-73 \n \t \l 1057 ]
mengenai tahun kedatangan Cheng Ho di Semarang terdapat berbagai
pendapat yang berbeda-beda baik di kalangan sarjana Tiongkok maupun di
kalangan sarjana Indonesia. Antara lain dikemukakan pendapat-pendapat
sebagai berikut:

16
1) Pendapat pertama mengatakan bahwa Cheng Ho tiba di Semarang pada
tahun 1406 atau dalam rangka pelayarannya yang pertama (1405- 1407).
2) Pendapat kedua mengatakan bahwa Cheng Ho mendarat di Semarang
dalam rangka pelayarannya yang kedua (1407-1409).
3) Pandapat ketiga mengatakan bahwa Cheng Ho pernah mengunjungi
Semarang pada tahun 1412.
4) Pendapat keempat menunjukan bahwa Cheng Ho pernah Singgah di
Semarang pada tahun 1413 atau dalam rangka pelayarannya yang
keempat.
5) Pendapat kelima mengatakan bahwa Cheng Ho mendarat di Semarang
pada tahun 1416. Menyatakan kira-kira tahun 1416 saja ada orang
Tionghoa yang menginjak daerah Semarang.
6) Pendapat keenam mengatakan bahwa Cheng Ho pernah mendarat di
Semarang dalam rangka pelayarannya yang ke tujuh (Tahun 1431-1433).
Keenam pendapat yang penulis sebutkan di atas sebagaimana yang
penulis kutip dari Khong Yuanzhi ternyata tidak disertai dengan argumen-
argumen sejarah yang meyakinkan. Terbukti dengan adanya kata-kata
“mungkin” dalam penelitianpenelitian di atas. Sekalipun demikian bukan
berarti bahwa kedatangan Cheng Ho di Semarang dalam rangka
pelayaranpelayarannya adalah mustahil. Masalahnya tidak mudah untuk
mengetahui dengan pasti tahun kedatangan Cheng Ho di Semarang.
Tidak adanya catatan mengenai kedatangan Cheng Ho di Semarang
dalam karya Ma Huan, Fei Xin, dan Gong Zheng pun tidak berarti bahwa
Cheng Ho tidak pernah singgah di Semarang. Mungkin saja, pendaratan
Cheng Ho di Semarang mereka anggap sebagai suatu peristiwa yang relative
kecil dibandingkan dengan peristiwaperistiwa yang lain. Apalagi ketiga juru
bahasa Cheng Ho tersebut tidak ikut pelayarannya secara penuh.

17
2.2.4 Perkembangan Islam Hanafi di Pulau Jawa
Perutusan pertama kaisar Yung-lo ke Asia Tenggara untuk melakukan
pendidikan dikirim pada tahun 1403, di bawah pimpinan Laksamana Yin
Ching, yang disertai juru bahasa Ma Huan singgah di Malaka. Perutusan
selanjutnya dari tahun 1405 sampai 1431 dipimpin oleh Laksamana Cheng
Ho, disertai juru bahasa Ma Huan dan Feh Tsin. Pada tahun 1407, kota
Palembang minta bantuan kepada armada Tiongkok yang ada di Asia
Tenggara untuk menindas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang
mengganggu kententraman. Kepala perampok Chen Tsu Ji berhasil diringkus
dan dibawa ke Peking. Sejak saat itu Laksamana Cheng Ho membentuk
masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang, yang sudah sejak zaman
Sriwijaya banyak didiami oleh orangprang Tionghoa. Selain di Palembang,
dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam di Sambas. Itulah masyarakat
Tionghoa Islam pertama di Nusantara. Tahun-tahun berikutnya, menyusul
pembentukan masyarakat Islam Tionghoa di berbagai tempat di tepi Pulau
Jawa, semenanjung, dan Gilipina.
Cheng Ho yang diserahi perencanaan dan pelaksanaan hubungan
dagang dan politik di Asia Tenggara, dibantu oleh Bong Tak Keng. Markas
besarnya di Campa. Bong Tak Keng dikuasakan untuk melaksanakan gagasan
yang telah digariskan oleh laksamana Cheng Ho. Pengangkatan Bong Tak
Keng sebagai koordinator masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara
berlangsung pada tahun 1419. Masyarakat Tionghoa di kota-kota pelabuhan
yang penting dipimpin oleh seorang kapten Cina.
Sejak tahun 1447 sampai 1451, di muara sungai Brantas Kiri (Kali
Porong), ditempatkan kapten Cina Bong Swi Hoo atau Raden Rahmat. Mulai
tahun 1451 sampai 1447, Bong Swi Hoo pindah ke muara sungai Brantas
Kanan (Sungai Emas), yang juga disebut Ngampel Denta. Bong Swi Hoo
yang meninggal pada akhir tahun 1478 dikenal sebagai Sunan Ngampel.
Demikianlah kota-kota pelabuhan di pantai utara yang penting telah dikuasai

