Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................1

BAB I.................................................................................................................................2

PENDAHULUAN.............................................................................................................2

1. Latar Belakang.......................................................................................................2

2. Rumusan Masalah..................................................................................................2

3. Tujuan....................................................................................................................3

BAB II...............................................................................................................................4

PEMBAHASAN................................................................................................................4

1. Sejarah peradaban Islam di Tunisia........................................................................4

2. Sistem Pendidikan di Tunisia.................................................................................6

3. Universitas Al-Zaituna...........................................................................................7

4. Tokoh yang berpengaruh di Tunisia.......................................................................9

BAB III............................................................................................................................18

PENUTUP.......................................................................................................................18

1. Kesimpulan..........................................................................................................18

2. Saran....................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................19

1
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam atau "Pendidikan Islam
mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman
pada syariat Allah. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata
di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu
berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak
mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila
pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan
ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. pendidikan harus
relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut,
baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-
lembaga pendidikan.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang peradaban islam yang ada di
Tunisia baik dari sisi pendidikan, sosial, ataupun tokoh yang berpengaruh di
negara Tunisia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah Peradaban Islam di Tunisia?
2. Bagaimana sistem pendidikan di Tunisia?

2
3. Bagaimana Universitas Al-Zaituna yang ada di Tunisia?
4. Siapakah tokoh yang terkenal di Tunisia?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Peradaban Islam di Tunisia?
2. Untuk mengetahui sistem pendidikan di Tunisia?
3. Untuk mengetahui Universitas Al-Zaituna yang ada di Tunisia.
4. Untuk mengetahui tokoh yang terkenal di Tunisia?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah peradaban Islam di Tunisia


Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah.
Pada masa itu di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara.
Di awal abad ke-13 M, Tunis yang berada d wilayah Maghrib mencapai puncak
kejayaannya. Ibu kota kekhalifahan Muslim di bagian utara benua hitam itu
sempat menjelma menjadi metropolis kaya raya. Kemajuan yang dicapai Tunis
dalam bidang ekonomi, kebudayaan, intelektual, serta sosial tak ada yang mampu
menandinginya pada era itu.

3
Tunis merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di
Afrika. Dari kota inilah ajaran Islam menyebar hingga ke Sicilia, sebuah provinsi
otonom di Italia. Pamornya semakin berkilau seiring berdirinya madrasah Al-
Zaituna di kota itu yang merupakan perguruan tinggi pertama di Afrika Utara.
Tunis telah melahirkan seorang ilmuwan muslim terkemuka sepanjang masa, Ibnu
Khaldun. Kini Tunis dikenal sebagai ibu kota Republik Tunisia.
Kota Tunis pertama kali dibangun kaisar Romawi, Augustus pada abad
pertama Masehi. Ajaran Islam mulai menyebar di kota itu pada abad ke-7 M.
Ketika itu Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus mulai memperluas
kekuasaannya ke wilayah Maghrib yang dikuasai kekaisaran Bizantium. Khalifah
Muawiyah bertekad untuk merebut wilayah itu dari genggaman Bizantium.
Tentara muslim dibawah komando Uqba bin Nafi untuk pertama kalinya
melakukan ekspedisi penaklukkan ke wilayah Maghrib pada 670 M. Lima tahun
kemudian pasukan tentara Islam membangun basis pertahanan dan sebuah masjid
pertama di kota Kairoun. Pasukan tentara muslim yang dipimpin Hasan bin Al-
Numan mampu menguasai kota Tuns dan seluruh wilayah Maghrib pada 705 M.
Sejak itulah Islam berkembang di kota Tunis, suku Barbar yang menghuni
kota itu menerima kehadiran agama Islam. Suku Barbar pun mulai berasimilasi
dengan bangsa Arab yang datang ke kota itu. Ketika kekhalifahan Umayyah yang
berpusat di Damaskus tumbang pada 748 M, kekuasaan dunia Islam mulai
digenggam Dinasti Abbasiyah.
Peralihan kekuasaan ini menyebabkan kota Tunis dan seluruh wilayah Tunisia
sempat terlepas dari pengawasan pusat kekhalifahan. Namun 767 kota Tunis
kembali dapat dikuasai Dinasti Abbasiyah pada 767 M. Tiga tahun kemudian
Khalifah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad menunjuk Ibrahim Ibnu Aghlab
sebagai gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairouan. Pada masa ini kota
Tunis mulai berdiri Masjid Agung Ezzitouna.
Mulai saat itu peradaban Islam mencapai era kejayaan di Tunisia dan kawasan
Arab Maghrib. Dari zaman ke zaman kota Tunis dikuasai sederet kerajaan dan
kekhalifahan Islam antara lain, Dinasti Aghlabiah (767-910 M), Fatimiyah (910-

