Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KELUARGA SEBAGAI LANDASAN UTAMA MENYAMPAIKAN


RISALAH DAKWAH

Dosen Pembimbing :

Dr. Hafniati, M.Kom.I

Disusun oleh :
Hafifa Syalsha Yunizar 1201202028

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIAR ISLAM


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM AL GHURABAA
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim,

Alhamdulillah, berakat rahmat dan karunia Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
dalam menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah, “Fiqih Dakwah” sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari jalan yang penuh kegelapan kejalan yang
penuh dengan cahaya yaitu Agama Islam.

Kami menyadari mungkin masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah
ini, maka kami sangat mengharapkan bimbingan dan kritik dari pembaca agar kami dapat
menyempurnakan dari kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada makalah ini.

Kami sangat beterimakasih kepada teman teman yang telah mambantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga amal baiknya di terima oleh Allah SWT dan menjadi amal shaleh yang
senantiasa terus mengalir.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang baik serta menunjang ilmu pengetahuan
khususnya kami sendiri dan teman teman yang sudah membaca, serta senantiasa mendapatkan
ridho dari Allah SWT. Aamiin.

Jakarta, 20 Mei 2022

Penuli
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I   PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A.  Latar Belakang............................................................................................. 1
B.  Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.  Tujuan Masalah ........................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A.  Peran Utama Kelarga Dalam Menyampaikn Risalah Dakwah............................... 2
B. Petunjuk Islam Membangun dan Memperkuat Ketahanan Keluarga…………….. 2
C.  Kelemahan dan Kekuatan Dakwah Dalam Keluarag………………...................... 2
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 10
A.  Kesimpulan.............................................................................................................. 10
B.  Saran......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dakwah merupakan kegiatan atau usaha memanggil orang muslim maupun non-
muslimdengan cara bijaksana kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian
ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan
bahagia di akhirat. Dakwah secara etimologis (lughatan) berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan.
Kata da’a mengandung arti: menyeru, memanggil, dan mengajak. “Dakwah”Artinya seruan,
panggilan, dan ajakan. Dakwah merupakan kewajiban bagi umat Islam karena pada dasarnya
dakwah harus dilakukan bagi setiap orang Islam dan beriman kepada Allah karena dakwah
tidaklah berdasarkan jabatan kekuasaan, selagi kita mampu untuk mengajak dalam kebaikan
maka itu dinamakan dakwah karena telah mengingatkan orang untuk berbuat baik dan
meninggalkan yang buruk. Allah SWT menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya
dan salah satu bentuk beribadah kepada Allah ialah kita mengajak orang untuk berbuat baik
dalam hal ini yang pertama kali untuk melakukan dan mengajak orang untuk berbuat baik,
adalah orang tua, karena orang tua merupakan orang yang pertama kali menjadi sorotan bagi
keluarganya.

Dan dijelaskan dalam surah At Tharim ayat 6,


ِ ِ ‫ٰ ِئ‬ ِ ِ ِ َّ
ُ ‫َّاس َوٱحْل َج َارةُ َعلَْي َه ا َملَٓ َك ةٌ غاَل ٌظ ش َد ٌاد اَّل َي ْع‬
‫ص و َن ٱللَّهَ َمآ ََأم َر ُه ْم َوَي ْف َعلُ و َن َم ا يُ ْؤ َم ُرو َن‬ ُ ‫ود َه ا ٱلن‬ َ ‫ٰيََٓأيُّ َه ا ٱلذ‬
ُ ُ‫ين ءَ َامنُ وا۟ قُوآ ۟ َأن ُف َس ُك ْم َو َْأهلي ُك ْم نَ ًارا َوق‬

