Disusun Oleh
Fiza Raudhoh
(0301202021)
PAI 8 Semester II
B. PEMBAHASAN
Masjid Raya Sultan Ahmadsyah merupakan bangunan bersejarah
bercirikan Islam yang berada di Jalan Mesjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan
Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Mesjid ini dibangun oleh Sultan Ahmadsyah yang merupakan Sultan Asahan
kesembilan, dengan luas bangunan 1000 meter persegi dan luas bangunan 1000
meter persegi. Bangunan ini sudah berumur lebih dari satu abad, yang mulai
didirikan pada tahun 1884 dan selesai dibangun pada tahun 1886. Konon masjid
ini paling tua dari masjid-masjid lainnya yang berada di provinsi Sumatera Utara,
yakni Masjid Raya Al-Mahsun yang berdiri sejak tahun 1909 di kota Medan. Dan
Masjid Raya Sulimaniya sejak tahun 1894 di kabupaten Serdang Bedagai
Sultan Ahmadsyah bergelar Marhum Maharaja Indrasakti memerintah
kesultanan asahan mulai tahun 1854-1888. Sultan Ahmadsyah naik tahta
menggantikan ayah nya yaitu Sultan Husein Syah (1813-1854) dari tahun
pembangunan Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah. Pada pemerintahannya, Sultan
Ahmadsyah dikenal dengan seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Dan tak
hanya itu ia juga dikenal sebagai sultan yang tak pernah mau tunduk kepada
Belanda. Ia bahkan sempat diasingkan selama 21 tahun ke Riau.
Tidak dapat diketahui seberapa banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh
Sultan Ahmadsyah untuk membangun masjid beserta kompleks istana Asahan ini.
Namun perluasan dan diversifikasi tanaman perkebunan ke daerah Selatan jadi
dasar perbaikan ekonomi Sultan Ahmadsyah dari Asahan. Diperkirakan
pendapatan Sultan Asahan IX pasca pemulihan kekuasaannya dari konsesi tanah
sudah lebih dari cukup untuk membangun kembali Ibukota Kesultanan Negeri
Asahan.
Ciri dari bangunan masjid ini adalah Melayu, yang terlihat dari bentuk
bangunannya yang berbentuk persegi panjang seperti bangunan Melayu
kebanyakan. Pada pinggir atap nya terdapat ciri khas bangunan Melayu yakni
pucuk rebung.Mesjid ini dibangunnya tanpa pilar dibagian dalam masjid yang
bermakna Allah tidak memerlukan penyangga untuk berdiri. Selain itu maknanya
agar Syaf shalat tidak terhalang oleh pilar. Namun bagian teras dari Masjid ini
memiliki banyak sekali pilar penyangga. Bangunan dasar dari masjid ini juga
tidak memakai semen melainkan pakai pasir dan tanah liat serta batu bata. Kubah
masjidnya tidak terletak dibagian tengah tetapi dibagian depan Masjid. Didalam
Masjid terdapat mimbar yang berornamen China. Mimbar ini didatangkan
langsung oleh Sultan dari China. Terdapat bendera berwarna kan hijau. Belakang
mimbar terpancang kokok panji hijau kembar seperti kebanyakan masjid-masjid
kesultanan lainnya. Dibagian depan mimbar terpahat kaligrafi dengan gaya khas
yang amat indah. Yang mana kaligrafinya bertuliskan dua bait syair yang berisi
ajaran tentang rukun khutbah. Jum’at dalam mazhab imam Syafi’i. Dua bait syair
itu kira-kira bermakna rukun khutbah Jum’at menurut imam-imam kita ada 5,
ketahuilah wahai sidang Jum’at yang mulia yaitu membaca pujian, kemudian
sholawat dan berwasiat taqwa yaitu membaca pujian, kemudian sholawat dan
berwasiat taqwa. Lalu membaca ayat, dan doa sebagai penutup khutbah kita.
Selain itu juga ada tangga putar untuk naik ke menara masjid yang terletak tepat
di belakang mimbar.
Bangunan utama Masjid Raya Sultan Ahmadsyah belum pernah
direnovasi. Namun bangunan pendukung banyak diganti atau ditambah, seperti
tempat wudhu yang berbentuk qullah dan dapur masjid diganti dengan pendopo.
Sedangkan gerbang dan menara utamanya dibangun kemudian sehingga masjid
ini memiliki dua menara.
Penampilan Masjid Raya Sultan Ahmadsyah di kota Tanjungbalai jelas
mengisahkan sebuah perjalanan panjang dari sebuah bangunan masjid yang
menjadi saksi bisu sebagian perjalanan sejarah kesultanan Asahan dan Kota
Tanjungbalai khususnya. Masjid ini juga menjadi saksi bisu kerusuhan sosial
dibulan Maret tahun 1946, yang meluluhlantakkan kesultanan-kesultanan di
wilayah Kesultanan Asahan. Di halaman masjid ini terdapat satu makam yang
merupakan pemakaman massal 73 korban tewas dalam kerusuhan sosial tersebut.