4
973 M), Ziridiyah (973-1062 M), Almohad (Al-Muwahidun) (1159-1228 M), dan
Hafsiah (1230-1574 M).
Kota Tunis juga sempat menjadi bagian dari kekuasaan Turki Usmani. Kota
Tunis mulai berubah menjadi ibu kota kekhalifahan pada 894 M. Ketika itu
penguasa dinasti Aghlabiyah, Abu Ishak memutuskan untuk memindahkan pusat
pemerintahannya dari Kairouan ke Tunis. Ketika dinasti ini berkuasa, ilmu
pengetahuan muali berkembang. Dinasti ini juga turut membangun Bait Al-
Hikmah seperti yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Memasuki tahun 910 M,
kejayaan Dinasti Aghlabiah memudar.
Tunis kembali mulai bergeliat ketika Dinasti Almohad atau Al-Muwahidun
yang berasal dari suku Barbar Islam berkuasa pada abad ke-12 M. Salah seorang
sarjana terkemuka pada era itu Abu Yusuf Yakub membangun sejumlah
perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Sarjana lainnya seperti Ibnu
Tufail dan Ibnu Rushd juga mengembangkan ilmu pengetahuannya. Salah satu
arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.
Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada akhir abad
ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Piri Reis dalam catatan perjalanannya
melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis di kota itu berdiri
sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang
kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah.
Setiap taman terdapat villa, kios, kolam, dan air mancur. Aroma melati yang
harum mewarnai segarnya udara di kota Tunis. Buah-buahan begitu melimpah.
Mungkin saja kemegahan dan kekayaan yang dimiliki kota Tunis itu yang
mendorong bangsa Perancis untuk menguasai dan menjajah wilayah itu pada abad
ke-19 hingga 20 M.
Hingga kini Islam masih menjadi agama resmi di Tunisia dengan jumlah
pemeluk agama Islam mencapai 95%. Wajah Islam modern dan moderat menjadi
identitas umat Islam Tunisia. Prinsip toleransi beragama dan kebebasan
menjalankan ibadah di antara umat beragama sangat dijunjung tinggi. Gerakan

5
Tarekat Sufi yang dulu sempat subur di Tunisia, kini tersisih karena imbas
modernisasi ini.
2. Sistem Pendidikan di Tunisia
Mula-mula, tradisi Islam sangat mewarnai bentuk pendidikan di Tunisia.
Pemahaman kandungan Al-Quran menjadi prioritas, di samping ilmu pengetahuan
lainnya, seperti bahasa, sastra, akhlak, ilmu sosial, ilmu kedokteran, dan
sebagainya. Proses pembelajarannya bisa dikategorikan menjadi tiga metode.
Pertama, metode talqin, yakni pembacaan materi pelajaran oleh guru, lalu
langsung dihafal oleh murid. Dalam metode ini seorang guru tidak boleh
berpindah ke kajian lain kecuali setelah mena-matkan satu kajian tersebut.
Kedua, metode halaqah, yakni para murid duduk melingkari guru yang sedang
mengajar. Para murid harus mendengarkan penjelasannya tanpa dituntut untuk
menghafalkan. Metode ini hampir mendominasi setiap tempat-tempat pendidikan,
baik masjid mau-pun rumah-rumah syaikh selama berabad-abad, hingga pada
zaman dinasti Al-Muwahidin.
Pada masa dinasti ini sistem halaqah dirombak menjadi sistem madrasah
(sekolah). Sistem madrasah inilah yang menjadi methode ketiga pembelajaran
agama di Tunisia. Ketika Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintah Dinasti
Hafsiah, bidang pendidikan kurang mendapat perhatian. Tetapi ketika Dinasti
Ottoman (yang berpusat di kota Istanbul, Turki) berhasil menguasai Tunisia,
pendidikan kembali mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada masa
kekuasaan Husain Bey (1116 M), dibangunlah sekolah-sekolah yang dilengkapi
asrama bagi para pelajar dan gurunya.
Diantara sekolah-sekolah Tunisia yang aktif sejak abad ke-13 M adalah
Medersa Syimaiah dan Medersa Taoufiqiah. Medersa Syimaiah terletak di pasar
Syimaiyin, tak jauh dari Masjid Agung Ezzitouna, sedangkan Medersa
Taoufiqiah berdampingan dengan Masjid Al-Hawa (kini dijadikan Fakultas
Peradaban Islam Universitas Ezzitouna). Ada juga Medersa Unuq al-Jamal atau
Unuqiyah yang didirikan oleh seorang tokoh wanita.