Yā ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw wa qụduhan-nāsu wal-ḥijāratu 'alaihā


malā`ikatun gilāẓun syidādul lā ya'ṣụnallāha mā amarahum wa yaf'alụna mā yu`marụn.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.( Qs.Attahrim:6) Inilah landasan yang mengharuskan orang
tua untuk berdakwah terhadap keluarganya sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa keluarga
merupakan amanah dari Allah SWT kepada orang tua. Sebagai amanah orang tua bukanlah
pemilik melainkan di bebankan tanggung jawab dan tugasnya untuk memelihara dan merawat
keluarga dan memberikan pengajaran nilai-nilai agama Islam di dalam keluarga. Dalam hal ini
objek yang harus di dakwahi orang tua adalah anak-anak mereka, anak dalam Islam telah
membawa fitrah kejadiannya (potensi untuk beribadah kepada Allah SWT). pengembangan dan
tingkah laku seorang anak sangatlah di pengaruhi oleh peranan orang tuanya dalam mendidik
anak-anak dan menanamkan nilai-nilai agama terhadap mereka, peranan orang tua sekaligus
penanggung jawab perilaku anak-anak dalam keluarga sangat menentukan perilaku anak
kedepannya. Dakwah terhadap keluarga hendaknya dilakukan dari hal yang paling penting,
hendaknya dakwah orang tua terhadap keluarga dan anak adalah dakwah menamkan nilai-nilai
tauhid karena ini dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan sahabat. Dalam mendakwahi
keluarga mereka.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT

‫ْر َك لَظُْل ٌم َع ِظْي ٌم‬ ِّ ‫ِه ۗاِ َّن‬


‫الش‬ ّ‫ِر ْك بِال ٰل‬ ‫َو يَعِظُهٗ ٰيبُيَنَّ اَل تُ ْش‬ ‫ال لُْق ٰم ُن اِل بْنِهٖ َو ُه‬
َ َ‫َواِ ْذ ق‬
Wa iż qāla luqmānu libnihī wa huwa ya'iẓuhụ yā bunayya lā tusyrik billāh, innasy-syirka
laẓulmun 'aẓīm

Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anak-anaknya, ketika dia memberikan
pelajaran kepada anak-anaknya wahai anakku janganlah engkau mempersekutukan Allah
seungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang nyata (Qs.
Luqman:13). Dalam firman diatas di jelas bahwa Luqman Al Hakim menjadi pendakwah dalam
keluarganya dan dalam konteksnya yang menjadi sasaran dakwahnya adalah anaknya, kita lihat
bagaimana tegasnya Luqman Al Hakim mendakwahi anaknya dan mengingatkan kepadanya
untuk tidak menyekutukan Allah. Maka ini menjadi contoh bagi orang tua untuk tetap mengajak
dan mendakwahi anak-anak mereka agar tidak menjadi manusia yang jahat dan zalim terutama
zalim kepada Allah dengan perkara syirik dan zalim kepada manusia dengan akhlak yang buruk.
Maka dalam hal ini wajib bagi orang tua untuk mengingatkan anak-anak mereka agar menjadi
anak-anak yang senantiasa taat kepada Allah SWT dan berakhlak mulia. Hal ini juga sejalan
dengan tujuan Rasul di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

“Dan tidaklah aku diutus di muka bumi ini melainkan untuk menyempurnakan ahklak
manusia”. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut maka orang tua di tuntut untuk melakukan
berbagai upaya agar kelak ketika menjadi dewasa akan menjadi sejalan dengan fitrah yang di
miliki manusia untuk tidak menyekutukan Allah dan tetap pada fitrah. Dengan fitrah yang
dimilikinya salah satu upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam mengembangkan fitrahnya
adalah mendidiknya dan menjadi contoh sejak anak masih kecil. Maka sebagai orang tua yang
memegang penting kendali anak hendaknya menjadi contoh yang baik untuk anak dan keluarga
sebagaimana yang di lakukan oleh Luqman Al Hakim dalam kisahnya menjadi contoh untuk
anak-anaknya. Begitupun yang dilakukan Nabi Muhammad SAW yang menjadi contoh oleh
anak-anak Rasul. Yang kita kenal anaknya adalah Fatimah yang menjadi ahli hadist dan kuat
dalam bidang agamanya dan baik akhlaknya dan tidak menyekutukan Allah. Pada zaman
sekarang ini banyak di antara orang tua lupa mendakwahi anak-anak mereka dan menjadi contoh
bagi anak-anak mereka. Kadang orang tua hanya memikirkan nafkah jasmani saja terhadap
keluarga khususnya anak sehingga tidak jarang kita lihat dan kita jumpai di masyarakat banyak
anakanak yang tidak mengetahui tentang tatakrama dan tidak berakhlak bahkan yang lebih
parahnya mereka tidak mengerjakan ibadah dan jauh dari Allah SWT serta melakukan kekerasan
dan merusak diri mereka sendiri.
B. Rumasan Masalah