Kuburan tersebut ditandai dengan batu prasasti berpahatkan 73 nama-nama
korban penyerbuan dan pembantaian yang terjadi di Asahan pada bulan Maret
1946. Jasad-jasad yang ada dikuburan ini pada mulanya ditemukan dalam bentuk
tulang belulang yang berserakan disungai lendir tahun 2003, yang merupakan
sebuah kampung di Asahan, yang untuk sampai kesana harus menggunakan
perahu atau boat. Mereka yang terbunuh merupakan para petinggi kesultanan
Melayu Asahan beserta cerdik pandai dan masyarakat umum, termasuk dua orang
Mandailing bermarga Siregar dan Nasution. Kuburan 73 korban tersebut letaknya
dibagian depan masjid Raya Sultan Ahmadsyah. Selain kuburan tersebut dibagian
belakang mesjid juga terdapat makam para Sultan Asahan dan kerabatnya serta
kuburan keluarga imam dan nazir masjid. Kuburan tersebut rata-rata dilengkapi
dengan nisan dari batu pualam yang berasal dari Penang, Malaysia. Dengan nisan
berpahatkan nama-nama para mendiang dengan tulisan Arab Melayu gundul yang
indah.
Salah satu sultan Asahan yang dimakamkan di halaman masjid ini adalah
Tengku Muhammad Husain Syah yang lahir pada tanggal 3 Dzulhijjah 1278 dan
wafat pada 25 Sya’ban sanah 1333. Beberapa nisan bahkan bertulisan tahun yang
lebih tua ratusan tahun dari itu. Saat ini pendopo masjid juga terdapat tiga buah
meriam peninggalan Kesultanan Asahan. Sultan Asahan lainnya yang
dimakamkan di halaman masjid ini ialah Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah,
yang merupakan sultan Asahan terakhir yang wafat pada tahun 1980.
Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah mengalami perkembangan sejak tahun
1970 sehingga mengalami perubahan yang menjadikannya sebagai aset
kebudayaan kota Tanjungbalai.
Sebenarnya fungsi didirikannya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah ini bukan
hanya semata-mata sebagai tempat ibadah, melainkan juga tempat bagi
pengembangan masyarakat. Didalamnya dilakukan penyusunan strategi,
perencanaan dan aksi didalam kerangka penyebaran Islam ditengah kehidupan
masyarakat. Selain sebagai ibadah keagamaan, masjid ini juga memiliki
kepentingan politis untuk melawan penjajah.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Bangunan bersejarah yang bercirikan Islam di daerah Kota Tanjungbalai
ialah Mesjid peninggalan Kesultanan Asahan, yaitu Masjid Raya Sultan
Ahmadsyah yang ada di jalan masjid kota Tanjungbalai Kelurahan Indra Sakti
Kecamatan Tanjungbalai Selatan, Sumatera Utara.
Masjid ini meninggalkan sejarah yang cukup mengerikan karena keluarga
kesultanan Asahan meninggal dan yang menjadi saksi bisunya ialah masjid ini,
banyak korban jiwa yang tewas akibat kerusuhan sosial yang terjadi pada bulan
Maret tahun 1946. Sehingga masjid ini terdapat makam tempat bersemayamnya
raja-raja kesultanan dan 73 korban tragedi 1946 itu. Makam raja-raja di bagian
belakang masjid, sementara makam 73 korban di depan masjid raya tersebut.
Masjid ini bercirikan Melayu, bangunan dan ornamen-ornamen yang
bercirikan Melayu pada umumnya, seperti pucuk rebung. Banyak keunikan yang
terdapat pada Masjid ini, yakni tidak adanya pilar penyangga pada bagian dalam
masjid itu memiliki arti bahwa Allah tidak butuh penyangga untuk berdiri , tetapi
berbeda dengan bagian teras masjid yang banyak sekali pilar penyangganya.
Keunikan lainnya ialah bangunan ini tidak dibangun dengan semen melainkan
pasir, tanah liat serta batu bata.
fungsi didirikannya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah ini bukan hanya
semata-mata sebagai tempat ibadah, melainkan juga tempat bagi pengembangan
masyarakat. Didalamnya dilakukan penyusunan strategi, perencanaan dan aksi
didalam kerangka penyebaran Islam ditengah kehidupan masyarakat. Selain
sebagai ibadah keagamaan, masjid ini juga memiliki kepentingan politis untuk
melawan penjajah.
Saran
Dengan selesainya Mini riset ini dikerjakan diharapkan dapat menambah
wawasan kita bersama tentang sejarah-sejarah yang ada didaerah asal kita atau
bahkan sejarah-sejarah yang lebih luas lagi. Jika terdapat kesalahan dalam
penyusunan penulis mohon maaf . Bila ada masukan dan saran yang membangun
untuk kemajuan kerja saya ini diperkenankan. Terimakasih.