6
3. Universitas Al-Zaituna
Sejarah peradaban Islam tetap mencatat kota Tunis sebagai pusat ilmu
pengetahuan. Aktivitas keilmuan menggeliat di kota itu seiring berdirinya
Universitas Al-Zaituna. Perguruan tinggi pertama di Afrika Utara itu didirikan
oleh Numan Al-Ghassani.
Universitas Al-Zaituna mulai menjadi perguruan tinggi berpengaruh pada awal
abad ke-13 M. Saat itu, kota Tunis menjadi ibu kota kekhalifahan Hafsiah.
Universitas itu berhasil meluluskan seorang sarjana Muslim tersohor bernama
Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah mahasiswa dari berbagai penjuru datang dan
menimba ilmu di perguruan tinggi yang mampu mencetak seorang ahli sejarah
sosial pertama itu. Orang Spanyol tak hanya menjarah kitab-kitab dan manuskrip
yang penting, namun juga menghancurkan bangunan Masjid Al- Zaituna buah
karya arsitektur kota Tunis di era kejayaan. Untunglah, para pengacau dari
Spanyol itu segera diusir oleh pasukan tentara Muslim dari Kekhalifahan Utsmani
Turki. Bangunan masjid yang diporak-porandakan kembali dipercantik.
Gubernur Ustmani Turki yang ditempatkan di kota Tunis juga memulihkan
perpustakaan yang dijarah dan mengembalikan geliat studi di Universitas Al-
Zaituna. Khalifah Ustmani Turki pun menyuplai buku-buku penting untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan akademik di perguruan tinggi itu.
Di era kekuasaan Ustmani Turki, Universitas Al-Zaituna membuka program studi
fisika, politik ekonomi, dan bahasa Prancis.
Di perguruan tinggi itu, para mahasiswa mempelajari beragam ilmu, seperti
Alquran, ilmu hukum, sejarah, tata bahasa, sains, dan kedokteran. Begitu banyak
kitab dan manuskrip yang dihasilkan para ilmuwan di Universitas Al-Zaituna.
Sayangnya, ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981
Hijirah / 1534 dan 1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan
perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip
perpustakaan yang sangat berharga.
Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan
orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid

7
Zaytuna, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh
Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat
kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-
revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik
hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah
buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk
fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis.
Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di
antara mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk
Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair
pada 1940an.
Manajemen perpustakaan masjid sering menjadi masalah, baik manajemen
koleksi, keluar-masuk buku, maupun pengelolanya. Manajemen koleksi
mencakup pengelolaan ilmu dan penempatan koleksi pada perpustakaan masjid.
Pengelolaan ilmu dalam perpustakaan masjid dilakukan dengan pembagian
(klasifikasi) koleksi dan pemberian kode-kode pada masing-masing koleksi,
sehingga memudahkan para pemakai dalam membedakan dan mencarinya.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah: daftar koleksi harus ada, buku
catatan peminjaman (keluar-masuk buku dan peminjam) harus dibuat, demikian
juga kartu peminjaman koleksi perpustakaan masjid. Penempatan koleksi harus
menunjukkan kerapian, kebersihan, keteraturan, dan klasifikasi yang tepat, sesuai
dengan apa yang telah diajarkan dalam agama Islam.
Perpustakaan Zaytuna di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya.
Memiliki beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total
semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari
dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi
pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar koleksi buku
pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa salah satu
pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.