1. Bagaimana Peran Utama Keluarga Dalam Menyampaikan Risalah Dakwah?

2. Bagaimana Petunjuk Islam Membangun dan Memperkuat Ketahanan Keluarga?

3. Bagaimana Kelemahan dan Kekuatan Dakwah Dalam Keluarga?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Peran Utama Keluarga Dalam Menyampaikan Risalah Dakwah?

2. Mengetahui Petunjuk Islam Membangun dan Memperkuat Ketahanan Keluarga?

3. Mengetahui Kelemahan dan Kekuatan Dakwah Dalam Keluarga?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Utama Keluarga Dalam Menyampaikan Risalah Dakwah


Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap pembinaan keluarga sejak awal
pembentukannya. Mulai dari memilih pasangan, hubungan suami-isteri, hak dan kewajiban orang
tua, hingga soal pemeliharaan dan pendidikan anak. Soal pembinaan keluarga menjadi penting dan
perlu mendapat perhatian, karena beberapa alasan berikut ini:
 Pertama, karena keluarga dipandang sebagai pusat dakwah dan pendidikan agama yang
mula-mula (al-mahdhan al-awwal). Setiap manusia, siapa pun dia, pasti menimba dan menyerap
pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai agama yang hidup dalam keluarga. Maka, keluarga bisa menjadi
sumber kebaikan manusia (mashdar khair li al-insan), tetapi sebaliknya, bisa juga menjadi pangkal
yang merusak nilai-nilai moral dan agama (mi`wal hadam li al-din wa al-akhlaq).1
 Kedua, karena keluarga dipandang sebagai batu-bata pertama (al-labinah al-ula) bagi
lahirnya masyarakat Islam. Dengan kata lain, keluarga adalah miniatur dari komunitas dan
masyarakat Islam. Di sini, tidak dapat dibayangkan lahir masyarakat Islam, tanpa terlebih dahulu
terbentuk keluaarga-keluarga Islam. Maka keluarga yang baik (al-Usrah al-Shalihah), kata ulama
besar dunia, Yusuf Qardhawi, merupakan pangkal dari masyarakat yang baik (Rakiz al-Mujtama
al-Shalih), sekaligus benih utama dari umat yang baik pula (Nuwwat al-Ummah al-Shalihah).2
Seorang Muslim manakala telah mencapai usia dewasa, ia dianjurkan segera menikah. Perlu
diketahui bahwa pembentukan keluarga Islam akan menjadi salah satu ”bilik” bagi lahirnya
masyarakat Islam yang besar. Tak ada masyarakat Islam, tanpa keluarga-keluarga Islam, dan tak
ada keluarga Islam, tanpa individu-individu Muslim.3
 Ketiga, sebagai kelanjutan logis dari kedua fungsi keluarga di atas, maka institusi keluarga
dengan sendirinya menjadi salah satu faktor penentu (determinant factor) bagi kekuatan dan
kelemahan umat Islam secara keseluruhan. Bisa dimengerti mengapa Nabid saw diminta agar
berdakwah kepada keluarga (wa andzir `asyirataka al-aqrabin) 4sebelum beliau berdakwah kepada
bangsa Arab dan masyarakat dunia secara keseluruhan.
Perhatian Islam terhadap kehidupan keluarga ini sungguh besar, sampai-sampai tokoh
1
Khalid ibn Hamid al-Hazimi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub, 2000), h. 307.
2
Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000), Cet.ke-4, h. 96.
3
Yusuf Qardhawi, al-Islam Hadharat al-Ghadd, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h.171.
4
Baca Q.S. al-Syu`ara/26: 214.
pergerakan Islam kontemporer, Sayyid Quthub, menyebut Islam sebagai ”agama keluarga” (Din
al-Usrah).5