18
oleh kapten-kapten Cina yang kuat, beserta masyarakat Tionghoanya yang
telah dihimpun dan diatur.
Berdasarkan pernyataan di atas sudah jelas bahwa yang dimaksud
dengan Raja Campa ialah Kapten Cina Bong Tak Keng, yang dikuasakan oleh
Cheng Ho untuk mengurus masyarakat Tionghoa di seluruh Asia Tenggara.
Bong Swi Hoo adalah orang yang paling berkuasa di Campa. Bong Swi Hoo,
sebagai muslim berasal dari Campa, menganut aliran Hanafi, tidak menganut
aliran Syafi’i. justru ajaran Bong Swi Hoo ini yang kemudian dilanjutkan di
Demak oleh Raden Patah atau Pangeran Jin Bun. Negara Islam Demak adalah
Negara.
Demikianlah pengislaman Pulau Jawa tidak dilakukan melalui
pedagang dari Malaka atau Pasai. Agama Islam aliran Hanafi di Jawa berasal
dari Campa atau Yunan, di bawa oleh orang-orang Tionghoa yang ditugaskan
oleh kaisar Yung-lo untuk mengadakan hubungan dagang dan politik di Asia
Tenggara di bawah pimpinan laksamana Cheng Ho [CITATION Sla05 \p
173 \l 1057 ]
2.2.5 Sino-Javanese Muslim Culture
Islamisasi Nusantara yang dilakukan Cheng Ho bisa dikatakan cukup
akulturatif, karena, berkat peran Cheng Ho, pernah tercipta harmoni di tengah
masyarakat Jawa kala itu yang ditandai dengan akulturasi antara nilainilai
Tiongkok, Jawa, dan Islam secara harmonis. Di Jawa memang telah terjadi
“Sino-Javanese Muslim Cultures” yang membentang dari Banten, Jakarta,
Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya
sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho (dan Cina Islam lain) dengan Jawa.
Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures tidak hanya tampak dalam berbagai
bangunan peribadatan Islam yang menunjukan unsur Jawa, Islam, Cina tetapi
juga berbagai seni atau sastra (batik, ukir) dan unsur kebudayaan lain. Fakta
yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang disebut Sino Javanese

19
Muslim Cultures. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan, Jepara, menara
masjid di pecinan Banten (Jawa Barat), konstruksi pintu makam Sunan Giri di
Gresik (Jawa Timur), arsitektur Keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon
(Jawa Barat), konstruksi Masjid Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal
penyangga masjid beserta lambang kura-kuranya, konstruksi Masjid Sekayu
di Semarang dan sebagainya.
Semuanya menunjukkan adanya keterpengaruhan budaya Tionghoa
yang sangat kuat. Selain fakta-fakta tersebut juga terdapat fakta-fakta yang
menunjukkan keterpengaruhan budaya Tionghoa antara lain; dua masjid kuno
yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang dihubungkan
dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien
Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk
kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh beberapa sejarawan sebagai
bekas masjid yang dibangun masyarakat Tionghoa muslim pada abad ke-
15/16. Kelenteng-kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol (Jakarta),
Kelenteng Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan, Semarang),
Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu (Surabaya).

20
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan
Historiografi pada hakekeatnya merupakan tepresentasi dari kesadaran
sejarawan dalam zamanya dan lingkungan kebudayaan di tempat sejarawan
itu hidup. Pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah yang dituangkan
didalam tulisannya akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan
kebudayaan dimana sejarawam itu hidup. Dengan kata lain, pandangan
sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya.
Adapun contoh corak awal historiografi Islam Indonesia adalah sebagai
berikut:
1) Hikayat
2) Khabar
3) Tambo
4) Kisah
5) Silsilah
Cheng Ho mengunjungi sekitar 30 negara, di antaranya adalah Malaka,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Malaysia, Sri Lanka, Campa (Kamboja),

21
Kepulauan Maladewa, India, Teluk Parsi, Arab, Mesir, hingga Selat
Mozambique (Afrika).
Menurut Sumanto Al Qurtuby[CITATION Sum03 \p 43 \n \t \l
1057 ] ekpedisi yang dipimpin bahriawan besar Cheng Ho ini tidak sekedar
bermuatan politik dan ekonimi tetapi juga menyimpan “hidden agenda”
berupa islamisasi. Peryataan ini dapat dibuktikan dengan penempatan para
konsul dan duta keliling Muslim Cina di setiap daerah yang dikunjunginya.
Dapat dimungkinkan sebagian Cina Islam yang turut serta dalam rombongan
Cheng Ho ini tidak mau pulang kembali ke negerinya, baik karena alasan
pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjajikan atau factor
kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan
syi’ar Islam di “negeri kafir”.

22
DAFTAR PUSTAKA

Azra, A. (2002). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.
Gazalba, S. (1981). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bhratara.
Haryono. (1995). Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Iryana, W. (2017). HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDONESIA. Jurnal al-
Tsaqafa
Volume 14, No. 01 , 155-159.
Kuntowijoyo. (1999). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit).
Yogyakarta: LkiS.
Pratiwo. (2010). Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota.
Yogyakarta: Ombak.
Qurtuby, S. A. (2003). Arus Cina Islam-Jawa "Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI”.
Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Sartono Kartodirdjo. (1994). Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: UGM Press.

23
Setiawan, E. d. (1982). Mengenal Kelenteng Sam Poo Kong. Semarang: Yayasan
Kelenteng Sam Poo Kong Gedung Batu.
Yuanzi, K. (2007). Muslim Tionghoa Zheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

24

Anda mungkin juga menyukai