8
Salah satu faktor yang mendorong kota Tunis menjadi kota ilmu pengetahuan
adalah hijrahnya para ilmuwan dari Spanyol Muslim. Ilmuwan dari Spanyol
Muslim yang mengembangkan ilmunya di Tunis itu, salah satunya, Abu Salt
Umaiya. Abu Salt dikenal sebagai seorang dokter, matematikus, serta astronom. Ia
lahir di Denia, Andalusia, pada 1067 M dan meninggal di Tunis pada 1134 M.
Selain itu, ada pula Abu Bakar Ibnu Said An-Nas. Dia adalah seorang ahli
hukum di Spanyol Muslim yang hijrah ke Tunis. Di kota itu, dia menjadi seorang
guru besar hukum di Universitas Al-Zaituna. Ketika Islam diusir dari Spanyol,
para arsitek, seniman, tukang batu, dan ahli landskap meloloskan diri ke kota
Tunis. Kemajuan yang sempat dicapai di Spanyol Muslim pun berpindah ke
Tunis.
4. Tokoh yang berpengaruh di Tunisia
Tokoh yang sangat berpengaruh adalah Ibnu Khaldun, Nama lengkap Ibnu
Khaldun adalah Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid. Ibnu Khaldun
biasa dipanggil dengan Abu Zaid, yang diambil dari nama anak sulungnya, yaitu
Zaid. Akan tetapi Ibnu Khaldun lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Khaldun
yang dinisbatkan kepada nama kakeknya, yaitu Khalid. Khalid adalah orang
pertama kali yang masuk ke Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan
Arab pada abad VIII M lalu menetap di Carmona (Suharto, 2003).
Ibnu Khaldun berasal dari keluarga bangsawan dan cinta ilmu pengetahuan.
Dia juga berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristocrat, suatu latar
belakang yang jarang dijumpai orang ketika itu. Keluarga Ibnu Khaldun, sebelum
menyeberang Afrika, adalah pemimpin politik di Moorish, Spanyol, selama
beberapa abad. Dalam keluarga elit semacam ini, Ibnu Khaldun dilahirkan pada
tanggal 27 Mei 1332 (732 H) di Tunisia (Nata, 1997).
Berangkat dari latar belakang keluarga pada saat dilahirkan dan dalam
perjalanan hidup, Ibnu Khaldun nampaknya merupakan faktor yang
mempengaruhi dalam perkembangan fikirannya. Keluarga Ibnu Khaldun telah
mewarisi tradisi intelektual ke dalam dirinya. Sedangkan masa saat Ibnu Khaldun

9
hidup ditandai jatuh bangunnya dinastidinasti Islam, terutama dinasti Umayyah
dan Abbasiyah, yang memberikan kerangka berpikir dan teori sosial serta
filsafatnya.
Guru Ibnu Khaldun yang pertama adalah bapaknya sendiri. Tunisia merupakan
markas ulama dan sastrawan di Maghrib, tempat berkumpul ulama Andalusia
yang lari akibat berbagai peristiwa politik. Dari mereka ini, Ibnu Khaldun
mempelajari ilmu syariat dan retorika. Ibnu Khaldun mahir dalam bidang siair,
filsafat dan manthiq, sehingga dengan demikian menjadi dikagumi oleh guru-
gurunya (Khaldun, tt). Ibnu Khaldun belajar berbagai macam ilmu, antara lain al-
Quran, hadits, teologi dialektik, hukum Islam, matematika, astronomi, filsafat di
Tunisia dan Maroko (Wahyu, 2011).
Hingga berusia 20 tahun, Ibnu Khaldun mendedikasikan waktu untuk
menekuni ilmu pengetahuan dan guru-gurunya banyak. Di antaranya adalah guru
yang mengajarkan bahasa Arab, seperti Syaikh Abu Abdillah bin al-Arabiy, Abu
Abdillah Muhammad bin ash-Shawas dan sebagainya (Susanto, 2009). Disiplin
ilmu yang banyak dipelajari, hal ini menunjukkan Ibnu Khaldun memiliki
kecerdasan luar biasa, sekaligus menunjukkan adanya kesungguhan dan
ambisinya menjadi orang yang berilmu dan berwawasan luas. Fakta ini
melahirkan sejarah bahwa Ibnu Khaldun mampu menguasai literatur Arab,
sekaligus menjadi pemikir yang interaktif dan pandangan-pandangannya mudah
diterima, karena sangat pandai dalam menggunakan bahasa. Oleh karena itu wajar
jika para sejarawan menganggap pengetahuan Ibnu Khaldun ibarat ensiklopedi,
karena menguasai banyak bidang ilmu (Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 2011).
Semasa hidup, Ibnu Khaldun banyak menghasilkan karya ilmiah, antara lain
dalam bidang ilmu manthiq, ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, fiqih, matematika,
kesusastraan Arab, sejarah dan ilmu hitung. Namun karya Ibnu Khaldun yang
sampai sekarang masih beredar adalah Muqaddimah, sebuah karangan terkenal
yang telah mengkaji tentang ungkapan dan pranata dasar dari masyarakat Arab
dan non-Arab serta para pemegang kekuasaan besar pada masanya.