Seorang Muslim, menurut Quthub, mula-mula harus mengarahkan dakwahnya kepada


keluarga dan rumahnya sendiri. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan rumah
tangganya dari dalam dan menutup rapat-rapat celah-calah atau kelemahan-kelemahan yang
terdapat di dalamnya. Ini merupakan program dakwah yang harus diketahui oleh setiap da`i.
Tanpa memperhatikan aspek pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas
dan masyarakat Islam, akan tertunda atau tidak akan pernah terwujud sama sekali.6
Bertolak dari pemikiran ini, maka patut kita merespon seruan para ulama dan pendidik agar kita
memperkuat pendidikan dan dakwah dalam keluarga, terlebih lagi pada era baru yang dinamakan
globalisasi atau pascamodernisme sekarang ini.

B.    Petunjuk Islam Membangun dan Memperkuat Ketahanan Keluarga


Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pembinaan keluarga Islam. Pertama,
soal pembentukan keluarga melalui pernikahan. Kedua, soal pendidikan dan penanaman nilai-
nilai agama dalam keluarga. Kedua hal ini berpengaruh terhadap kekuatan dan ketahanan
keluarga Islam.

A. Pembentukan Keluarga (al-Zawaj)

Pembentukan keluarga dalam Islam dimulai dengan pernikahan (al-zawaj) antara laki-
laki dan perempuan. Islam tidak pernah mengenal keluarga kecuali antara laki-laki dan
perempuan. Ini dapat dilihat dari kehidupan manusia yang paling awal antara Nabi Adam as dan
isterinya, Hawa. Perhatikan ayat ini: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini.” (Q.S. al-Baqarah/2: 35). Jadi, Islam tidak pernah mengenal
pernikahan sejenis (antara laki-laki dan laki-laki, atau antara perempuan dan perempuan). Ini
memang berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara Barat. Tapi, jangan lupa, karena
pengaruh globalisasi, budaya ini bisa menyebar dan disebarkan ke berbagai negeri lain, termasuk
negeri-negeri Islam, dengan dalih kebebasan dan Hak-hak Asasi Manusia.

Upaya inilah yang saya lihat terjadi pada waktu Muktamar Kependudukan di Kairo tahun
1994, dan Kongres wanita se-dunia di Bejing pada tahun 1995. Seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Tuty Alawiyah AS, perannya sebagai Ketua BKMT dan juga Presiden Perhimpunan
Wanita Islam se-dunia (IMWU), menyatakan perangterhadap paham sesat ini. Beliau prihatin
terhadap kasus yang terjadi pada tokoh wanita yang notabenenya merupakan seorang Guru Besar
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia yang mencari-cari celah dan hilah untuk menghalalkan
pernikahan se-jenis ini. Dalam hal ini, beliau sepaham dengan ulama besar dunia, Yusuf

5
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619. Bandingkan dengan Muhammad
Quthub, al-Islam bain al-Madiyyah wa al-Islam, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989), cet. ke- 10, h. 111-128.
6
Ibid.
Qardhawi, yang mengutuk pernikahan sejenis, dan memandangnya sebagai perbuatan yang
menyalahi fitrah, menentang keluhuran budi pekerti (alakhlaq al-karimah), dan melawan hukum
(syari`at) agama-agama besar dunia.7