10
Saat memulai karir, tepatnya antara tahun 1350-1382, selama 32 tahun Ibnu
Khaldun berkecimpung di dunia politik. Karena memiliki kecerdasan luar biasa,
Ibnu Khaldun ditunjuk oleh perdana menteri Ibnu Tafirakin pada masa kekuasaan
Raja Abi Ishak al-Hafsi di Tunisia sebagai sekretaris yang menyalin berbagai
dokumen-dokumen penting, padahal usianya saat itu masih tujuh belas tahun. Di
samping itu Ibnu Khaldun juga pernah menjadi sekretaris kesultanan Maroko,
menjadi diplomat dari satu penguasa ke penguasa yang lain. Pernah pula dipenjara
karena dianggap pengkhianat.
Perjalanan karir politik Ibnu Khaldun berakhir saat bertemu dengan Timur
Lenk di Damaskus pada tahun 1400 M. Sukses dan gagal sempat dialami.
Meskipun memiliki dinamika, membuat Ibnu Khaldun memaksakan diri untuk
menjauhi panggung politik yang penuh tantangan itu dan memutuskan untuk
mengasingkan diri. Kemudian Ibnu Khaldun mengisi waktunya dengan menulis.
Karya monumentalnya berjudul Muqaddimah ditulis berdasarkan penelitian yang
orisinal. Kemudian dalam kurun tahun 1382-1406 M, Ibnu Khaldun tinggal di
Mesir dengan mengabdi di bidang akademik dan pengadilan. Ibnu Khaldun wafat
tahun 1406 M dalam usia 74 tahun di Mesir dan dimakamkan di pemakaman para
sufi (Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 2011). Fakta ini menyebabkan Ibnu
Khaldun memiliki banyak julukan, antara lain sejarawan, ahli filsafat sejarah,
sosiolog, ekonom, geographer, cendekiawan, agamawan, politikus dan sebagainya
(Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, 2003).
Kecemerlangan kemampuan dari sosok Ibnu Khaldun ini adalah meski
waktunya dihabiskan di dunia politik praktis, namun menjadi seorang pemikir
yang ahli di bidang sejarah pemikiran umat manusia, melebihi keahliannya di
bidang politik itu sendiri. Meskipun telah malang melintang di dunia perpolitikan,
nampaknya Ibnu Khaldun masih memiliki etos keilmuan yang sangat tinggi.
Dalam buku Muqaddimah, Ibnu Khaldun sangat dikenal sebagai Introduction.
Buku ini lebih populer dibanding judul bukunya yang panjang dan disingkat
menjadi al-Ibar sebanyak tujuh jilid (Basri, 2009). Buku Mukaddimah ini telah
mengantarkan Ibnu Khaldun menjadi seorang yang disejajarkan dengan sosiolog,

11
sejarawan dan filosof dunia. Hal ini terjadi karena isi buku ini memberikan arah
kepada ilmu psikologi, ekonomi, lingkungan dan sosial.
Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap konsep pendidikan Islam jika dilihat dari
berbagai sudut pandang: Tujuan pendidikan, Pendidik, Kurikulum, Peserta didik,
Metode mengajar, Hukuman.
a) Tujuan Pendidikan
Dalam konsep pendidikan, Ibnu Khaldun lebih mendominasikan tujuan agama
dan akhlak pada berbagai tujuan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama,
termasuk segala hal yang diajarkan dan diamalkan dalam lingkungan agama dan
akhlak serta berdasar pada al-Quran serta peninggalan orang-orang terdahulu
yang saleh. Fathiyah Hasan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu
Khaldun adalah (1) memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja,
mengingat karena hal ini penting untuk terbukanya pikiran dan kematangan
seseorang yang akhirnya dapat bermanfaat bagi masyarakat, (2) memperoleh ilmu
pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat yang maju dan berbudaya, (3)
memperoleh pekerjaan untuk mencari penghidupan (Suharto, Filsafat Pendidikan
Islam, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang
dimaksud oleh Ibnu khaldun adalah agar tercapainya tujuan-tujuan agama dan akhlak.