Kitab suci al-Qur’an memandang pernikahan sebagai perjanjian yang sungguh kuat, (Q.S.
al-Nisa’/4: 1-21). Dikehendaki dengan mitsaqan ghalidhan, bahwa pernikahan tak hanya
bermakna kontrak sosial, tetapi perjanjian yang sakral, merupakan ikatan lahir dan batin, dunia
dan akhirat, yang harus dipertanggung jawabkan tak hanya kepada orang tua, tetapi kepada Allah
SWT. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, pernikahan dalam Islam disamakan dengan ikatan
perjanjian para nabi dengan Allah SWT dalam membawa dan menyampaikan misi (risalah)
kepada umat manusia (Baca: Q.S. al-Ahzab/33:7). 8 Untuk membangun harmonisasi dan
memperkokoh ikatan keluarga ini, pakar tafsir Indonesia, H.M. Qurasih Shihab, mengusulkan
agar dilakukan penguatan melalui tiga kekuatan, yaitu kekuatan cinta sejati (mawaddah), kasih
sayang (rahmah), dan rasa tanggung jawab (amanah). Inilah tali-temali yang akan mengikat
rumah tangga menjadi keluarga bahagia yang dalam bahasa al-Qur’an dinamai ”keluarga
sakinah”.9

B. Pendidikan dan Penanaman Nilai-nilai Agama

Sudah umum diketahui tentang pentingnya pendidikan agama dalam keluarga. Tapi, ini
tidak berarti setiap orang dari kita memberikan perhatian yang memadai soal dakwah dan
pendidikan keluarga. Malahan, tidak sedikit orang yang menyerahkan soal pendidikan agama
keluarganya hanya kepada pembantu rumah tangga atau kepada lembaga-lembaga pendidikan
pra sekolah semacam TPA dan TKA. Ini tentu tidak cukup, karena institusi keluarga
sesungguhnya tak tergantikan oleh institusi apa pun juga. 10 Dakwah dalam keluarga menuntut
aktualisasi sistem dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keluarga. Hal ini perlu diupayakan,
sehingga lahir atmosfir keislaman yang kondusif untuk kemajuan anak dan semua anggota
keluarga. Dakwah keluarga membutuhkan keteladanan (qudwah hasanah) dari orang tua, bapak
dan ibu. Tanpa keteladanan dari orang tua sebagai da`i, maka dakwah keluarga tidak mungkin
berjalan sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa penelitian, diketahui bahwa 83 % sikap dan
perilaku anak dipengaruhi oleh apa yang dilihat (visual), 6 % oleh apa yang didengar (auditory),
dan sisanya 11 % dipengaruhi stimulus-stimulus lain. Hasil penelitian ini memperlihatkan
kuatnya pengaruh tontonan dan tuntunan. Dalam keluarga, yang dilihat sehari-hari tentu adalah
sikap dan perilaku kedua orang tuanya. Itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk sikap
dan karakter anak-anak di kemudian hari. Jadi, dakwah dalam keluarga, hemat saya, adalah

7
Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000), Cet.ke-4, h. 96.
8
Ibid.
9
Lihat H.M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Mizan, 1996), cet.ke-1, h. 208-214. Bandingkan dengan Muhammad Imarah, Tarbiyyat al-Nasyi’ fi Zhill al-Islam,
(Makkah al-Mukarramah: Rabithat al-`Alam al-Islami, 2000), cet.ke-2, h. 13-52.
10
Tentang problem-problem yang dihadapi keluarga pada era baru sekarang, lihat Khalid ibn Hamid al-Hazimi,
Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub, 2000), h. 307.
dakwah dengan keteladanan, sehingga kelurga, seperti diusulkan Sayyid Quthub, dapat menjadi
terjamah hidup dari sistem dan nilai-nilai Islam itu sendiri.11

C.    Analisis Kelemahan dan Kekuatan


A. Kelemahan dan Kekuatan Dakwah Dalam Keluarga

Adapun kelemahan berdakwah di lingkungan keluarga adalah :