b) Pendidik
Ibnu Khaldun memandang bahwa usaha mendidik yang dilakukan pendidik
adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian. Konsekuensi dari pandangan ini
adalah bahwa untuk menjadi seorang pendidik diperlukan kualifikasi tertentu,
antara lain pendidik harus memiliki pengetahuan tentang perkembangan kerja akal
secara bertahap. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar
sesuai dengan perkembangan akal tersebut. Seorang pendidik tidak saja memiliki
ilmu yang akan diajarkan, tetapi juga harus memiliki ilmu mengajar atau

12
memahami cara mengajar yang baik, agar tidak membingungkan peserta didik
sehingga tujuan pendidikan tidak terpenuhi.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa sekarang banyak guru banyak guru yang tidak
tahu sama sekali cara-cara mengajar yang baik dan benar. Misalnya mereka sejak
pertama kali memberikan materi kepada muridnya tentang masalah-masalah ilmu
pengetahuan yang sukar dipelajari dan menuntut mereka untuk memeras otak
untuk memecahkannya (Ahmadi, 2001).
c) Peserta didik
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai mutaallim yang dituntut
untuk mengembangkan segala potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt.
Dia memberi petunjuk kepada mutaallim agar berhasil dalam studinya dan
menyatakan:
Hai pelajar, ketahuilah bahwa saya di sini akan memberi petunjuk yang
bermanfaat bagi studimu. Apabila kamu menerimanya dan mengikutinya dengan
sungguh-sungguh, kamu akan mendapatkan suatu manfaat yang besar dan mulia.
Bahwa kemampuan manusia adalah anugerah khusus yang alami ciptaan Allah,
sama seperti Dia menciptakan semua makhlukNya (Ahmadi, 2001).
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai obyek
didik yang memerlukan subyek didik, yaitu guru dalam mengembangkan
kreativitas dan potensi dirinya.
Perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun di dalam merujuk pengertian
peserta didik, justeru menunjukkan adanya perkembangan belajar pada manusia.
Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsep ini
berlaku untuk jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta
didik adalah mutaallim yang dituntut secara mandiri. Konsep ini berlaku pada
jenjang pendidikan tinggi.
d) Kurikulum
Ibnu Khaldun membagi macam-macam ilmu yang perlu dimasukkan ke alam
kurikulum pendidikan menjadi dua bagian, yaitu (1) ilmu-ilmu yang bernilai
instrinsik, yang dipelajari karena faedah dari ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu

13
syariyat, ilmu-ilmu thabiyat dan filsafat yang berhubungan dengan ke-Tuhan-an,
seperti ilmu tafsir, hadits, kalam dan sebagainya. Pendidikan agama, menurut Ibnu
Khaldun, memiliki peran penting dalam memupuk persatuan demi
berlangsungnya pendirian negara yang besar (Rahman, 1992), (2) ilmu-ilmu yang
bernilai ekstrinsik instrument, yaitu ilmu alat bagi ilmu-ilmu jenis pertama diatas,
seperti bahasa, matematika, ilmu logika yang membantu mempelajari filsafat dan
lain-lain. Ilmu-ilmu intrinsik, sebagai ilmu-ilmu primer, harus lebih diutamakan,
karena menjadi tujuan utama.
Mempelajari ilmu alat tidak boleh melebihi ilmu yang utama. Oleh karena itu
Ibnu Khaldun hanya membolehkan pendalaman-pendalaman ilmu-ilmu yang
bernilai instrinsik melalui diskusi-diskusi ataupun beradu argumentasi secara
analitikrasional tentang ilmu-ilmu tersebut. Namun jika untuk ilmu-ilmu ekstrintik
(ilmu sekunder), Ibnu Khaldun tidak membolehkan diskusi rasional itu, kecuali
jika diletakkan dalam kerangka kegunaan bagi jenis ilmu intrinsik (Ahmadi,
2001). Hal ini dilakukan karena dengan diskusi akan mampu meningkatkan
intelektualitas akademik seseorang, namun jika yang didiskusikan hanya ilmu alat,
dikhawatirkan waktu akan habis percuma.
Ibnu Khaldun memiliki pandangan demikian, karena telah mengamati
kurikulum yang diajarkan baik di Maghribi, Andalusia, Afrika dan Timur. Fakta
yang dijumpai Ibnu Khaldun mendorong untuk mengkritisinya, seperti para
peserta didik yang belakangan diamati Ibnu Khaldun banyak menghabiskan waktu
hanya untuk belajar ilmu alat saja. Sedangkan di Maghribi yang membatasi
pendidikan dan pengajaran al-Quran bagi anakanak serta pengajaran al-Quran
terpisah dari pelajaran lainnya. Kondisi ini mengakibatkan peserta didik bisa
menjadi ahli al-Quran atau justeru drop out sebelum berhasil (Ahmadi, 2001).
e) Metode Mengajar
Metode mengajar, menurut Ibnu Khaldun, harus berjalan sesuai dengan
tahapan perkembangan akal manusia. Akal berkembang dimulai dengan mengerti
tentang masalahmasalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian meningkat
mengerti tentang masalah yang agak kompleks, kemudian lebih kompleks.

14
Ibnu Khaldun mengungkapkan tiga langkah metode mengajar. Pertama adalah
hendaknya kepada peserta didik diajarkan pengetahuan yang bersifat umum dan
sederhana, khusus berkenaan dengan pokok bahasan yang tengah dipelajari.
Pengetahuan ini hendaknya disesuaikan dengan tarap kemampuan intelektual
peserta didik, sehingga tidak berada di luar kemampuannya untuk memahami.
Hendaknya peserta didik belajar pada tingkat pertama atau paling sederhana
(Khaldun, tt).
Kedua adalah seorang pendidik kembali menyajikan pengetahuan tersebut
kepada peserta didik dalam tarap yang lebih tinggi dengan memetik intisari
pelajaran, keterangan dan penjelasan yang lebih spesifik. Dengan demikian
pendidik dapat mengantarkan peserta didik kepada tarap pemahaman yang lebih
tinggi.
Ketiga adalah seorang pendidik mengajarkan pokok bahasan tersebut secara
lebih terinci dalam konteks yang menyeluruh, sambil memperdalam aspek-aspek
dan menajamkan pembahasannya. Tidak ada lagi yang sulit dan yang tidak
diterangkan ataupun dibahasnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pembelajaran ini adalah kritik
berdasar dari gaya para pendidik pada masanya. Agai alternatif solusi, Ibnu
Khaldun menganjurkan dalam pembelajaran yaitu (1) jangan menggunakan
metode indoktrinasi terhadap peserta didik, karena hal ini berarti mendidik tanpa
mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya
hendaknya mengajarkan beragam keilmuan secara sedikit demi sedikit mula-mula
disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik hingga selesai
materi, (2) jangan banyak mengumpulkan ringkasan-ringkasan tentang bermacam-
macam masalah keilmuan karena hal ini akan mengganggu proses pembelajaran,
peserta didik dihadapkan pada kerepotan dalam memahami istilah-istilah ringkas
tersebut, (3) jangan menggunakan metode menghafpal hal-hal atau materi yang
tidak berguna dalam rentang waktu cukup lama dan menyibukkan diri dengan
banyak peristilahan tentang materi, (4) jangan memberikan alokasi waktu yang