1. Bahwa keluarga adalah orang terdekat kita, sedangkan kita tidaklah siap ketika dakwah kita
mengalami benturan benturan di dalam keluarga kita sendiri. Hal ini yang membuat kita merasa
terkucil.
2. Kita tidak siap kehilangan orang yang kita sayangi, sebab keluarga maupun orang yang kita
sayangi jika anggota keluarga tersebut tidak menerima dakwah kita. Dan biasanya bayang
bayang kehilangan akan menghantui setiap orang yang ingin berdakwah di dalam keluarga.
3. Ketergantungan kita terhadap masalah keduniawian terhadap keluarga kita adalah masalah besar.
Karena kita tidaklah siap untuk mandiri dan tidak siap jika kebutuhan kita akan keluarga tersebut
hilang setelah ada benturan dakwah kita dengan keluarga.
4. Ketika keluarga kita tidak mengerti tentang tanggung jawab, yaitu setiap perbuatan pastilah ada
balasannya. Biasanya akan lebih sulit karena mereka belum mempunyai pemahaman tentang
tanggung jawab.
5. Keinginan kita yang sering memaksakan diri dan ingin cepat cepat keluarga kita menerima
dakwah kita, jadi mempengaruhi motivasi dan mental kita jika dakwah tidak kunjung diterima.

Sedangkan keuntungan yang dapat kita gunakan dalam menjadikan keluarga kita sebagai media
dakwah adalah
1. Keluarga adalah ikatan yang kuat. Bila ikatan keluarga bernada islam, maka aqidah dan
amaliyahnya makin kuat serta dakwah dalamkeluarga selalu berjalan dengan baik dan dapat
mempengaruhi keluarga lain,
2. Sesuai dengan perintah rasul yang artinya hari orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari siksa api neraka
3. Adanya rasa solidaritas yang kuat. Artinya bila keluarga ada yang tak beriman, yang maa orang
yang ingkar kepada  allah akan celaka. Maka sebagian keluarga secepatnya untuk bertindak amar
ma’ruf nahi mungkar
4.  Adanya keinginan pelestarian idiologi nasabnya, keluarga yang memiliki silsilah seorang
agamawan, keturunannya cernderung mengikuti agama kakek / ayahnya.12

11
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619.
12
Asmuni Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya, al IKHLAS, 1983 hal.172
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa media dakwah tidak hanya berupa
mimbar, atau media massa. Namun keluarga juga merupakan ajang dakwah dan dapat digunakan
sebagai media dakwah.
Perkembangan agama pada anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam
keluarga, di sekolah dan lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat
agama, (sesuai dengan ajaran dan aturan agama), akan semakin banyak pula unsur agama, maka
sikap, tindakan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. Tentu
saja hubungan anak dengan orang tuanya sangat memainkan peranan yang besar terhadap
perkembangan sikap keberagamaan anak.

B.  Saran

Materi dalam makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Dalam penulisan
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan didalamnya baik dalam hal sistematika
penulisan maupun isi. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Khalid ibn Hamid al-Hazimi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub,
2000), h. 307.

Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000),
Cet.ke-4, h. 96.

Yusuf Qardhawi, al-Islam Hadharat al-Ghadd, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h.171.

Baca Q.S. al-Syu`ara/26: 214.

Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619. Bandingkan
dengan Muhammad Quthub, al-Islam bain al-Madiyyah wa al-Islam, (Kairo: Dar al-Syuruq,
1989), cet. ke- 10, h. 111-128.

Ibid.

Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000),
Cet.ke-4, h. 96.

Ibid.

Lihat H.M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung:
Mizan, 1996), cet.ke-1, h. 208-214. Bandingkan dengan Muhammad Imarah, Tarbiyyat al-Nasyi’
fi Zhill al-Islam,
(Makkah al-Mukarramah: Rabithat al-`Alam al-Islami, 2000), cet.ke-2, h. 13-52.

Tentang problem-problem yang dihadapi keluarga pada era baru sekarang, lihat Khalid ibn
Hamid al-Hazimi,
Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub, 2000), h. 307.

Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619.

Asmuni Syukir, Dasar Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya, al IKHLAS, 1983 hal.172

Anda mungkin juga menyukai