15
banyak untuk mempelajari ilmu-ilmu alat (ekstrinsik) melebihi ilmu-ilmu utama
(intrinsik), sehingga menyebabkan hilang fungsi ilmu alat sebagai ilmu
penunjang, (5) jangan menggunakan metode militerisasi karena pendidik bersikap
keras terhadap anak didik, yang akan berdampak buruk bagi anak didik berupa
kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal (Ahmadi, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, pemikiran Ibnu Khaldun selalu menarik untuk
dikaji dan diteliti, mengingat Ibnu Khaldun telah menjelajah ke seluruh wilayah
dunia Islam, sehingga data yang diperoleh amat akurat. Metode mengajar Ibnu
Khaldun menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan.
f) Hukuman
Ibnu Khaldun tidak setuju jika mendidik anak dengan menggunakan
kekerasan, karena akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan anak, yaitu
menyebabkan kelemahan dan tidak sanggup membela kehormatan diri dan
keluarga, karena anak tidak memiliki kemauan dan semangat yang berfungsi amat
penting dan memperoleh keutamaan dan ahklak yang baik. Dengan kekerasan
jiwa, anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat
kemanusiaannya (al-Abrasy, 1993).
Seorang pendidik hendaknya mengerti tentang perkembangan akal manusia
secara bertahap, sehingga memungkinkan baginya untuk menerapkan
perkembangan ini dalam mendidik anak. Di samping itu Ibnu Khaldun juga
memberikan nasehat kepada pendidik agar tidak bersikap otoriter terhadap peserta
didik yang masih kecil, karena paksaan terhadap tubuh di dalam upaya pendidikan
akan sangat membahayakan peserta didik, terutama yang masih kecil. Perlakuan
kasar dan keras terhadap anak kecil akan menimbulkan kemalasan dan
menyebabkan mereka berdusta serta membenci ilmu dan pendidikan (Sulaiman,
1987).
Ibnu Khaldun menganjurkan agar seorang pendidik tidak berlaku kejam
dalam mendidik dan mengajar anak. Pendidik harus menyesuaikan penggunaan
hukuman. Hukuman tidak boleh dilakukan berpisah dari tujuan yang ingin
dicapai. Pendidik tidak boleh menghukum sekedar menghukum saja. Prinsip

16
hukuman sebagai alat mendidik penting, akan tetapi jangan dilakukan oleh
pendidik, kecuali dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain.
Ibnu Khaldun memandang hukuman adalah metode kuratif, mengingat tujuan
hukuman adalah untuk memperbaiki anak didik yang melakukan kesalahan dan
memelihara peserta didik lainnya. Hukuman harus diberikan jika anak didik sudah
melakukan kesalahan yang benar-benar dapat mengganggu kelancaran proses
belajar mengajar atau dapat mengganggu perkembangan jiwa anak. Karena
hukuman bersifat kuratif, maka tidak boleh terlalu sering memberikan hukuman.
Hukuman boleh dilakukan ketika dengan cara nasehat atau peringatan tidak
berhasil. Namun yang perlu dicatat bahwa hendaknya hukuman yang dijatuhkan
kepada peserta didik dapat dipahami, sehingga peserta didik sadar dengan
kesalahan yang telah dilakukan dan tidak akan mengulangi hal yang sama.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
A. Tunis merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam
di Afrika. Dari kota inilah ajaran Islam menyebar hingga ke Sicilia, sebuah
provinsi otonom di Italia.

17
B. Proses pembelajaran di Tunisia dahulu ada tiga metode. Yaitu metode
Talqin, metode Halaqah, dan metode Madrasah.
C. Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap konsep pendidikan Islam jika dilihat
dari berbagai sudut pandang: Tujuan pendidikan, Pendidik, Kurikulum,
Peserta didik, Metode mengajar, Hukuman.
D. Universitas Al-Zaituna mulai menjadi perguruan tinggi berpengaruh pada
awal abad ke-13 M. Saat itu, kota Tunis menjadi ibu kota kekhalifahan
Hafsiah. Universitas itu berhasil meluluskan seorang sarjana Muslim
tersohor bernama Ibnu Khaldun.
2. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun. Apabila ada kekurangan kami selaku
penulis mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, T. (2001). Terjemahan Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka


Firdaus.
al-Abrasy, M. (1993). Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. (A. Ghani, & J.
Bahri, Trans.) Jakarta: Bulan Bintang.
Basri, H. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Khaldun, I. (tt). Ta'roif Ibnu Khaldun. tt: tp.

18
Nata, A. (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Rahman, Z. A. (1992). Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Suharto, T. (2003). Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Suharto, T. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sulaiman, F. H. (1987). Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan.
Bandung: CV Diponegoro.
Susanto. (2009). Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Wahyu, M. (2011). Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani.

19

Anda mungkin juga menyukai